epistemologi; ilmu hadits dan ilmu hukum islam

261
EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM Penulis: Miftahul Ulum. S.Th.I., M.Pd Rusmin Nuryadin, A.Md.Par., S.E., M.Si Drs. Habibullah Angkasa, M.Ag Sugiharto, M.Pd Dr. Zarul Arifin, M.S.I Baiq Ismiati, S.E.I., M.H., M.E Dr. Sri Wahyuni Hasibuan, M.Pd

Upload: others

Post on 21-Oct-2021

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS

DAN ILMU HUKUM ISLAM

Penulis:

Miftahul Ulum. S.Th.I., M.Pd Rusmin

Nuryadin, A.Md.Par., S.E., M.Si Drs.

Habibullah Angkasa, M.Ag Sugiharto,

M.Pd

Dr. Zarul Arifin, M.S.I

Baiq Ismiati, S.E.I., M.H., M.E Dr.

Sri Wahyuni Hasibuan, M.Pd

Page 2: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Penulis:

Miftahul Ulum. S.Th.I., M.Pd | Rusmin Nuryadin, A.Md.Par.,

S.E., M.Si | Drs. Habibullah Angkasa, M.Ag | Sugiharto, M.Pd |

Dr. Zarul Arifin, M.S.I | Baiq Ismiati, S.E.I., M.H., M.E | Dr. Sri

Wahyuni Hasibuan, M.Pd

ISBN:

Editor:

Desain Sampul:

Penerbit:

EDU PUBLISHER Jl. Tamansari Km. 2,5 Kota Tasikmalaya, Jawa Barat Email : [email protected] Instagram : @edupublisher1 Whatsapp : 0853 5170 2656 (WA only) Anggota IKAPI No. 352/Anggota Luar Biasa/JBA/2020

Cetakan pertama,

@ Hak Cipta dilindungi undang-undang

Page 3: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

pertolongan dan hidayahnya sehingga para penulis dapat

menyelesaikan penyusunan buku berjudul; “Epistemologi; Ilmu

Hadits dan Ilmu Hukum Islam.” Ini dimaksudkan tidak lain untuk

memberikan “kontribusi pemikiran”. Islam merupakan agama

yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada

pengekangan yang dilakukan Islam kepada pemeluknya kecuali

untuk hal-hal yang dapat merugikan manusia itu sendiri. Itulah

sebabnya mengapa hanya Islam yang diridhai Allah sebaga i

agama yang haq. Barangsiapa yang mencari agama di luar Islam

maka tidak akan dilegalisasi oleh Allah Swt. Akan hal itu, Islam

menawarkan dua panduan dalam kehidupan ini yaitu al-Qur`an

dan al-Sunnah. Pedoman yang diberikan Allah tersebut telah

mengatur seluruh aspek kehidupan manusia walaupun tidak

sepenuhnya dirincikan oleh Allah dan Rasul-nya. Salah satu aspek

kehidupan manusia yang diatur olehnya adalah aspek ilmu

pengetahuan. Al-Qur`an misalnya banyak memberikan isyarat

tentang ilmu pengetahuan, demikian pula hadits Nabi Saw.

Buku ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai rujukan atau

referensi para mahasiswa khususnya, para dosen, serta para

pengakaji ilmu hadits dan hukum Islam pada umumnya. Terlepas

dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat

Page 4: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM
Page 5: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

kekurangan baik dari segi pengolahan bahasa maupun

subtansinya. Karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima

segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat

memperbaiki buku ini.

.................., April 2020

Penulis

Page 6: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM
Page 7: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

1 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

1

BAB 1

EPISTEMOLOGI

A. Pengertian Epistemologi

Jika ditelaah lebih mendalam, sejak masa Renaissance

sampai dengan abad modern, maka tepatlah apa yang

diungkapkan sebagian para ahli yang mengatakan. Umat muslim

tidak hanya mundur tetapi tertinggal sangat jauh dibandingkan

dengan Barat dalam konteks ilmu. (Nur Kholik, 2020:iv). Secara

etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu

episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan

logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi dapat

diartikan sebagai teori tentang pengetahuan (theory of

knowledge). Sedangkan dalam segi terminologi epistemologi

merupakan suatu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam

dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan

validitas pengetahuan, (Abdul Khobir, 2007:25-26).

Kajian epistemologi ini banyak perdebatan yang

menganalisis sifat pengetahuan dan bagaimana ia berhubungan

dengan istilah-istilah yang berkaitan dengannya, seperti

kebenaran, kepercayaan dan penilaian. Selain itu, ada juga yang

mengkaji sarana produksi pengetahuan, termasuk juga skeptisisme

Page 8: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

2 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

2

tentang klaim-klaim pengetahuan yang berbeda. (Tejo Waskito &

Nur Kholik, 2020:19).

Page 9: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

3 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

3

Pemahaman para ahli tentang epistemologi memiliki

perbedaan, baik dari segi sudut pandang maupun cara

mengungkapkannya. Kadang redaksi penyampaiannya juga

membuat persoalan substansinya juga berbeda. Menurut Nurani

Soyomukti epistemologi adalah cabang filsafat yang memberikan

fokus perhatian pada sifat dan ruang lingkup ilmu pengetahuan,

yang terdiri dari pertanyaan berikut: Apakah pengetahuan?

Bagaimanakah pengetahuan diperoleh? Bagaimana mengetahui

apa yang kita ketahui? (Nurani Soyomukti, 2011:151)

Epistemologi yaitu untuk menjawab dari mana asal atau

sumber sesuatu itu, dan bagaimana cara mendapatkan atau

memperoleh sesuatu yang dimaksud. Selain itu, epistemologi juga

untuk menjawab sifat, karakteristik dan ciri-ciri tertentu dari

segala sesuatu yang sedang diselidiki, (Al-Jauharie, 2010:4).

Hardono Hadi sebagaimana dikutip oleh Amsal Bakhtiar dalam

bukunya yang berjudul “Filsafat Ilmu”, bahwa epistemologi

adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba

menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-

pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung-jawaban atas

pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. (Amsal

Bakhtiar, 2011:148) Sedangkan Hamlyn seperti dikutip Mujamil

Qomar dalam bukunya yang berjudul “Epistemologi Pendidikan

Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik”

mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang

berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan

pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat

Page 10: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

4 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

4

diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki

pengetahuan. (Mujamil Qomar, 2005:350)

Page 11: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

5 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

5

Selanjutnya Runes menyatakan, epistemologi adalah cabang

filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode, dan

validitas pengetahuan. Sementara itu, Azra menambahkan bahwa

epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian,

pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan,

(Azyumardi Azra, 2003:114). Sedangkan Sofyan mendefinisikan

epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas hakikat ilmu

pengetahuan manusia, khususnya pada empat masalah tentang

sumber-sumber ilmu pengetahuan, alat pencapaian pengetahuan,

metode pencapaian pengetahuan, dan batasan pengetahuan atau

klasifikasi pengetahuan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan

bahwa epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang membahas

hakikat ilmu pengetahuan manusia, meliputi sumber, struktur,

metode-metode, klasifikasi, dan validitas ilmu pengetahuan yang

mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,

pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung-

jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki

sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.

Kemudian ada beberapa istilah yang dipakai untuk

menyebutkan ilmu pengetahuan, seperti istilah ilmu, pengetahuan,

al-‘ilm dan sains. Barangkali untuk menyederhanakan masalah,

keempat istilah itu dianggap memiliki makna dan maksud yang

sama sehingga istilahistilah tersebut bebas digunakan dalam

wacana keilmiahan tanpa dikaitkan dengan konotasi-konotasi

pemahaman yang spesifik dan tertentu. Dalam diskusi ilmiah

Page 12: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

6 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

6

ternyata masing-masing istilah tersebut memiliki kandungan

makna yang tidak sama bukan sekedar karena faktor asal-usul

Page 13: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

7 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

7

bahasa, melainkan substansi makna yang dikandung masing-

masing istilah tersebut. Masing-masing istilah tersebut memiliki

perbedaan jangkauan makna dan bobot kebenaran dan setidaknya

dalam pandangan para pengkajinya. (Ayi Sofyan, 2002:76)

Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa sesuka hati

memaknai dua istilah dengan maksud yang sama. Misalnya,

ketika kita menggunakan istilah pengetahuan sebaiknya segera

diikuti dengan pemahaman sebagai pengalaman sehari-hari yang

belum menjadi suatu bangunan sistematik, sehingga belum bisa

disamakan dengan ilmu. Jika dilihat dari segi proses bangunan

tersebut, tahapan pengetahuan mendahului tahapan ilmu. Bobot

kebenarannya pun berbeda, bobot kebenaran ilmu lebih tinggi

daripada pengetahuan. Selain itu, jika kita menggunakan secara

bergantian istilah ilmu dan sains untuk maksud ilmu pengetahuan

sebenarnya secara teliti juga tidak tepat karena istilahistilah itu

muncul dilatar belakangi tradisi intelektual yang berbeda.

Apa yang dikatakan ilmu oleh orang Islam dan sains, baik

oleh orang Barat maupun non Barat sebenarnya tidak sama persis.

Minimal kedua istilah tersebut memiliki dua sumber yang

berbeda, belum lagi konsekuensikonsekuensinya. Dalam konteks

Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran absolut. Istilah yang

paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-‘ilm,

karena memiliki dua komponen. Pertama, sumber asli seluruh

pengetahuan adalah wahyu atau al-Qur’an yang mengandung

kebenaran absolut.

