oleh h.imam moedjiono - journal portal

16
j JPI FIAI Jurusan Tarbiyah Volume VJ/I Tahun VI Juni 2003 46 Mohammad Natsir dikenal seba- gai seorang pemikir produktif dan juga salah satu tokoh Islam di abad ini. la lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Alahan Panjang Sumatera Barat dan meninggal dunia diJakarta 6 Februari 1993 (Luth, 1999: 27). Sebagai tokoh, sudah tentu semua sikap, tindak tanduk dan perjuangannya merupa- kan bagian integral dari proses interaksi pemikiran dengan situasi sosio-kultural yang pernah melatar belakangi kehidupannya.. Pemikiran seorang tokoh, tidak mungkin lahir dalam suasana kevakuman sosial, karena hal ini merupakan proses interaksi dalam menyikapi situasi yang terjadi. Dialektika antara potensi diri dengan situasi lingkungannya melahirkan corak pemikiran yang sesungguhnya. Demikian pula Natsir. Corak pemikirannya dapat diformulasikan jika dilacak melalui penelusuran asal- usul, pengalaman dan setting sosial yang pernah dilaluinya. Natsir tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat taat beragama yang sarat polemik dan wacana pemikiran. Begitu pula latar belakang pendidikannya yang mencerminkan perpaduan antara pendidikan sekuler dan Islam. Pola yang demikian telah membentuk karakter Natsir sebagai seorang yang berpengetahuan secara integral. Oleh H. Imam Moedjiono Dosen FIAt UII Yogyakarla Konsep Pendidikan Islam Telaah Pemikiran Pendldikan Mohammad Natsir Bermodalkan kecerdasan yang dimiliki serta ketekunannya belajar secara otod;dak, telah melahirkan kecermatannya dalam menganalisis dan menyikapi setiap problema sosial yang terjadL Daya kritisnya sangat tajam, terutama setelah mendapatkan bimbingan dari beberapa tokoh intelektual muslim handal ketika itu, seperti A. Hassan, Haji Agus Salim, Ahmad Soorkotti dan tokoh terkemuka lainnya. Dalam merefleksikan corak pemikiran, Natsir agaknya akan menimbulkan pemahaman parsial jika hanya dilihat dari satu sisi keilmuan, karenaprofilnya bukanlah tipe seorang pemikir murni. Bahkan lebih tepat dikatakan sebagai seorang pemikir reaktif rasionalistik. Hal ini terlihat dari gagasan yang dilontarkannya, terkesan lebih bersi1at responsif terhadap situasi sosio- kultural yang terjadi. Tanggapannya tidak mengacu pada suatu tema, melainkan sangat beragam dan kompilatif. Dengan pertimbangan demikian Yusrillhza Mahendra menye- butnya dengan pernlkir kompilatif fragmentaris (Mahendra, 1995:131). Mencermati karya tulisnya yang berjumlah sekitar 27 buku dan sejumlah artikel yang tersebar dalam berbagai mediamassa (sekalipun para peneliti berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah karya tulis Natsir. H.IMAM MOEDJIONO, KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

Upload: others

Post on 09-Nov-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

j

JPI FIAI Jurusan Tarbiyah Volume VJ/I Tahun VI Juni 200346

Mohammad Natsir dikenal seba­gai seorang pemikir produktif dan jugasalah satu tokoh Islam di abad ini. lalahir pada tanggal 17 Juli 1908 diAlahan Panjang Sumatera Barat danmeninggal dunia di Jakarta 6 Februari1993 (Luth, 1999: 27). Sebagai tokoh,sudah tentu semua sikap, tindaktanduk dan perjuangannya merupa­kan bagian integral dari prosesinteraksi pemikiran dengan situasisosio-kultural yang pernah melatarbelakangi kehidupannya..

Pemikiran seorang tokoh, tidakmungkin lahir dalam suasanakevakuman sosial, karena hal inimerupakan proses interaksi dalammenyikapi situasi yang terjadi.Dialektika antara potensi diri dengansituasi lingkungannya melahirkancorak pemikiran yang sesungguhnya.Demikian pula Natsir. Corakpemikirannya dapat diformulasikanjika dilacak melalui penelusuran asal­usul, pengalaman dan setting sosialyang pernah dilaluinya.

Natsir tumbuh dan berkembangdalam lingkungan masyarakat taatberagama yang sarat polemik danwacana pemikiran. Begitu pula latarbelakang pendidikannya yangmencerminkan perpaduan antarapendidikan sekuler dan Islam. Polayang demikian telah membentukkarakter Natsir sebagai seorang yangberpengetahuan secara integral.

Oleh H. Imam MoedjionoDosen FIAt UII Yogyakarla

Konsep Pendidikan IslamTelaah Pemikiran Pendldikan Mohammad Natsir

Bermodalkan kecerdasan yangdimiliki serta ketekunannya belajarsecara otod;dak, telah melahirkankecermatannya dalam menganalisisdan menyikapi setiap problema sosialyang terjadL Daya kritisnya sangattajam, terutama setelah mendapatkanbimbingan dari beberapa tokohintelektual muslim handal ketika itu,seperti A. Hassan, Haji Agus Salim,Ahmad Soorkotti dan tokoh terkemukalainnya.

Dalam merefleksikan corakpemikiran, Natsir agaknya akanmenimbulkan pemahaman parsial jikahanya dilihat dari satu sisi keilmuan,karenaprofilnya bukanlah tipe seorangpemikir murni. Bahkan lebih tepatdikatakan sebagai seorang pemikirreaktif rasionalistik.

Hal ini terlihat dari gagasan yangdilontarkannya, terkesan lebih bersi1atresponsif terhadap situasi sosio­kultural yang terjadi. Tanggapannyatidak mengacu pada suatu tema,melainkan sangat beragam dankompilatif. Dengan pertimbangandemikian Yusrillhza Mahendra menye­butnya dengan pernlkir kompilatiffragmentaris (Mahendra, 1995: 131).

Mencermati karya tulisnya yangberjumlah sekitar 27 buku dansejumlah artikel yang tersebar dalamberbagai mediamassa (sekalipun parapeneliti berbeda pendapat dalammenetapkan jumlah karya tulis Natsir.

H.IMAM MOEDJIONO, KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

47JPI FlAI Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 2003

Pengertian "menyembah Allah"dalam konteks tujuan hidup memiliki

. makna yang sangat luas. Hal ini bisamencakup ibadah khusus (hablumminAllah) dan ibadah umum (hablumminal-khalqiah) melalui aktivitas yangmemposisikan manusia sebagaikhalifah Tuhandi dunia .

Menurut Natsir, pengertianpenyembahan secara spesifik dalampendidikan adalah: "melengkapiketaatan dan ketundukan manusiakepada semua perintah lIahi, yangmembawa kejayaan duniawi dankemenangan ukhrawi, serta menjauh­kan diri dari segala larangan yangdapat menghalangi tercapainyakemenangan dunia dan akhirat itu"(Natsir,1954: 58).

Dengan demikian urgensipenyembahan bukanlah untukkepentingan Allah karena, Allah tidakmembutuhkan sesuatu apapun darimakhluk-Nya, tapi merupakan"kebutuhan dasar" bagi manusiadalam upaya pembebasan daripenghambaan diri dan rasaketergantungan terhadap sesamamakhluk Tuhan yang terkadang lebihrendah martabatnya darimanusia.

