mipa (biosains)

44

Click here to load reader

Upload: vuanh

Post on 02-Feb-2017

281 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: MIPA (Biosains)

MIPA (Biosains)

LAPORAN HASIL PENELITIAN

HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN

SESUAI PRIORITAS NASIONAL

TEMA:

Perubahan Iklim, Pelestarian Lingkungan, Keanekaan Hayati (Biodiversity)

BIODIVERSITAS DAN POLA DISTRIBUSI TERITIP INTERTIDAL

(CIRRIPEDIA : BALANOMORPHA) DI PANTAI-PANTAI

PULAU SUMATRA DAN KEPULAUAN SEKITARNYA

Romanus Edy Prabowo, S.Si, M.Sc, Ph.D

Dr.rer.nat. Erwin Riyanto Ardli, S.Si, M.Sc

Departemen Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan

Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Nomor:

319/SP2H/PP/DP2M/VI/2009 tanggal 16 Juni 2009

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGI

Maret 2009

Page 2: MIPA (Biosains)

i

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR

1. Judul Penelitian : BIODIVERSITAS DAN POLA DISTRIBUSI

TERITIP INTERTIDAL (CIRRIPEDIA :

BALANOMORPHA) DI PANTAI-PANTAI

PULAU SUMATRA DAN KEPULAUAN

SEKITARNYA

2. Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap : Romanus Edy Prabowo, S.Si, M.Sc, Ph.D

b. Jenis Kelamin : L / P

c. NIP : 19720228 199903 1 002

d. Jabatan Struktural : -

e. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli

f. Fakultas/Jurusan : Biologi/Biologi

g. Pusat Penelitian : -

h. Alamat : Fakultas Biologi UNSOED Kampus Grendeng

Jalan Dr. Suparno 63 Purwokerto 53123

i. Telpon/Faks : 0281-638794/0281-631700

j. Alamat Rumah : Bumi Arca Indah Blok X/5B Arcawinangun

Purwokerto 53112

k. Telpon/Faks/E-mail : 0281-9149001/-/[email protected]

3. Jangka Waktu Penelitian : 3 tahun

Laporan penelitian ini adalah laporan akhir tahun ke-1

4. Pembiayaan

a. Jumlah yang diajukan ke Dikti tahun ke-1 : Rp 99.075.000

Jumlah yang disetujui untuk tahun ke-1 : Rp 95.000.000

Purwokerto, 28 November 2009

Mengetahui:

Dekan, Ketua Proyek

Dra. Purnomowati, SU. Romanus Edy Prabowo, PhD.

NIP. 19531021 198103 2 001 NIP. 19720228 199903 1 002

Menyetujui:

Ketua Lembaga Penelitian UNSOED

Edy Yuwono, PhD.

NIP. 19621208 198601 1 001

Page 3: MIPA (Biosains)

ii

RINGKASAN DAN SUMMARY

Laporan penelitian biodiveritas teritip di Pulau Sumatra dan kepulauan

sekitarnya ini adalah pelaksanaan tahun pertama dari tiga tahun yang direncanakan.

Pengambilan sampel tahun pertama ini dilakukan di Propinsi Lampung (Bakauhuni,

Kalianda, Teluk Siak, Kota Bandar Lampung, dan Selat Semaka), di Propinsi Bengkulu

(Kota Bengkulu dan Pelabuhan Pulau Bai), dan di Propinsi Sumatra Barat (Kota Padang,

Pelabuhan Teluk Bayur, Pelabuhan Teluk Bungus, dan Pulau Sipora Kepulauan

Mentawai). Secara umum ketiga propinsi tersebut mempunyai diversitas teritip yang

sangat rendah dibandingkan biodiveritas teritip Indonesia secara umum, dan masuk

kedalam regional fauna teritip Indo-Malaya. Hanya Pelabuhan Bakauhuni Lampung

yang mempunyai biodiversitas teritip tertinggi yaitu 11 spesies. Kecuali lingkungan

pelabuhan yang rata-rata mempunyai diversitas relatif lebih tinggi, keseluruhan pantai

ketiga propinsi tersebut mempunyai topologi pantai yang sama yaitu pantai berdasar

pasir yang dangkal dengan ombak yang relatif lemah, suatu kondisi yang kurang

mendukung settlement larva teritip. Sehingga diversitas rata-rata dari ketiga propinsi

tersebut hanya 2 spesies pada tiap lokasinya yang didominasi oleh Chthamalus

malayensis. Di Pelabuhan Teluk Bayur ditemukan adanya introduksi spesies asing

Striatobalanus taiwanensis yang diduga berasal dari daerah distribusi alamiahnya yaitu

Taiwan.

Barnacle biodiversity research of Sumatra Island and surrounding islands has

been conducted. In this first term of its three years term, barnacle samples have been

collected from three provinces. Barnacles have been recorded from several localities,

i.e.; Province of Lampung (Bakauhuni, Kalianda, Siak Cove, City of Bandar Lampung,

dan Semaka Strait), Province of Bengkulu (City of Bengkulu dan Port of Pulau Bai),

and Province of West Sumatra (City of Padang, Port of Teluk Bayur, Port of Teluk

Bungus and Sipora Island of Mentawai Isles). All those provinces belong to

Indo-Malayan barnacle’s faunal region and having low barnacle diversity compared to

global Indonesian barnacle diversity. A relatively high barnacle diversity has been

recorded from Port of Bakauhuni comprises of 11 species. With an exception for port

and harbour areas, most coastlines having low barnacle diversity due to uniformity in

coastal topology, which is shallow sandy beach with low waves action, a condition

which is not suitable for new setlement of barnacle larvae. Along the coast of those

three provinces mostly occupied by one or two species and dominated by Chthamalus

malayensis. In the Port of Teluk Bayur an introduction of allien species, Striatobalanus

taiwanesis, has been recorded which likely transfered by ship from Taiwan.

Page 4: MIPA (Biosains)

iii

PRAKATA

Biodiversitas dan pola distribusi spesies teritip di Pulau Sumatra sangat menarik

dan penting untuk dikaji karena sebagian daerah penelitian memiliki pantai dengan

sejarah geologis yang relatif ‘baru’ (pantai timur Pulau Sumatra) dan sebagian yang lain

adalah pantai ‘lama’ (pantai barat Pulau Sumatra). Pulau Sumatra bersama

Semenanjung Malaya, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan dan sebagian kepulauan Filipina,

pada era Pleistocene telah beberapa kali terhubung satu sama lain sebagi satu daratan

bagian dari benua Asia, sehingga pantai timur Pulau Sumatra sekarang ini adalah relatif

‘baru’ dibandingkan pantai baratnya. Demikian juga dengan fauna yang mendiaminya

termasuk teritip.

Penelitian ini adalah penelitian bertema Perubahan Iklim, Pelestarian

Lingkungan, dan Keanekaan Hayati (Biodiversity) yang dilaksanakan dalam skema

Penelitian Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional yang didanai oleh

Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi (DP2M), Departemen Pendidikan Nasional, Republik Indonesia.

Oleh karena itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Direktur Penelitian dan

Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen

Pendidikan Nasional selaku penyedia dana penelitian dan juga kepada Ketua Lembaga

Penelitian Universitas Jenderal Soedirman selaku penyelenggara dan pengelola

penelitian DP2M di Universitas Jenderal Soedirman.

Dengan segala kekurangannya semoga apa yang dihasilkan dari penelitian ini

bisa memberikan sumbangan informasi biodiversitas teritip Indonesia secara global dan

khususnya Pulau Sumatra. Semoga penelitian ini juga bisa digunakan untuk

tujuan-tujuan konservasi lingkungan laut.

Purwokerto, November 2009

Tim Peneliti

Page 5: MIPA (Biosains)

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... i

RINGKASAN DAN SUMMARY ............................................................................. ii

PRAKATA ................................................................................................................. iii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. iv

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. vi

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. vii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ........................................... 7

BAB IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 9

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 19

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 27

Page 6: MIPA (Biosains)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar spesies teritip yang ditemukan di Propinsi Lampung .................... 19

Tabel 2. Daftar spesies teritip yang ditemukan di Propinsi Bengkulu .................... 20

Tabel 3. Daftar spesies teritip yang ditemukan di Propinsi Sumatra Barat ............ 20

Page 7: MIPA (Biosains)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta lokasi penelitian, Pulau Sumatra dan kepulauan sekitarnya,

dengan titik-titik pengambilan sampel (Bengkulu + Enggano; Padang

+ Mentawai; Sibolga + Nias + Simeulue; Aceh + We; Medan;

Bagansiapiapi; Tebingtinggi; Jambi; Bangka; Lampung) ................... 12

Gambar 2. Morfologi cangkang teritip (bagian keras): A. Penampang apikal, dan

B. Penampang lateral keseluruhan cangkang teritip, (r. rostrum; l.

lateral; cl. carinolateral; c. Carina; tr. Tergum; sc. scutum). C&D.

Permukaan bagian dalam, dan E&F. Permukaan bagian luar

cangkang penutup teritip (opercular plates), (C&F: scutum; D&E:

tergum). G. Penampang basal bagian dalam dari cangkang (parietes;

rostrum) . F. Struktur skematis cangkang (parietes) ........................... 15

Gambar 3. Gambar skematis karakter morfologi yang digunakan dalam

identifikasi spesies teritip: A. Posisi tubuh teritip di dalam cangkang.

