pbl blok 21 belum fix

29
Diabetes Melitus bla bla bla Ryan Gustomo 102011209 [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Krida wacana Jl. Arjuna No.6 Kebon Jeruk- Jakarta Barat Telp: 021-569422061 Pendahuluan Penyakit gula darah atau yang lebih sering dikenal dengan diabetes telah menjadi momok bagi masyarakat di seluruh dunia. Dahulu angka diabetes melitus tergolong kecil, tapi sekarang jumlahnya meningkat karena adanya mutasi genetik sehingga lebih mudah kena disamping adanya rangsangan dari lingkungan seperti banyaknya racun yang beredar, kurang olahraga dan juga pola makan yang tidak tepat. Diabetes bisa dikenali dengan gejala-gejala sering minum, sering buang air kecil, banyak makan, berat badan berkurang dan sering mengalami kelelahan. Secara global, kasus diabetes terus mengalami kenaikan, terutama di negara berkembang. Berdasarkan data WHO Indonesia menempati urutan keempat sebagai negara dengan penderita diabetes terbanyak setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Data dari WHO tahun 1985 menyebutkan sebanyak 1,7% penduduk Indonesia mengalami diabetes. Namun pada tahun 2007, hasil 1

Upload: ryan-gustomo

Post on 06-Nov-2015

229 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

5 Patogenesis

TRANSCRIPT

Diabetes Melitus bla bla blaRyan [email protected] KedokteranUniversitas Krida wacanaJl. Arjuna No.6 Kebon Jeruk- Jakarta BaratTelp: 021-569422061

PendahuluanPenyakit gula darah atau yang lebih sering dikenal dengan diabetes telah menjadi momok bagi masyarakat di seluruh dunia. Dahulu angka diabetes melitus tergolong kecil, tapi sekarang jumlahnya meningkat karena adanya mutasi genetik sehingga lebih mudah kena disamping adanya rangsangan dari lingkungan seperti banyaknya racun yang beredar, kurang olahraga dan juga pola makan yang tidak tepat. Diabetes bisa dikenali dengan gejala-gejala sering minum, sering buang air kecil, banyak makan, berat badan berkurang dan sering mengalami kelelahan.Secara global, kasus diabetes terus mengalami kenaikan, terutama di negara berkembang. Berdasarkan data WHO Indonesia menempati urutan keempat sebagai negara dengan penderita diabetes terbanyak setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Data dari WHO tahun 1985 menyebutkan sebanyak 1,7% penduduk Indonesia mengalami diabetes. Namun pada tahun 2007, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan jumlahnya mengalami kenaikan menjadi 5,7% atau sekitar 12 juta penduduk.Faktor utama diabetes adalah karena kurangnya produksi insulin (diabetes melitus jenis 1, yang pertama dikenal), atau kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (diabetes melitus jenis 2, bentuk yang lebih umum). Selain itu, terdapat jenis diabetes melitus yang juga terjadi pada wanita hamil. Jenis 1 membutuhkan penyuntikan insulin, sedangkan jenis 2 diatasi dengan pengobatan oral dan hanya membutuhkan insulin apabila obatnya tidak efektif. Diabetes melitus pada kehamilan umumnya sembuh dengan sendirinya setelah persalinan.Penyakit diabetes tipe 2 merupakan yang paling banyak dijumpai di Indonesia biasanya disebabkan oleh faktor turunan. Jika salah satu orang tua mengidap diabetes maka hampir 90% anaknya juga menderita diabetes tergantung dari gaya hidup anak itu sendiriDiabetes tipe 2 bisa dicegah, jadi mau diabetes atau tidak tergantung dari diri kita sendiri dan bukan siapa-siapa Meskipun tak dapat disembuhkan, penyakit diabetes melitus tipe 2 dapat dicegah dengan mudah. Penyakit ini disebabkan oleh gaya hidup yang kurang sehat. Maka dari itu, menerapkan gaya hidup sehat akan dapat meminimalkan risiko terjangkitnya diabetes.Sebanyak 30% penderita diabetes melitus mengalami kebutaan akibat komplikasi retinopati dan 10% harus menjalani amputasi tungkai kaki. Bahkan diabetes melitus membunuh lebih banyak dibandingkan dengan HIV-AIDS. Biasanya pasien yang meninggal bukan karena diabetesnya melainkan akibat komplikasi dari diabetes tersebut.Komplikasi pada penderita diabetes bisa menyerang pembuluh darah besar (makro) yang mengakibatkan penyakit jantung, stroke jika menyerang otak dan cacat atau amputasi kaki. Untuk pembuluh darah kecil bisa mengakibatkan kebutaan jika menyerang mata, dan gagal ginjal. Komplikasi yang lain bisa mengakibatkan impotensi pada pasien pria.