Page 14: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

8 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

8

Kedua, bahwa metode mempelajari pengetahuan yang

sistematis dan koheren semuanya sama-sama valid, semuanya

menghasilkan kebenaran dan realitas bagian yang sangat

Page 15: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

9 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

9

bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

Dua komponen ini menunjukkan bahwa al-‘ilm memiliki akar

sandaran yang lebih kuat dibanding sains dalam versi Barat. Akar

sandaran al-‘ilm justru langsung berasal dari yang Maha Berilmu,

Tuhan yang secara teologis diyakini sebagai Sang Penguasa

Segala-galanya, (Mujamil Qomar, 2008:104). Wahyu sebagai

sumber seluruh pengetahuan memberi kekuatan yang sangat besar

terhadap bangunan pengetahuan, jika mampu mentransformasikan

berbagai bentuk ajaran normatif-doktriner menjadi teori-teori

yang bisa diandalkan. Selain itu, wahyu memberikan bantuan

intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan rasional dan

empiris sehingga pengetahuan yang berdasarkan wahyu memiliki

khazanah intelektual yang lebih lengkap daripada sains. Wahyu

bisa dijadikan sebagai sumber pengetahuan baik pada saat

seseorang menemui jalan buntu ketika melakukan perenungan

secara radikal maupun dalam kondisi biasa, artinya wahyu bisa

dijadikan rujukan pencarian ilmu pengetahuan kapan saja

dibutuhkan, baik yang bersifat inspiratif maupun terkadang ada

juga yang bersifat eksplisit. Maka dari itu, pengetahuan yang

bersumber dari wahyu memiliki sambungan vertikal, yakni Allah

sebagai pemilik ilmu diseluruh alam jagat raya ini, (Mujamil

Qomar, 2008:105).

Ada beberapa ciri dari ilmu pengetahuan, sebagai berikut: 1)

Objek ilmu pengetahuan adalah empiris, yaitu fakta-fakta yang

dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan

panca indera. 2) Ilmu pengetahuan mempunyai karakteristik

Page 16: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

10 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

10

tersendiri, yaitu mempunyai sistematika hasil yang diperoleh

bersifat rasional dan objektif, universal dan komulatif. 3) Ilmu

Page 17: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

11 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

11

pengetahuan dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, studi, dan

pemikiran, baik melalui pendekatan deduktif maupun pendekatan

induktif atau kedua-duanya. 4) Sumber dari ilmu pengetahuan

adalah Tuhan, karena Dia yang menciptakannya. 5) Fungsi ilmu

pengetahuan untuk keselamatan, kebahagiaan, pengamanan

manusia dari segala sesuatu yang menyulitkan.

Agar dapat mengapresiasikan sumbangan yang diberikan Al-

Qur’an kepada kelahiran dan perkembangan metode ilmiah, maka

kita perhatikan persyaratan-persyaratan ilmu pengetahuan.

Pertama, pengakuan atas kenyataan bahwa setiap manusia

terlepas dari kasta, kepercayaan, jenis kelamin, atau usia

mempunyai hak yang tidak dapat diganggu gugat atau

dipersoalkan lagi untuk mencari ilmu. Kedua, bahwa metode

ilmiah itu tidak hanya pengamatan atau eksperimen, akan tetapi

teori sistematis ilmu pengetahuan fakta mengklasifikasikannya,

menunjukkan hubungan diantaranya, lalu menggunakannya

sebagai dasar untuk menyusun teori. Ketiga, bahwa semua orang

harus mengakui bahwa ilmu pengetahuan berguna dan berarti baik

untuk individu maupun pada tingkat sosial. (Mujamil Qomar,

2008:105)

B. Problematika Pokok dalam Epistemologi

Muhammad ‘Abid al-Jabiri salah seorang pemikir

kontemporer Islam telah berupaya menyusun konstruksi

epistemologi studi keislaman kepada epistemologi bayānī,

burhānī dan irfānī. (Abed Al Jabiri, 2000:xvii) Ketiga kluster

Page 18: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

12 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

12

sistem epistemologi Ulûmuddîn ini masih berada dalam satu

rumpun, tetapi dalam prakteknya hampir-hampir tidak pernah

Page 19: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

13 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

13

seiring-sejalan. Pola pikir tekstual bayânî lebih dominan dari dua

lainnya, dan secara hegemonik membentuk mainstream pemikiran

keislaman. Akibatnya, pola pemikiran keagamaan Islam menjadi

kaku dan rigid. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan

dalam kaidah-kaidah metodologi usul fiqh klasik lebih

diunggulkan daripada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti

ilmu-ilmu kealaman (kawniyah), akal (aqliyah) dan intuisi

(wijdāniyah). Dominasi pola pikir bayānī yang bersifat tekstual-

ijtihādiyyah menjadikan sistem epistemologi keagamaan Islam

kurang begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat

kontekstual-bahtsiyyah, (Musliadi, 2014:161).

Kelemahan epistemologi bayānī atau tradisi berpikir tekstual-

keagamaan, yaitu ketika ia harus berhadapan dengan teks-teks

keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau

masyarakat beragama lain. Dalam berhadapan dengan komunitas

lain agama, corak argumen berpikir keagamaan model tekstual-

bayānī biasanya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik,

defensif, apologis, dan polemis. Itulah jenis pengetahuan

keagamaan yang biasa disebut sebagai al-'ilm altawqīfī. Pola

berpikir ini meminjam istilah Muhammed Arkoun, yang

menimbulkan sikap pensakralan pemikiran keagamaan.

Akibatnya, hanya lantaran perbedaan kerangka teori, metodologi,

epistemologi serta variasi dan kedalaman literatur yang

digunakan, umat Islam mudah sekali saling murtad-memurtadkan

bahkan saling kafir mengkafirkan. (Amin Abdullah, 2003:19)

Page 20: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

14 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

14

Dalam pandangan Amin, problematika epistemologi dalam

ilmuilmu keislaman dan pemikiran Islam pada umumnya semakin

menjadi sasaran kritik yang pedas secara akademik. Amin

Page 21: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

15 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

15

Abdullah mensinyalir sarjana-sarjana Muslim seangkatan Fazlur

Rahman yang mengambil posisi serupa, justeru lebih radikal,

yaitu Mohammed Arkoun. Banyak artikel dan buku-bukunya

yang diterbitkan tahun-tahun belakangan ini secara konsisten

menyatakan perlunya mengkritisi secara epistemologis bangunan

konstruksi dan isi pemikiran Islam. (Musliadi, 2014:165)

Arkoun menggambarkan problem pemikiran Islam

kontemporer sebagai berikut:

“Riset mengenai Islam sebagai agama telah terhenti

karena orang-orang Muslim semakin lama semakin menjadi

subyek bulan-bulanan dari pertentangan/pertikaian politis,

budaya, dan psikologis yang berkembang di dalam

masyarakat mereka, sementara itu para ahli ilmu keislaman

(Islamolog) sembari terkagum-kagum dengan efektivitas

gerakan “fundamentalis” secara politis, menunjukkan

preseden adanya upaya mengkombinasikan antara ilmu

politik dan sosiologis politik untuk menjelaskan pandangan

mereka terhadap apa-apa yang dikategorikan sebagai trend

jangka pendek, tetapi tidak sampai menyentuh telaah ulang

pada kerangka kerja epistemologi sistem penalaran Islam

untuk keperluan jangka panjang, yang sebenarnya justeru

sangat diperlukan”. (Mohammed Arkoun, 1988:407)

Problem rasionalitas dan historisitas dalam pemikiran Islam

dan ilmu-ilmu keislaman saat ini sedang mendapat tantangan dan

kritik tajam, khususnya dari sarjana-sarjana Muslim masa kini.

Beberapa di antara para pemikir itu dapat disebut antara lain

Muhammad ‘Abid al-Jabiri, (Musliadi, 2014:167) Nasr Hamid

Abu Zayd, Muhammad Shahrur, dan Abdullah Ahmad An-Na’im.

Page 22: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

16 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

16

(Muhammad Syahrur, 1992:67). Meskipun demikian, menurut

pengamatan Amin Abdullah yang harus diuji lebih lanjut, belum

Page 23: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

17 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

17

ada satupun dari generasi pemikir-pemikir Islam saat ini yang

mencoba menjelaskan relevansi penerapan teori-teori dan

metodologi ilmiah, yang merupakan inti sarinya filsafat ilmu,

pada wacana ilmu-ilmu keislaman dalam rangka mengkritisi

seluruh konstruksi ilmu-ilmu keislaman dan pemikiran Islam yang

begitu luas. Selagi ilmu-ilmu keislaman dan studi-studi keislaman

dapat disebut sebagai “science” maka Amin Abdullah

berpendapat bahwa, usaha untuk mempertemukan teori-teori dan

metodologi ilmiah dengan bangunan ilmu-ilmu keislaman tersebut

adalah suatu langkah yang valid untuk dilakukan, sehingga akan

terjadi interaksi dan dialog yang kreatif di antara komponen-

komponen tersebut dengan acuan dasar filsafat ilmu. (Ahmad An-

Na’im, 1990:65). Amin Abdullah membagi keilmuan agama

Islam ke dalam tiga wilayah; (Amin Abdullah, 2005:27-45)

Pertama, wilayah praktik keyakinan dan pemahaman

terhadap wahyu yang telah diinterpretasikan sedemikian rupa oleh

para ulama, tokoh panutan masyarakat dan para ahli pada

bidangnya dan oleh anggota masyarakat pada umumnya. Wilayah

praktik ini umumnya tanpa melalui klarifikasi dan penjernihan

teoritik keilmuan, yang dipentingkan di sini adalah pengamalan.

