epistemologi filsafat dan epistemologi islam

Upload: linaameliya

Post on 30-Oct-2015

423 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Epistemologi Filsafat dan epistemologi IslamOleh : Syekhuddin I. PENDAHULUANSepanjang sejarah manusia senantiasa dihantui oleh berbagai pertanyaan mendasar tentang diri dan kehidupannya. Berbagai jawaban yang bersifat spekulatif coba diajukan oleh para pemikir sepanjang sejarah dan terkadang jawaban-jawaban yang diajukan saling kontradiksi satu dengan yang lainnya. Perbedaan jawaban yang diajukan menjadikan perbedaan mendasar pada pandangan dan pola hidup (pandangan dunia dan ideology) manusia sepanjang sejarah. Salah satu perdebatan mendasar dalam sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar sumber dan asal usul pengetahuan.[1] Perbedaan pandangan seputar sumber dan asal-usul pengetahuan (atau lebih dikenal dengan epistemologi) inilah yang kemudian menjadi dasar pemicu perbedaan pandangan dunia dan ideology manusia.[2]Filsafat dan agama sebagai dua kekuatan yang mewarnai dunia telah menawarkan konstruk epistemologi yang berbeda dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya. Dibelahan dunia Barat sejak zaman Yunani Kuno filsafat telah berkembang sebagi suatu bentuk kreatifitas berpikir manusia dalam memecahkan persoalan kehidupan dengan menggunakan kekuatan daya nalarnya. Sepanjang sejarah perkembangan filsafat telah banyak jawaban yang diajukan oleh para filosof mengenai permasalahan-permasalahan mendasar manusia, khusunya persoalan seputar epistemologi. Berbagai aliran filsafat kemudian bermunculan mewarnai kancah intelektual manusia. Masing-masing aliran tersebut memberikan formulasi jawaban yang berbeda sebagai produk pemikiran filsafatnya yang dijadikan acuan bagi penganutnya.

Sementara itu agama juga memberikan formulasi jawaban sendiri, yang tentunya berbeda dengan jawaban yang telah diajukan oleh filsafat. Terjadinya perbedaan antar filsafat dan agama dalam hal ini adalah dikarenakan perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh keduanya. Filsafat dalam pengembaraanya mencari hakekat keberadaan manusia menggunakan kekuatan akal sedangkan agama bersumber pada kitab suci yang diyakini sebagai wahyu dari Tuhan oleh para penganutnya.

Islam sebagai agama yang diturunkan untuk menjawab seluruh pertanyaan dan menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia. Tentunya juga memberikan formulasi jawaban mengenai permasalahan epistemologi yang dimana jawaban atas permasalahan tersebut bersumber pada wahyu Allah yang termaktub dalam Alquran. Ayat-ayat suci Alquran yang memberikan jawaban yang universal terhadap persoalan kemanusiaan, termasuk diantaranya persoalan epistemologi kemudian dinterpretasikan dengan pendekatan logis oleh para pemikir muslim yang akhirnya merumuskan sekumpulan teori filsafat Islam.

Berdasarkan asumsi diatas, pada makalah ini singkat ini, penulis mencoba untuk memaparkan beberapa permasalahan yaitu:

1. Apa ruang lingkup epistemologi?

2. Bagaimana konsep epistemologi filsafat?

3. Bagaimana konsep epistemologi Islam?

II. PEMBAHASAN1. A. Ruang Lingkup EpistemologiSecara etimologi epistemologi berasal bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori atau ilmu.[3] Sedangkan secara terminologi epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakekat ilmu pengetahuan manusia, khususnya pada empat masalah, yaitu,

1. Sumber-sumber ilmu pengetahuan

2. Alat pencapaian pengetahuan

3. Metode pencapaian pengetahuan

4. Batasan pengetahuan atau klasifikasi pengetahuan.[4]Epistemologi selain dianggap sebagai cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan manusia. Juga sering diidentikkan dengan asumsi-asumsi teoritik yang mendasari suatu pendapat ataupun bangunan pengetahuan manusia.[5] Terjadinya perbedaan pada tataran bangunan pengetahuan sangat ditentukan oleh perbedaan epistemologi. Secara umum pengetahuan manusia dibagi atas tiga kategori, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat dan mistik.[6] Terjadinya perbedaan jenis pengetahuan manusia ini disebabkan oleh konstruksi epistemologi yang berbeda diantara ketiganya. Bahkan menurut Murtadha Muthahhari, terjadinya perbedaan ideology dan pandangan dunia disebabkan oleh perbedaan dalam tataran epistemologi.[7]Sepanjang sejarah pemikiran manusia telah terjadi perdebatan panjang para filosof mengenai point-point pembahasan epistemologi. Perdebatan tersebut telah menghasilkan berbagai aliran filsafat dan ideology yang memiliki pandangan yang berbeda terhadap permasalahan mengenai pengetahuan dan kehidupan manusia.

1. B. Epistemologi filsafatSebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang teori pengetahuan manusia. Dalam perkembangan filsafat, dalam hal ini filsafat barat persoalan epistemologi telah menghasilkan empat aliran utama dalam sejarah filsafat Barat yaitu:

1. Rasionalisme

Rasionalisme dapat didefinisikan sebagai paham yang sangat menekankan akal sebagai sumber utama pengetahuan manusia dan pemegang otoritas terakhir dalam penentuan kebenaran pengetahuan manusia.[8] Aliran ini biasa dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir barat, diantaranya Rene Descartes, Spionoza, Leibniz dan Christian Wolf. Meski sebenarnya akar-akar pemikirannya sudah ditemukan dalam pemikiran para filosof klasik, yaitu Plato dan Aristoteles.[9]Bagi kelompok rasionalisme sumber pengetahuan manusia didasarkan pada innate idea (ide bawaan) yang dibawa oleh manusia sejak ia lahir. Ide bawaan tersebut menurut Descartes terbagi atas tiga kategori, yaitu;

Cogitans atau pemikiran, bahwa secara fitr manusia membawa ide bawaan yang sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang berpikir, dari sinilah keluar statement Descartes yang sangat terkenal, yaitu cogito ergo sum yaitu aku berpikir maka aku ada.

Allah Atau deus, manusia secara fitr memiliki ide tentang suatu wujud yang sempurna, dan wujud yang sempurna itu tak lain adalah Tuhan.

Extensia atau keluasan , yaitu ide bawaan manusia, materi yang memiliki keluasan dalam ruang.[10]Ketiga ide bawaan diatas dijadikan aksioma pengetahuan dalam filsafat rasionalisme yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Dalam metode pencapaian pengetahuan Descartes memperkenalkan metode yang dikenal dengan metode keraguan (dibium methodicum) yaitu meragukan segala sesuatu termasuk segala hal yang telah dianggap pasti dalam kerangka pengetahuan manusia.[11] Proses keraguan inilah yan kemudian akan mengantarkan manusia sampai pada pengetahuan yang valid dan diterima kebenarannya secara pasti.

Sekalipun rasionalisme sangat menekankan fungsi rasio dalam mencapai pengetahuan, bukan berarti rasionalisme mengingkari peranan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang kerja akal dan memberikan bahan bahan agar akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia pada kebenaran adalah semata-mata dengan akal.[12] Bagi rasionalisme data-data yang dibawa oleh indera masih belum jelas dan kacau bahkan terkadang menipu. Akallah yang kemudian mengatur laporan indera tersebut sehingga dapat terbentuk pengetahuan yang benar.

Selain akal bekerja mengolah data-data inderawi akal manusia juga dapat menghasilkan pengetahuan tentang realitas yang tak terinderai atau realitas yang abstrak. Oleh karena itu Rasionalisme membagi dua jenis pengetahuan tentang hak-hak yang kongkret yang kemudian lebih dikenal dengan sains dan pengetahuan tentang hal-hal yang abstrak yang kemudian lebih dikenal dengan filsafat.[13]1. Empirisme

Empirisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu empiria yang artinya pengalaman. Berbeda dengan rasionalisme yang menjadikan akal manusia sebagai sumber dan penjamin kepastian suatu kebenaran pengetahuan manusia. Empirisme memandang hanya pengalaman inderawilah sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan kepastian pengetahuan manusia.[14]Aliran Empirisme dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir Barat diantaranya Francis Bacon, Thomas Hobbes, David Hume, dan John locke.[15] John Locke memperkenalkan teori tabula rasa sebagai pijakan aksiomatik dalam teori filsafatnya . menurut teori tersebut pada mulanya manusia lahir dalam keadaan kosong dari pengetahuan, kemudian pengalamanlah yang kemudian mengisi jiwa manusia sehingga memiliki pengetahuan.[16]Oleh karena itu, empirisme sangat menekankan pengalaman inderawi sebagai satu-satunya jalan dalam pencapaian pengetahuan bagi manusia. Maka, empirisme sangat menekankan metode eksperimen dalam proses pencapaian pengetahuan manusia. Seseorang yang tak memiliki satu jenis indera tertentu maka ia ia tidak dapat memiliki konsepsi tentang pengetahuan yang berhubungan indera tersebut.[17]Metode verifikatif-induktif merupakan metode yang ditawarkan oleh empirisme dalam menguji keabsahan suatu pengetahuan manusia.[18] Yaitu dengan melakukan pengujian terhadap pengetahuan manusia berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang empiris dan menggunakan metode induktif yaitu mengambil kesimpulan umum dari hal-hal atau fenomena-fenomena yang bersifat khusus.