. Di sisi lain, Natsir menambahkanbahwa untuk dapat meraih kemenang­an hidup dunia dan akhirat, harusdidukung dengan penguasaan i1mupengetahuan, karena hal ini dapatmembuat posisi seseorang menjaditerhormat, baik di sisi Allah maupun disisi sesama makluk. Untukmelengkapipendapatnya, Natsir mengutip firmanAllah yang artinya :

"Bahwa sesungguhnya orang­orang yang sebenarnya takutkepada Allah adalah hamba­hamba-Nya yang mencintai ilmu,sesungguhnya Allah itu maha

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN ISLAM

Konsep Pendidlkan IslamMohammad Natsir

Menurut Natsir, pendidikan adalahsuatu pimpinan jasmani dan rohanimenuju kesempurnaan dan lengkap­nya sifat-sifat kemanusiaan dalam artisesungguhnya. Sedangkan kata"pimpinan" dalam konteks pendidikandi atas mengandung dua unsur pokok,yakni unsur "tujuan" yang berfungsimengarahkan proses pendidikan danunsur "satu asas" sebagai tempatmendasarkannya (al-Abrasyi, tt: 7).

"Tujuan" pendidikan, menurutNatsir tidak dapat dipisahkan daritujuan hidup manusia, yakni "menye­mbah Allah". Pertimbangan Natsirkarena hakekat pendidikan merupa­kan upaya merealisasikan tujuanhidup manusia dalam arti yangsesungguhnya, sehingga inherendalam tujuan hidup tersebut.

Ada yang mengatakan 20 buah danyang lain mengatakan 27 buah danperbedaan itu disebabkan banyaktulisan Natsir yang diterbitkan dalamsuatu judul kemudian dihimpunkembaJi oleh penerbit yang laindengan judul yang berbeda (AbibullahOjaini Pengantar, dalam AnwarHaryono, 1996.: xii), lingkuppemikirannya yang dominan dapatdiklasifikasikan ke dalam beberapadisiplin keilmuan. Hal dimaksud dapatmeliputi teologi, syari'ah, pendidikan,politik, dan dakwah.

Sedangkan pemikiran lainnyaseperti filsafat, tasawuf, sejarah danperbandmqan agama lebih merupa­kan fragmentasi dalam melengkapicorak pemikiran di atas. Tulisansederhana ini akan melihat salah satupemikiran Natsir yakni di bidangpendidikan Islam.

JPI FIAI Jurusan Tarbiyah Volume VfJ/TahunVI Juni 200348

pada tahun 1980. Inti pendidikan Islamharus ditujukan ke arah tercapainyapertumbuhan yang berkeseimbangandari seluruh kepribadian manusia,melalui latihan spiritual, kecerdasan,perasaan, dan pancaindera.

Oleh karenanya, pendidikan Islammestinya dapat memberikan pelayan­an pada pertumbuhan manusia dalamsemua aspek kehidupan yang meJiputiaspek spiritual, intelektual,· imajinasi,jasmaniah, i1miah, Iinguistik, baikindividual maupun kolektif, sertamendorong ke arah kebaikan danpencapaian kesempurnaan agarterlaksana aktivitas pengabdiankepada Allah SWT, sesuai tuntunanyang telah digariskan Islam (Arifin,1991: 132).

Berkait dengan "asas" pendidikanIslam, Natsir secara tegas membeda­kan antara asas sebagai dasarpendidikan Islam dengan sumberpendidikan Islam. Menurutnya asaspendidikan Islam hanya "Tauhid". Inimenjadi pangkal dalam berbuat dantempat kembalinya semua amalperbuatan. Sedangkan sumberpendidikan yang merupakan saranamendapatkan ilmu pengetahuan dapatdlklastttkastkan ke dalam tigatingkatan, yakni al-Ouran, al-Sunnahdan /jtihad. al-Qur'an dan al-Sunnahsebagai sumber iJahiah memilikikebenaran mutlak, sedangkan ijtihadsebagai sumber insaniah, tingkatkebenarannya dibatasi oleh tempatdan masatertentu.

Untuk mendukung argumentasi­nya, Natsir seringkali mengutip hadistentang peristiwa yang terjadi ketikaRasulullah mengutus Muazd ibn Jabalmenjadi qadhi di Yaman; Rasulbertanya: Dengan apa kamu menja­tuhkan suatu hukum?, Muazd

Bertolak dari ayat di atas,kecintaan dalam menuntut ilmumerupakan bagian dari penyembahandiri kepada Allah sekaJigus menjadisalah satu tujuan pendidikan yangdiinginkan Islam

Menurut Natsir,tujuan pendidikanIslam secara khusus adalah menum­buhkembangkan potensi manusiamenjadi makhIuk yang selaIu beradadalam keseimbangan perkembanganjasmani dan rohaninya, pertumbuhanakal dan budi pekertinya, antara ilmudan imannya, ikhtiar dan do'anya,hubungannya dengan sesamamakhIuk beserta alamsekitarnya, sertahubungannya dengan penciptaseluruh alam semesta, yakni AllahRabbal-alamin (Natsir, 1988 :324)

Berkait dengan tujuan pendidikansebagaimana yang diungkapkan diatas, dalam pandangan Natsir setiappeserta didik memiJiki potensi dasaryang berbeda antara satu dan Jainnya.Potensi tersebut dapat tumbuh danberkembang secara dinamis, baik kearah yang positif maupun ke arah yangnegatif. Inti proses pendidikan terletakpada upaya menumbuhkembangkanpotensi secara optimal dan seimbangke arah yang baik, Sedangkan basilyang ingin dicapai adalah terbentu­knyamanusia yang memiliki integritas.pribadi utuh dan dapat memberikankebermaknaan hidup bagi dirinya,keluarga, masyarakat dan alarnlingkungan sekitar (Natsir,1988: 324).

Konsep dan tujuan pendidikanIslam sebagaimana diformulasikanNatsir, sejalan dengan rumusan hasilkongres pendidikan Islam seduniayang diselenggarakan di Islamabad

berkuasa dan maha pengampun"(Q.S,35 :28)

H. IMAM MOEDJIONO, KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

49JPI FIAt Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 2003

untuk dapat: meraih kemenanganduniawi dan kebahagiaan ukhrawi,setiap umat Islam dituntut menguasaii1mu pengetahuan, sesuai bakat danminatnya, baik secara akademismaupun keahlian profesional. Dariberbagai keahlian itulah, padagilirannya umat Islam akan dapatmenguasai ilmu pengetahuan secarakaffah (komprehensif) (Natsir, 1970 :25).

Menurut Natsir, dalam menuntutilmu pengetahuan Islamtidak memilahpersoalan duniawi dan ukhrawi secaradikotomis. 8egilu pula antara aspekjasmani dan rohani, karena hal itubukanlah dua hal yang bertentangansehingga harus dipisahkan, melainkandua serangkai yang saling melengkapidan lebur dalam suatu susunan yangharmonis dan seimbang (Natsir,1954 :61)

Islamtidak membedakan ilmu darisegi nilainya, yang dibedakanhanyalah penamaan ilmu sebagaisuatu disiplin keahlian. Menuntut i1mudalam tingkat kebutuhan dasar adalahfardhu 'ain (kewajiban individual).Namun ketika ingin mendalami ilmusecara takhassus, sesuai denganminat dan bakat, termasuk menyedia­kan ulama yang benar-benar pahampermasalahan agama, guna memberi­kan peringatan pada umat, hal itumenjadi fardhu khifayah, karena tidakmungkin setiap orang dapatmendalami semua disiplin ilmutersebut (Natsir, 1969: 24).

