1 pendahuluan a. 1. kosmologi, epistemologi, filsafat...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Filsafat manusia adalah bagian integral dari sistem filsafat yang secara
spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Filsafat manusia itu sendiri
merupakan bagian (cabang) dari sistem filsafat, yang secara metodis memiliki
kedudukan yang setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika,
kosmologi, epistemologi, filsafat sosial, dan estetika, bahkan bila di bandingkan
dengan ilmu-ilmu tentang manusia, seperti (antropologi dan psikologi). Tetapi
secara ontologis filsafat manusia memiliki kedudukan yang lebih penting. Karena
kajian dari semua cabang filsafat dan ilmu-ilmu tentang manusia tersebut adalah
manusia yang secara spesifik menjadi objek kajian filsafat manusia (Bakker dan
Zubair, 1990: 21).
Objek material filsafat manusia adalah “gejala” atau “ekspresi” manusia,
sama seperti ilmu-ilmu tentang manusia yang lain (Rapar, 1996: 103). Filsafat
manusia menggunakan metode sintesis dan reflektif, mempunyai ciri-ciri,
eksistensi, intensif, dan kritis. Penggunaan metode sintesis pada filsafat manusia
yaitu, mensintesiskan pengalaman dan pengetahuan ke dalam satu visi. Metode
refleksi merupakan metode yang tidak bisa dipisahkan dari filsafat, termasuk
1
2
filsafat manusia. Refleksi yang dimaksud adalah menunjuk pada dua hal, yaitu;
Pertama, pada pertanyaan esensi suatu hal. Kedua, pada proses pemahaman diri
(self-understanding) berdasarkan pada totalitas gejala dan kejadian manusia yang
sedang direnungkannya.
Filsafat manusia dalam perkembangannya terbagi menjadi tujuh aliran
dengan perincian yaitu, dua dari di antaranya adalah aliran tertua sekaligus
terbesar. Adapun aliran yang selain dua aliran tersebut merupakan aliran yang
menjadi reaksi atas dua aliran sebelumnya. Dua aliran tertua dan terbesar dalam
filsafat adalah aliran idelisme dan materialisme. Adapun aliran idealime
merupakan kebalikan dari materialisme, yang mana dalam aliran ini kenyataan
sejati adalah bersifat spiritual, sedangkan esensi kenyataan dari sepritual itu
sendiri adalah berpikir (res-cogitans). Ciri utama aliran ini keyakinan tentang
adanya kekuatan spiritual (roh absolut). Beberapa ilmu yang menganut paham
idealisme (spiritualisme) antara lain: teologi (tauhid), sufisme, seminari,
budhisme (jika berasumsi bahwa semua berawal dari kekuatan roh absolut) atau
sering disebut sebagai Tuhan. Tokoh-tokoh idealisme diantaranya Plato, Hegel,
Leibnitz, Aristoteles, Descartes, Kant, Goethe, Agustinus (Bertens, 1975: 76).
Materialisme adalah paham atau aliran dalam filsafat manusia yang
meyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk manusia adalah bersifat material
atau fisik. ciri utamanya adalah bahwa ia menempati ruang dan waktu, memiliki
keluasan (re extensa), dan bersifat objektif. Dalam aliran ini disebut juga
3
naturalisme karena kata materi diganti dengan natura (alam) atau organisme. Ciri
utamanya adalah menolak adanya kekuatan yang bersifat spiritual. Tokoh utama
dalam aliran ini antara lain Anaximenes (585-528), Anaximandros (610-545 SM)
Thales (625-545 SM), Demokritos (± 460-545 SM), Thomas Hobbes (1588-
1679) dan lain-lain (Bertens, 1975: 76).
Thomas Hobbes (1588-1679) termasuk filsuf yang mengatakan bahwa
semua manusia itu memiliki sifat yang sama dalam keadaan alamiahnya (state of
nature). Dengan kata lain, manusia dalam keadaan alamiah ingin
mempertahankan kebebasannya dengan cara berkompetisi yang bertujuan
memaksimalisasi kebahagiaan dan meminimalisasi penderitaan diri dalam
kehidupan. Karena itulah, manusia dipandang sebagai homo homini lupus yaitu
naluri manusia itu bagaikan serigala untuk selalu ingin mempertahankan dirinya
sendiri, bersaing, dan saling membinasakan sesamanya. Konflik dan pertikaian
antar sesama akan muncul manakala manusia mengikuti nalurinya tersebut. Untuk
menciptakan kehidupan yang aman dari konflik dan pertikaian tersebut, maka
manusia harus mengikuti akal sehat yaitu melepaskan hak untuk bebas berbuat
sekehendak sendiri dengan bersatu melalui perjanjian sosial yang diserahkan pada
satu penguasa (Leviathan) (Appadorai, 2005: 24).
Konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam perkembangannya merupakan
implementasi nyata dari konsep hak alamiah dalam pemikiran Thomas Hobbes
yaitu hak alamiah merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang
4
disebutnya “homo homini lupus, bellum omnium contra omnes”. Keadaan
demikian dalam diri manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda
kuno yang disebut “Leviathan”. Keadaan seperti itulah yang bagi Hobbes
manusia dengan akal sehatnya mendorong untuk membuat perjanjian masyarakat
(contract social) dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa.
Bertitik dari sinilah, pandangan Hobbes ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai
teori awal yang mengarah pengembangan konsep HAM dalam suatu Negara yang
memiliki wewenang untuk mengatur hak-hak individu.