Karena empirisme hanya membatasi pengetahuan manusia pada aspek inderawi semata maka pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia hanyalah pengetahuan sains, karena pengetahuan sainslah yang dapat dibuktikan kebenarannya secara empirik. Aliran empirisme inilah yang kemudian berkembang pada abad 18 di Eropa menjadi aliran Positivisme yang sangat menggaungkan kebenaran ilmiah.

1. Kritisisme

Ketika terjadi pertarungan filsafat antara aliran rasionalisme dan empirisme mengenai dasar pengetahuan manusia. Immanuel Kant seorang filosof Jerman kemudian mencoba melakukan upaya menyelesaikan perbedaan tajam antara kedua aliran tersebut.[19] Pada mulanya Kant mengikuti aliran rasionalisme, kemudian menurut pengakuannya sendiri ia kemudian terjaga dari mimpi rasionalismenya setelah membaca buku David Hume. Tetapi kemudian ia tetap berpendapat bahwa empirisme tidak bisa ia terima begitu saja karena akan membawa keraguan pada akal. Kant tetap mengakui bahwa akal dapat mencapai kebenaran, untuk itu ia kemudian menetapkan syarat-syarat dalam pencapaian kebenaran akal, itulah sebabnya aliran filsafatnya sering disebut dengan filsafat kritisisme.[20]Dalam filsafat kritisisme, Kant menganggap bahwa pengalaman dan akal manusia sama-sama dapat digunakan dalam mencapai pengetahuan manusia. Selanjutnya Kant membagi tahapan pencapaian pengetahuan manusia menjadi tingkatan, yaitu;

Tahap pencapaian inderawi

Tahapan pertama dalam proses pencapaian pengetahuan bagi Kant adalah pencapaian inderawi terhadap realitas eksternal. Namun yang dapat dicapai oleh manusia hanyalah fenomenanya atau gejala yang tampak saja yang tak lain adalah sintesis dari unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk a priori ruang dan waktu dalam struktur pemikiran manusia.[21] Tahap akal budi

Bersamaan dengan pencapaian inderawi secara spontan bekerjalah akal budi manusia. Tugas akal budi manusia adalah menyusun dan menghubungkan data-data inderawi. Dalam hal ini akal budi manusia bekerja dengan bantuan daya fantasinya. Pengetahuan akal budi baru bisa diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang dinamai oleh Kant dengan kategori yakni ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologi dalam diri manusia untuk menyusun pengetahuan.[22] Tahap rasio/intelek

Menurut Kant, yang dimaksud dengan rasio/intelek adalah kemampuan asasi yang menciptakan pengertian-pengertian umum dan mutlak.[23] Pada tahapan ini, proses pengetahuan manusia telah sampai pada kaidah-kaidah asasi yang tidak bisa lagi diruntut dan bersifat mutlak Kant menyebutnya dengan idea transendental. Tugas idea transendental ini ialah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkatan dibawahnya.[24]Menurut Kant idea transendental ini merupakan idea bawaan yang merupakan postulat atau aksioma-aksioma epistemologi yang berada diluar jangkauan pembuktian empiris teoritis.[25] Idea transendental ini terbagi tiga, yaitu;

idea psikis yaitu merupakan gagasan-gagasan mutlak yang mendasari segala gejala yang bersifat batiniah.

idea Kosmologis, yaitu idea yang menyatukan seluruh gagasan-gagasan yang bersifat lahiriah.

idea teologis yaitu gagasan yang mendasari seluruh gejala baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, yaitu yang terdapat dalam suatu pribadi yang mutlak, yakni Tuhan.[26]1. Intuisionalisme

Dalam perkembangan selanjutnya epistemologi filsafat Barat kemudian dilengkapi dengan munculnya aliran intuisionalisme yang dipelopori oleh Henry Bergson. Bagi Bergson indera dan akal manusia sama-sama terbatas dalam memahami realitas secara keseluruhan. Berdasarkan kelemahan akal dan indera tersebut kemudian Henry Bergson kemudian mengembangkan kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh manusia, yaitu intuisi.[27]Secara epistemologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang memperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai keberadaan lahiriah suatu objek melainkan hakekat keberadaan dari suatu objek tersebut.[28] Bagi Bergson ada dua cara dalam proses pencapaian pengetahuan, yaitu analisis dan intuisi. Analisis ialah aktifitas intelektual dalam mengenali objek dengan observasi bergerak mengairi objek atau dengan melakukan pemisahan terhadap bagian-bagian konstituen objek. Analisis bekerja menuju sebuah gerneralisasi abstrak yang kemudian melenyapkan keunikan suatu objek.

Sedangkan intuisi menurut Bergson adalah semacam rasio yang mana peneliti menempatkan dirinya dalam objeknya untuk menemukan apa yang unik dalam objek tersebut. Berpikir secara intuitif berarti berpikir dalam durasi. Durasi dalam hal ini dipahami sebagi waktu dalam gerak yang berkelanjutan dan bukan waktu yang kemudian terspesialisasi oleh rasio menjadi momen-momen atau titik-titik dalam garis. Bagi Bergson hanya intuisilah yang mampu menangkap fenomena dalam durasi dan realitas sesungguhnya adalah durasi, yaitu realitas yang tidak statis melainkan senantiasa dalam proses evolusi kemenjadian.[29]Henry Berson membagi pengetahuan menjadi dua, yaitu pengetahuan mengenai (knowledge about) dan pengetahuan tentang (knowledge of) pengetahuan pertama disebut dengan pengetahuan diskursif atau pengetahuan simbolis yang didapat dari metode analisis dan pengetahuan kedua disebut dengan pengetahuan intuitif karena diperoleh secara langsung melalui intuisi.[30]C. Epistemologi IslamBerbicara mengenai epistemologi Islam, kita dapat mendekatinya dengan melakukan pengkajian terhadap pendapat para pemikir islam mengenai konsep-konsep epistemologi yang digali dari nash-nash islam berdasarkan konsepsi pemikiran mereka berdasarkan ruang lingkup epistemologi yang telah dijelaskan sebelumnya.

Mengenai sumber-sumber pengetahuan yang merupakan bahasan pertama dalam epistemologi, para filosof Islam menganggap bahwa realitas tidak hanya terbatas pada realitas yang bersifat fisik melainkan juga mengakui realitas yang bersifat non fisik. Oleh karena itu dalam epistemologi Islam kita mengenal realitas non fisik baik berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika murni yang dibahas oleh para pemikir.[31]Menurut Jalaluddin Rakhmat, secara epistemologi Alquran memperkenalkan empat sumber pengetahuan manusia yaitu;

1. Alquran dan sunnah

2. Alam semesta

3. Diri manusia

4. Sejarah.[32]Mengenai alat pencapaian pengetahuan secara umum para pemikir Islam sepakat bahwa ada tiga alat epistemologi yang dimiliki oleh manusia dalam mencapai pengetahuan. Yaitu Indera, Akal dan Hati. Ketiga alat epistemologi ini kemudian menghasilkan tiga metode dalam pencapaian pengetahuan yaitu:

1. Metode observasi sebagaimana yang dikenal dalam epistemologi Barat atau disebut juga metode bayani yang menggunakan indera sebagai pirantinya.

