metlit-krngka konsep baru2

30
Hubungan Pola Konsumsi Mie Instan dengan Kejadian Obesitas Pada Siswa Sekolah Dasar di SD N X DKI Jakarta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini, kondisi gizi masyarakat Indonesia tidak hanya dihadapkan pada masalah gizi kurang saja, tetapi juga gizi lebih. Sejak tahun 2000, WHO telah mencatat adanya peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas di sejumlah negara yang mencetuskan kegemukan dan obesitas sebagai isu kesehatan dan gizi masyarakat yang perlu diperhatikan. Peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas ini tidak saja terjadi di negara maju tetapi juga di negara berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi obesitas pada anak usia 6–17 tahun di AS dalam tiga dekade terakhir meningkat dari 7,6– 10,8% menjadi 13–14%. Berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010, pada tahun 2007 presentase anak usia 6-14 tahun yang mengalami gizi lebih pada laki-laki 9,5% dan perempuan 6,4%, sedangkan pada tahun 2010 presentasenya untuk anak 6-12 tahun sebanyak 10,7% untuk laki-laki dan 7,7% untuk perempuan. Menurut penelitian Soedibyo et all pada tahun 1998 di DKI Jakarta prevalensi obesitas untuk anak usia 6-12 tahun adalah sekitar 4%, dan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, sedangkan menurut Riskesdas 2010, prevalensi anak usia 6-12 tahun yang mengalami kegemukan sebesar 12,8%. Adanya peningkatan

Upload: mwiyantin

Post on 06-Aug-2015

107 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Metlit-Krngka Konsep Baru2

Hubungan Pola Konsumsi Mie Instan dengan Kejadian Obesitas

Pada Siswa Sekolah Dasar di SD N X DKI Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada saat ini, kondisi gizi masyarakat Indonesia tidak hanya dihadapkan pada masalah

gizi kurang saja, tetapi juga gizi lebih. Sejak tahun 2000, WHO telah mencatat adanya

peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas di sejumlah negara yang mencetuskan

kegemukan dan obesitas sebagai isu kesehatan dan gizi masyarakat yang perlu diperhatikan.

Peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas ini tidak saja terjadi di negara maju tetapi

juga di negara berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi obesitas pada anak usia 6–17

tahun di AS dalam tiga dekade terakhir meningkat dari 7,6–10,8% menjadi 13–14%.

Berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010, pada tahun 2007 presentase anak usia 6-14 tahun

yang mengalami gizi lebih pada laki-laki 9,5% dan perempuan 6,4%, sedangkan pada tahun

2010 presentasenya untuk anak 6-12 tahun sebanyak 10,7% untuk laki-laki dan 7,7% untuk

perempuan. Menurut penelitian Soedibyo et all pada tahun 1998 di DKI Jakarta prevalensi

obesitas untuk anak usia 6-12 tahun adalah sekitar 4%, dan meningkat sesuai dengan

bertambahnya usia, sedangkan menurut Riskesdas 2010, prevalensi anak usia 6-12 tahun

yang mengalami kegemukan sebesar 12,8%. Adanya peningkatan prevalens kegemukan dan

obesitas di Indonesia tersebut merupakan suatu peringatan bahwa kegemukan dan obesitas

kini telah mengancam masyarakat di Indonesia, khususnya di kota besar (Hadi, 2005).

Obesitas didefinisikan sebagai kelainan atau penyakit yang ditandai dengan

penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan (Irene, 2009). Anak yang mengalami

obesitas akan berisiko terkena obesitas pada usia dewasa dan berpotensi mengalami berbagai

penyebab kesakitan dan kematian, antara lain penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus.

Obesitas pada anak juga dapat mengakibatkan kelainan metabolik, misalnya atherogenesis,

resistensi insulin, gangguan trombogenesis, dan karsinogenesis. Orang yang mempunyai

berat badan 40% lebih berat dari berat badan rata-rata populasi mempunyai risiko kematian 2

kali lebih besar dibandingkan orang dengan berat badan rata-rata (Lew & Garfinkel, 1979).

Page 2: Metlit-Krngka Konsep Baru2

Obesitas merupakan penyakit dengan etiologi kompleks, yang antara lain berkaitan

dengan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, perubahan pola makan menjadi

makanan cepat saji yang memiliki kandungan kalori dan lemak yang tinggi, waktu yang

dihabiskan untuk makan, waktu pertama kali anak mendapat asupan berupa makanan padat,

kurangnya aktivitas fisik, faktor genetik, hormonal dan lingkungan (Yusacc, dkk., 2007).

Salah satu penyebab obesitas adalah pola makan.

Anak-anak usia sekolah mempunyai kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji,

yang umumnya memiliki energi tinggi karena 45-50%nya berasal dari lemak (Irene, 2009).

