metlit-krngka konsep baru2
TRANSCRIPT
Hubungan Pola Konsumsi Mie Instan dengan Kejadian Obesitas
Pada Siswa Sekolah Dasar di SD N X DKI Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada saat ini, kondisi gizi masyarakat Indonesia tidak hanya dihadapkan pada masalah
gizi kurang saja, tetapi juga gizi lebih. Sejak tahun 2000, WHO telah mencatat adanya
peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas di sejumlah negara yang mencetuskan
kegemukan dan obesitas sebagai isu kesehatan dan gizi masyarakat yang perlu diperhatikan.
Peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas ini tidak saja terjadi di negara maju tetapi
juga di negara berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi obesitas pada anak usia 6–17
tahun di AS dalam tiga dekade terakhir meningkat dari 7,6–10,8% menjadi 13–14%.
Berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010, pada tahun 2007 presentase anak usia 6-14 tahun
yang mengalami gizi lebih pada laki-laki 9,5% dan perempuan 6,4%, sedangkan pada tahun
2010 presentasenya untuk anak 6-12 tahun sebanyak 10,7% untuk laki-laki dan 7,7% untuk
perempuan. Menurut penelitian Soedibyo et all pada tahun 1998 di DKI Jakarta prevalensi
obesitas untuk anak usia 6-12 tahun adalah sekitar 4%, dan meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia, sedangkan menurut Riskesdas 2010, prevalensi anak usia 6-12 tahun
yang mengalami kegemukan sebesar 12,8%. Adanya peningkatan prevalens kegemukan dan
obesitas di Indonesia tersebut merupakan suatu peringatan bahwa kegemukan dan obesitas
kini telah mengancam masyarakat di Indonesia, khususnya di kota besar (Hadi, 2005).
Obesitas didefinisikan sebagai kelainan atau penyakit yang ditandai dengan
penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan (Irene, 2009). Anak yang mengalami
obesitas akan berisiko terkena obesitas pada usia dewasa dan berpotensi mengalami berbagai
penyebab kesakitan dan kematian, antara lain penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus.
Obesitas pada anak juga dapat mengakibatkan kelainan metabolik, misalnya atherogenesis,
resistensi insulin, gangguan trombogenesis, dan karsinogenesis. Orang yang mempunyai
berat badan 40% lebih berat dari berat badan rata-rata populasi mempunyai risiko kematian 2
kali lebih besar dibandingkan orang dengan berat badan rata-rata (Lew & Garfinkel, 1979).
Obesitas merupakan penyakit dengan etiologi kompleks, yang antara lain berkaitan
dengan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, perubahan pola makan menjadi
makanan cepat saji yang memiliki kandungan kalori dan lemak yang tinggi, waktu yang
dihabiskan untuk makan, waktu pertama kali anak mendapat asupan berupa makanan padat,
kurangnya aktivitas fisik, faktor genetik, hormonal dan lingkungan (Yusacc, dkk., 2007).
Salah satu penyebab obesitas adalah pola makan.
Anak-anak usia sekolah mempunyai kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji,
yang umumnya memiliki energi tinggi karena 45-50%nya berasal dari lemak (Irene, 2009).
Dataconsult (1995) melaporkan bahwa konsumsi mie instan oleh masyarakat Indonesia pada
tahun 1995 sebesar 3.544,5 juta bungkus atau setara dengan 265.838 ton. Pada tahun-tahun
berikutnya konsumsi mie instan meningkat dengan laju sekitar 25%, dan pada awal tahun
2000-an sekarang ini, angka ini diperkirakan terus meningkat dengan laju sekitar 15% per
tahun. Berdasarkan salah satu merk mie instan, dalam 85 gram mie instan mengandung 420
kkal energi dengan jumlah lemak 18 gram, protein 7 gram, karbohidrat 57 gram. Bandingkan
dengan nasi dalam berat yang sama mengandung 148, 75 kkal, 3,4 gram protein, dan 34 gram
karbohidrat (DKBM, 2009). Konsumsi mie instan pada berat yang sama dengan nasi
memiliki kandungan energi lebih besar hampir 3 kali lipat. Jika hal tersebut terus dilakukan
tanpa adanya aktivitas fisik yang seimbang, maka kegemukan tidak lagi terhindarkan.
