metodologi - repository.ipb.ac.id · masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan...

23
19 METODOLOGI Kerangka Pemikiran Secara konseptual, konservasi dapat dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu (1) Romantic-trancendental Conservation Ethic, (2) Resource Conservation Ethic, dan (3) Evolutionary-Ecological Land Ethic (Noss dan Cooperrider,1994). Konsep Konservasi Romantic-trancendental Conservation Ethic. Konsep ini berkembang sejak pertengahan abad ke-19. Beberapa tokoh yang mengembangkan konsep ini adalah Ralph Waldo, Henry David Thoreau, dan John Muir. Menurut konsep ini, alam diciptakan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi semata, tetapi alam juga mempunyai fungsi religius, yaitu untuk pencucian jiwa. Pendapat ini telah mendapat dukungan dari beberapa kelompok masyarakat dan mereka telah membentuk organisasi, yaitu Sierra Club. Resource Conservation Ethic. Konsep ini berkembang pada pergantian abad ke-19 menjadi abad 20. Tokohnya adalah Gifford Pinchot. Pendekatan yang digunakan dalam konsep ini adalah utilitarian, artinya alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian sumberdaya alam berfungsi sebagai bahan baku untuk menjalankan perekonomian. Dari konsep ini berkembang ilmu ekonomi sumberdaya alam. Menurut Pinchot: - Konservasi adalah penggunaan semberdaya alam yang sebaik-baiknya untuk sebanyak-banyaknya orang dan dalam jangka waktu yang selama mungkin - Konservasi pada akhirnya ditujukan untuk pembangunan - Konservasi menekankan pemerataan, yaitu pembagian sumberdaya alam yang adil bagi konsumen, baik masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang, termasuk efisiensi dan meminimalkan limbah. - Praktek konservasi diarahkan kepada pemanfaatan multi-guna (multiple- use) dalam pemanfaatan sumberdaya tanah dan air. Kedua konsep di atas mempunyai pendapat yang saling bertolak belakang. Kelompok John Muir menekankan perlindungan sumberdaya alam,

Upload: lamque

Post on 02-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

19

METODOLOGI

Kerangka Pemikiran

Secara konseptual, konservasi dapat dibedakan menjadi tiga aliran,

yaitu (1) Romantic-trancendental Conservation Ethic, (2) Resource

Conservation Ethic, dan (3) Evolutionary-Ecological Land Ethic (Noss dan

Cooperrider,1994).

Konsep Konservasi

Romantic-trancendental Conservation Ethic. Konsep ini berkembang

sejak pertengahan abad ke-19. Beberapa tokoh yang mengembangkan konsep

ini adalah Ralph Waldo, Henry David Thoreau, dan John Muir. Menurut

konsep ini, alam diciptakan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi semata,

tetapi alam juga mempunyai fungsi religius, yaitu untuk pencucian jiwa.

Pendapat ini telah mendapat dukungan dari beberapa kelompok masyarakat

dan mereka telah membentuk organisasi, yaitu Sierra Club.

Resource Conservation Ethic. Konsep ini berkembang pada pergantian

abad ke-19 menjadi abad 20. Tokohnya adalah Gifford Pinchot. Pendekatan

yang digunakan dalam konsep ini adalah utilitarian, artinya alam diciptakan

untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian sumberdaya alam

berfungsi sebagai bahan baku untuk menjalankan perekonomian. Dari konsep

ini berkembang ilmu ekonomi sumberdaya alam. Menurut Pinchot:

- Konservasi adalah penggunaan semberdaya alam yang sebaik-baiknya

untuk sebanyak-banyaknya orang dan dalam jangka waktu yang selama

mungkin

- Konservasi pada akhirnya ditujukan untuk pembangunan

- Konservasi menekankan pemerataan, yaitu pembagian sumberdaya alam

yang adil bagi konsumen, baik masa sekarang maupun untuk masa yang

akan datang, termasuk efisiensi dan meminimalkan limbah.

- Praktek konservasi diarahkan kepada pemanfaatan multi-guna (multiple-

use) dalam pemanfaatan sumberdaya tanah dan air.

Kedua konsep di atas mempunyai pendapat yang saling bertolak

belakang. Kelompok John Muir menekankan perlindungan sumberdaya alam,

20

sedangkan kelompok Pinchot menginginkan pemanfaatan sumberdaya alam

tetapi terbatas.

Evolutionary-Ecological Land Ethic. Konsep ini mulai berkembang

sejak tahun 1949, ketika Aldo Leopold mempublikasikan “A Sand County

Almanac”. Sebenarnya Leopold termasuik penganut konsep Romantic-

trancendental Conservation Ethic. Tetapi dalam perkembangannya, Leopold

merasa bahwa konsep tersebut kurang memadai dan kurang ilmiah. Pendapat

seperti itu muncul setelah Leopold melihat bahwa dalam ilmu ekologi dan

evolusi, alam tidaklah sesederhana yang dibayangkan, melainkan sangat rumit

dan di dalamnya terjadi interaksi yang sangat padu. Menurut konsep ini

equilebrium tidak ada, yang ada adalah keseimbangan dinamis atau non-

equilibrium. Selain itu alam juga menyangkut dimensi waktu yang sangat

panjang, karena alam merupakan hasil dari proses evolusi. Dari konsep ini

berkembang ilmu conservation biology, ecological-economic dan ecological-

anthropology.

Bagi Indonesia konsep yang paling berpengaruh pada awal

pembentukan kawasan lindung adalah konsep Romantic-trancendental

Conservation Ethic, yang salah satu tokohnya adalah John Muir. Dia

mempengaruhi pandangan konservasi sebagian orang-orang Eropa, termasuk

bangsa Belanda yang pernah menjajah Indonesia.

Konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic yang dianut

Belanda itulah yang diterapkan di Indonesia, yaitu berupa penetapan kawasan-

kawasan lindung yang relatif kecil. Bentuk kawasan waktu itu adalah suaka

margasatwa dan cagar alam. Suaka margasatwa ditujukan untuk melindungi

satwa tertentu saja, sedangkan cagar alam lebih ditekankan pada perlindungan

spesies tumbuhan tertentu. Dalam konsep ini keberadaan manusia diabaikan,

yang dipentingkan adalah kelestarian spesies tumbuhan dan satwa. Sejak itu

penetapan kawasan lindung lebih banyak memusatkan perhatian pada

perlindungan jenis. Pendekatan seperti itulah yang mempengaruhi Indonesia

sampai dengan diselenggarakannya III World Congress on National Park and

Protected Areas di Bali tahun 1992.

21

Tema Kongres adalah Parks and Sustainable Development. Peserta

yang hadir dalam Kongres cukup berimbang, artinya proporsi peserta dari

negara maju seimbang dengan peserta dari negara berkembang. Hal ini sangat

mendukung bagi munculnya pemikiran baru yang mendorong lahirnya konsep

konservasi yang mungkin sesuai untuk negara berkembang. Walaupun

demikian perbedaan pendapat tetap terjadi, antara kelompok Environmentalist

dengan kelompok International Conservationitst.

Kelompok Environmentalist adalah kelompok yang mempertahankan

konsep konservasi lama. Mereka tetap menghendaki agar Taman Nasional

merupakan tempat yang dilindungi untuk kepentingan rekreasi, pendidikan,

dan tempat untuk merenungkan nilai-nilai dasar kehidupan manusia. Dengan

demikian manajemen Taman Nasional diarahkan untuk kepentingan tersebut.

Seandainya timbul dampak positif berupa perlindungan tata air dan tanah dari

erosi, maka hal tersebut tidak dimasukkan menjadi bagian dari manajemen

kawasan.

Kelompok International Conservationists merupakan kelompok yang

menginginkan agar Taman Nasional dapat memberikan sumbangannya

terhadap masyarakat lokal, karena keberadaan suatu Taman Nasional

sesungguhnya tergantung dari dukungan masyarakat lokal. Dengan demikian

seharusnya keberadaan masyarakat lokal menjadi salah satu bahan yang

dipertimbangkan dalam penyusunan manajemen Taman Nasional. Oleh karena

itu kelompok ini menginginkan pendekatan multiple-use approach, dengan

penerapan sistem zonasi, misalnya zona inti dan zona penyangga.

Pimbert (1994) menyampaikan bahwa partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan kawasan konservasi terdiri atas tujuh tipe, yaitu (1) Passive

participation, (2) Participation in Information Giving, (3) Participation by

Consultation, (4) Participation for Material Incentives, (5) Functional

Participation, (6) Interactive Participation, dan (7) Self-Mobilization.

Ketujuh tipe partisipasi masyarakat beserta ciri-cirinya dijelaskan pada Tabel 3.

Peluang Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional

22

Tabel 3. Tipologi Partisipasi Masyarakat

No. Tipologi Partisipasi

Keterangan

1 Passive participation

Masyarakat diberi tahu apa yang sedang atau sudah terjadi. Informasi disampaikan oleh pengelola proyek atau pengelola kawasan tanpa memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menanggapi. Informasi hanya disebarkan kepada pihak luar yang professional.

2 Participation in Information Giving

Masyarakat ditanya oleh peneliti atau penglelola proyek dengan menggunakan kuesioner. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memeriksa hasil kajian, apalagi mempengaruhi hasil kajian.

3 Participation by Consultation

Masyarakat diajak berkonsultasi. Pihak luar mendengarkan pendapat masyarakat, tetapi pihak luarlah yang mendefinisikan masalah dan solusi dengan sedikit memasukkan pandangan dari masyarakat. Proses konsultasi tidak memberi ruang untuk proses pengambilan keputusan dan pihak luar tidak memiliki kewajiban untuk menjamin diterimanya masukan dari masyarakat.

4 Participation for Material Incentives

Masyarakat berpartisipasi dengan berkontribusi sesuatu, misalnya tenaga kerja, untuk memperoleh sesuatu bisa berupa uang, makanan dll.

5 Functional Participation

Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan tertentu yang berhubungan dengan proyek, dan bisa difasilitasi oleh pihak luar seperti organisasi sosial. Keterlibatan masyarakat belum tentu dimulai dari tahap perencanaan proyek tetapi bisa ketika proyek sudah berjalan atau setelah keputusan tentang proyek telah dibuat. Kelompok masyarakat seringkali tergantung pada fasilitator dari luar tetapi cenderung akan menjadi mandiri.

6 Interactive Participation

Masyarakat terlibat dalam analisis bersama yang akan berujung pada penyusunan rencana aksi dan pembentukan kelompok baru atau memperkuat kelompok yang sudah ada. Partisipasi tingkat ini melibatkan metode multi-disiplin dan mengakomodir berbagai pandangan dan menggunakan system pembelajaran yang sistematis dan terstruktur. Pada tingkat ini, kelompok telah berperan dalam pengambilan keputusan.

7 Self-Mobilization Masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatiatif mandiri untuk mengubah system. Inisiatif tsb. mungkin saja memberi tantangan terhadap ketidak seimbangan power.

23

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan

Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam memberikan peluang

bagi masyarkat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan Taman Nasional.

Dalam Pasal 35 PP No. 28 tahun 2011 tentang Pemanfaatan Taman Nasional

disebutkan pada ayat (1) bahwa Taman Nasional dapat dimanfaatkan antara

lain untuk pemanfaatan tradisional. Pada ayat (2) disebutkan yang dimaksud

dengan pemanfaatan tradisional dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan

bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk

jenis yang tidak dilindungi.

Selanjutnya dalam Pasal 49 tentang Pemberdayaan Masyarakat

disebutkan pada ayat (2) bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan

masyarakat meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses

pemanfaatan KSA atau KPA. Pada ayat (3) disebutkan bahwa Pemberdayaan

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui (a)

pengembangan desa konservasi, (b) pemberian izin untuk memungut hasil

hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional,

serta izin pengusahaan jasa wisata alam; dan (c). fasilitasi kemitraan pemegang

izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.