2. Metode deduksi logis atau demonstrative (burhani) dengan menggunkan akal.

3. Metode intuitif atau irfani dengan menggunakan hati.[33]Metode observasi ditujukan untuk melakukan pengkajian terhadap objek-objek yang bersifat inderawi dan menghasilkan pengetahuan sains, dalam istilah Muhammad Baqir Shadr metode ini juga disebut dengan teori disposesi.[34] Sedangkan metode demonstrative ditujukan untuk memahami realitas-realitas imajinal manusia dan melahirkan ilmu-ilmu murni berupa logika, filsafat dan matematika. Selanjutnya metode intuitif digunakan untuk memahami secara langsung realitas metafisis yang bersifat hudhuri dalam jiwa manusia. Dan menghasilkan pengetahuan mistik.[35]Berbicara mengenai titik tekan penggunaan metode demonstrative dan intuitif dalam proses pencapaian pengetahuan manusia para filosof Muslim kemudian berbeda pendapat. Dalam sejarah filsafat Islam secara umum filsafat Islam terbagi ketiga aliran besar yaitu:

1. Aliran paripatetik atau masysyaiyahSecara harfiah paripatetik atau masysyaiyah berarti jalan modar-mandir. Penggunaan istilah ini disebutkan merujuk pada Plato yang mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya dengan berjalan-jalan. Penamaan aliran ini sangat jelas terpengaruh oleh pemikiran Yunani yang dibangun oleh Aristoteles dan Plato. Meskipun banyak melakukan revisi terhadap pemikiran Yunani aliran ini dibangun atas dasar Aristotellanisme dan Neo Platonis.[36]Aliran paripatetik dinisbatkan kepada tokoh-tokoh filosof Islam generasi awal diantaranya al-Farabi dan Ibnu Sinaa. Aliran ini sangat menekankan metode diskursif-demonstratif dengan menekankan pada aspek rasionalitas manusia.[37]1. Aliran iluminasi atau hikmah isyraqiyahAliran iluminasi menurut berbagai sumber didasarkan pada ajaran Plato. Aliran ini dinisbatkan kepada seorang filosof sufi Islam yaitu Syiihabuddin Suhrawardi al-Maqtul. Secara epistemologi aliran ini sangat menekankan perolehan kebenaran lewat pengalaman intuitif dan kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis.[38]Mengenai proses mendapatkan pengetahuan, yang dalam bahasa iluminasi disebut juga dengan pencerahan (isyraq) menurut Syuhrawardi ada empat tahapan yang dilalui yaitu:

Tahap pertama adalah pembebasan diri dari kecenderungan-kecendrungan duniawi untuk menerima pengalaman Ilahi

Tahap iluminasi, yaitu tahapan dimana manusia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan serta mendapatkan apa yang disebutkan dengan cahaya ilham.

Tahap diskursif, dimana pengetahuan yang didapatkan dengan pencerahan kemudian dikonstuksi lewat premis-premis yang didasarkan pada logika diskursif.

Tahap keempat ialah tahapan pembahasan dan penulisan.[39]1. Teosofi Transendental atau hikmah mutaalliyanTeosofi Transendental merupakan aliran filsafat Islam yang didirikan oleh Mulla Shadra dalam merumuskan alirannya berusaha memadukan konsep-konsep pemikiran Islam yang telah dibangun sebelumnya, yaitu pemikiran kalam, paripatetik, ilmunisasi dan sufisme.[40]Secara epistemologi teosofi transendental menekankan tiga prinsip utama dalam perolehan ilmu pengetahuan yaitu, intuisi intelektual atau isyraq, pembuktian rasional secara Deduktif-silogistik, dan syariat.[41] Dalam hal ini nash Alquran, dan hadis. Sehingga filsafat hikmah atau xteosofi transcendental adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk argumentasi yang rasional dan didasarkan pada nash-nash Islam.[42]Klasifikasi pengetahuan dalam pandangan pemikir muslim, khususnya pemikir ilmunisasi dan teosofi transendental secara umum terbagi dua yaitu:

Ilmu hushuli (knowledge by represence) yaitu pengetahuan manusia yang masih menggunakan perantara dimana antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui mengalami keterpisahan.

Ilmu hudhuri (knowledge by presence) yaitu pengetahuan manusia yang tidak menggunakan perantara dimana objek pengetahuan hadir dalam jiwa manusia sebagai subjek yang mengetahui.[43]1. III. PENUTUPBerdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam makalah ini penulis berkesimpulan:

1. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang teori pengetahuan, yang ruang lingkupnya terdiri dari sumber-sumber pengetahuan, alat pencapaian pengetahuan, metode pencapaian pengetahuan dan klasifikasi pengetahuan.

2. Epistemologi filsafat dalam hal ini barat terbagi kedalam empat aliran utama yaitu:

rasionalisme yang sangat menekankan fungsi rasio dalam proses pencapaian pengetahuan manusia

empirisme yang mengutamakan pengalaman manusia sebagai sumber pengetahuan

kritisisme yang menggabungkan epistemologi rasionalisme dan empirisme dalam proses pencapaian pengetahuan.

intuisionalisme yang sangat menekankan peranan intuisi manusia dalam mencapai kebenaran pengetahuan.

3. Epistemologi Islam meyakini realitas fisik dan non fisik sebagai sumber pengetahuan. Serta penggunaan indera, akal dan hati sebagai alat dengan menggunakan metode observasi, demonstrative dan intuitif dalam proses pencapaian pengetahuan.

4. Dalam persoalan metode pencapaian pengetahuan epistemologi Islam terbagi kedalam tiga aliran filsafat, yaitu paripatetik, iluminasi dan teosofi transendental.

5. Secara umum klasifikasi pengetahuan dalam Islam terbagi dua yaitu: ilmu hushuli dan ilmu hudhuri.

DAFTAR PUSTAKAAdian, Donny Gahrial, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan. Bandung: teraju 2002

Muhammad Iqbal. Bandung : Teraju. 2003

Ammar, Hasan Abu, Ringkasan Logika Muslim Jakarta: Yayasan al-Muntazhar 1992

Bagir, Haedar, Buku Saku Filsafat Islam. Bandung : Arasy 2005

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1997

Kartanegara, Mulyadi, Panorama Filsafat Islam. Bandung : Mizan 2002

Kosmic, Manual Training Pencerahan . Jakarta : Kosmic 2002

Muslih. Muhammad, Filsafat Ilmu. Yogyakarta Belukar

Muthahhari, Murtada, Masysla-ye Syenikh diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafaqih dengan judul mengenal epistemologi, Jakarta : Lentera Basritama 2001

- Man and Universe diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Manusia Dan Alam Semesta. 2002

Poedjawijatna, IR. Pembimbing Kearah Alam Filsafat. Jakarta : Rineka Cipta. 1997

Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif. Bandung : Mizan. 2004

Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna Diterjemahkan oleh Muhammad Nur Mufid Bandung : Mizan. 1994

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2001

[1]Muhammad Baqir Shadr, Falsafatuna, Diterjemahkan oleh M. Nur Mufid Ali, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994) h. 25

[2] Lihat Murtadha Muthahhari, Masala-ye Syenokh, Diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafaqih dengan Judul Mengenal Epistemologi, (Cet. I; lentera, 2001) h. 17-22

[3] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu (Cet. II; Yogyakarta: Belukar. 2005) h. 20

[4] Kosmic. Manual Training Filsafat, (Jakarta: Kosmic. 2002) H. 76

[5] Ibid[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. (Cet. IX ; Bandung : remaja Rosdakarya. 2001), h. 23

[7] Murtadha Muthahhari, op.cit., h. 19

[8] Donny Gahrial Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. (Cet. I ; Bandung : Teraju.2002). h. 43

[9] Muhammad Muslih., op.cit., h. 49-50

[10] Kosmic., op.cit., h. 124

[11] Donny Gahrial Adian., op.cit., h. 45

[12] Ahmad Tafsir., op.cit., h. 25

[13]Kosmic., op.cit., h. 125

[14] Donny Gahrial Adian., op.cit., h. 48

[15] Lihat Ir. Poedjawijatna, PembimbingKearah Alam Filsafat. (Cet. X ; Jakarta: Roneka Cipta. 1997). h. 103-106

[16] Ahmad Tafsir., op.cit., h. 24

[17] Muhammad Baqir Shadr, op.cit., h. 33

[18] Donny Gahrial Adian., loc.cit[19] Ir. Poedjawijatna., op.cit., h. 107

[20] Ibid[21] Muhammad Muslih., op.cit., h. 63

[22] Ibid., h. 64

[23] Ibid[24] Kosmic., op.cit., h. 134

[25] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama. (Jakarta ; Logos Wacana ilmu. 1997), h. 170

[26] Muhammad Muslih., op.cit., h. 65

[27] Ahmad Tafsir., op.cit., h. 27

[28] Muhammad Muslih., op.cit., h. 70

[29] Donny Gahrial Adian, Muhammad Iqbal (Cet. I ; Bandung : Teraju, 2003) h. 46-47

[30] Muhammad Muslih, loc.cit[31] Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam,. (Cet. I ; Bandung : Mizan. 2002). h. 58

[32] Lihat. Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif. (Cet. XII ; Bandung : Mizan. 2004) h. 203-205. Lihat juga Murtadha Muthahhari, Man and Universe diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul manusiadan Alam semesta. (Cet. II; Jakarta : Lentera Basritama. 2002) h. 47-48

[33] Mulyadi Kartanegara., op.cit., h. 63

[34] Lihat Muhammad Baqir Shadr., op.cit., h. 36-37 [35] Kosmic., op.cit., h. 203

[36] Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam. (Cet. I ; Bandung : Arasy. 2005) h. 85

[37] Ibid., h. 103

[38] Ibid., h. 138

[39] Lihat Ibid., h. 13-1398

[40] Kosmic. Op.cit. h. 233

[41] Haidar Baqir. Op.cit. h. 171

[42] Kosmic. Op.cit. h. 234

[43] Hasan Abu Ammar, Ringkasan Logika Muslim. (Cet. I ; Jakarta : yayasan al- Muntazhar, 1992), 14

MENUJU INTEGRASI ILMU-ILMU KEISLAMAN DENGAN ILMU-ILMU UMUMOleh: Syekhuddin

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahPemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[1]Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi penyebab terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.[2]Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.[3]Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti.

