obat henti jantung

8
OBAT HENTI JANTUNG Terapi aritmia yang optimal, memerlukan pemahaman yang baik tentang farmakokinetik obat aritmia dan pengaruh penyakit terhadap obat tersebut, serta efeksamping dan interaksi obat juga perlu diperhatikan. Obat aritmia dikelompokkan menurut efek elektrofisiologik dan mekanisme kerjanya menjadi lima, yaitu: Kelas I : Penyakit kanal natrium Depresi sedang fase 0 dan konduksi lambat (+2), memanjangkan repolarisasi (kuinidin, prokainamid, dan disopiramid) Depresi minimal fase 0 dan konduksi lambat (0 – 1+), mempersingkat repolarisasi (lidokain, meksiletin, fenitoin, dan tokainid) Depresi kuat fase 0 dan konduksi lambat (3+ – 4+), efek ringan terhadap repolarisasi (enkainid, flekainid, indekainid, dan propafenon) Kelas II: Penyekat adrenoreseptor beta (propanolol, esobutanol, dan esmolol) Kelas III: Memanjangkan reolarisasi (amiodaron, bretilium, sotalol, dofetilid, dan ibutilid) Kelas IV: Penyekat kanal Ca ++ (verapamil dan diltiazem) Kelas V: Lain-lain (digitalis, adenosin, dan magnesium Pembahasan obat Kelas IA Obat aritmia ini dapat menyebabkan depresi berat nodus sinoatrial, tetapi hanya disopiramid yang dengan jelas memperlambat aktivitas sinus SA jantung manusia yang mengalami denervasi. Pada manusia normal kuinidin dapat meningkatkan irama sinus melalui penghambatan kolinergik atau secara refleks meningkatkan perangsangan simpatis. Dalam kadar terapi, kuinidin, prokainamid, dan disopiramid secara nyata menurunkan kecepatan picu serabut purkinje. Efek ini terjadi secara langsung yaitu mengurangi kemiringan depolarisasi fase 4 dan mengubah potensial ambang mendekati 0. Amplitudo, lonjakan (overshoot) dan Vmax fase 0 di atrium, ventrikel, dan sel purkinje diturunkan secara dose-dependent tanpa perubahan yang nyata dari Vm.

Upload: hyoluro

Post on 02-Dec-2015

228 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

OBAT HENTI JANTUNG

TRANSCRIPT

Page 1: OBAT HENTI JANTUNG

OBAT HENTI JANTUNG

Terapi aritmia yang optimal, memerlukan pemahaman yang baik tentang

farmakokinetik obat aritmia dan pengaruh penyakit terhadap obat tersebut, serta

efeksamping dan interaksi obat juga perlu diperhatikan. Obat aritmia dikelompokkan

menurut efek elektrofisiologik dan mekanisme kerjanya menjadi lima, yaitu:

Kelas I : Penyakit kanal natrium Depresi sedang fase  0 dan konduksi lambat (+2), memanjangkan

repolarisasi (kuinidin, prokainamid, dan disopiramid) Depresi minimal fase 0 dan konduksi lambat (0 – 1+), mempersingkat

repolarisasi (lidokain, meksiletin, fenitoin, dan tokainid) Depresi kuat fase 0 dan konduksi lambat (3+ – 4+),  efek ringan terhadap

repolarisasi (enkainid, flekainid, indekainid, dan propafenon)

Kelas II: Penyekat adrenoreseptor beta (propanolol, esobutanol, dan esmolol)

Kelas III: Memanjangkan reolarisasi (amiodaron, bretilium, sotalol, dofetilid, dan

ibutilid)

Kelas IV: Penyekat kanal Ca++ (verapamil dan diltiazem)

Kelas V: Lain-lain (digitalis, adenosin, dan magnesium

Pembahasan obat

Kelas IA

Obat aritmia ini dapat menyebabkan depresi berat nodus sinoatrial, tetapi hanya

disopiramid yang dengan jelas memperlambat aktivitas sinus SA jantung manusia

yang mengalami denervasi. Pada manusia normal kuinidin dapat meningkatkan

irama sinus melalui penghambatan kolinergik atau secara refleks meningkatkan

perangsangan simpatis. Dalam kadar terapi, kuinidin, prokainamid, dan disopiramid

secara nyata menurunkan kecepatan picu serabut purkinje. Efek ini terjadi secara

langsung yaitu mengurangi kemiringan depolarisasi fase 4 dan mengubah potensial

ambang mendekati 0. Amplitudo, lonjakan (overshoot) dan Vmax fase 0 di atrium,

ventrikel, dan sel purkinje diturunkan secara dose-dependent tanpa perubahan yang

nyata dari Vm.