Pada level ini perbedaan antara agama dan tradisi, agama dan

budaya, antara belief dan habits of mind sulit dipisahkan. Kedua,

wilayah teori-teori keilmuan yang dirancang dan disusun

sistematika dan metodologinya oleh para ilmuan, para ahli, para

ulama sesuai bidang kajiannya masing-masing. Apa yang disebut

ulum al-tafsir, ulum al-hadis, Islamic Thought (kalam, falsafah

Page 24: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

18 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

18

dan tasawuf), hukum dan pranata sosial (Fikih), sejarah dan

peradaban Islam, pemikiran Islam, dan dakwah Islam ada pada

Page 25: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

19 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

19

wilayah ini. Apa yang ada pada wilayah ini sebenarnya tidak lain

dan tidak bukan adalah “teori-teori” keilmuan agama Islam yang

diabstraksikan baik secara deduktif dari nash-nash atau teks-teks

wahyu maupun secara induktif dari praktek-praktek keagamaan

yang hidup dalam masyarakat Muslim era kenabian, Sahabat,

Tabi’in maupun sepanjang sejarah perkembangan masyarakat

Muslim di mana pun berada. (Musliadi, 2014:167)

Ketiga, adalah telaah kritis, yang lebih populer disebut meta

discourse, terhadap sejarah perkembangan jatuh bangunnya teori

yang disusun oleh kalangan ilmuan dan ulama pada lapis kedua.

Lebih-lebih jika teori-teori pada disiplin tertentu, ‘Ulūm al-

Qur’ān umpamanya, didialogkan dengan teori-teori yang biasa

berlaku pada wilayah lain, ‘Ulūm al-ḫadīst, sejarah Peradaban

Islam dan seterusnya. Teori yang berlaku pada wilayah kalam

didialogkan dengan teori yang berlaku pada wilayah tasawuf, dan

begitu selanjutnya.

Dipahami dalam pandangan Amin Abdullah, mendalami isu-

isu yang terkait dengan filsafat ilmu-ilmu keislaman sebaiknya

tidak hanya terhenti pada level teoritis dan abstrak semata. Jika

kajian itu dikemas dengan bagus secara metodologis dengan

dilengkapi kerangka teori dan berbagai pendekatan yang

interdisiplin dan multi disiplin, maka diskursus tersebut akan

mempunyai dampak langsung terhadap praktik sosial keagamaan

Islam. Ia akan melatih, memupuk dan membentuk nalar kritis

terhadap realitas pola perilaku umat Islam di mana pun mereka

berada. Nalar komunal yang beraroma politis memang selalu

Page 26: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

20 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

20

menghindar dari diskusi filsafat ilmu. Hal itu terjadi sejak era

Plato-Aristoteles hingga John Rawl dan Gadamer; sejak al-Farabi,

Page 27: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

21 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

21

Ibn Rusyd, Mulla Shadra, sampai Fazlur Rahman, Abid al-Jabiri,

Hasan Hanafi dan seterusnya.

Ada baiknya jika agenda reformulasi dan rekonstruksi filsafat

ilmu-ilmu keislaman perlu dikedepankan terlebih dahulu, sebelum

melangkah ke wilayah ilmu-ilmu keislaman atau sebaliknya

mempelajari ilmu-ilmu keislaman terlebih dahulu dan tidak cepat

puas dan berhenti disitu, tetapi dilanjutkan dan diakhiri dengan

filsafat ilmu-ilmu keislaman agar supaya dapat utuh dan

komprehensif dalam melihat persoalan keagamaan dan keislaman

sekaligus. (Ian G. Barbour, 1966:114)

Pada saat sekarang ini, filsafat Islam dan pemikiran Islam

kontemporer dihadapkan pada situasi dan konteks yang sama

sekali berbeda dari situasi ketika ia semula dibangun, dipikirkan,

dirancang dan disistematisasikan oleh para pengarang, pencetus,

penyusun dan penulisnya. Ketika ilmu-ilmu keislaman dirancang

dan disitematisasikan, para perancangnya belum mengenal

semiotika, linguistik modern, hermeneutika, critical-social-

science dan begitu seterusnya. Ide pembaruan dalam filsafat Islam

dan pemikiran keislaman kontemporer terletak pada sejauh mana

ilmu-ilmu tersebut mampu berinteraksi dan berdialog dengan

perkembangan baru dalam diskursus keislaman. Jika saja, ilmu itu

tetap bertahan, pada pola lama untuk menjaga “orisinalitas”-nya,

maka ide-ide segar yang disumbangkan oleh metodologi ilmu-

ilmu baru tersebut akan tertolak dengan sendirinya. Sedangkan

jika mereka secara apresiatif-kreatif menyeleksi dan

mengawinkan metodologi keilmuan baru dengan ilmu-ilmu

Page 28: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

22 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

22

keislaman, maka pembaruan dalam filsafat Islam dan pemikiran

keislaman akan tampak dengan sendirinya. (Musliadi, 2014:169)

Page 29: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

23 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

23

C. Epistemologi Ilmu Keislaman

Secara umum di Indonesia, dalam hal hubungan politiknya

dengan negara, sudah lama Islam mengalami jalan buntu. Rasanya

perlunya ada pemahaman ulang mengenai sebuah epistemologi,

(Nur Kholik: 2020:1). Secara khusus dalam uraiannya Harun

Nasution, menyatakan episteme berarti pengetahuan dan

epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa

pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan.

Selanjutnya, Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi

sebagai berikut; Epistemologi berarti: ilmu filsafat tentang

pengetahuan atau pendek kata, filsafat pengetahuan. Dari

pengertian di atas Nampak bahwa epistemologi bersangkutan

dengan masalah-masalah yang meliputi: 1) Filsafat yaitu sebagai

ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan. 2)

Metode yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia

untuk memperoleh realitas kebenaran pengetahuan. 3) Sistem

yaitu sebagai sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran

pengetahuan. (Pramushinta & Wahyuningsih, 2017:197)

Sedangkan pengertian Islam menurut Maulana Muhammad

Ali dapat dipahami dari Firman Allah yang terdapat pada ayat 208

surat Al-Baqarah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman,

masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan

janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya

syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Dan juga dapat dipahami

dari ayat 61 surat al-Anfal yang artinya: dan jika mereka condong

kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan

Page 30: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

24 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

24

bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang

Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Page 31: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

25 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

25

Harun Nasution mengatakan bahwa Islam menurut istilah

(Islam sebagai agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya

diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi

Muhammad SAW. Sebagai Rasul. Islam hakikatnya membawa

ajaran-ajawan yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi

mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. (Pramushinta &

Wahyuningsih, 2017:195)

Dari dua pengertian tersebut di atas dapat dipahami secara

kasar bahwa Epistemologi Islam adalah filsafat hukum yang

menganalisis hukum Islam secara metodologis dan sistematis,

sehingga mendapatkan keterangan mendasar atau menganalisis

hukum Islam secara ilmiah dengan pendekatan filsafat sebagai

alatnya. Oleh karenanya tidak salah pula, bagi sebagian kalangan,

Epistemologi Islam seringkali disebut sebagai Filsafat hukum

Islam.

Adapun perkembangan epistemologi islam, dalam Al-Qur’an

maupun dalam as-sunnah, tidak terdapat kata filsafat, tidak berarti

bahwa Al-Qur’an dan As-sunnah tidak mengenal apa yang

dimaksud dengan falsafah itu. Dalam kedua sumber itu dikenal

kata lain yang sama maksudnya dengan itu yaitu kata hikmah.

Pemikiran terhadap Hukum Islam telah lahir sejak awal sejarah

umat Islam, disebabkan oleh adanya dorongan Al-Qur’an dan

Sunnah Rasul agar manusia menggunakan pikirannya dalam

menghadapi persoalan-persoalan hidup, lebih lebih dalam

persoalan yang fundamental, menyangkut akidah atau keyakinan

agama. Misalnya QS. Al-Isra/17:36 yang apabila diterjemahkan

Page 32: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

26 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

26

adalah “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak

mempunyai pengetahuan tentangnya.Sesungguhnya pendengaran,

Page 33: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

27

penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan

jawabnya.” (Ismail, 1992:18-19) Ayat Al-Qur’an tersebut dengan

jelas memerintahkan agar dalam menghadapi ajaran-ajarannya

hendaknya dipergunakan akal pikiran, karena hanya dengan cara

demikianlah kebenaran mutlak Al-Qur’an dapat diyakinkan.

Al-Asy’ari, yang seringkali disebut sebagai Bapak Teologi

Umat Islam Indonesia, dapat dikatakan sebagai salah seorang

tokoh pemrakarsa berfilsafat dengan hukum Islam. Al-Asy’ari

adalah generasi kedua setelah Al-Kindi (185 H/801 M – 260 H/

873 M). Sementara Al-Kindi, yang menguasai dengan baik bahas

Yunani dan bahasa Syria, inilah yang dikenal pengulas dan

penerjemah buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahsa Arab.

Termasuk menerjemahkan buku Plotinus yang sangat terkenal,

yaitu Enneads, yang di dalamnya membahas ajaran-ajaran Plato

dan Aristoteles. Pada waktu itulah filsafat dan ilmu pengetahuan

di dunia Islam mulai menemukan bentuknya. (Pramushinta &

Wahyuningsih, 2017:196)

Begitu pesatnya pengaruh filsafat Yunani kala itu sehingga

tidak sedikit umat Islam yang mencu-rigainya. Bahkan ada yang

tegas-tegas menentangnya sebagai perbuatan bid’ah dan

menyesatkan seperti disinyalir Asy’ari tadi. Alasan mereka cukup

“masuk akal”; yaitu seandainya filsafat (Yunani) merupakan

bagian dari petunjuk dari Allah dan di dalamnya ada kebenaran

maka pastilah Nabi dan para sahabat membahasnya. Makanya

untuk konteks Indonesia, yang mayoritasnya menganut faham

Asy’ariyah, kita sangat heran atas kurangnya bahkan hampir tidak

adanya sama sekali sambutan umat Islam terhadap filsafat dan

Page 34: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

28

ilmu pengetahuan moderen. Kebanyakan di antara umat masih

EPISTEMOLOGI; 14

Page 35: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

29

mencurigai filsafat hanya akan menyesatkan, dan karenanya harus

dijauhi. Mereka lebih senang berkutat pada kitab-kitab fiqih yang

ditulis untuk menjawab tantangan zamannya. Mereka lupa bahwa

filsafat dan ilmu pengetahuan modern sekarang tidak akan sampai

ke Eropa kalau bukan karena jasa para filosof dan ilmuwan Islam

zaman dulu. (Pramushinta & Wahyuningsih, 2017:198)