1.2 Perumusan Masalah
Obesitas pada anak, khususnya usia 6-12 tahun akan terus berlanjut pada saat remaja
dan dewasa jika tidak segera diatasi. Keadaan tersebut akan menimbulkan dampak baru, yaitu
penurunan produktifitas kerja yang merupakan ancaman bagi masyarakat Indonesia.
Obesitas sangat erat kaitannya dengan pola makan, khususnya pola makan yang
berlebihan, baik lemak maupun non lemak. Salah satu pola makan yang dapat berisiko
terkena obesitas adalah kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji, dalam hal ini mie instan.
Pada penelitian ini, peneliti memilih siswa-siswi SD N X di DKI Jakarta sebagai
objek penelitian karena adanya perbedaan antara angka prevalensi obesitas di DKI Jakarta
dengan prevalensi nasional. Menurut Riskesdas 2010, prevalensi obesitas di DKI Jakarta
sebesar 12,8%, angka ini lebih besar dari angka prevalensi nasional, sebesar 9,2%.
Berdasarkan dari pemikiran tersebut maka penulis ingin mengetahui seberapa besar
pengaruh konsumsi mie instan dengan kejadian obesitas lebih pada siswa sekolah dasar di SD
N X.
1.3 Pertanyaan Penelitian:
1. Berapakah besaran prevalensi obesitas siswa-siswi di SD N X DKI Jakarta?
2. Bagaimana pola konsumsi mie instan pada siswa-siswi di SD N X DKI Jakarta?
3. Bagaimana hubungan antara pola konsumsi mie instan dengan kejadian obesitas pada
siswa sekolah dasar di SD X?
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui prevalensi obesitas siswa-siswi di SDN X DKI Jakarta.
2. Mengetahui pola konsumsi mie instan pada siswa-siswi di SDN X DKI Jakarta.
3. Mengetahui hubungan antara pola konsumsi mie instan dengan kejadian obesitas pada
siswa sekolah dasar di SDN X DKI Jakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi Obesitas dan Cara Penentuan Obesitas
Menurut NIDDK (2008)obesitas secara spesifik mengacu pada kelebihan
jumlah lemak tubuh, berbeda dengan kegemukan atau overweight yang mengacu pada
kelebihan berat badan, bukan cuma lemak tetapi juga otot, tulang, dan air. WHO
(2000) menambahkan obesitas sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan
yang dapat mengganggu kesehatan. Wanita masuk dalam kategori obesitas jika lemak
dalam tubuhnya melebihi 25% sedangkan untuk laki-laki lebih dari 20% (Rimbawan
dan Siagian 2004 dalam Nursasanti, dkk., 2010).
Penentuan obesitas dapat dilakukan secara klinis maupun dengan mengukur
akumulasi lemak dalam tubuh. Secara klinis, seseorang yang mengalami obesitas
memiliki ciri-ciri sebagai berikut wajah membulat, pipi tembam, dagu rangkap, leher
relatif pendek, perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat, kedua
tungkai berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan
bergesekan. Pada anak laki-laki, penis tampak kecil karena tersembunyi jaringan
lemak suprapubik.
Penentuan obesitas dengan mengukur akumulasi lemak tubuh dapat dilakukan
dengan mengukur dan menghubungkan berat badan dengan tinggi badan
menggunakan Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT), pengukuran
lemak subkutan dengan mengukur tebal lipatan kulit, serta dengan mengukur rasio
pinggang dan panggul.
Pada umumnya, penentuan obesitas dilakukan dengan mengukur IMT, yaitu
dengan membagi berat badan dalam kg dengan kuadrat tinggi badan dalam meter.