Pada hewan percobaan, kuinidin mempunyai efek menghambat efek stimulasi vagus

atau asetilkolin. Kuinidin juga mempunyai sifat penyekat reseptor-alfa. Kerja ini

dapat menyebabkan vasodilatasi, yang melalui baroreseptor merangsang aktivasi

saaraf simpatis. Secara bersamaan, penghambatan kolinergik dan peningkatan

aktivitas adrenergik-beta yang disebabkan oleh kuinidin ini dapat meningkatkan

kecepatan sinus dan memperkuat konduksi pada nodus AV pada sebagian pasien.

Sementara itu obat lainnya mempunyai efek yang lebih lemah.

Page 2: OBAT HENTI JANTUNG

Kuinidin bila diberikan secara oral, kuinidin sulfat diabsorpsi dengan cepat dan

kadar puncak dalam plasma tercapai dalam waktu 60-90 menit. Penyerapan kuinidin

glukonat lebih lambat dan kurang sempurna, kadar plasma daapt tercapai setelah 3-

4 jam sesudah pemberian oral. Kuinidin apabila diberikan secara intramuskular akan

menimbulkan rasa sakit pada tempat suntikan dan meningkatkan kreatin kinase

plasma secara nyata.

Sekitar 90% kuinidin terikat pada protein. Obat ini didistribusikan dengan cepat

hampir kesemua jaringan kecuali otak, dan volume distribusinya (vd) adalah 2-3 liter

perkilogram. Metabolismenya sebagian besar di hati dengan waktu paruh sekitar 6

jam. Kuinidin difiltrasi diglomeruli dan diekskresi oleh tubuli proksimal. Karena

kuinidin adalah basa lemah, reabsorpsinya ditekan dan ekskresinya diperkuat bila

pH urin asam. Bila pH urin ditingkatkan dari 6-7 menjadi 7-8, klirens kuinidin oleh

ginjal berkurang sebanyak 50% dan kadarnya dalam plasma meningkat. Keadaan ini

dalam klinik jarang terjadi, kecuali bila pasien minum natrium bikarbonat atau

asetalzolamid atau bila ada asidosis tubuli ginjal.

Prokainamid diabsorpsi dengan cepat hampir sempurna setelah pemberian peroral

pada orang nomal. Kadar puncak dicapai 45-70 menit setelah minum kapsul, tetapi

sedikit lambat apabila dalam bentuk tablet. Dalam minggu pertama setelah infark

miokard akut, absorpsi oral dapat memburuk, tercapainya kadar puncak mungkin

sangat terlambat, dan kadar obat mungkin tidak cukup untuk mengontrol aritmia.

Sekitar 20% prokainamid terikat protein dalam plasma. Obat ini dengan cepat

didistribusikan ke seluruh tubuh kecuali otak, dan volume distribusinya (Vd) sekitar 2

liter perkilogram. Akan tetapi nilai ini dapat menurun banyak pada pasien gagal

jantung atau syok. Obat ini dieliminasi melalui ekskresi ginjal dan metabolisme hati.

Sampai sekitar 70% dari dosis prokinamid dieliminasi dalam bentuk yang tidak bisa

berubah dalam urin. Prokainamid adalah basa lemah yang mengalami filtrasi, ekresi,

dan reabsorpsi diginjal. Peningkatan pH urin menyebabkan penurunan ekskresi

prokainamid. Bila fungsi ginjal menurun, kadar prokainamid dalam plasma akan

meningkat nyata. Apabila kadar ureum darah meningkat, frkasi dosis prokainamid

yang diekskresikan secara utuh menurun, dan N-asetil prokainamid (NAPA) dapat

berakumulasi ketingkat berbahaya.

Disopiramid sekitar 90% dosis oral diabsorpsi dan sebagian kecil mengalami

metabolisme lintas pertama di hati. Kadar puncak dalam plasma tercapai dalam 1-2

jam setelah pemberian oral. Pada kadar terapi yang normal kira-kira 70%

disopiramid terikat pada protein plasma, fraksi yang terikat berbanding terbalik

dengan kadar total dalam plasma. Volume distribusi (Vd) disopiramid adalah sekitar

0,6 liter perkilogram, tetapi nilai ini tergantung dosis karena ikatan proteinnya jenuh.