Sikap penentangan pada zaman Asy’ari tidak berhasil

menghentikan laju perkembangan filsafat. Buktinya filosof-filosof

besar tetap saja lahir sesudahnya, bahkan dalam kurun waktu yang

sangat rapat. Hanya sembilan tahun (251 H/865 M) sebelum

wafatnya al-Kindi (yang lahir sekitar satu dasawarsa sebelum

meninggalnya Khalifah al-Rasyid) lahir Abu Bakr Muhammad

ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi. Tujuh tahun kemudian (258 H/870

M) lahir filosof besar lainnya, yaitu Abu Nasr al-Farabi. Abad

berikutnya, muncul Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub

Miskawaih (320 H/932 M – 421 H/1030 M). Kemudian ada Ibnu

Sina (370 H/980 M – 428 H/1037) yang digelari al-Syaikh al-

Rais. Kemudian setelah itu berturut-turut datang Ibnu Bajjah, Ibnu

tifail, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun. Pada akhirnya

Filsafat Islam selalu tumbuh berkembang, diantaranya di

Indonesia, dengan dipengaruhi pemikiran filsuf-filsuf besar yang

telah disebutkan sebelumnya, (Pramushinta & Wahyuningsih,

2017:199)

Page 36: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

30

Page 37: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

31

EPISTEMOLOGI; 16

Page 38: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

32

BAB 2

HAKIKAT OBYEK DAN

KLASIFIKASI ILMU

PENGETAHUAN

A. Pengertian Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang

sebagai konsekuensi dari usaha-usaha manusia baik untuk

memahami realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk

menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi, serta

mengembangkan dan melestarikan hasil yang sudah dicapai oleh

manusia sebelumnya. Usaha-usaha tersebut terakumulasi

sedemikian rupa sehingga membentuk tubuh ilmu pengetahuan

yang memiliki strukturnya sendiri. Struktur tubuh ilmu

pengetahuan bukan barang jadi, karena struktur tersebut selalu

berubah seiring dengan perubahan manusia baik dalam

mengindentifikasikan dirinya, memahami alam semesta, maupun

dalam cara mereka berpikir.

Ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang

berarti mengerti, memahami benar-benar, (Munawwir, 1984:

1036). Dalam bahasa Inggris disebut science; dari bahasa Latin

scientia (pengetahuan)-scire (mengetahui). Sinonim yang paling

dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme. (Jujun, 2011:104).

Pengertian ilmu yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia

Page 39: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

18 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

18

adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara

bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan

untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan)

itu. (Admojo, 1998:324)

The Liang Gie dalam Surajiyo (2000:18) menyatakan bahwa

usaha manusia untuk memahami dunia sekelilingnya melalui tiga

bidang yang saling berhubungan, yaitu: 1) bidang pengetahuan

ilmiah (scientific knowledge) yang merupakan kumpulan hipotesis

yang telah terbukti sah, 2) bidang persoalan ilmiah (scientific

problems) yang merupakan kumpulan hipotesis yang dapat diuji,

tetapi belum dibuktikan sah, dan 3) bidang penjelasan gaib

(mystical explanations) yang merupakan kumpulan hipotesis yang

tidak dapat diuji sahnya. The Liang Gie dalam Surajiyo (2000:25)

memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas

penelaahan yang mencari suatu metode untuk memperoleh

pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam

berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang

menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.

Menurut The Liang Gie, ilmu adalah pemaparan menurut tiga

ciri pokok sebagai rangkaian kegiatan manusia (proses), sebagai

tertib tindakan pikiran (prosedur), dan sebagai keseluruhan hasil

yang dicapai (produk). Ilmu dapat dipahami sebagai aktivitas

penelitian, metode kerja (metode ilmiah), dan hasil pengetahuan

(pengetahuan sistematis). (The Liang Gie, 2000:21). Menurut

Archie J. Bahm, dalam Muhammad Adib, (2010:35.) definisi ilmu

pengetahuan melibatkan enam macam komponen, yaitu masalah

Page 40: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

19 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

19

(problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity),

kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects).

Page 41: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

20 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

20

1. Masalah (problem); Ada tiga karakteristik yang harus

dipenuhi untuk menunjukkan bahwa suatu masalah

bersifat scientific, yaitu bahwa masalah adalah sesuatu

untuk dikomunikasikan, memiliki sikap ilmiah, dan harus

dapat diuji.

2. Sikap (attitude); Karakteristik yang harus dipenuhi antara

lain adanya rasa ingin tahu tentang sesuatu; ilmuwan

harus mempunyai usaha untuk memecahkan masalah;

bersikap dan bertindak objektif, dan sabar dalam

melakukan observasi.

3. Metode (method); Metode ini berkaitan dengan hipotesis

yang kemudian diuji. Esensi science terletak pada

metodenya. Science merupakan sesuatu yang selalu

berubah, demikian juga metode, bukan merupakan sesuatu

yang absolut atau mutlak.

4. Aktivitas (activity); Science adalah suatu lahan yang

dikerjakan oleh para scientific melalui scientific research,

yang terdiri dari aspek individual dan sosial.

5. Kesimpulan (conclusion); Science merupakan a body of

knowledge. Kesimpulan yang merupakan pemahaman

yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah adalah

tujuan dari science, yang diakhiri dengan pembenaran dari

sikap, metode, dna aktivitas.

6. Pengaruh (effects); Apa yang dihasilkan melalui science

akan memberikan pengaruh berupa pengaruh ilmu

terhadap ekologi (applied science) dan pengaruh ilmu

Page 42: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

21 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

21

terhadap masyarakat dengan membudayakannya menjadi

berbagai macam nilai.

Page 43: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

22 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

22

Dengan demikian, ilmu pengetahuan lahir dari

pengembangan suatu permasalahan (problems) yang dapat

dijadikan sebagai kegelisahan akademik. Atas dasar problem, para

ilmuwan memiliki suatu sikap (attitude) untuk membangun

metode-metode dan kegiatan-kegiatan (method and activity) yang

bertujuan untuk melahirkan suatu penyelesaian kasus

(conclusions) dalam bentuk teori-teori, yang akan memberikan

pengaruh (effects) baik terhadap ekologi maupun terhadap

masyarakat. Dengan demikian, kita bisa membedakan istilah

”pengetahuan” dan ”ilmu”.

Secara umum, pengetahuan ini diperoleh dari pengalaman,

dimiliki oleh manusia, yaitu pengetahuan tentang hal-hal yang

berlaku umum dan tetap serta pasti, utamanya tentang hal-hal

yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari Sedangkan ilmu

merupakan pengetahuan yang sadar yang menuntut kebenaran,

dengan menggunakan metode dan sistem tertentu. Jadi, ilmu itu

tidak hanya tercapai dengan indera saja, melainkan harus juga

diolah sedemikian rupa. Ilmu mempunyai objek material dan

objek formal. Adapun lapangan atau bahan penyelidikan suatu

ilmu disebut objek material, dan sudut tertentu yang menentukan

macam ilmu itu disebut objek formal. Objek material adalah suatu

yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia

adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formal

adalah cara pandang tertentu tentang objek material tersebut,

seperti pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu

kedokteran.

Page 44: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

23 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

23

Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Menurut Gie dalam Surajiyo,

(2000:16) ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah mempunyai

Page 45: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

24 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

24

lima ciri pokok, yaitu: 1) Empiris; pengetahuan itu diperoleh

berdasarkan pengamatan dan percobaan. 2) Sistematis; berbagai

keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan

mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur. 3) Objektif;

ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan

dan kesukaan pribadi. 4) Analitis; pengetahuan ilmiah berusaha

membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang

terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan

dari bagian-bagian itu. 5) Verifikatif; dapat diperiksa

kebenarannya siapa pun juga.

Van Melsen mengemukakan ada delapan ciri yang menandai

ilmu, yaitu sebagai berikut: a) Ilmu pengetahuan secara metodis

harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis koheren, b)

Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya

dengan tanggung jawab ilmuwan, c) Universalitas ilmu

pengetahuan, d) Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh

objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif, e)

Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti

ilmiah yang bersangkutan, karena itu, ilmu pengetahuan harus

dapat dikomunikasikan, f) Progresivitas, artinya suatu jawaban

ilmiah baru bersifat ilmiah bila mengandung pertanyaan baru dan

menimbulkan problem baru lagi, g) Kritis, artinya tidak ada teori

yang difinitif; setiap teori terbuka bagi suatu peninjauan kritis

yang memanfaatkan data-data baru, h) Ilmu pengetahuan harus

dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antara teori

dengan praktis.

Page 46: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

25 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

25

Demi objektivitas ilmu, ilmuwan harus bekerja dengan cara

ilmiah. Sifat ilmiah ini dapat diwujudkan apabila dipenuhi syarat-

Page 47: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

26 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

26

syarat sebagai berikut: (1) Ilmu harus mempunyai objek; ini

berarti bahwa kebenaran yang hendak diuangkapkan dan dicapai

adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya, (2) Ilmu

harus mempunyai metode; ini berarti bahwa untuk mencapai

kebenaran yang objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode

yang rapi, (3) Ilmu harus mempunyai sistematis; ini berarti bahwa

dalam memberikan pengalaman, objeknya dipadukan secara

harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur, (4) Ilmu bersifat

universal; ini berarti bahwa kebenaran yang diungkapkan oleh

ilmu tidak mengenai sesuatu yang bersifat khusus, melainkan

kebenaran itu berlaku umum.

Jenis Ilmu Pengetahuan Sebuah kategori penggolongan jenis

ilmu yang banyak dikemukakanoleh para ahli adalah pembedaan

segenap pengetahuan ilmiah dalam dua kelas yang istilahnya

saling berlawanan. Hal ini tampak sederhana sehingga mudah

dipahami, tetapi pada umumnya tidak merincikan berbagai cabang

ilmu, hanya biasanya diberikan contoh ilmu apa yang termasuk

dalam masing-masing kelompok.

