mg 12 knowledgemgt_paper

18
  1 SISTEM MANAJEMEN PENGET AHUAN ORGANISASI: “INTEGRATED COMPETENCY BASED HRM SYSTEM” Joko Siswanto 1  Kelompok Keahlian Manajemen Industri Fakultas Teknologi Industri-Institut Teknologi Bandung  E-mail:  [email protected]   Abstrak  Makalah ini mengkaji keterkaita n antara sistem manaje men SDM berbasis kompetensi dengan sistem manajemen pengetahuan. Secara spesifik, menawarkan konsep sistem manajemen pengetahuan yang terintegrasi dalam Sistem manajemen SDM. Dalam sistem ini kompetensi organisasi dipilih sebagai sumber pengetahuan yang dikelola perusahaan yang disesuaikan dengan visi, misi dan bisnis perusahaan. Manfaat yang dapat diperoleh, sistem ini tidak saja bisa digunakan untuk organisasi yang berorientasi pada pengetahuan, tetapi  juga bagi perusahaan yang masih berorientasi pada penugasan. Disamping itu, manajemen  pengetahuan dapat dilakukan secara efisiens karena kategori pengetahuan yang disimpan dan didistribusikan diseleksi. Demikian pula halnya dengan para sumber pemasok  pengetahuan adalah mereka yang terbukti memiliki kompetensi, sedangkan pemakai  pengetahuan dapat dip rioritas bagi mereka yang membutuhkan dan/atau berminat. Kata kunci: Manajemen Pengetahuan, Manajemen SDM, Kompetensi, Sistem Pengantar Tampaknya tidak dapat dielakkan lagi akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat kita mau tidak mau dipaksa untuk memasuki era “masyarakat informasi” dan secara bertahap berubah pada akhirnya menjadi sebuah “masyarakat  pengetahuan”. Pengetahuan bagi organisasai perusahaan tidak saja mencakup kemampuan  profesional seperti pengetahuan deskriptif (“know what”), pengetahuan teknikal (“know how”) dan pengetahuan analitik (“know why”), tetapi juga termasuk kreatifitas diri,  pengalaman, konsep, nilai-nilai, kepercayaan, dan cara kerja yang dapat dibagikan dan dikomunikasikan (Davenport, 1996; Quinn et al., 1996; Allee, 1997). Telah banyak dikemukakan dalam literature bahwa keunggulan kompetitif yang utama  bagi perusahaan adalah pengetahuan pada organisasi perusahaan (Drucker, 1968; Toffler, 1990; Nonaka & Takerchi, 1995). Dibandingkan dengan sistem informasi, pengetahuan merupakan jenis aset yang lebih sulit untuk digandakan. Oleh karena itu, keunggulan  pengetahuan terletak pada keberlangsungannya. Kesadaran tentang pentingnya pengetahuan menghasilkan isu kritis tentang manajemen pengetahuan. Manajemen pengetahuan adalah kegiatan mengelola pengetahuan organisasi perusahaan melalui proses penciptaan,  pemeliharaan, penerapan, pembagian dan pembaharuan terhadap pengetahuan dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi dan dalam menciptakan nilai. 1  Penulis mengucapkan terimakasih kepada Tim PT ASB yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam  penelitian da n perancangan Sist em Manajemen SDM Berbasis Kompetensi Terpadu yang dipaparkan dala m tulisan ini.

Upload: nadia-rayhanna

Post on 22-Jul-2015

80 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SISTEM MANAJEMEN PENGETAHUAN ORGANISASI: INTEGRATED COMPETENCY BASED HRM SYSTEMJoko Siswanto1 Kelompok Keahlian Manajemen Industri Fakultas Teknologi Industri-Institut Teknologi Bandung E-mail: [email protected] Abstrak Makalah ini mengkaji keterkaitan antara sistem manajemen SDM berbasis kompetensi dengan sistem manajemen pengetahuan. Secara spesifik, menawarkan konsep sistem manajemen pengetahuan yang terintegrasi dalam Sistem manajemen SDM. Dalam sistem ini kompetensi organisasi dipilih sebagai sumber pengetahuan yang dikelola perusahaan yang disesuaikan dengan visi, misi dan bisnis perusahaan. Manfaat yang dapat diperoleh, sistem ini tidak saja bisa digunakan untuk organisasi yang berorientasi pada pengetahuan, tetapi juga bagi perusahaan yang masih berorientasi pada penugasan. Disamping itu, manajemen pengetahuan dapat dilakukan secara efisiens karena kategori pengetahuan yang disimpan dan didistribusikan diseleksi. Demikian pula halnya dengan para sumber pemasok pengetahuan adalah mereka yang terbukti memiliki kompetensi, sedangkan pemakai pengetahuan dapat diprioritas bagi mereka yang membutuhkan dan/atau berminat. Kata kunci: Manajemen Pengetahuan, Manajemen SDM, Kompetensi, Sistem Pengantar Tampaknya tidak dapat dielakkan lagi akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat kita mau tidak mau dipaksa untuk memasuki era masyarakat informasi dan secara bertahap berubah pada akhirnya menjadi sebuah masyarakat pengetahuan. Pengetahuan bagi organisasai perusahaan tidak saja mencakup kemampuan profesional seperti pengetahuan deskriptif (know what), pengetahuan teknikal (know how) dan pengetahuan analitik (know why), tetapi juga termasuk kreatifitas diri, pengalaman, konsep, nilai-nilai, kepercayaan, dan cara kerja yang dapat dibagikan dan dikomunikasikan (Davenport, 1996; Quinn et al., 1996; Allee, 1997). Telah banyak dikemukakan dalam literature bahwa keunggulan kompetitif yang utama bagi perusahaan adalah pengetahuan pada organisasi perusahaan (Drucker, 1968; Toffler, 1990; Nonaka & Takerchi, 1995). Dibandingkan dengan sistem informasi, pengetahuan merupakan jenis aset yang lebih sulit untuk digandakan. Oleh karena itu, keunggulan pengetahuan terletak pada keberlangsungannya. Kesadaran tentang pentingnya pengetahuan menghasilkan isu kritis tentang manajemen pengetahuan. Manajemen pengetahuan adalah kegiatan mengelola pengetahuan organisasi perusahaan melalui proses penciptaan, pemeliharaan, penerapan, pembagian dan pembaharuan terhadap pengetahuan dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi dan dalam menciptakan nilai.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Tim PT ASB yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam penelitian dan perancangan Sistem Manajemen SDM Berbasis Kompetensi Terpadu yang dipaparkan dalam tulisan ini.

1

1

Kerangka Manajemen Pengetahuan Berbagai literatur telah mengemukakan beragam kerangka manajemen pengetahuan. Sebagian besar kerangka yang dikemukakan memiliki kemiripan atau terkait satu sama lain. Sebelum dibahas kerangka manajemen pengetahuan ini, terlebih dahulu akan disajikan konsep umum pengetahuan dan manajemen pengetahuan. Pengetahuan Kamus Webster (1976) memberikan definisi tentang pengetahuan sebagai kondisi proses pemahaman mental melalui instruksi, kajian, penelitian, atau pengalaman satu atau lebih kejadian, kenyataan, prinsip atau persepsi terhadap suatu obyek. Bentuk umum dari pengetahuan dapat berupa pengalaman, konsep, nilai-nilai, atau kepercayaan yang dapat meningkatkan kemampuan individu dalam mengambil tindakan yang efektif (Allee, 1977; Alavi & Leidner, 1999). Penulis lain memberikan perhatian mereka terhadap pengetahuan dalam perspektif yang berbeda. Dreske (1981), Machlup (1983), Vance (1997), Fashey & Prusak (1998), dan Tuomi (1999) membedakan antara data, informasi dan pengetahuan. Sementara Alavi (1997) mendefinisikan pengetahuan dari perspektif yang lain seperti pengetahuan sebagai keadaan, Schubert et al. (1998) menyatakan pengetahuan sebagai kenyataan mengetahui, Carlsson et al., (1998), McQueen (1998) dan Zack (1998) memandang pengetahuan sebagai obyek atau proses, Carlsson et al., (1998) pengetahuan sebagai kemampuan untuk mengambil tindakan. Secara umum, pengetahuan dalam organisasi perusahaan dapat digolongkan ke dalam dua dimensi : tacit dan eksplisit (Nonaka, 1994). Nonaka (1994) menyatakan bahwa pengetahuan tacit terdiri baik elemen kognitif (seperti peta mental, kepercayaan dan sudut pandang) maupun elemen teknik (seperti pengetahuan deskriptif, keahlian dan ketrampilan) yang ditunjukan dalam suatu perilaku perbuatan (Alavi, 1997). Bagi sebuah organisasi, pengetahuan bisa melekat pada berbagai jenis sumber. Tabel 1 menyajikan hasil identifikasi sumber pengetahuan. Meskipun istilah dalam literatur berbeda-beda, namun ketiganya merupakan jenis sumber pengetahuan. Tabel 1 Sumber Pengetahuan PengarangLeonard-Barton (1995) Petrash (1996)