Hobbes dalam filsafatnya memandang manusia adalah pusat persoalan
sosial dan politik. Hobbes dalam hal ini memberikan sumbangan berarti dalam
usaha memahami manusia. Dengan kata lain, manusia menurut Hobbes tidak bisa
didekati dengan pendekatan normatif religius, karena pendekatan seperti ini
semakin menjauhkan dari realitas sosial yang sebenarnya. Cara terbaik mendekati
manusia adalah dengan melihat manusia sebagai “alat mekanis” dan
memahaminya dari pendekatan matematis-geometris. Hal ini mendorong Hobbes
menerima materialisme, mekanisme dan determinisme. Namun, Hobbes awal dari
pemikirannya yaitu melukiskan manusia-manusia ketika mereka hidup dalam
keadaan yang ia namakan state of nature dalam kondisi manusia sebelum
dicetuskannya kontrak sosial bahwa kehidupan manusia dalam keadaan alamiah
adalah buas dan serakah, yang diperjuangan melalui peperangan terus-menerus
demi mempertahankan dirinya (Jones, 1969: 120).
5
Perjanjian lahir dari keadaan yang tidak teratur tersebut dibuatlah pengikat
oleh warga negara yaitu mereka bersepakat untuk membuat perjanjian dan
membentuk penguasa atau pemerintah. Setelah pemerintahan terbentuk maka hak-
hak warga negara menjadi hilang dan warga negara tidak dapat memberontak.
Dalam konteks ini, orang banyak yang dipersatukan dalam perjanjian sosial itu
disebut commonwealth. Di dalam commonwealth yang diutamakan adalah
perdamaian dan keamanan seluruh warga negara. Kewajiban pemerintah adalah
mengusahakan perdamaian dan perlindungan warga negara sehingga merasa
aman, dan menjanjikan kesejahteraan kepada rakyat.
Kekuasaan pemerintahan dalam mengatur hak alamiah manusia menurut
Hobbes itu ada pada raja dan gereja (negara dan agama), yang berarti kewajiban
warga negara di depan Negara dan agama adalah menaati kekuasaan raja dan
berbakti pada Tuhan. Berdasarkan dari hal tesebut, maka konsep Hak Asasi
Manusia (HAM) dapat dipahami sebagai hubungan antara warga negara dan
pemerintah yang diatur dalam hukum perjanjian atau undang-undang dan hukum
Tuhan (agama).
Teori kontrak sosial dalam pandangan Thomas Hobbes mengandaikan
bahwa sebelum terbentuknya suatu Negara selalu terjadi peperangan antar sesama
manusia yang disebut bellum omnium contra omnes. Hal tersebut merupakan
ungkapan bahwa setiap orang selalu menunjukkan sikap egoistis. Karena itu,
dibutuhkan kekuasaan bersama untuk mengakhiri peperangan tersebut, dan
6
kekuasaan itu harus dibentuk berdasarkan suatu perjanjian untuk menaati
seseorang atau beberapa orang, dan orang yang melaksanakan perjanjian itu
disebut yang berdaulat.
Negara dalam melaksanakan perannya, memiliki beberapa hak yang
sifatnya memaksa atau mengikat dengan kekuasaannya secara sah terhadap semua
golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan
bersama. Pemikiran tentang Negara ini sudah ada sejak zaman Yunani, kemudian
zaman Romawi, selanjutnya zaman abad Pertengahan, zaman Renaissance, zaman
berkembangnya hukum alam, dan kemudian zaman berkembangnya teori
kekuatan. Dalam hal ini, Hobbes memaparkan bahwa terbentuknya sebuah
Negara dikarenakan oleh perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Negara dalam
teori ini lahir karena perjanjian yang dibuat antara orang-orang yang tadinya
hidup bebas. Perjanjian masyarakat ini tentunya diadakan agar kepentingan
bersama dapat terpelihara dan terjamin (Hardiman, 2007: 71).
Uraian di atas dapat dipahami bahwa Negara dalam pandangan Hobbes
sebagai bagian dari upaya individu-individu untuk menjamin perdamaian, kendati
antara individu-individu tersebut tidak dapat menghindarkan peperangan. Hak
asasi manusia dalam konteks ini merupakan upaya Negara untuk menjamin
perdamaian di antara warga negaranya. Karena itu, sebagai medium untuk
menciptakan perdamaian, maka Hak Asasi Manusia (HAM) haruslah bersifat
7
universal dan dapat menjamin semua golongan, kelas dan perbedaan-perbedaan
yang hidup di dalam suatu Negara.
Konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) telah mengalami proses
perjalanan panjang. Konsepsi HAM ini dimulai dengan Magna Charta pada tahun
1215 dan diteruskan hingga saat ini. Salah satu tokoh filsafat yang berjasa dalam
pemikiran Hak Asasi manusia adalah Plato. Ia menyatakan bahwa Hak Asasi
Manusia (HAM) tidaklah sama antara satu individu dengan individu yang lain.
Oleh karena itu, tidak ada persamaan kebebasan dan tentu saja tidak perlu usaha
untuk menciptakan kondisi-kondisi materiil yang sama (Budiardjo, 1988: 54).