Pembahasan1. AnamesaDiabetes melitus bisa timbul akut berupa ketoasidosis diabetik, koma hiperglikemik, disertai efek osmotik diuretik dari hiperglikemia (poliuria, polidipsia, nokturia), efek samping diabetes pada organ akhir (retinopati, penyakit vaskular perifer, neuropati perifer), atau komplikasi akibat meningkatnya kerentanan terhadap infeksi (misalnya ISK, ruam kandida). Keadaan ini juga bisa ditemukan secara tidak sengaja saat melakukan pemeriksaan darah atau urin.Ketoasidosis diabetikKeadaan ini bisa terjadi sebagai manifestasi pertama diabetes melitus atau bisa juga terjadi pada pasien yang sudah diketahui mengidap diabetes melitus. Onset gejala bisa bertahap mulai dari haus dan poliuria. Gejala lain di antaranya adalah sesak napas, nyeri abdomen, mengantuk, bingung, atau bahkan koma. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-tanda asidosis (pemapasan cepat, Kussmaul [dalam dan panjang]), atau dehidrasi (disertai hipotensi, takikardia, dan penurunan TD postural), atau kerusakan diabetik yang sudah lama ada (misalnya retinopati, neuropati). HipoglikemiaHipoglikemia umumnya terjadi pada pengidap diabetes akibat pemberian insulin atau obat-obat yang bersifat hipoglikemik, atau dalam keadaan kekurangan asupan kalori. Bisa juga terjadi pada alkoholik, adanya tumor yang men- sekresi glukagon, malnutrisi, dan yang jarang teijadi, pada sepsis.Gejala hipoglikemia adalah rasa lapar, gelisah, ingin pingsan, takikardia, berkeringat, dan berbagai gejala neurologis mulai dari nyeri kepala, defisit neurologis, sampai koma. Pengenalan hipoglikemia dengan segera sangat penting agar pengobatan (glukosa intravena) bisa diberikan dan menghindarkan kerusakan neurologis yang ireversibel. Pada setiap pasien diabetes yang sakit berat dan pada setiap pasien koma atau mengantuk harus dilakukan pemeriksaan gula darah langsung di tempat tidur. Jika tak ada fasilitas pemeriksaan gula darah, glukosa harus diberikan untuk menghindari kerusakan neurologis dari hipoglikemia potensial. Sebagian pengidap diabetes sudah akrab dengan gejala hipoglikemia dan bisa mengoreksinya dengan makan. Riwayat penyakit dahuluApakah pasien diketahui mengidap diabetes? Jika ya, bagaimana manifestasinya dan apa obat yang didapat? Bagaimana pemantauan untuk kontrol: frekuensi pemeriksaan urin, tes darah, HbA1C, buku catatan, kesadaran akan hipoglikemia? Tanyakan mengenai komplikasi sebelumnya. Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hiperglikemia. Penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit vaskular perifer (klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus, perawatan kaki, impotensi), neuropati perifer, neuropati otonom (gejala gastroparesismuntah, kembung, diare). Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser. Hiperkolesterolemia, hipertrigliserida. Disfungsi ginjal (proteinuria, mikroalbuminuria). Hipertensiterapi. Diet/berat badan/olahraga.Obat-obatan Apakah pasien sedang menjalani terapi diabetes: diet saja, obat-obatan hipoglikemia oral, atau insulin? Tanyakan mengenai obat yang bersifat diabetogenik (misalnya kortikosteroid, siklosporin)? Tanyakan riwayat merokok atau penggunaan alkohol. Apakah pasien memiliki alergi?Riwayat keluarga dan sosial Adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga? Apakah diabetes mempengaruhi kehidupan? Siapa yang memberikan suntikan insulin/tes gula darah, dan sebagainya (pasangan/pasien/perawat)?Dari keluhan-keluhan tersebut dan dasar teori dari anamnesis, maka dapat diketahui data-data sebagai berikut.1. Keluhan utama gtu2. Riwayat penyakit dahulugtu3. Riwayat keluargaTidak diketahui4. Riwayat personal dan sosialgtu