Sumber PengetahuanEmployee Knowledge Knowledge embedded in physical system Human capital Organizational capital Customer capital Employee competencies Internal structures External structures

Sveiby (1997)

Pertama, modal manusia, yang merujuk pada kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan merupakan sumber kreativitas. Hal ini sama dengan istilah pengetahuan pekerja, kompetensi pekerja, dan kemampuan profesional sebagaimana dikemukan secara terpisah oleh Leonard-Barton (1995) dan Sveiby (1997). Hal ini juga berhubungan dengan pekerja beserta kompetensi, pengalaman, pengetahuan deskriptif (know what), pengetahuan teknikal (know how) dan pengetahuan analitik (know why) serta kreativitas diri yang dimilikinya (Davenport, 1996; Mayo, 1998).

2

Sumber pengetahuan yang kedua ialah modal struktural internal, yaitu kemampuan mengelola organisasi untuk memenuhi atau memberi kepuasan pada kebutuhan pasar. Kemampuan mengelola mengacu pada struktur organisasi, proses, sistem, paten, budaya, pengalaman dan pengetahuan yang terdokumentasikan, serta kemampuan untuk memberikan daya ungkit pada pengetahuan melalui pembagian dan transfer pengetahuan (Holsapple & Joshi, 1999; Mayo, 1998, Stewart, 1997). Hal ini sama dengan istilah struktur internal, modal organisasi sebagaimana dikemukakan secara terpisah oleh Sveiby (1997) dan Petrash (1996). Sumber pengetahuan yang ketiga ialah modal struktural eksternal (Sveiby, 1997) atau pelanggan, yang mana berkaitan dengan hubungan antara organisasi dan stakeholder, seperti hubungan dengan pemasok atau pelanggan, merek dan reputasi (Holsapple & Joshi, 1999; Stewart, 1997). Manajemen Pengetahuan Pengetahuan memiliki nilai yang terbatas jika tidak dibagi, sebaliknya pengetahuan tidak akan pernah habis dibagi malah cenderung bertambah dan berkembang. Kemampuan untuk mengintegrasikan dan menerapkan pengetahuan spesialis oleh anggota organisasi merupakan hal penting bagi perusahaan dalam menciptakan dan mempertahankan keunggulan bersaing (Grant, 1996). Manajemen pengetahuan merupakan pengelolaan pengetahuan perusahaan melalui proses yang sistematik dan spesifik untuk setiap organisasi dalam rangka memperoleh, mengelola, mempertahankan, menerapkan, membagi dan memperbaharui baik pengetahuan yang bersifat tacit maupun eksplisit oleh pekerja dengan tujuan meningkatkan kinerja organisasi dan menciptakan nilai (Alavi, 1999; Allee, 1977; Davenport, 1998). Kebanyakan perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan yang bersaing pada bidang pelayanan dan kepakaran, melakukan kodifikasi, pengumpulan, integrasi dan penyebaran pengetahuan organisasi dengan menggunakan sistem komputer sebab dengan sistem komputer akan mempermudah komunikasi dan berbagi informasi (Alavi, 1999). Proses manajemen pengetahuan secara sederhana terdiri atas proses menciptakan, memperoleh, mengambil, membagi dan menggunakan pengetahuan, dimanapun pengetahuan itu berada, untuk meningkatkan pembelajaran dan kinerja dalam organisasi (Swan et al. 1999). Pengetahuan eksplisit relatif lebih mudah diperoleh dan dikomunikasikan dengan mendengar dan membaca. Pengetahuan hubungan dipelajari melalui interaksi dan relatif lebih sulit dikomunikasikan. Jenis pengetahuan yang paling sulit ialah pengetahuan tacit dan tersembunyi, sebab jenis pengetahuan ini sulit dipahami dan dikomunikasikan. Pengetahuan tersembunyi adalah cara mengorganisasikan ide dan model mental dan biasanya dipelajari melalui sosialisasi. Namun demikian, jenis pengetahuan yang paling berharga adalah pengetahuan tacit. Johannessen et al. (1999) mendefinisikan pengetahuan tacit sebagai pengetahuan teknikal/ ketrampilan yang diperoleh atau dipelajari dengan menggunakan, mengerjakan atau melakukan percobaan. Pengetahuan tacit biasanya sangat subyektif dan berada dalam pikiran seseorang, dan oleh karena itu sulit untuk dikomunikasikan, dipahami dan dikuantifikasikan. Untuk alasan inilah, organisasi berusaha keras menemukan cara bagaimana memotivasi orang-orang dalam organisasi dan membangun sistem untuk berbagi pengetahuan tacit mereka, yang mana pengetahuan tacit ini diakui sebagai suatu aset strategis. Beberapa perusahaan mencoba untuk mencapai hal ini melalui program pelatihan pekerja, magang dan pengembangan kompetensi pekerja (Hafeez et al., 2000). Proses manajemen pengetahuan dapat diilustrasikan sebagai suatu bentuk efek siklus pengetahuan seperti digambarkan dalam gambar 1 (Hafeez et al., 2000). Manusia memiliki kapabilitas yang mengagumkan untuk memperoleh dan memperkaya pengetahuan yang dimiliki saat ini, sementara itu secara bersamaan menerima dan menginterpretasikan berbagai 3

bentuk data dan informasi yang berbeda melalui berbagai pengetahuan yang mereka miliki. Demarest (1997) menerangkan bahwa ketika pengetahuan secara eksplisit terwujud, hal tersebut dapat tercermin dalam bentuk bahan baku, produk, jasa, mesin, mekanisme, praktik dan proses bisnis, lingkungan dan budaya. Tantangan bagi perusahaan adalah mengembangkan kebijakan dan prosedur untuk mewujudkan efek siklus pengetahuan dimana proses pengayaan pengetahuan dapat dilakukan melalui konversi antara pengetahuan tacit dan eksplisit, serta kodifikasi pengetahuan untuk meningkatkan memori organisasi. Gambar 1 : Penciptaan dan Perwujudan Siklus Pengetahuan dalam Sebuah Organisasi