Hak adalah tuntutan yang dapat diajukan seseorang kepada orang lain
sampai kepada batas-batas pelaksanaan hak tersebut. Hak Asasi Manusia (HAM)
adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia (Setiardjo,
1993: 71). Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan
martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, meskipun setiap orang terlahir
dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang
berbeda-beda, namun tetap memiliki hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari
hak-hak tersebut.
Selain bersifat universal, hak-hak tersebut juga tidak dapat dicabut
(inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh
seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti
8
menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut dimanapun ia
berada. Bertitik tolak dari sinilah, Negara, pemerintah, atau organisasi apapun
mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi Hak Asasi Manusia pada
setiap manusia tanpa terkecuali. Hal ini berarti bahwa Hak Asasi Manusia harus
selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam pengembangan, penegakan dan
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menarik kiranya untuk dikupas lebih lanjut tentang hak alamiah yang
terdapat dalam state of nature pemikiran Thomas Hobbes. Pemikiran Hobbes
dalam berfilsafatnya lebih menekankan pada cara bagaimana manusia bisa hidup
bersama dan berdampingan secara damai. Pemerintahan yang telah ditunjuk oleh
rakyatnya memiliki kekuasan tanpa batas dalam mengatur hak-hak asasi manusia
yang mengacu pada kesejahteraan bersama. Hal ini semua dilakukan supaya
tatanan kehidupan tetap bertahan, dan tidak jatuh ke dalam situasi perang atau
konflik yang mana watak penyimpangan dalam diri manusia selalu
mengedepankan egoisme dan hidonisme.
Begitu juga, pemikiran Thomas Hobbes yang tertuang dalam karyanya
“Leviathan” merupakan karya yang sangat menarik dan unik untuk dikaji,
khususnya pada metodologi yang dibangun tentang psikologi manusia, hak
alamiah, hukum alam, kontrak sosial, Negara dan kekuasaan. Bertitik tolak dari
sinilah, penulis memanganggap bahwa konsep hak alamiah dalam state of nature
Hobbes sebenarnya merupakan sebuah respon intelektual dan refleksi kritis
9
terhadap proses sosial dan sejarah kehidupan manusia. Di samping itu juga,
hingga saat ini penulis menganggap teori-teori Hobbes masih relevan dengan
realitas sosial yang terjadi di Indonesia pada khususnya.
Indonesia sebagai Negara yang berlandaskan pada Pancasila wajib
melindungi dan menjunjung tinggi HAM, karena secara tidak tersirat masyarakat
telah menyerahkan sebagian hak-haknya kepada Negara untuk dijadikan hukum
(dalam teori kontrak sosial). Negara memiliki hak membuat hukum dan
menjatuhkan hukuman atas pelanggaran HAM. Dalam hal ini, Negara mempunyai
kekuasaan (power). Kekuasaan artinya mampu memaksakan kehendak kepada
pihak lain. Kekuasaan Negara tertinggi berarti kekuasaan yang tertinggi dalam
menentukan kehendak di dalam Negara tersebut (Joeniarto, 1990: 11).
Membicarakan pelanggaran HAM memang selalu menjadi isu menarik.
Bahkan semua yang melanggar kebebasan seseorang dinilai melanggar HAM.
Adapun maksud pelanggaran HAM adalah perbuatan orang atau sekelompok
orang termasuk aparat Negara baik sengaja atau tidak atau kelalaian secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, mencabut HAM orang
atau kelompok orang yang dijamin oleh UU dan tidak mendapat atau
dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar.
Komisi HAM didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi
yang kondusif bagi pengembangan dan pelaksanaan HAM di Indonesia, serta
10
meningkatkan perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya. Berdasarkan Undang-
Undang tentan Hak Asasi Manusia bahwa Komnas HAM memiliki fungsi untuk
melaksanakan pengkajian, penyuluhan, serta mediasi mengenai HAM di
Indonesia (Suwandi, 2005: 43).
Muncul dan berkembangnya konsep HAM di Indonesia dalam hal
penegakannya tentunya ditandai sejak HAM itu diperjuangkan ketika berhadapan
dengan kesewenang-wenangan kekuasaan Negara. Pelanggaran HAM juga
mungkin dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Misalnya, pada
masa Orde Baru yang telah diketahui bersama bahwa kebebasan, berserikat, dan
mengeluarkan pendapat sangat dibatasi.
Kejahatan-kejahatan kemanusiaan dalam berbagai bentuknya telah sering
terjadi diberbagai daerah, seperti: penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan
atas orang-orang yang dianggap dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi
kekuasaannya. Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa pada rezim
Orde Baru yang represif dan otoriter telah banyak melakukan pelanggaran
pelanggaran HAM, sehingga menimbulkan gejolak sosial dan politik yang pada
akhirnya mengakibatkan kejatuhannya pada bulan Mei 1998 silam. Adapun
pelanggaran HAM yang terjadi pada masa ini, terutama kasus Semanggi I dan II,
Trisakti, dan kasus Poso.
11
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah penelitian di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
a. Bagaimana manusia dalam pandangan Thomas Hobbes?
b. Bagaimana pemikiran Thomas Hobbes mengenai hak alamiah?
c. Bagaimana relevansi pemikiran Thomas Hobbes tentang manusia dan hak
alamiah dengan pengembangan konsep HAM di Indonesia?
