multi modal analgesia

Upload: ayu-kristiana-dewi

Post on 13-Jul-2015

445 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Tinjauan Pustaka

MULTIMODAL ANALGESIA

Oleh: Km Ayu Kristiana Dewi Komalasari (0702005137)

Pembimbing: dr. I Made Gede Widnyana, Sp.An. KAR. M.Kes

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI DAN REAMINASI FK UNUD/RS SANGLAH DENPASAR 20111

BAB I PENDAHULUANRasa nyeri merupakan keluhan yang paling sering membawa seorang pasien kepada seorang dokter. Nyeri hampir selalu merupakan manifestasi dari semua proses patologis. Usaha penganggulangan nyeri akut post operatif akibat trauma atau bedah, dilakukan untuk memperpendek fase akut paska trauma atau bedah sehingga proses penyembuhan luka dapat terjadi lebih cepat. Penanggulangan nyeri akut post operatif merupakan faktor penting untuk menentukan kapan pasien dapat dipulangkan dan memiliki pengaruh yang besar terhadap kemampuan pasien untuk kembali ke aktifitas kesehariannya. Pada bulan Juli 2000, The Joint Commission for Accreditation of Health Care Organizations (JCAHO) memperkenalkan sebuah standar baru untuk manajemen nyeri. Komisi ini menyimpulkan bahwa nyeri akut dan kronis adalah penyebab utama ketidakpuasan pasien dalam sistem perawatan kesehatan, menyebabkan waktu pemulihan lebih lambat, menciptakan beban bagi pasien dan keluarga mereka, dan meningkatkan biaya untuk sistem perawatan kesehatan. Meskipun telah tersedia pelayanan terhadap manajemen nyeri akut, kebanyakan pasien tetap mengalami nyeri postoperatif selama dirawat di rumah sakit. Pada beberapa laporan di USA mengatakan bahwa 77 % pasien dewasa yang mengalami tindakan pembedahan tetap mengalami nyeri akut post operatif dan 80 % diantaranya mengalami nyeri sedang hingga yang berat.1 Upaya peningkatan yang bertujuan untuk mengurangi skor nyeri pasca operasi justru telah lebih lanjut meningkatkan risiko efek samping ketika penyedia layanan kesehatan berusaha untuk mencapai efek analgesia yang memadai dengan menggunakan opioid sebagai monoterapi.1 Opioid merupakan terapi utama dari nyeri akut postoperatif nyeri sedang sampai berat, dimana reseptor opioid juga penting dalam proses inflamasi. Meskipun demikian, penggunaan opioid dihubungkan dengan beragam efek samping perioperatif seperti terjadinya depresi ventilasi, sedasi dan drowsiness, postoperative nausea and vomiting (PONV), pruritus, retensi urin, dan konstipasi. Penggunaan intraoperatif dalam dosis bolus yang besar ataupun infus kontinu dapat meningkatkan nyeri akut paska operasi terkait dengan proses eliminasinya yang cepat dan terjadi toleransi akut.1,2,3

Oleh karena itu, pemilihan pemakaian non-opioid

analgesia dikembangkan sebagai adjuvant selama proses perioperatif untuk meminimalisasi efek samping dari medikasi opioid tersebut, dimana teknik ini lebih dikenal dengan multimodal analgesia atau balance analgesia.2

Konsep multimodal analgesia diperkenalkan di akhir 1990-an sebagai teknik untuk meningkatkan efek analgesia dan mengurangi efek samping akibat penggunaan opioid. Dasar pemikiran untuk strategi ini adalah pencapaian analgesia yang cukup melalui efek aditif dan sinergis.1 Mengingat banyaknya efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid sebagai analgetik maka ketertarikan terhadap penggunaan Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID) yang poten (seperti diklofenak, ketorolak) menjadi meningkat, yang terbukti efektif menurunkan kebutuhan obat analgetik oral opioid pada bedah rawat jalan. Multimodal Analgesia yang sedang dikembangkan saat ini melibatkan penggunaan lebih dari satu macam obat analgetik. Penelitian telah menunjukkan bahwa analgetik dengan mekanisme aksi yang berbeda dapat memiliki efek aditif atau sinergis melalui berbagai mekanisme seluler, memungkinkan penggunaan dosis rendah setiap agen daripada digunakan sebagai monoterapi. Teknik multimodal analgesi ini terbukti mampu meningkatkan pemulihan serta outcome pasien setelah bedah rawat jalan.2

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi Nyeri Nyeri didefinisikan oleh International Association of the Study of Pain (IASP) sebagai sensasi dan emosi yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan.3 Nyeri menyebabkan morbiditas yang sangat tidak menyenangkan pasien. Terkadang penyakit pasien tidak berbahaya, namun rasa nyeri yang justru sangat mengganggu pasien. Penderita nyeri akan terhambat berbagai aktivitas dan produktivitasnya sehingga menurunkan kualitas hidupnya. Untuk itulah, nyeri perlu dikontrol dengan obat atau terapi yang tepat dan sesuai untuk kebutuhan pasien.

2.2 Patofisiologi Nyeri Bila terjadi kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik (kalium, serotonin, bradikinin, histamin dan prstaglandin) yang berkumpul di sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. Akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.1,3 Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nosisepsi nyeri, meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri tersebut ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologinya, maka nyeri nosiseptif dibagi atas 4 tahapan yaitu:a.