Sekitar 50% dosis disopiramid dieksresikan oleh ginjal dalam keadaan utuh, 20%

Page 3: OBAT HENTI JANTUNG

dalam bentuk metabolit dealkilasi, dan 10% dalam bentuk lain. Metabolit

monodealkilasi memiliki efek antiaritmia dan antikolinergiknya yang lebih lemah dari

senyawa induk. Waktu paruh eliminasi adalah 5-7 jam, dan nilai ini memanjang pada

gagal ginjal dapat mencapai 20 jam atau lebih.

Obat-obat dalam kelas IA mempunyai spektrum luas dan efektif untuk pengobatan

jangka panjang dan jangka pendek aritmia supraventrikel dan ventrikel. Rekaman

EKG selama 24 jam perlu dilakukan beberapa kali untuk meyakinkan kontrol aritmia

yang memadai, juga perlu diperhatikan secara cermat akan kemungkinan timbulnya

reaksi toksik. Obat aritmia ini dapat digunakan untuk pengobatan takikardia

supraventrikel paroksimal (PSVT) baik yang disebabkan arus balik di nodus AV

maupun pada sindrom Wolff-Parkinson-White; sebagai obat pemeliharaan setelah

DC shock guna mencegah kambuhnya penyakit; efektif untuk pengobatan jangka

panjang depolarisasi prematurasi ventrikel dan takikardia ventrikel berulang atau

untuk mencegah fibrilasi ventrikel. Obat aritmia ini tidak digunakan untuk

pengobatan takikardia ventrikular menetap dan aritmia yang disebabkan digitalis,

karena efek toksiknya mudah timbul.

Kuinidin mempunyai rasio terapi yang rendah karena efek sampingnya yang

berbahaya. Pada kadar obat yang tinggi efek toksik terhadap jantung menjadi berat,

sehingga dapat timbul blokade atau henti SA, blokade AV derajat tinggi, aritmia

ventrikel atau asistol pada akhirnya bisa menjadi sangat berbahaya menjadi aritmia

bentuk aneh (bizarre arrhythmias). Selain itu kuinidin dapat menyebabkan sinkop

atau mati mendadak. Efek samping lain dari kuinidin adalah cinchonism ringan yang

gejalanya meliputi tinitus , tuli, penglihatan kabur, dan keluhan saluran cerna. Pada

keracunan berat timbul sakit kepala, diplopia, fotopobia, perubahan persepsi warna,

bingung, delirium dan  psikosis.

Prokainamid efek sampingnya hampir sama dengan kuinidin hanya lebih ringan.

Prokainamid juga dapat menyebabkan gejala yang menyerupai lupus eritematosus

sistemik (SLE). Disopiramid dapat menurunkan curah jantung dan kinerja ventrikel

kiri melalui efek depresi langsung atau kontriksi aleriolar, sehingga harus dilakukan

dengan hati-hati pada pasien dengan bakat gagal jantung.

Interaksi obat yang dapat terjadi pada obat aritmia jenis ini adalah dengan obat yang

dapat menginduksi enzim hati, seperti fenobarbital atau fenitoin, dengan efek dapat

memperpendek lama kerja kuinidin dengan cara mempercepat eliminasinya. Selain

itu, apabila kuinidin diberikan pada pasien yang mempunyai kadar digoksin plasma

yang stabil , kadar digoksinya akan meningkat dua kali karena klirensnya menurun.

Kadang-kadang pada pasien yang sedang menerima antikoagulan oral terjadi

Page 4: OBAT HENTI JANTUNG

peningkatan waktu protrombin setelah pemberian kuinidin. Karena kuinidin

mempunyai efek penyekat adrenoreseptor-alfa, interaksi aditif dapat terjadi bila

diberikan dengan vasodilatif atau obat penurun volume plasma. Peningkatan kadar

K+ plasma akan memperbesar efek obat antiaritmia kelas IA terhadap konduksi

jantung.