3. Keaslian Penelitian
Setelah melakukan penelusuran terhadap kepustakaan, penulis
menemukan beberapa hasil penelitian yang memiliki kesamaan dan perbedaan
dengan penelitian yang penulis lakukan, antara lain:
a. Sentosa Tarigan (UGM, 1976) judul skripsi Filsafat Thomas Hobbes Tentang
Asal Mula Negara, membahas asal mula Negara dalam pemikiran Thomas
Hobbes. Objek formal asal mula negara, sedang objek materialnya pemikiran
Thomas Hobbes.
b. Margiyono (UGM, 1984) judul skripsi Sumbangan Pemikiran Ki Hajar
Dewantara tentang HAM di Indonesia. Dalam skripsi ini lebih menekankan
pada penjelasan tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia— yang
memfokuskan pada pemikiran Ki Hajar Dewantara.
12
c. Wasito (UGM, 2001), judul tesis Hak-hak Asasi Manusia Dalam Sistem
Hukum Indonesia sebagai Negara Hukum Demokrasi Modern. Dalam tesis ini
membahas objek formal hak-hak asasi manusia, sedangkan objek materialnya
sisitem hukum di Indonesia.
d. Danang Rahadyan P. (UGM, 2008), judul skripsi Komparasi Konsep
Ubermensch dan Hak Asasi Manusia Universal, dalam skripsi ini
menjelaskan pemikiran Ubermensch dalam kaintannya dengan hak asasi
manusia secara universal.
e. Arip Senjaya (UGM, 2010), judul tesis Bahasa Menurut Goenawan Mohamad
dan Relevansinya Bagi Masalah HAM di Indonesia, berisi penjelasan umum
atau deskripsi mengenai bahasa dan masalah hak asasi manusia di Indonesia.
Berdasarkan penelusuran peneliti di lingkup Universitas Gadjah Mada
belum ada penelitian Filsafat Manusia dalam Pemikiran Thomas Hobbes dan
Relevansinya dengan Pengembangan Konsep Hak Asasi Manusia di Indonesia.
karena itu penelitian ini dapat dikatakan baru pertama kali dilakukan serta dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya.
13
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah menjelaskan secara
deskriptif tentang landasan filosofis dalam pemikiran Thomas Hobbes. Berdasarkan
uraian rumusan masalah penelitian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mendeskripsikan filsafat manusia dalam pemikiran Thomas Hobbes
b. Mendeskripsikan pemikiran Thomas Hobbes mengenai hak alamiah.
c. Menganalisis relevansi pemikiran Thomas Hobbes tentang hak alamiah bagi
pengembangan konsep HAM di Indonesia.
C. Mamfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain:
a. Bagi kajian filsafat, penelitian ini memperkaya khazanah kajian ilmu filsafat,
khususnya mengenai kajian tokoh Thomas Hobbes kaitannya dengan Hak
Asasi Manusia di Indonesia.
b. Bagi peneliti, penelitian ini menjadi referensi untuk mengembangkan
penelitian yang terkait dengan tokoh Thomas Hobbes dengan meneliti aspek-
aspek pemikiran lainnya.
c. Bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, sumbangsih penelitian ini bermanfaat
bagi kehidupan berbangsa di Indonesia.
14
D. Tinjauan Pustaka
Pemikiran Tomas Hobbes mengenai state of nature ditulis dalam buku
Levithan (1660) adalah tokoh yang memopulerkan pernyataannya homo homini
lupus, bellum omnium contra omnes. Ia mengandaikan bahwa manusia pada dasarnya
buruk, bengis dan egoistis, karena masing-masing berusaha mempertahankan dirinya
dengan melakukan apapun dalam pemenuhannya. Bahkan dengan tindakan-tindakan
yang dapat mencederai atau merugikan orang lain. Demi mempertahankan
kehidupannya, manusia akan melawan apapun yang mengancamnya termasuk melihat
manusia lain sebagai sosok yang dapat mengancam pertahanan dirinya. Keadaan
semacam ini akan menimbulkan permasalahan dalam hubungan antar
manusia/individu yaitu benturan antara individu yang satu dengan individu yang lain
dalam mengusahakan kepentingan terhadap pemeliharaan atau pertahanan diri.
Karena itulah Hobbes memiliki gagasan bahwa untuk mengatasi kondisi kekacauan
dan keluar dari problem tersebut, maka perlu diadakannya kontrak sosial (du contract
social) yang diserahkan pada satu sosok penguasa yang keras, tegas dan ditakuti oleh
rakyatnya (Hobbes dalam Gaskin, 1996: 11).
Thomas Hobbes (1996) dalam buku Leviathan yang diedit oleh J.C.A. Gaskin
dijelaskan bahwa hukum alam (Law of Nature) merupakan suatu aturan umum yang
dihasilkan dari penalaran manusia yang menyatakan bahwa manusia dilarang
melakukan tindakan yang dapat menghancurkan diri. Secara alamiah/kodratnya
manusia tercipta secara setara dengan indera-indera pada tubuh dan pikiran. Dengan
15
begitu, ketika ditemukan satu orang lebih kuat daripada yang lain dalam hal
ketubuhan atau kecepatan berpikir dan menganggap mereka berbeda antara satu
dengan yang lain, maka itu bukan suatu hal yang penting. Karena manusia memiliki
kecakapan serta keunikan masing-masing—yang lemah bisa saja dapat membunuh
yang kuat. Ini berarti siapapun, setiap orang tetap saja memiliki keadaan yang sama
dimana mereka memungkinkan untuk hidup dalam keadaan berbahaya (Gaskin, 1996:
95-106). .
