mengugat epistemologi ilmu sosial

16

Upload: trisna-nurdiaman

Post on 22-Feb-2017

188 views

Category:

Education


3 download

TRANSCRIPT

MENGGUGAT EPISTEMOLOGI ILMU SOSIAL

”Pelajarilah kebenaran di pagi hari, dan meninggallah dengan bahagia di malam hari.”

Konfusius (551-479 SM)

PENGANTAR

Tulisan ini awalnya merupakan tiga tulisan berseri yang sudah dan akan diterbitkan di Jurnal Kebebasan Akal dan Kehendak dan juga untuk tulisan diskusi di Komunitas Embun Pagi Semarang. Tapi setelah dirasa perlu adanya pengenalan bidang yang relatif lama tapi terlupakan yaitu: praksiologi, maka penulis mencoba mengenalkan atau mengingatkan bagi ahli atau calon ahli ilmu sosial untuk mempelajarinya.

Terimakasih saya ucapkan bagi teman-teman di Komunitas Embun Pagi serta Bung Nad yang telah merangsang proses penulisan ini. Sekian.

Penulis

Tulisan ini mencoba merefleksikan dan bukan untuk menemukan hal-hal baru. Kali ini, kita akan membahas epistemologi ilmu sosial. Setelah tertatih-tatih dalam memahami karya von Mises yang telah diterjemahkan di Jurnal Kebebasan Akal dan Kehendak oleh Bung Nad (Sukasah Syahdan) akhirnya memberikan saya keberanian untuk menulis hal ini.

Selain frustasi memahami arti sifat statistik yang induktif dalam setiap metode kajian ilmu sosial---kalo bisa dibilang aneh. Ini adalah bentuk kekecewaan dan frustasi atas ilmu yang saya pelajari yaitu Ilmu Sosial.

Bertahun-tahun mempelajari ilmu sosial, seolah saya “belum” mendapatkan apa-apa. Setiap jurnal penelitian yang saya baca dari penelitian yang ada, rekomendasi yang dihasilkan semua sama: kurang adanya koordinasi antar lembaga/institusi sosial jadi diharapkan setiap lembaga pemerintah melakukan koordinasi. Setidaknya hasil itu yang sering saya temukan dalam rekomendasi kajian ilmu sosial dalam mencoba memecahkan permasalahan sosial. Tidak ada solusi lain.

Terlepas dari teori-teori besarnya Kuhn, Capra dan lain sebagainya dalam usaha menjelaskan berbagai perkembangan proses ilmu pengetahuan. Dengan kacamata yang sangat sederhana sebenarnya kita dapat melihat ketidaksesuaian antara teori-teori dan “realitas sosial”. Seandainya teman-teman menganggap “seksi” untuk menjadi sosialis ataupun intelektual saya kira itu merupakan mimpi yang wajar.

Hal tersebut diperparah oleh perpecahan dan semakin banyak munculnya spesialisasi bidang kajian ilmu tentang manusia. Dan ketidakseimbangan peran atau penyebarluasan berbagai disiplin ilmu yang sudah saya singgung dalam artkel: Kritik Logika Aristotelian.

Kecenderungan untuk meminati kajian politik, yang sebenarnya sudah saya “sindir” berkali-kali merupakan awal mula dari keresahan intelektual saya pribadi. Lambatnya pemahaman akan kajian ilmu pengetahuan yang lebih dalam, dalam mengkaji manusia secara utuh tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan dalam melihat fenomena manusia kita cenderung menggunakan paradigma, teori, dimensi dari perspektif bacaan kita. Kita tidak pernah benar-benar membuka “perilaku-perilaku dasar” manusia yang sebenarnya setiap hari kita lihat. Kebutaan intelektual ini saya kira disebabkan oleh “ego” terhadap disiplin ilmu kita masing-masing. Namun demikian saya merasa beruntung mendapatkan “media” seperti yang disediakan oleh teman-teman di Komunitas Embun Pagi. Faktor lain, yang saya kira lebih penting, ialah paradigma positivistik yang sudah bertahun-tahun menjangkit pemikir-pemikir sosial. Ketidakpercayaan diri dalam menggunakan kajian deskriptif ataupun analitis non statistik sudah lama tumbuh dalam pikiran para ahli ilmu pengetahuan sosial. Ejekan-ejekan yang sering saya baca di buku Filsafat Ilmu---misal Buku Filsafat Ilmu Populer Karya Jujun Suryasumantri---oleh para pakar saya kira telah memicu penyakit ketidakpercayaan diri tersebut. Ejekan bahwa tanpa matematika ataupun statistik Ilmu Sosial kurang sahih menurut saya sangat tidak beralasan. Logika Ilmu sosial sangat berbeda. Obyek ilmu sosial tidak seperti obyek pengetahuan alam yang cenderung tetap. Obyek ilmu alam tidak memiliki relasi yang dinamis dengan variabel di luarnya. Relasi tersebut cenderung tetap. Berbeda dengan kajian Ilmu Sosial yang mempunyai relasi yang tidak tetap terhadap variabel-variabel di luarnya. Seandainya seorang manusia hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel tetap diluarnya dan tidak berusaha untuk membalikan stimulus yang ada yang barangkali kemudian membalik menanggapinya dengan respon secara timbal balik, saya