2. Pemeriksaan a. Pemeriksaan fisik Apakah pasien sakit berat akut? Bagaimana kadar gula darahnya? PERIKSALAH! Apakah tercium bau keton? Adakah tanda-tanda takipnea atau pemapasan Kussmaul (cepat dan dalam)? Adakah tanda-tanda dehidrasi akibat hiperglikemia (takikardia, hipotensi, hipotensi postural, membran mukosa kering, turgor kulit menurun, dan sebagainya)? Apakah pasien mengantuk, bingung, atau koma? Bagaimana suhu tubuh pasien? Periksa sistem kardiovaskular: TD? Adakah tanda-tanda gagal jantung? Periksa vaskularisasi perifer untuk: nadi teraba, bruit? Periksa kaki untuk: ulkus, selulitis, neuropati (sensasi raba halus), tusuk jarum, monofilamen, rasa getar, rasa posisi sendi, refleks, dan neuropati otonom (TD postural, respons Valsalva). Periksa mata untuk ketajaman penglihatan dan respons pupil. Lakukan funduskopi untuk: perdarahan bintik + bercak, retinopati proliferatif, makulopati. Periksa setiap perubahan hipertensif. Periksa urin untuk: proteinuria, glukosa, keton. Cari dan obati komplikasi akut berbahaya dari diabetes melitus (misalnya hipoglikemia, ketoasidosis diabetik). Pertimbangkan infeksi atau pemicu kemunduran lain Periksa kerusakan organ-akhir akibat diabetes

b. Pemeriksaan penunjangWalaupun oleh masyarakat umum DM sering disebut sebagai penyakit kencing manis atau kencing gula, namun diagnosis DM harus ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan adanya glukosuria saja.a. Pemeriksaan Kadar Glukosa DarahPemeriksaan kadar glukosa darah dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring, pemeriksaan diagnosis, pemantauan hasil pengobatan dan pengendalian DM. Bahan Pemeriksaan Kadar Glukosa DarahBahan pemeriksaan yang dianjurkan untuk menentukan kadar glukosa darah adalah plasma darah vena dengan metoda pemeriksaan cara enzimatik. Pada kondisi tertentu di mana sulit mendapatkan darah vena, dapat juga dipakai darah kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnosis yang berbeda sesuai dengan pembakuan oleh WHO. Pemeriksaan dengan menggunakan serum sama baiknya dengan plasma bila serum dipisahkan dari darah lengkap dalam waktu kurang dari 1 jam. Glukosa dalam serum atau plasma yang disimpan pada suhu 4C dapat bertahan sampai 48 jam. Bila pemeriksaan dilakukan setelah 48 jam, akan diperoleh kadar glukosa yang lebih rendah secara bermakna.Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan menggunakan sampel darah vena mungkin akan berbeda dengan hasil pemeriksaan dengan menggunakan sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan karena kadar glukosa darah kapiler lebih tinggi 7-10 % daripada kadar glukosa darah vena. Pada keadaan puasa, perbedaan kadar glukosa darah vena dan arteri hanya 2-3 mg/dL, dan setelah makan perbedaan ini dapat mencapai 20-30 mg/dL. Kadar glukosa darah arteri dapat dianggap tidak berbeda dengan kadar glukosa darah kapiler.Kadar glukosa darah utuh (whole blood) dipengaruhi oleh nilai hematokrit dan jarak waktu melakukan pemeriksaan setelah pengambilan sampel darah. Kadar glukosa darah utuh dengan hematokrit yang tinggi akan lebih tinggi sedangkan kadar glukosa darah utuh dengan hematokrit yang rendah menjadi lebih rendah. Hal ini disebabkan kandungan air dalam sel darah merah sebanyak 73 % sedangkan kandungan air dalam plasma sebanyak 93 %.Kadar glukosa darah utuh berkurang sesuai dengan berjalannya waktu karena glukosa akan digunakan untuk metabolisme sel-sel darah (eritrosit, leukosit, trombosit) dan juga kuman. Kecepatan berkurangnya kadar glukosa darah utuh pada suhu kamar adalah 7 mg/dL/jam sedangkan pada suhu 4C sebanyak 2 mg/dL/jam. Oleh karena itu, bila pemeriksaan terpaksa ditunda dan tidak segera dilakukan maka darah utuh harus diberikan pengawet NaF sebanyak 2 mg/mL. Dengan penambahan NaF, pemeriksaan dapat ditunda sampai 48 jam. Nilai rujukan kadar glukosa darah tercantum pada Tabel-7.Tabel-1. Nilai Rujukan Kadar Glukosa DarahBahan PemeriksaanKadar Glukosa Sewaktu (GDS)Kadar Glukosa Puasa (GDP)