Transduksi : Stimulus noksius yang kemudian ditransformasikan menjadi Transmisi : Propagasi atau perambatan dari impuls tersebut pada sistem saraf Modulasi : Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan input nyeri

impuls berupa suatu aktifitas elektrik pada ujung bebas saraf sensorik.b.

sensorik.c.

yang masuk di kornu posterior medula spinalis.4

d.

Persepsi : Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi yang

kemudian membentuk suatu pengalaman emosional yang subjektif.3

Gambar 2.1 Mekanisme perjalanan nyeri

2.3 Penilaian Nyeri Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis, kebudayaan dan hal-hal lainnya. Karena itu mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang relatif sulit. Pengukuran kualitas nyeri menolong dalam hal terapi yang diberikan dan penilaian efektifitas pengobatan. Definisi nyeri yang jelas sangat dibutuhkan karena nyeri memberikan gambaran kerusakan jaringan atau kerusakan organ atau reaksi emosional. Ada beberapa macam metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri antara lain:a. Verbal Rating Scale (VRSs)

Metode ini

menggunakan suatu word list untuk mendeskripsikan nyeri yang

dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali nyeri dirasakan5

sampai saat tahap penyembuhan. Penilaian dari nyeri berdasarkan metode ini adalah tidak nyeri (none), nyeri ringan (mild), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe) dan nyeri sangat berat (very severe).3,4,

b. Numerical Rating Scale (NRSs)

Metode

ini

menggunakan

angka-angka

dengan

bantuan

kata-kata

untuk

menggambarkan range dari intensitas nyeri yang dirasakan. Umumnya pasien menggambarkan nyeri dari 0-10, 0-20, atau dari 1-100. 0 menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan 10,20,100 menggambarkan nyeri yang hebat. Metode ini dapat diaplikasikan secara verbal maupun melalui tulisan, sangat mudah dimengerti dan mudah dilaksanakan.3

Gambar 2.2 Numeric pain intensity scalec. Visual Analogue Scale (VASs)

Metode ini yang paling sering digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri. Metode ini menggunakan garis dengan panjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, sangat mudah dikerjakan, mudah dimengerti dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun.3,4 No Pain The most intense pain Imaginable Gambar 2.3 Visual analogue scaled. McGill Pain Questionnaire (MPQ) 6

Metode ini menggunakan check list untuk mendeskripsikan gejala-gejala nyeri yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain dari sensorik, afektif dan kognitif. Pasien memilih kata-kata yang menggambarkan nyeri yang dirasakan dan nyeri yang dirasakan dimasukkan kedalam indeks yang menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan. Intensitas nyeri digambarkan dengan merengkingnya dari 0 tidak ada nyeri sampai 3 nyeri hebat. Selain metode diatas cara lain untuk menggambarkan atau nilai intensitas nyeri dapat dilihat dan dinilai melalui mimik wajah dari pasien dan biasanya metode ini digunakan untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.

2.4 Penatalaksanaan Nyeri Setelah diagnosis nyeri ditegakkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk itu berbagai modalitas pengobatan nyeri harus dipilih dengan tepat. Berbagai modalitas pengobatan nyeri pada dasarnya dapat digolongkan dalam:1) Modalitas fisik pada unit rehabilitasi medik

2) Modalitas kognitif-behavioral pada pendekatan psikososial3) Modalitas invasive melalui pendekatan perioperatif dan radioterapi

4) Modalitas psikoterapi 5) Modalitas farmakoterapi Garis besar terapi farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri terdiri dari:1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau

COX2 spesific inhibitors.2. Tahap kedua, diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat lemah misalnya

kodein. 3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih kuat.

7

Gambar 2.4 WHO Three Step Analgesic Ladder Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik maupun nyeri aku, yaitu pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3, sedangkan pada nyeri akut mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.3 2.5 Multimodal Analgesia Multimodal analgesia adalah penggunaan lebih dari satu macam obat analgetik yang memiliki mekanisme yang berbeda guna mendapatkan efek aditif dan sinergis dalam upaya menurunkan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid daripada digunakan sebagai monoterapi.5,6 Konsepnya adalah dengan menggunakan obat-obat analgetik secara multiple yang memiliki cara kerja yang berbeda-beda (contohnya non-opioid dikombinasikan dengan opioid) atau cara pemberian yang berbeda (contohnya blok anestesi lokal dikombinasikan dengan analgetik sistemik).5 Tujuan dari multimodal analgesia yaitu: 1. Mengurangi efek samping opioid 2. Mencegah nyeri akut menjadi nyeri kronik melalui mekanisme sensitisasi sentral 3. Mempercepat pemulihan pasien 4. Memperpendek lama tinggal di rumah sakit