Dataconsult (1995) melaporkan bahwa konsumsi mie instan oleh masyarakat Indonesia pada

tahun 1995 sebesar 3.544,5 juta bungkus atau setara dengan 265.838 ton. Pada tahun-tahun

berikutnya konsumsi mie instan meningkat dengan laju sekitar 25%, dan pada awal tahun

2000-an sekarang ini, angka ini diperkirakan terus meningkat dengan laju sekitar 15% per

tahun. Berdasarkan salah satu merk mie instan, dalam 85 gram mie instan mengandung 420

kkal energi dengan jumlah lemak 18 gram, protein 7 gram, karbohidrat 57 gram. Bandingkan

dengan nasi dalam berat yang sama mengandung 148, 75 kkal, 3,4 gram protein, dan 34 gram

karbohidrat (DKBM, 2009). Konsumsi mie instan pada berat yang sama dengan nasi

memiliki kandungan energi lebih besar hampir 3 kali lipat. Jika hal tersebut terus dilakukan

tanpa adanya aktivitas fisik yang seimbang, maka kegemukan tidak lagi terhindarkan.

1.2 Perumusan Masalah

Obesitas pada anak, khususnya usia 6-12 tahun akan terus berlanjut pada saat remaja

dan dewasa jika tidak segera diatasi. Keadaan tersebut akan menimbulkan dampak baru, yaitu

penurunan produktifitas kerja yang merupakan ancaman bagi masyarakat Indonesia.

Obesitas sangat erat kaitannya dengan pola makan, khususnya pola makan yang

berlebihan, baik lemak maupun non lemak. Salah satu pola makan yang dapat berisiko

terkena obesitas adalah kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji, dalam hal ini mie instan.

Pada penelitian ini, peneliti memilih siswa-siswi SD N X di DKI Jakarta sebagai

objek penelitian karena adanya perbedaan antara angka prevalensi obesitas di DKI Jakarta

dengan prevalensi nasional. Menurut Riskesdas 2010, prevalensi obesitas di DKI Jakarta

sebesar 12,8%, angka ini lebih besar dari angka prevalensi nasional, sebesar 9,2%.

Page 3: Metlit-Krngka Konsep Baru2

Berdasarkan dari pemikiran tersebut maka penulis ingin mengetahui seberapa besar

pengaruh konsumsi mie instan dengan kejadian obesitas lebih pada siswa sekolah dasar di SD

N X.

1.3 Pertanyaan Penelitian:

1. Berapakah besaran prevalensi obesitas siswa-siswi di SD N X DKI Jakarta?

2. Bagaimana pola konsumsi mie instan pada siswa-siswi di SD N X DKI Jakarta?

3. Bagaimana hubungan antara pola konsumsi mie instan dengan kejadian obesitas pada

siswa sekolah dasar di SD X?

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui prevalensi obesitas siswa-siswi di SDN X DKI Jakarta.

2. Mengetahui pola konsumsi mie instan pada siswa-siswi di SDN X DKI Jakarta.

3. Mengetahui hubungan antara pola konsumsi mie instan dengan kejadian obesitas pada

siswa sekolah dasar di SDN X DKI Jakarta.

Page 4: Metlit-Krngka Konsep Baru2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Obesitas dan Cara Penentuan Obesitas

Menurut NIDDK (2008)obesitas secara spesifik mengacu pada kelebihan

jumlah lemak tubuh, berbeda dengan kegemukan atau overweight yang mengacu pada

kelebihan berat badan, bukan cuma lemak tetapi juga otot, tulang, dan air. WHO

(2000) menambahkan obesitas sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan

yang dapat mengganggu kesehatan. Wanita masuk dalam kategori obesitas jika lemak

dalam tubuhnya melebihi 25% sedangkan untuk laki-laki lebih dari 20% (Rimbawan

dan Siagian 2004 dalam Nursasanti, dkk., 2010).

Penentuan obesitas dapat dilakukan secara klinis maupun dengan mengukur

akumulasi lemak dalam tubuh. Secara klinis, seseorang yang mengalami obesitas

memiliki ciri-ciri sebagai berikut wajah membulat, pipi tembam, dagu rangkap, leher

relatif pendek, perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat, kedua

tungkai berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan

bergesekan. Pada anak laki-laki, penis tampak kecil karena tersembunyi jaringan

lemak suprapubik.

Penentuan obesitas dengan mengukur akumulasi lemak tubuh dapat dilakukan

dengan mengukur dan menghubungkan berat badan dengan tinggi badan

menggunakan Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT), pengukuran

lemak subkutan dengan mengukur tebal lipatan kulit, serta dengan mengukur rasio

pinggang dan panggul.