B. Obyek Material dan Obyek Formal Ilmu Pengetahuan

Keberadaan ilmu dan pengetahuan sama-sama pentingnya

hidup dan kehidupan tidak boleh dipisahkan. Ilmu juga

membentuk daya inteligensi yang melahirkan suatu kreativitas,

keterampilan atau skill. Sedangkan pengetahuan membentuk daya

moralitas keilmuan yang melahirkan tingkah laku kehidupan

manusia. “Pengertian Pengetahuan adalah pengetahuan, yang

Page 48: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

27 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

27

didapat dari sebuah pengalaman. Sedangkan pengertian ilmu

adalah pengetahuan yang didapat dalam fenomena jalan

Page 49: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

28 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

28

keterangan.” Dari pemaparan di atas dapat ditemukan masalah

sebagai berikut: (a) Bagaimana Wujud Perbedaan Pengertian Ilmu

Dan Seni? (b) apa hubungangan pengertian ilmu dan seni dalam

konsep? Setelah mengetahui pengertian ilmu pengetahuan, maka

selanjutnya yang perlu dipahami adalah tentang ciri-ciri dalam

suatu ilmu tersebut. Sebagaimana sudah disingung pada bagian

sebelumnya, bahwa ciri-ciri dari pengertian ilmu pengetahuan

sesuatu yang dikategorikan menjadi ilmu pengetahuan adalah

karena ada suatu objeknya. Dengan demikian setiap pengertian

ilmu pengetahuan ditentukan oleh objeknya. Ada dua macam

objek ilmu pengetahuan, yaitu objek materi dan objek formal.

Objek materi ialah sasaran atau bahan yang dijadikan objek

penyelidikan suatu ilmu. Sedangkan objek formal ialah sudut

pandang atau pandang mengenai objek materi tersebut. Sehingga

dengan objek formal ini dapat dibedakan menjadi ilmu tertentu.

Dengan demikian yang membedakan suatu ilmu dari yang lainnya

ialah objeknya. Sehingga Sekalipun objek materinya sama, tetapi

mempunyai sudut pandangnya atau objek formalnya berbeda.

Bentuk kumpulan pengetahuan dalam ilmu dapat tergelar, dalam

suatu pernyataan yang berbentuk deskripsi, preskripsi, eksposisi

pola, dan rekonstruksi serta historis.

Pada sebuah alam material, manusia dapat dikenali lewat

pengalaman hidup sehari-hari. Sejak manusia lahir sampai saat

pada kematiannya. Alam material ini juga dapat dipahami,

dimengerti secara lebih mendalam lewat lembaga wujud ilmu.

Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pemahaman manusia atas

Page 50: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

29 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

29

dunia material dan pemanfaatan dunia sebagai material itu agar

bisa menjadi suatu kebutuhan kepentingan manusia. Rin (2015)

Page 51: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

30 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

30

berpendapat kegiatan yang berkaitan dengan seni adalah milik

setiap manusia, dan hampir segala sesuatu yang direfleksikan di

dalam seni adalah juga mengenai manusia. Dalam konteks lintas

kurikulum, seni merupakan subjek yang dapat secara kreatif

dianyam di dalam subjek-subjek yang lain atau dihubungkan

dengan berbagai subjek dalam program pendidikan. Sebagai salah

satu subjek di sekolah, seni bahasa merupakan sarana

berkomunikasi yang dengannya kita hidup, bekerja, berbagi, dan

membangun ide dan pemahaman mengenai masa kini, di samping

juga merefleksikan masa lampau dan membayangkan masa depan

(Rin, 2015:68). Sedangkan wujudnya seni dapat memberikan

pengetahuan dari bahasa lisan, tulisan, dan visual melalui kegiatan

membaca, menyimak, berbicara, menulis, dan melihat. Setiap

manusia mengalami berbagai peristiwa yang bersentuhan dengan

elemen-elemen tentang seni sepanjang kehidupan.

Wujud ilmu juga bisa dipahami dengan cara memahami

dunia spiritual. Dapat pula dipahami oleh manusia dan juga

dihayatinya lewat lembaga agama, lembaga filsafat, dan lembaga

seni. Dengan demikian, wujud seni dapat dimasukan ke dalam

lembaga kebenaran yang bersifat spiritual, sejajar dengan agama

dan filsafat. Agama, seni, dan filsafat adalah dunia antara yang

memungkinkan manusia yang masih material itu agar dapat

memasuki alam spiritual atau alam kerohanian. Kegiatan seni

lebih cenderung kepada kegiatan kerohanian dari pada kegiatan

material atau kegiatan keilmuan.

Page 52: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

31 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

31

Ciri komunalitas ilmu mengandung arti ilmu merupakan

pengetahuan yang menjadi milik umum (public knowledge). Itu

berarti hasil penelitian yang kemudian menjadi khasanah dunia

Page 53: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

32 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

32

keilmuan tidak akan disimpan ataupun disembunyikan untuk

kepentingan individu atau kelompok tertentu. Pengetahuan ilmiah

senantiasa mengalami perkembangan seiring dengan semakin

banyaknya jumlah ilmuwan dan juga semakin luasnya peluang

untuk melakukan penelitian. Perkembangan ilmu antara lain

ditandai lahirnya bermacam-macam aliran. Untuk memudahkan

memperoleh pemahaman mengenai bermacam-macam aliran dan

cabang tersebut diperlukan pembagian sistematis. Gambaran

tentang ilmu yang secara struktural terdiri dari jenis-jenis sasaran,

bentuk-bentuk pernyataan, ragam-ragam proposisi, ciri-ciri

pokok, dan pembagian sistematis sebagaimana dijelaskan di atas

oleh The Liang Gie. Filsafat ilmu sebagaimana halnya dengan

bidang-bidang ilmu lainnya juga memiliki dua macam objek yaitu

objek material dan objek formal.

Pertama, Objek Material Filsafat ilmu; objek Material filsafat

ilmu yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau

pembentukan pengetahuan atau hal yang di selidiki, di pandang

atau di sorot oleh suatu disiplin ilmu yang mencakup apa saja baik

hal-hal yang konkrit ataupun yang abstrak. Menurut Dardiri

bahwa objek material adalah segala sesuatu yang ada, baik yang

ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam

kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu; a)

Ada yang bersifat umum, yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal

yang ada pada umumnya, b) Ada yang bersifat khusus yang

terbagi dua yaitu ada secara mutlak dan tidak mutlak yang terdiri

dari manusia dan alam.

Page 54: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

33 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

33

Kedua, Objek Formal Filsafat Ilmu; objek formal adalah

sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek

Page 55: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

34 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

34

materialnya. Setiap ilmu pasti berbeda dalam objek formalnya.

Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat ilmu pengetahuan yang

artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatiannya terhadap problem

mendasar ilmu pengetahuan. Seperti apa hakikatnya ilmu

pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan

apa fungsi ilmu itu bagi manusia. Problem inilah yang di

bicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni

landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.

Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap

persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut

landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi

kehidupan manusia. Filsafat ilmu dapat dibagi menjadi dua,

yaitu; a) Filsafat ilmu dalam arti luas, Yaitu menampung

permasalahan yang menyangkut berbagai hubungan luar dari

kegiatan ilmiah, b) Filsafat ilmu dalam arti sempit, yaitu

menampung permasalahan yang bersangkutan dengan

hubungan kedalam yang terdapat dalam ilmu yaitu

pengetahuan ilmiah dan cara-cara mengusahakan serta

mencapai pengetahuan ilmiah. Struktur ilmu yaitu “sebuah susunan yang terdiri dari

komponen-komponen yang membatasi mekanisme pencarian

sebuah kebenaran. Sistem pengetahuan ilmiah mencakup lima

kelompok unsur, yaitu; jenis-jenis sasaran, bentuk-bentuk

pernyataan, ragam-ragam proposisi, ciri-ciri pokok, dan

pembagian sistematis. Objek kajian filsafat ilmu ada 2 yaitu objek

material dan objek formal. Objek Material Filsafat ilmu. Objek

Material filsafat ilmu yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan

penelitian atau pembentukan pengetahuan atau hal yang di

selidiki, di pandang atau di sorot oleh suatu disiplin ilmu yang

mencakup apa saja baik hal-hal yang konkrit ataupun yang

Page 56: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

35 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

35

abstrak. Objek Formal Filsafat Ilmu Objek formal adalah sudut

pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya.

Setiap ilmu pasti berbeda dalam objek formalnya. Objek formal

filsafat ilmu adalah hakikat ilmu pengetahuan yang artinya filsafat

ilmu lebih menaruh perhatiannya terhadap problem mendasar

ilmu pengetahuan.

Penggolongan ilmu sebagaimana dikutip dari Surajiyo,

(2011:56) sebagai berikut: 1) Ilmu Formal dan Ilmu Nonformal

Suatu ilmu disebut Ilmu Formal karena ilmu ini dalam seluruh

kegiatannya tidak bermaksud menyelidiki data-data inderawi yang

konkret. Misalnya matematika dan filsafat. Suatu ilmu disebut

Ilmu Nonformal karena di dalam ilmu ini pengalaman inderawi

memainkan peranan sentral/utama. Ilmu ini dalam seluruh

kegiatannya berusaha menyelidiki secara sistematis data-data

inderawi yang konkret. Misalnya ilmu hayat, ilmu alam, dan ilmu

manusia. 2) Ilmu Murni dan Ilmu Terapan Ilmu Murni adalah

ilmu yang bertujuan meraih kebenaran demi kebenaran (teoretis).