Begitu pula dengan berbagaidisiplin ilmu lainnya. Menurut Natsir,ilmu-ilmu dasar tersebut di sampingmencakup persoalan-persoalanmendasar dalam aspek akidah,ibadah, muamalah dan akhlak,meliputi pula aspek i1mu-ilmu alat

PARADIGMABARU PENDIDIKAN ISLAM

menjawab, saya memutuskannyadengan kitab Allah. Kalau kamu tidakmendapatkannya?, dengan surinahRasulullah. Kalau kamu masih tidakmendapatkannya? Saya akanmelakukan ijlihad dengan akaI sayadan saya tidak akan berputus asa(Natsir,1981 :244)

Menurut Natsir, dalam menyele­saikan realitas kehidupan yang multikompleks, sumber yang berasal dariayat al-Our'an dan al-Sunnah sangatsedikit, semenlara permasalahanyangd ihadapi selaJu dinamis danberkembang. Untuk mengatasi haldemikian diperlukan keberanianmelakukan ijtihad. .

Dalam pemahaman Natsir,wilayah ijtihad sangat luas, yaknimencakup seluruh persoalan kehidup­an manusia, yang belum diatur secaraqafi dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.Untuk mendukung alasannya, Natsirmengutip hadis yang berasal dariAnasibn Malik dan dirawikan oleh Iyluslimyang artinya :Kamu lebih tahu tentangurusan duniamu dari padaku, dan akulebih tahu urusan akhiratmu dari padakamu (Natsir, 1988: 247).

Untuk merealisasikan tujuanpendidikan, sebagaimana diungkap­kan di atas, Islam mewajibkan setiapindividu (fardhu'ain) untuk menggaliilmu pengetahuan, yang disebutnyadengan istilah "ulum el-dien". Dalam. pemahaman Natsir, ilmu yangtermasuk "dien" bukanlah sebatasilmu-ilmu keislaman saja, tapimencakup pula semua disiplin ilmuyang mendatangkan manfaat,termasuk ilmu-ilmu umum, karena. semua ilmu berasal dari Tuhandanuntuk tujuan untuk kemaslahatanmanusia khususnya dan kelestarianalam pada umumnya. Begitu pula

JPI FIAI JUTUsan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 200350

metafisik, dengan proses olah pikirmemahami ayat-ayatTuhan,baik yangtertulls maupun yang tidak tertulis.

Di sisi lain, qalbu bukanlah untukmencari dan membuktikan sesuatu.Akan tetapi wilayah rasa, dapatmerasakan i1muyang baik dan burukmelalui proses pensucian jiwa. Natsirmenilai, indera, aka I dan qalbubukanlah instrumen yang terpisah danberdiri sendiri, melainkan salingberkaitdan melengkapi.

Indera mengantarkan akalmengenal alam luar, sedangkan akaldapat memahami sesuatu, sementarahati dapat merasakan kebermaknaansesuatu yang telah ditemukan akaltersebut (Natsir,1981:13).

Untuk dapat mengembangkani1mu pengetahuan secara sistimatisdan komprehensif, diperlukan coraklembaga pendidikan yang lebihvariatif, bisa berbentuk lembagapendidikan keagamaan dan dapatpula Jembagapendidikan umum. Bagilembaga pendidikan keagamaanidealnya berorientasi pada pembinaanliyatafaqqahu fi al-ddin (ulama), yakniorang yang benar-benar memahamipersoalan, seluk-beluk keislaman dankemampuan dasar pengetahuanumum sebatas kebutuhan individual.

Lembaga pendidikan umumsemestinya dapat melahirkan ululalbab (intelektual) yang mampumembuktikan, bahwa semua clptaanTuhan tidak ada yang sia-sia bagimanusia. Namun demikian harus pulamelengkapi pengetahuan dasarkeagamaan, sehingga dapat mene­rapkan nilai-nilai akhlaq al-karimah ,.dalam sikap dan semua tindakannya.

Dalam proses transformasi i1mu,Natsir berpendapat bahwa opti­rnalisasl pengembangan minat dan

Untuk mendapatkan ilmupengetahuan, hanya dua instrumenyang dapat digunakan, yakni inderawidan akal, Melalui inderawi dapatdiketahui ilmu-ilmu yang bersifatkonkrit, sedangkan melalui akaI dapatdiketahui ilmu-ilmu yang bersifat

D FardukhifayahM~ Fardu'ain

Cits~~, -- ~ cuE' coCIl en L..~ 0

C) .::.::. 0~ w en c=CD ~::.::: :::::s :::::s E:::::sE E E :::::s

:c

berupa membaca, menulis danberhitung. Dari i1mu dasar inilahberkernbanq ke arah takhassus(profesional) sesuai titrah yang dimilikimasing-masing individu..

Dalam mengembangkan ilmu­ilmu takhassus,Natsir menam-bahkan,secara simbolik idealnya ada sego­longan umat Islamyang bermazhab keLeiden, Paris, London dan Berlin.Namun ada pula hendaknya golonganintelegensia lain yang berpedoman keKairo, Mekah,Aligarh dan Delhi. Keduagolongan itu berhak mendapatkanpenghargaan yang sama (Natsir, 1969: 71).

Bertolak dari pemahaman Natsirtentang ilmu pengetahuan sebagaima­na diungkapkan di atas, secara hukummencari ilmu pengetahuan, agaknyadapat digambarkan dalam sebuahparadigma berikut ini :

H. IMAM MOEDJIONO, KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

51JPI FIAI Jurusan Tarbiyah Vo{ume VIII Tahun VI Juni 2003

bakat peserta didik harus mendapat _ Bertolak dari Jandasan di atas,perhatian serius. Hal ini mengingat, maka daJam tataran implementatifpeserta didik adalah manusia yang terlihat Natsir mengutip pendapat

. selalu hidup secara dinamis, di Muhammad Abduh, tentang perlunyasamping mempunyai sifat-sifatumum, proses transformasi ilmu pengetahuanmasing-masing juga memiliki sifat dan terhadap peserta did ik, yang harustabiat khusus (Natsir, 1981 : 82). Hal disesuaikan dengan tingkat perkem­inilah yang mendorong perlunya bangan intelektualnya. Menurutnyapenyediaan berbaqal alternatif dalam melakukan proses tranformasiJembagapendidikan. i1mu, idealnya disesuaikan dengan

Dalam aspek metodoiogis, proses tingkat perkembangan kecerdasan­transformasi ilmu pengetahuan,. dapat nya,pula diberikan secara variatif sesuai Terhadap peserta didik yangkebutuhan dan tingkat perkembangan masih dangkal pengetahuan danintelektual peserta didik. Hal tersebut rendah analisanya, dapat dilakukanmenurut Natsir sudah diisyaratkan metode mau-izah (tuntunan) yangdalam surat al-Nahl ayat 125 yang dibarengi 'uswah (memberikan contohartinya: keteladanan). Sedangkan peserta