Selain itu, dalam pembahasan mengenai hukum alam, Hobbes juga
menunjukkan bahwa konsep golden rule merupakan cerminan hukum alam (law of
nature). Jika seseorang menginginkan agar orang lain berbuat seperti yang
dikehendaki, maka ia harus berbuat seperti apa yang dikehendaki terhadap orang lain
tersebut. Sebaliknya, apapun yang tidak dikehendaki terjadi, maka jangan lakukan hal
tersebut kepada orang lain. Hobbes menunjukkan bahwa golden rule ini manusia
seharusnya menghargai dan memandang keberadaan orang lain secara setara dan
memiliki hak yang melekat secara alamiah. Dengan begitu, seseorang tidak akan
melanggar hak-hak orang lain agar hak-haknya sendiri juga tidak dilanggar oleh
orang lain (Gaskin, 1996: 86-95).
Armada Riyanto (2001: 8) dalam buku HAM Telaah Filosofis Teologis
menyebutkan bahwa Thomas Hobbes merupakan salah satu filsuf yang memiliki
kontribusi langsung dalam pemikiran filsafat dan politik Negara. Ia berkontribusi
besar dalam memberikan kerangka pemikiran hak asasi modern melalui teori natura
16
atau kodrat, “state of nature” (kondisi alami hidup manusia) dan hukum alam.
Konsepsi Hak Asasi Manusia dapat dilihat pada teori natura, menurut Hobbes
manusia harus dipikirkan dalam konteks dan ruang lingkup kondisi sebelum
“political society”. Natura manusia adalah hidup manusia pada saat di mana belum
atau tidak ada pemerintahan politik. Hal ini berarti tidak adanya hukum yang
mengatur kehidupan manusia. Bila ada, pasti mengganggu hak kodrat ini.
A.P. Martinich (1992: 104) dalam buku The Gods Of Leviathan Thomas
Hobbes On Religion and Politics menyebut hukum kodrat termasuk hak alamiah.
Namun keduanya ada perbedaan bahwa hukum alam ditambahkan dengan muatan
atau kandungan kewajiban dari hak alamiah. Hobbes mengatakan bahwa hukum
alamiah adalah hukum asli (genuine law). Hukum alam berkaitan dengan pelarangan
untuk melakukan hal-hal yang merusak kehidupan atau merampas cara-cara
kelangsungannya. Hukum alam ini mengajak setiap individu untuk menciptakan
kedamaian sejauh mungkin membela diri bilamana dianggap perlu. Hukum alam itu
juga berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian yang telah dibuat. Sementara hukum
alam (Law of Nature), ini merupakan suatu aturan umum yang dihasilkan dari
penalaran manusia yang menyatakan bahwa manusia dilarang melakukan tindakan
yang dapat menghancurkan diri.
Konsep State of nature disisi lain harus dipahami sebagai kondisi pra-political
society (sebelum politik masyarakat). Manusia dalam societas politik adalah manusia-
manusia yang tidak asli lagi, tidak otentik dan tidak orisinal. Manusia dalam societas
17
politik adalah manusia yang sudah memiliki peradaban. Mereka harus sudah taat
kepada hukum dan sering kali hukum dijalankan tanpa adanya persoalan. Manusia
dari kodratnya (state of nature) tidak mengenal hukum positif sebagaimana
diberlakukan dalam political society. Sebab itu dalam state of nature tidak ada
keadilan dan ketidakadilan (Riyanto, 2001: 9).
Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Di
tengah orang orang liar yang suka saling memangsa, Hukum merupakan alat yang
penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Bagi Hobbes, sesuai
posisinya sebagai penganut materialisme, manusia (sejak zaman purbakala) dikuasai
oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Tidak ada
pengertian adil atau tidak adil melainkan hanyalah nafsu-nafsu manusia. Didalam
keadaan seperti itu terjadilah bellum omnium contra omnes dimana setiap orang
selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egoistis. Bagi manusia-
manusia seperti ini, jika tidak ada Hukum, maka demi mengejar kepentingan diri,
mereka akan terlibat dalam war off all against all (perang semua melawan semua).
Tanpa Hukum yang di tegakkan oleh penguasa yang kuat, maka individu-individu
akan saling membinasakan. Hukum merupakan pilihan dasar manusia untuk
mengamankan hidup masing-masing terhadap serangan orang lain (Riyanto, 2001:9).
Bertrand Russell (2002: 720) dalam buku Sejarah Filsafat Barat Dan
Kaitannya Dengan Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang menjelaskan
bahwa Thomas Hobbes sebagai penganut empiris-materialistik, menurutnya bahwa
18
pengetahuan manusia hanya diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal
dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan
diteguhkan oleh pengalaman. Sementara dalam materialismenya, ia mengasumsikan
bahwa hidup tidak lain adalah gerakan dari anggota badan, sehingga hal ini tidak
berbeda dengan gerakan mesin otomatis yang merupakan sebuah kehidupan tiruan
(artificial life). Lebih lanjut, dalam bukunya “Leviathan” Ia juga menganalogikan
bahwa persemakmuran (commonwealth) adalah seorang manusia tiruan (artificial
man), dan kedaulatan adalah sebuah jiwa tiruan (artificial soul). Dengan tiruan-tiruan
itulah dalam hidup ini bagi Hobbes yang dapat menggantikan akan sabda Tuhan
“kami jadikan manusia”.