8

Gambar 2.5 Perjalanan nyeri dan terapi multimodal analgesia Penggunaan obat-obatan nonopioid terbatas pada penggunaan untuk nyeri ringan sampai sedang. Sedangkan analgetik narkotika efektif untuk nyeri berat. Terkadang, untuk mencapai efek yang adekuat diperlukan penggunaan dalam dosis besar. Namun penggunaan dosis yang besar diikuti oleh efek samping yang besar pula. Untuk menghindari hal tersebut, dapat digunakan metode polifarmasi atau analgesia balans yang menggunakan lebih dari satu jenis obat yang titik tangkapnya berbeda, sehingga dapat dicapai efek yang adekuat dan efek samping yang minimal dari masing-masing obat karena penggunaan dosis yang lebih kecil. 2.5.1 Opioid Opioid adalah obat yang biasa digunakan sebagai analgesik pada pasien bedah dan merupakan standar emas. Penekananan terhadap sistem pernafasan dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan sering terjadi saat dikombinasikan dengan benzodiazepine. Hipotensi setelah pemberian opioid dapat terjadi pada pasien dengan hipovolemia atau pada pasien yang telah menunjukkan kolaps kardiovaskular.3 Durasi analgesik dan toleransi terhadap efek samping dalam bentuk oral membuat pemberian obat secara oral lebih dipilih. Pada pasien dengan kasus akut, pemberian obat diberikan secara intravena dan epidural. Morfin9

Morfin adalah opioid yang paling dikenal dan sering digunakan. Dari segi harga morfin cukup terjangkau dan memiliki efek analgesik yang baik. Morfin memiliki beberapa metabolit aktif yang membutuhkan clearance ginjal dan penggunaannya pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko toksisitas dan efek samping. Selain itu morfin juga berhubungan dengan pelepasan histamine yang menyebabkan terjadinya pruritus.3 Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.3 Kombinasi analgetik opiate dengan alkohol atau depresan sistem saraf pusat yang lain akan menguatkan depresi pernafasan dan berpotensi berbahaya menyebabkan kematian. Morfin dapat menyebabkan dilatasi vena dan arteriol sehingga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.

Fentanil Fentanil memiliki onset yang cepat dan durasi yang singkat, menyebabkan dosis intermiten untuk kontrol nyeri berkelanjutan menjadi sebuah problema. Fentanil diberikan kepada mereka yang memiliki alergi terhadap morfin dan tidak menimbulkan pelepasan histamine. Fentanil tidak memiliki metabolit aktif yang membutuhkan clearance dan aman digunakan pada pasien dengan gagal ginjal. Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin.Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan.3 Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten.Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestesi lokal yang lemah (dosis yang tinggi menekan hantaran saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.10

Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml. Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. 2.5.2 Non Opioid Asetaminofen Asetaminofen merupakan terapi awal untuk nyeri ringan sampai sedang dan sebagai adjunct pada kasus nyeri yang lebih berat. Ketika obat ini dikombinasikan dengan opioid akan memiliki efek yang lebih kuat dibandingkan dengan pemberian opiod dalam dosis tunggal.7 Obat ini memiliki khasiat analgesik dan antipiretik yang baik, namun tidak memiliki efek anti inflamasi. Mekanisme aksinya menghambat prostaglandin, tetapi target aksi sebenarnya yang membedakannya dengan NSAID yang lain masih menjadi perdebatan. Ia dikatakan bekerja secara spesifik pada enzim siklooksigenase (COX)-3 yang berada di sistem saraf pusat, sehingga efeknya terhadap COX-1 dan COX-2 perifer relative rendah. Dengan mekanismenya itu, ia menghambat pembentukan prostaglandin secara sentral, namun tidak di jaringan, sehingga kurang berefek sebagai anti-inflamasi. Hal ini juga yang menyebabkan parasetamol tidak berefek buruk pada lambung karena tidak menghambat sintesis prostaglandin yang dibutuhkan untuk proteksi lambung. Namun, pada dosis besar (6-12g) dapat menyebabkan kerusakan hati karena terbentuknya metabolit toksik yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI). Pada paparan paracetamol yang melebihi dosis, jumlah dan kecepatan pembentukan NAPQI melebihi kapasitas hati dan ginjal untuk mengisi ulang cadangan glutation yang diperlukan untuk mendetoksikasinya. Karena itu penggunaannya harus dibatasi maksimal 4g/24 jam (setara dengan 8 tablet @500mg). Paracetamol dapat merusak hati, maka bila ditambah dengan mengkonsumsi alkohol secara berlebihan maka akan mempercepat terjadinya kerusakan hati.5,7 NSAID11

NSAID efektif dalam menangani nyeri terutama yang melibatkan inflamasi. NSAID menghambat enzim cyclooxygenase (COX) dan memberikan efek analgesik dan antiinflamasi. Selain bekerja di perifer, NSAID juga bekerja di sentral pada otak atau medulla spinalis memberikan efek analgesik.5,6,7

NSAID merupakan inhibitor kuat

sintesis prostaglandin. Kerjanya yaitu mencegah enzim cyclooxygenase (COX) untuk mensintesa prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini. Prostaglandin sebenarnya bukan merupakan mediator nyeri yang penting, tetapi dapat menyebabkan hiperalgesia melalui sensitisasi nosiseptor perifer terhadap berbagai jenis mediator nyeri dan radang seperti somatostatin, bradikinin, dan histamin. Terdapat 2 isoform COX yang telah dikenali. COX-1 diekspresikan pada seluruh jaringan dalam kondisi fisiologis, sementara COX-2 diinduksi oleh mediator radang dalam kondisi patologis. Penghambatan terhadap COX-1 sering dikaitkan dengan terjadinya efek samping NSAID, sedangkan efek anti radang adalah sebagai akibat dari penghambatan COX-2.6 Terdapat beberapa efek samping dari penggunaan NSAID. Efek samping tersebut, antara lain:

Diare, perdarahan gastrointestinal Dispepsia, peptic ulcer Disfungsi dan gagal ginjal (nekrosis papiler akut, nefritis interstial

kronis, penurunan aliran darah ginjal, penurunan kecepatan filtrasi glomerulus, retensi air dan garam.