Misalnya matematika dan metafisika. Ilmu Terapan adalah ilmu

yang bertujuan untuk diaplikasikan atau diambil manfaatnya

(praktis). Misalnya ilmu kedokteran, teknik, hukum, ekonomi,

psikologi, sosiologi, administrasi, dan ekologi. (Hartono Kasmadi,

dkk, 1990:8-9). Ilmu Nomotetis dan Ilmu Idiografis Ilmu

Nomotetis adalah ilmu yang objek pembahasannya merupakan

gejala pengalaman yang dapat diulangi terus-menerus dan hanya

merupakan kasus-kasus yang mempunyai hubungan dengan suatu

hukum alam. Termasuk dalam ilmu ini adalah ilmuilmu alam,

Page 57: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

36 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

36

yang objek pembahasannya adalah benda alam atau gejala alam,

yang didekati dengan cara menerangkan. Ilmu Idiografis adalah

Page 58: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

37 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

37

ilmu yang objek pembahasannya merupakan objek yang bersifat

individual, unik, hanya terjadi satu kali dan mencoba mengerti

atau memahami objeknya menurut keunikannya itu. Termasuk

ilmu ini adalah ilmuilmu budaya, yang objek pembahasannya

adalah produk manusiawi, yang didekati dengan cara mengerti

atau memahami.

Ilmu Deduktif dan Ilmu Induktif Suatu ilmu disebut Ilmu

Deduktif karena semua pemecahan yang dihadapi dalam ilmu ini

tidak didasarkan atas pengalaman inderawi (empiris), melainkan

atas dasar deduksi atau penjabaran. Deduksi ialah proses

pemikiran yang melibatkan akal budi manusia dari pengetahuan

tentang hal-hal yang umum dan abstrak, menyimpulkan tentang

hal-hal bersifat khusus dan individual. Misalnya matematika.

Suatu ilmu disebut Ilmu Induktif apabila penyelesaian masalah-

masalah dalam ilmu yang bersangkutan didasarkan pengalaman

inderawi (empiris). Ilmu Induktif bekerja selalu atas dasar

induksi, yaitu proses pemikiran yang melibatkan akal budi

manusia dari pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat khusus

dan individual, menarik kesimpulan tentang hal-hal yang bersifat

umum dan abstrak. Misalnya ilmu alam. Van Melsen

membedakan llmu pengetahuan menjadi ilmu-ilmu empiris (ilmu

alam, ilmu sejarah, ilmu-ilmu manusia) dan ilmu-ilmu nonempiris

(matematika dan filsafat). 1) Ilmu alam Ilmu alam ini melukiskan

kenyataan menurut aspek-aspek yang dapat diinderawi secara

langsung. Data inderawi ini harus dimengerti sebagaimana

tampaknya. Hal ini dapat dilakukan melalui observasi ilmiah yang

Page 59: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

38 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

38

memiliki objektivitas pada objek. Ilmu alam menyelidiki

kenyataan konkret menurut aspek-aspeknya yang dapat diulangi.

Page 60: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

39 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

39

2) Ilmu sejarah Ilmu sejarah yang dimaksud adalah ilmu yang

menyangkut sejarah manusia. Ilmu sejarah ini menyelidiki segala

sesuatu yang berhubungan dengan tindakan manusiawi, yang

dapat juga diungkapkan melalui peninggalan-peninggalan fisis.

Karena sejarah meliputi semua kejadian yang pernah berlangsung,

akibatnya ilmu sejarah ini tidak bias mengadakan eksperimen.

3) Ilmu-ilmu manusia Ilmu ini juga disebut ilmu-ilmu

tingkah laku (behavioral science) atau ilmu-ilmu sosial. Ilmu-

ilmu manusia ini diberi tempat tersendiri di samping ilmu sejarah

dan ilmu alam, karena ilmu sejarah maupun ilmu manusia

menyangkut perbuatan serta tingkah laku manusia. Di samping

itu, ilmu manusia juga mempunyai persamaan dengan ilmu alam,

dengan usahanya untuk menemukan secara khusus aspekaspek

yang dapat diulangi. 4) Matematika Matematika merupakan ilmu

non-empiris dan dalam bentuk abstrak yang juga mempunyai

peranan penting dan dapat diterapkan bagi ilmu-ilmu empiris.

Karena keabstrakan matematika ini, ia menyediakan berbagai

struktur formal bagi ilmu-ilmu lain. 5) Filsafat Filsafat juga

merupakan ilmu non-empiris, yang berfungsi sebagai kerangka

sistematis yang umum, mengingat adanya pandangan bahwa

filsafat sebagai induk semua ilmu lain. Dalam keanekaragaman

ilmu ini perlu diteruskan pencarian jawaban atas pertanyaan yang

pada awal mulanya dikemukakan oleh filsafat.

C. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan

Page 61: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

40 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

40

Sebelum membahas tentang. klasifikasi ilmu pengetahuan.

maka kita harus memahami terlebih dahulu perkembangan ilmu

pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang

Page 62: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

41 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

41

ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi

secara bertahap, evolutif. Oleh karena untuk memahami sejarah

perkembangan ilmu mau tidak mau harus melakukan pembagian

atau klasifikasi secara periodik, karena setiap periode

menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu

pengetahuan. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa

mengacu kepada peradaban Yunani. Oleh karena itu periodisasi

perkembangan ilmu disini dimulai dari peradaban Yunani dan

diakhiri pada zaman kontemporer.

Pertama, Zaman Pra Yunani Kuno; pada zaman ini ditandai

oleh kemampuan; 1) Know how dalam kehidupan sehari-hari

yang didasarkan pada pengalaman. 2) Pengetahuan yang

berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap

receptive mind, keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan

magis. 3) Kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan

alam sudah menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke-

tingkat abstraksi. 4) Kemampuan menulis, berhitung, menyusun

kalender yang didasarkan atas sintesa terhadap hasil abstraksi

yang dilakukan. 5) Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas

dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi. (Rizal

Muntazir, 1996).

Kedua, Zaman Yunani Kuno; zaman Yunani Kuno dipandang

sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa ini orang

memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau

pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang

ilmu dan filsafat, karena Bangsa Yunani pada masa itu tidak lagi

Page 63: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

42 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

42

mempercayai mitologi-mitologi. Bangsa Yunani juga tidak dapat

menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive

Page 64: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

43 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

43

attitude (sikap menerima begitu saja), melainkan menumbuhkan

sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki

sesuatu secara kritis). Sikap belakangan inilah yang menjadi cikal

bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern. Sikap kritis inilah

menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli-ahli pikir terkenal

sepanjang masa. Beberapa filsuf pada masa itu antara lain Thales,

Phytagoras, Sokrates, Plato, Aristoteles.

Ketiga, Zaman Abad Pertengahan; zaman Abad Pertengahan

ditandai dengan tampilnya para theolog di lapangan ilmu

pengetahuan. Para ilmuwan pada masa ini hampir semua adalah

para theolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas

keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini

adalah Ancilla Theologia atau abdi agama. Namun demikian

harus diakui bahwa banyak juga temuan dalam bidang ilmu yang

terjadi pada masa ini. Keempat, Zaman Renaissance; zaman

Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran

yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance ialah zaman

peralihan ketika kebudayaan Abad Pertengahan mulai berubah

menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman ini

adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas. Manusia

ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak

didasarkan atas campur tangan ilahi. Penemuan-penemuan ilmu

pengetahuan modern sudah mulai dirintis pada Zaman

Renaissance. Ilmu pengetahuan yang berkembang maju pada

masa ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokoh yang terkenal

seperti Roger Bacon, Copernicus, Johannes Keppler, Galileo

Galilei.

Page 65: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

44 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

44

Kelima, Zaman Modern. (17–19 M); zaman modern ditandai

dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan

ilmu pengetahuan pada zaman modern sesungguhnya sudah

dirintis sejak Zaman Renaissance. Seperti Rene Descartes, tokoph

yang terkenal sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes juga

seorang ahli ilmu pasti. Penemuannya dalam ilmu pasti adalah

sistem koordinat yang terdiri dari dua garis lurus X dan Y dalam

bidang datar. Isaac Newton dengan temuannya teori gravitasi.

Charles Darwin dengan teorinya struggle for life (perjuangan

untuk hidup). J.J Thompson dengan temuannya elektron.

Keenam, Zaman Kontemporer (abad 20 – dan seterusnya);

fisikawan termashur abad keduapuluh adalah Albert Einstein. Ia

menyatakan bahwa alam itu tak berhingga besarnya dan tak

terbatas, tetapi juga tak berubah status totalitasnya atau bersifat

statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan

materi. Ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat kekal, atau

dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam.

Disamping teori mengenai fisika, teori alam semesta, dan lain-lain

maka Zaman Kontemporer ini ditandai dengan penemuan

berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi

termasuk salah satu yang mengalami kemajuan sangat pesat.

Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi,

internet, dan lain sebagainya. Bidang ilmu lain juga mengalami

kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi-spesialisasi ilmu

yang semakin tajam.

Page 66: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

45 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

45

Klasifikasi atau penggolongan ilmu pengetahuan mengalami

perkembangan atau perubahan sesuai dengan semangat zaman.

Ada beberapa pandangan yang terkait dengan klasifikasi ilmu

Page 67: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

46 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

46

pengetahuan dari filsuf Auguste Comte, Karl Raimund Popper,

Thomas S Khun dan Habermas berbeda-beda, yakni; 1) Auguste

Comte; Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang

dikemukakan Auguste Comte sejalan dengan sejarah ilmu

pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala

dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih

dahulu. Kemudian disusul dengan gejala-gejala pengetahuan yang

semakin lama semakin rumit atau kompleks dan semakin konkret.

Oleh karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu

pengetahuan, Auguste Comte memulai dengan mengamati gejala-

gejala yang paling sederhana, yaitu gejala-gejala yang letaknya

paling jauh dari suasana kehidupan sehari-hari. Urutan dalam

penggolongan ilmu pengetahuan Auguste Comte sebagai berikut:

a) ilmu pasti (matematika), b) Ilmu perbintangan (astronomi), c)

Ilmu alam (fisika), d) Ilmu kimia, e) Ilmu hayat (fisiologi atau

biologi), f) Fisika sosial (sosiologi). 2) Karl Raimund Popper.