F. Budi Hardiman (2004:71) dalam buku Filsafat Modern Dari Machiavelli
Sampai Nietzsche menjelaskan bahwa konsep kontrak sosial yang berisikan dengan
perjanjian-perjanjian harus dikelola oleh Negara karena tidak ada jaminan dari
individu-individu untuk menciptakan kedamaian. Perjanjian-perjanjian yang dibuat
oleh individu-individu tersebut rapuh. Dengan demikian, maka dibutuhkan lembaga
Negara yang dapat menjadi penjamin adanya perdamaian bagi individu-individu yang
terlibat. Hanya Negara yang memiliki kekuasaan monopoli dan memaksakan
kehendaknya kepada rakyat.
W.T. Jones (1969: 120) dalam buku Hobbes to Hume: A History of Western
Philosophy menyebutkan bahwa Hobbes dalam filsafatnya menolak tradisi skolastik
yang berusaha menerapkan konsep-konsep mekanik dari alam fisika kepada
19
pikirannya tentang manusia dan kehidupan mental. Hal ini mendorongnya untuk
menerima materialisme, mekanisme dan determinisme. Namun Hobbes melukiskan
manusia-manusia ketika mereka hidup dalam keadaan yang ia namakan state of
nature (keadaan alamiah), yang merupakan kondisi manusia sebelum dicetuskannya
kontrak sosial bahwa kehidupan manusia dalam keadaan alamiah adalah buas dan
singkat, karena merupakan perjuangan dan peperangan yang terus-menerus demi
mempertahankan dirinya.
S.A. Lloyd (2009: 97-151) bukunya yang berjudul Morality in the Philosophy
of Thomas Hobbes Cases in the Law of Nature membahas tentang filsafat moral
menurut Thomas Hobbes, secara khusus membahas tentang hukum alam. Di dalam
Negara, terdapat hubungan antara penguasa dengan rakyat yang saling
membutuhkans satu sama lain. Di samping itu juga, buku ini membahas tentang
hubungan kedua entitas itu dalam membentuk Negara berdaulat.
Carl Schmitt (1996), The Leviathan in the state theory of Thomas Hobbes:
Meaning and Failure Of A Political Symbol membahas tentang Leviathan dimulai
dengan Leviathan sebagai gambar mitologis, dan impor seperti gambar untuk sejarah,
mungkin politik, pada pencernaan teori politik Hobbes. Kemudian, interpretasi
evaluasi Schmitt dari gambar ditetapkan, yang mengundang evaluasi pesan
Leviathan, struktur, dan itu peran dalam teori politik Hobbes, dan sejarah teori politik
demokrasi liberal. Hal ini memungkinkan untuk pemeriksaan keberatannya,
melemahnya utamanya, yang paling eksplisit, serangan Tractatus Spinoza.
20
E. Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini adalah filsafat manusia dalam kaitannya
dengan pengembangan konsep HAM di Indonesia. Menurut Abidin (2007: 3), filsafat
manusia adalah bagian integral dari sistem filsafat, yang secara spesifik menyoroti
hakikat atau esensi manusia. Pada intinya filsafat manusia adalah ilmu filsafat yang
membahas tentang esensi manusia yang mencakup semua dimensi dari manusia.
Maksud dari semua dimensi adalah membahas tentang fisik manusia, mental
manusia, hakikat manusia, kedudukan manusia, tujuan asasi hidup manusia, apa yang
harus dilakukan manusia dalam hidup, dan lain-lain.
P.A. van der Weij (1988: 6-7) menegaskan, bahwa manusia adalah suatu
makhluk yang bertanya. Dari semula manusia berbakat filosofis sebagaimana tampak
dengan jelas pada anak-anak. Bahkan manusia mempertanyakan dirinya sendiri,
keberadaannya dan dunia seluruhnya.
Manusia dapat diselidiki dalam kajian kefilsafatan. Menurut Theo Huijbers
(1986: 10) dalam Manusia Merenungkan Makna Hidupnya, berpikir secara filsafat
tentang manusia adalah mencari makna hidup yang benar, dengan sekaligus menilai
secara kritis pandangan-pandangan yang telah dipegang lebih dulu tentang hidup
manusia itu.
Filsafat manusia merupakan sebuah hasil dari perumusan yang ada mengenai
siapa sebenarnya manusia dan bagaimana hakikat dari manusia itu sendiri dan segala
yang berkaitan pada manusia. Bisa juga diartikan filsafat manusia sebuah pandangan
21
tentang hakikat yang sebenarnya dari keadaan dan kehidupan manusia beserta dengan
segala kaitannya yang telah dirumuskan melalui sebuah proses berfikir secara
mendalam. Hakikat manusia adalah manusia itu merupakan berkaitan antara badan
dan ruh, karenanya hakikat pada manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah
alat yang dipergunakan oleh ruh saja, tanpa kedua subtansi tersebut tidak dapat
dikatakan manusia (Munir, 2008: 12).
Kajian filsafat manusia ini dipandang sebagai makluk yang memiliki
kompleksitas di dalam dirinya. Dengan kata lain manusia terdiri atas unsur jamani
dan rohani serta akal yang bisa menggerakkannya untuk melakukan suatu hal.