Plasma vena 45 tahun Berat badan > 110 % BB ideal atau Indeks Massa Tubuh (IMT) 23kg/m2 Hipertensi (Tekanan darah > 140/90 mmHg) Riwayat DM dalam garis keturunan Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gram Kadar kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau kadar trigliserida > 250 mg/dL.Bagi kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan penyaring negatif, pemeriksaan penyaring perlu dilakukan setiap tahun. Bagi mereka yang berusia di atas 45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 (tiga) tahun.Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring adalah kadar glukosa darah sewaktu dan kadar glukosa darah puasa. Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai pemeriksaan penyaring DM tercantum pada Tabel-9.Tabel-3. Penilaian Hasil Pemeriksaan Penyaring DMKadar Glukosa Darah (Plasma vena)Bukan DMBelum Pasti DMDM

Glukosa Darah Sewaktu200 mg/dL

Glukosa Darah Puasa126 mg/dL

d. Pemeriksaan Diagnostik DMDiagnosis klinis DM biasanya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain penderita adalah rasa lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita. Pemeriksaan diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM.Bila terdapat keluhan khas dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dL, maka diagnosis DM dapat ditegakkan. Bila tidak ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Pada keadaan ini perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi nilai abnormal pada hari yang lain, baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dL dan atau kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL.Pada penderita tanpa keluhan khas DM, bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dalam batas peralihan yaitu kadar glukosa darah puasa antara 110-125 mg/dL atau kadar glukosa darah sewaktu antara 110-199 mg/dL, harus dilakukan TTGO untuk memastikan diagnosis DM. Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO pada penderita tanpa keluhan khas DM yang hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa antara 110-125 mg/dL tercantum pada Tabel-4.Tabel-4. Hasil Pemeriksaan TTGO Tanpa Keluhan Khas DM dan Kadar Glukosa Darah Puasa 110-125 mg/dL.Kadar Glukosa Darah Puasa (mg/dL)Penilaian

< 140Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)

140-199Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)

>200Diabetes Melitus

Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO pada penderita tanpa keluhan khas DM yang hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu antara 110-199 mg/dL tercantum pada Tabel-5

Tabel-5. Hasil Pemeriksaan TTGO Tanpa Keluhan Khas DM dan Kadar Glukosa Darah Sewaktu 110-199 mg/dL.Kadar Glukosa Darah SewaktuPenilaian

(mg/dL)

< 140Normal

140-199Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)