Berikut ini klasifikasi obesitas untuk orang dewasa menurut WHO 1995,2002,2004:
Tabel 1. Klasifikasi Obesitas untuk Orang Dewasa Berdasarkan WHO 1995, 2002, 2004
Klasifikasi IMT
BeratBadanKurang <18.50
Parah <16.00
Sedang 16.00 - 16.99
Ringan 17.00 - 18.49
Normal 18.50 - 24.99
Overweight ≥25.00
Pra-obesitas 25.00 - 29.99
Obesitas ≥30.00
Obesitas tingkat I 30.00 - 34.99
Obesitas tingkat II 35.00 - 39.99
Obesitas tingkat III ≥40.00
Sumber: WHO 1995, 2002, 2004
Tabel 2. Klasifikasi IMT Berdasarkan DepKes RI
IMT Kategori
<17 Kekurangan berat badan tingkat berat Kurus
17,0-18,4 Kekurangan berat badan tingkat ringan
18,5-25 Normal Normal
25,1-27,0 Kelebihan berat badan tingkat ringan Gemuk
>27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat
Sumber: Depkes RI 1994 dalam Supariasa, 2001
Rentang IMT untuk anak-anak dan remaja dibuat agar dapar diperhitungkan
perbedaan yang normal dalam lemak tubuh antara laki-laki dan perempuan dan
perbedaan dalam lemak tubuh pada berbagai usia. Status berat badan seorang anak
ditentukan menggunakan presentil usia dan jenis kelamin spesifik untuk IMT yang
berbeda dengan IMT yang digunakan untuk orang dewasa, karena komposisi tubuh
anak-anak bervariasi sesuai usia mereka dan bervariasi antara laki-laki dan
perempuan. Grafik Pertumbuhan yang dikeluarkan CDC (2000) dapat digunakan
untuk menentukan IMT yang sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Untuk anak-anak
dan remaja (usia 2-20 tahun) kegemukan didefinisikan sebagai IMT pada atau di atas
persentil ke-85 dan lebih rendah dari persentil ke-95 untuk anak-anak pada usia yang
sama dan jenis kelamin. Sedangkan obesitas didefinisikan sebagai IMT pada atau di
atas persentil ke-95 untuk anak-anak pada usia yang sama dan jenis kelamin (Barlow
SE and the Expert Committee, 2007 dalam CDC, 2011). Grafik CDC 2000 dapat
dilihat pada grafik di bawah ini:
Grafik 2. Grafik Penentuan IMT Berdasarkan Usia CDC 2000 untuk Anak Perempuan
Usia 2-20 Tahun
Selain menggunakan IMT, perbandingan BB/TB sering digunakan untuk
mengukur obesitas pada anak. Seorang anak dikatakan obesitas jika Z-score BB/TB >
2 SD. Metode IMT memiliki kesesuain yang cukup baik dibanding dengan metode
BB/TB yang telah banyak digunakan (Yussac, dkk., 2007).
2.2 Penyebab Obesitas
Berdasarkan hukum termodinamika, ketidakseimbangan antara asupan energi
dengan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan
dalam bentuk jaringan lemak mengakibatkan obesitas (Heird, 2002 dalam Hidayati, et
al.). Gangguan keseimbangan energi ini disebabkan dua faktor yaitu faktor eksogen
atau nutrisional (obesitas primer) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat
kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik hanya sekitar 10% (Syarif, 2003
dalam Hidayati, et al.).
Obesitas adalah suatu penyakit yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang
diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor
genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, faktor sosial ekonomi
dan nutrisional yaitu perilaku konsumsi makanan dan pemberian makanan padat
terlalu dini pada bayi (Heird, 2002 dalam Hidayati, et al.). Berikut ini faktor – faktor
penyebab obesitas:
Faktor pertama yang mempengaruhi obesitas adalah faktor genetik. Faktor
genetik yang berperanan besar yaitu Parental fatness. Jika kedua orang tua obesitas,
maka 80% anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian
obesitas pada anak menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi
menurun menjadi 14% (Syarif, 2005 dalam Hidayati, et al.). Perubahan lingkungan
nutrisi intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama
kerentanan terhadap pemrograman janin bersama-sama dengan pengaruh diet dan
stress lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit dikemudian
hari menurut hipotesis Barker. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas
melalui efek pada resting metabolic rate,thermogenesis non exercise, kecepatan
oksidasi lipid dan kemampuan mengontrol nafsu makan yang buruk.6,7 Dengan
demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedangkan ekspresi
fenotipe ditentukan lingkungan (Newnham, 2002 dalam Hidayati, et al.).
Selain itu faktor yang mempengaruhi obesitas adalah pola makan. Pola makan
merupakan faktor nutrisi yang dimulai sejak dalam kandungan dimana berat badan
ibu mempengaruhi jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi. Kenaikan angka berat
badan dan lemak pada anak dipengaruhi oleh : waktu pertama kali anak konsumsi
makanan padat, konsumsi tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak (Syarif, 2003
dalam Hidayati, et al.) serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung
energi tinggi (Heird, 2002 dalam Hidayati, et al.).