Pengertian konflik (Fuad & Maskanah, 2000) adalah benturan yang

terjadi antara dua pihak/lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status,

kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya. Menurut Fisher et al. (2001), konflik

adalah hubungan antara dua pihak/lebih (individu/kelompok) yang memiliki

atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Berdasar kedua

pengertian ini, dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia dan konflik

sangatlah sulit untuk dipisahkan.

Konflik

Menurut Moore (1996), ada 5 jenis konflik berdasarkan sumber penyebab,

yaitu:

1. Konflik nilai: konflik yang terjadi karena adanya perbedaan kriteria dalam

mengevaluasi ide-ide/perilaku; tujuan yang secara intrinsik paling bernilai

bersifat eksklusif; perbedaan cara hidup, ideologi atau agama.

24

2. Konflik struktural : konflik yang terjadi karena adanya pola perilaku atau

interaksi yang destruktif; kontrol, kepemilikan atau distribusi atas

sumberdaya yang timpang; kekuasaan dan kewenangan yang tidak setara;

faktor-faktor geografi, fisik atau lingkungan yang menghalangi kerjasama;

kendala waktu.

3. Konflik kepentingan: konflik yang terjadi karena adanya kompetisi yang

dirasakan/nyata atas kepentingan substansi (isi); kepentingan tata cara;

kepentingan psikologis.

4. Konflik hubungan: konflik yang terjadi karena adanya emosi-emosi yang

kuat; salah persepsi atau stereotipe; kurang/salah komunikasi; perilaku

negatif yang berulang-ulang.

5. Konflik data: konflik terjadi karena kurang/salah informasi; perbedaaan

pandangan tentang apa yang relevan; perbedaaan interpretasi atas data;

perbedaan prosedur penilaian.

Selain dari jenis konflik, maka konflik juga bisa dilihat dari proses

terbentuknya konflik (Doucet, 2006). Tahapan Yang Dilalui Konflik

Formation (pembentukan)

Eskalation (eskalasi/peningkatan)

Endurance (bertahan)

Improvement (perbaikan)

Settlement/resolution

Reconstrution and reconciliation

endurance improvemment/ de-escalation escalation

settlement/ resolution Formation reconstruction and Reconciliation

Gambar 2. Tahapan Konflik (Doucet, 1996)

25

Masing-masing tahapan tahapan konflik secara rinci oleh Doucet (1996:

hal 12-18) dijelaskan secara jelas dan ringkas. Pada tahap pertama di dalam

perkembangan konflik, berkaitan dengan kemunculan suatu konflik, yaitu

bergerak dari konflik tersembunyi berkembang menjadi konflik mencuat lalu

menjadi konflik terbuka. Dan pada saat inilah konflik mulai kelihatan

wujudnya.

Jika keberadaan mekanisme kelembagaan yang tersedia tak mampu

merespon secara konstruktif dan para pihak yang berkonflik telah sampai pada

titik dimana sikap permusuhan telah diekspresikan secara terbuka, maka

eskalasi konflik akan terus meningkat. Dan konflik ini akan bertahan dalam

jangka waktu tertentu atau konflik mungkin akan berlarut-larut dan

berkepanjangan karena perbedaaan telah berpindah pada suatu kondisi perang

terbuka, kekerasan menjadi bagian yang diakui pada tahap konflik ini, proses

negosiasi telah mengalami jalan buntu.

Menurut Doucet Ada waktunya konflik mengalami perbaikan atau

deeskalasi. Kondisi ini sering dibantu oleh keadaan ketika konflik telah

mencapai tingkat yang stabil dimana para pihak yang bersengketa mulai

merasa tidak nyaman dengan pengorbanan yang sangat merugikan bagi

mereka. Para pihak mulai memikirkan untuk melakukan usaha-usaha

penyelesaian dan melakukan interaksi yang lebih konstruktif. Bahkan

terkadang mulai meminta bantuan pihak ketiga untuk melakukan proses

mediasi. Selain itu, mulai juga ada inisiatif proses pre-negoasiasi antara para

pihak yang berkonflik. Proses ini memberikan kesempatan pada perwakilan

para pihak yang bersengketa untuk berinteraksi, mengakui bahwa dialog yang

konstruktif paling tidak memungkinkan dan menghasilkan ide-ide dan

perspekstif baru. Di dalam proses ini partisipan mengembangkan suatu tingkat

kepercayaan. Mereka dapat menemukan rentang pandangan, kebutuhan dan

prioritas pada sisi yang lain mengindentifikasi area yang fleksibel,

menghasilkan ide untuk membangun kepercayaan yang terukur dimana akan

mengkonsolidasikan proses-proses eskalasi dan bergerak ke arah formal dan

proses negosiasi publik.

26

Sering pada tahap perbaikan atau deeskalasi ini dicapai beberapa kali,

tetapi kadang tidak dapat berkelanjutan dan konflik segera memasuki kembali

pada tahap bertahan (endurance), upaya penyelesaian konflik menjadi buntu

atau macet lagi.

Di dalam penyelesaian konflik (settlement or resolution), para pihak

yang bersengketa mulai mengarah ke perubahan perilaku dan sikap. Perubahan

perilaku seperti para pihak mengakhiri kekerasan secara langsung dan tidak

terlalu ngotot terhadap beberapa tujuan mereka demi pencapaian kepentingan

yang lain. Walaupun perasaan permusuhan, ketakutan dan kecurigaan,

persepsi ketidakadilan dan ketidasetaraan yang bersifat struktural yang

melandasi terjadinya konflik mungkin masih tersisa. Pada tahap ini mungkin

akan ditemukan solusi yang kompromistik, yang nantinya dapat menjadi

landasan untuk mendapatkan solusi kolaborasi yang lebih sejati, tetapi

mungkin juga tidak, karena penyelesaian (settlement) merupakan suatu cara

mencapai suatu kesepakatan tentang aspek khusus dari konflik dari pada untuk

mencapai kesapakatan atas konflik secara keseluruhan.