Karl Raimund Popper mengemukakan bahwa sistem ilmu

pengetahuan manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga dunia

(world), yaitu dunia 1, dunia 2, dan dunia 3. Popper menyatakan

bahwa dunia 1 merupakan kenyataan fisis dunia, sedang dunia 2

adalah kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan

dunia 3 yaitu segala hipotesa, hukum, dan teori ciptaan manusia

dan hasil kerjasama antara dunia 1, dan dunia 2, serta seluruh

bidang kebudayaan, seni, matafisik, agama, dan lain sebagainya.

Menurut Popper dunia 3 itu hanya ada selama dihayati, yaitu

Page 68: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

47 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

47

dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang

berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir

dalam diri para seniman, dan penggemar seni yang mengandaikan

Page 69: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

48 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

48

adanya suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu, semuanya

langsung ‘mengendap’ dalam bentuk fisik alat-alat ilmiah, buku-

buku, karya seni, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan

bagian dari dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan sisa dunia

3 dalam dunia 1 itu, maka dunia 2 lah yang membuat manusia

bisa membangkitkan kembali dan mengembangkan dunia 3

tersebut. Menurut Popper dunia 3 itu mempunyai kedudukannya

sendiri. Dunia 3 berdaulat, artinya tidak semata-mata begitu saja

terikat pada dunia 1, tetapi sekaligus tidak terikat juga pada

subyek tertentu. Maksudnya dunia 3 tidak terikat pada dunia 2,

yaitu pada orang tertentu, pada suatu lingkungan masyarakat

maupun pada periode sejarah tertentu. Dunia 3 inilah yang

merupakan dunia ilmiah yang harus mendapat perhatian para

ilmuwan dan filsuf. Kalau diskematisasikan, maka hubungan

antara ketiga dunia tersebut dapat digambarkan sebagai berikut;

Dunia 1 Kenyataan Fisis

Dunia

Dunia 3 Hipotesis,

Hukum, Teori (ciptaan manusia)

Dunia 2 Kenyataan Psikis

Dalam diri manusia

Karya ilmiah Studi ilmiah Penelitian ilmiah

Thomas S. Kuhn berpendapat bahwa perkembangan atau

kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan kumulatif

Page 70: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

49 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

49

sebagaimana anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah itu pertama-

tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap

dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah konkret.

Menurut Kuhn cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah

dapat digambarkan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut;

Tahap pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan

aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Disini

para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan

paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan

mendalam. Dalam tahap ini para ilmuwan tidak bersikap kritis

terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya.

Selama menjalankan aktivitas ilmiah itu para ilmuwan menjumpai

berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan

paradigma yang dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan

aktivitas ilmiahnya itu, ini dinamakan anomali. Anomali adalah

suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara

kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.

Tahap kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis

kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma

mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari

jalur ilmu normal. Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali lagi

pada cara-cara ilmiah yang sama dengan memperluas dan

mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa

memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah

berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma

baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah. Gambaran ketiga

tahap tersebut dapat diskematisasikan sebagai berikut:

Page 71: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

50

PARADIGMA Dalam Masa Normal Science

ANOMALI

PARADIGMA BARU Revolusi Ilmiah

Pandangan Jurgen Habermas tentang klasifikasi ilmu

pengetahuan sangat terkait dengan sifat dan jenis ilmu,

pengetahuan yang dihasilkan, akses kepada realitas, dan tujuan

ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini Ignas Kleden

menunjukkan tiga jenis metode ilmiah berdasarkan sifat dan jenis

ilmu seperti terlihat dalam bagan berikut:

Sifat Ilmu

Jenis Ilmu

Pengetahu

an yang

dihasilkan

Akses

kepada

Realitas

Tujuan

Empiris- Analitis

Ilmu alam dan sosial

empiris

Informasi Observasi Penguasaan teknik

Historis- hermeneutis

Humaniora Interpreta si

Pemaham an arti via bahasa

Pengemban gan inter subyektif

Ignas Kleden menunjukkan pandangan Habermas tentang ada

tiga kegiatan utama yang langsung mempengaruhi dan menentukan

bentuk tindakan dan bentuk pengetahuan manusia, yaitu kerja,

komunikasi, dan kekuasaan. Kerja dibimbing oleh kepentingan

Page 72: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

51

yang bersifat teknis, interaksi dibimbing oleh kepentingan yang

EPISTEMOLOGI; 36

Page 73: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

52

bersifat praktis, sedangkan kekuasaan dibimbing oleh kepentingan

yang bersifat emansipatoris. Ketiga kepentingan ini mempengaruhi

pula proses terbentuknya ilmu pengetahuan, yaitu ilmu-ilmu

empiris-analtis, ilmu historis-hermeneutis, dan ilmu sosial kritis

(ekonomi, sosiologi, dan politik).

Page 74: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

53

Page 75: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

54

EPISTEMOLOGI; 38

Page 76: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

55

BAB 3

STRUKTUR EPISTIMOLOGI

ILMU HADITS DAN

EKSISTENSINYA

A. Pengertian Epistimologi Ilmu Hadits

Sampai saat ini belum banyak karya pemikiran yang

membahas tentang Hadits dengan berbagai macam prespektifnya

yang secara langsung membahas tentang ‘epistemologi Hadits’.

Kemungkinan hal ini disebabkan karena kurangnya akademisi

atau pemikir yang secara langsung berkecimpung dalam bidang

kajian Hadits beserta ilmu yang berkenaan dengannya termasuk

epistemologi Hadits. Padahal ‘epistemologi Hadits’ sangat

dibutuhkan untuk mengetahui kebenaran sejarah masa silam.

Kajian pokok epistemologi yaitu sumber, asal mula, dan sifat

dasar pengetahuan; bidang, batas jangkauan pengetahuan. Ada

beberapa pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami

persoalan-persoalan dalam epistemologi, yaitu apakah

pengetahuan itu, apakah yang menjadi sumber dan dasar

pengetahuan, apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti

ataukah hanya merupakan dugaan, (Rapar, 2002:38).

Pada awalnya, pembahasan dalam epistemologi lebih

terfokus pada sumber pengetahuan (the origin of knowledge) dan

Page 77: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

40 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

40

teori tentang kebenaran (the theory of truth) pengetahuan.

Pembahasan yang pertama berkaitan dengan suatu pertanyaan

apakah pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata

(rasionalism), indera (empiricism), atau intuisi. Sementara itu,

pembahasan yang kedua terfokus pada pertanyaan apakah

“kebenaran” pengetahuan itu dapat digambarkan dengan pola

korespondensi, koherensi atau praktis-pragmatis. Selanjutnya,

pembahasan dalam epistemologi mengalami perkembangan,

yakni pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses

dan metode untuk memperoleh pengetauan, cara untuk

membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat

kebenaran pengetahuan. (Atabik, 2010:215)

Epistemologi ilmu Hadis berkenaan dengan sumber

pengetahuan tentang ilmu Hadis dan teori kebenaran tentang ilmu

Hadis itu. Dapat dikatakan bahwa epistemologi ilmu Hadis,

proses dan metode untuk memperoleh pengetahuan itu, cara untuk

membuktikan kebenaran pengetahuan dalam ilmu Hadis, dan

tingkat-tingkat kebenaran, jenis, dan cabang-cabangnya. (Idri,

2020:82)

Di kalangan ulama Hadis, ilmu Hadis secara garis beras

diklasifikasi menjadi dua: ilmu Hadis riwayah dan dirayah.

Dalam perspektif ulama Hadis, kedua ilmu ini bersifat empirik-

historis yang kebenarannya dapat diukur secara korespondensi

(berdasar data historis) dan koherensi (berdasar kaidah-kaidah

musthalah al-hadits). Ilmu Hadis riwayah mengkaji tentang

segala yang disandarkan pada Nabi baik berupa perkataan,

Page 78: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

41 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

41

perbuatan, ketetapan, sifat fisik atau psikis dengan pengkajian

yang detail dan terperinci. Ilmu ini juga membahas tentang

Page 79: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

42 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

42

periwayatan Hadis dan pemeliharaannya, serta penguraian lafal-

lafalnya. Menurut Shubhi al-Shalih, ilmu Hadis riwayah

mengupayakan pengutipan bebas dan cermat segala yang

disandarkan pada Nabi baik perkataan, perbuatan, persetujuan,

sifat atau segala yang disandarkan pada sahabat dan tabi’in

(generasi sesudah sahabat). (Idri, 2020:82)

Dengan demikian, sumber pokok pengetahuan tentang ilmu

Hadis yaitu Nabi Muhammad yang terkait dengan perkataan,

perbuatan, ketetapan, sifat fisik ataupun psikis serta sesuatu yang

berasal dari sahabat Nabi dan tabi’in. Pada dasarnya, epistemologi

ilmu Hadis berawal dari keberadaan Nabi sebagai utusan Allah

yang bertugas menyampaikan ajaran-ajaran-Nya baik melalui

wahyu al-Qur’an maupun Hadis-hadis Nabi. Sumber pengetahuan

Al-Qur’an dipastikan adalah Allah, karena Al-Qur’an merupakan

firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui

perantara Malaikat Jibril, yang mengandung mukjizat, dan

merupakan ibadah bagi yang membacanya. Sumber pengetahuan

Hadis yaitu Nabi Muhammad melalui sabda, perbuatan,

persetujuan, dan sifat-sifatnya. Hanya saja, karena esensi Al-

Qur’an dan Hadis serta proses penyampaian keduanya berbeda

baik dilihat dari segi tata cara, penulisan, waktu penyampaian dan

periwayatan, maupun kodifikasinya, maka kebenaran keduanya

berbeda. (Idri, 2020:83)

Epistemologi Hadis bertolak dari “teks” yang identik dengan

khabar sebagai otoritas (sulthah), yaitu warisan pemikiran yang

ditransmisikan oleh para sahabat dari Nabi Muhammad SAW.