Peran diet terhadap terjadinya obesitas sangat besar, terutama diet diet tinggi
kalori yang berasal dari karbohidrat dan lemak. Penelitian di Amerika dan Finlandia
menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan rendah lemak memiliki risiko
peningkatan berat badan lebih rendah daripada kelompok dengan asupan tinggi
lemak. Penelitian lain menunjukkan peningkatan asupan daging akan meningkatkan
risiko obesitas sebesar 1,46 kali (Fukuda, et al., 2001 dalam Hidayati, et al.).
Peningkatan risiko obesitas ini disebabkan karena makanan yang mengandung lemak
mempunyai energi density lebih besar dan kurang mengenyangkan serta mempunyai
efek termogenesis yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung
protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga memiliki rasa yang lezat sehingga
akan meningkatkan selera makan seseorang yang akhirnya terjadi konsumsi yang
berlebihan (Kopelman, 2000 dalam Hidayati, et al.).
Keseimbangan energi dipengaruhi oleh kapasitas penyimpanan makronutrien.
Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai energi tubuh dalam jumlah
terbatas dan metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila asupan
protein berlebihan maka akan di oksidasi; sedangkan karbohidrat memiliki kapasitas
penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Asupan dan oksidasi
karbohidrat di regulasi sangat ketat dan cepat, sehingga perubahan oksidasi
karbohidrat mengakibatkan perubahan asupan karbohidrat. Bila cadangan lemak
tubuh rendah dan intake karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dari
karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak. Kapasitas penyimpanan
lemak dalam tubuh jumlahnya tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi
peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam
jaringan lemak (WHO, 2000 dalam Hidayati).Selain asupan lemak dan karbohidrat,
rendahnya konsumsi makanan yang mengandung serat, seperti sayuran juga
berpengaruh pada kejadian obesitas. Hal ini sesuai dengan penelitian Matthews
(2011) yang menyatakan bahwa asupan sayuran dapat mencegah risiko overweight.
Kebiasaan lain yang berpengaruh pada kejadian obesitas adalah mengonsumsi
makanan camilan. Berdasarkan jurnal Merawati dan Kinanti (2005), dihasilkan
kesimpulan bahwa praremaja obesitas juga memiliki kebiasaan jajan dan ngemil.
Kebiasaan tersebut dilakukan bersama teman dan orang tua baik di rumah maupun di
luar rumah seperti di sekolah serta tempat bermain.
Hal lain yang mempengaruhi obesitas adalah aktivitas fisik. Aktifitas fisik
merupakan komponen utama dari energi expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total
pengeluaran energi. Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Seseorang dengan
aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg
(Kopelman, 2000 dalam Hidayati). Penelitian yang dilakukan di Jepang oleh Fukuda,
et al. (2001) dalam Hidayati et.al. menunjukkan bahwa risiko obesitas yang rendah
terdapat pada kelompok yang memiliki kebiasaan olah raga, sedangkan penelitian di
Amerika menunjukkan penurunan berat badan dengan olah raga seperti jogging,
aerobik, namun untuk olah raga tim dan tenis tidak menunjukkan penurunan berat
badan yang signifikan.
Penelitian yang dilakukan terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi
yang sama menunjukkan bahwa mereka yang suka menonton TV selama 5 jam
perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang
suka menonton TV selama 2 jam setiap harinya (Kopelman, 2000 dalam Hidayati, et
al.). Sejumlah penelitian juga menemukan bahwa perilaku kurang aktivitas fisik
seperti menonton televisi dan bermain game komputer terkait dengan peningkatan
prevalensi obesitas (Swinburn, 2002 dalam Dehghan, et al., 2005). Banyak orang tua
melaporkan bahwa mereka lebih suka memiliki anak-anak mereka menonton televisi
di rumah daripada bermain di luar tanpa pengawasan karena orangtua mampu
menyelesaikan tugas mereka sambil memerhatikan anak-anak mereka (Gordon, 2004
dalam Dehghan, et al., 2005). Selain itu, tingkat partisipasi yang rendah dalam
olahraga dan pendidikan jasmani (Swinburn B, 2002 dalam Dehghan, et al., 2005),
juga terkait dengan peningkatan prevalensi obesitas.