Sebaliknya penyelesaian konflik (conflict resolution), adalah suatu

jalan keluar yang menyeluruh, dimana sumber penyebab yang utama dari

konflik dihilangkan agar supaya tidak menjadi laten, seperti elemen-elemen

sisa yang mungkin akan memicu terjadi kembali kekerasan. Ada 7 dimensi

dari penyelesaian konflik sejati, yaitu (Doucet, 1996: hal 16):

1. completeness— isu-isu dalam konflik dilenyapkan atau penting untuk

menghentikannya;

2. acceptability---jalan keluar dapat diterima oleh seluruh pihak, tidak hanya

satu atau kelompok elit;

3. self –supporting—tidak cukup ada sangsi dari pihak ketiga untuk

memelihara kesapakatan;

4. satisfactory—seluruh pihak memandang jalan keluar sesuai dengan sistem

nilai mereka;

5. uncompromising—tidak ada tujuan dirahasiakan di dalam bentuk solusi

yang bersifat kompromis;

27

6. innovative—solusi baru yang ditetapkan positif dan mengabsahkan

hubungan baru antara para pihak;

7. uncoerced—kesepakatan yang telah dicapai tanpa pemaksaan oleh

kekuatan dari luar.

Reconstruction dan reconciliation ini merupakan dua komponen

paling penting dari tahap pasca kesepakatan. Rekontruksi dan rekonsiliasi

adalah dua proses yang saling berkaitan dan saling mendukung. Melalui dua

proses tersebut, pelaksanaan kesapakatan memberikan kesempatan kepada

para pihak untuk bekerja bersama dalam aksi konkrit.

Rekonstruksi lebih bersifat fisik (perbaikan infrastruktur, membangun

kembali rumah sakit, sekolahan, pabrik, perbaikan pasokan air), ekonomi

(pelatihan, pekerjaan, pendapatan, reformasi agraria), politik (penetapan

kewenangan sipil, kekuatan polisi dan pengadilan yang mandiri, reformasi

konstitusi dan pemilihan umum), dan sosial (mengintegraikan kembali rakyat

yang menjadi korban perang, pemukiman kembali pengungsi, mengurangi

mobillisasi tentara). Keberhasilan pelaksanaan rekontruksi ni adalah penting

untuk membangun kembali masyarakat yang dirobek oleh perang dan untuk

membantu kelancaran proses rekonsiliasi dalam jangka panjang.

Rekonsiliasi dapat digambarkan sebagai perbaikan hubungan antara

orang, selain juga antara orang dan lingkungan. Ini harus diingatkan bahwa

proses ini dapat menjadi sulit, butuh waktu yang sangat lama dan

mensyaratkan rasa sensitif yang besar serta dorongan.

Berbagai konflik yang terjadi memerlukan penyelesaian agar kawasan

konservasi dapat dikelola dengan baik, sehingga tujuan pengelolaan dapat

tercapai. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara atau

proses.

Negosiasi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan konflik.

Menurut Fisher (1995), ada tiga fase penting dari proses membangun

konsensus, yaitu: pre-negosiasi, negosiasi dan pelaksanaan (or post-negosiasi),

yaitu:

1. Fase Pra-negosiasi

memulai inisiatif

28

perwakilan

menyusun aturan main dan agenda bersama

pencarian fakta bersama

2. Fase Negosiasi

menemukan pilihan yang saling menguntungkan

mengemas kesepakatan

memproduksi kesepakatan

mengikat para pihak untuk berkomitmen

Ratifikasi

3. Fase Pelaksanaan atau Pasca Negosiasi

mencari keterkaitan kesepakatan dengan kebijakan formal. Dalam hal

ini coba dikaji adakah kendala untuk melaksanakan kesepakatan yang

telah disetujui, terutama dari sisi kebijakan yang ada;

Monitoring

menegosiasikan kembali jika diperlukan

Means, Cynthia, Nielsen dan Vitoonviriyasakltorn (2002)

Konflik dan Kolaborasi

dalam

Selanjutnya Means et.al. (2002) menyatakan bahwa memulai

manajemen kolaboratif mensyaratkan agar konflik dapat diidentifikasi dan

ditanggapi.

Suporahardjo (2005) menyatakan bahwa konflik kadang-kadang memiliki

sejarah panjang dalam hal dampaknya di dalam suatu kawasan sebelum

aktivitas manajemen kolaboratif dimulai. Hal ini dapat disebabkan oleh

hubungan dan persaingan kekuasaan yang berkembang antara atau antar desa,

atau hubungan buruk yang telah berlangsung lama antar kelompok masyarakat

dan agen luar. Kadang-kadang ada warisan hubungan permusuhan,

kecurigaan, aliansi dan usaha pendamaian konflik yang gagal. Konflik yang

ada mungkin menyangkut masalah persaingan sumberdaya, kelangkaan,

pembagian keuntungan hasil hutan yang tidak merata, kurang terlibatnya

pengguna kunci dalam pengambilan keputusan, dsb.

29

Pendekatan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang

bukan bersifat permusuhan (nonadversarial approach) untuk penyelesaian

problem dan penyelesaian konflik (Straus, 2002). Sehingga dalam prakteknya

kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak

dalam konflik multi-pihak.

Kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang

berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajaki dan bekerja

melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi

keuntungan bersama (Gray, 1989).

Kolaborasi

Ada empat desain kolaborasi yaitu (1) perencanaan yang apresiatif; (2)

strategi secara kolektif, (3) dialog, dan (4) menegosiasikan penyelesaian (Gray;

1989).