B. (1-6) Cirri (filter legs) I-VI, dan (7) basal point dari penis. C.

Cirrus III (ditunjuk oleh panah pada gambar B), (8) protopodite, (9)

article yang ditunjuk pada kedua rami. D. Armatures pada article,

(10) setae, (11) simple spinules, (12) multifid spinules, (13) multifid

scales, (14) denticles, (15) conical “teeth” ............................................ 16

Gambar 4. Foto beberapa spesies teritip yang ditemukan pada penelitian tahun

pertama ini ........................................................................................... 22

Gambar 5. Lokasi pengambilan sampel Padang (In01) dan Bengkulu (In25)

bergabung dengan regional fauna teritip Indo-Malaya ........................ 24

Gambar 6. Pengelompokkan daerah pengambilan sampel Padang (8) dan

Bengkulu (7) dengan regional fauna teritip Indo-Malaya ditunjukan

dengan lingkaran hitam. Horizontal bar menunjukan biodiversitas

tertitip secara umum berdasarkan garis lintangnya ............................. . 25

Page 8: MIPA (Biosains)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Personalia tim peneliti ........................................................................ 30

Lampiran 2. Curriculum vitae tim peneliti .............................................................. 31

Page 9: MIPA (Biosains)

1

I. PENDAHULUAN

Teritip adalah kelompok hewan Infra-Classis Cirripedia Burmeister, 1834;

Sub-Ordo Balanomorpha Pilsbry, 1916. Teritip ditemukan hampir di seluruh laut

dunia pada semua kedalaman. Biodiversitas tertinggi teritip ada di daerah intertidal,

dan dari seluruh pantai-pantai dunia, Indonesia termasuk dalam wilayah dengan

biodiversitas tertinggi, yaitu East Indies Triangle, daerah segitiga imajiner yang

menghubungkan Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya, kepulauan Filipina dan

Papua Nugini (Briggs, 1999; 2000).

Penelitian terkait teritip Pulau Sumatra belum banyak dilakukan, sehingga

informasi sejarah biodiversitas dan distribusi spesies teritip Pulau Sumatra saat ini

sangat susah diperoleh. Biodiversitas teritip intertidal di Sumatra, pulau besar yang

melintang garis katulistiwa dengan garis pantai yang sangat panjang dan variasi

ekosistem yang kompleks, sangat menarik untuk diteliti. Ekosistem pantai yang

sangat komplek salah satunya dibentuk oleh kejadian geologis berupa naik dan

turunnya permukaan laut selama era Pleistocene. Pada era itu Pulau Sumatra bersama

Semenanjung Malaya, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan dan sebagian kepulauan

Filipina telah beberapa kali terhubung satu sama lain sebagi satu daratan bagian dari

benua Asia, sehingga pantai timur Pulau Sumatra sekarang ini adalah relatif ‘baru’

dibandingkan dengan pantai baratnya yang sudah ada sejak sebelum era Pleistocene.

Pantai-pantai Pulau Sumatra dan kepulauan sekitarnya juga merupakan suatu

perairan dengan ekosistem yang komplek, diantaranya adalah; pantai yang

menghadap laut lepas dan berombak kuat; pantai yang terlindung dalam teluk dan

kepulauan dengan ombak yang relatif tenang; dan pantai mangrove dengan variasi

salinitas yang lebar serta arus pasang surut yang relatif kuat tanpa pengaruh ombak.

Page 10: MIPA (Biosains)

2

Ekosistem perairan pantai Pulau Sumatra dan kepulauan sekitarnya yang

bervariasi tentunya mempunyai biodiversitas dan pola distribusi spesies teritip yang

bervariasi pula. Meskipun sistematika dan kekerabatan evolusi teritip sudah banyak

diketahui, namun demikian masih sedikit yang diketahui mengenai sejarah

biodiversitas dan penentu pola distribusi geografisnya. Oleh karena itu hasil dari

penelitian ini bisa sangat membantu untuk memahami biodiversias dan pola

distribusi spesies teritip secara global khususnya di pantai-pantai Pulau Sumatra dan

kepulauan sekitarnya.

Selain pengkajian teritip tersebut di atas kegiatan penting lain yang dilakukan

adalah pengiriman (deposisi) sampel yang digunakan dalam penelitian ini untuk

diregistrasi sebagai koleksi Museum Zoologi Bogor (MZB), selain sebagai koleksi

Laboratorium Biologi Akuatik Fakultas Biologi UNSOED. Deposisi sampel sebagai

koleksi sebuah museum adalah penting dalam penelitian biodiversitas.

Penelitian ini ditujukan untuk memberi kontribusi pada penelitian biodiversitas

teritip serta pola distribusi spesies teritip Indonesia, khususnya pada skala spasial

pulau besar yaitu pada pantai-pantai Pulau Sumatra dan kepulauan sekitarnya.

Page 11: MIPA (Biosains)

3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Teritip adalah satu-satunya kelompok Crustacea yang hidupnya sessilis dan

berbeda secara morfologis dengan kebanyakan Crustacea lainnya. Kelompok hewan

ini kosmopolit dan hidup menempel pada berbagai substrat keras yang cocok dan

hidup pada semua kedalaman laut. Teritip hanya hidup di perairan asin dan sebagian

besar hidup di daerah intertidal, terendam pada saat pasang dan terpapar kering pada

saat surut. Teritip beradaptasi dengan tekanan pasang surut pada berbagai topologi

pantai. Oleh karena itu teritip sangat bervariasi dalam hal karakter morfologinya

sebagai hasil adaptasi terhadap tekanan lingkungan (Puspasari et.al, 2000).

Bila dibandingkan dengan ekosistem darat yang tersusun atas benua dan

pulau-pulau, laut dunia secara harafiah dapat dilihat sebagai satu kesatuan dan bisa

dikatakan sebagi ekosistem yang ‘terbuka’ karena terhubung satu sama lain tanpa

pembatas. Oleh karena itu hewan bentik yang hidup di dalamnya termasuk teritip

dapat tersebar keseluruh laut dunia secara bebas. Namun demikian kondisi alamiah

distribusi hewan bentik termasuk teritip adalah diskontinyu, tidak tersebar merata di

seluruh lautan dunia (Myers, 1997).

Penelitian biodiversitas selalu dikaitkan dengan pola distribusi spesies

penyusunnya dan jangakauan sebaran geografisnya baik secara spasial maupun

temporal. Oleh karena itu penelitian biodiversitas pada suatu daerah juga merupakan

penelitian sejarah biodiversitas pada lokasi tersebut. Endemisme dan diskontinyuitas

distribusi teritip intertidal di Indo-West Pacific juga banyak ditemukan (Newman and

Foster, 1987; Newman 1991). Endemisme dan diskontinyuitas menunjukkan adanya

keterbatasan jangakuan ekspansi distribusi dari teritip intertidal yang secara umum

dibatasi oleh suatu penghalang yaitu penghalang geografis. Oleh karena itu perairan

Page 12: MIPA (Biosains)

4

laut bukanlah suatu ekosistem yang ‘terbuka’. Seperti yang dijelaksan oleh Myers

(1997) bahwa crustacea yang mempunyai fase hidup larva plantonik, secara teoritis

bisa menembus penghalang geografis, namun demikian kenyataan yang ada adalah

adanya keterbatasan penyebaran geografis bagi hampir semua crustacea.

Penelitian terkait biodiversitas teritip di Indonesia dan juga pola distribusinya

masih sangat sedikit jumlahnya dan kebanyakan hanya terbatas pada lokasi tertentu.

Kurangnya jumlah area yang diteliti telah menyebabkan resolusi biodiversitas teritip

di Indonesia sangatlah kecil, sehingga batas dan pola distribusinya sangatlah sulit

untuk diketahui. Penelitian teritip yang melibatkan wilayah Indonesia masihlah

sangat sedikit. Berikut ini disarikan dari berbagai sumber penelitian-penelitian terkait

teritip yang melibatkan wilayah Indonesia, khususnya Pulau Sumatra.

Darwin (1854) membagi fauna teritip dunia menjadi empat propinsi. Kepulauan

India Timut (East Indian Archipelago) atau lebih dikenal sebagai Segitiga India

Timur (East Indies Triangle) adalah propinsi fauna teritip ke-3, meliputi Philippines,

Borneo, New Guinea, Sumatra, Jawa, Maluku and pantai timur India. Darwin

menemukan 37 spesies dimana 24 spesies diantaranya hanya ada di propinsi fauna

teritip ini, dan propinsi fauna teritip ini merupakan propinsi dengan jumlah spesies

teritip tertinggi. Namun demikian Darwin (1854) menilai bahwa biodiversitas dan

distribusi teritip tidaklah menarik, selain karena biodiversitas yang rendah, tidak ada

perbedaan yang nyata secara global pada distribusi genera teritip. Namun demikian

Darwin tidak pernah benar-benar berkunjung dan mengambil sampel teritip di

wilayah Indonesia.

Hoek (1883) dalam ekspedisi “Siboga” melaporkan biodiversitas teritip

Indonesia dari berbagai daerah. Dalam ekspedisi tersebut Hoek membagi fauna

teritip dunia menjadi 8 propinsi. Wilayah Indonesia masuk ke dalam propinsi fauna

Page 13: MIPA (Biosains)

5

teritip ke-6 yaitu Indian Archipelago (termasuk Philippines, Semenanjung Malacca,

Borneo, Sumatra, Jawa, and New Guinea), serta pantai timur India yang tersusun atas

53 spesies. Dari Pulau Sumatra Hoek hanya mendapatkan sampel teritip dari

pelabuhan Bengkulu dan Pulau Belitung saja.

Pilsbry (1916) juga meneliti kawasan East Indies Triangle dengan beberapa

temuan spesies baru, namun demikian Pilsbry tidak pernah melawat wilayah

Indonesia. Adalah Nillson-Cantell (1921) yang banyak meneliti teritip intertidal

kawasan ini, termasuk Sumatra, Jawa, Belitung, Timor, Kupang, Philippine,

Semenajung Malaya dan Japan. Nillson-Cantell (1921) melaporkan 42 spesies dari

Semenanjung Malaya, namun hanya satu lokasi yang diambil dari Pulau Sumatra.

Henry dan McLaughlin (1975) banyak menjelaskan taksonomi dan distribusi

teritip yang paling umum di daerah intertidal yaitu Balanus amphitrite complex yang

sangat melimpah di East Indies Triangle. Namun demikian Henry dan McLaughlin

tidak melaporkan biodiversitas dan pola distribusi teritip taxa lain. Selain itu sampel

dari Pulau Sumatra merupakan koleksi yang diperoleh hanya dari Bengkulu.

