referat mg

35
Elisa Soetanto | 406138065 BAB 1 PENDAHULUAN Myasthenia Gravis (MG) merupakan penyakit kronik neuromuscular yang dapat menyebabkan berbagai derajat disfungsi neurologi. Meskipun penyebab dari penyakit ini tidak diketahui dengan jelas, peran dari respon imun pada pathogenesis penyakit ini telah dibuktikan (adanya antibodi yang menyerang langsung pada reseptor asetilkolin) 1 . Penyakit autoimun ini dikarakteristikan dengan adanya kelemahan otot yang fluktuasi, dimana semakin parah apabila digunakan dan membaik dengan istirahat. Pada sekitar dua pertiga pasien, keterlibatan otot ekstrinsik mata ditemukan sebagai gejala awal, biasanya bersifat progresif yang melibatkan otot bulbar dan otot – otot anggota tubuh dan mengakibatkan generalized Myasthenia Gravis (gMG). Pada 10% pasien Myasthenia Gravis, gejala yang timbul terbatas pada otot ekstrinsik mata, yang disebut ocular MG (oMG). 2 MYASTHENIA GRAVIS 1

Upload: 170692

Post on 27-Jan-2016

57 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Referral Myasthenia Gravis

TRANSCRIPT

Page 1: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

BAB 1

PENDAHULUAN

Myasthenia Gravis (MG) merupakan penyakit kronik neuromuscular yang

dapat menyebabkan berbagai derajat disfungsi neurologi. Meskipun penyebab dari

penyakit ini tidak diketahui dengan jelas, peran dari respon imun pada pathogenesis

penyakit ini telah dibuktikan (adanya antibodi yang menyerang langsung pada

reseptor asetilkolin)1.

Penyakit autoimun ini dikarakteristikan dengan adanya kelemahan otot yang

fluktuasi, dimana semakin parah apabila digunakan dan membaik dengan istirahat.

Pada sekitar dua pertiga pasien, keterlibatan otot ekstrinsik mata ditemukan sebagai

gejala awal, biasanya bersifat progresif yang melibatkan otot bulbar dan otot – otot

anggota tubuh dan mengakibatkan generalized Myasthenia Gravis (gMG). Pada 10%

pasien Myasthenia Gravis, gejala yang timbul terbatas pada otot ekstrinsik mata,

yang disebut ocular MG (oMG). 2

Jenis kelamin dan usia juga berperan pada insidensi terjadinya MG. Usia

dibawah 40 tahun, ratio antara perempuan dan laki – laki adalah 3:1 ; akan tetapi

pada usia 40 – 50 tahun dan juga selama pubertas, insiden terjadinya secara kasar

seimbang. Pada usia lebih dari 50 tahun lebih sering terjadi pada laki – laki. MG

pada anak- anak jarang terjadi di Eropa dan Amerika Utara, tetapi di Negara –

Negara Asia, hampir 50% pasien MG timbul onset penyakit ini pada usia kurang dari

15 tahun, terutama yang hanya dengan manifestasi ocular.2

1

Page 2: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi

Myasthenia Gravis (MG) merupakan penyakit autoimun yang

mempengaruhi Neuromuscular Junction (NMJ) pada tingkat post sinaps.1

MG merupakan penyakit neuromuscular junction yang paling sering

ditemukan, didapat, dan termasuk pada penyakit autoimun yang diperantarai

oleh antibody.3

Meskipun penyebab dari kelainan ini ditak diketahui dengan pasti,

kondisi ini disebabkan oleh sensitisasi sel T-helper dan immunoglobulin

antibody G (IgG) yang langsung menyerang pada reseptor asetilkolin

nikotinik pada neuromuscular junction.1

2.2 Fisiologi Transmisi Neuromuskular

Neuromuskular junction adalah koneksi sinaps yang dibentuk antara

axon motor neuron dan serat – serat otot yang dipersyarafinya. Transmiter

yang digunakan pada neuromuscular junction adalah asetilkolin, yang

disimpan didalam presinaps dari saraf motorik.3 Neuromuskular junction

terdiri dari saraf terminal, celah sinaps dan terdapat banyak lipatan

postjunctional pada membrane otot. Terminal saraf merupakan tempat sintesis

dan penyimpanan dari asetilkolin.1

Ketika terjadinya depolarisasi, potensial aksi pada terminal pre sinaps,

voltage-dependent calcium channel teraktivasi, sehingga menimbulkan influx

kalsium yang menyebabkan pelepasan asetilkolin dari terminal pre sinaps.