Pada umumnya, penentuan obesitas dilakukan dengan mengukur IMT, yaitu

dengan membagi berat badan dalam kg dengan kuadrat tinggi badan dalam meter.

Berikut ini klasifikasi obesitas untuk orang dewasa menurut WHO 1995,2002,2004:

Tabel 1. Klasifikasi Obesitas untuk Orang Dewasa Berdasarkan WHO 1995, 2002, 2004

Klasifikasi IMT

BeratBadanKurang <18.50

Page 5: Metlit-Krngka Konsep Baru2

Parah <16.00

Sedang 16.00 - 16.99

Ringan 17.00 - 18.49

Normal 18.50 - 24.99

Overweight ≥25.00

Pra-obesitas 25.00 - 29.99

Obesitas ≥30.00

Obesitas tingkat I 30.00 - 34.99

Obesitas tingkat II 35.00 - 39.99

Obesitas tingkat III ≥40.00

Sumber: WHO 1995, 2002, 2004

Tabel 2. Klasifikasi IMT Berdasarkan DepKes RI

IMT Kategori

<17 Kekurangan berat badan tingkat berat Kurus

17,0-18,4 Kekurangan berat badan tingkat ringan

18,5-25 Normal Normal

25,1-27,0 Kelebihan berat badan tingkat ringan Gemuk

>27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat

Sumber: Depkes RI 1994 dalam Supariasa, 2001

Rentang IMT untuk anak-anak dan remaja dibuat agar dapar diperhitungkan

perbedaan yang normal dalam lemak tubuh antara laki-laki dan perempuan dan

perbedaan dalam lemak tubuh pada berbagai usia. Status berat badan seorang anak

ditentukan menggunakan presentil usia dan jenis kelamin spesifik untuk IMT yang

berbeda dengan IMT yang digunakan untuk orang dewasa, karena komposisi tubuh

anak-anak bervariasi sesuai usia mereka dan bervariasi antara laki-laki dan

perempuan. Grafik Pertumbuhan yang dikeluarkan CDC (2000) dapat digunakan

untuk menentukan IMT yang sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Untuk anak-anak

dan remaja (usia 2-20 tahun) kegemukan didefinisikan sebagai IMT pada atau di atas

persentil ke-85 dan lebih rendah dari persentil ke-95 untuk anak-anak pada usia yang

sama dan jenis kelamin. Sedangkan obesitas didefinisikan sebagai IMT pada atau di

atas persentil ke-95 untuk anak-anak pada usia yang sama dan jenis kelamin (Barlow

Page 6: Metlit-Krngka Konsep Baru2

SE and the Expert Committee, 2007 dalam CDC, 2011). Grafik CDC 2000 dapat

dilihat pada grafik di bawah ini:

Page 7: Metlit-Krngka Konsep Baru2

Grafik 1. Grafik Penentuan IMT Berdasarkan Usia CDC 2000 untuk Anak Laki-Laki

Usia 2-20 Tahun

Page 8: Metlit-Krngka Konsep Baru2

Grafik 2. Grafik Penentuan IMT Berdasarkan Usia CDC 2000 untuk Anak Perempuan

Usia 2-20 Tahun

Selain menggunakan IMT, perbandingan BB/TB sering digunakan untuk

mengukur obesitas pada anak. Seorang anak dikatakan obesitas jika Z-score BB/TB >

2 SD. Metode IMT memiliki kesesuain yang cukup baik dibanding dengan metode

BB/TB yang telah banyak digunakan (Yussac, dkk., 2007).

2.2 Penyebab Obesitas

Page 9: Metlit-Krngka Konsep Baru2

Berdasarkan hukum termodinamika, ketidakseimbangan antara asupan energi

dengan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan

dalam bentuk jaringan lemak mengakibatkan obesitas (Heird, 2002 dalam Hidayati, et

al.). Gangguan keseimbangan energi ini disebabkan dua faktor yaitu faktor eksogen

atau nutrisional (obesitas primer) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat

kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik hanya sekitar 10% (Syarif, 2003

dalam Hidayati, et al.).

Obesitas adalah suatu penyakit yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang

diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor

genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, faktor sosial ekonomi

dan nutrisional yaitu perilaku konsumsi makanan dan pemberian makanan padat

terlalu dini pada bayi (Heird, 2002 dalam Hidayati, et al.). Berikut ini faktor – faktor

penyebab obesitas:

Faktor pertama yang mempengaruhi obesitas adalah faktor genetik. Faktor

genetik yang berperanan besar yaitu Parental fatness. Jika kedua orang tua obesitas,

maka 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian

obesitas pada anak menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi

menurun menjadi 14% (Syarif, 2005 dalam Hidayati, et al.). Perubahan lingkungan

nutrisi intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama

kerentanan terhadap pemrograman janin bersama-sama dengan pengaruh diet dan

stress lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit dikemudian

hari menurut hipotesis Barker. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas

melalui efek pada resting metabolic rate,thermogenesis non exercise, kecepatan

oksidasi lipid dan kemampuan mengontrol nafsu makan yang buruk.6,7 Dengan

demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedangkan ekspresi

fenotipe ditentukan lingkungan (Newnham, 2002 dalam Hidayati, et al.).