Pope (1965) fokus membahas Chthamalidae, kelompok teritip intertidal yang

umum dijumpai di daerah pasang surut perairan Australia and Indomalaya dari segi

taksonomis maupun jangkauan distribusinya. Namun demikian bahasan jangakauan

distribusinya sedikit sekali dibahas dan untuk wilayah Indonesia hanya sebatas

asumsi. Southward dan Newman (2003) juga fokus membahas spesies-spesies teritip

genus Chthamalus dari daerah Indo-Malaya dan Pacific yang membahas secara detail

biogeografi kelompok taxa tersebut. Namun sama dengan Pope (1965) untuk wilayah

Indonesia tinjauannya masih sebatas asumsi dari catatan peneliti lain.

Poltarukha (1997, 2001) yang banyak membahas teritip dari subfamilia

Euraphiinae Asia Tenggara telah banyak melaporkan catatan biodiversitas dan pola

Page 14: MIPA (Biosains)

6

distribusi taxa ini berdasarkan sample dari Vietnam dan beberapa wilayah Indonesia

lain meskipun dengan resolusi daerah penelitian rendah.

Para peneliti tersebut di atas, meskipun hanya meneliti secara parsial wilayah

Indonesia dan pada kelompok taxa tertentu saja, telah memberikan sumbangan

informasi yang sangat berharga dalam hal biodiversitas dan pola distribusinya secara

global. Kajian biodiversitas dan pola distribusi yang lebih baik telah dilakukan oleh

Prabowo (2005, 2008) untuk wilayah East Indies Triangle, dengan resolusi daerah

peneitian yang lebih baik. Prabowo membagi wilayah Indonesia menjadi dua daerah

fauna teritip yaitu Indonesia barat dan Indonesia timur dimana batas faunanya segaris

dengan batas fauna Wallace yang dimodifikasi oleh Thomas Henry Huxley.

Prabowo melaporkan tidak kurang dari 66 spesies dari East Indies Triangle.

Meskipun secara global untuk daerah Central Indo-West Pacific (dari Jepang hingga

Australia, dan dari Semenanjung Malaya hingga Papua New Guinea) resolusi daerah

penelitiannya sudah memadai, Prabowo hanya memberikan perhatian yang rendah

untuk pulau-pulau besar Indonesia (Sumatra 2 lokasi, Kalimantan 4 lokasi dan

Sulawesi 3 lokasi), sehingga biodiversitas teritip Indonesia dan pola distribusinya

masih samar untuk diketahui. Oleh karena itu penelitian penting untuk mendapatkan

data biodiversitas yang lebih baik dengan resolusi daerah pengambilan yang lebih

banyak serta untuk medapatkan batas fauna teritip yang lebih jelas.

Page 15: MIPA (Biosains)

7

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian :

Tujuan dari penelitian tahun pertama ini adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui biodiversitas teritip di pantai-pantai Propinsi Lampung, Propinsi

Bengkulu, dan Propinsi Sumatra Barat.

b. Mengetahui pola distribusi spesies teritip di pantai-pantai Propinsi Lampung,

Propinsi Bengkulu, dan Propinsi Sumatra Barat.

c. Mengetahui pengelompokan lokasi penelitian berdasarkan biodiversitas dan

pola distribusi spesies teritip terkait dengan tipe habitatnya.

d. Mengetahui kemungkinan adanya uplifted tanah pantai Propinsi Lampung,

Propinsi Bengkulu, dan Propinsi Sumatra Barat., akibat gerakan tektonik

(subduction) berdasarkan perubahan pola distribusi vertikal teritip.

e. Mengetahui kemungkinan adanya spesies invasive di pelabuhan-pelabuhan

sepanjang pantai Propinsi Lampung, Propinsi Bengkulu, dan Propinsi

Sumatra Barat.

2. Manfaat Penelitian :

Meskipun sistematika dan kekerabatan evolusi teritip sudah banyak

diketahui, namun demikian masih sedikit yang diketahui mengenai sejarah

biodiversitas dan penentu pola distribusi geografisnya. Oleh karena itu, hasil dari

rencana penelitian ini akan sangat membantu untuk memahami biodiversias dan

pola distribusi spesies teritip secara global khususnya di pantai-pantai Pulau

Sumatra dan kepulauan sekitarnya.

Global warming yang menjadi topik sentral global terkait pengaruh

buruknya pada kelestarian biodiversitas laut, menjadikan penelitian ini penting

Page 16: MIPA (Biosains)

8

dan sangat berguna untuk dilakukan, karena sejarah biodiversitas teritip

pantai-pantai Pulau Sumatra dan kepulauan sekitarnya belum pernah tercatat

sebelumnya.

Spesies laut invasive yang juga menjadi menjadi salah satu topik global

terkait pengaruh buruknya pada kelestarian biodiversitas laut lokal. Perairan

pantai Pulau Sumatra dan kepulauan sekitarnya mempunyai beberapa pelabuhan

yang terbuka untuk jalur pelayaran internasional, dan juga dekat dengan

pelabuhan internasional Singapura yang sangat sibuk, pintu masuk hewan laut

invasive dari luar yang terbawa bersama kapal rute internasional. Seperti

diketahui hewan laut invasive yang paling dominan adalah teritip, yang

kehadirannya bisa mengganggu keseimbangan ekosistem laut lokal. Resiko yang

ditimbulkan oleh hewan laut invasive bisa sangat menelan biaya dan

menimbulkan kerugian yang tidak sedikit serta susah sekali untuk diperbaiki

(Wolff, 2005).

Secara ekologis teritip sangat penting untuk ekosistem daerah pantai,

namun demikian teritip secara umum mempunyai nilai negatif yang lebih besar

buat manusia, yaitu sebagai biofouling pada struktur buatan manusia yang ada di

laut. Selain itu teritip juga mempunyai pengaruh buruk pada tunas pohon

mangrove muda, dimana tunas pohon mangrove muda yang penuh ditumbuhi

teritip akan mati dan tidak bisa tumbuh menjadi mangrove dewasa, oleh karena

itu kehadiran teritip jenis tertentu pada daerah mangrove bisa juga menghambat

upaya konservasi mangrove di pesisir Pulau Sumatra dan kepulauan sekitarnya.

Oleh karena itu data biodiversitas dan pola distribusi teritip juga menjadi sangat

penting dalam konservasi mangrove.

Page 17: MIPA (Biosains)

9

BAB IV. METODE PENELITIAN

1. Tahapan Penelitian :

Penelitian ini adalah tahun pertama dari 3 tahun yang direncanakan.

Kegiatan dalam masing-masing tahapan adalah sama, dengan perincian sebagai

berikut:

1) Kegiatan lapangan meliputi; pengambilan sampel, pencatatan habitat

sampel, dan kajian ekologi teritip di lokasi pengambilan sampel.

2) Kegiatan laboratorium meliputi; identifikasi sampel (dengan pembuatan

preparat mikroskopis bagian lunak, opercular plates dan parietal plates

teritip) dan pengamatan karakter morfologi teritip, pendeskripsian semua

jenis teritip yang ditemukan dan pemetaan pola sebaran tiap jenis teritip,

serta analisa data (biodiversitas dan ekologi teritip).

3) Kegiatan lain meliputi; deposisi dan registrasi koleksi sampel teritip di

Laboratorium Biologi Akuatik Fakultas Biologi UNSOED dan Museum

Zoologi Bogor (MZB).

Pewaktuan dan pembagian lokasi pengambilan sampel pada tiap tahapan

dilakukan dengan pertimbangan keterwakilan lokasi penelitian dan resolusi

lokasi pengambilan sampel yang memadai untuk ukuran daerah penelitian yang

besar (sepanjang pantai Pulau Sumatra dan kepulauan sekitarnya), serta waktu

tempuh dan aksesibilitas lokasi penelitian. Tahapan pegambilan sampel dibagi

dengan urutan seperti Tabel 1.

2. Materi dan Alat Penelitian :

Material utama yang dipakai dalam penelitian ini adalah Teritip yang hidup

menempel pada substrat alami maupun buatan pada daerah kisaran pasang surut

Page 18: MIPA (Biosains)

10

(intertidal) di pantai-pantai Pulau Sumatra dan kepulauan sekitarnya. Bahan

kimia yang digunakan adalah ethanol 96% yang berfungsi untuk fiksasi

(mengeluarkan kandungan air) teritip dengan cara merendamnya dalam kantung

plastik dalam kontainer sampel plastik. Ethanol 96% rendaman sampel diganti

setiap hari selama 3 hari berturut-turut. Ethanol 96% juga berfungsi sebagai

media rendaman untuk penyimpanan koleksi utuh sampel teritip. Ethanol 99,9%

PA digunakan untuk media penyimpanan jaringan otot teritip yang didiseksi

dalam tabung plastik 1,5ml. Penelitian ini juga mengunakan Entellan sebagai

media untuk pembuatan preparat awetan bagian lunak teritip yaitu trophi

(bagian-bagian mulut) dan cirri (kaki-kaki filter) yang karakteristik morfologinya

sangat penting dalam identifikasi spesies teritip.

Tabel 1. Lokasi pengambilan sample per tahapan penelitian.

Tahap Lokasi pengambilan sampel

Tahap I

sudah dilakukan

- Pesisir Lampung dan sekitarnya,

- Pesisir Bengkulu dan sekitarnya (+ P. Enggano),

- Pesisir Padang dan sekitarnya (+ P. Mentawai).

Tahap II - Pesisir Sibolga dan sekitarnya (+ P. Nias & P. Simeulue),

- Pesisir Medan dan sekitarnya,

- Pesisir Aceh dan sekitarnya (+ Pulau We).

Tahap III - Pesisir P. Bangka,

- Pesisir Jambi dan sekitarnya,

- Pesisir Tebingtinggi dan sekitarnya,

- Pesisir Bagansiapiapi dan sekitarnya.