Aktivitas Manajemen Pengetahuan Seluruh aktivitas yang termasuk dalam berbagai kerangka manajemen pengetahuan saat ini diintegrasikan berdasarkan isi dari aktivitas daripada nama aktivitas itu sendiri. Dari hasil integrasi berbagai kerangka manajemen pengetahuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa organisasi melakukan manajemen pengetahuan dengan melibatkan tujuh aktifitas. Lai dan Tsai-Hsin Chu (2002) dalam studinya mengelompokkan aktivitas manajemen pengetahuan menjadi tujuh aktivitas, yaitu: (1) Inisiasi. Inisiasi memerlukan perencanaan untuk perubahan sebelum peluncuran suatu proyek impelementasi manajemen pengetahuan. Hal ini berarti bahwa jika organisasi mampu menciptakan iklim atau membuat anggota organisasi sadar akan perlunya perubahan sebelum peluncuran, proses implementasi akan menjadi lebih mudah. Pada tahap ini, orang mulai mengetahui pentingnya manajemen pengetahuan dan mulai mengkampanyekan hal tersebut. Tahap ini memunculkan kesadaran mengenai perlunya pengelolaan pengetahuan bagi organisasi. Hal ini dapat dilakukan melalui identifikasi kebutuhan pengetahuan dan kompetensi inti. Pengetahuan akan bernilai jika disesuaikan dengan visi dan misi organisasi. Secara umum, tahapan ini mencakup penciptaan kesadaran tentang kebutuhan untuk perubahan, identifikasi kebutuhan pengetahuan dan penyusunan strategi implementasi manajemen pengetahuan. 4

(2) Pemunculan. Tahap ini berhubungan dengan pengadaan sistem manajemen pengetahuan. Pengetahuan dapat dimunculkan melalui identifikasi pengetahuan saat ini dalam organsisasi, sumber/pemilik pengetahuan dan pemimpinnya atau melalui pengumpulan dan impor pengetahuan dan teknologi dari luar organisasi atau pembelajaran dari pengetahuan yang ada saat ini. (3) Pemodelan. Nonaka & Takerchi (1995) mengemukakan bahwa terdapat waktu yang sesuai untuk melakukan proses penyaringan pengetahuan. Setelah konsep diciptakan, organisasi harus memilih pengetahuan yang telah akan dikumpulkan dan digunakan. Tahap ini berfokus pada pemilihan dan strukturisasi pengetahuan yang telah dimodelkan.. Dengan kata lain, tahapan ini memberi perhatian pada pemodelan pengetahuan dan merepresentasikan model pengetahuan tersebut ke dalam media penyimpanan pengetahuan untuk digunakan kemudian. (4) Pengumpulan. Pengetahuan yang telah dibangun sangat berharga bagi organisasi. Untuk menjaga pengetahuan eksplisit dan memudahkan pembagian pengetahuan lebih lanjut, sangat penting memiliki media pengumpul dan penyimpan pengetahuan untuk menjaga seluruh pengetahuan kritis. Jenis pengetahuan apa dan bagaimana pengetahuan tersebut sebaiknya dikelola ke dalam media penyimpanan merupakan isu yang besar. (5) Distribusi dan Transfer. Tahap ini berfokus pada bagaimana mendistribusikan pengetahuan pada anggota organisasi. Pengetahuan dibuat selalu tersedia bagi orang lain dengan membuat proses interaktif atau infrastruktur teknologi informasi. Dalam hal ini terdapat dua strategi distribusi manajemen pengetahuan: push (dorong) dan pull (tarik) (Davenport, 1997). Strategi dorong memiliki penyedia pusat yang menentukan informasi apa yang akan didistribusikan dan kepada siapa, sedangkan dalam strategi tarik, penggunalah yang menentukan kebutuhan pengetahuan dan harus selalu memotivasi diri untuk mencari dan memperoleh kembali suatu pengetahuan. (6) Penggunaan. Nilai dari sebuah pengetahuan hanya dapat direalisasikan ketika pengetahuan tersebut diterapkan untuk membantu penyelesaian masalah. Tahapan ini berfokus pada bagaimana menggunakan pengetahuan dalam rangka menghasilkan nilai komersial. Hal tersebut dapat diperbaiki dengan pengukuran, tindakan simbolis, konteks institusi yang sesuai dan evaluasi kinerja (Davenport, 1997). (7) Evaluasi. Tahap ini berkaitan dengan proses pengkajian, kinerja dan dampak manajemen pengetahuan serta deteksi terhadap pengetahuan baru yang telah tercipta. Tahapan ini juga berkaitan dengan penentuan apakah suatu pengetahuan telah usang (out of date). Peninjauan kembali menjadi penting agar dapat selalu mengikuti perkembangan pengetahuan baru dan manajemen pengetahuan dalam lingkungan yang serba berubah. Ketujuh aktivitas manajemen pengetahuan tersebut tidak harus diperlakukan sebagai suatu proses yang sekuensial. Setiap aktivitas bisa memiliki umpan balik kepada dan dari aktivitas yang lain. Berbeda dengan kerangka lainnya, Nonaka (1994) mengemukakan model yang menekankan pada konversi antara pengetahuan tacit dan eksplisit dalam menciptakan pengetahuan organisasi. Menurut model Spiral yang dikemukakan Nonaka, penciptaan pengetahuan organisasi dihasilkan dari empat mode : sosialisasi (tacit ke tacit), eksternalisasi (tacit ke eksplisit), internalisasi (eksplisit ke tacit) dan kombinasi (eksplisit ke eksplisit). Proses penciptaan pengetahuan merupakan siklus yang kontinyu yang terdiri dari berbagai pergeseran antara berbagai mode konversi pengetahuan (Polanyi, 1967). Mode sosialisasi dimulai dari interaksi antara anggota tim dengan berbagi pengetahuan tacit, pengalaman dan sudut pandang. Mode eksternalisasi terjadi setelah tahapan dialog/ diskusi yang membantu anggota tim mengartikulasikan sudut pandang dan pengetahuan tacit 5

dan mengkombinasikan kedua hal ini dengan data dan pengetahuan eksternal ke dalam spesifikasi pengetahuan konkret dan dapat dibagi. Oleh karena itu, pengetahuan tacit dikonversikan ke pengetahuan eksplisit melalui proses dialog. Mode kombinasi dilakukan melalui koordinasi antara anggota tim dan bagian lain dari organisasi serta dokumentasi dari pengetahuan yang ada saat ini. Terakhir, mode internalisasi berhubungan dengan pengetahuan eksplisit yang secara bertahap diubah menjadi pengetahuan tacit melalui interaksi partisipan dan proses uji coba (trial and error). Gambar 2 menyajikan model spiral yang dikemukakan Nonaka (1994). Gambar 2: Model Spiral Penciptaan Pengetahuan Organisasi

Model spiral tentang penciptaan pengetahuan organisasi berkaitan dengan aktivitas pembangkitan, distribusi dan transfer, penggunaan dan peninjauan kembali. Sebagai contoh, dengan berbagi pengetahuan tacit, anggota tim dapat menciptakan pengetahuan baik melalui sosialisasi maupun eksternalisasi. Pengetahuan juga dapat diciptakan melalui kombinasi antara pengetahuan eksplisit saat ini, seperti dokumentasi pengetahuan (Polanyi, 1967). Selanjutnya, ketika menggunakan pengetahuan, seseorang berkemungkinan menciptakan pengetahuan tacit baru melalui proses uji coba. Hal ini berhubungan dengan aktivitas penggunaan dan peninjauan kembali. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Pengetahuan Beberapa kerangka tentang faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen pengetahuan telah dikemukakan. Leonard-Barton (1995) mengemukakan dua faktor yang dapat menjadi pendorong atau penghambat terhadap manajemen pengetahuan, misalnya sistem manajemen, nilai-nilai dan norma. Sistem manajemen bisa meliputi sistem pembelajaran, sistem penghargaan dan insentif, sementara nilai-nilai dan norma mengacu pada tindakan dan status, ritual dan perilaku, serta sistem kepercayaan. Disamping itu, Arthur Andersen & APQC (1996) mengidentifikasi faktor pendorong yang mempengaruhi manajemen pengetahuan dan mengemukakan bahwa hal tersebut ialah budaya, kepemimpinan, pengukuran dan teknologi.Van der Spek & Spijkervet (1997) juga mengemukakan bahwa faktor pengaruh itu dapat berupa pengukuran kinerja manajemen pengetahuan, budaya, motivasi pekerja, penyesuaian organisasi dan teknologi, dan sebagainya. Lebih lanjut, Szulanski (1996) menggarisbawahi bahwa kekurangan motivasi bisa menjadi penghalang bagi manajemen 6

pengetahuan. Dapat dirumuskan bahwa hal-hal utama yang mempengaruhi manajemen pengetahuan adalah budaya, kepemimpinan, pengukuran, pendidikan, sistem penghargaan dan insentif, penyesuaian organisasi, nilai-nilai, norma dan teknologi. Lai, H., dan Tsai-Hsin Chu (2002) juga mengidentifikasikan faktor-faktor pengaruh terhadap manajemen pengetahuan, seperti sisajikan dalam tabel 2 berikut. Tabel 2: Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Manajemen PengetahuanCulture Leader ship Measure ment Education Reward & Incentive System Organiza tional Adaptabi lity Value & Norms Techno logy