Penghambatan agregasi platelet dan peningkatan waktu pendarahan Gangguan fungsi hati, jaundice Menghambat perbaikan tulang rawan pada osteoartirtis.

NSAID sebaiknya digunakan sebagai obat lini pertama untuk mengobati nyeri ringan dan sedang dan harus dikombinasi dengan opioid, bila tidak ada kontraindikasi, pada nyeri yang lebih berat. Beberapa peneliti melaporkan kombinasi NSAID dengan opioid menurunkan kejadian dan tingkat keparahan efek samping dari penggunaan opioid. Peneliti lain melaporkan adanya peningkatan analgesia dan penurunan efek samping bila NSAID dikombinasi dengan opioid intratekal.7 Obat ini perlu mendapat perhatian pada penggunaannya pada sakit dan trauma akut karena obat ini melemahkan fungsi ginjal dan platelet dan menyebabkan perdarahan12

gastrointestinal.5,7 Risiko terjadinya efek samping pada penggunaan NSAID meningkat bila dikombinasikan dengan beberapa obat seperti penggunaan bersama diuretik pada pasien insufisiensi ginjal kronis, penggunaan bersama steroid, coumadin atau heparin.6,7 Tempat kerja NSAID yang utama diyakini berada di perifer meskipun barubaru ini penelitian menunjukkan bahwa penghambatan siklooksigenase-pusat 2 (COX2) juga mungkin memainkan peran penting dalam modulasi nosisepsi. NSAID menghambat sintesis prostaglandin baik di sumsum tulang belakang dan di perifer, sehingga mengurangi keadaan hyperalgesic setelah bedah trauma. NSAID berguna sebagai analgesik tunggal setelah prosedur bedah minor dan mungkin memiliki opioid-sparing effect yang signifikan setelah operasi besar. NSAID sangat berguna dalam mengurangi jumlah opioid yang dibutuhkan oleh pasien dan dengan demikian dapat mengurangi efek samping opioid. NSAID juga memainkan peranan penting sebagai adjuvant pada obat lain, seperti analgesia epidural, dan ketorolac IV dapat diberikan sebagai analgesia preemptif. Ketorolac Trometamin adalah obat non-steroid anti-inflamasi (NSAID) yang bekerja pada cyclooxigenase menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang kuat, baik perifer dan sentral, selain memiliki efek antiinflamasi dan antipiretik, ketorolac dapat mengurangi nyeri ringan sampai nyeri berat pada kasus-kasus darurat, nyeri musculosceletal, pasca operasi kecil atau besar, dan nyeri kanker pada orang dewasa atau anak-anak. Ketorolac memiliki khasiat analgesik setara dengan morfin atau pethidin. Efek analgesik awal ketorolac mungkin lebih lambat, namun durasi lebih lama dari opioid. Dosis ketorolac yang biasa digunakan adalah 30 mg diberikan secara intravena. Kombinasi terapi ketorolac dan opioid dapat mengurangi 25-50% dari kebutuhan opioid dan secara tidak langsung menurunkan efek samping opioid seperti ileus, mual, dan muntah, normalisasi fungsi saluran pencernaan lebih cepat dan tinggal di rumah sakit lebih pendek.8,9 Formulasi parenteral ketorolak trometamin telah tersedia selama bertahuntahun dan saat ini hanya NSAID intravena yang digunakan untuk pengobatan nyeri pasca operasi muncul di Amerika Serikat. Sebuah rute baru pemberian ketorolak melalui intranasal semprot. Dalam sebuah studi double-blind placebo-dikontrol, pasien menjalani operasi besar (abdomen atau ortopedi) menerima 30mg ketorolac, 10mg ketorolac, atau plasebo semprot pada pemulihan dari anestesi umum. Semua pasien13

kemudian menggunakan Patient Control Analgesia (PCA) morfin untuk 40 jam berikutnya. Konsumsi morfin selama 24 jam awal berkurang pada kelompok ketorolak 30mg (37,8 mg) dibandingkan dengan kelompok plasebo (56.5mg) dan kelompok ketorolak 10mg (54.3mg). Pengurangan nyeri selama 6 jam pertama pasca operasi lebih tinggi pada kelompok ketorolak 30mg dibandingkan plasebo. Efek samping yang muncul terkait pemberian opioid, seperti mual atau pruritus, tidak berbeda antara ketiga kelompok. Di Eropa, Penggunaan intravena acetaminophen digunakan sebagai landasan analgesia perioperatif multimoda.5,6,7 COX-2-selektif inhibitor memiliki keuntungan lebih dibandingkan NSAID pada perioperatif dimana COX-2-selektif inhibitor tidak meningkatkan risiko perdarahan. Satu kelompok pasien menjalani artroplasti lutut total di bawah anestesi spinal yang menggunakan COX-2-selektif inhibitor celecoxib 200mg pada 1 jam sebelum operasi dan setiap jam 12 selama 5 hari. Kelompok yang lainnya menerima plasebo pada titik waktu yang sama. Selama 24 jam pertama, penggunaan morfin PCA berkurang pada kelompok celecoxib (15,1 mg) dibandingkan kelompok plasebo (19,7 mg). Selama periode 48 jam, skala analog visual (VAS) skor nyeri pada sisanya lebih rendah pada kelompok celecoxib dibandingkan kelompok plasebo. Celecoxib juga meningkatkan jangkauan gerak lutut selama 3 hari pertama pasca operasi. Insiden mual dan muntah pasca operasi (PONV) tidak berbeda pada kedua kelompok.5,6 2.5.3 Anestesi Lokal Anestetik lokal dibagi menjadi 2 golongan yaitu golongan ester dan amida. Golongan Ester terdiri dari prokain, kloroprokain dan tetrakain, sedangkan golongan amida terdiri dari lidokain, etidokain, bupivakain, prilokain, mevipakain, ropivakain dan levobupivakain. Anestetik lokal bekerja langsung pada sel saraf dan menghambat kemampuan sel saraf mentransmisikan impuls melalui aksonnya. Target anestetik lokal adalah saluran Na+ yang ada pada semua neuron, dimana anestetik lokal berikatan secara selektif pada saluran Na+, sehingga mencegah terbukanya saluran tersebut. Saluran Na+ bertanggung jawab menimbulkan potensial aksi sepanjang akson dan membawa pesan dari badan sel ke terminal saraf.5,10Lidokain, prokain, dan klorprokain adalah agen yang paling sering digunakan, diberikan secara slow bolus maupun infus kontinyu. Lidokain diberikan melalui infuse selama 5-30 menit untuk dosis total 1-5 mg/kg. Prokain 200-400 mg dapat diberikan secara intravena selama 1-2 jam. 14