2

Page 3: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

Asetilkolin akan berdifusi ke celah sinaps dan berikatan dengan reseptor

asetilkolin (AchR) pada membrane post sinaps, yang menghasilkan end-plate

potential (EPP).1

Pada kedaan normal, EPP selalu meningkat diatas batas ambang, yang

menghasilkan potensial aksi serat otot. Amplitudo dari EPP diatas nilai

ambang diperlukan untuk menghasilkan potensial aksi serat otot yang disebut

sebagai safety factor. Pada pasien yang mempunyai gangguan pada transmisi

neuromuscular, safety factor ini berkurang.1

Pada pasien dengan gangguan NMJ, stimulai saraf berulang dapat

menyebabkan penurunan dari amplitude EPP. Dengan berkurangnya safety

factor, EPP pada beberapa serat otot akan jatuh dibawah nilai ambang dan

potensial aksi tidak dapat dihasilkan.1

2.3 Patogenesis

Pada generalized MG, antibody AchR ditemukan hampir pada 90%

pasien, sedangkan pada pasien yang murni ocular MG, hanya sekitar 50%

pasien dengan antibody positif. Tiga subtype dari AchR antibody yang telah

teridentifikasi antara lain : binding, blocking, modulating. Semua ini

menyebabkan hilangnya reseptor Ach pada membrane post sinaps dengan

degradasi reseptor yang dipercepat atau blockade reseptor.3

Antibodi selain terhadap AchR, juga ditemukan pada pasien dengan

Myasthenia Gravis, termasuk antibodi untuk protein lain pada neuromuscular

junction post sinaps seperti muscle-spesific kinase (MuSK), yang ditemukan

pada sekitar 40% pasien Mg yang tidak mempunyai antibody AchR. MuSK

antibody telah dibuktikan menganggu fungsi neuromuscular junction dengan

3

Page 4: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

mempengaruhi maintenance dari kumpulan AChR pada lempeng akhir otot

(muscle endplate), sehingga mengurangi jumlah dari fungsi AChRs. Pada

pasien yang tidak mempunyai antibody terhadap AChR maupun MuSK

disebut sebagai seronegatif MG, antibody pada protein otot lurik seperti titin

dan reseptor ryanodine terkadang dapat ditemukan.2,3 Antibodi yang

diproduksi melalui proses yang diperantarai sel T diperkirakan terkait dengan

disfungsi thymus. Hiperplasia thymus lymphofollicular ditemukan pada 70%

pasien dengan Myasthenia Gravis. Thymoma, tumor epithelial pada timus,

ditemukan pada 10% pasien MG. Dari antibody pada otot yang disebutkan

sebelumnya, thymoma terkait dengan antobodi yang melawan AChR, titin,

dan reseptor ryanodine.3

Kerusakan dasar pada myasthenia gravis ditandai dengan adanya

penurunan jumlah Ach reseptor pada membrane post sinaps di neuromuscular

junction. Gambaran klinis kelemahan yang terlihat pada pasien myasthenia

gravis merupakan hasil dari kegagalan efektivitas transmisi neuromuscular

junction pada sisi post sinaps. Berkurangnya reseptor asetilkolin dalam

jumlah banyak dan adanya aktivitas kompetisi dengan anti-AChR antibody

menghasilkan potensial amplitudo pada post sinaps yang tidak cukup untuk

disalurkan ke beberapa serat otot.4

Transmisi neuromuscular terganggu dengan berbagai cara: (1)

antibodi yang menghambat pengikatan ACh terhadap AChR; (2) serum IgG

pada pasien MG telah terbukti menginduksi peningkatan degradasi pada

AChR; (3) Antibodi menyebabkan penghancuran yang diperantarai oleh

komplemen pada lipatan post sinaps (Engel and Arahata).4

4

Page 5: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

2.4 Manifestasi Klinis

Tanda cardinal dari myasthenia gravis adalah kelemahan yang

berfluktuasi yang merupakan kelelahan, semakin memburuk apabila

melakukan aktivitas yang berulang dan membaik dengan beristirahat.

Kelemahan ini juga diperburuk dengan paparan panas, infeksi dan stress.