Faktor ekonomi juga merupakan faktor penyebab obesitas. Biasanya, semakin
tinggi status ekonomi seseorang maka semakin tinggi daya beli dan semakin tinggi
tingkat mutu makanan untuk keluarganya. Kecenderungan boros dan konsumsi
berlebihan biasanya terjadi pada golongan ekonomi menengah ke atas yang
menhgakibatkan berat badan terus bertambah. Kelebihan gizi sering ditemukan
sebagai penyebab beberapa penyakit (Suhardjo,1989 yang dikutip oleh Hilma, 2004).
Penyebab obesitas juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan pengetahuan
gizi ibu. Cara pemilihan bahan pangan untuk dikonsumsi dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan. Semakin tinggi pendidikan orang tua, dalam pemilihan kualitas dan
kuantitas cenderung semakin baik (Masyitah, 1999 yang dikutip oleh Hilma, 2004).
Walaupun pendapatan orang tua berlebih, namun tidak memiliki pengetahuan
tentang makanan yang bergizi biasanya hanya memilih makanan yang lezat maka
pertumbuhan dan perkembangan tubuh, kesehatan dan produktivitas kerja akan
mengalami gangguan karena ketidak seimbangan zat gizi yang diasup (Marsetyo yang
dikutip oleh Hilma, 2004).
2.3 Dampak Obesitas
Obesitas merupakan salah satu penyebab yang dapat menurunkan kualitas
sumberdaya manusia di masa mendatang. Hal ini karena anak yang mengalami
obesitas memiliki kecenderungan tetap mengalami obesitas pada saat remaja dan
dewasa (Triwinarto, dkk, 2006). WHO menyebutkan ada 17 penyakit penyerta yang
dapat timbul pada kasus obesitas (Tjokroprawiro, 2002). Obesitas merupakan
prediktor dari beberapa penyakit degeneratif diantaranya penyakit diabetes melitus
tipe I, hiperlepidemia, hipertensi (Hanah, 2002), terjadinya kanker dan gangguan
sendi, (Arbai, 2000), radang sendi, asam urat, (Tjokroprawiro, 2002). Pada wanita
beresiko terhadap ganguan mentruasi dan meningkatnya prevalensi kanker yang
sensitif terhadap hormon wanita (Obesity, 1994). Menurut Tjokroprawiro (2002)
ketidakpekaan hormon insulin pada wanita obesitas dapat menurunkan kesuburan,
sehingga mudah terjadi keguguran. Osski, (1995) dalam kesimpulannya menyatakan
bahwa sebagaian besar prevalensi penyakit pada masyarakat di USA bersumber dari
obesitas. Kerentanan penyakit pada obesitas disebabkan oleh karena sel-sel lemak
tidak hanya penyimpan energi tetapi juga berperan sebagai organ endokrin yang aktif.
Sampai saat ini terdapat 14 hormon dan memiliki sifat bervariasi, diantaranya adalah
estrogen dan adiponektin yang melindungi darah arteri, terdapat juga TNF alfa yang
dapat menyebabkan hormon insulin tidak peka, sehingga beberapa penyakit
mengancam penderita obesitas (Tjokroprawiro, 2002).
2.4 Fast Food dan Junk Food
Junk food adalah makanan yang memiliki sedikit kandungan gizi, contohnya
makanan mengandung energi, tetapi kandungan gizi lainnya sedikit atau tidak
lengkap. Selain itu, junk food juga didefinisikan sebagai makanan yang sebetulnya
kandungan gizi cukup tetapi mengandung zat-zat yang tidak sehat jika dikonsumsi
terus-menerus (Anna, 2011 dalam http://health.kompas.com/ ). Di dalam makanan-
makanan tersebut terkandung karbohidrat, protein, lemak, dan sebagainya, tetapi jika
dikonsumsi setiap hari akan menjadi tidak sehat. Sebagai contoh, junk food yang
mengandung lemak tidak baik atau lemak jenuh (saturated fat), mengandung terlalu
banyak garam, atau selalu disertai banyak gula jika dikonsumsi terus menerus akan
menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan tubuh. Makanan cepat saji atau fast food
termasuk dalam junk food.
Makanan cepat saji atau fast food adalah makanan yang dapat disiapkan dan
dikonsumsi dalam waktu yang singkat (Bertram, 1975). Makanan siap saji atau fast
food umumnya mempunyai kandungan protein tinggi, tetapi miskin serat (Gunawan,
2001). Selain itu, Khomsan (2004) dalam Risnaningsih (2008) menyatakan bahwa
fast food umumnya mengandung kalori, kadar lemak, gula dan sodium (Na) yang
tinggi, tetapi rendah serat kasar, vitamin A, asam askorbat, kalsium dan folat.