>200Diabetes Melitus

3. Diagnosaa. Working diagnosis b. Differential diagnosis 4. Etiologi

5. Patogenesis5Patogenesis diabetes tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui meskipun tipe ini merupakan yang tersering ditemukan. Tidak ada bukti bahwa mekanisme autoimun berperan. Gaya hidup jelas berperan, yang akan jelas jika kegemukan dipertimbangkan. Meskipun dahulu dianggap sebagai penyakit orang dewasa, saat ini timbul kekhawatiran adanya peningkatan epidemik insidensi diabetes tipe ini pada anak-anak yang kegemukan, terutama di antara mereka yang berkulit hitam, keturunan Spanyol, Amerika asli, dan Asia.Pada tipe ini, faktor genetik berperan lebih penting dibandingkan dengan pada diabetes tipe 1A. Di antara kembar identik, angka concordance adalah 60% hingga 80%. Pada anggota keluarga dekat dari pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar nonidentik), risiko men-derita penyakit ini lima hingga sepuluh kali lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama)genetiknya, terutama dalam kaitannya dengan antigen MHC kelas II, kondusif bagi terjadinya autoimunitas.yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarga-nya. Tidak seperti diabetes tipe 1 A, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen HLA. Penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetik, masing-masing merrtberi kontribusi pada risiko dan masing-masing juga dipe-ngaruhi oleh lingkungan. Pemindaian genom terhadap pasien dan anggota keluarga mereka memastikart bahwa tidak ada satu pun gen yang berperan utama dalam kerentanan terhadap diabetes tipe 2. Saat ini sedang dilakukan penelitian besar-besaran terhadap beberapa regio genomik tempat keberadaan gen kandidat.Dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer berespons terhadap insulin (resistensi insulin) (Gbr. 17-9). Peran defek sekresi, dibandingkan dengan resistensi insulin, masih terns diperdebatkan dan mungkin sebenarnya berbeda-beda pada pasien yang berbeda dan pada stadium penyakit yang berlainan.Gangguan Sekresi Insulin pada Sel Beta. Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuan-titatif kurangberat dibandingkan dengan yang terjadi pada diabetes tipe 1. Pada kenvataannya, pada awal perjalanan penyakit, kadar insulin bahkan mungkin meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin. Namun, kecil kemungkinannya bahwa diabetes tipe 2 hanya disebabkan oleh resistensi insulin. Pada kasus yang jarang, mutasi di reseptor insulin menimbulkan resistensi insulin yang parah, yang jauh lebih berat daripada pasien dengan diabetes tipe 2. Namun, banyak pasien ini mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal karena sel beta normal dapat meningkatkan produksi insulin.Pada awal perjalanan diabetes tipe 2, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun, pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yangcepat) yang dipicu oleh glukosa menurun. Secara kolektif, hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan pada awal diabetes tipe 2, dan bukan defisiensi sintesis insulin.Namun, pada perjalanan penyakit selanjutnya, terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan sampai sedang, yang lebih ringan dibandingkan dengan diabetes tipe 1. Penyebab defisiensi insulin pada diabetes tipe 2 masih belum sepenuhnya jelas: Berdasarkan data mengenai hewan percobaan dengan diabetes tipe 2, diperkirakan mula-mula resistensi insulin menyebab-kan peningkatan kompensatorik massa sel beta dan produksi insulinnya. Pada mereka yang memiliki kerentanan genetik terhadap diabetes tipe 2, kompen-sasi ini gagal. Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terjadi kehilangan 20% hingga 50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Namun, tampaknya terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta. Dasar molekuiar gangguan sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa ini masih belum sepenuhnya dipahami. Penelitian terakhir menunjukkan adanya suatu protein mitokondria yang memisahkan respirasi biokimia dari fosforilasi oksidatif (sehingga menghasilkan panas, bukan ATP). Protein ini, yang disebut uncoupling protein 2 (UCP2), diekspresikan pada sel beta. Kadar UCP2 intrasel yang tinggi menumpulkan respons insulin, sedangkan kadar yang rendah memperkuatnya. Oleh karena itu, dihipo-tesiskan bahwa peningkatan kadar UCP2 di sel beta orang dengan diabetes tipe 2 mungkin dapat menjelas-kan hilangnya sinyal glukosa yang khas pada penyakit ini. Banyak perhatian dipusatkan pada masalah ini, karena manipulasi terapeutik (untuk menurunkan) kadar UCP2 dapat digunakan untuk mengobati diabetes tipe 2.Mekanisme lain kegagalan sel beta pada diabetes tipe 2 dilaporkan berkaitan dengan pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien diabetes tipe 2 ditemukan endapan amiloid pada autopsi. Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai respons terhadap pem-berian elukosa. Hinerinsulinemia vane disebabkan oleh resistensi insulin pada fase awal diabetes tipe 2 menyebabkan peningkatan produksi amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Yang lebih penting, amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel beta yang ditemukan pada kasus diabetes tipe 2 tahap lanjut.Resistensi Insulin dan Obesitas. Defisiensi insulin terjadi belakangan selama perjalanan penyakit diabetes tipe 2; namun, defisiensi ini tidak cukup besar untuk dapat menjelaskan gangguan metabolik yang terjadi. Bukti yang ada menunjukkan bahwa resistensi insulin merupakan faktor utama dalam timbulnya diabetes tipe 2.Sejak permulaan, perlu dicatat bahwa resistensi insulin adalah suatu fenomena kompleks yang tidak terbatas pada sindrom diabetes. Pada kegemukan dan kehamilan, sensitivitas insulin jaringan sasaran menurun (walaupun tidak terdapat diabetes), dan kadar insulin serum mungkin meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin tersebut. Oleh karena itu, baik obesitas maupun kegemukan, dapat menyebabkan ter-ungkapnya diabetes tipe 2 subklinis dengan meningkatkan resistensi insulin ke suatu tahap yang tidak lagi dapat dikompensasi dengan meningkatkan produksi insulin.Dasar selular dan molekuiar resistensi insulin masih belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin: jaringan lemak dan otot; di kedua jaringan tersebut insulin meningkatkan penyerapan glukosa, dan hati, tempat insulin menekan produksi glukosa. Seperti telah dibicarakan, insulin bekerja pada sasaran pertama-tama dengan berikatan dengan reseptornya. Pengaktifan reseptor insulin memicu serangkaian respons intrasel yang memengaruhi jalur metabolisme sehingga terjadi translokasi unit transpor glukosa ke membran sel yang memudahkan penyerapan glukosa. Pada prinsipnya, resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal (pascareseptor) yang diaktifkan oleh pengikatan insulin ke reseptornya. Pada diabetes tipe 2, jarang terjadi defek kualitatif atau kuantitatif dalam reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin diperkirakan terutama berperan dalam pem-bentukan sinyal pascareseptor.Untuk memahami dasar resistensi insulin, perlu ditekankan adanya hubungan antara kegemukan dan diabetes tipe 2. Seperti telah dinyatakan, obesitas berkaitan dengan resistensi insulin walaupun tidak terdapat diabetes. Oleh karena itu, tidaklah mengheran-kan bahwa obesitas adalah salah satu faktor risiko lingkungan yang penting dalam patogenesis diabetes tipe 2, dan diperkirakan berperan penting dalam meningkatnya insidensi diabetes bentuk ini pada anak. Untungnya, bagi banyak orang kegemukan dengan diabetes, penurunan berat dan olahraga dapat memulih-kan resistensi insulin dan eaneeuan toleransi elukosa.terutama pada awal perjalanan penyakit saat produksi insulin belum banyak terpengaruh.Bagaimana kegemukan berkaitan dengan resistensi insulin? Penelitian terakhir menunjukkan bahwa jaringan lemak bukanlah sekadar tempat penimbunan untuk trigliserida tetapi merupakan suatu jaringan "endokrin" aktif yang dapat berdialog dengan otot dan hati (dua jaringan sasaran insulin yang penting). Efek adiposit jarak-jauh ini terjadi melalui zat perantara yang dikeluarkan oleh sel lemak. Molekul ini meliputi faktor nekrosis tumor (TNF), asam lemak, leptin, dan suatu faktor baru yang disebut resistin. TNF, yang lebih dikenal karena efeknya pada peradangan dan imuni-tas, disintesis di adiposit dan