Gambaran yang berfluktuasi ini yang membedakan myasthenia gravis dengan

penyakit lainnya yang mempunyai gambaran kelemahan juga.2

Tanda klinis yang ditemukan termasuk ptosis, diplopia, disartria,

disfagia, dan kelemahan otot pernapasan dan anggota tubuh. Khusunya,

kelemahan ini melibatkan otot – otot rangka yang spesifik.3 Distribusi dari

kelemahan ini umumnya adalah ocular, bulbar, ekstremitas proksimal dan

leher, dan pada beberapa pasien melibatkan otot pernapasan.2

Meskipun gejala awal pada MG secara khusus melibatkan otot ocular

pada sekitar 60% pasien, sebenarnya keterlibatan otot ocular terdapat pada

semua pasien dalam 2 tahun setelah dari onset penyakit.1 Kelemahan otot

ocular biasanya bilateral dan asimetri, menyebabkan diplopia, ptosis atau

keduanya. Pupil tidak terganggu. Pada akhirnya hampir semua pasien

myasthenia gravis akan timbul gejala ocular dan pada beberapa pasien

penyakit ini hanya terbatas pada otot ekstraokular.3 Kelemahan pada

myasthenia dapat menyerupai seperti kelumpuhan pada nervus III, IV dan VI.

Tetapi tidak seperti kelumpuhan pada nervus III, myasthenia gravis tidak

pernah mempengaruhi fungsi pupil.

Ptosis sering ditemukan dan mungkin terjadi ketika pasien sedang

membaca atau mengemudi dalam waktu yang lama, dapat unilateral maupun

bilateral. Melihat kearah atas selama 30 detik atau lebih juga dapat

5

Page 6: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

menimbulkan terjadinya ptosis. Ptosis yang cukup parah dapat menutup

penglihatan jika terjadi bilateral. Otot ekstraokular yang paling sering terlibat

adalah rektus medialis. Pada pemeriksaan klinis biasanya ditemukan lebih

dari satu otot ekstraokular yang terlibat, tanpa mempengaruhi pupil. Diplopia

dapat ditimbulkan dengan menyuruh pasien untuk melihat kearah lateral

selama 20 – 30 detik, yang disebabkan karena kelelahan dari otot mata.2

Dalam satu tahun pertama dari onset penyakit, hampir 75 % pasien

menimbulka gejala generalized. Gejala bulbar sering ditemukan seperti

disartia, disfagia, kelemahan otot wajah, dan kelemahan dalam mengunyah.

Karena kelemahan pada palatal, pasien sering berbicara melalui hidung

(nasal speech) dan dapat terjadi regurgitasi cairan melalui hidung.

Manifestasi dari bulbar ini yang sering menyebabkan gejala kecacatan.