Serulah kepada jaJan Tuhanmu didik yang sudah mampu melakukandengan hikmah, dan mau'izah analisis sebuah pemikiran, dlperquna­(nasehat-nasehat yang baik) dan kan metode mujadaJah(diskusi), yangbermujadalah (bertukar pikiran) sasaran pengembangannya adalahdengan cara yang lebih baik,... " kreativitasberfikir.(Natsir,1981 : 161). Sedangkan bagi kaJanganpesertaDari ayat di atas, tergambar didik yang cerdas dan sudah tinggi

secara umum proses transformasi ilmu pengetahuannya, sehingga mampupada peserta didik dapat ditempuh memahami persoalan-persoalanmelaJui tiga tingkatan, yakni metode abstrak, dapat dihampiri denganhikmah, mau'izah dan mujada/ah. metode hikmah, yang sasarannyaKetiga metode tersebut lebih bersifat difokuskan pada kemandirian danlandasan normatif. Jika diterapkan keberanian mengambil keputusan.dalam tataran praksis, prinsip-prinsip Pemahaman Natsir demikian terlihatmetode di atas dapat dikembangkan dalam pernyetaannyasebaqai berikut:dalam berbaqai model sesuai Pertama, terhadap golongankebutuhan. cendekiawan yang cinta kebenaran,

Untuk melengkapi landasan sudah dapat berfikir secara kritis dannormatif tersebut, dalam konteks lebih cepat serta dapat menangkap maknaspesifik, Natsir melengkapi pendapat- sebuah persoalan, semestinyanya dengan mengutip pesan Rasulu- dipergunakan "metode hikmah", yaknilIahmelalui sebuah hadis shahih yang memberikan argumentasi dengan dalilartinya .:"Kami diperintahkan supaya dan hujjah yang dapat diterima olehberbicara kepada menusie menurut kekuatan akal,kadar perkembangan akaJ (kecerdas- Kedua, terhadap golongan awam,an) mereka masing-masing" (Natsir, yakni orang kebanyakan yang belum1981 : 162). mampu berpikir kritis dan mendalam,

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN ISLAM

JPJFIAI Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 200352

umum misalnya. setiap peserta didikdibekali ilmu-ilmu dasar dan ilmu alatuntuk kebutuhan individual dalamberhubungan dengan Khaliknya danberinteraksi dengan lingkungannya.Sedangkan ilmu-ilmu khusus, semesti­nya setiap lembaga pendidikan, disamping dapat mengembangkanpendidikan takhassus dapat pulamemilih salah satu pengetahuanketrampilan yang dapat dijadikanbeka! penghidupan bagi peserta didik.setelah menamatkan pendidikannya.Dengan demikian akan tertanam sikapkemandirian, dalam menyikapi realitaskehidupan

Konsep pendidikan integral rrusudah dicanangkan Natsir sejakmasih menjadi pimpinan yayasanPendidikan Islam di Bandung yangprogramnya dapat dicermati sebagaiberikut:1. Menyediakan kekurangan lemba­

ga pendidikan bagi anak-anakmuslim, mengingat akan kehaus­anmasyarakatterhadap pengajar­ansemakin tinggi.

2. Mengatur peJajaran yang akandiajarkan kepada peserta didik,agar berdasarkan dan ber-rohkepada Islam, baik secara teoritismaupun dalam bentuk praktis.

3. Mengatur segala proses pendidi­kan yang akan diberikan agarselalu menjaga peserta didikjangan sampai bergantung padamakan gaji atau perburuhanketika menamatkan pendidikan­nya, untuk itu ikhtiar yang harusdiiakaukan adalah membekalinyauntuk dapat bekerja dengankemampuan sendiri (Ajib Rosidi,1990: 169).Berkait dengan ilmu-ilmu dasar,

menurut Natsir suatu hal yang tidak

belum dapat menangkap pengertianyang tinggi-tinggi,. harus didekatidengan metode maidzatun hasanah,yakni anjuran dan didikan yang baik­baik danmudah dipahami.

Ketiga, terhadap golonganmenengah, yang tingkat kecerdasan­nya antara ke dua tingkat sebagaima­na disebutkan di atas, belum dapatdicapai dengan metode hikmah dantidak sesuai pula dengan mauizah,tapidengan metode mujada/ah billati hiyaahsan, yakni dengan bertukar pikiransecara dialogis, guna mendorongnyaberfikir sehat (Natsir,1981 : 162).

Dari beberapa metode yangdiungkap-kan di atas, terlihat metodehikmah lebih berorieantasi padakecerdasan dan keunggulan. Metodeini rnernillki cakupan yang sangat luas,meliputi kernarnpuan memilih saatyang tepat untuk melangkah, mencarikontak dalam alam pemikiran gunadijadikan titik bertolak, kemampuanmemilih kata dan cara yang tepat,sesuai dengan pokok persoalan,sepadan dengan suasana sertakeadaan orang yang dihadapi (Natsir,1981: 225).

Natsir menambahkan, bahwaimplikasi metode hikmah akanmenjelma dalam sikap dan tindakanberupa: qaulan syadid, qaulun ma'ruf,qaulim baligh berupa hajrun jamil,uswah hasanah dan lisen ai-hal (Natsir,1981 :225).

Dari aspek kurikulum pendidikan,maka seperangkat mata pejajaranyang diberikan pada peserta didik,semestinya dapat disusun dandikembangkan secara integral,dengan mempertimbangkan kebutuh­an umum dan kebutuhan khusus,sesuai potensi yang dimiliki pesertadidik. Dalam aspek kepentingan

H. IMAM MOEDJIONO, KONSEP PENDIDlKAN ISLAM

53JPI FIAt Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 2003

Pertimbangan Natsir di atasdidasarkan pada realitas sejarahbahwa Islam yang menggunakanbahasa Arab pada periode klasikpernah merai h kejayaan danmenguasai peradaban dunia, telahmewariskan khazanah pengetahuandalam berbagai disiplin ilmu yangmenjadi pangka[ tolak bagi kebangkit­an peradaban moderen. Hal ini terlihatdari pernyataannya bahwa:

"Ka/aukitameninjau perpustakaanIslam yang telah tumbuh danberkembang dari abad ke abad,semenjak a/-Farabi, Ibn Sina, IbnRusyd, Ibn Khaldun dan lain­la;nnya, maka tidak berlebihankiranyakita berkata bahwa bahasaArab ltu a dalah beh es ekomunikasi, bahasa fa/safah,bahasa ilmupengetahuan, pendekkata bahasa kebudayaan" (AjibRosidi, 1990: 320). .Untuk menumbuhkembangkan

minat dan kemampuan pengua-saanbahasaArab di kalangan pesertadidik,Natsir menawarkan perlunya adasuatu Jembaga khusus yang dapatmengkaji dan mendalami bahasaArabdari berbagai aspeknya, sehinggabenar-benar mampu menggali ilmuagama dan rahasia-rahasianya darisumber aslinya, hal itu sangatdiperlukan untuk memenuhi tuntutankebutuhan hidup umat Islam dariberbagai lapisan (Ajib Rosidi, 1990 :320).