Buka masanya sekarang disiplin ilmu ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.[4]B. PermasalahanPermasalahan yang penting diajukan adalah bagaimana mengintegrasikan atau menyatukan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum.

II. PEMBAHASANSebelum sampai kepada pembahasan penyatuan /integrasi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum, maka akan dibahas terlebih dahulu tentang : Alquran dan ilmu pengetahuan, rekonstruksi sains Islam, suatu integrasi ilmu pengetahuan Islam dan umum.

A. Alquran dan Ilmu Pengetahuan (Sains)Alquran diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 185. Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Alquran menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam surat al-Alaq ayat 1-5. Artinya:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia diketahuinya.[5]Disamping itu, Alquran menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmu>d Abdul Wahab Fayid mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional.[6]Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Quran al-Karim. Namun Imam Al-Sy>athibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Gazali.[7]Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Alquran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam Alquran terdapat ilmu matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayatayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?[8]Kuntowijoyo mengatakan bahwa Alquran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma Alquran, paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Alquran jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur transendental Alquran adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Islam.[9]B. Rekontruksi Ilmu Pengetahuan Islam

Dalam perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokan disiplin ilmu agama dengan ilmu umum. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan.

Kondisi seperti ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam konteks Indonesia, dikatomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan. Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh departemen yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama di bawah naungan DEPAG sedangkan lembaga pendidikan umum berada di bawah DEPDIKNAS.

Pandangan dikotomis terhadap ilmu pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan pandangan integralistik ilmu pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam. Ternyata pandangan dikotomis yang menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang selama ini terasing dari disiplin ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan para ilmuan Islam baik dalam mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk menyelesaikan berbagai masalah dengan multidimensional approach (pendekatan dari berbagai sudut pandang). Oleh karena itu wajarlah jika dikotomi ilmu pengetahuan mendapatkan gugatan dari masyarakat, termasuk gugatan dari para ilmuan muslim melalui wacana Islamisasi ilmu pengetahuan.[10]Muhammad Abid al-Jabiry dalam Amin Abdullah mengatakan: Adalah merupakan kecelakaan sejarah umat Islam, ketika bangunan keilmuan natural sciences (al-ulu>m al-kauniyyah) menjadi terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali dengan ilmu-ilmu keislaman yang pondasi dasarnya adalah teks atau nash. Meskipun peradaban Islam klasik pernah mengukir sejarahnya dengan nama-nama yang dikenal menguasai ilmu-ilmu kealaman, antara lain seperti Al-Biru>ni (w. 1041) seorang ensiklopedis muslim, Ibn Sina seorang filosuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitsam (w.1039) seorang fisikawan, dan lain-lain. Sayang perguruan tinggi Islam, yang ada sekarang kurang mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya lagi, lebih-lebih perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang sekarang ini, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang ada sekarang.[11]Selain ilmuan-ilmuan muslim yang dikemukakan di atas masih banyak ilmuan lain yang terkenal diantaranya, Abu Abbas al-Fadhl Ha>tim an-Nizari (w-922) seorang ahli astronomi, Umar Ibn Ibrahim al-Khayyami (w.1123) yang lebih di kenal dengan Umar Khayyam penulis buku aljabar, Muhammad al-Syarif al-Idrisi (1100-1166) ahli ilmu bumi.

Pada periode klasik Islam ini (Abad VII-XIII) dijuluki The golden age of Islam, telah terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ada beberapa faktor yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan pada periode ini, yaitu:

1. Agama Islam sebagai motivasi.

2. Kesatuan bahasa yang memudahkan komunikasi ilmiah.

3. Kebijakan pemerintah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

4. Didirikannya akademi, Laboratorium, dan perpustakaan sebagai sarana pengembangan ilmu.

5. Ketekunan ilmuan untuk mengadakan riset dan eksperimen.

6. Pandangan Internasional yang membuka isolasi dengan dunia luar.

7. Penguasaan terhadap bekas wilayah pengembangan filsafat klasik Yunani.

Pada periode klasik Islam tidak terdapat dikotomi ilmu pengetahuan. Memang telah dikembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Alquran dan hadis dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam dan masyarakat, tetapi masih berada dalam satu kerangka yaitu pengetahuan Islam.[12]Sesudah periode klasik ini, yaitu sejak abad XIII, Ilmu pengetahuan Islam mulai mengalami kemunduran, produktivitas ilmuan-ilmuan muslim sangat berkurang. Di dunia barat justru terjadi sebaliknya, warisan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dari Islam dikembangkan, sehingga mengantar mereka mencapai dunia baru melalui pintu gerbang renaissance, dan reformasi. Kondisi seperti ini mempengaruhi struktur ilmu pengetahuan dalam Islam.

Ilmu pengetahuan yang dikaji dari Alquran dan hadis yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan Islam, sedangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam, dan dari masyarakat dikeluarkan dari struktur ilmu pengetahuan Islam. Dengan demikian muncullah dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan umum. Kalau hal ini dibiarkan terus berkembang maka akan membawa dampak negatif, misalnya teknologi nuklir bisa menjadi senjata pemusnah yang seharusnya untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu Ilmu pengetahuan Islam perlu direkonstruksi kembali dengan paradigma baru yaitu bahwa ilmu pengetahuan Islam menggambarkan terintegrasinya seluruh sistem ilmu pengetahuan dalam satu kerangka. Ilmu pengetahuan Islam menggunakan pendekatan wahyu, pendekatan filsafat, dan pendekatan empirik, baik dalam pembahasan substansi ilmu, maupun pembahasan tentang fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan. Dengan rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak terkait lagi adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan Islam (syariah) dengan ilmu pengetahuan umum, keduanya saling berhubungan secara fungsional (fungsional Corelation)[13]C. Integrasi Ilmu Pengetahuan ke Islaman dengan UmumSetelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.

Tidak hanya sampai di sini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L. 1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya (Geosentrisme) didasarkan pada informasi Bibel.[14]Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler.[15] Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral).

- Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman).

- Sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral, nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke dalam ilmu, menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu memihak, dan dengan demikian menghilangkan obyektivitasnya.[16]Kondisi inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya islamisasi ilmu bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia moderen memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label Islami atau Islam? Ataukah berupaya keras menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utamanya Alquran dan Hadis, ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik? . Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik epistemologis. Dari sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide: Islamisasi ilmu tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide Islamisasi ilmu masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H., telah menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.

Tokoh yang mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat, Isma>il Ra>ji Al-Faru>qi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.

Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan Alquran sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran Islam.

Masalah yang muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan keislaman, dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas prinsipprinsip tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif.

Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut:

1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan maksud yang luhur. Bila alam dikelola dengan maksud yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. Maksud alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.

2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.

3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.

4. Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transenden.[17]Azyumardi Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.

Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari nabi saja. Begitu juga Abu Al-Ala Maudu>di, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.

Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afga>ni menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah.

Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-quraniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.[18]Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme).[19] Model integrasi adalah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat dipakai.[20]Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikankeunikan antara dua keilmuan tersebut.

Terdapat keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains:

(1) Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri . Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains.[21](2) Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal).[22]Amin Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri . maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[23]Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.

- Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya.

- Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah.

- Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.[24]Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.[25]Contoh konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mud{a>rabah) dan kerja sama (al-Musya>rakah). Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan seterusnya.[26]Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan pendekatan islamisasi ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan.

Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis.

- Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka hasil kajian / pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt.

- Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

- Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.

BAB III. KESIMPULAN1. Alquran diturunkan kepada manusia disamping sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil, juga menuntun manusia untuk menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

2. Sejak kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, maka bertumbuh suburlah pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahuan menuju ilmu pengetahuan sekuler.

3. Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan Islam berusaha melakukan Islamisasi atau integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal ini tidak dilakukan maka akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia.

4. Respon cendekiawan muslim berkaitan hubungan antara ilmu pengetahuan Islam dan umum ada 3 tipologi, yaitu: Restorasionis, Rekonstruksionis, dan Reintegrasi.

5. Penyatuan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum lebih condong kepada integrasi-interkoneksitas dan mengacu kepada perspektif ontologis, Epistemologis dan aksiologis.

DAFTAR PUSTAKAAbdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.I, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2006

_______, Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Cet I; Yogyakarta: Penerbit SUKA Press, 2007.

Arief, Armai. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I, Jakarta: CRSD Press, 2005.

Azra, Azyumardi. Reintegrasi Ilmu-Ilmu, Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005.

Bagir, Zainal Abidin (ed), Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Madinah Al-Munawwarah: Mujamma al-Malik Fahd li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H.

Fayid, Syeikh Mahmud Abdul Wahab, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan Drs. Judi Al-Falasany, Pendidikan Dalam Alquran, Semarang: Penerbit CV. Wicaksana, 1989.

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Cet. II, Jakarta; Penerbit: Teraju, 2005.

Said, Nurman. dkk, Sinergi Agama dan Sains, (ed) Cet I; Makassar: Alauddin Press, 2005.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Alquran, Cet. I, Bandung: Penerbit Mizan, 1992

Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik, Jakarta: Gramedia, 1986.

[1] Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Cet; Jakarta: CRSD Press, 2005), h.124.

[2] Nurman Said, Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri, Sinergi Agama dan Sains, (ed) (Cet I; Makassar: Alauddin Press, 2005), h. xxxvi.

[3] Ibid., h.xxxvii

[4] Prof.DR.H.M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Cet I; Yogyakarta: Penerbit Suka Press, 2007), h. 33.

[5] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Madinah Almunawwarah: Mujamma al-Malik Fahd Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H), h. 1079.

[6] Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan Drs. Judi Al.Falasany, Pendidikan Dalam Alquran Semarang: Penerbit CV.Wicaksana, 1989), h. 23-24.

[7] Dr.M.Quraish shihab, Membumikan Alquran, (Cet I, Bandung: Penerbit Mizan, 1992) h .41

[8] Ibid., [9] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Cet. II, Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005), h.25-26.

[10] M. Shaleh Putuhena, Ke Arah Rekonstruksi Sains Islam, Nurman Said, Wahyuddin Hakim, Muhammad Sabri, op.cit, h.107

[11] Prof. Dr.H.M. Amin Abdullah, dkk, op.cit; h. 27.

[12] M.Shaleh Putuhena, op.cit., h. 107.

[13] Ibid., h. 119.

[14] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 3.

[15] Prof.DR. Moh. Natsir Mahmud, Landasan Paradigmalik Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Nurman Said, Wahyuddin Halim Muhammad Sabri, (ed), Op.cit; h. 129.

[16] Lihat Ibid., h. 129-133.

[17] Ibid., h. 134.

[18] Azyumardi Azra, Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam Zainal Abidin Bagir (ed) Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005) h. 206- 211.

[19] Kuntowijoyo, op.cit., h. 57-58.

[20] Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama. Pengalaman UIN Malang. Zainal Abidin Bagir, (ed), op,cit, h.49 50.

[21] Zainal Abidin Bagir (ed), Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (bandung: Mizan, 2005) h, 50-51.

[22] Kuntowijoyo, op.cit; h. 51.

[23] Prof.DR.M.Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Cet.I, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2006), h. VII-VIII.

[24] Ibid., h. 219 223.

[25] Kuntowijoyo, op.cit., h. 62.

[26] Prof.Dr. M.Amin Abdullah, op.cit, h. 105.

LOGIKAINFERENSIALPosted: September 22, 2009 by syekhu in

dalam MAKALAH" MAKALAH Tag:agama, budaya, filsafat, ilmu, inferensial, islam, logika, nilai, paradigma LOGIKA INFERENSIALOleh: SyekhuddinI. PENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahFilsafat merupakan akar dari seluruh ilmu yang ada, dari hasil pemikiran-pemikiran filsafat itulah muncul teori-teori yang sangat bermanfaat bagi perkembangan kelimuan dan teknologi di jagat raya ini.

Kita sudah begitu sering berfikir, rasa-rasanya berfikir begitu mudah. semenjak kita sudah biasa melakukannya. Setiap hari kita sudah berdialog dengan diri kita sendiri, berdialog dengan orang lain, bicara, menulis, membaca suatu uraian, mengkaji suatu tulisan, mendengarkan penjelasan-penjelasan dan mencoba menarik kesimpulan-kesimpulan dari hal-hal yang kita lihat dan kita dengar. Terus menerus seringkali hampir tidak kita sadari.

Namun bila kita selidiki lebih lanjut, dan terutama bila harus dipraktekkan sungguh-sungguh ternyata bahwa berfikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan yang cukup sukar juga. Manakala kita berfikir seksama dan sistematis berbagai penalaran, segera akan dapat kita ketahui bahwa banyak penalaran tidak menyambung. Kegiatan berfikir-fikir benar-benar dituntut kesanggupan pengamatan yang kuat dan cermat; dituntut untuk melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan, kesalahan-kesalahan yang terselubung; waspada terhadap pembenaran diri (rasionalisasi) yang dicari-cari, terhadap segalanya yang tidak berkaitan (tidak relevan), terhadap prasangka-prasangka, terhadap pembuatan oleh rasa perasaan pribadi atau kelompok/ golongan.

B. Rumusan dan Batasan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan Logika Inferensi dapat dirumuskan, sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian logika inferensi?

2. Bagaimana sejarah logika?

II. LOGIKAA. PengertianLogic (logika) berasal dari kata logos (Bhs. Yunani) yang artinya kata (word) atau apa yang diucapkan,[1] kemudian berubah menjadi studi sistem preskriptif dari argumen dan penalaran (reasoning), yaitu sistem yang menjadi acuan bagaimana manusia harus berfikir. Logika dapat dikatakan sebagai bentuk penarikan kesimpulan, apakah sesuatu atau argumen itu absah (valid) atau sebagai pendapat yang keliru (fallacious).[2]Menurut kamus besar bahasa Indonesia, logika berarti; [1] pengetahuan tentang kaidah berfikir, [2] jalan fikiran yang masuk akal.[3] Inferensi berarti simpulan; yang disimpulkan.[4] Oleh karena demikian, logika inferensial dapat didefinisikan sebagai berfikir dengan akal yang sehat untuk memperoleh kesimpulan. Contohnya, ketika seseorang menghadapi sebuah persoalan yang memerlukan jalan keluar (pemecahan), lalu persoalan tersebut ia fikirkan dengan menggunakan akal yang sehat, kemudian dari hasil berfikir itu ia mendapatkan sebuah simpulan pemecahan dari persoalan tersebut.

M. Taib Thahir Abd. Muin mengemukakan bahwa ilmu manthiq (logika) menurut bahasa ialah bertutur benar. Adapun definisinya bermacam-macam, namun kesimpulannya sama, antara lain; [1] ilmu tentang undang-undang berfikir, [2] ilmu untuk mencari dalil, [3] ilmu untuk menggerakkan fikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran, [4] ilmu yang membahas tentang undang-undang yang umum untuk fikiran, [5] alat yang merupakan undang-undang berfikir dan bila undang ini dipelihara dan diperhatikan, maka hati nurani manusia pasti dapat terhindar dari fikiran-fikiran yang salah.[5]B. Sejarah Ringkas LogikaW. Poespoprodjo dalam bukunya yang berjudul Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, membagi sejarah logika,[6] sebagai berikut:

1. Dunia Yunani Tua

Menurut sebagian kisah sejarah Zeno dari Citium (340-265) disebutkan bahwa tokoh Stoa adalah yang pertama kali menggunakan istilah logika. Namun demikian, akar logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis para filsuf mazhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas dan perlawanan asas dalam realitas. Tetapi kaum sofis-lah yang membuat fikiran manusia sebagai titik api pemikiran secara eksplisit. Gorgias (483-375) dari Lionti (Sicilia), mempersoalkan masalah pikiran dan bahasa, masalah penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran. Dapatkah ungkapan mengatakan secara tepat apa yang ditangkap pikiran?