kira itu bukan manusia tapi lebih dekat dengan robot. Manusia yang harus menunggu untuk mendapat stimulus untuk dapat bertindak, sekali lagi, saya kira itu bukan manusia. Sependapat dengan Einstein, ketika ditanya mengenai persoalan-persoalan epistemologis ilmu tetang tindakan manusia: Bagaimana mungkin matematika, sebagai produk pikiran manusia yang tidak bergantung pada pengalaman apapun, dapat begitu pas dengan obyek-obyek realitas? Apakah akal manusia mampu menemukan, tanpa bantuan pengalaman, melalui akal semata ciri-ciri benda-benda yang nyata?” dan jawabannya adalah: ”Sejauh teorema-teorema matematika mengacu pada realitas, maka tidaklah pasti, dan sejauh mereka pasti, mereka tidak mengacu pada realitas”. Kecenderungan epistemologis yang muncul baru-baru ini merupakan reaksi ketidakpuasan dari patron metodologi yang ada. Keberanian para ahli antropologi untuk memakai metode grounded research merupakan cikal bakal "pemberontakan tersebut". Walaupun ada sedikit "malu-malu" untuk menggunakannya. Yang masih menyerang akut saat ini, yang barangkali termasuk yang diusung oleh Bung Nad di Jurnal Kebasan A&K, dalam bidang Ilmu Ekonomi. Dan saya memprediksi virus-virus ketidakpuasan terhadap ketidakmampuan Ilmu Ekonomi dalam usaha memprediksi setiap permasalahan ekonomi membawa kita kembali mengakui kesahihan metode yang barangkali dianggap purba, yaitu: praksiologi. Anjloknya bursa saham di Amerika Serikat telah membuat negara-negara di seluruh dunia menjadi "was-was". Berbagai analisis ekonomi yang saya baca masih cenderung dangkal. Padahal permasalahan tersebut sebenarnya hanya membutuhkan solusi sederhana yang telah sering disampaikan orang tua kita yang secara ilmiah bukan "pakar"-nya---setidaknya menurut pakar Ilmu Ekonomi. Atau, solusi tersebut dapat diungkap dari kebijaksanaan-

kebijaksanaan klasik Cina maupun Jawa Kuno. Tidak bermaksud menjadi kiri. Tulisan ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa yang kita yakini dalam epistemologi yang dipakai secara umum oleh ahli ilmu sosial sebenarnya semakin menjauhi kebenaran atau realitas itu sendiri. Dengan kata lain, saya sebenarnya lebih mengiyakan pandangan subyektfivitas nya Thomas Kuhn. Atau yang lebih kontemporer barangkalai Capra. Entitas sosial apabila dianalogikan ibarat sebuah sistem tubuh---dengan logika biologi alih-alih seperti yang sekarang dipakai ialah logika fisika. Atau bila memakai analogi Rothbard seperti jaring laba-laba. Jadi, Seandainya paradigma yang ada sekarang memakai paradigma empiris “obyektif” dengan kacamata ilmu pengetahuan alam. Bukan tidak mungkin, para ahli ilmu sosial yang sekarang “menjabat” atau meneliti dan menulis di jurnal ilmiah telah melakukan sesuatu yang sia-sia dan menghabiskan waktu. Ini berarti suatu generasi yang hilang atau buta terhadap pencerahan ilmu tentang manusia. Saya menyadari konsekuensi mengatakan yang demikian. Apabila benar-benar diterapkan mengenai paradigma yang saya yakini, bukan tidak mungkin, semua struktur kelembagaan yang ada di dunia akademis berubah total. Dan ini, menurut saya, tidak akan mungkin dilakukan karena para akademisi akan lebih mementingkan kepentingannya sendiri atau hak mereka untuk berstatus quo karena terkait dengan profesi, daripada benar-benar melakukan tanggungjawab ilmiah dalam memperjuangkan kebenaran ilmiah yang belum tentu hasilnya. Apalagi ide-ide tersebut hanya dikatakan oleh “anak kecil” seperti kita. Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hayek, bukankah tugas intelektual untuk “memasarkan ide” dan selalu mengingatkan