Menyikapi kurikulum pendidikanIslam yang berlaku ketika itu, Natsir

sum, dar; yang bersifat maddahsampai pada yang bersifatmaknawi, ya;.. ma/ahan lebih kayadari bahasa£ropah yang manapunjua" (AjibRosidi, 1990: 210).

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN ISLAM

dapat diabaikan adalah penguasaanilmu bahasa, karena bahasa merupa­kan prasyarat awal untuk dapatmemahami dan menggali berbagaiilmu pengetahuan. Natsir menegas­kan: ''Ada tiga bahasa yang idealnyadapat dikuasai peserta didik, yaknibahasa Indonesia, bahasa Arab danbahasa Inggeris. Bahasa Indonesiamerupakan bahasa pengantar yangsemestinya dipergunakan dalamberkomunikasi dan tempat mengamal­kan ilmu yang diperoleh. Bahasa Arabmerupakan kunci khazanah ilmu-ilmukeislaman, sedangkan BahasaInggeris merupakan khazanah ilmu­ilmu moderen dan teknologi (AjibRosidi, 1990: 32). .

Khusus bagi lembaga pendidikanPondok Pesantren, dalam pandanganNatsir bahasa Arab semestinyamendapatkan perhatian serius, karenabahasa Arab tidak hanya sekedarbahasa kitab suci al-Our'an dan al­Sunnah, tapi sudah merupakanbahasa kebudayaan, Banyak mutiarapemikiran yang sangat berharga padaperi ode kejayaan [slam yangbe[akangan menjadi terabaikankarena kurangnya rninat dari kalangangenerasi muda Islam untuk menelaahkembali. Hal tersebut tidak ter[epasdari rendahnya kemampuan pengua­saan bahasa Arab. Dalam sebuahpernyataannya Natsir menegaskan :

"BahasaArab itu bukanlah bahasaagama semata-mata, bukan suatudialek, bukan bahasa salah satuprovinsi, akan tetapi satu bahasadunia, satu bahasa kebudayaan,satu bahasa pemangku kecerdas­an, kunci bermacam pengetahuandan kayarayauntukmengutarakansuatu paham ataupengettian, dariyang mudah sampai pada yang

JPJFIAI Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 200354

Menurut Mohammad Natsir,lembaga pondok pesantren idealnyatidak ·hanyasekedar tempat menimbailmu pengetahuan, tapi sekaligusmenjadi tempat beribadah, tempatmenempa diri, tempat latihanbermasyarakat dan lingkungan kearah tercapainya nilai-nilai islamisecara komprehensif. Dengandemikian, keberadaan pesantrenbenar-benar relevan dengankebutuhan umat yang selalu dinamisdan berkembang. Tugas pesantrenadalah menghidupkan kembalidinamika. Nilai-nilai kepesantrenandalam segala lini kehidupan. Yangdimaksud nilai-nilai kepesantrenanoleh Natsir adalah seperangkat tatanilai yang menjadi pusat orientasi,sumber motivasi serta menjadi dasardan acuan bagi seluruh kegiatan dankehidupan di Iingkungan pondokpesantren, nilai dimaksud adalah"tauhid". Bertolak dari hal demikian,maka impJikasinya harus tercermindalam perumusan tujuan pendidikan,penyusunan kurikulum pendidikan,penentuan metode pendidikan,penciptaan lingkungan pendidikandan pandangan terhadap konsep ilmupengetahuan harus berorientasi padanilai "tauhid" tersebut (Natsir, 197015-16).

Menurut Natsir,nilai-nilai kepesan­trenan yang bersumber pada aqidahtauhid akan melahirkan kesadaranberibadah, yang pada gilirannya akanmampu mempertajam kecerdasanpemikiran dan kepekaan jiwa sehinggamelahirkan keikhlasan dalam setiaptindakan. Hal ini pada gilirannya akandapat membantu setiap individu dalammemecahkan masalah-masalah yangberkembang di masyarakat kearahyang diinginkan Islam.

terlihat mengeritiknya karena dinilai­nya terlaJu sarat dengan matapeJajarandan hafalan. Menurut Natsiridealnya kurikulum tersebut dapatdisederhanakan. Mata pelajarandimaksud tidak perlu terlalu banyak,tapi lebih sistimatisdan terarah, karenatidak mungkin semua peserta didikmenguasai seluruh ilmu pengetahuan.Yang perlu dibekali peserta didikadalah rumpun ilmu yang diminatinya,kemudian didukung dengan pengua­saan bahasayang baik padagilirannyaperserta didik dapat mengkembang­kan ruh intiqad terhadap ilmupengetahuan yang dimilikinya.

Dalam aspek kelernbaqaan,Menurut Mohammad Natsir, ada tigapilar lembaga pendidikan Islam yangsemestinya mendapatkan perhatianserius dan dikembangkan secarasistemik, yakni "pondok pesantren","masjid" dan "kampus". Pesantrensebagai pilar pertama, maJahandisebut Natsir 'sebaqal "bentengterakhir umat Islam", lembaga tersebutmerupakan sarana pendidikan danpengembangan masyarakat yangselarna ini didirikan dan dikelola olehmasyarakat secara mandiri, yangsasarannya . dapat mengoptimalkanpotensi peserta didik ke arahtercapainya tafaqquh fi al-ddin (ulama).Sistem pendidikan pondok pesantrenini idealnya bersifat terbuka denganmenawarkan "kebebasan yangberdisiplin" dalam bidang keilmuan(Chirzin dalam Endang SyaifuddibnAnshari dan Amin Rais, 1988 : 102).Pola yang demikian akan mendorongpeserta didik untuk berani melakukanijtihad dan terhindar sikap fanatismemazhab yang berkembang dalamIslambelakangan ini.

H. IMAM MOEDJIONO, KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

55JPI FIAI Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 2003

mampu menjangkau seluruh kebutuh­an masyarakat, terutama dalampembinaan dan pengembanganakhlak. Dengan demikian, maka fungsimasjid tidak hanya sekedar tempatshalat, tapi adalah lembagapendidikan non formal dalammembimbing proses perhambaan diripada Allah dalam artian yang seluas­luasnya. Sebagai lembaga pendidikannon formal, maka aktivitas masjididealnya dapat menutup kekuranganyang dirasakan dalam lembagapendidikan formal yang fokusnya lebihdiarahkan pada pembinaan ibadahdan pembentukan akhlak masyarakat.Untuk Jebih efektifnya fungsi masjidtersebut, maka idealnya di setiaplembaga pendidikan Islam .1ersediasarana ibadah berupa masjid.