Peningkatan konsumsi fast food merupakan salah satu masalah karena obesitas
meningkat pada masyarakat yang lebih memilih mencari makanan cepat saji di luar
dan tidak mempunyai waktu untuk menyiapkan makanan di rumah (WHO, 2000).
Kandungan fast food yang miskin serat dan banyak mengandung kadar lemak
tersebut dapat menimbulkan risiko obesitas jika dikonsumsi secara terus-menerus.
Menurut Mahdiah (2004), fast food terdiri dari fast food western dan lokal.
Berdasarkan hasil penelitiannya tersebut, Western fast food yang banyak dikonsumsi
siswa SLTP kota di Yogyakarta yaitu ayam goreng (fried chicken), pizza, hamburger,
sandwich, french fries, dunkin donat, chickenkatzu, ice cream, milk shake, dan soft
drinks, sedangkan western fast food yang banyak dikonsumsi SLTP desa di
Yogyakarta yaitu ayam goreng, ice cream dan soft drinks. Fast food lokal yang sering
dikonsumsi remaja SLTP kota dan desa di Yogyakarta yaitu bakso, mi ayam, mi
goreng, nasi goreng, batagor soto, sate, martabak, chiki, wafer, dll. Mahdiah (2004)
juga mengemukanan bahwa konsumsi western fast food = 4 kali/bulan cenderung
menyebabkan terjadinya obesitas remaja SLTP kota 4,11 kali lebihtinggi
dibandingkan konsumsi < 4 kali, sedangkanpada remaja SLTP desa 3,61 kali di
daerah Yogyakarta. Konsumsi fast food lokal = 71 kali/bulan pada remaja SLTP
kotacenderung menyebabkan terjadinya obesitas sebesar 4,64 kali dibandingkan
mengkonsumsi <71 kali/bulan, sedangkan pada remaja SLTP desa sebesar 2,97 kali.
2.5 Mie Instan dan Obesitas
Beragam jenis mie telah dikenal masyarakat, namun mie instan merupakan
ragam mie yang paling popular. Dataconsult (1995) melaporkan bahwa konsumsi mie
instan oleh masyarakat Indonesia pada tahun 1995 sebesar 3.544,5 juta bungkus atau
setara dengan 265.838 ton. Pada tahun-tahun berikutnya konsumsi mie instan
meningkat dengan laju sekitar 25%, dan pada awal tahun 2000-an sekarang ini, angka
ini diperkirakan terus meningkat dengan laju sekitar 15% per tahun. Dalam Standar
Nasional Indonesia (SNI) No. 3551-1994, mie instan didefinisikan sebagai produk
makanan kering yang dibuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan
makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, berbentuk khas mie dan
siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4
menit, sedangkan Wahyudi (2010) mengemukakan bahwa mie instan adalah pangan
alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti nasi, tetapi bukan makanan utama.
Mie instan merupakan salah satu jenis fast food yang sering dikonsumsi.
Faktor yang mempengaruhi konsumsi mie instan antara lain adalah pengetahuan,
alasan mengkonsumsi seperti kepraktisan, kemudahan, dan harga yang terjangkau,
serta serta informasi media mengernai mie instan seperti iklan di media cetak, televisi
dan radio (Lastariwti dan Ratnaningsih, 2006). Berdasarkan Risnaningsih (2008), fast
food yang biasanya dikonsumsi oleh remaja putri di SMP Negeri 1 Comal Pemalang
sangat beragam seperti fried chicken, mie bakso, siomai, mie instan, mie goreng, mie
ayam, soto, gulai, donat, soft drink dan es krim, dimana mie instan mendapatkan
persentase tertinggi kedua yakni sebesar 96%. Berdasarkan hasil jurnal tersebut pula,
dinyatakan bahwa adanya hubungan positif antara konsumsi fast food dengan kejadian
obesitas.