Manusia juga bergantung pada lingkungan sosial dimana ia berada. Pertama, aspek
unitas-kompleksitas manusia sebagai makhluk hidup yang terdiri dari berbagai taraf.
Kedua, aspek historisitas yang mencakup persamaan dan perubahan di dalam proses.
Ketiga, aspek sosialitas manusia yang mempunyai martabat pribadi dengan
kebebasannya sehingga tidak boleh dikorbankan demi kepentingan yang lain (Hadi,
1996: 38-39).
Manusia merupakan makhluk yang kompleks, dalam diri manusia terdapat
kesatuan dan sekaligus keberagaman. Manusia terdiri dari badan dan jiwa, yang
masing-masing mempunyai kegiatan, kemampuan, dan gaya serta perkembangannya
sendiri. Kesatuan dan keberagaman jati diri manusia yang memberikan kekayaan
kepada manusia, tetapi sekaligus menyebabkan kesulitan untuk memahaminya secara
tepat tentang jati diri (Hadi, 1996: 25-26).
22
Manusia secara alamiah memilki hak-hak dasar yang tidak dapat diambil dan
dicabut oleh orang lain. Kebebasan dan kemerdekaan bagi manusia. Kebebasan
menjadi kepantasan untuk dimilki setiap individu mengingat individu memliki
perangkat tubuh dan akal budi yang telah termiliki sejak lahir sebagai makhluk hidup.
Beranjak dari sinilah dapat dipahami bahwa setiap individu memiliki kebebasan
menjadi suatu keutamaan yang layak dimiliki manusia dan patut diakui karena
dengan kebebasannya manusia dapat mengakses hak-haknya, terutama menyangkut
hak-hak dasarnya, maka atas dasar inilah kebebasan dalam bertindak maupun berpikir
sesuai dengan pilihannya sendiri serta absennya suatu batasan yang membatasi
dirinya untuk bertindak memang selayaknya dimiliki manusia.
Komleksitas keberadaan manusia mengarahkan pada sistem pengembangan
dan penegakan konsep HAM. Hak Asasi Manusia menurut Hobbes adalah hak
alamiah melekat dan dimiliki oleh setiap individu manusia dalam hidupnya. Hal ini
dapat dikatakan Hak Asasi Manusia merupakan hukum alam (natural law) yang
dianggap sebagai hukum yang tertinggi dan abadi pada alam, yang kemudian
dijadikan acuan dalam pembentukan norma moral dan aturan tingkah laku manusia.
Begitu juga, kebebasan menurut Hobbes adalah bersifat alamiah. Artinya
dalam kondisi alamiah (state of nature), kebebasan merupakan hak alamiah yang
melekat dalam diri manusia. Karean itulah, manusia denga “hak bebas” nya beserta
keuatan dan kekuasaan (power) selalu disesuaikan dengan kehendaknya dalam rangka
pemeliharaan diri (Hobbes dalam Gaskin, 1996: 86).
23
Keberadaan manusia secara alamiah atau kodratnya tercipta dengan indera-
indera, tubuh dan pikiran. Karenanya manusia memiliki kecakapan serta keunikan
masing-masing, yakni keadaan alamiahnya manusia menunjukkan tidak ada manusia
yang kuat dan lemah, karena pada kenyataannya manusia yang lemah bisa saja
membunuh yang kuat. Ini berarti siapapun, keberadaan manusia tetap saja memiliki
keadaan yang sama dimana setiap manusia memungkinkan untuk hidup dalam
keadaan yang berbahaya. Untuk menghindari kondisi tersebut maka manusia
seharusnya menghargai dan memandang keberadaan orang lain secara setara dan
memiliki hak yang sama dan melekat secara alamiah. Berdasarkan hal tersebut,
eksistensi pengembangan konsep HAM sebenarnya bermuara pada kesadaran
seseorang tidak akan melanggar hak-hak orang lain agar hak-haknya sendiri juga
tidak dilanggar oleh orang lain.
F. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
Bahan dalam penelitian ini terdiri atas bahan primer yang diambil dari
buku-buku yang secara langsung membahas tentang permasalahan yang akan
diteliti. Selain bahan primer, penelitian ini juga menggunakan bahan sekunder
yaitu bahan kepustakaan yang secara tidak langsung membicarakan masalah yang
akan diteliti, namun masih relevan untuk dikutip sebagai pembanding.
Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas:
24
a. Bahan Primer
1. Hobbes, Thomas, 1996, Leviathan diedit oleh J.C.A. Gaskin, New York
Press: Oxford University Press Inc.
2. Martinich, A.P. 1992, The Gods Of Leviathan Thomas Hobbes On
Religion and Politics, Texas: Depertement Of Philosophy Cambridge
University Of Texas At Austin.
3. S.A. Lloyd, 2009, Morality in the Philosophy of Thomas Hobbes Cases in
the Law of Nature, New York, Cambridge University Press.
4. Carl Schmitt, 1996, The State Theory of Thomas Hobbes, Meaning and
Failure of Political Symbol, London: Greenwood Press,
b. Bahan Sekunder
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999. Tentang Hak
Asasi Manusia.
2. Weij, P.A.V.D, 1988, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K.
Bertens, Jakarta: PT. Gramedia.