Selain itu faktor yang mempengaruhi obesitas adalah pola makan. Pola makan

merupakan faktor nutrisi yang dimulai sejak dalam kandungan dimana berat badan

ibu mempengaruhi jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi. Kenaikan angka berat

badan dan lemak pada anak dipengaruhi oleh : waktu pertama kali anak konsumsi

makanan padat, konsumsi tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak (Syarif, 2003

Page 10: Metlit-Krngka Konsep Baru2

dalam Hidayati, et al.) serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung

energi tinggi (Heird, 2002 dalam Hidayati, et al.).

Peran diet terhadap terjadinya obesitas sangat besar, terutama diet diet tinggi

kalori yang berasal dari karbohidrat dan lemak. Penelitian di Amerika dan Finlandia

menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan rendah lemak memiliki risiko

peningkatan berat badan lebih rendah daripada kelompok dengan asupan tinggi

lemak. Penelitian lain menunjukkan peningkatan asupan daging akan meningkatkan

risiko obesitas sebesar 1,46 kali (Fukuda, et al., 2001 dalam Hidayati, et al.).

Peningkatan risiko obesitas ini disebabkan karena makanan yang mengandung lemak

mempunyai energi density lebih besar dan kurang mengenyangkan serta mempunyai

efek termogenesis yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung

protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga memiliki rasa yang lezat sehingga

akan meningkatkan selera makan seseorang yang akhirnya terjadi konsumsi yang

berlebihan (Kopelman, 2000 dalam Hidayati, et al.).

Keseimbangan energi dipengaruhi oleh kapasitas penyimpanan makronutrien.

Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai energi tubuh dalam jumlah

terbatas dan metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila asupan

protein berlebihan maka akan di oksidasi; sedangkan karbohidrat memiliki kapasitas

penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Asupan dan oksidasi

karbohidrat di regulasi sangat ketat dan cepat, sehingga perubahan oksidasi

karbohidrat mengakibatkan perubahan asupan karbohidrat. Bila cadangan lemak

tubuh rendah dan intake karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dari

karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak. Kapasitas penyimpanan

lemak dalam tubuh jumlahnya tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi

peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam

jaringan lemak (WHO, 2000 dalam Hidayati).Selain asupan lemak dan karbohidrat,

rendahnya konsumsi makanan yang mengandung serat, seperti sayuran juga

berpengaruh pada kejadian obesitas. Hal ini sesuai dengan penelitian Matthews

(2011) yang menyatakan bahwa asupan sayuran dapat mencegah risiko overweight.

Kebiasaan lain yang berpengaruh pada kejadian obesitas adalah mengonsumsi

makanan camilan. Berdasarkan jurnal Merawati dan Kinanti (2005), dihasilkan

kesimpulan bahwa praremaja obesitas juga memiliki kebiasaan jajan dan ngemil.

Page 11: Metlit-Krngka Konsep Baru2

Kebiasaan tersebut dilakukan bersama teman dan orang tua baik di rumah maupun di

luar rumah seperti di sekolah serta tempat bermain.

Hal lain yang mempengaruhi obesitas adalah aktivitas fisik. Aktifitas fisik

merupakan komponen utama dari energi expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total

pengeluaran energi. Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Seseorang dengan

aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg

(Kopelman, 2000 dalam Hidayati). Penelitian yang dilakukan di Jepang oleh Fukuda,

et al. (2001) dalam Hidayati et.al. menunjukkan bahwa risiko obesitas yang rendah

terdapat pada kelompok yang memiliki kebiasaan olah raga, sedangkan penelitian di

Amerika menunjukkan penurunan berat badan dengan olah raga seperti jogging,

aerobik, namun untuk olah raga tim dan tenis tidak menunjukkan penurunan berat

badan yang signifikan.