setiap penyimpangan yang ada di masyarakat. Termasuk dunia akademis. Dan mengenai peran untuk mendebatkannya secara filosofis sudah dilakukan oleh orang-orang yang setidaknya sudah saya sebut dalam tulisan ini. Begitu banyak bukti-bukti mengenai subyektvitas ilmu pengetahuan sosial. Sejarah perjuangan ideologi ataupun sejarah penemuan teori-teori di bidang ilmu alam telah dapat menjadi bukti bagi seringnya ketersesatan perjalanan menegakkan ilmu pengetahuan pada jalurnya. Nasib tragis yang dialami oleh Wegener dalam memperjuangkan teori kontinental drift bisa dijadikan kasus, atau nasib Galileo, Kopernikus, dan begitu banyak teoritikus lainnya yang bernasib sama. Dan dalam bidang ekonomi saya memprediksi pandangan-pandan Ludwig von Mises akan berdengung keras di dunia akademik ekonomi setelah penyia-nyian masyarakat akademis yang tidak lepas dari pengaruh ideologi politik yang bermain sekarang ini. Akan tetapi, saya yakin kebenaran akan berbicara dengan sendirinya entah suatu saat nanti. Namun demikian, sebuah fakta sejarah kurang lengkap apabila dipergunakan sebagai bukti ilmiah. Bukti yang ada di depan mata, ialah mandulnya peran ilmuwan sosial di masyarakat umum. Bahkan seringkali orang-orang yang memiliki pengaruh ilmiah dalam ilmu sosial biasanya orang-orang “terpinggirkan” dalam dunia akademiknya. Bukankah ini merupakan bukti kecil dari fenomena tersebut. Contoh lain barangkali bisa dilihat dari produktivitas karya-karya sosial. Dari pengalaman saya sebagai pembaca, pandangan-pandangan sosial malah sering muncul dari mulut-mulut yang bukan ahlinya. Semisal yang sering menjadi kasus di Indonesia ialah profesi wartawan, sastrawan, peneliti lepas, pebisnis dan lain sebagainya. Sebagai tambahan, hasrat untuk menyerukan kebenaran ilmiah sebenarnya sudah menjadi bawaan bagi setiap manusia yang

berfikir. Dan apabila ada yang sebagian atau bahkan kebanyakan diam itu disebabkan keberadaan mereka di struktur internal organisasi yang menerapkan paradigma yang ada. Toh apabila orang-orang yang “berfikir” tersebut mengetahui, mereka akan memilih diam daripada untuk memilih melakukan “keributan” yang barangkali akan dicap “berisik” dan membikin onar. Barangkali dalam bentuk ekstrim dituduh mencari popularitas. Analisa lain yang saya tuduhkan kalau bisa dikatakan gugatan terkait keberadaan bangsa Indonesia yang dalam “kelahirannya” “berbarengan” atau bisa dikatakan “disebabkan” oleh pertarungan ideologi-ideologi besar. Pengaruh sosialisme dari tahun 1945-1965 dan selanjutnya pengaruh liberalisme ala anglo saxon dari tahun 1966 sampai sekarang masih menjadi landasan “darimana” gagasan itu seharusnya muncul sehingga bisa dikatakan sahih. Apakah kesahihan sebuah ilmu hanya didasarkan pada latar belakang geografis, budaya, peradaban atau apapun itu? Saya kira pandangan tersebut menandakan kesempitan befikir. Sebuah paradigma seharusnya bisa diterima apabila dia dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada, dalam hal ini permasalahan sosial. Dan sekarang kita malah menjauhi dari idealisme tersebut. Hal-hal di atas sebenarnya merupakan idealisme dari seorang yang frustasi. Lebih parahnya, bila melihat seretnya penerbitan berkala di dunia akademik, bisa dikatakan dunia akademik kita sebenarnya telah mati suri. Dari kasus yang sekarang saya temui, penerbitan-penerbitan jurnal malah lebih banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang secara akademik berada di luarnya. Mereka sebagian berdiri disebabkan oleh berbagai motif. Namun, tanpa menyelidiki motif tersebut, seharusnya kita patut mengapresiasinya dengan pikiran terbuka. Beberapa kasus tersebut, seharusnya menjadi refleksi semua pihak, termasuk intelektual, bahwa tanggungjawab ilmiah sebenarnya dapat diperankan oleh berbagai macam profesi, dan