Sokrates (470-399) dengan metodenya, mengembangkan metode induktif. Dalam metode ini dikumpulkan contoh dan peristiwa konkrit untuk kemudian dicari ciri umumnya. Plato, yang nama aslinya Aristokles, (428-347) mengumumkan metode Sokrates tersebut sehingga menjadi teori ide, yakni teori dinge an sich versi Plato. Sedangkan oleh Aristoteles, dikembangkan menjadi teori tentang ilmu. Menurut Plato, ide adalah bentuk mulajadi atau model yang bersifat umum dan sempurna yang disebut prototypa, sedangkan benda individual duniawi hanya merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna yang disebut ectypa. Gagasan Plato ini banyak memberikan dasar terhadap perkembangan logika, lebih-lebih yang bertalian dengan ideogenesis dan penggunaan bahasa dalam pemikiran. Namun demikian, logik epistm (logika ilmiyah) sesungguhnya baru dapat dikatan terwujud berkat karya Aristoteles.

Sesudah Aristoteles, Theoprastus mengembangkan teori logika Aristoteles, dan kaum Stoa mengembangkan teori logika dengan menggarap masalah bentuk argument disjungtif dan hipotesis serta beberapa segi masalah bahasa. Chrysippus yang Stoa mengembangkan logika proposisi dan mengajukan bentuk-bentuk berfikir yang sistematis.

Galenus, Alexander Aphrodisiens, dan Sextus Empiricus mengadakan sistematisasi logika dengan mengikuti cara geometri, yakni metode ilmu ukur. Galenus sangat berpengaruh karena tuntutannya yang sangat ketat aksiomatisasi logika. Karya utama Galenus berjudul Logika Ordini Geometrico Demonstrata. Tapi impian Galenus hanya terlaksana jauh kemudian. Yakni di akhir abad XVII melalui karya saceheri yang berjudul Logica Demonstrativa.

Kemudian muncullah zaman dekadensi logika. Salama ini logika mmengembang karena menyertai perkembangan pengetahuan dan ilmu yang menyadari betapa berseluk beluknya kegiatan berpikir yang langkahnya mesti dipertanggungjawabkan. Kini ilmu menjadi dangkal sifatnya dan sangat sederhana, maka logika juga merosot. Tetapi beberapa karya pantas mendapat perhatian kita, yakni Eisagogen dari Porphyrios, kemudian komentar-komentar dari Boethius dan Fons Scientiae (Sumber Ilmu) karya Johannes Damascenus.[7]2. Logika Abad Pertengahan

Pada mulanya hingga tahun 1141, penggarapan logika hanya berkisar pada karya Aristoteles yang berjudul Kategoriai dan Peri Hermenias. Karya tersebut ditambah dengan karya Phorphyrios yang bernama Eisagogen dan traktat Boethius yang mencakup masalah pembagian, masalah metode debat, silogisme kategoris hipotesis, yang biasa disebut logika lama. Sesudah tahun 1141, keempat karya Aristoteles lainnya dikenal lebih luas dan disebut sebagai logika baru.[8] Logika lama dan logika baru kemudian disebut logika antik untuk membedakan diri dari logika terministis atau logika modern, disebut juga logika suposisi yang tumbuh berkat pengaruh para filosof Arab.[9] Di dalam logika ini di ditunjuk pentingnya pendalaman tentang suposisi untuk menerangkan kesesatan logis, dan tekanan terletak pada ciri-ciri term sebagai symbol tata bahasa dari konsep-konsep seperti yang terdapat di dalam karya Petrus Hispanus, William dari Ockham.

Thomas Aquinas dkk., mengusahakan sistimatisasi dan mengajukan komentar-komentar dalam usaha mengembangkan logika yang telah ada. Pada abad XIII-XV berkembanglah logika seperti yang sudah disebutkan di atas, disebut logika modern. Tokohnya adalah Petrus Hispanus, Roger Bacon, W. Okcham, dan Raimon Lullus yang menemukan metode logika baru yang disebut Ars Magna, yakni semacam Al-jabar pengertian dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.

Abad pertengahan mencatat berbagai pemikiran yang sangat penting bagi perkembangan logika. Karya Boethius yang orisinal dibidang silogisme hipotesis, berpengaruh bagi perkembangan teori konsekwensi yang merupakan salah satu hasil terpenting bagi perkembangan logika di abad pertengahan. Kemudian dapat dicatat juga teori tentang cirri-ciri term, teori suposisi yang jika diperdalam ternyata lebih kaya dari semiotika matematika di zaman ini. Selanjutnya diskusi tentang universalia, munculnya logika hubungan, penyempurnaan teori silogisme, penggarapan logika modal, dan lain-lain penyempurnaan terknis.[10]3. Logika Dunia Modern

Logika Aristoteles, selain mengalami perkembangan yang murni, juga dilanjutkan oleh sebagian pemikir, tetapi dengan tekanan-tekanan yang berbeda. Thomas Hobbes, (1632-1704) dalam karyanya Leviatham (1651) dan John Locke (1632-1704) dalam karyanya yang bernama Essay Concerning Human Understanding (1690). Meskipun mengikuti tradisi aristoteles, tetapi dokrin-dokrinya sangat dikuasai paham nominalisme. Pemikiran dipandang sebagai suatu proses manipulasi tanda-tanda verbal dan mirip operasi-operasi dalam matematika. Kedua tokoh ini memberikan suatu interpretasi tentang kedudukan di dalam pengalaman.

Logika Aristoteles yang rancangan utamanya bersifat deduktif silogistik dan menunjukkan tanda-tanda induktif berhadapan dengan dua bentuk metode pemikiran lainnya, yakni logika fisika induktif murni sebagaimana terpapar dalam karya Francis Bacon, Novum Organum (London, 1620) serta matematika deduktif murni sebagaimana terurai di dalam karya Rene Descartes, Discors The La Methode (1637).

Metode induktif untuk menemukan kebenaran, yang direncanakan Francis Bacon, didasarkan pada pengamatan empiris, analisis data yang diamati, penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara), dan verifikasi hipotesis melalui pengamatan dan eksperimen lebih lanjut.[11]4. Logika di India

Di Asia hanya India yang sudah mengembangkan logika secara formal sejak masa lalunya. Logika lahir dari Sri Gautama yang harus sering berdebat melawan golongan Hindu fanatic yang menyerang aliran kesusilaan yang diajarkannya. Dengan sistematis logika dipaparkannya dalam Nyaya-Sutra sehingga mencapai taraf perkembangan ilmu. Nyaya-Sutra mendapat komentar dari Prasastapada, yang kemudian disempurnakan oleh pengikut-pengikut Buddha lainnya.

Logika terus sebagai metode berdebat, dan mengundang banyak komentar dari orang-orang seperti Uddyotakara, Vacaspati Misra, Mazdab Nyaya, Kumarila Bhatta, Mazdab Mimamza Dharmakirti, seorang Buddhis Udayana, Bhagavata, dan lain-lain.[12]C. Logika Formal dan Logika MaterialSetelah pengetahuan logika makin ramai dibicarakan orang maka logika artificialis dibedakan orang menjadi dua macam, yaitu logika formal dan logika material.[13]Logika formal mempelajari asas-asas, aturan-aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus ditaati, agar orang dapat berfikir dengan benar dan mencapai kebenaran. Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal, serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan-kenyataan praktis yang sesungguhnya. Apakah hasil-hasil logika formal itu sungguh sesuai dengan isi (materi) kenyataan yang sebenarnya.[14]Logika material mempelajari sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan. Logika material inilah yang menjadi sumber yakni yang menimbulkan filsafat mengenal (kennisleer) dan filsafat ilmu pengetahuan (wetenschapsleer).[15]Logika formal dinamakan orang juga logika minor, sedang logika material dinamakan sebagai logika mayor. Dan apa yang disebut dengan logika formal sekarang ini ialah ilmu yang mengandung kumpulan kaidah-kaidah cara berfikir untuk mencapai kebenaran.[16]D. Positivistic LogicPositivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.

Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.[17]E. Mathematical LogicLogika matematika adalah cabang ilmu pengetahuan logika dan matematika. Logika matematika mempelajari tentang matematis ilmu logika dan aplikasinya ke dalam ruang lingkup matematika. Logika matematika juga memiliki kaitan erat dengan ilmu komputer dan logika filsafat. Lebih dari itu, logika matematika kadang dianggap sebagai ilmu yang bisa memetakan logika manusia.

Logika matematika sebenarnya mengacu kepada dua ruang lingkup penelitian yang berbeda. Yang pertama adalah aplikasi teknik-teknik logika formal ke dalam matematika dan penalaran matematika. Sedangkan yang kedua, sebaliknya, adalah aplikasi dari teknik-teknik matematika ke dalam representasi dan analisis logika formal. Bisa dikatakan bahwa logika matematika menyatukan kekuatan ekspresi dari logika formal dan kekuatan deduksi dari sistem pembuktian formal (formal proof system). Penggunaan matematika dalam hubungannya dengan logika dan filsafat dimulai pada zaman Yunani kuno.