Pilar ketiga dalam pendidikanIslam adalah kampus. Yang dimaksuddengan kampus oleh MohammadNatsir adalah lembaga pendidikantinggi, baik perguruan tinggi umummaupun keagamaan. Fungsi lembagaini lebih diarahkan pada pembentukanulul albab (intelektual muslim) yangmenguasai berbagai disiplin ilmu, baiksecara akademik maupun profesional,yang meliputi ilmu-ilmu eksakta, sosialdan humaniora. Perbedaan kampusdengan pondok pesantren dalampandangan Natsir adalah terletak padaproses pencarian ilmu dan sasaranyang ingin dicapai. Pesantren lebihberorientasi pada pemahaman ilmukeislaman untuk diamalkan dalamkehidupan seharl-han, sedangkankampus lebih menekankan padapencarian dan pengembanganwacana ilmu pengetahuan. Kebebas­an yang dikembangkan adalahkebebasan yang berdisiplin danbertanggung jawab. Untuk tercapai

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN ISLAM

Dari berbagai lembaga pendidik­an Islam yang tersedia, Natsir memilikiperhatian serius terhadap keberadaanpondok pesantren. Posisi pesantrendalam pandangannya tidak dapatdigantikan oleh lembaga pendidikanlain, termasuk madrasah, lAIN danberbagai perguruan tinggi lainnya,karena pesantren memiliki karakterdan kepribadiaan tersendiri yangtugas pokoknya memperdalampengetahuan keislaman, pandaimencari hukum agama, mampuberijtihad, dapat memahami isikandungan al-Our'an dan menge-tahuiunsur-unsur lainnya yang sasaran

. akhirnya adalah mampu memberiperingatan kepada umat agar berhati­hati dalam kehidupan, sanggupmenegakkan amar makruf dan nahimungkar, dapat menjadi "hati nuarani"bagi masyarakat, berkepribadianbebas, berdisiplin dan mandiri (Natsir,1970: 15.

Natsir menyadari, peranpesantren pada masa lalu merupakankubu pertahanan umat, tapi dalam erakini agak tersisihkan dari percaturanglobal, karena kekurang mampuannyamengantisipasi perubahan. Untuk ltuNatsir menegaskan: "Dengan penuhkesadaran kita mengakui, bahwapesantren itu harus tetap dibina danharus dipelihara kepribadiannya,harus ditingkatkan kemampuannyauntuk dapat menyumbangkan hasilkaryanya yang lebih berarti bagizaman sekarang ini dan masa yangakan datang (Natsir,1970 :23).

Pilar pendidikan Islam yang lainadalah masjid. Fungsi masjid menurutNatsir adalah sebagai saranapembinaan ibadah dan pembentukandhomir umat. Natsir memahami bahwalembaga pendidikan formal tidak akan

JPI FIAt Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 200356

Sistem Nilai dalam Pendidikan IslamDalam bahasa Inggeris, "nilai"

disebut dengan value yang berarti"harga yang bersifat abstrak". Sedang­kan pemaknaan seeara terminologis,"nilai" mengandung banyak arti sesuaidengan fokus permasalahan yangiogin dibahas. Jika dilihat dari sisibudaya, maka nitai berarti konsepabstrakmengenai masalah dasaryangsangat bermakna dalam kehidupanmanusia. Sedangkan dalam perspektifkeagamaan, maka nitai merupakankonsep tentang penghargaan yangdiberikan pada persoalan-persoalanpokok dalam kehidupan yang bersifatsuei sehingga dijadikan pedomandalam tingkahlaku manusia(Depdikbud, 1994: 690).

Bertolak dari beberapa pemakna­an di atas, seterusnya ditelusuribagaimana pemikiran MohammadNatsir tentang nilai dimaksud. Daribeberapa uraiannya, Natsir terlihatkurang membahas persoalan nilaiseeara spesifik, malahan ia eenderungmenempatkan antaraakhlak, etika danmoral sebagai sebuah sinonim yangberkaitan dengan perilaku manusia.Jika perilaku dilihat dalam perspektifIslam, maka Natsir eendrung meng­gunakan istilah akhlak. KeenggananNatsir menyikapi formulasi akhlaksecara kritis, terkesan dari kekhawa­tirannya nilai-nilai tersebut akanterserabut dari sumber ilahiah yangdipandang absolut dan mapan.Persoalan demikian agaknya sejalandengan statemen Amin Abdullahketika mengeritik organisasiMuhammadiyah yang juga kurangmengembangkan pemikiran akhlak.M.AminAbdullah menegaskan:

Ada dua aspek yang menyebab­kan keengganan umat Islam,termasuk

sasaran demikian, maka nilai-nilaiislami harus hadir dalam setiap sikap,tindakan dan prilaku para akadernlsidikampus. .

Untuk meneapai sasaran ideal diatas, Natsir menyadari bahwa hal itutidak mudah, tapi bukan pula sesuatuyang mustahil untuk direalisasikan.Maka untuk merintis [alan ke arah itu,semestinya semua unsur-unsur pendi­dikan dapat mendukung sasarandimaksud. Termasuk penyediaanmedia, penyusunan kurikulum dankemampuan meraneang lingkunganpendidikan sehingga memiliki ruhIslami.

Menurut Natsir, penyediaanberbagai alat dan media pendidikansangat diperlukan bagi eksistensi danpengembangan sebuah lembagapendidikan, baik media eetak,elektronik dan sebagainya. Pesertadidik yang ideal tidak hanya menimbailmu di dalam kelas, tapi ia harusmampu melakukan penearian sendiridan menyelesai-kansendiri persoalan­persoalan yang ter)adi di dalamlingkungannya berdasarkan teori-teoriyang telah dimilikinya. Untuk dapatmelakukan hal demikian, maka.keberadaan alat dan media pendi-dikan sangat diperlukan. Natsirmenegaskan bahwa: "ilmu itu banyaktersebar sekarang ini di berbagaisarana dan media, di pasar buku, diperpustakaan, melalui mediaelektronik, kalau kita mempunyaitransistor tinggal memutar knopnya,segal a maeam ilmu akan dapatdidengar, tinggal kemampuanmemahami danmenganalisa ilmu-ilmutersebut (Natsir,1970 :33).

H. IMAM MOEDJIONO, KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

57JPI FIAI Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 2003

manfaat dalam kehidupan manusia.Hal itu dapat ditempatkan sebagaiwilayah ijtihadi (Natsir,2000 :224).

8erbeda dengan persoalan etikayang memilah aspek nUai ke dalarndua bagian, yakni nHaibaik dan nilaiburuk. Natsir menegaskan bahwanilai-nilai yang dikembangkan dalamakhJak islami mengacu pada limatingkatan yang masing-masingnyamemiliki implikasi hukum. Nilai-nilaitersebut adalah: "nilai balk", "agakbaik" "netraJ", "agak buruk" dan"buruk". Nilai baik yang menqandunqaspek hukum wajib adalah nilai terpujiyang harus direalisasikan, karena akandiberi pahala bagi yang melaksana­kannya dan sangsi bagi yangmeninggalkannya. Nilai agak baikdisebut dengan sunat adalah nilaiyangsemestinya dapat direalisasikan,narnun tidak diberi sangsi kalau belummampu mewujudkannya. Nilai netraladalah nilai mubah yang bolehdilakukan dan juga boleh ditinggalkan."Nilai tercela" adalah nilai haram yangharus dijauhi, karena di samping tidakbaik bagi manusia juga diberi sangsihukum bagi yang meJakukanpelanggaran. Nilai agak buruk adalahsesuatu yang makruh sehinggasebaiknya dihindari, namun dapatditoleransi jika belum mampumeninggalkannya.