Penelitian yang dilakukan terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi

yang sama menunjukkan bahwa mereka yang suka menonton TV selama 5 jam

perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang

suka menonton TV selama 2 jam setiap harinya (Kopelman, 2000 dalam Hidayati, et

al.). Sejumlah penelitian juga menemukan bahwa perilaku kurang aktivitas fisik

seperti menonton televisi dan bermain game komputer terkait dengan peningkatan

prevalensi obesitas (Swinburn, 2002 dalam Dehghan, et al., 2005). Banyak orang tua

melaporkan bahwa mereka lebih suka memiliki anak-anak mereka menonton televisi

di rumah daripada bermain di luar tanpa pengawasan karena orangtua mampu

menyelesaikan tugas mereka sambil memerhatikan anak-anak mereka (Gordon, 2004

dalam Dehghan, et al., 2005). Selain itu, tingkat partisipasi yang rendah dalam

olahraga dan pendidikan jasmani (Swinburn B, 2002 dalam Dehghan, et al., 2005),

juga terkait dengan peningkatan prevalensi obesitas.

Faktor ekonomi juga merupakan faktor penyebab obesitas. Biasanya, semakin

tinggi status ekonomi seseorang maka semakin tinggi daya beli dan semakin tinggi

tingkat mutu makanan untuk keluarganya. Kecenderungan boros dan konsumsi

berlebihan biasanya terjadi pada golongan ekonomi menengah ke atas yang

menhgakibatkan berat badan terus bertambah. Kelebihan gizi sering ditemukan

sebagai penyebab beberapa penyakit (Suhardjo,1989 yang dikutip oleh Hilma, 2004).

Page 12: Metlit-Krngka Konsep Baru2

Penyebab obesitas juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan pengetahuan

gizi ibu. Cara pemilihan bahan pangan untuk dikonsumsi dipengaruhi oleh tingkat

pendidikan. Semakin tinggi pendidikan orang tua, dalam pemilihan kualitas dan

kuantitas cenderung semakin baik (Masyitah, 1999 yang dikutip oleh Hilma, 2004).

Walaupun pendapatan orang tua berlebih, namun tidak memiliki pengetahuan

tentang makanan yang bergizi biasanya hanya memilih makanan yang lezat maka

pertumbuhan dan perkembangan tubuh, kesehatan dan produktivitas kerja akan

mengalami gangguan karena ketidak seimbangan zat gizi yang diasup (Marsetyo yang

dikutip oleh Hilma, 2004).

2.3 Dampak Obesitas

Obesitas merupakan salah satu penyebab yang dapat menurunkan kualitas

sumberdaya manusia di masa mendatang. Hal ini karena anak yang mengalami

obesitas memiliki kecenderungan tetap mengalami obesitas pada saat remaja dan

dewasa (Triwinarto, dkk, 2006). WHO menyebutkan ada 17 penyakit penyerta yang

dapat timbul pada kasus obesitas (Tjokroprawiro, 2002). Obesitas merupakan

prediktor dari beberapa penyakit degeneratif diantaranya penyakit diabetes melitus

tipe I, hiperlepidemia, hipertensi (Hanah, 2002), terjadinya kanker dan gangguan

sendi, (Arbai, 2000), radang sendi, asam urat, (Tjokroprawiro, 2002). Pada wanita

beresiko terhadap ganguan mentruasi dan meningkatnya prevalensi kanker yang

sensitif terhadap hormon wanita (Obesity, 1994). Menurut Tjokroprawiro (2002)

ketidakpekaan hormon insulin pada wanita obesitas dapat menurunkan kesuburan,

sehingga mudah terjadi keguguran. Osski, (1995) dalam kesimpulannya menyatakan

bahwa sebagaian besar prevalensi penyakit pada masyarakat di USA bersumber dari

obesitas. Kerentanan penyakit pada obesitas disebabkan oleh karena sel-sel lemak

tidak hanya penyimpan energi tetapi juga berperan sebagai organ endokrin yang aktif.

Sampai saat ini terdapat 14 hormon dan memiliki sifat bervariasi, diantaranya adalah

estrogen dan adiponektin yang melindungi darah arteri, terdapat juga TNF alfa yang

dapat menyebabkan hormon insulin tidak peka, sehingga beberapa penyakit

mengancam penderita obesitas (Tjokroprawiro, 2002).

Page 13: Metlit-Krngka Konsep Baru2

2.4 Fast Food dan Junk Food

Junk food adalah makanan yang memiliki sedikit kandungan gizi, contohnya

makanan mengandung energi, tetapi kandungan gizi lainnya sedikit atau tidak

lengkap. Selain itu, junk food juga didefinisikan sebagai makanan yang sebetulnya

kandungan gizi cukup tetapi mengandung zat-zat yang tidak sehat jika dikonsumsi

terus-menerus (Anna, 2011 dalam http://health.kompas.com/ ). Di dalam makanan-

makanan tersebut terkandung karbohidrat, protein, lemak, dan sebagainya, tetapi jika

dikonsumsi setiap hari akan menjadi tidak sehat. Sebagai contoh, junk food yang

mengandung lemak tidak baik atau lemak jenuh (saturated fat), mengandung terlalu

banyak garam, atau selalu disertai banyak gula jika dikonsumsi terus menerus akan

menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan tubuh. Makanan cepat saji atau fast food

termasuk dalam junk food.