Klorprokain (i% solution) diinfuskandengan kecepatan 1 mg/kg/min untuk total dosis 10-20 mg/kg. Monitoring yang harus dilakukan meliputi elektrokardiogram (EKG), tekanan darah, respirasi dan status mental. Alat resusitasi harus selalu tersedia. Tanda-tanda toksisitas meliputi tinnitus, slurring, sedasi esksesif dan nistagmus.5,10

2.5.4 N-Methyl-D-Aspartate Antagonists

Ketamin Ketamin merupakan derivate phencyclidine yang memiliki efek analgesik dan dapat mengontrol nyeri tanpa menyebabkan penekanan terhadap sistem pernafasan, airway compromise, kerusakan hemodinamik. Ketamin berinteraksi dengan antagonist reseptor N-methyl-D-aspartate, yang dikenal sebagai analgesik dan menyebabkan efek psikomimetik. Obat ini dapat berhubungan dengan terjadinya halusinasi, delirium, dan aspirasi sehingga penggunaannya harus dalam pengawasan. Ketamin biasanya digunakan pada kondisi yang dimonitoring seperti pada ruang rawat intensif (intensive care unit) dan kamar operasi.4,5 Pada dosis yang kecil (0,1-0,5 mg/kgBB) ketamin memiliki efek analgesia yang kuat. Reseptor NMDA berperan terhadap memori nyeri. Antagonis terhadap NMDA akan menghambat induksi sensitisasi nyeri sentral dan menekan hipersensitivitas nyeri setelah terjadi stimulasi nyeri. Meskipun dosis tinggi ketamin telah menyebabkan efek psikomimetik (sedasi berlebihan, disfungsi kognitif, halusinasi, mimpi buruk), dosis rendah atau subanestetik ketamin telah menunjukkan kemampuan analgesik yang signifikan tanpa efek samping. Ada bukti bahwa dosis rendah ketamin mungkin memainkan peran penting dalam pasca operasi manajemen nyeri ketika digunakan sebagai tambahan untuk opioid, anestesi lokal, dan agen analgesik lain. Pada pasien menjalani operasi penggantian lutut total di bawah anestesi umum, ketamin atau plasebo diberikan selama bedah (0,2 mg / kg diikuti oleh 2mg/kg/min) dan hari kedua pasca operasi (10mg/kg/min). Penggunaan PCA morfin selama periode 48 jam pasca operasi pada kelompok ketamin (50,5 mg) dibandingkan dengan kelompok plasebo (72,1 mg). Skor nyeri saat istirahat dan dengan gerakan pada kelompok ketamin lebih rendah15

dibandingkan plasebo. Waktu untuk mencapai lutut fleksi 908 lebih pendek pada kelompok ketamin, dan kejadian PONV berkurang. 4,5,10 Pasien yang menjalani pembedahan perut di bawah anestesi umum secara acak tiga kelompok: perioperatif ketamin (intraoperatif, 0,5mg / kg kemudian 2 mg / kg / menit, dan pasca operasi, 2 mg / kg / menit untuk selanjutnya 48 jam), intraoperatif ketamin saja, atau plasebo. Penggunaan PCA morfin berkurang dalam kelompok ketamin perioperatif (27 mg) dibandingkan dengan kelompok intraoperatif ketamin (48mg) atau plasebo (50 mg). Menariknya, skor nyeri pada 24 dan 48 jam lebih rendah yang perioperatif dan intraoperatif ketamin dibandingkan dengan kelompok plasebo. Insiden PONV lebih besar pada kelompok plasebo dari perioperatif ketamin kelompok. Namun, penelitian lain gagal untuk menunjukkan opioid-sparing effect ketamin. Setelah pembedahan ginekologis besar dengan anestesi umum, ketamin (0,15 mg /kg sebelum sayatan, kemudian digabungkan PCA ketamin 0,5 mg / ml dengan 1mg/ml morfin selama 48 jam) atau plasebo (PCA morfin saja) tidak mengurangi kebutuhan PCA morfin. Total dosis ketamin 44mg pasca operasi. Skor nyeri juga tidak berbeda antara kelompok. Setelah anak (12-18 tahun) operasi skoliosis, intraoperatif ketamin (0,5 mg / kg, kemudian 4 mg / kg / menit) tidak mengurangi PCA pascaoperasi menggunakan morfin selama 24, 48, atau 72 jam berikutnya dibandingkan dengan plasebo. Skor nyeri dan kejadian PONV tidak berbeda antara kedua kelompok. Kurangnya efek klinis dalam dua studi mungkin karena ketamin dosis rendah (sekitar 0,2 mg / kg / menit) atau tidak melanjutkan dosis ke periode pasca operasi. 5,10