tidak harus sebagai filsuf yang seringkali dimimpikan oleh para intelektual jika hanya ingin meninggikan strata ilmiahnya. Dari fakta tersebut, begitu sangat jelas, sehingga mempengaruhi keyakinan saya pribadi untuk mengambil posisi, walaupun harus tertatih-tatih dengan cara berputar-putar berpindah profesi, hanya sekedar mencari dan terus mencari apa yang seharusnya dan patut diperjuangkan. Selain ketersesatan penggunaan paradigma, kita juga telah kurang sesuai dalam menggunakan alur berfikir logis dalam upaya menelaah sumber permasalahan ilmu sosial. Cerita singkat mengenai perjalanan panjang diakuinya teori continental drift barangkali bisa dijadikan inspirasi. Dari perspektif kesejarahan ilmu alam, saat Alfred Lothar Wegener menemukan teori continental drift, mula-mula dia hanya sekilas melihat gambaran peta Amerika Selatan dengan garis pantai barat Afrika yang begitu identik, Wegener membayangkan bahwa kedua benua tersebut pernah menyatu. Baru kemudian dia mengumpulkan detail-detail penemuan yang ada untuk mendukung teorinya. Padahal, penelitian geologis telah lama dilakukan oleh para geolog yang hanya mefokuskan detail-detail geologi tanpa membayangkan gambaran muka bumi secara keseluruhan. Akhirnya argumen Wegener mendapat bantahan tanpa pengujian terlebih dahulu dari para ahli geologi yang merasa paling tahu pada bidang tersebut. Namun demikian, Wegener bersikap acuh dan menikmati bidangnya dalam Klimatologi. Hingga 60 tahun kemudian kebenaran ilmiah terungkap dan bukti-bukti yang mengarah bahwa benua itu bergerak semakin banyak.

Barangkali sejarah tersebut bisa terulang dengan cerita terbalik. Para ahli ilmu sosial, termasuk para ekonom, selama ini telah terlalu menyederhanakan dan terlalu menjeneralisasikan manusia melalui sederet angka-angka. Sekumpulan data administrasi yang belum tentu kesahihannya telah menjadi agregat-agregat yang dianggap mewakili manusia. Tanpa menyelidiki pada tingkat mikro apa yang sebenarnya dilakukan manusia, apa alasan mereka melakukan sesuatu, bagaimana mereka bertindak untuk mencapai tujuan tersebut, belum diselidiki sama sekali. Sehingga, hanya orang-orang jalanan atau praktisi yang mengetahui dengan jelas tapi kurang mampu menyatakannya secara argumentatif tertulis ataupun mendasarkan pada teori yang sahih untuk menjelaskan permasalahan yang dihadapinya. Sebagai contoh, petani sering mendapati nilai harga beras mereka dibandingkan dengan barang kebutuhan konsumsi yang lain sangat rendah, apabila sekarang harga beras ditingkat dasar mencapai Rp. 4000,- bisa jadi harga di tingkat konsumen mencapai Rp. 5.000,-. Walaupun begitu, dalam mekanisme pasar hal tersebut dapat diterima karena jalur distribusi yang terlalu panjang. Namun, yang lebih memprihatinkan, dengan harga dasar Rp. 4000,- seandainya dibandingkan dengan harga komoditas lain serta ditambah faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam pertanian yang harganya terus naik, maka nilai beras dengan nominal yang demikian sangat tidak menjadi berarti. Akibatnya, dalam istilah ekonomi yang lebih keren, akan terjadi defisit anggaran yang dialami petani. Tindakan yang sering ditempuh petani, bapak saya biasanya, dengan menyewakan salah satu sawahnya untuk menyokong biaya produksi pada tiap awal musim tanam. Dan hal tersebut terus berlarut-larut sehingga para petani tidak pernah mengalami keuntungan sama sekali disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya inflasif. Belum lagi biaya-biaya keluarga seperti pendidikan, listrik, pajak dan lain sebagainya.