Kelas IB

Obat aritmia kelas IB sedikit sekali mengubah depolarisasi fase 0 dan kecepatan

konduksi diserabut purkinje bila nilai Vm normal. Berlawanan dengan obat IA, obat

kelas IB mempercepat repolarisasi membran. Dalam kadar terapi, obat kelas IB 

jarang menekan nodus SA, tetapi penekanan dapat terjadi ada pasien yang

mengidap gangguan sinus. Dalam kadar terapi, obat ini mengurangi kemiringan

depolarisasi fase 4 pada serabut purkinje. Efek ini disebabkan oleh penurunan arus

pacu dan peningkatan arus ion K+ keluar sel. Akan tetapi, kemampuan tokainid dan

meksiletin untuk mengurangi automatisasi serabut purkinje lebih mirip kuinodin, yaitu

menggeser potensial ambang kearah nilai Vm yang lebih positif. Lidokain juga dapat

menekan automatisasi pada serabut purkinje yang terdepolarisasi dan terenggang,

dan baik lidokain amupun fenitoin efektif dalam meniadakan trigerred activity pada

delayed afterdepolarization yang disebabkan oleh digitalis. Efek ini timbul karena

arus K+ keluar lebih banyak dari pada arus kedalam sel yang kecil yang

menyebabkan depolarisasi, atau karena penurunan arus Na+ kedalam sel.

Obat kelas IB menyebabkan peningkatan ambang arus listrik diastolik pada serabut

purkinje dengan cara meningkatkan konduktansi K+tanpa mengubah nilai Vm atau

potensial ambang. Hubungan Vmax dan Vm di serabut purkinje hanya sedikit diubah

oleh lidokain dalam kadar terapi, terapi respon cepat dicegah pada nilai Vm yang

rendah. Efek ini disebabkan karena lidokain meningkatkan arus K+ keluar sel. Efek

lidokain terhadap kesigapan membran tergantung pada kadar K+ dalam sel; bila

rendah maka pengaruh lidokain sedikit, bila tinggi maka lidokain dalam kadar terapi

menurunkan Vmax  pada setiap nilai Vm. Lidokain dan obat lain dalam kelas IB

biasanya tidak mempengaruhi kecepatan konduksi dalam sistem his-purkinje atau

otot ventrikel yang normal. Dalam keadaan normal obat ini dapat meningkatkan atau

menurunkan kecepatan konduksi pada kedua jaringan tersebut. Pada jaringan

iskemik obat kelas IB menurunkan kecepatan konduksi secara nyata. Pada jaringan

yang terdepolarisasi oleh rengangan atau bila K+ ekstra sel yang rendah, lidokain

dapat menyebabkan hiperpolarisasi dan eningkatan yang nyata dari sistem

konduksi. Belum diketahui apakah obat lain dalam kelas IB mempunyai sifat yang

sama seperti lidokain.

Obat aritmia kelas IB hampir tidak mempengaruhi lama potensial aksi serabut

atrium. Obat-obat ini menurunkan secara nyata lama potensial aksi diserabut

Page 5: OBAT HENTI JANTUNG

purkinje dan otot ventrikel. Efek ini terjadi karena penghambatan arus Na+ yang

terjadi selama fase plateau potensial aksi. Perubahan yang nyata terlihat pada

bagian his-purkinje, dimana lama potensial aksi paling panjang. Obat-obat ini

memperpendek masa refrakter efektif.

Obat kelas IB dapat meniadakan arus-balik di ventrikel dengan cara menimbulkan

blokade dua arah atau memperbaiki konduksi. Blokade searah dalam arus balik

pada jaringan iskemik diubah menjadi blokade dua arah. Pada pasien dengan

gangguan nodus AV dan konduksi ventrikel, tokainid dan meksiletin lebih efektif

menurunkan konduksi dari pada lidokain.

Obat kelas IB jauh kurang efektif dibandingkan obat kelas IA dalam memperlambat

frekuensi denyut atrium pada flutter dan fibrilasi atrium, atau dalam mengubah

aritmia ini menjadi irama sinus. Hal ini disebabkan oleh  efek obat-obat kelas IB

terhadap refractoriness dan kesigapan atrium sangat kecil.

Sistem saraf otonom tidak dipengaruhi oleh obat kelas IB kecuali fenitoin. Efek

fenitoin kebanyakan berasal dari SSP, serabut eferen vagus dipengaruhi, dan

serabut eferen saraf simpatis jantung yang terangsang pada intoksikasi digitalis

dapat ditekan oleh fenitoin.

Lidokain diserap dengan baik melalui pemberian peroral, obat ini mengalami

metabolisme yang ekstensif sewaktu melewati hati, dan hanya sepertiga yang dapat

mencapai sirkulasi sistemik. Banyak pasien yang mengalami mual dan muntah, dan

gangguan perut setelah pemberian peroral, sehingga cara ini tak digunakan lagi.