Desain Kolaborasi

Faktor-faktor yang memotivasi

Peningkatan berbagi visi

Hasil yang diharapkan

Pertukaran informasi Kesepakatan bersama

Perencanaan yang apresiatif - Search conference - Pengumpulan

informasi bersama komunitas

Strategi kolektif - Kemitraan swasta –

komunitas - Usaha bersama (joint

venture) - Konsorsium riset

dan pengembangan Penyelesaian konflik

Dialog - Dialog kebijakan - Pertemuan publik

Negosiasi penyelesaian - Negosiasi peraturan - Status kepemilikan

tanah - Pilihan cara

penyelesaian (peradilan, musyawarah, jalur politik, kolaborasi)

Gambar 3. Desain Kolaborasi (Gray, 1989)

30

Untuk desain perencanaan yang apresiatif, tujuannya adalah

meningkatkan penyelidikan bersama atas problem yang terjadi. Dalam

perencanaan ini belum dibebani harapan adanya kesepakatan yang secara

eksplisit akan dicapai. Kerja Utama dalam perencanaan ini adalah melakukan

eksplorasi dan analisis bersama secara mendalam atas problemnya.

Perencanaan ini mendorong penyelidikan bersama oleh para pihak yang

bersengketa dalam konteks problem dan saling ketergantungan. Dari sini

diharapkan akan muncul secara ideal bersama sehingga meningkatkan

kesadaran tentang suatu ranah problem dan memperoleh suatu nilai bersama

untuk basis perencanaan masa depan. Perencanaan ini dapat juga menjadi

perangsang munculnya inisiatif-inisiatif baru untuk dijadikan agenda yang

harus dinegesiasikan untuk diselesaikan. Untuk menghasilkan perencanaan

yang apresiatif ini dapat menggunakan berbagai cara seperti search

conference/future gathering (sejenis lokakarya dengan menyelidiki masa depan

yang diinginkan), community gathering (mengumpulkan informasi bersama

komunitas).

Strategi kolektif biasanya dimotivasi untuk berbagi visi, dapat

merupakan tindak lanjut dari perencanaan apresiatif dengan menciptakan

kesepakatan khusus yang ditujukan untuk mengatasi problem atau untuk

merealisasikan visi. Strategi kolektif ini dapa dalam bentuk kemitraan atau

joint venture.

Dialog antara para pihak yang bersengketa merupakan bentuk

pertemuan penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses kolaborasi.

Tujuan dialog ini adalah untuk mengeskplorasi perbedaan, memperjelas area

ketidak sepakatan dan menyeldiki landasan bersama tanpa dibebani harapan

atas kesepakatan yang mengikat. Tujuan dialog yang sebenarnya ini perlu

dipahami oleh para pihak yang bersengketa, karena dalam banyak kasus sering

mekanisme dialog ini diposisikan sebagai forum untuk membangun

kesepakatan yang mengikat. Misalnya dalam pertemuan public dan dialog

kebijakan, dialog ini lebih fokus pada pertukaran informasi dan kemungkinan

menghasilkan usulan kebijakan untuk dipertimbangkan oleh para pihak

legislative atau lembaga pemerintahan.

31

Penyelesaian yang harus dinegosiasikan oleh para pihak yang

bersengketa ini dimotiviasi oleh keinginan menyelesaikan konflik dan harapan

membangun kesepakatan bersama. Untuk kasus sengketa pengelolaan

sumberdaya alam, isu-isu apa saja yang perlu diselesaikan dan dinegosiasikan,

misalnya masalah status kepemilikan atas tanah, berbagai peraturan kebijakan

yang perlu dicabut dan direvisi. Pilihan cara-cara penyelesaian sengketa

melalui peradilan, musyawarah, jalur politik atau strategi kolaborasi.

Istilah Collaborative Management atau Manajemen Kolaboratif

digunakan oleh Borrini-Fayerabend (1996) untuk menggambarkan suatu situasi

dimana keterlibatan beberapa (atau semua) stakeholder dalam kegiatan

manajemen melalui cara yang substansial. Lebih spesifik lagi, dalam proses

manajemen kolaboratif, pengelola kawasan yang dilindungi mengembangkan

kemitraan (partnership) dengan stakeholder lain yang relevan, terutama

masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai

kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab. Dalam proses kerjasama itu dapat

terjadi beberapa kemungkinan, seperti terlihat pada Gambar 4.

Manajemen Kolaboratif

Pengawasan penuh

oleh pengelola Kerjasama dalam mengontrol antara pengelola dengan

stakeholder Pengawasan penuh oleh stakeholder

Manajemen Kolaboratif pada suatu kawasan konservasi

Proses konsultasi Mencari konsensus

Negosiasi (terlibat dalam proses pembuatan

keputusan dan mengembangkan perjanjian yang

spesifik)

Berbagi otoritas dan tanggung jawab dalam bentuk formal

Pelimpahan otoritas dan

tanggung jawab

Tidak ada kontribusi dari

stakeholder yang lain

Tidak ada kontribusi dari

pengelola

Meningkatnya harapan stakeholder

Meningkatnya kontribusi, komitmen, dan ‘akuntabilitas’ stakeholder

Gambar 4. Skema Manajemen Kolaboratif (Borrini-Feyerabend, 1996)

Penjelasan dari ketujuh kemungkinan kolaborasi seperti yang ada pada

Gambar 3 adalah:

32

1. pengelola kawasan yang dilindungi mengabaikan kapasitas stakeholder

dan meminimalkan hubungan mereka dengan kawasan, atau

2. memberi informasi kepada stakeholder tentang isu-isu yang relevan dan

keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengelola, atau

3. secara aktif berkonsultasi dengan stakeholder tentang isu-isu relevan dan

keputusan-keputusan yang dibuat, atau

4. mencari kesepakatan tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan

yang dibuat, atau

5. membuka peluang negosiasi dengan stakeholder yang terbuka (dan pada

gilirannya membuka kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam

proses pengambilan keputusan), atau

6. berbagi otoritas dan tanggung jawab dengan stakeholder secara formal,

misalnya melibatkan mereka dalam Management Board, atau

7. melimpahkan sebagian atau semua otoritas dan tanggung jawab kepada

satu atau beberapa stakeholder. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan TN Gunung Ciremai yang

termasuk dalam Kabupaten Kuningan, di desa-desa yang sudah pernah

menandatangani perjanjian atau kesepakatan kerjasama dalam program PHBM

dengan Perhutani. Penelitian juga akan dilakukan di Jakarta dan Bogor,

terutama untuk mengumpulkan informasi, data serta diskusi dengan pihak

Departemen Kehutanan, khususnya Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan

dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA). Penelitian dilakukan mulai bulan

September 2006 sampai September 2010.