Beberapa hasil teori logika yang telah berhasil dan terkenal di kalangan para matematikawan barat di antaranya adalah Teori silogisme dari Aristoteles dan aksioma Euclid untuk geometri planar. Sekitar tahun 1700, percobaan-percobaan untuk melakukan operasi-operasi logika formal dengan memakai simbol-simbol dan aljabar juga dilakukan oleh banyak matematikawan lain, termasuk Leibniz dan Lambert. Akan tetapi, informasi mengenai hasil pekerjaan mereka sangat sedikit dan jarang sekali ditemukan, yang karena itu tidak terlalu diketahui oleh publik.[18]F. Postmodern LogicIstilah postmodern, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939. Kendati sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J Francois Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul The Post-Modern Condition sebagai kritikan atas karya The Grand Narrative yang dianggap sebagai dongeng khayalan hasil karya masa Modernitas.

Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berfikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berfikir yang tidak jelas akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.

Banyak versi dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi seperti Jameson beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner dalam Theories of Modernity and Post-Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua kelompok tadi tentang memahami Post-modernis. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradok, sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, yang mana tidak mungkin kita dapat masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernitas. Dari pendapat terakhir inilah akhirnya postmodernisme dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain: Post-Modernis Ressistace, Post-Modernism Reaction, Opposition Post-Modernisme dan Affirmative Post-Modernism. Akibat dari perdebatan antara dua pendapat di atas, muncullah pendapat ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang kontradiktif tadi.

Zygmunt Bauman dalam karyanya yang berjudul Post-Modern Ethics berpendapat, kata post dalam istilah tadi bukan berartikan setelah (masa berikutnya) sehingga muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti di atas tadi. Menurut Bauman, postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari prasangka (insting, wahm) belaka. Asas pemikiran postmdernisme sebagaimana berbagai isme dan aliran pemikiran lain di Barat, selalu bertumpu dan berakhir pada empat pola pemikiran; epistemologi materialisme, humanisme, liberalisme dan sekularisme. Tidak terkecuali dengan postmodernisme.[19]G. Pragmatic LogicIstilah pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan atau tindakan. isme di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria kebenarannya adalah faedah atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori dapat diaplikasikan).

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).

H. Transendental Logic Emanuel Kant menemukan Logika Transendental yaitu logika yang menyelediki bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi batas pengalaman.[20]III. KESIMPULANDari uraian pembahasan di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa dalam menghasilkan kesimpulan dari hasil pemikiran diperlukan metode, strategi dan pendekatan-pendakatan yang terkonstruk agar inferensinya lebih baik.

Berfikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan yang cukup sukar juga. Manakala kita berfikir seksama dan sistematis berbagai penalaran, segera akan dapat kita ketahui bahwa banyak penalaran tidak menyambung tidak menyekrup. Kegiatan berfikir-fikir benar-benar dituntut kesanggupan pengamatan yang kuat dan cermat; dituntut untuk melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan, kesalahan-kesalahan yang terselubung; waspada terhadap pembenaran diri (rasionalisasi) yang dicari-cari, terhadap segalanya yang tidak berkaitan (tidak relevan), terhadap prasangka-prasangka, terhadap pembuatan oleh rasa perasaan pribadi atau kelompok / golongan.

Jadi jelasnya berfilsafat tidak hanya sekedar berfikir mendalam namun ada aturan-aturan atau prosedur yang harus dijadikan sebagai syarat agar dapat dikatakan berfilsafat.

DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, et al.. Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed. III; Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 2005 M.

Bakry, Hasbullah. Sistematik Filsafat. Cet. IX; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1992 M.

Muin, M. Taib Thahir Abd. Ilmu Manthiq (Logika). Cet. IV; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1993 M.

Poespoprodjo, W.. Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu. Cet. I; Bandung: Pustaka Grafika, 1999 M.

WP, Santika. Logika Digital. Bandung: Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, 2007 M.

Faby, Larsa Pranenza Rahila http://www.informatika.org/~rinaldi/Matdis/2007-2008/Makalah/MakalahIF2153-0708-001.pdfLuthfi, Muchtar. http://jurnalislam.net/idhttp://www.parapemikir.com/articles/6472/1/Logika/Page1.htmlhttp://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_Logis

[1]Dr. Mohd Shabry AR., dalam seminar mata kuliah Filsafat Ilmu pada hari Rabu, 05 Oktober 2008 yang lalu menjelaskan bahwa sebenarnya arti asal kata logos adalah Tuhan pencipta word.[2]Santika WP, Logika Digital, (Bandung: Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, 2007 M.), h. 2.

[3]Hasan Alwi, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Ed. III; Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 2005 M.), h. 680.

[4]Ibid., h. 432

[5]M. Taib Thahir Abd. Muin, Ilmu Manthiq (Logika), (Cet. IV; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1993 M.), h. 16-17.

[6]W. Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, (Cet. I; Bandung: Pustaka Grafika, 1999 M.), h. 41.

[7]Ibid., h. 42-43.

[8]Menurut buku Richard B. Angel yang berjudul Reasoning and Logic, Aristoteles sendiri meninggalkan enam buah buku khusus yang membicarakan ilmu logika ini yang oleh murid-muridnya diberi nama Organon. Keenam buku tersebut adalah Categoriae (mengenai pengertian-pengertian), De Interpretatiae (Mengenai keputusan-keputusan) Analitica Priora (mengenai silogisme) Analitica Posteriora (Mengenai pembuktian) Topika (mengenai berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan berfikir). http://www.parapemikir.com/articles/6472/1/Logika/Page1.html[9]Di dunia Islam, ilmu logika ini tidak diterima begitu saja dengan mulus, tapi direspon dengan berbagai macam pendapat oleh tokoh-tokoh Islam terkemuka. Al-H{a>fiz} Ibnu S{ala>h} dan Ima>m Nawawi misalnya, mereka sangat menentang penggunaan ilmu logika. Penentangan mereka itu bukan hanya sebatas menentang tidak setuju atau tidak sepakat tapi jauh lebih keras dari itu. Penentangan mereka sampai kepada mengharamkan ilmu logika untuk digunakan di dalam dunia Islam. Namun demikian, sebagian besar dari mereka (Jumhu>r Ulama) membolehkan mempelajari ilmu logika dengan syarat orang-orang yang akan mempelajarinya sudah kokoh iman dan cukup akalnya. Selain penolakan yang tegas serupa di atas, di antara mereka ada juga yang malah menganjurkannya, seperti Al-Gaza>liy, Al-Fara>biy, Al-Kindiy dan lain-lain. Al-Kindiy bukan hanya menganjurkan tapi malah mempelajari dan sekaligus menyelidiki logika yunani secara khusus, bahkan Al-Fara>biy melakukannya lebih mendalam lagi dari apa yang sudah dilakukan oleh Al-Kindiy. http://www.parapemikir.com/articles/6472/1/Logika/Page1.html[10]W. Poespoprodjo, op. cit., h. 43.

[11]Ibid., h. 44.

[12]Ibid., h. 56.

[13]Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat, (Cet. IX; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1992 M.), h. 20-21.

[14]Ibid.[15]Ibid.[16]Ibid.[17]

HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_Logis" http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_Logis[18]Larsa Pranenza Rahila Faby, http://www.informatika.org/~rinaldi/Matdis/2007-2008/Makalah/MakalahIF2153-0708-001.pdf[19]Muchtar Luthfi, Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama di Universitas Imam Khomeini Qom, Republik Islam Iran. Lihat, http://jurnalislam.net/id[20]

HYPERLINK "http://www.ebonk.org/blog/archives/2005/06/27/logika/" http://www.ebonk.org/blog/archives/2005/06/27/logika/

FAKTOR-FAKTORPENYOKONG" ISLAM SEBAGAI ADIKUASA; FAKTOR-FAKTORPENYOKONG

Posted: September 22, 2009 by syekhu in

dalam MAKALAH" MAKALAH Tag:adikuasa, agama, budaya, filsafat, ilmu, islam, nilai ISLAM SEBAGAI ADIKUASA; FAKTOR-FAKTOR PENYOKONGOleh : SyekhuddinBAB IPENDAHULUANI. Latar Belakang

Ilmu merupakan salah satu dari sekian pengetahuan, dan kadang-kadang disebut juga dengan nama pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) karena metode untuk memperolehnya dilakukan melalui metode ilmiah.