Kelemahan anggota gerak dan tubuh biasanya distribusi lebih besar terjadi

pada bagian proksimal dibanding dengan bagian distal. Lengan lebih sering

terlibat dibanding dengan tungkai.3 Hal ini menyebabkan terkadang pasien

mengeluh kesulitan dalam menggapai dengan tangannya atau kesulitan untuk

bangun dari duduk.1 Kelemahan otot respirasi dapat menyebabkan krisis

myasthenia yang bersifat life-threatening, sehingga memerlukan ventilator

dan naso-gastric tube feeding (NGT). Hal ini dapat ditimbulkan oleh infeksi

dan beberapa obat – obatan seperti aminoglikosida, telithromycin,

neuromuscular blocing agent, magnesium sulfate, beta bloker, dan antibiotic

fluorokuinolon.2

Otot wajah sering terlibat dan menyebabkan pasien tampak seperti

tidak mempunyai ekspresi wajah. Otot ekstensor dan fleksor pada leher juga

dapat terlibat sehingga menyebabkan dropped head syndrome.2 Juga dapat

6

Page 7: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

ditemukan rahang pasien yang terlihat jatuh kebawah, sehingga harus

ditopang oleh tangan pasien, kesulitan dalam mengunyah makanan yang

keras dan pasien harus menghentikan makan nya karena ketidakmampuan

untuk mengunyah dan menelan. Mungkin akan lebih sulit untuk makan

setelah berbicara, suara menjadi lemah dan menggunakan suara hidung

setelah percakapan yang lama. Dalam kasus kelemahan generalized, terdapat

kesulitan dalam menahan flatus akibat kelemahan dari spincter rectal

eksternus.4

Kelemahan otot pada myasthenia gravis mengalam atrofi dengan

derajat yang ringan atau bahkan tidak sama sekali. Rekflek tendon jarang

terpengaruh. Otot polos dan otot jantung tidak terlibat dan fungsi neural

lainnya aman. Parestesi pada wajah, tangan dan paha jarang dilaporkan tetapi

hal ini tidak disertai dengan hilangnya sensoris yang terbukti.4

2.5 Klasifikasi

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America , myasthenia

gravis diklasifikasikan menjadi :4

Kelas 1

Adanya kelemahan otot okular

Kelemahan pada saat menutup mata

Kekuatan otot – otot lainnya dalam batas normal

Kelas 2

Kelamahan ringan pada otot selain otot okular

Kelemahan pada otot okular dalam berbagai tingkat keparahan

7

Page 8: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

Kelas 2a

Secara dominan mempengaruhi otot anggota gerak dan aksial atau

keduanya

Kelemahan pada otot – otot orofaringeal yang ringan juga dapat

ditemukan

Kelas 2b

Secara dominan mempengaruhi otot – otot orofaringeal, otot

pernapasan atau keduanya

Kelemahan yang ringan atau sama pada otot – otot anggota gerak ,

aksial atau keduanya juga dapat ditemukan

Kelas 3

Kelehaman sedang pada otot selain otot okular

Terdapat kelemahan otot okular dalam berbagai derajat keparahan

Kelas 3a

Secara dominan mempengaruhi otot anggota gerak, otot aksial atau

keduanya

Kelemahan ringan pada otot orofaringeal juga dapat ditemukan

Kelas 3b

Secara dominan mempengaruhi otot orofaringeal, otot pernapasan

atau keduanya

Kelemahan yang ringan atau sama pada otot anggota gerak, oto aksial

atau keduanya juga dapat ditemukan

Kelas 4

Kelemahan berat pada otot selain otot okular

Kelemahan pada otot okular dalam berbagai tingkat keparahan

8

Page 9: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

Kelas 4a

Secara dominan mempengaruhi otot anggota gerak dan atau otot

aksial

Kelemahan yang lebih ringan pada otot orofaringeal dapat ditemukan

Kelas 4b

Secara dominan mempengaruhi otot orofaringeal, otot pernapasan

atau keduanya

Kelemahan yang lebih ringan atau sama pada otot anggota gerak, otot

aksial atau keduanya

Kelas 5

Intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik

Klasifikasi lainnya seperti berdasarkan Compston dkk, mengajukan

klasifikasi berdasarkan usia, onset, ada atau tidaknya timoma, kadar antibody

AChR, dan terkait dengan Human Leukocyte Antigen (HLA). Sistem ini

mengklasifikasikannya sebagai berikut : 4

1. Myasthenia Gravis dengan thymoma – Tidak terkait dengan jenis

kelamin atau HLA, kadar antibody AChR yang tinggi

2. Onset sebelum usia 40 tahun, tidak ada thymoma – lebih banyak pada

wanita dan terkait dengan peningkatan HLA A1, B8, dan DRW3

antigen

3. Onset setelah usia 40 tahun, tidak ada thymoma – lebih banyak pada

pria, terkait dengan peningkatan HLA A3, B7, dan DRW2 antigen,

kadar antibody AChR rendah

9

Page 10: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

Subtipe dari Myasthenia Gravis secara besar diklasifkasikan sebagai

berikut :2

1. Onset awal MG: usia < 50 tahun, hyperplasia timus, umumnya

perempuan

2. Onset lambat MG: usia >50 tahun, atrofi timus, umumnya laki – laki

3. Thymoma – associated MG (10%-15%)

4. MG dengan antibody MUsK

5. Ocular MG (oMG) : gejala yang timbul hanya mempengaruhi otot

ekstraokular

6. MG dengan AChR dan MUsK antibody yang tidak terdeteksi

2.6 Diagnosis

Pada pasieng dengan gejala perubahan diplopia atau ptosis dan gejala

khas myasthenia gravis pada wajah – kelopak mata turun yang tidak simetris,

rahang yang tampak tergantung sehingga memerlukan topangan oleh tangan

pasien – diagnosis dapat disimpulkan. Akan tetapim hanya sebagian kecil

pasien yang memberikan gambaran seluruh gejala tersebut. Ptosis, diplopia,

dan kesulitan dalam berbicara atau menelan, kelemahan pada anggota gerak

sering keliru dengan gejala dari penyakit serebrovaskular.4

Pemeriksaan Laboratorium. Tes yang paling sensitive dan spesifik

pada myasthenia gravis adalah ditemukannya antibody terhadap reseptor

asetilkolin (AChR-Ab). Akan tetapi tidak semua pasien MG mempunya

antibody AChR yang positif. Pada 45% sampai 65% pasieng dengan ocular

MG mempunyai antibodi positif sedangkan pada hampir 90% pasien dengan

10

Page 11: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

generalized MG mempunyai antibody positif. Ditemukannya antibody AChR

pada tubuh pasien tidak berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.1