Alat yang digunakan dalam penelitian lapangan adalah: perahu untuk

mengakses lokasi sampling; alat sampling teritip berupa pahat, palu dan tang

untuk teritip besar yang menempel kuat pada batu atau substrat keras lainnya,

pisau cutter untuk teritip yang menempel pada batang atau daun mangrove; GPS

untuk penentuan koordinat lokasi sampling; digital camera dalam water-resist

Page 19: MIPA (Biosains)

11

casing yang dimodifikasi dengan kaki penambat berupa plot frame (plot kuadrat)

sebagi digital recorder petak kuadrat di lokasi sampling.

Alat yang digunakan dalam penelitian laboratorium adalah: alat diseksi

untuk diseksi bagian lunak teritip dan untuk pembuatan preparat mikroskopis;

mikroskop stereo untuk pengamatan bentuk dan struktur cangkang (parietes) dan

plat penutup cangkang (opercular plates) teritip; mikroskop cahaya untuk

pengamatan preparat bagian lunak yaitu trophi dan cirri; komputer dengan

software SigmaScan dan PRIMER-E untuk analisa data.

3. Lokasi Penelitian :

Penelitian dilaksanakan di pantai-pantai Pulau Sumatra dan kepulauan

sekitarnya. Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada daerah-daerah seperti

yang ditunjukan pada Gambar 1 berikut ini. Pada pelaksanaannya pengambilan

sampel disesuaikan dengan aksesibilitas lokasi penelitian dan keberadaan teritip.

Penyesuaian diusahakan sebisa mungkin untuk mendapatkan resolusi titik

sampling yang mewakili kondisi alamiah dari biodiversitas dan pola distribusi

teritip. Gambar 2:A menunjukan lokasi pengambilan sampel penelitian tahun I.

4. Waktu Penelitian :

Penelitian tahun pertama dilakukan selama 6 bulan dari bulan Juli hingga

November 2009.

5. Metode Penelitian :

Penelitian ini dirancang menggunakan metode survei yang merupakan

penelitian deskriptif, guna membuat gambaran biodiversitas dan pola distribusi

teritip secara sistematis, faktual dan akurat serta menunjukan hubungannya

dengan kondisi lingkungannya.

Page 20: MIPA (Biosains)

12

Gambar 1. Peta lokasi penelitian, Pulau Sumatra dan kepulauan sekitarnya, dengan rencana

titik-titik pengambilan sampel (Bengkulu + Enggano; Padang + Mentawai; Sibolga + Nias +

Simeulue; Aceh + We; Medan; Bagansiapiapi; Tebingtinggi; Jambi; Bangka; Lampung). A.

Tahun I, B. Tahun II, dan C. Tahun III.

Metoda penelitian ini disusun dengan penahapan sesuai dengan urutan

kegiatan penelitian dan masing-masing tahapan mempunyai kegiatan sebagai

berikut :

a. Prosedur Sampling :

Pengambilan sampel dilakukan pada surut terendah. Tanggal dan jam

pengambilan sampel pada tiap trip ditentukan menggunakan software

prediksi pasang-surut WXTide32. Koordinat geografis lokasi pengambilan

sampel dicatat dan ditentukan dengan menggunakan GPS.

Page 21: MIPA (Biosains)

13

Bila teritip ditemukan pada lokasi pengambilan sampel, maka lokasi

substrat ditemukannya teritip difoto menggunakan digital camera yang sudah

dimodifikasi dengan plot frame. Digital camera dimodifikasi dengan

menambahkan penyangga berbentuk plot frame (sampling plot / plot kuadrat)

dengan ukuran 44,7 x 44,7 cm (±0,5 m2). Kamera yang dihadapkan kebawah

akan mempunyai bidang pandang berupa plot kuadrat penyangga dengan

skala ukur pada setiap sisinya.

Setiap individu yang ada dalam kuadrat, diambil dengan menggunakan

pahat dan palu untuk teritip besar yang menempel kuat pada substrat keras,

dan menggunakan pisau (cutter) untuk teritip kecil yang menempel pada

batang mangrove atau substrat lunak. Setiap individu teritip diambil dan

dimasukan dalam kantung plastik terpisah beserta dengan stiker label

bernomornya sebagai identitas sampel. Tiap kantung sampel diisi ethanol

96% sebagai fiksatif dan dimasukan dalam kontainer plastik untuk sementara.

Ethanol perendam diganti keesokan harinya dengan ethanol 96% baru.

Penggantian ethanol rendalam 96% diulang hingga 3 kali untuk keawetan

penyimpanan jangka panjang (deposisi koleksi sampel) dalam kontainer

beling. Penyimpanan dalam ethanol juga untuk menjaga availabilitas sampel

untuk analisa molekular bila diperlukan di kemudian hari.

Pendataan kondisi lingkungan lokasi pengambilan sampel teritip

dilakukan dengan mencatat parameter kualitatif seperti jenis substrat tempat

melekatnya teritip dan kondisi habitat secara umum (misalnya; mangrove,

pantai berbatu, pantai karang, pelabuhan kayu, pelabuhan cor-semen, dll).

Page 22: MIPA (Biosains)

14

b. Identifikasi Taksonomis :

Determinasi dilakukan hingga tingkatan spesies berdasarkan

karakteristik morfologi teritip bagian keras (struktur cangkang kapur)

(Gambar 2) dan bagian lunak (tubuh teritip yang ada di dalam cangkang)

(Gambar 3). Oleh karena itu identifikasi taksonomis sampel teritip didahului

dengan pembuatan preparat awetan baik bagian keras berupa cangkang

(parietes) dan plat penutup cangkang (opercular plates) maupun bagian lunak

yaitu trophi dan cirri.

Pembuatan preparat awetan bagian keras dilakukan dengan cara sebagai

berikut. Sampel teritip yang sudah disimpan dalam ethanol 96% dipisahkan

bagian lunaknya dari cangkang keras menggunakan pisau diseksi. Parieta,

tergum dan scutum dibersihkan dengan ultrasound cleaner selama beberapa

menit. Kemudian preparat direndam dalam larutan ’pemutih’ (bleach) untuk

menghilangkan bahan organik yang menempel selama 12 jam. Setelah dibilas

dengan air tawar dan dikeringkan, preparat siap untuk ditempelkan pada slide

khusus (opercular plates mounting slide) untuk diamati karakteristik

morfologinya menggunakan mikroskop stereo.

Preparat awetan bagian lunak dibuat dengan cara sebagai berikut.

Sampel teritip dalam ethanol 96% yang sudah dilepas dari cangkang kerasnya

dipisahkan bagian lunaknya yaitu trophi (bagian-bagian mulut) dan cirri

(kaki-kaki filter) menggunakan gunting-mikro dan pinset. Setiap bagian

trophi (labrum, palpus, maxilla, dan maxillula) dan cirri (pasangan cirrus

I-VI dan penis) dari satu individu ditempelkan pada object glass dalam

media Entellan microscopy mounting media, kemudian ditutup dengan cover

Page 23: MIPA (Biosains)

15

Gambar 2. Morfologi cangkang teritip (bagian keras): A. Penampang apikal,

dan B. Penampang lateral keseluruhan cangkang teritip, (r. rostrum; l. lateral; cl.

carinolateral; c. Carina; tr. Tergum; sc. scutum). C&D. Permukaan bagian dalam, dan

E&F. Permukaan bagian luar cangkang penutup teritip (opercular plates), (C&F:

scutum; D&E: tergum). G. Penampang basal bagian dalam dari cangkang (parietes;

rostrum) . F. Struktur skematis cangkang (parietes).

Setelah mengeras preparat siap diamati karakteristik morfologinya

menggunakan mikroskop cahaya. Jaringan otot disimpan dalam tabung

plastik 1,5ml dalam ethanol 99,9% untuk sediaan analisa molekuler bila

diperlukan.

Terminologi morfolologi teritip yang digunakan mengacu pada Darwin

(1854) and Newman et.al. (1969) (Gambar 2 & 3). Determinasi spesies

mengacu pada klasifikasi dan deksripsi spesies oleh beberapa author berikut;

Page 24: MIPA (Biosains)

16

Darwin (1854, 1968), Pilsbryi (1916), Nilsson-Cantell (1921, 1925, 1932),

Pope (1945, 1965), Utinomi (1962, 1967), Newman (1967, 1982, 1996),

Gambar 3. Gambar skematis karakter morfologi yang digunakan dalam

identifikasi spesies teritip: A. Posisi tubuh teritip di dalam cangkang. B. (1-6) Cirri (filter

legs) I-VI, dan (7) basal point dari penis. C. Cirrus III (ditunjuk oleh panah pada gambar

B), (8) protopodite, (9) article yang ditunjuk pada kedua rami. D. Armatures pada article,

(10) setae, (11) simple spinules, (12) multifid spinules, (13) multifid scales, (14)

denticles, (15) conical “teeth”.

Page 25: MIPA (Biosains)

17

Newman & Ross (1976, 1977), Newman et.al. (1976), Yamaguchi (1973,

1977, 1980, 1987), Henry and McLaughlin (1975, 1986), Southward (1976),

Southward & Newman (2003), Poltarukha (1996), Dando and Southward

(1980), Buckeridge (1983), Zullo (1984), Foster & Newman (1987),

Puspasari (2001), Puspasari et.al. (2000, 2001, 2002), Ren (1989), Ren et.al.

(1978), Ross (1969, 1970, 1971), Ross et.al. (1999), Pitombo (2004), dll.

c. Analisa Data :

Bodiversitas teritip di lokasi penelitian dinilai dengan cara menghitung

indeks keanekaragaman jenisnya secara univariate. Setiap spesies yang

ditemukan kemudian dipetakan pola distribusinya. Atribut yang ditambahkan

pada biodiversitas spesies selain rata-rata jumlah individu adalah juga

rata-rata ukuran individu. Komposisi spesies teritip dan kondisi lingkungan

dianalisa dengan mutivariate analysis, hingga bisa digambarkan secara jelas

keterkaitan biodiversitas dan pola distribusi spesies teritip intertidal dengan

kondisi lingkungan lokasi penelitian.