33

i

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Gunung

Ciremai

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah action research

(Riset Aksi). Pengertian action research dikutip dari Dick (1997) adalah suatu

proses dimana terjadinya suatu perubahan dan meningkatnya pemahaman

terhadap situasi yang berubah, dapat dicapai dalam waktu yang sama. Riset

Aksi biasanya digambarkan sebagai siklus, dengan aksi dan refleksi kritis yang

terjadi secara bergantian. Refleksi digunakan untuk mengkaji Aksi terdahulu

dan menyusun rencana untuk siklus berikutnya.

Riset Aksi digunakan dalam situasi tertentu. Dick (1997) menyarankan

bahwa Riset Aksi dapat digunakan ketika situasi di lokasi penelitian sangat

dinamis sehingga membutuhkan tanggapan yang cepat atau dengan kata lain,

penelitian juga harus responsive terhadap dinamika atau perubahan yang

terjadi. Oleh karena itu, penelitian juga dituntut untuk memiliki fleksibilitas

yang tinggi.

Selain itu Dick (1997) juga menyatakan bahwa Riset Aksi bersifat

partisipatif. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, “Siapa yang harus

berpartisipasi? Partisipasi dalam kegiatan apa?” Dalam konteks partisipasi,

34

Riset Aksi biasanya dilakukan oleh sekelompok orang, walaupun kadang-

kadang juga dilakukan oleh individu, namun keduanya sama-sama bertujuan

untuk memperbaiki suatu praktek atau kegiatan untuk melakukan suatu

perubahan.

Riset Aksi yang dilaksanakan di Kabupaten Kuningan melibatkan LPI

PHBM (Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat), yaitu organisasi multi-pihak dan terdiri atas berbagai instansi

pemerintah Kabupaten Kuningan, perwakilan petani, LSM, Perhutani KPH

Kuningan, serta individu pemerhati lingkungan (Lampiran 1). LPI PHBM

adalah organisasi yang lahir pada waktu terjadi konflik antara masyarakat yang

tinggal di sekitar hutan Negara, dengan Perhutani KPH Kuningan. LPI PHBM

berperan untuk memfasilitasi proses negosiasi antara masyarakat dengan

Perhutani. Mereka juga berperan mendorong kebijakan Pemerintah Kabupaten

Kuningan untuk mengalokasikan dana untuk pengembangan PHBM.

Dalam konflik perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman

Nasional, LPI PHBM mengalami perpecahan, dan sebagian anggota bergabung

dalam wadah yang disebut Para Penggiat PHBM. Mereka adalah perwakilan

petani, individu dan LSM yang peduli terhadap masyarakat yang terkena

dampak negative dari perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman

Nasional, dan ingin mencari solusi.

LPI PHBM maupun Para Penggiat PHBM adalah pihak-pihak atau

mitra yang dilibatkan dalam Riset Aksi. Mereka menjalankan beberapa peran.

Menurut Dick (1997) ada 7 bentuk peran yang dijalankan oleh mitra, yaitu (a)

peran sebagai informan untuk menyediakan data, (b) peran sebagai interpreter

untuk menginterpretasikan data, (c) peran sebagai perencana dan pengambil

keputusan, (d) peran sebagai pelaksana, (e) peran sebagai fasilitator, (f) peran

sebagai peneliti dan asisten peneliti yang merancang penelitian, (g) peran

sebagai resipien yang berarti mitra hanya diinformasikan hasil penelitian dan

implikasinya.

Dalam riset aksi, orang-orang atau para pihak tersebut secara sadar dan

konsisten bergerak mengikuti suatu siklus yang berulang, yang terdiri atas:

memahami masalah melalui proses Refleksi, menyusun Rencana, melakukan

35

Aksi atau tindakan, melakukan Monitoring, refleksi dan kembali menyusun

rencana untuk siklus berikutnya (siklus “Action Research Spiral” ini

dipaparkan oleh Kemmis and McTaggart, 1988a).

Gambar 6. Spiral Action Research yang digunakan [diadaptasi dari

Kemmis and McTaggart, 1988a]

Siklus Riset Aksi dijelaskan oleh Kemmis and McTaggart (1988a)

terdiri atas Refleksi, Perencanaan, Aksi, dan Monitoring, dan selanjutnya ke

siklus berikutnya untuk melakukan Refleksi. Pengertian dari setiap langkah di

dalam satu siklus Riset Aksi adalah:

• Refleksi adalah upaya untuk memahami masalah dan mengkritisi apa yang

sudah terjadi. Menigkatnya pemahaman yang muncul akibat proses

refleksi kritis kemudian digunakan untuk merancang langkah selanjutnya

(Dick, 2000).

• Rencana merupakan kegiatan untuk merespon masalah yang dihadapi

berupa langkah-langkah yang akan dilakukan

• Melakukan aksi atau tindakan merupakan pelaksanaan dari rencana yang

dilakukan, dan di dalamnya juga termasuk hasil dari tindakan

• Melakukan monitoring merupakan upaya untuk menilai dampak dari

kegiatan atau Aksi yang telah dilakukan dan melihat sejauh mana

perubahan telah terjadi. Apabila ada perbaikan, maka perlu dikaji apakah

data yang dimiliki bisa menjadi bukti terjadinya perubahan? Apabila tidak

36

terjadi perubahan, maka perbaikan apa yang harus dilakukan untuk

memperoleh hasil yang lebih baik ? (Ferrance, 2000).