Perkembangan ilmu telah mengalami dekade yang ditandai oleh ketidak pastian. Penemuan-penemuan yang telah terjadi bukan saja menghasilkan kepuasan dan keasyikan, melainkan membawa juga konsekwensi dasyat dalam kehidupan manusia. Penemuan yang dihasilkan bertumpu pada kreativitas manusia, suatu kemampuan yang unik bagi makhluk manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.

Untuk mengetahui apa sesungguhnya ilmu itu harus melalui filsafat ilmu. Dengan demikian setiap ilmuan merasa sangat penting untuk mendalami filsafat ilmu untuk mengenal hakekat ilmu yang dimilikinya.

Ketika Immanuel Kant menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat, maka semenjak itu refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian. Lahirlah cabang filsafat yang disebut sebagai Filsafat Pengetahuan. Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta tata-cara untuk menggunakan sarana-sarana itu guna mencapai pengetahuan ilmiah.

Karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan a higher level of know ledge maka lahirlah Filsafat Ilmu sebagai penerusan pengembangan Filsafat Pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: ilmu (pengetahuan).

Ajaran Islam melalui Al-Quran telah memberikan landasan untuk membentuk konsep Filsafat Ilmu. Sehingga ketika Filsafat Ilmu yang berlandaskan ajaran Islam (Al-Quran) berhasil diwujudkan, tidaklah salah jika diberi predikat islami atau Qurani sehingga menjadi Filsafat Islami atau Filsafat Qurani.

Adapun Filsafat Ilmu tanpa melandaskan diri pada konsep Agama atau bahkan dipisahkan dari dimensi keimanan menurut ajaran Islam, dalam bahasa lain Filsafat Ilmu ini disebut Filsafat Ilmu sekuler yang berpijak pada pandangan sekularisme.

B. Rumusan MasalahSetelah penulis mengemukakan beberapa persolan latar belakang diatas maka dapat kami tulis beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu :

1. Pengertian Filsafat Ilmu

2. Objek Telaah Filsafat Ilmu

BAB IIPEMBAHASAN1. Pengertian Filsafat Ilmu

Sebelum penulis mengemukakan Filsafat Ilmu terlebih dahulu dikemukakan pengertian Filsafat. Adapun pengertian Filsafat sebagai berikut:

Istilah Filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata Falsafah (Arab), Philoshophy (Inggris), Philoshophia (Latin), Philoshophie (Jerman, Belanda, Prancis). Semua istilah itu bersumber dari Yunani Philoshophia. Istilah Yunani Philein berarti mencintai, sedang philos berarti Teman. Selanjutnya istilah sophos berarti bijaksana, sedangkan sophia berarti kebijaksanaan.[1]Adapun pengertian Filsafat menurut para Filosof antara lain : Konsep Rene Descartes.

Menurut Rene Descartes, filsafat merupakan kumpulan segala pengetahuan, dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya.[2]Konsep Francis Bacon

Menurut Francis Bacon, filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat mengenai semua pengetahuan sebagai bidangnya.[3]Adapun pengertian filsafat ilmu terdapat berbagai pendapat sehingga sulit untuk memberikan suatu batasan yang positif. Misalnya perbedaan pendapat antara Ernest Nagel dengan Stephen Toulmin tentang apakah filsafat ilmu merupakan suatu studi scientific achievement in vivo atau studi tentang masalah-masalah mengenai penjelasan (problems of explanaton).

Ada beberapa titik pandang (view points) untuk menetapkan dasar pemahaman terhadap filsafat ilmu sebagai berikut :

Pertama menyebutkan bahwa filsafat ilmu adalah perumusan world-views yang konsisten dengan, dan pada beberapa pengertian didasarkan atas, teori-teori ilmiah yang penting. Menurut pandangan ini, merupakan tugas dari filusuf ilmu (philosopher of science) untuk mengelaborasikan implikasi yang lebih luas dari ilmu.

Pandangan kedua menyebutkan bahwa filsafat ilmu adalah suatu eksposisi dari presuppositions dan predispositions dari para ilmuan. Filusuf ilmu mungkin mengemukakan bahwa para ilmuan menduga (presuppose) alam tidak berubah-ubah, dan terdapat suatu keteraturan di alam sehingga gejala-gejala alam yang tidak begitu kompleks cukup didapat oleh peneliti. Sebagai tambahan, peneliti mungkin tidak menutup keinginan-keinginan deterministik para ilmuan lebih daripada hukum-hukum statistik, atau pandangan mekanistik lebih daripada penjelasan teologis. Pandangan ini cenderung mengasimilasikan filsafat ilmu dengan sosiologi.

Pandangan ketiga mengemukakan bahwa filsafat ilmu itu adalah suatu disiplin yang di dalamnya konsep-konsep dan teori-teori tentang ilmu dianalisis dan diklasifikasikan. Hal ini berarti memberikan kejelasan tentang makna dari berbagai konsep seperti partikel, gelombang, potensial dan komplek di dalam pemanfaatan ilmiahnya. Akan tetapi, Gilbert Ryle telah menunjukkan terdapat sesuatu yang pretensius (pretentious) tentang pandangan ini mengenai filsafat ilmu sehingga para ilmuan memerlukan filsafat ilmu untuk menjelaskan kepada mereka makna dari konsep-konsep ilmiah.

Filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan dalam hal ini kadang-kadang filsafat ilmu ditumbuhkan pengertiannya dengan metodologi. Jadi filsafat ilmu ialah penyelidikan filosofis tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan penyelidikan lainjutan. Akan tetapi, yang perlu untuk dipahami adalah bahwa filsafat ilmu itu pada dasarnya science of science.[4]B. Objek Telaah Filsafat Ilmu Ilmu pengetahuan selalu memperbarui diri seiring dengan perkembangan zaman, dan itu berlangsung menurut hukum kemajuan.[5] Sampai saat ini, ilmu dianggap masih dalam keadaan antara kurang dan lengkap, antara keliru dan benar, antara terpencar dan padu dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah aneh dalam kaedah ilmu pengetahuan bila ia mengalami goyah setelah pasti atau roboh setelah diyakini.

Pada mulanya ilmu bersifat perkiraan kemudian meningkat menjadi menyakinkan. Para peneliti masih terus melakukan eksperimen-eksperimennya terhadap pelbagai kaidah ilmu pengetahuan, yang selama berabad-abad dianggap sebagai kebenaran yang tak perlu dipersoalkan lagi.[6] Para peneliti akan memulai usaha penelitian baru untuk menemukan kaedah-kaedah ilmu yang baru yang diharapkan akan menjadi hukum-hukum atau teori-teori yang akan berlaku di zaman yang akan datang.[7]Pada masa yang lalu ilmu pengetahuan identik dengan filsafat, sehingga pembatasannya bergantung pada sistem filsafat yang dianutnya. Perkembangan filsafat dapat mengantarkan suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan itu tumbuh dengan subur serta bercabang dengan mekar. Selanjutnya masing-masing cabang melepaskan diri dari batas filsafatnya dan berkembang mandiri yang masing-masing mengikuti metodologinya sendiri.

Setelah dilakukan gerakan demitologisasi yang di pelopori para filusuf pra-socrates, filsafat dengan kemampuan rasionalitasnya setapak demi setapak telah mencapai puncak perkembangannya sebagaimana ditunjukkan melalui Socrates, Plato dan Aristoteles. Semenjak itu filsafat yang semula bercorak metologik berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang meliputi berbagai macam bidang. Hal tersebut terbukti dengan pernyataan Aristoteles bahwa filsafat sebagai semua kegiatan yang dapat dipertanggung jawabkan secara akaliah, dan membaginya menjadi ilmu pengetahuan Poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (dalam arti normatif seperti etika, politik) dan ilmu pengetahuan teoritik. Ilmu pengetahuan inilah yang dianggap sebagai yang terpenting dan membaginya menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama yang selanjutnyanya dikenal sebagai metafisika.

Setelah refleksi filsafat mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian maka lahirlah cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan, dimana komponen-komponen pendukungnya yakni logika, filsafat bahasa, matematika, dan metodologi. Dari cabang filsafat ini dijelaskan sumber dan sarana serta tata cara untuk menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Dalam konteks pengetahuan ilmiah ini, maka lahirlah cabang filsafat yang disebut filsafat ilmu sebagai penerusan atau pengembangan filsafat pengetahuan.

Objek Telaah filsafat ilmu dalam bidang filsafat sebagai keseluruhan pada dasarnya mencakup dua pokok bahasan, yaitu: pertama, membahas sifat pengetahuan ilmiah, dan kedua menelaah cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah.[8] Pokok bahasan yang pertama erat hubungannya dengan filsafat pengetahuan (epistemologi), yang secara umum menyelidiki syarat-syarat dan bentuk-bentu