Mutivariate analysis yang digunakan adalah non-metric Multi

Dimensional Scaling (MDS). Analisa non-metric MDS diawali dengan cara

menghitung tingkat kesamaan antar lokasi pengambilan sample yang hasilnya

berupa matrik kesamaan antar seluruh lokasi pengambilan sample. Tingkat

kesamaan antar lokasi pengambilan sample dihitung menggunakan indek

kesamaan Bray-Curtis (Clarke dan Warwick, 2001). Indek kesamaan untuk

komponen teritip dihitung berdasarkan komposisi spesies (jumlah individu

per spesies), sedangkan untuk komponen faktor lingkungan berdasarkan

parameter kualitatif lingkungan berupa tipe habitat (mangrove, pantai berbatu,

pantai karang, pelabuhan kayu, pelabuhan cor-semen, dll). Dari tiap matrik

Page 26: MIPA (Biosains)

18

indek kesamaan untuk komponen teritip dan komponen faktor lingkungan

kemudian dilakukan analisa MDS yang hasilnya berupa plot ordinasi lokasi

pengambilan sampel.

Plot ordinasi menggambarkan pola pengelompokan dari masing-masing

komponen (teritip dan faktor lingkungan) antar seluruh lokasi pengambilan

sampel. Kemudian dua plot ordinasi tersebut dibandingkan (superimpose)

untuk mengetahui kesamaan pola pengelompokannya yang bisa diasumsikan

sebagai hubungan preferensi (habitat spesifik). Pengelompokan yang muncul

pada tiap plot ordinasi teritip dan faktor lingkungan dianalisa lebih lanjut

dengan Similarity Percentages (SIMPER). SIMPER digunakan untuk

mengidentifikasi tingkat kontribusi setiap spesies dan setiap faktor

lingkungan pada tingkat ketidaksamaan antar pengelompokan lokasi

pengambilan sampel yang muncul dari hasil analisa MDS. MDS dan

SIMPER dianalisis dengan menggunakan program komputer PRIMER-E v.5

(Clarke dan Warwick, 2001).

Page 27: MIPA (Biosains)

19

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Bidodiversitas

Teritip yang dikaji dalam penelitian ini adalah seluruh jenis teritip yang

hidup menempel pada substrat alami maupun buatan pada daerah kisaran

pasang surut (intertidal). Pada penelitian ini sebagaimana teritip intertidal pada

umumnya didominasi oleh Balanomorpha Pilsbry, 1916; Ordo Sessilia

Lamarck, 1818; Super Ordo Thoracica Darwin, 1854.

Berikut adalah daftar spesies yang ditemukan pada penelitian tahun

pertama di tiga Propinsi yaitu; Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Barat, dari

bulan Juli hingga November 2009 (Tabel 1 hingga Tabel 3).

Table 1. Daftar spesies teritip yang ditemukan di Propinsi Lampung

No. Lokasi Habitat Spesies

1. Pelabuhan

penyeberangan

Bakauhuni

Pantai berbatu, terbuka ke

laut lepas dengan ombak

besar

Amphibalanus amphitrite

Caudoeuraphia caudata

Chthamalus malayensis

Euraphia hembelli

Ibla cumingi

Microeuraphia withersi

Newmanella radiata

Octomeris brunea

Tetraclita squamosa

Tetraclitella multicostata

Yamaguchiella coerulescens

2. Kalianda Pelabuhan ikan dari beton,

berair dangkal dengan dasar

pasir dan berombak kecil

Capitulum mitella

Chthamalus malayensis

3. Teluk Suak Pantai berbatu dengan dasar

pasir, berair dangkal dan

berombak besar

Amphibalanus reticulatus

Chthamalus malayensis

Lepas anserifera

4. Pantai Panjang Embayment, berair dangkal

dengan dasar pasir, dan

berombak kecil

Amphibalanus reticulatus

Amphibalanus amphitrite

Chthamalus malayensis

5. Teluk Semaka Berair dangkal dengan dasar

pasir dan berombak kecil

Chthamalus malayensis

Page 28: MIPA (Biosains)

20

Table 2. Daftar spesies teritip yang ditemukan di Propinsi Bengkulu

No. Lokasi Habitat Spesies

1. Pelabuhan Padang

Bai

Pantai berbantu dan

pelabuhan beton, berair

dalam dan berombak kecil

Amphibalanus amphitrite

Chthamalus malayensis

2. Kota Bengkulu Pantai berbatu dan struktur

dari beton, berair dangkal

dengan dasar pasir dan

berombak kecil

Amphibalanus amphitrite

Amphibalanus reticulatus

Amphibalanus variegatus

Chthamalus malayensis

Table 3. Daftar spesies teritip yang ditemukan di Propinsi Sumatra Barat

No. Lokasi Habitat Spesies

1. Muara sungai

banjir kanal

selatang Padang

Pantai berbatu dengan dasar

pasir dan berombak besar,

outlet dari air tawar

Chthamalus malayensis

Fistulobalanus rhizophorae

2. Pelabuhan Teluk

Bayur

Pantai berbatu dan beton

pelabuhan, berair dalam dan

jernih dengan ombak besar

Amphibalanus amphitrite

Chthamalus malayensis

Ibla cumingi

Octomeris brunea

Tetraclitella multicostata

Striatonalanus taiwanensis

3. Pelabuhan Teluk

Bungus

Pantai berbatu dan pelabuhan

dari beton, berair dalam

dengan dasar pasir dan

berombak kecil

Chthamalus malayensis

Microeuraphia withersi

Amphibalanus amphitrite

4. Pulau Sipora

Kepulauan

Mentawai

Pantai terumbu karang

dengan dasar pasir, berair

dangkal dan berombak besar

Chthamalus malayensis

Caudoeuraphia caudata

Lepas anatifera

Microeuraphia withersi

Keseluruhan jenis yang ditemukan adalah 19 spesies dari 11 lokasi.

Tingkat kehadiran spesies pada keseluruhan lokasi diurutkan dari yang paling

banyak adalah sebagai berikut; Chthamalus malayensis (11 lokasi),

Amphibalanus amphitrite (6 lokasi), Microeuraphia withersi (3 lokasi),

Tetraclitella multicostata (2 lokasi), Octomeris brunea (2 lokasi), Lepas

anatifera (2 lokasi), Ibla cumingi (2 lokasi), Caudoeuraphia caudata (2 lokasi),

Yamaguchiella coerulescens (1 lokasi), Tetraclita squamosa (1 lokasi),

Striatonalanus taiwanensis (1 lokasi), Newmanella radiata (1 lokasi),

Page 29: MIPA (Biosains)

21

Fistulobalanus rhizophorae (1 lokasi), Euraphia hembelli (1 lokasi), dan

Capitulum mitella (1 lokasi). Keseluruhan lokasi penelitian didominasi oleh

Subfamilia Chthamalinae dan Amphibalaninae, kelompok yang sangat dominan

diseluruh pantai-pantai dunia utamanya Indo-West Pacific.

Secara umum ketiga propinsi tersebut mempunyai diversitas teritip yang

sangat rendah dibandingkan biodiveritas teritip intertidal Indonesia secara

umum (yaitu tidak kurang dari 76 spesies). Hanya Pelabuhan Bakauhuni

Lampung yang mempunyai biodiversitas teritip tertinggi yaitu 11 spesies. Hal

ini karena Palabuhan Bakauhuni ada pada daerah pertemuan antara arus

Samudera Hindia dan sebagian outlet dari arus Samudra Pacific, sehingga

daerah ini mempunyai suplai larva dari kedua lautan tersebut. Namun demikian

meskipun daerah ini menerima outlet arus Samudera Pacific yang tidak terlalu

besar, spesies-spesies Pacific mendominasi daerah ini seperti; genera

Newmanella, Yamaguchiella, dan Eurpahia.

Kecuali lingkungan pelabuhan yang rata-rata mempunyai diversitas

lebih tinggi, keseluruhan pantai ketiga propinsi tersebut mempunyai topologi

pantai yang sama yaitu pantai dangkal dengan dasar pasir dan berombak relatif

kecil, suatu kondisi yang kurang mendukung settlement larva teritip, karena

larva teritip yang baru menempel akan secara kontinyu tercuci oleh pasir.

Sehingga diversitas teritip rata-rata dari ketiga propinsi tersebut adalah 2

spesies pada tiap lokasinya yang didominasi oleh Chthamalus malayensis, yang

hadir di semua lokasi pengambilan sampel dan Amphibalanus amphitrite yang

hadir pada lebih dari setengah jumlah lokasi pengambilan sampel.

Pada daerah-daerah dengan substrat keras dan relatif cocok untuk teritip

sekalipun, diversitas teritip di sepanjang pantai ketiga propinsi tersebut rendah.

Page 30: MIPA (Biosains)

22

Hal ini diduga selain topologi pantai yang kurang mendukung, suplai larva

yang datang bersama arus Samudra Hindia tidak begitu banyak.

Chthamalus malayensis Caudoeuraphia caudata Microeuraphia withersi

Amphibalanus amphitrite Amphibalanus reticulatus Amphibalanus variegatus

Fistulobalanus rhizophorae Octomeris brunea Euraphia hembeli

Yamaguchiella coerulescens Tetraclita japonica Tetraclitella karandei

Gambar 4. Foto beberapa spesies teritip yang ditemukan pada penelitian

tahun pertama ini..

Page 31: MIPA (Biosains)

23

Tidak ada temuan spesies baru pada penelitian biodiversitas teritip kali ini,

tapi beberapa spesies menunjukkan suatu derajat variasi morfologis yang cukup

nyata dibanding dengan populasi daerah lain. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian

lebih lanjut dengan molekuler untuk menentukan identitas taksonomi dari populasi

daerah penelitian.