Screening antibody pertama kali harus AChR- binding antibody, karena

antibody ini meruakan yang paling sensitive. Jika hasilnya negative baru

dilakukan tes untuk AChR-modulating antibody untuk memperluas hasil

diagnostic. Tes untuk AChR-blocking antibody tidak meningkatkan

sensitifitas. Pada pasien dengan antibody AChR yang negative, antibody

terhadap MUsK dapat ditemukan. Pasien dengan thymoma dapat ditemukan

antibody terhadap protein otot ryanodine dan titin.3

Radiografi. Pada sekitar 20% pasien dengan MG terdapat thymoma

sedangkan sekitar 70% pasien lainnya ditemukan hyperplasia. Untuk

menyingkirkan abnormalitas ini, pada semua pasien MG harus dilakukan CT

Scan pada thorax denga kontras. 1

Tensilon (Edrophonium Chloride) Test. Edrophonium chloride

merupakan short-acting acetylcholinesterase inhibitor yang memperpanjang

durasi dari kerja asetilkolin pada neuromuscular junction. Edrophonium

diberikan secara intravena dan pasien di observasi untuk melihat perbaikan

objektif pada kekuatan otot terutama pada ptosis dan atau pergerakan otot

ekstraokular. Hanya perbaikan kekuatan otot yang jelas, yang dinyatakan

sebagai hasil positif. Pasien harus dimonitor jantung dan tekanan darah dari

sebelum pemberian injeksi karena adanya resiko terjadi hipotensi dan aritmia.

Atropin juga harus disediakan untuk mengatasi jika timbulnya efek samping

seperti bradikardi yang berat (heart rate dibawah 37). Efek samping dari

efrophonium antara lain peningkatan salivasi dan keringat, mual, kram perut,

dan fasikulasi otot. Hipotensi dan bradikardi merupakan hal yang jarang dan

11

Page 12: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

biasanya dapat diatasi dengan istirahat pada posisi berbaring (supine). Tes

tensilom mempunyai sensitivitas 71.5% - 95% dalam menegakan diagnosis

MG.2 Total edophronium yang diberikan adalah 10 mg. Tes dosis kecil (2mg)

di injeksi secara intravena dan jika setelah 1 menit tidak terdapat perbaikan

pada kekuatan otot, maka dosis sisanya diberikan secara perlahan. Efek dari

edrophonium biasanya berlangsung kurang dari 10 menit.1

Prostigmin Test. Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin

merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½

mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-

gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama

kemudian akan lenyap.4

Ice Pack Test. Tes ini merupakan tes non farmakologi yang

dipertimbangkan pada pasien dengan ptosis yang memiliki kontraindikasi

untuk dilakukan tes edrophonium. Tes ini dilakukan dengan meletakan es

diatas mata selama 2 – 5 menit kemudian menilai perbaikan pada ptosis.2

Electrophysiological Tests. Repetitive Nerve Stimulation (RNS) -

Karakteristik miastenia adalah pengurangan cepat pada amplitudo potensi

aksi otot gabungan yang dibangkitkan selama serangkaian rangsangan

berulang pada saraf perifer pada tingkat 3 per detik (respon decremental ).