Energi yang dihasilkan dari satu takaran saji mie instan dengan berat 80 gram
dapat mencapai 400 kkal. Jumlah energi tersebut dapat memenuhi sekitar 20% dari
total kebutuhan energi harian (2000 kkal). Jika dibandingkan dengan nasi dengan
berat yang sama maka energi yang dihasilkan oleh mie instan dapat mencapai hampir
3 kali lipat dari energi yang dihasilkan oleh nasi. Hampir setengah dari energi yang
dihasilkan oleh mie instan yaitu sekitar 170-200 kkal berasal dari minyak yang
terkandung dalam mie instan. Kandungan minyak tersebut didapatkan dari proses
penggorengan mie untuk mendapatkan mie instan yang kering. Kandungan minyak
dalam mie instan tersebut dapat mencapai 30% dari bobot kering. Energinya yang
tinggi dan kandungan minyaknya yang banyak dapat meningkatkan obesitas.
Efek lapar yang ditimbulkan oleh mie instan cenderung lebih cepat apabila
dibandingkan dengan nasi. Hal ini dikarenakan karbohidrat yang terkandung di dalam
mie instan merupakan karbohidrat sederhana. Karbohidrat sederhana mudah diserap
oleh tubuh sehingga efek rasa kenyangnya lebih cepat. Sedangkan karbohidrat yang
terkandung dalam nasi merupakan karbohidrat kompleks yang penyerapannya
memakan waktu yang lebih lama sehingga lebih lama juga efek rasa kenyangnya.
Karena efek laparnya yang cepat maka orang akan cenderung untuk makan lagi.
Mie instan mengandung karbohidrat sederhana dan minyak yang cukup tinggi
namun tidak diimbangi dengan kandungan serat yang tinggi juga bahkan kandungan
seratnya cenderung sangat sedikit. Hal ini dapat meningkatkan penimbunan lemak
dalam tubuh sehingga dapat meningkatkan berat badan.
Mie instan juga mengandung MSG (Mono Sodium Glutamat). MSG
merupakan bahan tambahan makanan yang digunakan sebagai penyedap untuk
meningkatkan selera makan (U.S. Food and Drug Administration, 2008 dalam
Paracchini, et al., 2005). MSG dapat mempengaruhi hormon Leptin. Hormon Leptin
merupakan protein yang dihasilkan oleh gen leptin (LEP) . Hormon ini dihasilkan
oleh jaringan adiposa yang memiliki fungsi untuk menghambat asupan makanan dan
merangsang pengeluaran energi (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/ dalam
Paracchini, et al., 2005). Leptin diproduksi oleh jaringan adiposa atau jaringan lemak.
Seletah diproduksi, leptin yang dihasilkan jaringan adiposa akan disekresikan ke
dalam aliran darah yang akan menempel pada protein untuk diangkut menuju otak. Di
otak, leptin akan merangsang atau menghambat pelepasan neurotrasmiter yang
membawa rangsangan ke hipotalamus. Rangsangan tersebut yang akan
mempengaruhi hipotalamus untuk mengatur nafsu makan dan pengeluaran energi
(Jequier, 2002 dalam Paracchini, et al., 2005). Konsumsi MSG yang berlebihan dapat
mengganggu kerja neurotrasmiter yang membawa rangsangan dari leptin menuju ke
hipotalamus. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi leptin. Resistensi leptin
dapat mengakibatkan nafsu makan tidak dapat dikontrol. (Hermanussen dan
Tresguerres, 2003 dalam Paracchini, et al., 2005).
Dalam sebuah percobaan terhadap mencit ditemukan bahwa mencit yang
diberikan MSG sebanyak 2,5 g dan 5 g, terjadi perbedaaan jumlah makanan yang
dikonsumsi dengan mencit yang tidak diberikan MSG. Mencit yang diberikan MSG
memakan lebih banyak makanan dibanding yang tidak (Hermanussen, et al.. 2006).
Dari studi tersebut MSG dapat dikaitkan dengan nafsu makan yang meningkat yang
dapat menyebabkan obesitas jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup.
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka konsep
Sumber: Heird, 2002 dalam Hidayati; Barlow SE and the Expert Committee, 2007 dalam CDC, 2011;
Faktor-faktor:
Aktivitas Fisik
Tingkat EkonomiGenetik
Tingkat Pendidikan Orang Tua
Pola Makan:Konsumsi mie instan
Pengeluaran Energi Fisik<<Masukan Energi >>
Simpanan lemak di jaringan adiposa tubuh >>
Lipogenesis >> dan lipolisis <<
ObesitasAnak: ≥ presentil ke 95 grafik CDC 2000
Resiko Komplikasi
PREVALENS
3.2 Hipotesis
1. Prevalensi obesitas siswa-siswi di SDN X DKI Jakarta sebesar ≥ 10%
2. Terdapat perbedaan pola konsumsi mie instan pada siswa-siswi di SDN X DKI
Jakarta.