Berdasarkan pengamatan zonasi distribusi vertikal teritip, tidak ditemukan

adanya indikasi perubahan tidal mark, untuk genus Chthamalus maupun genus

Amphibalanus. Perubahan tidal mark mengindikasikan adanya uplifted daratan

pantai karena aktivitas tektonik. Di pesisir pantai Bengkulu dan Padang yang

kebetulan diambil paska gempa bumi September 2009, tidak ditemukan adanya

indikasi tersebut, demikian juga di kepulauna Mentawai.

Dari keseluruhan daerah pengambilan sampel, hanya Bengkulu dan Padang

saja yang pernah diambil sampelnya pada penelitian sebelumnya, sehingga data yang

diperoleh adalah catatan distribusi baru (new distribution record) untuk semua

spesies yang ditemukan. Di Padang ada satu spesies yang baru yang tercatat dalam

penelitian ini yaitu Fistulobalanus rhizophorae. Sebelumnya spesies ini hanya

tercatat di bagian dalam kepulauan Indonesia. Sedangkan untuk daerah pengambilan

sampel Bengkulu terdapat penurunan jumlah spesies yang tercatat pada penelitian

kali ini dibanding dengan sebelumnya. Tiga spesies yaitu; Ibla cumingi,

Fistulobalanus rhizophorae, dan Caudoeuraphia caudata tidak ditemukan dari lokasi

yang sama, yang ditemukan pada penelitian sebelumnya.

Temuan penting lainnya adalah adanya introduksi spesies asing yaitu

Striatobalanus taiwanensis di Pelabuhan Teluk Bayur Padang. Distribusi alamiah

spesies ini adalah di pesisir Taiwan dan sebagian China daratan. Dari penelusuran

data lalu-lintas kapal di Adminstrator Pelabuhan Teluk Bayur diketahui bahwa kapal

Page 32: MIPA (Biosains)

24

dari Taiwan dan China termasuk yang paling sering datang ke Pelabuhan Teluk

Bayur. Status introduksi spesies ini adalah established, yaitu status introduksi dimana

individu-individu yang terintroduksi mampu membentuk populasi yang lestari dan

berketurunan, yang ditandai dengan adanya cohort populasi yang berbeda untuk jenis

ini di Pelabuhan Teluk Bayur. Perlu dilakukan kajian molekuler untuk menentukan

asal-usul populasi jenis ini, sehingga kajian ekologis dampak dari introduksi spesies

ini bisa dilakukan dengan tepat dan terarah.

Gambar 5. Lokasi pengambilan sampel Padang (In01) dan Bengkulu (In25)

bergabung dengan regional fauna teritip Indo-Malaya.

Untuk menentukan daerah zoogeografis teritip dari lokasi-lokasi pengambilan

sampel kali ini, perlu dilakukan multivariate analysis berdasarkan komposisi

spesiesnya, dengan menggambungkan data penelitian kali ini dengan data global

teritip Indo-West Pacific khususnya Indonesia. Hasil analisa multivariat menunjukan

bahwa sesuai dengan posisi geografisnya Padang dan Bengkulu masuk kedalam

Page 33: MIPA (Biosains)

25

regional fauna teritip Indo-Malaya. Karena kompoisi spesiesnya sesuai dengan fauna

teritip Indo-Malaya pada umumnya.

Hasil analisa mutivariate tersebut kemudian dikonversikan kedalam peta

zoogeografis fauna teritip Indo-West Pacific, yang hasilnya ditunjukan pada Gambar

6, dimana terlihat jelas bahwa lokasi pengambilan sampel Padang dan Bengkulu

masuk kedalam regional fauna teritip Indo-Malaya.

Gambar 6. Pengelompokkan daerah pengambilan sampel Padang (8) dan Bengkulu

(7) dengan regional fauna teritip Indo-Malaya ditunjukan dengan lingkaran hitam.

Horizontal bar menunjukan biodiversitas tertitip secara umum berdasarkan garis

lintangnya.

Page 34: MIPA (Biosains)

26

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:

a. Biodiversitas teritip di pantai-pantai Propinsi Lampung, Propinsi Bengkulu, dan

Propinsi Sumatra Barat tersusun atas 17 spesies, dengan diversitas tertinggi ada

pada lokasi sampling Pelabuhan Bakauhuni.

b. Pola distribusi spesies teritip di pantai-pantai Propinsi Lampung, Propinsi

Bengkulu, dan Propinsi Sumatra Barat sesuai dengan distribusi globalnya di

daerah Indo-West Pacific, dimana P. Sumatra termasuk dalam wilayah

Indo-Malayan..

c. Pola pengelompokan diversitas berdasarkan habitatnya terbagi menjadi 2 yaitu

lokasi pengambilan sampel di pelabuhan dan sisanya merupakan pantai berbatu

dengan dasar pasir yang didominasi oleh Chthamalus malayensis.

d. Tidak ada indikasi perubahan vertikal garis pantai dilihat dari fauna teritip

intertidal.

e. Ditemukan spesies invasive di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatra Barat,

dengan dugaan sementara spesies Striatobalanus taiwanesis berasal dari Taiwan

atau China daratan..

Page 35: MIPA (Biosains)

27

DAFTAR PUSTAKA

Briggs JC. 1999. Extinction and replacement in the Indo-West Pacific oceans.

Journal of Biogeography, 26, 777-783

Briggs JC. 2000. Centrifugal speciation and centres of origin. Journal of

Biogeography, 27, 1183-1188

Bruguière M. 1789−1791. Encyclopédie Méthodique. Histoire naturelle des Vers,

60−67, 158−173.

Brünnich MT. 1772. Zoologiae fundamenta praelectionibus academicis accomodata.

Grunde i Dyrelaeren. Hafniae et Lipsiae [ Copenhagen and Leipzig ] : Apud

Frider. Christ. Pelt., 254 pp. [ dalam Martin JW and Davis GE, 2001].

Buckeridge JS. 1983. Fossil barnacle (Cirripedia: Thoracica) of New Zealand and

Australia. New Zealand Geological Survey Paleontological Bulletin, 50.

Wellington

Burnmeister M. 1834. Beitrage zur naturgeschichte der Rankenfusser (Cirripedia).

pp. 60. Berlin : G. Reimer.

Clarke KR and RM Warwick. 2001. Change in Marine Communities: an approach to

statistical analysis and interpretation, 2nd

edition. Primer-E Limited: Plymouth.

Dando PR and Southward AJ. 1980. A new species of Chthamalus (Crustacea:

Cirripedia) characterized by enzyme electrophoresis and shell morphology:

with a revision of other species of Chthamalus from western shores of the

Atlantic ocean. Journal of Marine Biological Asscociation of the United

Kingdom, 60: 787-831

Darwin CW. 1854. A monograph on the subclass Cirripedia, with figures of all

species. The Balanidae, (or sessile cirripedes), the Verrucidae, etc., pp. 30-300.

London : Ray Society.

Darwin CW. 1968. A Monograph II, On The Sub-Class Cirripedia. Ray Society.

p:446

Foster BA and WA Newman. 1987. Chthamalid Barnacle of Easter Island; Peripheral

Pacific isolation of Notochthamalinae New Subfamily and Hembeli-Group of

Euraphiinae (Cirripedia: Chthamaloidea). Bulletin of Marine Science,

41(2):322-336

Henry DP and PA McLaughlin. 1975. The barnacles of the Balanus amphitrite

complex (Cirripedia, Thoracica), Leiden: E.J. Brill.

Henry DP and PA McLaughlin. 1986. The recent species of Megabalanus

(Cirripedia: Balanomorpha) with special emphasis in Balanus tintinnabulum

(Linnaeus) sensu lato, Leiden: Meppel.

Hoek PPC. 1883. Report on The Cirripedia Collected by HMS Challenger in The

Report on The Scientific Result of The Voyage of HMS Challenger, Zoology

VIII

Hoek PPC. 1913. The Cirripedia of the Siboga Expedition. B. Cirripedia Sessilia.

Siboga-Expeditie Monogr. XXXIb, i-xxv, 129-275

Lamarck, J.B.P.A. de M. de, 1818. Historie naturelle des animaux sans vertèbres. 5,

612. Paris.

Martin JW and Davis GE. 2001. An Updated Classification of the Recent Crustacea.

Science Series 39, Los Angeles County : Natural History Museum.

Page 36: MIPA (Biosains)

28

Myers AA. 1997. Biogeographic barriers and the development of marine biodiversity.

Estuarine, Coastal and Shelf Science, 44, 241-248

Newman WA and A Ross. 1976. Memoir 9, Revision of The Balanomorph

Barnacles; including a catalog of the species. San Diego Society of Natural

History. P:36

Newman WA and A Ross. 1977. A living Tesseropora (Cirripedia: Balanomorpha)

from Bermuda and the Azores: first records from the Atlantic since the

Oligocene. Trans. San Deigo Soc. Nat. Hist., 18(12):207-216

Newman WA, VA Zullo and TH Withers. 1969. Cirripedia. In, Moore, R.C. (ed.),

Treatise on Invertebrate Paleontology Part R. Arthropoda 4. (1):R206-295,

Geol.Soc.Am., Univ.Kansas.

Newman WA. 1967. A new genus of Chthamalidae (Cirripedia, Balanomorpha) from

Red Sea and Indian Ocean. J. Zool. London. 153, 432−435

Newman WA. 1982. A review of extant taxa of the “Group of Balanus concavus”

(Cirripedia, Thoracica) and a proposal for genus-group ranks. Crustaceana, 43,

25−36.

Newman WA. 1996. Cirripedia; Suborder Thoracica and Acrothoraica. In, J. Forest

(ed.), Traite de Zoologie, Tome Vii, Crustacea, Fascicule 2:453-540, Paris:

Masson.

Nillson-Cantell CA. 1921. Cirripeden-Studien. Zur Kenntnis der Biologie, Anatomie

und Systematik dieser Gruppe. Zool. Bidrag. 7:75-395

Nillson-Cantell CA. 1925. Nueu und wenig bekannte Cirripeden aus Museen zu

Stockholm und zu Upsala. Ark. Zool. 18A(3):1-46

Nillson-Cantell CA. 1932. Cirripedien aus Japan. Ark. Zool. 24A(4):1-29

Pilsbry HA. 1916. The sessile barnacles (Cirripedia) contained in the collections of

the U.S. National Museum; including a monograph of the American species.