Lebih jauh lagi, Dick (2000) menyatakan bahwa Riset Aksi cenderung

untuk:

• Siklus – langkah-langkah yang sama cenderung berulang, dalam urutan

yang sama

• Partisipatif – klien dan informan terlibat sebagai mitra, atau paling tidak

sebagai partisipan aktif, dalam proses penelitian

• Kualitatif – lebih sering menggunakan cerita daripada angka dan

• Reflektif – refleksi kritis terhadap proses dan outcomes adalah bagian

penting dari setiap siklus

Menurut Uhlmann (1995), Riset Aksi berbeda dengan riset lainnya.

Riset Aksi lebih mementingkan perubahan. Untuk bisa terjadi perubahan

diperlukan partisipasi dari orang-orang yang terlibat pada situasi yang ingin

diubah atau yang akan terkena dampak dari suatu keadaan. Partisipasi dalam

Riset Aksi sangat penting karena:

• Stakeholder lebih mengenal situasi sehingga mereka dapat

mengidentifikasi isu yang mereka hadapi secara jelas

• Mereka mengetahui sejarah dan dapat menceritakan apa yang sudah

dicoba dan apa yang bisa diterima secara kultural

• Mereka mampu melakukan aksi dan mengevaluasi aksi dan solusi yang

dihasilkan sesuai dengan lingkungan yang mereka hadapi.

• Mereka akan tetap berada di lokasi penelitian, setelah Riset selesai

dilakukan dan mereka sanggup melakukan perbaikan karena mereka

akan belajar bagaimana mengatasi masalah sepanjang waktu.

• Mereka juga akan membangun hubungan atau relasi yang lebih baik

sepanjang waktu, yang juga akan membantu mereka dalam mencapai

kemajuan dari Aksi yang mereka lakukan

Perbedaan Riset Aksi dengan riset lainnya juga dinyatakan oleh

Alwasilah (2001). Beberapa perbedaan Riset Aksi dengan penelitian formal

ditulis pada Tabel 4.

37

Tabel 4. Perbedaan Riset Aksi dengan Penelitian Formal Kuantitatif

Riset Aksi Penelitian Formal

Tujuannya memecahkan persoalan lokal dengan populasi yang terbatas.

Tidak memerlukan pelatihan formal yang ketat.

Dilakukan untuk mengetahui atau mengkoreksi problem lokal yang dihadapi.

Kurang ketat (rigorous)

Biasanya tidak bebas nilai.

Mengembangkan atau menguji teori dan menghasilkan pengetahuan yang dapat digeneralisasi bagi populasi yang lebih besar.

Memerlukan pelatihan formal yang sangat ketat.

Dilakukan untuk meneliti isu-isu yang relative besar.

Lazimnya dilakukan oleh peneliti yang tidak terlibat langsung dalam penelitian.

Lebih ketat (rigorous).

Seringkali bebas nilai

Peran Peneliti

Peneliti memiliki beberapa peran dalam riset aksi. Pertama, peneliti

berperan sebagai fasilitator. Menurut Roger (1994), akar kata fasilitasi adalah

“facilitation” yang mempunyai arti “membuat sesuatu menjadi mudah”. Dari

segi proses, facilitation didefinisikan sebagai suatu proses dimana seseorang

membantu pihak lain untuk menyelesaikan pekerjaannya dan memperbaiki

cara mereka bekerja bersama. Sedangkan sebagai keahlian, facilitation adalah

keahlian mengelola suatu pertemuan (a meeting management skill). Oleh

karena itu, facilitation juga dikatakan sebagai cara membantu kelompok

bekerja bersama di dalam pertemuan.

Peran kedua adalah peran untuk meningkatkan kapasitas. Hal ini

dilakukan dengan memberi informasi tentang kerangka teori yang bisa

digunakan untuk membantu proses penyelesaian konflik. Salah satu contohnya

adalah analisis stakeholder. Peneliti member informasi tentang teori analisis

stakeholder dan juga memfasilitasi proses analisis stakeholder, sesuai dengan

teori yang diberikan.

Peran ketiga, peneliti berperan untuk menganalisis proses yang terjadi

dan membandingkan dengan kerangka teori yang sudah ada.

38

Prosedur Kerja Riset Aksi

Prosedur kerja Riset Aksi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi

(a) pengumpulan data, (b) memfasilitasi proses diskusi, (c) melakukan

komunikasi dengan pengambil keputusan untuk bernegosiasi, (d) melakukan

mediasi pada proses negosiasi, (e) melakukan dokumentasi proses, (f)

menyusun hasil Riset Aksi dan (g) melakukan analisis atau pembahasan

terhadap hasil Riset Aksi.

Tabel 5. Prosedur Kerja Riset Aksi

Prosedur Kerja Keterangan Pengumpulan Data dilakukan melalui:

Diskusi informal

Focus Group Discussion

Melakukan kunjungan ke desa

Diskusi informal dilakukan sepanjang Riset Aksi dilakukan. Diskusi informal bisa dilakukan dengan cara kunjungan silaturahmi ke rumah atau terlibat dalam “obrolan” kelompok tertentu. Tujuannya untuk membangun hubungan dan kepercayaan stakeholder terhadap peneliti, serta mengumpulkan informasi yang tidak bisa diperoleh dari diskusi formal.

Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk memperoleh informasi yang spesifik, dengan peserta diskusi yang spesifik juga. Peserta FGD terbatas, tidak lebih dari 10 orang agar efektif.

Tujuan kunjungan ke desa adalah untuk memahami kepentingan dan pandangan masyarakat lokal terhadap perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional.

Memfasilitasi proses diskusi

diskusi untuk melakukan refleksi, menyusun rencana, menggali pendapat para pihak dan mempersiapkan negosiasi,

Berkomunikasi dengan pejabat Departemen Kehutanan

Komunikasi bisa dilakukan secara informal, terutama untuk menentukan jadwal dan agenda pertemuan. Setelah itu ditindak lanjuti dengan mengadakan pertemuan. Peneliti berkomunikasi dengan Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II, Kepala Sub Direktorat Pengelolaan Kawasan Konservasi, Direktur Kawasan Konservasi, Kepala Biro Hukum Departemen Kehutanan, serta Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan.