Arthur Andersen & APQC (1999) Van der Spek & Spijkervet (1997) Leonard Barton (1995) Szulanski (1996)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kerangka manajemen pengetahuan terdiri dari tiga aspek, sumber pengetahuan, aktivitas manajemen pengetahuan dan hal-hal yang mempengaruhi manajemen pengetahuan seperti yang diperlihatkan pada gambar 3. Gambar 3 : Kerangka Manajemen Pengetahuan Bersumber Pada Kompetensi & StrukturFaktor yang mempengaruhi Manajemen PengetahuanKemampuan Organisasi Beradaptasi Aktivitas Manajemen Pengetahuan Evaluasi Inisiasi Sistem Insentif & Penghargaan

Teknologi

Sumber Pengetahuan:Budaya Pemanfaatan

Kompetensi Pegawai Struktur Internal Struktur EkternalPendistribusian & Transfer Pemodelan Pengumpulan

Pemunculan

Kepemimpinan

Nilai & Norma

Pengukuran

7

Sumber pengetahuan merupakan sasaran dari aktivitas manajemen pengetahuan. Aktivitas manajemen pengetahuan meningkat dengan adanya faktor pendorong, dan kemudian hal tersebut akan mempengaruhi hasil manajemen pengetahuan. Salah satu sumber pengetahuan yang dinamis adalah kompetensi pegawai yang benar-benar diperlukan dan berkontribusi terhadap kinerja organisasi dan tidak setiap jenis pengetahuan akan berkontribusi pada organisasi. Manajemen Pengetahuan dan Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Beberapa perusahaan mengatur ulang perangkat teknologi informasi mereka menjadi perangkat sistem manajemen pengetahuan untuk menyimpan pengetahuan eksplisit. Solusi teknologi informasi ini lebih berhubungan dengan pengetahuan eksplisit dan memori organisasi. Namun demikian, perangkat yang sesuai dan implementasi sistem manajemen SDM (yang mampu melebihi karakteristik siklus pengetahuan) memiliki banyak hal untuk menawarkan hal-hal yang sangat berharga dalam pengelolaan pengetahuan tacit organisasi. Sistem manajemen pengetahuan yang baik juga harus mampu menarik pekerja perusahaan dan stakeholder yang lain untuk terlibat secara sukarela dalam aktivitas berbagi dan belajar pengetahuan. Seringkali praktisi bertindak sebagai mediator dalam peningkatan dan penerapan pengetahuan baik dalam bentuk perilaku, sehingga sekaligus turut ikut ambil bagian dalam pengembangan kompetensi organisasi. Ringkasan mengenai karakteristik sistem manajemen pengetahuan ditampilkan pada tabel 4. Tabel 4: Karakteristik Sistem Manajemen Pengetahuan IstilahPembelajaran (Learning)

DefinisiProses perbaikan tindakan melalui pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik terhadap suatu hal Informasi dan pemahaman tentang suatu subyek yang dimiliki seseorang Kemampuan untuk menguasai konsep dari suatu disiplin ilmu dan menerapkan pengetahuan ini secara tepat pada situasi atau lingkungan yang baru Karakteristik dasar manusia yang dapat digunakan untuk membedakan individu dengan performansi rata-rata dan superior Sekumpulan ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu secara efektif

PengarangFiol and Lyles (1985)

Pengetahuan (Knowledge)

Collins Cobuild (1987)

Ketrampilan (Skill)

Sanchez et al (1996)

Kompetensi (Competency)

Spencer & Spencer (1993)

Baker et al (1997)

Kompetensi Konsep mengenai kompetensi, kepakaran dan pengetahuan sangat berhubungan dan konsep ini telah dibicarakan dalam istilah sumber daya spesifik perusahaan, asset yang tak terlihat (Itami & Roehl, 1987), ketrampilan, kompetensi inti atau utama (Prahalad & Hamel, 1990), memori organisasi (Walsh & Ungson, 1991), sumber daya intangible (Hall, 1992), 8

kecakapan utama (Amit & Schoemaker, 1993), dan pengetahuan kolektif (Spender, 1996). Dalam tulisan ini, baik kepakaran dan kompetensi dilihat sebagai pengetahuan pekerjaan yang sangat berhubungan (Allee, 1997). Perbedaannya ialah bahwa kepakaran dipahami sebagai aspek individu sedangkan kompetensi dibicarakan pada tingkatan organisasi. Ditemukan pada awal abad ke-20 dalam manajemen ilmiah (scientific management) (Taylor, 1911), kompetensi menjadi konsep yang seringkali digunakan dalam pendekatan sumber daya manusia selama era 70-an dan 80-an (McClelland, 1973; Boyatzis, 1982). Kompetensi bersifat komprehensif sebagai hubungan antara manusia dengan tugas pekerjaannya, yang mana, perhatiannya bukan pada pengetahuan dan ketrampilan itu sendiri, tetapi pada pengetahuan dan ketrampilan apa yang dibutuhkan untuk melakukan tugas pekerjaan tertentu secara efisien (McClelland, 1973). Pemikir awal bidang manajemen yang mendefinisikan kompetensi mengkritisi tidak terstrukturnya sistem pengelolaan kompetensi. Sebagai bagian dari pendekatan manajemen ilmiah (scientific management) memperkenalkan studi waktu dan gerakan (Time and Motion Study) sebagai suatu cara untuk membuat kompetensi pekerja teramati dan terukur. Dalam hal ini, kompetensi terdiri dari sekumpulan sifat yang dibutuhkan untuk melakukan tugas tertentu. Spencer & Spencer (1993) mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik dasar manusia yang dari pengalaman nyata (nampak dari perilaku) ditemukan mempengaruhi, atau dapat dipergunakan untuk memperkirakan (tingkat) performansi di tempat kerja atau kemampuan mengatasi persoalan pada suatu situasi tertentu (p. 9). Kebanyakan teori dan pendekatan manajemen SDM berbasis kompetensi yang banyak digunakan praktisi didasarkan pada konsep kompetensi yang dikemukakan Boyatzis (1982) dan Spencer & Spencer (1993). Sistem Manajemen SDM Berbasis Kompetensi sebagai Solusi Komprehensif Revolusi industri mengubah pekerjaan dalam masyarakat Barat, dan telah menciptakan pergeseran yang berarti terhadap apa yang masyarakat lakukan dalam hidup dan bagaimana pekerjaan dilakukan di tempat kerja. Selama era industri, pola kerja dirubah, pemilik membagi tugas-tugas ke dalam aktivitas yang terpisah yang kemudian dibebantugaskan kepada individu yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugas tersebut secara repetitif (Barley & Orr, 1997). Pekerja melakukan pekerjaan fisik dan diperlakukan sebagai man power yang ditugaskan untuk melaksanakan keputusan. Cara pengelolaan seperti ini didasarkan pada pandangan bahwa seseorang dengan posisi yang lebih tinggi dalam hierarki organisasi memiliki kekuasaan untuk mengelola dan mengarahkan tindakan bawahan (Nelsen, 1997). Pekerjaan diatur menurut prinsip-prinsip manajemen ilmiah (scientific management), atau apa yang dalam literatur manajemen definisikan sebagai Taylorisme dan setiap pekerjaan ditetapkan ke dalam deskripsi eksplisit formal termasuk di dalamnya disebutkan tugas dan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap posisi atau jabatan. Berdasarkan prinsip-prinsip manajemen ilmiah (scientific management), mengungkapkan bahwa kompetensi pekerja sebaiknya dibuat sehingga mudah dimengerti dengan mengelompokkannya ke dalam aturan, hukum dan rumusan. Studi waktu dan gerakan (Time and Motion Studies) merupakan alat manajerial Taylor yang dipergunakan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan kompetensi dari pekerja yang paling efisien. Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia saat ini tentu saja tidak didasarkan pada studi waktu dan gerakan, tetapi menerapkan konsep dasar pemikiran yang serupa. Pendekatan berbasis tugas dalam mengelola kompetensi dapat ditelusur kembali pada era Taylor dan beberapa upaya sistematik untuk mengidentifikasi aspek fundamental dari kompetensi dalam hubungannya dengan pekerjaan tertentu dalam organisasi. Uraian tugas digunakan oleh 9