Bulletin of The United States National Museum, 93, 47−366.

Pitombo FB. 2004. Phylogenetic analysis of the Balanidae (Cirripedia, Balanomorpa).

The Zoologica Scripta, 33, 261−276.

Poltarukha OP. 1997. Composition, phylogeny, and the position of the subfamily

Euraphiinae (Crustacea, Chthamalidae) in the system of Cirripedia. Russian

Journal of Zoology, 1(4): 463-470.

Pope EC. 1945. A simplified key to the sessile barnacles found on the rocks, boats,

wharf piles and other installations in Port Jackson and adjacent waters. Rec.

Australian Mus. 21(6):351-372

Pope EC. 1965. A review of Australian and some Indomalayan Chthamalidae

(Crustacea: Cirripedia). Proc. Linn. Soc. New South Wales. 21(6):351-372

Prabowo RE. 2005. Biogeography of intertidal barnacle in Indonesian and

surrounding seas. Master Thesis, Chiba Univ.

Prabowo RE. 2008. Phylogeography study of two sister species, Balanus variegatus

and Balanus kondakovi (Cirripedia: Balanomorpha: Balaninae) using mtCOI

gene; with special reference on the phylogenetic and taxonomic revision of the

Balanus amphitrite complex. Doctoral Dissertation, Chiba Univ.

Puspasari IA, T Yamaguchi and A Ross. 2002. New record of Balanus zhujiangensis

(Cirripedia, Balanidae) from Okinawa. J. Crust. Biol. 22(2):235-240

Page 37: MIPA (Biosains)

29

Puspasari IA, T Yamaguchi and S Angsupanich, 2000. Reexamination of a

little-known mangrove Barnacle, Balanus patelliformis Bruguière (Cirripedia,

Thoracica) from the Indo-West Pacific. Sessile Organisms, 16, 1−13.

Puspasari IA, T Yamaguchi and S Angsupanich, 2001. Balanus thailandicus sp. nov.,

a new mangrove barnacle of the Balanus amphitrite complex (Cirripedia,

Thoracica) from Satun, Southwest Thailand. Sessile Organisms, 18, 27−33.

Puspasari IA. 2001. Phylogeny of the Balanus amphitrite complex (Cirripedia,

Balanidae). PhD thesis, Chiba University, Chiba, Japan.

Ren X and JY Liu, 1978. Studies on Chinese Cirripedia (Crustacea). Studia Marina

Sinica, 13, 121−196.

Ren X. 1989. Two new species and one new record of Cirripedia Thoracica from

South China Sea. Oceanologia et limnologia Sinica. 20(5):466-473

Ross A and RT Perreault. 1999. Revision of the Tetraclitellinae and description of a

new species of Newmanella Ross from the tropical western-Atlantic Ocean

(Cirripedia: Tetraclitoidea). Sess. Org. 15(2):1-8

Ross A. 1969. Studies on the Tetraclitidae (Cirripedia: Thoracica): revision of

Tetraclita. Trans. San Deigo Soc. Nat. Hist., 15(15):237-251

Ross A. 1970. Studies on the Tetraclitidae (Cirripedia: Thoracica): a proposed new

genus for the Austral species Tetraclita purpurascens breviscutum. Trans. San

Deigo Soc. Nat. Hist., 16(01):1-12

Ross A. 1971. Studies on the Tetraclitidae (Cirripedia: Thoracica): a new

Tetraclitellan from India. Trans. San Deigo Soc. Nat. Hist., 16(8):216-224

Southward AJ and WA Newman. 2003. A review of some common Indo-Malayan

and western Pacific species of Chthamalus barnacles. J. Mar. Biol. Ass. U.K..

83, 797-812

Southward AJ. 1976. On the distribution of Chthamalus stellatus (Cirripedia) in the

north-east Atlantic region: with a key to common intertidal barnacles of Britain.

J. Mar. Biol. Ass. U.K.. 56, 1007-1028

Utinomi H. 1962. Studies on the cirripedian fauna of Japan VIII. Thoracic cirripeds

from western Kyusyu. Publication of the Seto Marine Biological Laboratory,

10(2), 211−239.

Utinomi H. 1967. Comment on some new and already known cirripeds with

emended taxa, with special reference to the parietal structure. Publication of the

Seto Marine Biological Laboratory, 15(3), 216−222.

Wolff WJ. 2005. Non-indigenous marine and estuarine species in the Netherlands.

Zool. Med. Leiden 79 (1) : 1-116

Yamaguchi T. 1973. On Megabalanus (Cirripedia, Thoracica) of Japan. Publ. Seto

Mar. Biol. Lab. 21(2):115-10

Yamaguchi T. 1977. Taxonomic studies on some fossil and recent Japanese

Balanoidea. In Transaction and Proceeding of Palaentological Society of

Japan, N.S., 107, 135−160.

Yamaguchi T. 1987. Changes in the barnacle fauna since the Miocene and the

intraspecific structure of Tetraclita in Japan. Bul. Mar. Sci. 41(2):337-350

Zullo VA. 1984. New genera and species of Balanoid barnacles from the Oligocene

and Miocene of North Carolina. Journal of Paleontology, 58, 1312−1338.

Page 38: MIPA (Biosains)

30

Lampiran 1. Personalia Tim Peneliti

1) Ketua Peneliti

a. Nama : Romanus Edy Prabowo, SSi. MSc. PhD

b. NIP : 19720228 199903 1 002

c. Pangkat/Gol/Jabatan : Penata Muda Tk.I/IIIb/Asisten Ahli

d. Fakultas/Jurusan : Biologi/Biologi

e. Bidang Keahlian : Biologi Laut / Biosistematika Cirripedia

f. Waktu yang disediakan : 18 jam/minggu

2) Anggota Peneliti

a. Nama : Dr.rer.nat. Erwin R. Ardli, S.Si., M.Sc.,

b. NIP : 19730722 199702 1 001

c. Pangkat/Gol/Jabatan : Penata Muda Tk.I/IIIb/Asisten Ahli

d. Fakultas/Jurusan : Biologi/Biologi

e. Bidang Keahlian : Biologi Laut / GIS / Dinamika Trofik

f. Waktu yang disediakan : 2 jam/minggu

Page 39: MIPA (Biosains)

31

Lampiran 2. Curriculum Vitae Tim Peneliti

CURRICULUM VITAE KETUA PENELITI

a. Data Diri :

Nama Lengkap Romanus Edy Prabowo, SSi. MSc. PhD (L/P)

Jabatan Fungsional Asisten Ahli

NIP 19720228 199903 1 002

Bidang Keahlian Biologi Laut / Biosistematika Cirripedia

Tempat dan Tanggal Lahir Cilacap, 28 Februari 1972

Alamat Rumah Bumi Arca Indah X/5B Arcawinangun Purwokerto

Nomor Telepon/Fax 0281-9149001 ; HP 085227001920

Alamat Kantor Fakultas Biologi UNSOED

Jl. Dr. Soeparno 63 Purwokerto 53122

Nomor Telepon/Fax 0281-638794 / 0281-631700

Alamat e-mail [email protected] ; [email protected]

b. Pendidikan :

S1 S2 S3

PT FMIPA UNDIP

Semarang

Life and Earth

Sciences, Graduate

School of Science and

Technology, Chiba

University

Geosystem and

Biosystem, Graduate

School of Science and

Technology, Chiba

University

Bidang Ilmu Biologi Laut Biologi Laut /

Biosistematika /

Biogeografi Teritip

Biologi Laut /

Biosistematika /

Filogeografi Teritip

Tahun 1990 - 1995 2002 - 2005 2005 - 2008

Judul Skripsi /

Tesis/Disertasi

Struktur komunitas

makrofouna bentik di

hutan mangrove

Segara Anakan

Cilacap

Biogeography of

intertidal barnacle in

Indonesian and

surrounding seas

Phylogeography study

of two sister species,

Balanus variegatus and

Balanus kondakovi

(Cirripedia:

Balanomorpha:

Balaninae) using

mtCOI gene; with

special reference on the

phylogenetic and

taxonomic revision of

the Balanus amphitrite

complex

Nama

Pembimbing/

Promotor

1. Drs. Hendarko

Sugondo, SU.

2. Dr. Boedi Hedrarto

1. Prof. Dr. Toshiyuki

Yamaguchi

2. Prof. Dr. Watano

1. Prof. Dr. Toshiyuki

Yamaguchi

2. Prof. Dr. Kotake

Page 40: MIPA (Biosains)

32

c. Riwayat Pengajaran :

No. Mata Kuliah yang diampu

1. Biologi Laut (S1) tahun ini

2. Evolusi (S1) tahun ini

3. Biosistematika (S2) tahun ini

d. Pengalaman Penelitian (yang belum dipublikasikan dan dipresentasikan) :

No. Judul Penelitian Tahun

1. Deep Sea barnacles (Cirripedia, Thoracica) collected from the TAIWAN

expeditions, with descriptions of a new species of Altiverruca. Anggota

Peneliti.

2008

2. The barnacle fouling community on fish cage off eastern Taiwan. Anggota

Peneliti.

2008

3. Revision on the taxonomic identity of a tetraclitid species from southern

coast of Java Is. known as Tetraclita squmosa based on molecular and

morphology. Ketua Peneliti.

2008

4. The barnacle diversity of NT and WA, Australia. Anggota Peneliti. 2008

5. The barnacle diversity of NSW and Victoria, Australia. Anggota Peneliti. 2007

6. The barnacle diversity of Davao Is., Philippines. Anggota Peneliti. 2007

7. Review on taxonomy of the Genus Chthamalus (Cirripedia:

Balanomorpha): Two new species from Borneo and New Caledonia. Ketua

Peneliti.