Makanan cepat saji atau fast food adalah makanan yang dapat disiapkan dan

dikonsumsi dalam waktu yang singkat (Bertram, 1975). Makanan siap saji atau fast

food umumnya mempunyai kandungan protein tinggi, tetapi miskin serat (Gunawan,

2001). Selain itu, Khomsan (2004) dalam Risnaningsih (2008) menyatakan bahwa

fast food umumnya mengandung kalori, kadar lemak, gula dan sodium (Na) yang

tinggi, tetapi rendah serat kasar, vitamin A, asam askorbat, kalsium dan folat.

Peningkatan konsumsi fast food merupakan salah satu masalah karena obesitas

meningkat pada masyarakat yang lebih memilih mencari makanan cepat saji di luar

dan tidak mempunyai waktu untuk menyiapkan makanan di rumah (WHO, 2000).

Kandungan fast food yang miskin serat dan banyak mengandung kadar lemak

tersebut dapat menimbulkan risiko obesitas jika dikonsumsi secara terus-menerus.

Menurut Mahdiah (2004), fast food terdiri dari fast food western dan lokal.

Berdasarkan hasil penelitiannya tersebut, Western fast food yang banyak dikonsumsi

siswa SLTP kota di Yogyakarta yaitu ayam goreng (fried chicken), pizza, hamburger,

sandwich, french fries, dunkin donat, chickenkatzu, ice cream, milk shake, dan soft

drinks, sedangkan western fast food yang banyak dikonsumsi SLTP desa di

Yogyakarta yaitu ayam goreng, ice cream dan soft drinks. Fast food lokal yang sering

dikonsumsi remaja SLTP kota dan desa di Yogyakarta yaitu bakso, mi ayam, mi

goreng, nasi goreng, batagor soto, sate, martabak, chiki, wafer, dll. Mahdiah (2004)

juga mengemukanan bahwa konsumsi western fast food = 4 kali/bulan cenderung

Page 14: Metlit-Krngka Konsep Baru2

menyebabkan terjadinya obesitas remaja SLTP kota 4,11 kali lebihtinggi

dibandingkan konsumsi < 4 kali, sedangkanpada remaja SLTP desa 3,61 kali di

daerah Yogyakarta. Konsumsi fast food lokal = 71 kali/bulan pada remaja SLTP

kotacenderung menyebabkan terjadinya obesitas sebesar 4,64 kali dibandingkan

mengkonsumsi <71 kali/bulan, sedangkan pada remaja SLTP desa sebesar 2,97 kali.

2.5 Mie Instan dan Obesitas

Beragam jenis mie telah dikenal masyarakat, namun mie instan merupakan

ragam mie yang paling popular. Dataconsult (1995) melaporkan bahwa konsumsi mie

instan oleh masyarakat Indonesia pada tahun 1995 sebesar 3.544,5 juta bungkus atau

setara dengan 265.838 ton. Pada tahun-tahun berikutnya konsumsi mie instan

meningkat dengan laju sekitar 25%, dan pada awal tahun 2000-an sekarang ini, angka

ini diperkirakan terus meningkat dengan laju sekitar 15% per tahun. Dalam Standar

Nasional Indonesia (SNI) No. 3551-1994, mie instan didefinisikan sebagai produk

makanan kering yang dibuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan

makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, berbentuk khas mie dan

siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4

menit, sedangkan Wahyudi (2010) mengemukakan bahwa mie instan adalah pangan

alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti nasi, tetapi bukan makanan utama.

Mie instan merupakan salah satu jenis fast food yang sering dikonsumsi.

Faktor yang mempengaruhi konsumsi mie instan antara lain adalah pengetahuan,

alasan mengkonsumsi seperti kepraktisan, kemudahan, dan harga yang terjangkau,

serta serta informasi media mengernai mie instan seperti iklan di media cetak, televisi

dan radio (Lastariwti dan Ratnaningsih, 2006). Berdasarkan Risnaningsih (2008), fast

food yang biasanya dikonsumsi oleh remaja putri di SMP Negeri 1 Comal Pemalang

sangat beragam seperti fried chicken, mie bakso, siomai, mie instan, mie goreng, mie

ayam, soto, gulai, donat, soft drink dan es krim, dimana mie instan mendapatkan

persentase tertinggi kedua yakni sebesar 96%. Berdasarkan hasil jurnal tersebut pula,

dinyatakan bahwa adanya hubungan positif antara konsumsi fast food dengan kejadian

obesitas.