sebagian organisasi sebagai dasar pelaksanaan pelatihan, seleksi, pengembangan karir, dan penentuan kompensasi (Lawler, 1994). Pendekatan lain dikemukakan oleh Lawler & Ledford (1992), konsep kompetensi tidak difokuskan pada apa yang dibutuhkan oleh suatu posis atau jabatan tetapi lebih difokuskan pada kompetensi yang dimiliki individu anggota organisasi. Menurut Lawler & Ledford mengatur dan mengelola orang berdasarkan pada konsep individu pemegang jabatan tidak lagi optimum, tertutama untuk organisasi yang dinamik dan sering berubah. Daripada berkutat tentang tugas dalam hubungannya dengan posisi tetap yang diduduki seseorang, lebih tepat jika seseorang dilihat sebagai sumber pengetahuan yang dapat disumbangkan kontribusinya bagi perusahaan (Lawler, 1994). Kompetensi para pekerja pengetahuan (knowledge worker) atau pekerja analitis simbolis bervariasi seperti identifikasi masalah, pemecahan masalah, dan perdagangan perantara. Karena para pekerja pengetahuan (knowledge worker) ini melaksanakan pekerjaan mereka berdasarkan akumulasi pengalaman dan pemahaman dalam diri (tacit) tentang bagaimana penyelesaian suatu tugas, kemungkinan besar mereka akan menentang rutinitas. Dalam pengertian ini, mereka berbeda dari pekerja administratif. Otonomi dan motivasi diri dapat dijadikan sebagai pemicu bagi para pekerja pengetahuan (knowledge worker) dan dikemukakan bahwa para pekerja pengetahuan (knowledge worker) ini lebih memberi perhatian atau tertarik pada tugas-tugas dengan pertanyaan awal bagaimana tugas tersebut mempengaruhi hasil akhir dari pekerjaan. Selanjutnya, penelitian di lingkungan perusahaan menunjukkan bahwa minat profesilah yang memotivasi orang menjalankan tugasnya daripada teori-teori yang menyertai tugas tersebut. Literatur manajemen mengemukakan bahwa paradigma tugas, dimana kompetensi digunakan sebagai petunjuk utama untuk pengetahuan dan ketrampilan formal seseorang, tidaklah cukup untuk menggambarkan praktik pekerjaan pengetahuan (knowledge work). Meskipun demikian, sistem kompetensi individu masih didasarkan pada pemikiran rasional yang terlalu disederhanakan pada akar pemikiran kompetensi dalam manajemen ilmiah (scientific management) di awal abad ke-20. Adopsi terhadap sistem kompetensi dalam praktik pekerjaan pengetahuan di organisasi telah menimbulkan problematika tersendiri (Lindgren & Henfridsson, 2002). Sistem kompetensi secara tipikal digunakan untuk administrasi personalia dan pengembangan sumber daya manusia. Masih terdapat ketidaksesuaian antara sistem kompetensi saat ini dalam menangani deskripsi formal kompetensi dihubungkan dengan tugas yang telah terdefinisi dengan baik dan lingkungan dinamik dalam pekerjaan pengetahuan (knowledge work). Organisasi berbasis pengetahuan berbeda dalam hal situasi yang serba berubah, kebutuhan yang tak dapat diramalkan, pembelajaran terus menerus, dan kebutuhan yang tetap akan inovasi memerlukan sistem kompetensi berdasarkan interpretasi yang mendalam tentang kompetensi itu sendiri. Interpretasi ini sebaiknya menyertakan bentuk kompetensi dalam tindakan dimana kendali utamanya terletak pada minat atau perhatian individu terhadap suatu pekerjaan. Pada gilirannya, hal ini memerlukan sistem kompetensi yang baru, dinamik, yang menggambarkan status secara real time dan didasarkan pada tindakan yang dikendalikan oleh minat/ ketertarikan para anggota organisasi.

Organisasi Berorientasi pada Tugas dan Organisasi Berorientasi Pada Pengetahuan Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat dua bentuk ideal organisasi yang telah digunakan untuk membagi dan mengkoordinasikan pekerja, yaitu bentuk rasionalistik yang berorientasi pada hasil yang sesuai untuk lingkungan yang stabil dan dapat diramalkan serta bentuk organik yang sesuai untuk kondisi yang serba berubah dengan kebutuhan untuk 10

bertindak yang tak dapat diramalkan. Berdasarkan pada dikotomi ini, terdapat pemisahan antara bentuk organisasi berbasis tugas dengan organisasi berbasis pengetahuan. Perlu dicatat bahwa organisasi berbasis tugas dan organisasi berbasis pengetahuan bersifat mutually exclusive (tidak dapat terjadi sekaligus dalam waktu bersamaan). Namun kedua bentuk organisasi tersebut dapat ditemukan dalam bagian, departemen atau layer yang berbeda dalam satu organisasi yang sama. Pengelolaan organisasi dengan pendekatan berbasis tugas telah diperkenalkan oleh beberapa skolar dan telah dinyatakan dalam istilah-istilah yang dapat dilihat ulang dalam manajemen ilmiah (scientific management), birokrasi, sistem mekanistik, dan organisasi bentuk rasionalistik yang berorientasi pada hasil (Pfeffer, 1982), dimana hal-hal tersebut memiliki perspektif pada organisasi dalam sistem yang tertutup dan stabil. Gambaran keseluruhan mengenai organisasi berbasis tugas adalah satu perintah, dapat diramalkan, dan hierarkis. Organisasi memiliki aktivitas yang telah terdefinisi dengan baik dengan karakteristik tugas yang berulang dan masalah yang telah diketahui sebelumnya serta dikendalikan oleh keinginan untuk mengoptimalkan kinerja dan mengurangi redundansi (Blacker, 1995). Organisasi berbasis tugas dapat digambarkan sebagai mesin yang terkoordinasi dengan baik dengan daftar rutinitas pekerjaan yang telah tertentu. Hierarki tanggung jawab, tugas utama dan akuntabilitas yang merupakan bagian dari pendekatan birokratik mengarah pada struktur perintah dan kendali, sebagaimana penemuan prinsip manajemen ilmiah (scientific management) dengan setiap tugas dinyatakan ke dalam sebuah deskripsi yang eksplisit dan dibedakan secara jelas dengan tugas/ pekerjaan lainnya. Alasannya ialah bahwa cara terbaik untuk mengoptimalkan kinerja organisasi adalah melalui pengisian suatu jabatan dengan individu yang memiliki ketrampilan yang sesuai dan memotivasi mereka untuk melakukan pekerjaan secara efektif melalui kompensasi dan penghargaan yang ekstrinsik lainnya (Lawler, 1994). Hubungan individual dalam organisasi dapat digambarkan sebagai Saya membayar Anda untuk bekerja melakukan sesuatu, bukan untuk berpikir. Organisasi berbasis tugas merupakan bentuk pengetahuan yang dirutinkan dan pengetahuan tersebut dikodifikasikan ke dalam peraturan, peran, dan prosedur dan ditanamkan ke dalam posisi/ jabatan daripada orang. Pengembangan pengetahuan dari waktu ke waktu sangat sistematik dan sekuensial, dimana pengetahuan yang terdahulu menjadi basis/ dasar untuk pengetahuan tingkat lanjut (advanced knowledge). Kompetensi akhirnya juga didefinisikan sebagai pengetahuan atau pengalaman teknologi atau sebagai peraturan dan prosedur yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan yang berulang. Secara umum, membuat kompetensi mudah diamati dan dapat diperoleh kembali serta selalu tersedia bagi organisasi dapat dibayangkan sebagai suatu cara untuk meningkatkan kinerja. Oleh karena tugas pekerjaan dan masalah di masa mendatang akan dapat diketahui, sebelumnya kompetensi harus didefinisikan dan dikelompokkan. Selama beberapa tahun belakangan, konsep tentang pekerjaan telah berubah dari yang berfokus pada tugas yang sempit dan spesifik yang dilakukan oleh individu dan dibatasi oleh peraturan dan prosedur, menjadi dipandang sebagai kumpulan usaha yang dilakukan oleh tim dengan berbagai keahlian yang bekerja dengan pertimbangan hasil dan output. Drucker (1988) menggarisbawahi frase pekerjaan pengetahuan (knowledge work) dengan tujuan untuk menggambarkan betapa pentingnya pengetahuan di dalam masyarakat pasca era industri. Literatur terakhir tentang teori organisasi membicarakan pekerjaan pengetahuan (knowledge work) dalam hubungannya dengan organisasi berbasis pengetahuan dan pekerja pengetahuan (knowledge worker). Menurut definisi Starbuck (1992), pekerjaan pengetahuan (knowledge work) adalah pekerjaan dengan karakteristik pengetahuan yang intensif serta memerlukan pendidikan formal yang berupa pengetahuan abstrak, teknis dan teoritis. Karakteristik pekerjaan pengetahuan (knowledge work) lebih variatif (beragam) 11