2006

8. The barnacle diversity of Sabah and Sarawak, Malaysia. Anggota Peneliti. 2003

e. Publikasi Ilmiah :

No. Publikasi

1. Benny K.K. Chan, Prabowo RE, Kwen-Shen Lee Barnacles. 2009. Volume I –

Cirripedia: Thoracica Excluding The Pyrgomatidae and Acastinae. National Taiwan

Ocean University, Keelung

2. Yamaguchi T, Prabowo RE, Ohshiro Y, Shimono T Jones, Kawai H,

Otani M, Oshino A, Inagawa S, Akaya T, Tamura I. 2009. The introduction to Japan

of the Titan barnacle, Megabalanus coccopoma (Darwin, 1854) (Cirripedia:

Balanomorpha) and the role of shipping in its translocation. Biofouling: The Journal

of Bioadhesion and Biofilm Research, Volume 25, Issue 4, Pages 325-333

3. Otani M, Oumi T, Uwai S, Hanyuda T, Prabowo RE, Yamaguchi T, Kawai H. 2007.

Occurrence and diversity of barnacles on international ships visiting Osaka Bay,

Japan, and the risk of their introduction. Biofouling: The Journal of Bioadhesion and

Biofilm Research, Volume 23, Issue 4, Pages 277-286

4. Prabowo RE and Yamaguchi T. 2005. A new mangrove barnacle of the genus

Fistulobalanus (Cirripedia: Amphibalaninae) from Sumbawa Island, Indonesia.

Journal of the Marine Biological Association of the UK, Volume 85, Issue 4, Pages

929-936

Page 41: MIPA (Biosains)

33

f. Keanggotaan :

No. Judul Tahun

1. Member of The Crustacean Society 2009

g. Pelatihan / Short Course / Workshop :

No. Judul Tahun

1. Pengolahan Data Penelitian Ekologi Menggunakan Software PRIMER v5.

Pelatih.

2008

h. Seminar :

No. Judul Tahun

1. Prabowo RE and Yamaguchi T. Oral Presentation (main invited speaker) :

Indo-West Pacific biogeographic research and speciation among

Amphibalaninae. The Crustacean Society Summer Meeting 2009, Tokyo,

Japan, 20 - 23 September 2009

2009

2. Yamaguchi T, Prabowo RE, Ohshiro Y, Shimono T, Jones D, Kawai H,

Otani M, Ueda I, Nogata Y. Are the widely separated populations with

geographical isolation differentiated genetically? An instance of the

introduction of the Titan barnacle Megabalanus coccopoma (Darwin, 1854)

to Japan. The Crustacean Society Summer Meeting 2009, Tokyo, Japan, 20

- 23 September 2009

2009

3. Prabowo RE and Yamaguchi T. Presentasi Oral (keynote speaker):

Phylogeography of two closely related species of Balanus amphitrite

complex, Balanus variegatus and Balanus kondakovi; resolving the

morphological similarity. 14th International Congress on Marine

Corrosion and Fouling (ICMCF) Satellite Symposium: Current Topics on

Barnacle Biology, Kobe, Jepang, 27 Juli-1 Agustus

2008

4. Yamaguchi T, Prabowo RE, Oushiro Y, Shimono T, Jones D, Kawai H,

Outani M, Oshino A, Inagawa S, Akaya T, and Tamura I. Presentasi Oral

(keynote speech): The introduction to Japan of the titan barnacle,

Megabalanus coccopoma (Darwin 1854) (Cirripedia:Balanomorpha) and

the role of shipping in its translocation. 14th International Congress on

Marine Corrosion and Fouling (ICMCF) Satellite Symposium: Current

Topics on Barnacle Biology, Kobe, Jepang, 27 Juli-1 Agustus

2008

5. Hisatsune Y, Prabowo RE, and Yamaguchi T. Presentasi Poster:

Biogeography of littoral Chthamalids in southwest islands of Japan. 14th

International Congress on Marine Corrosion and Fouling (ICMCF)

Satellite Symposium: Current Topics on Barnacle Biology, Kobe, Jepang,

27 Juli-1 Agustus

2008

6. Prabowo RE, Yamaguchi T, and Inagawa S. Presentasi Oral:

Phylogeography and genetic divergence of Balanus kondakovi between two

antiequatorial populations; Southern Australian and Asian. Annual Meeting

of Sessile Organism Society of Japan, Tokyo, Jepang, 31 March

2007

Page 42: MIPA (Biosains)

34

No. Judul Tahun

7. Yamaguchi T, Prabowo RE, Sagae M, Kamioka M, Gohdo Y, Peak-Hoon

L, and Senda M. Presentasi Poster: Phylogeny of neolepadines (Cirripedia:

Thoracica: Scalpellomorpha) based on specimens from the Lau Expedition.

Third International Symposium on Hydrothermal Vent and Seep Biology,

San Diego, CA, USA, 12-16 September

2005

8. Prabowo RE and Yamaguchi T, Presentasi Poster (the best poster

presentation): Biogeography of intertidal barnacle in Indonesian and

surrounding seas. XIXth International Congress of Zoology (ICZ), Beijing,

China, 23-27 Agustus

2004

9. Prabowo RE. Presentasi Oral: Morphological phylogeny of the Genus

Chthamalus (Cirripedia: Balanomorpha). Mini-Symposium of Sessile

Organism Society of Japan, Enoshima, Japan, 11 November

2004

Purwokerto, 28 November 2009

Romanus Edy Prabowo, S.Si., M.Sc., Ph.D.

NIP. 19720228 199903 1 002

Page 43: MIPA (Biosains)

35

CURRICULUM VITAE ANGGOTA PENELITI

a. Data Diri :

Nama Lengkap Dr.rer.nat. Erwin Riyanto Ardli, S.Si, M.Sc

Tempat/Tanggal Lahir Banjarnegara, 22 Juli 1973

NIP 19730722 199702 1 001

Pangkat / Golongan Penata Muda Tk. I / IIIb

Jabatan Asisten Ahli

Bidang Keahlian Biologi Laut / GIS / Dinamika Trofik

Alamat Kantor Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman

Jalan Dr. Suparno 63 Purwokerto 53123

Nomor Telepon 0281-638794

Nomor Fax 0281-631700

E-mail [email protected]

b. Pendidikan :

S1 S2 S3

Nama PT UNSOED Purwokerto IPB Bogor Bremen University

Bidang Ilmu Biologi Lingkungan Ekologi Laut Ekologi Laut

Tahun Lulus 1996 2000 2008

Judul Skripsi /

Tesis/Disertasi

Uji Toksisitas

Pestisi-da Dursban

20EC pada Ikan Mas

(Cyprinus carpio L.)

Land Suitability Analysis

for Brackish-water Pond

by using RS, GIS and

expert system. Case

study: Segara Anakan,

Cilacap District, Central

Java

A trophic flow model

of the Segara Anakan

lagoon, Cilacap,

Indonesia

c. Pengajaran :

No. Mata Kuliah yang diampu

1. Ekologi Mangrove (S1)

2. Biologi Laut (S1)

3. Biologi (S1)

4. Monotoring Kerusakan Sumberdaya Hayati (S2)

d. Pengalaman Penelitian (yang belum dipublikasikan dan dipresentasikan) :

No. Judul Penelitian Tahun

1. Assessment of changes in trophic flow structure of Segara Anakan Lagoon

ecosystem between 1980’s and 2000’s 2005

2. Spatial and temporal dynamics of mangrove conversion at Segara Anakan

Cilacap, Indonesia 2004

3. Land use and land cover change affecting habitat distribution in the Segara

Anakan lagoon, Java, Indonesia 2006

Page 44: MIPA (Biosains)

36

No. Judul Penelitian Tahun

4. Studi keberadaan dan pendugaan umur larva ikan teri (Stolephorus sp.) di

Segara Anakan Cilacap 2003

5. Variasi temporal dan spasial klorofil Phytoplankton di Segara Anakan

Cilacap Jawa Tengah 2004

e. Publikasi Ilmiah :

No. Judul Artikel Ilmiah

1. Erwin R. Ardli and Matthias Wolff. 2008. Quantifying habitat and resource use

changes in the Segara Anakan lagoon (Cilacap, Indonesia) over the past 25 years

(1978 – 2004), Asian Journal of Water, Environ-ment and Pollution, 5(4):

2. Erwin R. Ardli and Matthias Wolff. 2008. Land use and land cover change affecting

habitat distribution in the Segara Anakan lagoon, Java, Indonesia, Regional

Environmental Change, DOI:10.1007/ s10113-008-0072-6

3. Edy Yuwono, Tim J., Inga N., Ewrin R. Ardli, M.H. Sastranegara and R. Pribadi.

2007. Ecological status of Segara Anakan, Java, Indonesia, a mangrove-fringed

lagoon affected by human activities, Asian Journal of Water, Environ-ment and

Pollution, 4(1):

f. Penulisan Buku :

No. Judul Buku

1. Ewrin R. Ardli . 2007. Synopsis of Ecological and Sosio-Economic Aspects of

Tropical Coastal Ecosystem with Special Reference to Segara Anakan. Research

Institute, Jenderal Soedir-man University. ISBN: 978-979-16877-0-6

g. Pengabdian Masyarakat :

No. Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun

1. Studi Budidaya Perairan Sungai Donan, Segara Anakan di Area rip-rap UP

IV Pertamina Cilacap 2003

2.

Pembicara Pelatihan : Metoda sampling dan analisis kualitas perairan yang

terkena limbah organik. Unit Penelitian Ilmiah Fakultas Biologi UNSOED

9 September 2008

2008

3. Juri lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja se-Jawa Tengah. Unit Penelitian

Ilmiah Fakultas Biologi UNSOED 2-3 Agustus 2008 2008

4.

Pembicara Seminar Lokal : Model Aliran Energi Ekosistem Mangrove

Segara Anakan, Cilacap, Indonesia. Unit Penelitian Ilmiah Fakultas Biologi

UNSOED 21 Desember 2008

2008

Purwokerto, 28 November 2009

Dr.rer.nat. Erwin Riyanto Ardli, MSc.

NIP 19730NIP 132163742