Obat ini hampir sempurna diserap melalui pemberian intramuskular. Sekitar 70%

lidokain dalam plasma terikat protein, hampir semuanya dengan alfa1-acid

glycoprotein. Distribusinya cepat dengan volume distribusi (Vd) 1 liter perkilogram,

volume ini menurun pada pasien gagal jantung. Lidokain tidak diekskresikan secara

utuh diurin. Dietilasi di hati menghasilkan metabolit yang aktif dan tak aktif. Klirens

lidokain mendekati kecepatan  aliran darah di hati, sehingga perubahan aliran darah

hati akan merubah metabolisme. Waktu paruh eliminasi adalah sekitar 100 menit.

Fenitoin dalam saluran cerna diabsorpsi lambat dan tak menentu. Absorpsi setelah

suntuikan intramuskular juga lambat dan tak sempurna. Sekitar 90% fenitoin dalam

plasma diikat oleh albumin, fraksi ini berkurang bila ada uremia. Obat ini dieliminasi

melalui hidroksilasi di hati dan metabolit yang terbentuk tidak berkhasiat antiaritmia.

Metabolisme berlangsung lambat dan tidak dipengaruhi oleh perubahan aliran darah

hati. Sistem enzim yang memetabolisme fenitoin menjadi jenuh pada rentang kadar

terapi. Oleh karena itu, waktu paruh untuk eliminasi bergantung pada dosisnya, dan

toksisitas dapat muncul secara tidak terduga.

Page 6: OBAT HENTI JANTUNG

Tokainid diabsorpsi dengan sempurna setelah pemberian peroral, kadar puncak

dalam plasma muncul dalam waktu 1-2 jam, sekitar 40% tokainid diekskresikan

dalam urin dalam bentuk utuh. Waktu paruh dalam plasma adalah 11-15 jam, dan

nilai ini naik duakali lipat pada pasien gagal ginjal atau gagal hati.

Meksiletin pada pemberian peroral diabsorpsi dengan baik dan bioavaibilitas

sistemiknya adalah sekitar 90%. Obat ini dieliminasi melalui metabolisme hati,

sekitar 10% dosis ditemui dalam bentuk yang tak brubah diurin. Waktu paruhnya

sekitar 10 jam.

Lidokain hanya digunakan untuk pengobatan aritmia ventrikel yang disebabkan oleh

infark miokard akut, bedah jantung terbuka, dan digitalis. Fenitoin penggunaan

terapinya hampir sama dengan lidokain hanya saja lidokain lebih mudah diberikan.

Fenitoin juga dapat digunakan untuk pengobatan takikardia ventrikel yang menetap

pada pasien penyakit jantung koroner, dan taki aritmia yang menyertai sindrom Q-T

panjang juga dapat diobati secara efektif, bila fenitoin diberi bersama dengan

penyekat adrenoresseptor-beta. Fenitoin tidak efektif untuk penyakit aritmia atrium

seperti flutter, fibrilasi atrium, dan SVT. Sedangkan tokainid dan meksiletin di

indikasikan untuk pengobatan aritmia ventrikel pada pasien yang tidak berespon

terhadap pengobatan kuinidin atau obat lain dan kelas IA.

Obat aritmia kelas IB mempunyai efek samping jantung yang lebih ringan dari kelas

IA atau IC. Lidokain efek sampingnya utamanya pada SSP, seperti disosiasi,

parestia, mengantuk dan agitasi; pada kadar yang lebih tinggi dapat menyebabkan

pendengaran berkurang , disorientasi, kedutan otot, kejang, dan henti napas. Efek

samping fenitoin hampir sama dengan lidokain, yaitu pada SSP mengantuk,

nistagmus, vertigo, ataksia, dan mual. Tokainid dan meksiletin juga mempunyai efek

samping terhadap SSP  dimana terjadi pusing, ringan kepala, tremor, dan saluran

cerna. Selain itu tokainid juga dapat menimbulkan granulositopenia yang dapat

diikuti oleh infeksi, sepsis, dan kematian.

Interaksi obat terhadap beta blocker dapat mengurangi aliran darah hati pasien

penyakit jantung, dan akan menyebabkan penurunan kecepatan metabolisme

lidokain dan meningkatkan kadarnya dalam plasma. Selain itu, obat-obat yang

bersifat basa dapat menggantikan lidokain dari ikatannya pada alfa1-acid

glycoprotein. Kadar lidokain plasma meninggi pada pasien yang menerima simetidin.

Lidokain dapat memperkuat efek suksinilkolin. Metabolisme fenitoin dapat dipercepat

bila diberikan bersama fenitoin dan rifampisin.