Page 15: Metlit-Krngka Konsep Baru2

Energi yang dihasilkan dari satu takaran saji mie instan dengan berat 80 gram

dapat mencapai 400 kkal. Jumlah energi tersebut dapat memenuhi sekitar 20% dari

total kebutuhan energi harian (2000 kkal). Jika dibandingkan dengan nasi dengan

berat yang sama maka energi yang dihasilkan oleh mie instan dapat mencapai hampir

3 kali lipat dari energi yang dihasilkan oleh nasi. Hampir setengah dari energi yang

dihasilkan oleh mie instan yaitu sekitar 170-200 kkal berasal dari minyak yang

terkandung dalam mie instan. Kandungan minyak tersebut didapatkan dari proses

penggorengan mie untuk mendapatkan mie instan yang kering. Kandungan minyak

dalam mie instan tersebut dapat mencapai 30% dari bobot kering. Energinya yang

tinggi dan kandungan minyaknya yang banyak dapat meningkatkan obesitas.

Efek lapar yang ditimbulkan oleh mie instan cenderung lebih cepat apabila

dibandingkan dengan nasi. Hal ini dikarenakan karbohidrat yang terkandung di dalam

mie instan merupakan karbohidrat sederhana. Karbohidrat sederhana mudah diserap

oleh tubuh sehingga efek rasa kenyangnya lebih cepat. Sedangkan karbohidrat yang

terkandung dalam nasi merupakan karbohidrat kompleks yang penyerapannya

memakan waktu yang lebih lama sehingga lebih lama juga efek rasa kenyangnya.

Karena efek laparnya yang cepat maka orang akan cenderung untuk makan lagi.

Mie instan mengandung karbohidrat sederhana dan minyak yang cukup tinggi

namun tidak diimbangi dengan kandungan serat yang tinggi juga bahkan kandungan

seratnya cenderung sangat sedikit. Hal ini dapat meningkatkan penimbunan lemak

dalam tubuh sehingga dapat meningkatkan berat badan.

Mie instan juga mengandung MSG (Mono Sodium Glutamat). MSG

merupakan bahan tambahan makanan yang digunakan sebagai penyedap untuk

meningkatkan selera makan (U.S. Food and Drug Administration, 2008 dalam

Paracchini, et al., 2005). MSG dapat mempengaruhi hormon Leptin. Hormon Leptin

merupakan protein yang dihasilkan oleh gen leptin (LEP) . Hormon ini dihasilkan

oleh jaringan adiposa yang memiliki fungsi untuk menghambat asupan makanan dan

merangsang pengeluaran energi (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/ dalam

Paracchini, et al., 2005). Leptin diproduksi oleh jaringan adiposa atau jaringan lemak.

Seletah diproduksi, leptin yang dihasilkan jaringan adiposa akan disekresikan ke

dalam aliran darah yang akan menempel pada protein untuk diangkut menuju otak. Di

otak, leptin akan merangsang atau menghambat pelepasan neurotrasmiter yang

Page 16: Metlit-Krngka Konsep Baru2

membawa rangsangan ke hipotalamus. Rangsangan tersebut yang akan

mempengaruhi hipotalamus untuk mengatur nafsu makan dan pengeluaran energi

(Jequier, 2002 dalam Paracchini, et al., 2005). Konsumsi MSG yang berlebihan dapat

mengganggu kerja neurotrasmiter yang membawa rangsangan dari leptin menuju ke

hipotalamus. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi leptin. Resistensi leptin

dapat mengakibatkan nafsu makan tidak dapat dikontrol. (Hermanussen dan

Tresguerres, 2003 dalam Paracchini, et al., 2005).

Dalam sebuah percobaan terhadap mencit ditemukan bahwa mencit yang

diberikan MSG sebanyak 2,5 g dan 5 g, terjadi perbedaaan jumlah makanan yang

dikonsumsi dengan mencit yang tidak diberikan MSG. Mencit yang diberikan MSG

memakan lebih banyak makanan dibanding yang tidak (Hermanussen, et al.. 2006).

Dari studi tersebut MSG dapat dikaitkan dengan nafsu makan yang meningkat yang

dapat menyebabkan obesitas jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup.

Page 17: Metlit-Krngka Konsep Baru2

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka konsep

Sumber: Heird, 2002 dalam Hidayati; Barlow SE and the Expert Committee, 2007 dalam CDC, 2011;

Faktor-faktor:

Aktivitas Fisik

Tingkat EkonomiGenetik

Tingkat Pendidikan Orang Tua

Pola Makan:Konsumsi mie instan

Pengeluaran Energi Fisik<<Masukan Energi >>

Simpanan lemak di jaringan adiposa tubuh >>

Lipogenesis >> dan lipolisis <<

ObesitasAnak: ≥ presentil ke 95 grafik CDC 2000

Resiko Komplikasi

PREVALENS

Page 18: Metlit-Krngka Konsep Baru2

3.2 Hipotesis

1. Prevalensi obesitas siswa-siswi di SDN X DKI Jakarta sebesar ≥ 10%

2. Terdapat perbedaan pola konsumsi mie instan pada siswa-siswi di SDN X DKI

Jakarta.