3. Terdapat hubungan antara pola konsumsi mie instan dengan kejadian obesitas di SDN
X DKI Jakarta.
3.3 Definisi Operasional
Variabel Definisi
Operasional
Cara Alat Hasil Skala
Obesitas
anak
IMT ≥
presentil ke
95 menurut
graafik CDC
2000
Pengukuran
antropometri
berupa
pengukuran
berat badan
dan tinggi
badan
SECA
Mikrotoa
Numerik Ordinal
Pola
Konsumsi
Mie Instan
Mencakup
cara makan,
porsi dan
frekuensi
makan mie
instan
Kuesioner Alat tulis
kantor
Kategorik
dan numerik
Ratio
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan case
control. Pendekatan case control ini dilakukan untuk menggambarkan secara objektif pola
konsumsi mie instan terkait dengan kejadian obesitas di SDN X DKI Jakarta.
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD N X DKI Jakarta. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan
Desember 2011.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi SD N X DKI Jakarta, yang
berjumlah 240 anak.
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian siswa-siswi SD N X DKI Jakarta yang diambil
dengan menggunakan metode acak stratifikasi (stratified random sampling).
4.3.3 Besar Sampel
ftp://ftp.fao.org/codex/ccasia13/as02_05e.pdf
Daftar Jurnal yang dipakai:
Risnaningsih, Rina; Oktia Woro KH. 2008. Konsumsi Serat dan Status Obesitas pada Remaja
Putri. Jurnal KEMAS. 3.2: 189-193.
Mahdiah; Hadi, Hamam; Susetyowati. 2004. Prevalensi Obesitas dan Hubungan Konsumsi
Fast Food dengan Kejadian Obesitas Pada Remaja SLTP Kota dan DesaDi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 1. 2: 80.
Merawati, Desiana; Kinanti, Rias Gesang. 2005. Perilaku Makan Pada Siswa Obesitas. Jurnal
IPTEK OLAHRAGA. 7. 3: 182-192.
Matthews, Vichudal L et all. 2011. The Risk Of Child and Adolescent Overweight is Related
to Types of Food Consumed.Nutritionj. 10.71: 3.
Dehghan, Mahshid et al. Childhood Obesity, Prevalence and Prevention.Nutrition
Journal 2005, 4:24 doi:10.1186/1475-2891-4-24
Nurul, Sari et al. ObesitaspadaAnak
Triwinarto, Agus, dkk.. 2006. Faktor Determinan Perubahan Status Kegemukan Pada Remaja
(Usia 14-18 Tahun) Yang Telah Mengalami Kegemukan Pada Masa Anak-Anak (Usia 9-11
Tahun).
Yussac, Muhammad Artisto Adi, dkk.. 2007. Prevalensi Obesitas pada Anak Usia 4-6 Tahun
dan Hubungannya dengan Asupan Serta Pola Makan. Majalah Kedokteran Indonesia. 57. 2:
47-53.
He, Ka, et al.. 2008. Association of Monosodium Glutamate Intake With Overweight in
Chinese Adults: The INTERMAP Study. Obesity Jurnal. 16. 8: 1875-1880.
Hermanussen, M, et al. 2006. Obesity, Voracity, And Short Stature: The Impact Of
Glutamate On The Regulation Of Appetite. European Journal of Clinical Nutrition. 60: 25–
31.
Lastariwati, Badraningsih; Ratnaningsih, Nani. 2006. Hubungan Antara Pengetahuan dan
Konsumsi Makanan dan Minuman Instan dengan Status Gizi Remaja Putri. Berita
Kedokteran Masyarakat. 22. 1: 24-32.
Search Engine&Key word:
http://www.google.com/key word: Jurnal penyebab obesitas, jurnal fast food dan obesitas
http://www.nutritionj.com/key word: obesity, obesity and food, obesity and junk food, obesity
and fast food.
http://www.ajcn.org/key word: obesity, obesity and junk food, obesity and fast food.
Sumber:
Wardlaw, Gordon., Perspective in Nutrition Ed.7, MC Graw Hill, New York; 2007
Barasi, Mary E., Nutrition at a glance, Oxford: Blackwell Publication; 2007; 144 hlm