3. Lay, Cornelis. dkk. 2002, KOMNAS HAM 1998-2001 Pergulatan Dalam
Tradisi Politik. Yogyakarta: FISIPOL UGM
4. Ahmad, Baidlowi dan Bahehagi, Imam, 2009, Filsafat Politik; Kajian
Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
25
5. Russell, Bertrand. 2002, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko, dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
6. Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai
Nietzsche. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
2. Jalan Penelitian
Penelitian ini diadakan dalam tiga tahap jalan penelitian literer:
a. Tahap pertama meliputi:
1) Pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder sesuai lingkup
penelitian.
2) Pembuatan kategori dengan menyatukan dan mengumpulkan dalam satu
kesatuan tersistimisasi.
b. Tahap kedua meliputi:
1) Klasifikasi data selanjutnya dilakukan pendeskripsian dan
penginterpretasian.
2) Analisis data sesuai dengan pemahaman peneliti tentang gejala hal yang
berhubungan dengan obyek penelitian.
c. Tahap Ketiga meliputi:
1) Penyusunan draft hasil penelitian.
2) Penyusunan laporan hasil penelitian secara sistematis dan mengikuti
format atau urutan baku dalam penelitian.
26
3. Analisis Hasil Penelitian
Untuk memperoleh hasil maksimal yang diharapkan dari penelitian ini
adalah menganalisis data secara ilmiah dalam sebuah penulisan karya ilmiah,
tentu saja di perlukan metode sebagai sarana untuk memperoleh akurasi data yang
dapat di pertanggung jawabkan secara akademis serta menghasilkan karya ilmiah
yang sistematis. Adapun metode analisis yang digunakan sebagai berikut:
a. Hermeneutika
Peneliti menggunakan konsep hermeneutika Wilhelm Dilthey untuk
menangkap kandungan makna esensial dari konsep hak alamiah manusia
Thomas Hobbes. Hermeneutika Dilthey bertitik tolak dari filsafat hidup yang
membutuhkan suatu pemahaman (Das Verstehen) dari historisitas dan
pengalaman manusia (Mustansyir, 2009: 42).
Verstehen bagi Dilthey termasuk interpretasi karena ia melibatkan
penemuan kembali suatu makna yang tidak secara langsung jelas. Pemahaman
tentang manusia tidak terlepas dari makna historisitas, karena manusia
memahami dirinya melalui hidup, maka dibutuhkan interpretasi dalam suatu
pemahaman (Mustansyir, 2009:45). Dalam penelitian ini, peneliti mencoba
menunjuk arti, mengungkapkan, menerangkan esensi nilai-nilai secara objektif
yaitu makna tentang hak alamiah menurut Thomas Hobbes.
27
b. Heuristika
Suatu metode untuk menemukan jalan baru dalam suatu ilmu
pengetahuan bahkan pada filsafat itu sendiri (Peursen, 1985: 96-112).
Heuristika bertujuan untuk memahami kehidupan manusia secara umum dan
dalam kehidupan sejarahnya. Dilthey berpandangan bahwa pertama, manusia
hanya dapat dipahami melalui konsep tentang hidup. Kedua, manusia adalah
makhluk menyejarah, karenanya hanya dapat diterangkan melalui sejarahnya
(Kuntowijoyo, 2008: 3).
Historisitas merupakan salah satu aspek yang memengaruhi manusia
dalam membentuk jati dirinya, karena manusia selalu berkembang dalam ruang
dan waktu. Peneliti mencoba menganalisis pemikiran Thomas Hobbes dengan
tinjauan filsafat manusia sebagai acuan untuk menggali makna hak alamiah
manusia, serta untuk menemukan relevansi pemikiran Thomas Hobbes dengan
pengembangan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
Bab I merupakan bab pendahuluan. Terdiri atas latar belakang masalah yang
menliputi masalah penelitian, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat
penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
analisis penelitian sistematika penulisan.
28
Bab II, berisi diskursus filsafat manusia, pembahasannya diawali dengan
pengantar umum kajian filsafat terhadap manusia, pengertian filsafat manusia,
metode filsafat manusia, ciri-ciri filsafat manusia, dan aliran-aliran filsafat manusia.
Bab III, berisi biografi dan latar belakang pemikiran Thomas Hobbes meliputi
riwayat hidup, Konteks Sosio-Historis ThomasHobbes, karya-karya Thomas Hobbes,
tokoh-tokoh yang mempengaruhi Thomas Hobbes. Kemudian membahas pandangan
Thomas Hobbes tentang manusia.
Bab IV, berisi konsep Hak Alamiah Thomas Hobbes, diawali dengan
historisitas konsep hak alamiah, dinamika pemikiran hak alamiah yang meliputi;
landasan pemikiran hak alamiah, hak negatif dan hak positif. Hak alamiah:
kepemilikan diri dalam kehidupan, yang meliputi; konsep moral: perwujudan nilai
hak alamiah, kepemilikan diri: petunjuk adanya hak alamiah. Kemudian membahas
teori kontrak sosial sebagai manifestasi hak alamiah, yang meliputi; kontrak sosial:
jaminan atas perlindungan individu, negara sebagai produk kontrak sosial.
Bab V, berisi relevansi hak alamiah Thomas Hobbes perspektif filsafat
manusia dengan pengembangan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, diawali
dengan permasalahan HAM, yang meliputi pengertian HAM dan sejarah perjuangan
HAM, konsep pelaksanaan HAM dan perkembangan HAM yang meliputi
perkembangan HAM di Indonesia dan penegakan HAM di Indonesia.
Bab VI, berisi penutup, mencangkup kesimpulan dan saran.