3. Terdapat hubungan antara pola konsumsi mie instan dengan kejadian obesitas di SDN

X DKI Jakarta.

3.3 Definisi Operasional

Variabel Definisi

Operasional

Cara Alat Hasil Skala

Obesitas

anak

IMT ≥

presentil ke

95 menurut

graafik CDC

2000

Pengukuran

antropometri

berupa

pengukuran

berat badan

dan tinggi

badan

SECA

Mikrotoa

Numerik Ordinal

Pola

Konsumsi

Mie Instan

Mencakup

cara makan,

porsi dan

frekuensi

makan mie

instan

Kuesioner Alat tulis

kantor

Kategorik

dan numerik

Ratio

Page 19: Metlit-Krngka Konsep Baru2

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan case

control. Pendekatan case control ini dilakukan untuk menggambarkan secara objektif pola

konsumsi mie instan terkait dengan kejadian obesitas di SDN X DKI Jakarta.

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SD N X DKI Jakarta. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan

Desember 2011.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi SD N X DKI Jakarta, yang

berjumlah 240 anak.

4.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian siswa-siswi SD N X DKI Jakarta yang diambil

dengan menggunakan metode acak stratifikasi (stratified random sampling).

4.3.3 Besar Sampel

Page 20: Metlit-Krngka Konsep Baru2

ftp://ftp.fao.org/codex/ccasia13/as02_05e.pdf

Daftar Jurnal yang dipakai:

Risnaningsih, Rina; Oktia Woro KH. 2008. Konsumsi Serat dan Status Obesitas pada Remaja

Putri. Jurnal KEMAS. 3.2: 189-193.

Mahdiah; Hadi, Hamam; Susetyowati. 2004. Prevalensi Obesitas dan Hubungan Konsumsi

Fast Food dengan Kejadian Obesitas Pada Remaja SLTP Kota dan DesaDi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 1. 2: 80.

Merawati, Desiana; Kinanti, Rias Gesang. 2005. Perilaku Makan Pada Siswa Obesitas. Jurnal

IPTEK OLAHRAGA. 7. 3: 182-192.

Matthews, Vichudal L et all. 2011. The Risk Of Child and Adolescent Overweight is Related

to Types of Food Consumed.Nutritionj. 10.71: 3.

Dehghan, Mahshid et al. Childhood Obesity, Prevalence and Prevention.Nutrition

Journal 2005, 4:24 doi:10.1186/1475-2891-4-24

Nurul, Sari et al. ObesitaspadaAnak

Triwinarto, Agus, dkk.. 2006. Faktor Determinan Perubahan Status Kegemukan Pada Remaja

(Usia 14-18 Tahun) Yang Telah Mengalami Kegemukan Pada Masa Anak-Anak (Usia 9-11

Tahun).

Yussac, Muhammad Artisto Adi, dkk.. 2007. Prevalensi Obesitas pada Anak Usia 4-6 Tahun

dan Hubungannya dengan Asupan Serta Pola Makan. Majalah Kedokteran Indonesia. 57. 2:

47-53.

He, Ka, et al.. 2008. Association of Monosodium Glutamate Intake With Overweight in

Chinese Adults: The INTERMAP Study. Obesity Jurnal. 16. 8: 1875-1880.

Hermanussen, M, et al. 2006. Obesity, Voracity, And Short Stature: The Impact Of

Glutamate On The Regulation Of Appetite. European Journal of Clinical Nutrition. 60: 25–

31.

Page 21: Metlit-Krngka Konsep Baru2

Lastariwati, Badraningsih; Ratnaningsih, Nani. 2006. Hubungan Antara Pengetahuan dan

Konsumsi Makanan dan Minuman Instan dengan Status Gizi Remaja Putri. Berita

Kedokteran Masyarakat. 22. 1: 24-32.

Search Engine&Key word:

http://www.google.com/key word: Jurnal penyebab obesitas, jurnal fast food dan obesitas

http://www.nutritionj.com/key word: obesity, obesity and food, obesity and junk food, obesity

and fast food.

http://www.ajcn.org/key word: obesity, obesity and junk food, obesity and fast food.

Sumber:

Wardlaw, Gordon., Perspective in Nutrition Ed.7, MC Graw Hill, New York; 2007

Barasi, Mary E., Nutrition at a glance, Oxford: Blackwell Publication; 2007; 144 hlm