OiIihatdari sisi objeknya, menurutNatsir pengembangan akh laksemestinya dltokuskan pada tigasasaran, yakni akhlak individu,keluarga dan masyarakat. Terhadapindividu, akhlak difokuskan padapembentukan integritas pribadi yangberdisiplin, dalam kehidupan keluargaakhlak diarahkan pada penanamanprinsip-prinsip keteladanan, sedang­kan dalarn masyarakat akhlak

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN ISLAM

Muhammadiyah melakukan interpre­tasl kritis dalarn memahami etikakarena; _Pertama, ada anggapanbahwa melakukan kajian kritisterhadap akhlak akan dapatmenipiskan kadar moralitas seseorangdan mudah melepaskan diri dariketerikatan dengan aturan norma yangberlaku.Kedua, kajian kritis akan dapatmengganggu kemapanan kehidupandalam bermasyarakat, berbangsa danbernegara (M. Amin Abdullah, 1996 :171).

Oi sisi lain Amin Abdullahmengeritik pemahaman sebagaimanatersebut di atas dan menambahkan_bahwa pemahaman seperti demikianagaknya perlu ditinjau kembali karenadapat mengakibatkan sikap permissifdi kalangan umat Islam dan terkesankurang memberikan penghargaanyang memadai terhadap akal manusiadalam merumuskan nilai-nilai morallslarni (M.AminAbduUah, 1996: 171).

Menurut Mohammad Natsir,akhlak dipahami sebagai "si1at yangberurat berakar pada 9iri seseorang,yang terbit dari padanya amalperbuatan secara spontan, tanpadipikir-pikir dan tanpa ditimbang­timbang lagi" (Natsir, 2000 : -239).Oengan demikian baik atau buruknyaamal perbuatan seseorang tergantungkepada baik atau buruknya akhlakpribadi yang dimilikinya.

Pada bagian lain Natsir menam­bahkan bahwa ukuran baik atauburuknya akhlak seseorang mengacupada tuntunan yang digariskan al­Qur'an dan al-Sunnah. Namundemikian nilai-nilai yang berkembangdalam masyarakat dapat diterimasebagai implementasi akhlak sejauhtidak bertentangan dari kedua sumbertersebut di atas dan dapat memberikan

J.P{FIAI Jurusan Tarbiyah Volume V{{{Tahun VI Juni 200358

tataran kehidupan yang bersifatrahmatanIi al-alamin.

Dalam pandangan Natsir, ibadahsebagai komunikasi vertikal terhadapAllah SWT sarat dengan ·nilai-nilaikehidupan, baik secara individualmaupun sosial. Fungsi ibadah di.samping membentuk dan membang­kitkan kekuatan pada pribadi manusiaberupa daya disiplin diri dari dalamdan rasa tanggung jawab yang timbuldari dhomir dan hati nurani masing­masing, karena Allah adalah sumbersegala kekuatan, baik lahlr maupun

r bathin, yang maha mengetahui danmahaadil (Natsir,2000: 66).

Natsir mengibaratkan bahwakehidupan ini bagaikan musafir yangselalu berjumpa dengan bermacam­macam "jurang" kehidupan. Adajurang yang bernama korupsi, yangakan berjurnpa dengan orang-orangyang sedang meme'gangamanah. Adapulajurang yang bernama "kerusakanmoral", karena meremehkan batas­batas kewajaran dalam pergaulanhidup sehari-hari. Begitu pula jurang­jurang lainnya, baik yang terang­terangan maupun yang tersembunyi.Untuk menghadapi jurang-jurangtersebut dibutuhkan kekuatan disiplindari dalam diri dan kekuatan itu hanyadapat dicapai melalui nilai-nilai yangterkandung ibadah (Natsir,2000 : 67).

Dalam pandangan Natsir, akhlakseseorang menyatu dalam "iman danamal saleh". Jika kedua hal itu selaludipupuk dan disuburkan, akanmelahirkan prilaku wara'dan sekaligusakan mengantarkan seseorang padakualitas tertinggi dari kehidupannya,yakni menjadi "insan muttaqin". Natsirmenambahkan bahwa, kebahagiaanhidup di akhirat hanya akan dapatdicapai apabila bertaqwa kepada Allah

berorientasi pada jalinan kerjasamayang dilandasi nilai-nilai harmonisyang· diterapkan secara bertanggungjawab dan saling memberikanmanfaat. Untuk merealisasikan haldimaksud, diperlukan mawaddah,yakni panggilan hati yang menawandan akhlak budipekerti yangmenumbuhkan kepercayaanmasyarakat. Untuk mendukungargumentasinya, Natsir rnenqutlp suratAIi Imran ayat 159yang artinya:

Maka dengan sebagian darirahmat Allah, bahwa engkaubersikat lemah lembut kepadamereka,sekiranyaengkau berbudikasar dan berhati bengis tentulahmereka akan lari dar; kelilingmu.Sebab itu maafkan kesalahanmereka dan mohonkan ampununtukmereka (Natsir,2000: 229)..Dalam tataran praktis, Natsir

membagi akhlak ke dalam duabagian,yakni akhlak terhadap Khalik danakhlak terhadap sesama makhluk.Akhlak terhadap Khalik adalah berupanilai-nilai keta'atan kepada Allah yangdidasarkan pada prinsip tauhid dandirealisasikan dalam bentuk beribadahsehinqqa melahirkan rasa ikhlas dalamsetiap tindakan. Sedangkan akhlakterhadap sesama makhluk, baikterhadap sesama manusia maupunterhadap alam beserta isinya, hakekatakhlak adalah amal saleh yangdidasarkan pada rasa keikhlasan(Natsir,2000 : 229). Dengan demikiantujuan yang ingin dicapai dari akhlakdiarahkan pada dua aspek, yaknisecara vertikaladalah perhambaan dirisecara totalitas untuk mencarikeridhaan Allah, sedangkan secarahorizontal adalah mengembangkansemangat kerjasama yang berorien­tasi nllal-nilal islami guna membangun

H.IMAM MOEDJIONO, KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

,.

59JPI FIAI Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni 2003

hakekat keadilan terletak padakeseimbangan tersebut. Hal ini terlihatdari pernyataarinya yang menegas­kan:

"Sebenarnya hak dan kewajibanda/amIslamadalah dua namabagibarang yang satu. Apa yang bagiseseorang merupa-kan kewajibanyang harus ditunaikan, hal. itusekaligus merupakan hak yangharus diterima oleh orang yanglain. Da/am Islam, hak bukanlahsesuatu yang mesti diperebutkan,akan tet~pi /ebih ditekankan padaperlombaan memenuhi kewajibanterhadap sesama manusia.pengan kata lain, bukandipusatkan pada membiasakandiri menuntut hak individu, akantetapi membiasakan dirimemenuhi hak terhadap sesamamanusia (Natsir,2000: 68).Berkait dengan upaya pengem­

bangan nilai-nilai universal yangdigagas Natsir diatas, maka posisipendidikan memiliki peran yangsangat strategis. Hal ini dapatdimaklumi karena peildidikanmerupakan sarana efektif dalammelakukan proses transformasi nilai­nilai pada peserta didik. Menurut Natsirtugas pendidikan semestinya memilikiarah yang jelas dalam mengembang­kan nilai-nilai akhlak a/-karimahsebagaimana diungkapkan di atas.Nilai-nilai tersebut harus tercermindalam perencanaan dan aktivitaspendidikan secara sistemik, baikmelalui rancangan kurikulum, penyia­pan materi, pemilihan metode, prosespengajaran dan lingkungan pendidik­an. Baik melalui lembaga pendidikanumum maupun lembaga pendidikanagama. Bagi lembaga pendidikanagama semestinya bertugas menggali

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN ISLAM

dan teraktualisasi dalam prilaku wara'.Menurut Natsir, wara' adalahkebersihan dhomir (hati nurani) yangterbebas dari sikap dan tingkah lakutercela (Natsir,2000: 250).