Pembalikan respons ini oleh neostigmine atau edrophonium telah

menemukan konfirmasi yang dapat diandalkan dalam banyak kasus. Sebuah

respons decremental terhadap rangsangan biasanya dapat diperoleh dari

wajah, tangan, atau otot ekstremitas proksimal, yang mungkin atau tidak

lemah secara klinis. Selama fase progresif penyakit atau selama terapi steroid,

sedikit respon incremental awal dapat diperoleh, jangan dibingungkan dengan

12

Page 13: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

tanda respon incremental setelah kontraksi volunter yang mencirikan sindrom

Lambert-Eaton. Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah

reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial

aksi.2

Single-fiber Electromyography (SFEMG) - Menggunakan jarum

single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot

penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval

interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang

sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal

yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek

transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber

density yang normal.2

2.7 Diangosis Banding

Pada pasien dengan generalized MG, diagnosis bandingnya antara lain

Lambert – Eaton Myasthenia Syndrome, botulism, dan miopati. Pada okular

MG, diagnosis bandingnya termasuk eksternal opthalmoplegi yang progresif,

penyakit tiroid, dan distrofi otot okulofaringeal. Penyakit motor neuron,

stroke batang otak, diphtheria dan botulism harus dipertimbangkan pada

pasien MG dengan gejala bulbar yang dominan.3 Pada beberapa pasien,

myasthenia gravis dapat disebabkan oleh obat – obat tertentuk seperti

beberapa obat antiaritmua, D-penicillamin, dan antimalarial. Disamping itu

juga terdapat obat yang memperburuk gejala pada pasien myasthenia gravis

(tabel.2).1

13

Page 14: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

Tabel.1Kondisi neurologi yang menyerupai

Myasthenia Gravis1

Tabel.2Obat – obatan yang dapat menyebabkan atau memperberat Myasthenia Gravis1

14

Page 15: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan dari terapi pada pasien dengan myasthenia gravis adalah

mencapai kondisi pasien untuk tidak menggunakan obat dalam dosis rumatan

dan bebas dari gejala. Pada umumnya, sebagian banyak pasien bebas dari

gejala myasthenia gravis tetapi tetap harus menggunakan obat – obatan

imunosupresif dalam dosis rendah.1 Penatalaksanaan terapi dipertimbangkan

berdasarkan dari tingkat keparahan individual. Terdapat dua pendekatan

penatalaksanaan pada pasien myasthenia gravis berdasarkan dari

patofisiologinya. Pertama, meningkatkan jumlah kadar asetilkolin sehingga

dapat berikatan dengan reseptor pada post sinaps dengan memberikan agen

asetilkolinesterase inhibitor. Kedua, menggunakan obat imunosupresif yang

dimana menurunkan antibody AChR.2

Terdapat empat basis terapi yang digunakn pada pasien myasthenia

gravis :2

(i) Terapi simtomatik dengan menggunakan inhibitor asetilkolinesterase

(ii) Terapi imunomodulator jangka pendek dengan menggunakan

plasmaferesis dan intravenous immunoglobulin

(iii) Terapi imunomodulator jangka lama dengan menggunakan

glukokortikoid dan obat imunosupresan lainnya

(iv) Terapi operatif

Asetilkolinesterase Inhibitor. Asetilkolinesterase inhibitor

merupakan first-line therapy untuk myasthenia gravis. Obat ini digunakan

sebagai terapi simtomatik dan bekerja dengan meningkatkan kadar asetilkolin

pada neuromuscular junction.2 Asetilkolinesterase inhibitor sangat efektif

apabila diberikan pada onset awal penyakit dan dimana jumlah reseptor

15

Page 16: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

asetilkolin masih banyak. Pada pasien dengan penyakit yang sedang, agen ini

dapar diberikan sebagai obat tunggal tanpa obat imunosupresi.3 Pyridostigmin

merupakan obat yang paling sering digunakan. Obat ini mempunya onset

kerja yang cepat dalam 15 – 30 menit mencapai kadar puncak dalam 2 jam.