Magnesium Agen ion magnesium pertama kali ditemukan untuk menjadi channel blocker NMDA. Pada dosis yang sangat tinggi, perioperatif magnesium sulfat intravena telah dilaporkan dapat mengurangi konsumsi morfin pasca operasi tetapi tidak skor nyeri pasca operasi. Pada pasien yang menjalani total abdomen histerektomi dengan anestesi umum, magnesium sulfat (50mg/kg, maka 15mg/kg/jam) atau plasebo diberi intraoperative. Pascaoperasi menggunakan PCA morfin kurang dari 48 jam dalam kelompok magnesium. Skor nyeri pada saat istirahat dan dengan gerakan lebih rendah pada kelompok magnesium pada 24 dan 48 jam, dan kejadian PONV juga lebih rendah dibandingkan dengan plasebo.516

2.5.5 Alpha-2 Adrenergic Agonists Alfa-2 agonist (klonidin, dexmetomidine) telah menunjukkan keefektifannya dalam mengontrol nyeri dan memiliki efek samping yang rendah. Obat ini relative larut dalam lemak dan diabsorsi serta didistribusi dengan cepat.2 Mekanisme kerja analgesik dari Alpha-2 adrenoreceptor agonist belum sepenuhnya dapat dimengerti. Efek primer dari alpha-2 adrenergic agonist adalah mengaktivasi descending inhibitory pathway substantia gelatinosa dari dorsal horn. Pada beberapa tempat, supraspinal dan spinal, memodulasi transmisi sinyal nosisepsi pada susunan saraf pusat. Meskipun alpha-2 adrenoreceptor perifer dapat memediasi antinosiseptif, obat-obat ini dapat bekerja pada tempat-tempat ini untuk mengurangi transmisi nosiseptif untuk memberikan efek analgesia. Aktivasi protein G akan menyebabkan hiperpolarisasi membrane sehingga mengurangi penyaluran eksitasi pada CNS. Alpha-2 agonis juga menyebabkan penurunan konduktansi kalsium ke dalam sel sehingga menghambat pelepasan neurotransmitter. Dua mekanisme ini menjadi dua jalur yang berbeda dalam memberikan efek analgesia. Pertama, terjadi hambatan penghantaran pada saraf dan yang kedua saraf tersebut tidak dapat menyebarkan sinyal ke saraf lain disekitarnya. Clonidine merupakan alpha-2 adrenergic agonist selektif dengan selektvitas 200:1 (alpha-2:alpha1), sedangkan selektivitas Dexmedetomidine 1600:1 (alpha-2:alpha1). Sehingga Dexmedetomidine delapan kali lebih selektif dari pada klonidin. 2,3,4 Alfa-2 agonis tidak boleh diberikan pada pasien hipovolemik atau yang mengalami vasokonstriksi berat. Status hemodinamik pasien dapat meningkatkan resiko efek samping serius. Obat ini tidak boleh diberikan secara bolus karena hubungan dosis yang tinggi dengan hipertensi pulmonar dan sistemik, membatasi penggunaannya sebagai anestesi tunggal atau sedatif. Hipertensi akut dan bradikardia dapat terjadi setelah pemberian bolus intravena, bradikardia dan hipertensi akut adalah efek samping yang umum pada alfa-2 agonis. 2,5 Clonidine

Clonidine adalah derivate imidazoline dengan aktivitas predominan Alfa-2 adrenergik agonist. Studi menyebutkan bahwa ikatan clonidine terhadap reseptor paling tinggi di rostal venterolateral medulla di batang otak yang mengaktifkan neuron inhibitor. Efeknya adalah mengurangi aktivitas simpatetik, meningkatkan parasimpatis, dan mengurangi sirkulasi katekolamin.17