daripada rutin dan menjadi problematika jika dideskripsikan dalam manual, uraian tugas, dan grafik. Pekerjaan pengetahuan (knowledge work) menolak/ menentang rutinitas dan lebih menggunakan kreatifitas untuk menghasilkan pengetahuan yang tepat dan dapat dipahami (Blacker, 1995). Oleh karena itu, pekerjaan pengetahuan (knowledge work) tidak sesuai jika dibandingkan dengan proses bisnis administratif atau operasional dimana input yang tangible diperlakukan dan diubah menjadi output dengan cara yang terstruktur dan dapat diprediksikan. Input dan output pekerjaan pengetahuan (knowledge work) seperti ide, inspirasi biasanya sedikit tangible dan diskrit dengan karakteristik dimana tidak terdapat asumsi bahwa jika tugas terdahulu dilakukan dengan benar akan menjamin output seperti yang diharapkan. Akhirnya, seperti yang digarisbawahi oleh Davenport et al., (1996), aktivitas yang berkenaan dengan kegiatan untuk memperoleh, menciptakan, mengemas dan menerapkan pengetahuan merupakan jantung pekerjaan pengetahuan (knowledge work), dimana pada akhirnya akan dapat diidentifikasikan di dalamnya kompetensi utama organisasi modern baik dalam sektor jasa, industri dan pemerintah (Prahalad & Hamel, 1990). Meskipun mudah untuk menghargai pentingnya pekerjaan pengetahuan (knowledge work) dalam organisasi, dengan perubahan pasar yang cepat sekarang ini berarti bahwa organisasi akan menggantungkan kemampuan mereka pada penciptaan pengetahuan baru. Organisasi berbasis pengetahuan, berbeda dengan organisasi berbasis tugas, didasarkan pada pemikiran bahwa organisasi ini memiliki deskripsi seperti halnya pada organisasi organik dan dapat dikembangkan, seringkali merupakan organisasi random (Pfeffer, 1982). Dari pemikiran ini, organisasi dilihat sebagai sistem yang terbuka dan dinamis. Isu utama untuk organisasi berbasis pengetahuan ialah menemukan cara yang kreatif dalam menggambarkan dan memadukan pengetahuan di antara unit-unit yang sejajar (Nonaka, 1994). Organisasi berbasis pengetahuan ini memiliki karakteristik pekerjaan berupa proses yang dinamik dan kelompok proyek yang merupakan bentuk pekerjaan yang dibangun di atas kerjasama antar unit, kelompok proyek mandiri, komunikasi cepat dan jejaring yang ketat. Hal tersebut juga dapat digambarkan sebagai kerjasama antar orang-orang dengan pengetahuan dan pengalaman yang berbeda dengan tujuan untuk memecahkan masalah. Pandangan khusus mengenai organisasi ini didasarkan pada pemikiran bahwa pengetahuan berada dalam berbagai bentuk (tacit dan eksplisit), dalam berbagai lokasi (dalam individu, otak manusia, dialog, grup dan organsisasi) serta secara terus menerus membentuk dan dibentuk oleh praktik sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, organisasi berbasis pengetahuan dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari berbagai masyarakat dengan kepakaran khusus, yaitu masyarakat berpengetahuan dan masyarakat praktisi dan dengan interaksi dinamik antar masyarakat tersebut akan muncul konfigurasi pengetahuan baru. Secara terpisah dinyatakan bahwa, pengetahuan selalu siap dikembangkan, tidak hanya dimiliki oleh individu tunggal, dan tidak pernah sempurna pada titik manapun. Dengan demikian, untuk mempertahankan kapabilitas dalam melaksanakan pekerjaan, organisasi berbasis pengetahuan harus secara terus-menerus memelihara dan mengembangkan pengetahuan serta menggunakan pengetahuan yang dimiliki saat ini, atau jika tidak maka akan terjadi penurunan pengetahuan. Jadi, dalam organisasi berbasis pengetahuan, diperlukan baik tindakan yang terikat peraturan dan sesuatu yang baru untuk menemukan keseimbangan antara keteraturan dan kreativitas atau antara eksploitasi dan eksplorasi . Menurut Starbuck (1992), dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, organisasi berbasis pengetahuan bergantung pada pekerja pengetahuan (knowledge worker) dan hubungan individu dalam organisasi dapat digambarkan sebagai Saya membayar Anda untuk berpikir dan tidak hanya untuk bekerja melakukan sesuatu. Pekerja pengetahuan (knowledge worker) mempergunakan pengetahuan individu atau kolektif dan amat penting bagi pekerja ini untuk menciptakan pengetahuan baru dalam rangka menjaga dari jebakan kompetensi. 12