Efek obat ini berlangsung sekitar 3 – 4 jam dan dinaikan dosisnya sesuai

dengan respon pasien. Efek samping dari pyridostigmin kebanyakan bersifat

kolinergik seperti kram perut (abdominal cramp), diare, peningkatan salivasi

dan sekret bronkial, mual, berkeringat, dan bradikardi. Efek samping

nikotinik juga sering termasuk fasikulasi otot dan kram. Dosis tinggi dari

pyridostigmin tidak melebihi 450 mg per hari, diberikan pada pasien dengan

gagal ginjal, dilaporkan dapat memperburuk kelemahan otot.2

Terapi Imunomodulator Jangka Pendek. Pertukaran plasma

(plasma exchange) dan Imunoglobulin Intravena mempunyai onset kerja yang

cepat dengan perbaikan dalam beberapa hari, tetapi hal ini merupakan efek

yang sementara. Terapi ini digunakan pada kondisi tertentu seperti krisis

myasthenia (myasthenia crisis) dan sebelum dilakukan thymectomy atau

prosedur operasi lainnya (preoperative) , untuk terapi pada eksaserbasi yang

terjadi saat infeksi atau penurunan regimen kortikosteroid (tapering).2,3

Plasmapheresis. Terapi ini memperbaiki kekuatan pada hampi semua

pasien myasthenia gravis dengan menyingkirkan AChR dari dalam sirkulasi

secara langsung.2 Plasmapheresis biasanya memberikan perbaikan klinis

dalam 1 minggu dan manfaatnya berlangsung selama 1 – 2 bulan.3 Efek

samping plasmapheresis antara lain hipotensi, parestesia, infeksi, komplikasi

trombotik terkait dengan akses vena dan resiko perdarahan karena

berkurangnya faktor koagulasi, ketidakseimbangan elektrolit.2,3

16

Page 17: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

Intravenous Immunoglobulin Therapy. IVIG mempunyai

keberhasilan yang hampir sama dengan plasmapheresis. Efek sampingnya

antara lain malaise, hipersensitifitas, aseptic meningitis, dan yang jarang

terjadi antara lain gagal ginjal, stroke dan infark miokard. Pada beberapa

pasien dengan defisiensi immunoglobulin A (IgA) dan menimbulkan

anafilaksis. Tetapi pada kebanyakan pasien, IVIG dapat ditoleransid dengan

baik.3 Terapi ini diberikan 5 hari dengan dosis 0.4 g/kg/hari.2

Terapi Imunomodulator Jangka Panjang. Tujuan dari terapi ini

adalah untuk mencapai keadaan bebas dari gejala dan mempertahankannya.2

Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan pilihan pertama dan yang

paling sering digunakan sebagai obat imunosupresan pada pasien myasthenia

gravis. Prednisone umumnya diberikan ketika gejala MG tidak dapat

dikontrol secara adekuat dengan pemberian tunggal asetilkolinesterase

inhibitor. Respon yang baik dicapai dengan pemberian dosis tinggi pada awal

terapi dan diturunkan sampai pada dosis terendah untuk menjaga respon

tersebut. Eksaserbasi sementara atau perburukan sementara dapat terjadi

setelah pemberian prednisone dosis tinggi dalam 7 – 10 hari pertama dimana

dapat berlangsung hingga beberapa hari. Pada kasus yang sedang, pemberian

asetilkolinesterase inhibitor dapat mengatasi keadaan yang memburuk ini.

Pada kasus yang diketahui dapat menimbulkan eksaserbasi yang berat,

pertukaran plasma (plasma exchange) atau IVIg dapat diberika terlebih

dahulu sebelum prednisone untuk mencegah dan menurunkan keparahan dari

kelemahan yang disebabkan oleh kortikosteroid (corticosteroid-induced

weakness) dan ntuk mennginduksi respon yang lebih cepat. Oral prednisone

mungkin dapat lebih efektid daripada asetilkolinesteras pada pasien dengan

17

Page 18: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

oMG (ocular Myasthenia Gravis) dan oleh karena itu harus dipertimbangkan

pada semua pasien dengan oMG.2 Komplikasi dari penggunaan kortikosteroid

antara lain gangguan toleransi glukosa, hipertensi, katarak, ulkus

gastrointestinal, miopati, avascular necrosis of the hip, osteoporosis, infeksi,

dan psikosis. Beberapa resiko komplikasi ini dapat dihindarkan dengan diet

rendah sodium, diet rendah gula, bersamaan dengan suplementasi kalsium

dan olahraga. Resiko osteoporosis dapat kurangi dengan pemberian

profilaksis (ct. alendronate sodium, 5mg/hari secara oral).3

Nonsteroidal Immunosupresive Agents. Azathioprine, analog purin,

menurunkan sintesis asam nuclei, sehingga menghambat proliferasi sel T dan

B. Agen ini telah digunakan sebagai obat imunosupresan pada MG sejak

1970an dan mempunyai efektifitas 70 – 90% pada pasien dengan MG.2

Hampir 50% pasien menunjukan manfaat dari obat ini.3 Biasanya terapi ini

memerlukan waktu sampai dengan 15 bulan untuk mencapai respon klinis.

Kombinasi dengan prednisone dapat meningkatan efektifitas dan lebih dapat

ditoleransi daripada pemberian prednisone tunggal. Efek sampingnya adalah

hepatotoksik dan leukopenia.2 Sehingga perlu dilakukan monitoring terhadapa

hitung leukosit (count blood) dan fungsi hati.3

Mycophenolate mofetil secara selektif memblok sintesis purin, sehingga

menekan proliferasi dari sel T dan B.2 Obat ini dianjurkan untuk diberikan

bersamaan dengan kortikosteroid atau dapat diberikan sebagai obat tunggal.

Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain gejala gastrointestinal,

hipertensi, dan edema perifer. Pasien harus menghindari paparan sinar

ultraviolet ketika sedang mengkonsumsi obat ini. Obat ini juga dapat

menyebabkan supresi sumsum tulang sehingga monitoring jumlah darah

18

Page 19: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

(blood count) diperlukan. Penggunaan azatriopine dan mycophenolate yang

berbarengan tidak diindikasikan.3

Cyclosporine bekerja dengan memblok sintesis dari reseptor IL-2 sitokin dan

protein yang berperan pada sel T CD4+ . Siklosporins digunakan terutama

pada pasien yang tidak dapat mentoleransi atau berespon terhadap azatriopin.2

Efek samping utama yang ditimbulkan obat ini adalah toksisitas pada ginjal

dan hipertensi.3

Cyclophosphamide merupakan alkylating-agent yang digunakan sebagai

pengobatan pada penyakit yang refrakter.3 Obat ini efektif diberikan oada

oasien myasthenia gravis secara intravena dan oral. Efek samping yang

timbul termasuk severe bone marrow suppression, toksisitas bladder, resiko

neoplasma, hair loss, mual, muntah, anoreksia dan skin discoloration.2,3

Thymectomy. Pada pasien dengan neoplastic thymoma, tindakan

operatif untuk mengangkat tumor ini dianjurkan untuk mencegah terjadinya

peyebaran.3 Terapi operatif sangat direkomendasikan pada pasien dengan

thymoma. Pasien yang akan menjalan operasi biasanya diberikan

glukokortikoid dosis rendah atau IVIg terlebih dahulu. Beberapa ahli

mempertimbangkan tindakan thymectomy sebagai pilihan terapi pada pasien

dengan anti-AChR yang positif pada pasien generalized myasthenia gravis

(gMG) yang onset penyakitnya sebelum usia 50 tahun.2

Rehabilitasi. Program rehabilitasi yang dikombinasikan dengan terapi

medis lainnya dapat meringankan gejala dan memperbaiki fungsi tubuh pada

myasthenia gravis. Tujuan utama dari ini adalah umembangun kekuatan pada

individu untuk kembali bekerja dan melakukan aktivitas sehari – hari.

Intensitas dan kemajuan latihan yang dilakukan tergantung dari tingkat

19

Page 20: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

keparahan penyakit dan kesehatan individu secara keseluruhan. Physical

terapi bermanfaat untuk mengembalikan kekuatan otot.2

Terapi pada krisis myasthenia. Krisis myasthenia didefinisikan

sebagai eksaserbasi dari kelemahan otot yang dapat menyebakan gagal napas

sehingga memerlukan ventilasi mekanik. Pada pasien yang eksaserbasi

myasthenia yang menimbulkan gejala respiratori dan bulbar, rawat inap perlu

dipertimbangkan untuk memantau status klinis dan fungsi pulmonal. Sekali

pasien diintubasi, obat asetilkolinesterase inhibitor harus segera dihentikan

karena dapat menyebabkan sekresi yang berlebihan. Kortikosteroid dapat

memperpanjang waktu krisis myasthenia ini dengan eksaserbasi kelemahan

atau faktor predisposisi infeksi. Oleh karena itu, terapi andalan yang

digunakan pada krisis myasthenia adalah imunoterpai jangka pendek

termasuk plasmapheresis atau IVIG.3

2.9 Prognosis

Delapan puluh persen pasien myasthenia gravis local pada akhirnya

menjadi generalized myasthenia gravis. Progresi sampai ke tingkat keparahan

maksimal biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama. Pada pasien yang

gejalanya terbatas hanya pada otot ocular (oMG), kolinesterasi inhibitor,

kortikosteroid dosis rendah atau terapi nonmedical (ct. penopang kelopak

mata ; eye crutches) cukup untuk mengkontrol gejala. Sebagian besar pasien

dengan generalized myasthenia gravis (gMG) dapat menikmati hidup normal

dan produktid dengan terapi yang adekuat. Akan tetapi kualitas hidup dapat

menurun akibat dari keterbatasn efikasi dan efek samping obat tersebut.3

20

Page 21: Referat MG

Elisa Soetanto | 406138065

DAFTAR PUSTAKA

1. Kothari MJ. Myasthenia Gravis. The Journal of the American Osteophatic

Association. 2004 September ; Vol 104

2. Trouth AJ, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J. Review Article

: Myasthenia Gravis. Department of Neurology, Howard University

Hospital. 2012

3. Brust JCM. A Lange Medical Book, Current : Diagnosis & Treatment

Neurology. 2nd edition. New York: McGrawHill Companies; 2012.

Chapter 22, Myasthenia Gravis; P.351-57

4. Samuel MA, Ropper AH. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 9th

edition. United Stated: McGrawHill Companies; 2009. Chapter 53,

Myasthenia Gravis dan Related Disorders of the Neuromuscular

Junction; P.1405-21

21