mengalami ekspresi berlebihan dalam sel lemak orang yang kegemukan. TNF menyebabkan resistensi insulin dengan memengaruhi jalur-jalur sinyal pascareseptor. Pada kegemukan, kadar asam lemak bebas lebih tinggi daripada normal, dan asam lemak ini meningkatkan resistensi insulin melalui mekanisme yang belum sepenuhnya diketahui. Leptin adalah suatu hormon adiposit yang menyebabkan obesiivrs hebat dan resistensi insulin pada hewan pengeratyang tidak memiliki gennva (Bab 8). Pengembalian leptin ke hewan ini mengurangi obesitas dan, secara independen, resistensi insulin; karena itu, tidak seperti TNF, leptin memperbaiki resistensi insulin. Zat terakhir yang ditemukan dalam jaringan adiposa adalah resistin, yang diberi nama demikian karena zat ini meningkatkan resistensi insulin. Resistin dihasilkan oleh sel lemak, dan kadarnva meningkat pada berbagai model hewan pengerat untuk obesitas. Penurunan kadar resistin meningkatkan kerja insulin dan, sebaliknya, pemberian resistin rekombinan meningkatkan resistensi insulin pada hewan normal. Yang cukup menarik, efek terapeutik obat antidiabetes oral tertentu yang digunakan dalam penanganan diabetes tipe 2 pada manusia juga mungkin berkaitan dengan kemampuan obat tersebut memodulasi produksi resistin. Obat antidiabetes golongan tiazolidi-nedion berikatan dengan reseptor yang disebut peroxisome proliferator-activated receptor y (PPAR-y), yang diekspresikan di nukleus sel lemak. Dengan mengikat reseptor di adiposit, obat golongan tiazolidinedion me-ngendalikan transkripsi resistin atau gen sel adiposa lainnya yang memengaruhi resistensi insulin. Diperkirakan sinyal PPAR-y dalam mengendalikan resistensi insulin ditunjang oleh penelitian terhadap pasien yang mengalami mutasi loss-of-function di gen PPAR-y. Para pasien ini, yang jarang ditemukan, memper-lihatkan resistensi insulin dan mengalami diabetes. Oleh karena itu, pengaktifan reseptor PPAR-y oleh obat menurunkan resistensi insulin, dan mutasi yang meng-ganggu pembentukan sinyal PPAR-y meningkatkan resistensi insulin. Diperkirakan pemahaman yang lebih mendalam tentang jalur-jalur semacam ini dalam sel lemak dapat menghasilkan sasaran terapeutik baru untuk pengobatan diabetes tipe 2; sebagai salah satu contoh, obat yang menetralkan kerja resistin mungkin6. Penatalaksanaan4Penatalaksanaan diabetes melitus didasarkan pada (1) rencana diet, (2) latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik, (3) agen-agen hipoglikemik oral, (4) terapi insulin, (5) pengawasan glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri. Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikannya agar tercapai kontrol metabolik yang optimal. Pada pasien diabetes tipe 2 terdapat resistensi insulin dan defisisiensi insulin relatif dan dapat ditangani tanpa insulin.a. Medica mentosaPasien-pasien dengan gejala diabetes melitus tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjur-kan. Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfonilurea. Dua tipe pensensitif yang tersedia adalah metformin dan tiazolidinedion. Metformin yang merupakan suatu biguanid, dapat diberikan sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin menurunkan produksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan meningkatkan kepekaan insulin, khususnya di hati. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi glukosa hepatik. Efek obat-obatan ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktif-kan reseptor gamma (PPAR-gamma). Dua analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dan dengan dosis 4 hingga 8 mg/hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin. Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif.Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan cara-cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau Langerhans yang masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien dengan diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin, pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang merugikan akibat peng-gunaan agen-agen hipoglikemik oral dapat dilihat pada Tabel 63-2. Namun, sulfonilurea generasi kedua menyebabkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan campuran sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid, 2,5 hingga 40 mg/hari, dan gliburid, 2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama daripada glipizid, dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien-pasien dengan diabetes tipe 2. Untuk menurunkan peningkatan kadar glukosa pospran-dial pada pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial, yaitu penghambat alfa gluko-sida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan kompleks karbohidrat.b. Non-medica mentosaRencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori vang disarankan bervariasi, bergantung pada kebutuhan apakah untuk mempertahankan, menurunkan atau meningkatkan berat lubuh. Sebagai contoh, pada pasien obesitas, dapat ditentukan diet dengan kalori yang dibatasi hingga berat badan pasien turun hingga kekisaran optimal untuk pasien tersebut. Rencana diet harus didapat dengan terkonsultasi dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar dan berdasarkan pada riwayat diet pasien, makanan vang lebih disukai, gaya hidup, latar belakangbudaya, dan aktivitas fisik.Untuk mencegah hiperglikemia postprandial dan glikosuria, pasien-pasien diabetik tidak boleh makan karbohidrat bcrlebihan. Umumnya karbohidrat merupakan 50% dari jumlah total kalori per hari yang diizinkan. Karbohidrat ini harus dibagi rata sedemi-kian rupa sehingga apa yang dimakan oleh pasien sesuai dengan kebutuhannya sepanjang hari. Contohnya, jumlah yang lebih besar harus dimakan pada waktu melakukan kegiatan fisik yang lebih berat. Lemak yang dimakan harus dibatasi sampai 30% dari total kalori per hari yang diizinkan, dan sekurang-kurangnya setengah dari lemak itu harus dari jenis polyunsaturated. Sistem makanan penukar telah dikembangkan untuk membantu pasien mena-ngani dietnya sendiri. Sistem ini mengelompokkan makanan-makanan dengan kadar karbohidrat, protein, dan lemak yang hampir sama, sehingga kalori-nyapun sama. Cara ini akan memungkinan pasien "menukar" makanannya dengan makanan lain dalam kelompok yang sesuai. Pendekatan lain dalam merencanakan diet untuk menghitung karbohidrat dan disesuaikan dengan dosis insulin kerja pendek yang sesuai. Latihan fisik kelihatannya mempermudah transpor glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapat suntikan insulin, tidak mampu untuk memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa selama latihan fisik dapat menimbulkan hipoglikemia. Faktor ini penting khususnya ketika pasien melakukan latihan fisik saat insulin telah mencapai kadar maksimal atau puncak-nya. Dengan menyesuaikan waktu pasien dalam melakukan latihan fisik, pasien mungkin dapat meningkatkan pengontrolan kadar glukosa mereka. Contohnya, bila pasien melakukan latihan fisik saat kadar glukosa darahnya tinggi, mereka mungkin dapat menurunkan kadar glukosa ha'nya dengan latihan fisik itu sendiri. Sebaliknya, bila pasien merasa perlu melakukan latihan fisik ketika kadar glukosa rendah, mereka mungkin harus mendapat karbohirat tambahan untuk mencegah hipoglikemia.

7. EpidemiologiTingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2Vi kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes.Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol juga meningkat.Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihatber-akibat pada biaya pengobatan dan hilangnya pen-dapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskular.8. Prognosis DAFTAR PUSTAKA1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan Anamnesis. Dalam : At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-17.2. Santoso, mardi. Kardinata, henk. Yuliani I W. Buku panduan ketrampilan klinik (skills lab) jilid 4. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen krida Wacana;2008. h. 2-8.3. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins vol 1.ed. 7. Jakarta: EGC;2007.h. 332.4. Fakultas kedokertan universitas Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Indonesia;2006.h.1269-83.5. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins vol 2.ed. 7. Jakarta: EGC;2007.h. 845-50.6. Gueldner SH, Gabo TN, Newman ED, Cooper DR,editors. Osteoporosis. NY:LLC;2008.h.956

19