Namun demikian, pengetahuan baru tidak harus selalu sama atau berada dalam satu bidang dengan pengetahuan lama. Organisasi berbasis pengetahuan menekankan pentingnya membuat lompatan kompetensi lateral daripada hanya ekstrapolasi dari kompetensi sebelumnya serta belajar untuk meninggalkan pengetahuan yang sudah tidak sesuai (learn to unlearn). Kompetensi diasosiasikan dengan proses perubahan dan dilihat sebagai sesuatu yang dinamik, baru dan berada pada situasi praktik yang terus berkembang. Kurang tepat dikatakan jika pandangan rasionalitas mampu membuat pekerja pengetahuan (knowledge worker) menjadi lebih efisien. Sebaliknya, motivasi dan komitmen individu menjadi aset yang penting. Otonomi individu menjadi dasar dalam mengatur diri sendiri dan menguatkan kecenderungan bahwa individu akan memotivasi diri mereka sendiri untuk belajar secara terus-menerus dalam rangka menciptakan pengetahuan baru dan mengembangkan kompetensi baru (Nonaka, 1994). Beberapa sistem kompetensi dapat berfungsi dalam organisasi berorientasi pada tugas, namun kurang mendukung dalam organisasi berorientasi pengetahuan. Sehingga sistem kompetensi ini belum dapat memberikan kontribusi dalam praktik pekerjaan pengetahuan dalam suatu organisasi. Sistem kompetensi untuk organisasi berbasis pengetahuan harus didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang kompetensi individu itu sendiri termasuk praktik pekerjaan yang didorong oleh minat/ ketertarikan personal. Dari pembahasan tersebut di atas dapat disarikan bahwa konsep kompetensi diperlukan baik untuk konsep organisasi berorientasi tugas maupun konsep berorientasi pengetahuan. Pada organisasi konsep berbasis tugas, kompetensi dibutuhkan untuk menspesifikaikan kemampuan yang dibutuhkan untuk setiap posisi jabatan dalam organisasi. Sedangkan untuk organisasi berbasis pengetahuan, kompetensi lebih diarahkan untuk memetakan potensi kemampuan yang dimiliki anggota organisasi perusahaan. Penulis berpendapat, dalam membangun suatu sistem manajemen SDM berbasis kompetensi terpadu, dari pada mempertentangkan apakah suatu sistem lebih berfokus untuk mengelola dengan baik untuk posisi jabatan atau pegawai-pegawai kuncinya, akan lebih fleksibel dan universal sistem yang dibangun jika keduanya baik kebutuhan kompetensi untuk posisi/jabatan maupun kompetensi yang dimiliki individu dapat diintegrasikan. Melalui pengintegrasian ini membuka peluang pemanfaatan sistem MSDM Berbasis Kompetensi sebagai Sistem Manajemen Pengetahuan yang dapat diaplikasikan lebih luas untuk berbagai tipe organisasi yang berbeda sekaligus memberikan solusi yang komprehensif. Pada kenyataannya, sangat sulit menemukan di praktik lapangan suatu perusahaan menerapkan jenis organisasi yang murni berorientasi pada tugas, atau sebaliknya organisasi yang murni berorientasi pada pengetahuan. Kerangka Sistem Manajamen SDM Berbasis Kompetensi Terpadu Gambar 4 menyajikan model Sistem Informasi MSDM-BK Terpadu (Integrated competencies based human resource management information system). Dalam Sistem Informasi MSDM-BK ini keputusan yang diambil dan aktivitas yang dilaksanakan selalu mengacu kepada Kebutuhan Kompetensi untuk Posisi Jabatan dan Kompetensi yang dimiliki Individu yang terukur dan dapat teramati validitasnya berdasarkan perilaku seseorang yang bekerja dalam suatu organisasi. Sistem ini dapat memberikan berbagai dukungan terhadap berbagai fungsi sumber daya manusia, mulai dari proses rekruitmen dan seleksi sampai dengan pelatihan dan pengembangan serta kompensasi secara terpadu (Siswanto, 2006).

13

HR Planning

Performa nce Manage Vision, Missio ns, Organi zation SHRM (Hard & Soft)

Compens ation

Leader ship

Recruitm ent & Selection

Job Compe tency

Emplo yees Compe

Talent & Potential Assessm

Busine ss Proces

Busine ss, Strate

Person al Objecti

Job Design & Evaluatio

Career Path & Successi

Training & Develop

Integrated CBHRM System 2007 JS

Gambar 4. Model Sistem manajemen SDM berbasis kompetensi secara terpadu Dengan Sistem MSDM-BK Terpadu yang demikian fungsi pengelolaan pengetahuan akan memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Sumber pengetahuan yang digunakan adalah kompetensi pegawai yang telah teruji dampaknya terhadap kinerja organisasi perusahaan dan dapat disesuaikan dengan kompetensi inti, visi, misi, nilai dan bisnis perusahaan. Agen yang menjadi sumber atau pemasok pengetahuan secara aktif terseleksi sesuai dengan kepiawaian praktis di tempat kerja (memiliki gap positif), sehingga pengetahuan yang terkumpul telah diseleksi baik sumber maupun kualitasnya. Aktivitas pendistribusian dapat sangat selektif, dapat khusus ditujukan kepada pegawai atau anggota organisasi perusahaan yang membutuhkan (memiliki gap negatif) dan/atau kepada anggota organisasi yang berminat. Sehingga terjadinya junk pengetahuan dapat dicegah. Pemakai pengetahuan tidak mengalami overflow knowledge and information, tetapi mendapatkan pengetahuan yang selektif dan teruji dari sumber-sumber yang telah terbukti kompeten di organisasi sehingga akan lebih efisien. Proses aktivitas manajemen pengetahuan mulai dari inisiasi, pemunculan, pemodelan, pengumpulan, pendistribusian, pemanfaatan sampai dengan evaluasi dapat dikaitkan langsung dengan fungsi manajemen SDM seperti manajamen kinerja, pelatihan, penghargaan serta kompensasi. 14

2.

3.

4.

5.

Kesimpulan Pengelolaan pengetahuan bagi organisasi perusahaan dipastikan akan semakin penting perannya untuk mempertahankan dan meningkatkan keunggulan bersaing di masa ekonomi yang semakin terbuka dan kompetitif. Untuk itu disamping proses dan aktivitas manajemen pengetahuan harus dijalankan secara seksama, sumber pengetahuan yang akan digunakanpun (dikumpulkan dan didistribusikan) perlu dikaji secara seksama agar tetap relevan dengan orientasi organisasi perusahaan. Kompetensi anggota organisasi dan kebutuhan atau arah kompetensi organisasi dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan organisasi, sekaligus dapat diintegrasikan dalam sistem manajemen SDM secara terpadu. Hal ini dapat memotisi aktivitas manajemen pengetahuan. Tantangan paling besar dalam mengembangkan sistem pengelolaan pengetahuan yang terpadu dalam sistem manajemen SDM, adalah penyiapan strategi implementasi yang tidak mudah mengingat berkaitan dengan implementasi atau perubahan suatu sistem yang cukup kompleks dan dengan karakteristik pelaku yang tidak homogen. Akan tetapi perencanaan yang terintegrasi dan implementasi secara bertahap tetap menjadi pilihan terbaik karena terbukanya kesempatan untuk selalu dapat melakukan tindakan korektif.

ReferensiAlavi, M. KPMG Peat Marwick U. S : One Gain Brain, Harvard Business School (Case), July 11, 1997. Alavi, M. and D. Leidner. Knowledge Management System : Emerging Views and Practices From the Field, Proceedings of the 32nd Hawaii International Conference on System Sciences, 1999. Allee, V. The Knowledge Evolution : Expanding Organizational Intelligence. Butterworth-Heinemann, 1997. Amit, R., and Schoemaker PJH. Strategic Assets and Organizational Rent, Strategic Management Journal, 14, 1993, pp. 33-46. Alvesson, M. Organizations as Rhetoric : Knowledge-Intensive Firms and the Struggle with Ambiguity, Journal of Management Studies, 30:6, 1993, pp. 997-1020. Arthur Andersen and The American Productivity and Quality Center. The Knowledge Management Assessment Tool : External Benchmarking Version, Winter, 1996. Baker, J.C., Maples J., and New, C.C. A Hierarchical Model of Business Competence, Integrated Manufacturing System, 8, 1997, pp. 265-272. Barley, S.R., and Orr J.E. Introduction : The Neglected Workforce, In Between Craft and Science-Technical work in US Settings, (Barley S.R and Orr JE, Eds.), Ithaca and London : Cornell University Press, 1997, pp. 1-19. Blacker, F. Knowledge, Knowledge Work and Organizations : An overview and Interpretation, Organization Studies, 16:6, 1995, pp. 1021-1046. Beckman, T.A. A Methodology for Knowledge Management, Proceedings of the IASTED International Conference on AI and Soft Computing, 1997.