Oi sisi lain Natsir menambahkan,bahwa untuk dapat mempertahankankonsistensi akh/ak al-karimah, makatauhid semestinya dijadikan pangkaltolak dalam berbuat dan tempatkembalinya semua amal perbuatanseseorang. Sedangkan ibadah meru­pakan proses pensucian jiwa, dengankesucian jiwa itu seseorang dapatmemperbarui iman, memperhaluskepekaan hati nurani dan padaakhirnya dapat meningkatkankecerdasan intelektualnya (Yusril IhzaMahendra, 1994: 67)'

Oalam pandangan Natsir, akhlaksesungguhnya tidak hanya berlakudalam sesama Islam, tetapi bersifatuniversal yang prinsip-prinsipnyadibangun di atas landasan persatuanumat, persamaan derajat, keadilan,rasa kasih sayang, kejujuran, toleransidan kesabaran (Yusril Ihza Mahendra,1994 : 67)' Menurut Natsir, sumbertenaga dan daya tarik seseorang tidakterletak pada ilmu dan hikmah yangdimilikinya, karena ilmu dan hikmahmerupakan pembuka jalan untukmencapai keberhasilan, sedangkandayanya terletak pada akhlak pribadiyang ditampilkan (Natsir,2000 :239).

Oalam membangun akhlakpribadi tersebut, pada setiap individumelekat dua asas yang saling berkait,yakni asas "hak dan kewajiban".Berbicara tentang hak azazi rnanusla,menurut Natsir bahwa Islam tidakhanya terfokus pada- mementingkanhak individual, tapi lebih menekankanpada keseimbangan antara hak dankewajiban bagi setiap orang, karena

JPI FIAI Jurusan Tarbiyah Volume VItt Tahun VI Juni 200360

-al-Abrasyi,Ruhal-Tarbiyahwaa/-Ta'lim,(Riyad:Oaral-Ahya',tt)

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa

Ajib Rosidi. M. Natsir,SebuahBiografi,(Jakarta: Girimukti Pasaka.1990)

KepustakaanAbdullah, M. Amin, Fa/safahKa/am di

EraPostmodernisme, (YogyakartaPustaka Pelajar,1996)

terlepas dari perinsip dasaragama. (Surabaya: DDI!PerwakilanJawaTimur,1969)..

3. Kubu PertahananMental dadAbadke Abad. Intinya membahasperanan Pondok Pesantrendalammencerdaskan keh idupanbangsa. (Surabaya: DDIIPerwakilan JawaTimur.1970)

4. Dl Bawah NaunganRisalah, !sinyamenampilkan kisah-kisahperjuangan dan penderitaan yangdihadapi para sahabat Nabi da!ammenebarkan missi dakwah Islam.Oalam kisah terse but saratdengan niIai-ni!ai edukatlf yangpenting ditanamkan pada pesertadidik. (Jakarta: Media Dakwah,1983)

5. Pendidikan, Pengorbanan,Kepemimpinan, Primordia/ismedan Nostalgia. Membicarakantentang pengalaman dan suka­duka yang diderita MohammadNatsir ketika daJam berjuangmenegakkan kebenaran di tengahtekanan penguasa yang cende­rung otoriter dan melakukanberbagai penyimpangan dalammempertahankan kekuasaannya(J akarta: Med ia Dakwah,1987).***

Pemikiran PendidikanKonsepsi Mohammad Natsir

tentang pendidikan adalah tercapai­nya kemenangan duniawi dankebahagiaan ukhrawi. Untuk rnereall­sasikan konsepsi tersebut perluditerapkan pola pendidikan yangmengacu pada keseimbangan antarakebutuhan lahiriah dan batiniah, antarakepentingan fisik dan paikhis melaluiupaya optimalisasi tnmn yang dimilikipeserta didik. Dengan demikian tujuanpendidikan identik dengan tujuanhidup manusia. Pemikiran tersebutdapat ditemukan dalam beberapakaryatulisnya yang berjudul: :1. Kegelisahan Ruhani di Barat:

Peranan dan Tanggung JawabCivitasAkademica dan PerguruanTinggi, isinya memberikantelaahan tentang perananperguruan tinggi sebagai changewithout violence. Dengandemikian corak sebuahperguruan tinggi tidak hanyasebagai tempat pendidikan danpusat peradaban, tetapi sekaligussebagaimoral power dan merijadihati nurani masyarakat.(Surabaya: DOll Perwakilan JawaTimur,1969).

2. TheNew Morality (Moral Baru), lsipokoknya mengajak umat Islamuntuk dapat mewaspadaimasuknya kebudayaan Baratyang di dalamnya terdapat cara­cara kehidupan mereka yang

dan mengembangkan nilai-nilaiakhlaka/-karimah agar senantiasa aktual dandapat mernenuhi tuntutan perubahansosial, sementara lembaga pendidikanumum dapat mengaplikasikan nilai­nilai tersebut dalam setiap aktivitasnyasecara praktis (Natsir,2000: 68-72).

H. IMAM MOEDJIONO, KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

61JPI FlAI Jurosan Tarbiyah Volume Vtll Tahun VI Juni 2003

Yusril Ihza Mahendra, ModernismeIslam dan Demokrasi: PandanganPolitik Mohammad Natsir, dalam"lslamika", (Jakarta:Mizan, 1994).

--, Kubu Pertahanan Mental dariAbad ke Abad, (Surabaya: DOliPerw.JawaTImur,1970)

--------,- Pendidikan, Pengorbanan,Kepemimpinan, Primordialismedan Nostalgia. (Jakarta: MediaDakwah,1987)

----, Kubu Pertahanan Mental dariAbad ke Abad (Surabaya: 0011PerwakilanJawaTlmur. 1970)

----,- Di Bawah Naungan RisaJah,(Jakarta:MediaOakwah, 1983)

--, TheNew Morality (Moral Bam),(Surabaya: 0011 Perwakilan JawaTImur,1969)

----, KegelisahanRuhani di Barat:Peranan dan Tanggung JawabCivitasAkademica dan PerguruanTinggi, (Surabaya: 0011PerviakilanJawaTImur,1969)

PARADIGMABARU PENDlDlKAN ISLAM -

---------, Kebudayaan Islam dalamPerspektif Sejarah, (Bandung:Girimukti Pusaka,1988)

Mohammad Natsir, CapitaSelecta,Bandung :W. Van Hoeve,1954,

-------, Fiqhud Oakwah, DjedjakRisa/ahdan Dasar-DasarDakwah,Malaysia : Poygraphic Press,1981.

M. Habib Chirzin, Mohammad Natsir.sebagai Mujahid Dakwah danPendidik Bangsa, dalam EndangSyaifuddibn Anshari dan AminRais, Pak Natsir 80 Tahun,(Jakarta: Media Dakwah,1988)

Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka,1994)

Haryorio, Anwar, dkk (ed) Pemikirandan Perjuangan MohammadNatsir, Pustaka Firdaus, Jakarta,1996.

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: BumiAksara, 1991)