Permasalahan tindakan-tindakan manusia berdasarkan pilihan-pilihan yang demikian sulit apakah ilmuwan sosial atau ahli ekonomi mengetahuinya? Saya masih ragu hal demikian diketahui oleh ilmuwan yang duduk manis di mimbar akademik yang sangat terhormat. Dan apakah data-data yang dianggap subyektif tersebut bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengambil kebijakan? Paling-paling yang digencarkan malah iklan pembayaran pajak agar tepat waktu!. Suatu paradoks yang sering terjadi di kehidupan realitas. Fenomena-fenomena pemiskinan secara sistematis tersebut sering dianggap hal yang remeh temeh. Bahwa permasalahan sosial yang demikian, dianggap terjadi secara kasuistik dan parsial. Bukti yang bisa dianggap sahih ialah pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui angka-angka. Dengan demikian laporan pertanggungjawaban pemerintahan dapat diterima oleh rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif melalui “data-data” yang telah dianalisis oleh kementrian ekonomi. Dan sandiwara tersebut diulang berkali-kali tiap lima tahun sekali. Memang tidak mudah menerapkan paradigma individualisme metodis dalam epistemologis ilmu sosial. Mises telah memperingatkan:

Meyakini bahwa keseluruhan kolektif itu dapat divisualisasikan adalah suatu ilusi. Keseleruhan kolektif tidak pernah dapat dilihat; kognisinya selalu merupakan hasil dari pemahaman atas makna yang diberikan manusia pada tindakannya. Kita memang dapat melihat keramaian, misalnya kerumunan manusia. Apakah kerumunan itu hanya sekedar pertemuan ataukah sebuah badan teorganisasi atau jenis lain dari entitas sosial merupakan sebuah pertanyaan yang hanya dapat dijawab

oleh pemahaman akan makna mereka berikan bagi keberadaan tersebut. Dan makna ini selalu merupakan makna dari individunya. Bukankah indera kita, melainkan pemahaman kita, sebagai sebuah proses mental, yang membuat kita memahami entitas sosial.

Mises menambahkan: Siapa saja yang bermaksud memulai kajian tentang tindakan manusia dari unit-unit kolektif akan mendapati rintangan tak terperi berupa kenyataan bahwa setiap individu pada saat yang sama juga dapat merupakan bagian nyata dari beragam entitas kolektif. Persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh mulitiplisitas unit-unit sosial yang berkoeksistensi dan antagonisme-antagonisme mutual mereka dapat diatasi hanya melalui individualisme metodologi.

Singkat kata, sekarang kita tidak hanya melakukan kesalahan terbesar abad ini, namun dengan sengaja, kita masyarakat ilmiah, telah membodohi masyarakat umum yang seharusnya tercerahkan oleh keberadaan ilmu pengetahuan. Salah satu dosen pernah mengatakan dengan enteng; “bahwa abad dua puluh ialah abad kuantitatif”. Namun dalam hati saya mengatakan “abad dua puluh ialah abad kegelapan”. Memang sangat mudah melupakan sebuah kesalahan yang tidak merugikan diri sendiri!

Epilog Saat mengetahui fakta yang demikian, terasa sulit menerima bahwa yang selama ini kita lakukan sia-sia. Namun setidaknya tumbuhnya kesadaran lebih awal akan menjadikannya lebih baik. Walaupun mengetahui bahwa kita keliru dalam melakukan permulaan, setidaknya yang penting, ahli ilmu sosial termasuk ekonomi, sudah melakukan sesuatu dengan niat yang tulus. Harapan dari penulisan ini bukan bermaksud meniadakan arti penting ilmu sosial maupun ekonomi, tapi lebih pada pencarian dalam upaya kita mendekatkan pada kebenaran. Sehinga ilmu sosial menjadi lebih bermanfaat bagi kehidupan riil yang dapat membentuk kesadaran bagi umat manusia. Dari ulasan di atas, suatu keharusan bagi ahli ilmu sosial untuk dapat memulai berusaha mengetahui dan menyelidiki tatanan sosial yang ada sesuai apa adanya, melalui penelitian-penelitian selanjutnya yang dilakukan peneliti atau penulis lain. Sehingga dapat mendiagnosis permasalahan-permasalahan sosial dengan kacamata yang tepat. Dengan demikian sedikit demi sedikit kita dapat mengetahui serta memanfaatkan modal sosial yang selama ini belum terurai jelas agar dapat digunakan sebagai fondasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Sekian terima kasih (Giy).

Catatan-Catatan Tulisan ini berdasar serta bersumber pada beberapa tulisan dan buku mengenai epistemologi (metode ilmiah) yang tercecer serta observasi kritis bagi bidang yang telah saya tekuni. Namun yang sangat berpengaruh ialah karya Ludwig von Mises dengan judul; Persoalan-Persoalan Epistemologis dalam Ilmu-Ilmu yang Mengkaji Tindakan Manusia yang telah diterjemahkan oleh Bung Nad (Sukasah Syahdan). Untuk mendapatkan buku acuan dari tulisan ini dapat diunduh secara gratis di situs: www.akaldankehendak.wordpress.com. Arikel ini juga dapat dibaca di: www.komunitasembunpagi.blogspot.com