Clonidine dapat diberikan melalui enteral, neuraksial, dan intravena untuk manajemen nyeri pada kasus nyeri akut dan kronis. Keuntungan clonidine sebagai adjuvant meliputi: 1) mengurangi jumlah kebutuhan terhadap opioid sebagai analgesik sehingga mengurangi efek samping yang disebabkan oleh opioid, 2) mentitrasi sedasi dan anxiolysis tanpa menyebabkan penekanan pernafasan ketika dikombinasikan dengan opioid, 3) vasodilatasi dan memperbaiki sirkulasi serebral, koronari, dan pembuluh visceral. Efek samping sistemik pemberian clonidine adalah hipotensi, bradikardia, dan sedasi. Untuk operasi tulang belakang bawah dengan anestesi umum, pasien menerima epidural clonidine 25mg/jam atau plasebo infus untuk pasca operasi 36 jam. Penggunaan PCA morfin berkurang pada kelompok clonidine (35 mg) dibandingkan plasebo (61 mg). Skor nyeri dan kejadian PONV pada kelompok clonidine juga berkurang. Tekanan darah dan detak jantung lebih rendah pada kelompok clonidine, namun pengurangannya tidak signifikan.5 Untuk sesar dipilih anestesi spinal, pasien diacak untuk tiga kelompok intratekal: bupivakain-sufentanil, bupivakain-sufentanil-clonidine 75 mg, atau clonidine bupivakain-150mg. Konsumsi PCA morfin pascaoperasi dan skor nyeri tidak berbeda antara ketiga kelompok tersebut. Namun, daerah dari hiperalgesia mekanik, ketika luka itu diperiksa pada 48 jam setelah operasi, sangat berkurang pada penggunaan bupivakain-clonidine 150 mg kelompok (1.0cm2) dibandingkan dengan kelompok bupivakain-sufentanil (9,5 cm2).5,6 Dalam studi lain, pasien yang menjalani prostatektomi radikal dengan anestesi umum menerima injeksi pra operasi morfin intratekal 4 mg/kg, clonidine 1 mg/kg dan morfin 4 mg/kg, atau tanpa injeksi. Konsumsi sufentanil intraoperatif adalah terendah dalam clonidine dan kelompok morfin dibandingkan dengan dua kelompok lainnya. Skor nyeri saat istirahat lebih rendah dari 18 jam awal dalam kelompok morfin saja dan lebih 24 jam awal dalam clonidine dan kelompok morfin, dibandingkan dengan kelompok tanpa injeksi.5

Dexmedetomidine18

Dexmedetomidine adalah selective alpha-2 agonist dengan efek sedative. Obat ini lebih selektif terhadap alfa-2 agonist dibandingkan dengan klonidin. Dexmedetomidine memiliki waktu paruh eliminasi 2 sampai 3 jam. Efek samping dari Dexmedetomidine meliputi hipotensi, hipertensi, bradikardi, mual, atrial vibrilasi dan hipoksia. Overdosis dapat menyebabkan blok atrioventrikular derajat I atau II. Pasien yang menjalani histerektomi abdominal total di bawah anestesi umum secara acak menerima 1mg/ml morfin sendiri atau dexmedetomidine 5 mg / ml dan morfin analgesia pascaoperasi 1mg/ml lebih dari 24 jam. Pasien dengan dexmedetomidine dan morfin dibutuhkan dosis morfin yang lebih kecil (23mg) dibandingkan morfin kelompok saja (33 mg) selama 0-24 jam pasca operasi periode. Skor nyeri pascaoperasi saat istirahat atau dengan gerakan dan kejadian mual selama 4 - 24 periode jam lebih rendah pada kelompok dexmedetomidine dan morfin. Ada penurunan tekanan darah rendah dan detak jantung di dexmedetomidine dan morfin kelompok, namun penurunan itu kecil.2,5 2.5.6 Antikonvulsan Pregabalin dan gabapentin berikatan dengan subunit 2 dari chanel kalsium di sumsum tulang belakang dan otak. Kedua obat ini merupakan anticonvulsant yang digunakan untuk kejang dan nyeri neuropatik. Salah satu keuntungan dari pregabalin dalam penggunaan klinis adalah memiliki bioavailabilitas lebih tinggi dari gabapentin.2,5 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gabapentin dapat mengurangi penggunaan analgesik untuk nyeri akut postoperasi. Gabapentin awalnya diperkenalkan sebagai antiepilepsi dan secara ekstensif digunakan untuk terapi nyeri neuropatik. Obat ini pada konsentrasi yang relevan secara klinis bekerja mengikat reseptor 2 subunit dari voltageactivated calsium channels, pengikatan ini menyebabkan pengurangan influks ca2+ ke dalam ujung saraf dan norepinephrin.5,10,11 Pada orang dewasa, terapi gabapentin dimulai dengan dosis tunggal 300 mg pada hari pertama, 600 mg pada hari kedua (dibagi dalam dua dosis), dan 900 mg pada hari yang ketiga(dibagi dalam 3 dosis). Dosis ini dapat dititrasi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri sampai dosis maksimum 1800 hingga 3600 mg(dibagi dalam 3 dosis). Pada penderita gangguan fungsi ginjal dan usia lanjut dosisnya dikurangi.10,1119