Melakukan mediasi Yang dilakuan peneliti adalah memfasilitasi persiapan negosiasi, memfasilitasi pertemuan dengan Departemen Kehutanan, memfasilitasi perumusan hasil negosiasi

Melakukan dokumentasi proses

Mencatat dan mengumpulkan semua dokumen yang dihasilkan selama Riset Aksi berlangsung.

Menyusun hasil Riset Aksi secara sistematis

Informasi yang diperoleh dari hasil dokumentasi proses disusun secara sistematis berdasarkan siklus Riset Aksi.

Melakukan analisis berdasarkan kerangka teori yang ada

Kerangka analisis digunakan untuk membandingkan antara informasi atau temuan yang diperoleh dari dokumentasi proses dengan teori yang ada

39

Analisis Stakeholder

Analisis parapihak merupakan suatu alat yang digunakan untuk

mengidentifikasi dan mendeskripsikan parapihak dari basis kedudukan,

hubungan, dan kepentingan parapihak tersebut terhadap suatu masalah atau

sumberdaya (Ramirez, 2003). Analisis ini telah banyak digunakan pada

berbagai bidang yang mencakup bisnis, hubungan internasional, penyusunan

kebijakan, penelitian partisipatif, ekologi dan pengelolaan sumberdaya alam.

Menurut Bisset (1998) dalam Ramirez (2003) yang dimaksud dengan

parapihak (stakeholders) adalah individu yang berkepentingan dan mempunyai

perhatian terhadap sesuatu. Sedangkan Freeman (1984) mendefinisikan

parapihak sebagai kelompok atau individu yang mempengaruhi atau

dipengaruhi oleh tujuan suatu korporasi. Dalam konteks pengelolaan

sumberdaya alam, Röling dan Wagemakers (1998) menawarkan definisi yang

lebih tepat: parapihak adalah pemanfaat dan pengelola sumberdaya alam.

Secara umum dapat dinyatakan bahwa parapihak adalah merujuk pada

kelompok atau institusi yang berkepentingan atau yang berperan aktif dalam

suatu sistem. Parapihak yang berkepentingan inilah yang seharusnya

diakomodasikan kepentingannya dalam penyusunan suatu sistem, termasuk

didalamnya penyusunan sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Analisis yang dilakukan untuk mengetahui kepentingan dan peran parapihak

ini adalah yang disebut sebagai analisis parapihak (stakeholders analysis).

Terdapat beberapa manfaat ang diperoleh dari analisis parapihak.

Beberapa manfaat tersebut adalah (Röling and Wagemakers 1998):

a. Untuk mengetahui pola interaksi empirik yang ada

b. Dapat dianalisis untuk peningkatan model intervensi

c. Sebagai alat untuk pengambilan keputusan, dan

d. Sebagai alat untuk memprediksikan konflik.

Lebih jauh lagi, analisis parapihak pada saat ini juga merupakan topik utama

dalam manajemen konflik untuk memperoleh resolusi dari sudut pandang para

aktor sosial.

40

Masing-masing stakeholders dapat diidentifikasi jenis kepentingan

(interest), hak (right), pengaruh (influence), dan tingkat kepentingan

keterlibatan (importance) dalam pengelolaan kawasan konservasi Gunung

Ciremai. Kepentingan (interest) dalam hal ini adalah berupa tingkat utilitas

yang diharapkan oleh parapihak, sedangkan hak (right) adalah merujuk pada

hak individu/kelompok terhadap KKGC. Pengaruh (influence) adalah merujuk

pada kekuatan stakeholders tertentu, sedangkan kepentingan keterlibatan

(importance) adalah merujuk pada prioritas tingkat kebutuhan dan interest

masing-masing stakeholders (Grimble and Wellard, 1997).

Dengan mengkombinasikan pengaruh dan kepentingan dari setiap

stakeholder dalam sebuah matriks, maka asumsi dan resiko tentang stakeholder

bisa diidentifikasi. Dalam matriks berukuran 2 x 2, setiap stakeholder

dipetakan berdasar dua criteria, yaitu pengaruh dan kepentingan. Pemetaan ini

mengindikasikan potensial koalisi yang mungkin dibangun (DFID, 1995).

A *2 *1 *5

B *4 *3

D *7

C *6

high low Influence →

Gambar 7. Contoh Matriks Klasifikasi Stakeholder Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan (DFID, 1995)

Kotak A, B dan C adalah stakeholder kunci, yaitu mereka yang

mempunyai pengaruh signifikan, dan juga yang paling penting dalam mencapai

tujuan suatu proyek. Implikasi dari setiap kotak adalah:

A. Kotak A diisi oleh stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan tingi,

tetapi pengaruh yang kecil Implikasinya adalah mereka membutuhkan

special inisiatif khusus apabila kepentingan mereka ingin dilindungi

(stakeholders 2,1, and 5)

high ↑ Importance low

41

B. Kotak B diisi oleh stakeholder yang memiliki pengaruh tinggi dan juga

memiliki tingkat kepentingan yang tinggi pula. Implikasinya adalah staf

proyek perlu membina hubungan baik dengan stakeholder ini untuk

memastikan koalisi yang efektif dan dapat mendukung proyek

(stakeholders 3 and 4).

C. Kotak C diisi oleh stakeholder yang memiliki pengaruh tinggi, yang bisa

juga mempengaruhi hasil dari proyek, tetapi kepentingan mereka bukanlah

target dari proyek. Stakeholder ini mungkin merupakan sumber resiko

yang tinggi, dan mereka perlu dimonitor dan dikelola secara hati-hati.

Stakeholder ini bisa jadi menghambat proyek (stakeholder 6).

D. Kotak D diisi oleh stakeholder dengan pengaruh dan tingkat kepentingan

yang rendah. Mereka bukanlah stakeholder yang perlu dilibatkan dalam

proyek (stakeholder 7).

Hasil dari matriks stakeholder akan memberi informasi, siapa yang

harus diajak bernegosiasi (DFID, 1995).