15

Boyatzis, R.E. The Competent Manager : A Model for Effective Performance, New York : John Wiley & Sons, 1982. Carlsson, S.A., O.A. El Sawy, I. Eriksson, and A. Raven. Gaining Competitive Advantage Through Shared Knowledge Creation : In Search of a New Design Theory for Strategic Information System, Proceedings of the 4th European Conference on Information Systems, Lisbon, 1998. Collins Cobuild Language Dictionairy. William Collins Sons and Co. Ltd. Glasgow: 1987 Davenport, T.H., et al. Improving Knowledge Work Processess, Sloan Management Review, Summer 1996, pp. 53-65. Davenport, T.H., et al. Successful Knowledge Management Projects, Sloan Management Review, Winter 1998, pp. 443-457. Davenport, T.H. and L. Prusak. Information Ecology : Mastering the Information and Knowledge Environment. New York : Oxford, 1997. Demarest, M. Understanding Knowledge Management, Long Range Planning, 30:3, 1997, pp. 374-384. Dreske, F. Knowledge and the Flow of Information. Cambridge, MA : MIT, 1981. Drucker, P. The Age of Discontinuity : Guidlines to Our Changing Society. New York : Harper & Row, 1968. Drucker, P. The Coming of the New Organization, Harvard Business Review, 1988, pp. 3-15. Fashey, L. and L. Prusak. The Eleven Deadliest Sins of Knowledge Management, California Management Review, 40:3, 1998, pp. 265-276. Fiol, C., and Lyles, M. Organizational Learning, Academic Management Review, 10, 1985, pp. 803-813. Fombrum, C., Tichy N.M., and Devanna M.A. Strategic Human Resource Management, New York : John Wiley & Sons, 1984. Grant, R.M. Prospering in Dynamically-Competitive Environments : Organizational Capability as Knowledge Integration, Organization Science, 7:4, July-August 1996, pp. 375-387. Hafeez, K., et al. Knowledge Management in Supply Chains. In Altmann G., Lamp J., Love P.E.D., Smith R., and Warren (Eds.). Proceedings of the First International Conference on Systems Thinking in Management. Geelong, Australia : University of Deakin, 2000, pp. 218-224. Hafeez, K., and H. Abdelmeguid. Dynamics of Human Resource and Knowledge Management, Journal of the Operational Research Society, 54:2, 2003, pp. 153-164. Hall, R. The Strategic Analysis of Intangible Resources, Strategic Management Journal, 13, 1992, pp. 135-144. Holsapple, C.W. and K.D. Joshi. Description and Analysis of Existing Knowledge Management Frameworks, Proceedings of the 32nd Hawaii International Conference on System Sciences, 1999. Itami, H. and Roehl T. Mobilizing Invisible Assets, Cambridge : Harvard University Press, 1987. 16

Johannessen, J., Olsen B., and Olaisen, J. Aspects of Innovation Theory Based on Knowledge Management, International Journal Information Management, 19, 1999, pp. 121-139. Lai, H., and Tsai-Hsin Chu. Knowledge Management : A Review of Industrial Cases, The Journal of Computer Information Systems, 42:5, 2002, pp. 26-39. Leonard-Barton, D. Wellsprings of Knowledge. Harvard Business School press, 1995. Lindgren, R., D. Stenmark, and J. Ljungberg. Rethinking Competence Systems for Knowledge-Based Organizations, European Journal of Information Systems, 12, 2003, pp. 18-29. Machlup, F. Knowledge : Its Creation, Distribution and Economic Significance (1). Princeton, NJ : Princeton University Press, 1983. Mayo, A. Memory Bankers, People Management, 4:2, January 1998, pp. 35-38. McQueen, R. Four Views of Knowledge and Knowledge Management, Proceedings of the 4th Americas Conference on Information Systems, August 1998. McClelland, D.C. Testing for Competence Rather Than for 'Intelligence', American Psychologist, 28, 1973, pp. 1-14. Nelsen, B.J. Work as a Moral Act : How Emergency Medical Technicians Understand Their Work, In Between Craft and ScienceTechnical work in US Settings, Ithaca and London : Cornell University Press, 1997, pp 154-184. Nissen, M.E. Knowledge-Based Knowledge Management in Reengineering Domain, Decision Support Systems, 27:1-2, 1999, pp. 47-65. Nonaka, I. A Dynamic Theory of Organizational Knowledge Creation, Organization Science, 5:1, February 1994, pp. 14-37. Nonaka, I. and H. Takerchi. The Knowledge Crating Company. New York : Oxford, 1995. Petrash, G. Dows Journey to a Knowledge Value Management Culture, European Management Journal, 14:4, 1996, pp. 365-373. Pfeffer, J. Organizations and Organization Theory, Marshfield : Pitman Publishing, 1982. Polanyi, M. Personal Knowledge, In Polanyi, M. and H. Prosch (Eds.). Meaning. Chicago : University of Chicago press, 1975, pp. 22-45. Polanyi, M. The Tacit Dimension. London : Routledge and Keoan Paul, 1967. Prahalad, C.K., and Hamel G. The Core Competence of the Corporation, Harvard Business Review, 1990, pp. 71-91. Quinn, J.B. et al. Managing Professional Intellect : Making the Most of Best, Harvard Business Review, 74, March-April 1996, pp. 71-80. Sanchez, R., Aime, H., and Howard, T. Towards the Theory and Practice of CompetenceBased Competition. In Sanchez R., Heene A., and Howard T. (Eds.). Dynamics of Competence-Based Competition : Theory and Practice in the New Strategic Management, Elsevier : Oxford, 1996, pp. 1-2. Schubert, P., D. Lincke, and B. Schmid. A Global Knowledge Medium as a Virtual Community : The NetAcademy Concept, Proceedings of the 4th Americas Conference on Information Systems, August 1998. 17

Siswanto, Joko. Pengantar Manajemen SDM Berbasis Kompetensi, Materi Seri Lokakarya Impelementasi MSDM-BK, PT ASB, Bandung, Juli 2006. Spencer, L.M., and Spencer SM. Competence at Work: Models for Superior Performance, John Wiley & Sons, 1993. Spender, J.C. Organizational Knowledge, Learning and Memory : Three Concepts in Search for a Theory, Journal of Organizational Change Management, 9:1, 1996, pp. 63-78. Starbuck, W.H. Learning by Knowledge-Intensive Firms, Journal of Management Studies, 29:6, 1992, pp. 713-740. Stewart, T.A. Intellectual Capital : The New Wealth of Organizations. Bantam, 1997. Sveiby, K. The New Organization Wealth. San Francisco : Ferret-Koehler, 1997. Swan, J., Scarbrough, H., and Preston, J. Knowledge Manegement : A Literature Review. In Issues in People Management, London : Institute of Personnel and Development, 80, 1999. Szulanski, G. Exploring Internal Stickiness : Impediments to the Transfer of Best Practice within the Firm, Strategy Management Journal, 17, Winter 1996, pp. 27-43. Taylor, F. The Principles of Scientific Management, New York : Harper & Row, 1911. Taylor, R. Unisys Decision Support Systems Programme. London : City Gate, February 1996. Toffler, A. Powershift : Knowledge, Wealth and Violence at the Edge of 21st Century, New York : Bantam, 1990. Tuomi, I. Data is More Than Knowledge : Implications of the Reversed Hierarchy for Knowledge Management and Organizational Memory, Proceedings of the 32nd Hawaii International Conference on Systems Sciences, 1999. Van der Spek, R. and A. Spijkervet. Knowledge Management : Dealing Intelligently with Knowledge. In Liebowitz, J. and L.C. Wilcos (Eds.). Knowledge Management and Its Integrative Elements. New York : CRC, pp. 31-59. Vance, D.M. Information, Knowledge and Wisdom : The Epistemic Hierarch and Computerbased Information System, Proceedings of the Third Americas Conference on Information Systems, August 1997. Walsh, J.P., and Ungson GR. Organizational Memory, Academy of Management Review, 16:1, 1991, pp. 57-91. Zack, M. An Architecture for Managing Explicated Knowledge, Sloan Management Review, September 1998.

18