mengurangi pelepasan

neurotransmitter,

termasuk

glutamat dan

Efek samping dari gabapentin yaitu somnolen, cemas, dizziness, dan ataxia. Oleh karena itu, obat ini diberikan selama 8 minggu dengan dosis titrasi sampai 3600mg/hari untuk mengurangi munculnya efek samping yang berat. Mekanisme kerja dari pregabalin sejauh ini belum dimengerti, namun diyakini sama dengan gabapentin. Pregabalin mengikat reseptor 2 subunits dari voltage activated calsium channels, memblok ca2+ masuk pada ujung saraf dan mengurangi pelepasan neurotransmitter. Dosis maksimum yang direkomendasikan dari pregabalin adalah 100 mg tiga kali sehari (300mg/hari). Pada pasien dengan creatinin clearance 60 ml/min, dosis seharusnya mulai pada 50 mg tiga kali sehari (150mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300mg/hari dalam 1 minggu berdasarkan keampuhan dan daya toleransi dari penderita. Dosis pregabalin sebaiknya diatur pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada penderita PHN, dosis yang direkomendasikan dari pregabalin adalah 75 hingga 150 mg 2 kali sehari atau 50 hingga 100 mg 3 kali sehari (150-300 mg/hari). Pada pasien dengan creatinin clearance 60 ml/min, dosis mulai pada 75 mg 2 kali sehari, atau 50 mg 3 kali sehari (150 mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300 mg/hari dalam 1 minggu berdasarkan keampuhan dan daya toleransi penderita, jika nyerinya tidak berkurang pada dosis 300 mg/hari, pregabalin dapat ditingkatkan hingga 600 mg/hari.2,5,12 2.5.7 Glukokortikoid Glukokortikoid, termasuk deksametason, telah banyak digunakan untuk manajemen nyeri karena memiliki efek antiinflamasi dan dapat memberikan efek analgesik. Glukokortikoid dapat diberikan secara topical, oral, maupun parenteral (intravena, subkutan, intraartikular, dan epidural). Dosis yang besar dan penggunaan yang lama dapat memberikan efek samping seperti hipertensi, hiperglikemi, infeksi, ulkus peptikum, osteoporosis, proximal miopati, katarak, dan psikosis.2,5

Deksametason Pasien yang menjalani artroplasti pinggul total di bawah anestesi spinal dengan sedasi propofol secara acak menerima dosis tunggal intravena preoperatif deksametason 40mg atau plasebo. Konsumsi PCA morfin 0-48 jam dan nyeri saat istirahat tidak berbeda antara kelompok-kelompok, tapi rasa sakit pada saat berdiri 24 jam pasca operasi lebih rendah pada kelompok deksametason (2.6/10) dibandingkan kelompok plasebo (6.9/10). Protein C-reaktif, penanda inflamasi, diukur pada 48 jam setelah operasi dalam darah vena adalah lebih rendah pada kelompok deksametason (47 mg /20

ml) daripada di kelompok plasebo (200 mg / ml). Salah satu temuan negatif adalah peningkatan konsumsi propofol selama operasi di kelompok deksametason (235 mg) dibandingkan dengan plasebo (139 mg).2,5

2.5.8Obat-obat Kolinergik

Asetilkolin dapat menyebabkan analgesia melalui tindakan langsung pada tulang belakang reseptor kolinergik muskarinik M1 dan M3 dan subtipe reseptor nikotinik.2 Nikotin

Nikotin

bekerja

pada

reseptor

kolinergik

nikotinik,

yang

ditemukan

di

sistem saraf pusat, ganglia otonom, neuromuscular junction, dan juga di beberapa jaringan non saraf. Mekanisme kolinergik dimediasi nikotin sebagai analgesia tampaknya melibatkan beberapa jalur. Nikotin bekerja pada nAChRs baik di otak dan medulla spinalis untuk mengaktifkan inhibitor descending pain pathway. Nikotin diduga melibatkan, setidaknya sebagian, pelepasan norepinefrin lokal, melalui aktivasi reseptor 2-adrenergik. Nikotin juga dapat menghasilkan analgesia dengan pelepasan opioid endogen. Beberapa uji klinis kecil menunjukkan nasal spray nikotin atau nikotin transdermal dengan dosis rendah dapat mengurangi nyeri pasca operasi dan / atau mengurangi penggunaan opiat pasca operasi.13 Pasien bukan perokok yang menjalani prostatektomi radikal retropubik di bawah anestesi umum secara acak diaplikasikan patch nikotin atau patch plasebo 7mg 30-60 menit sebelum operasi dan dibiarkan di tempatnya selama 24 jam. Kumulatif PCA menggunakan morfin menurun dalam kelompok nikotin (33 mg) dibandingkan dengan kelompok plasebo (45 mg). Skor nyeri pada istirahat atau dengan batuk tidak berbeda antara kelompok-kelompok tersebut. Kejadian PONV atau pruritus juga tidak berbeda antara kelompok-kelompok tersebut, tetapi intensitas mual lebih besar pada kelompok nikotin.5

21

BAB III KESIMPULANNyeri merupakan masalah yang luas dan merupakan gejala umum yang sering dikeluhkan oleh pasien. Baik komponen fisiologi dan psikologi akan mempengaruhi seberapa banyak nyeri tersebut akan dirasakan dan bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap nyeri. Menurut International Association For The Study of Pain (IASP) nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, yang tejadi karena adanya kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan. Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita. Secara garis besar penghantaran nyeri melibatkan proses transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menilai nyeri, diantaranya dengan Verbal Rating Scale, Numerical Rating Scale, Visual Analogue Scale, dan McGill Pain Questionnaire. Pengobatan yang direncanakan untuk menanggulangi nyeri harus diarahkan kepada proses penyakit yang mendasarinya untuk mengendalikan nyeri tersebut. Multimodal analgesia adalah penggunaan lebih dari satu macam obat analgetik yang memiliki mekanisme yang berbeda guna mendapatkan efek aditif dan sinergis dalam upaya menurunkan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid daripada digunakan sebagai monoterapi. Penggunaan teknik analgesia multimodal memberikan beberapa manfaat bagi pasien dan sistem kesehatan diantaranya dapat mengurangi efek samping (seperti mual dan muntah, konstipasi, retensi urin), mencegah nyeri akut menjadi nyeri kronik, mempercepat pemulihan pasien, dan memperpendek lama tinggal di rumah sakit.

22