Page 80: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

43 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

43

Sebagai karakter distingtif yang membedakan dari epistemologi

secara umum, problematika yang mendasar dari epistemologi

Page 81: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

44 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

44

Hadis bukanlah problematika benar-salah secara logik, melainkan

problematika “kemungkinan sahih” (al-shihhah?) dan “status

palsu” (al-wadh’). Hal itu karena Hadis sebagai otoritas

referensial terkait dengan problematika antara “ungkapan”

(lafazh) dan “makna” (ma’na). Oleh karena itu, epistemologi

Hadis menunjukkan keterkaitan antara khabar di satu sisi dan

sumber-sumber pengetahuan di sisi yang lain. (Attabik, 2010:216)

Kajian pokok epistemologi yaitu sumber, asal mula, dan sifat

dasar pengetahuan; bidang, batas jangkauan pengetahuan. Ada

beberapa pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami

persoalan-persoalan dalam epistemologi, apakah pengetahuan itu,

apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan, apakah

pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya

merupakan dugaan. (Atabik, 2010:216)

Dengan demikian, sumber pokok pengetahuan tentang ilmu

Hadis yaitu Nabi Muhammad yang terkait dengan perkataan,

perbuatan, ketetapan, sifat fisik ataupun psikis serta sesuatu yang

berasal dari sahabat Nabi dan tabi’in. Pada dasarnya, epistemologi

ilmu Hadis berawal dari keberadaan Nabi sebagai utusan Allah

yang bertugas menyampaikan ajaran-ajaran-Nya baik melalui

wahyu Al-Qur’an maupun Hadis-hadis Nabi.

Sumber pengetahuan Al-Qur’an dipastikan adalah Allah,

karena Al-Qur’an merupakan firman Allah yang disampaikan

kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril, yang

mengandung mukjizat, dan merupakan ibadah bagi yang

membacanya. Sumber pengetahuan Hadis yaitu Nabi Muhammad

Page 82: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

45 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

45

melalui sabda, perbuatan, persetujuan, dan sifat-sifatnya. Hanya

saja, karena esensi Al-Qur’an dan Hadis serta proses

Page 83: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

46 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

46

penyampaian keduanya berbeda baik dilihat dari segi tata cara,

penulisan, waktu penyampaian dan periwayatan, maupun

kodifikasinya, maka kebenaran keduanya berbeda.

Hal itu karena Hadis sebagai otoritas referensial terkait

dengan problematika antara “ungkapan” (lafazh) dan “makna”

(ma’na). Karena itu, epistemologi hadits menunjukkan keterkaitan

antara khabar di satu sisi dan sumber-sumber pengetahuan di sisi

yang lain. Secara epistemologis, khabar diklasifikasikan kepada

dua: pertama, khabar yang meniscayakan pengetahuan langsung

(dharûry). Ada dua karakteristik yang menjadi tolak ukurnya: (1)

orang-orang yang mentransmisikannya harus memberitakan apa

yang diketahui secara pasti; dan (2) jumlah orang yang

mentransmisikan harus lebih dari empat orang dan didasarkan

pada wahyu (simâ’) dan persyaratan persaksian (syahâdah) dan

proses ini terjadi secara tawâtur (berulang-ulang) dan

pengulangan itu sendiri membentuk apa yang disebut sebagai

“keteraturan peristiwa-peristiwa” (itththarâd al-hawâdîts).

(Atabik, 2010:215)

Di samping itu isi berita itu berdasarkan dari sesuatu yang

telah menjadi tradisi. Khabar ini kebenarannya diketahui dengan

inferensi (istidlâl). Tipe ini diklasifikasikan kepada tiga hal:

pertama, khabar yang sumbernya diyakini tidak Kedua, tipe

khabar yang disampaikan oleh seseorang (khabar al-wâhid,

khabar ahad) yang diketahui melalui persepsi dan disampaikan

kepada beberapa orang sesudahnya. Berbeda dengan khabar

mutawatir yang dianggap eniscayakan pengetahuan langsung

Page 84: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

47 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

47

(dharûri), khabar perorangan belum memenuhi kriteria

korespondensi dan afektivitas. Karena itu, khabar perorangan

Page 85: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

48 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

48

secara epistemologis belum mancapai tingkat pengetahuan,

meskipun dianggap valid dari segi fikih (‘ibadah) karena

statusnya zhann atau ghalabat al-zhann, (Silaturrahmah,

2006:48). Di dalam kajian epistemologi secara umum, terdapat

beberapa teori kesahihan atau kebenaran pengetahuan, antara lain

teori kesahihan koherensi (pernyataan suatu pengetahuan), teori

kebenaran korespondensi (salin bersesuaian), teori kebenaran

pragmatis, teori kebenaran semantik dan teori kebenaran logikal

berlebihan. (Silaturrahmah, 2006:42-43).

Tapi nampaknya dari kelima teori kebenaran ini hanya dua

teori (koherensi dan korespodensi) yang relevan diterapkan dalam

wacana kajian Hadis dikarenakan kedua teori ini kemungkinan

dapat diimplementasikan dalam bidang kajian sejarah. Teoriteori

kebenaran ini diharapkan dapat diterapkan dalam menilai status

epistemik laporan Hadis (sejarah masa silam).

Lebih lanjut, apabila epistemologi sebagai teori ilmu

pengetahuan dikaitkan dengan Hadis yang nota benenya sebagai

produk sejarah dari laporan masa silam, maka pengetahuan atau

persoalan yang dikembangkan adalah bagaimana cara mengetahui

masa silam itu? Apa mungkin kita mengetahui masa silam yang

jauh dari pengamatan inderawi kita?. Olehnya, upaya untuk

mengetahui masa silam ini diharapkan bisa tercapai dengan

membuat rumusan yang telah digariskan oleh epistemologi itu

sendiri. Di antaranya membuat rumusan kriteria dengan

menerapkan metode-metode ilmiah dan teori kebenaran yang

selanjutnya dikaitkan dengan ilmu Hadis. Dengan metode yang

Page 86: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

49 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

49

merupakan ciri dari pengetahuan ilmiah ini maka penelusuran

kebenaran masa silam ini akan tercapai. (Atabik, 2010:215)

Page 87: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

50 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

50

Lebih lanjut, apabila epistemologi sebagai teori ilmu

pengetahuan dikaitkan dengan Hadis yang nota benenya sebagai

produk sejarah dari laporan masa silam, maka pengetahuan atau

persoalan yang dikembangkan adalah bagaimana cara mengetahui

masa silam itu? Apa mungkin kita mengetahui masa silam yang

jauh dari pengamatan inderawi kita? Olehnya, upaya untuk

mengetahui masa silam ini diharapkan bisa tercapai dengan

membuat rumusan yang telah digariskan oleh epistemologi itu

sendiri. Di antaranya membuat rumusan kriteria dengan

menerapkan metode-metode ilmiah dan teori kebenaran yang

selanjutnya dikaitkan dengan ilmu Hadits. (Silaturrahmah, 2006:

42-43).

Dengan metode yang merupakan ciri dari pengetahuan ilmiah

ini maka penelusuran kebenaran masa silam ini akan tercapai.

Berangkat dari sini, penulis menawarkan beberapa metode yang

kiranya bisa diterapkan ketika hendak mengetahui secara persis

masa silam itu, diantaranya dengan mengetahui sejarah Hadis

(masa silam), teori isnâd dan periwayatan (sebagai konsep

penghubung dari generasi pertama ke generasi selanjutnya) dan

tawâtur (kebersinambungan masa silam).

B. Eksistensi Epistimologi Ilmu Hadits

Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, Hadis

mempunyai kedudukan yang istimewa di kalangan umat Islam.

Hal ini dikarenakan Hadis merupakan identitas konkrit atas

perbuatan, perkataan, keputusan-keputusan dan sifat-sifat yang

Page 88: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

51 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

51

melekat pada Nabi. Tidak berhenti pada itu saja, bahkan yang

menjadikan Qur’an dan Hadis sakral karena keduanya merupakan

Page 89: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

52 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

52

wahyu Muhammad Nabi Islam, hanya saja sumber redaksi yang

membedakan keduanya, redaksi al-Qur’an bersumber dari Allah

sedang redaksi Hadis bersumber dari diri Muhammad, (Qardhawi,

2002:34).

Hadis merupakan informasi masa lalu yang dikumpulkan

secara massif kurang lebih 100 tahun setelah nabi Muhammad

meninggal. Dalam masa seratus tahun ini sudah melewati

berbagai fase sejarah para stakeholder yang hidup didalamnya.

Muncul berbagai dinamika yang sangat beragam sehingga sampai

pada kesimpulan hadis harus dikumpulkan oleh kolektor yang

disponsori oleh pemerintah umar bin abdul aziz, walaupun

polemik itu masih berlangsung pada masa sang khalifah berkuasa

(Farida, 2016:27).

Sebagai suatu yang berkedudukan sentral dalam ajaran Islam,

sangatlah logis apabila perhatian dan konsentrasi umat Islam

dalam studi al-Qur’an dan Hadis melebihi konsentrasi pada studi

ilmu lain. Ini disebabkan karena al-Qur’an dan Hadis menjadi

inspirasi sumber bagi segala ilmu keIslaman umat Islam di segala

zaman yang bisa ditelusuri oleh sejarah hingga ke sumber aslinya.

Di situlah ada kesinambungan antara nabi sebagai pembawa

risalah sumber asli dan generasi-generasi selanjutnya. Konsep

berkesinambungan dalam Islam inilah yang disebut tawâtur.

Walaupun demikian, antara al-Qur’an dan Hadis mempunyai

sisi historis yang berbeda. Sisi perbedaan inilah yang berimplikasi

pada perbedaan dalam perkembangan ilmu-ilmu yang berafiliasi

pada keduanya. Di antara perbedaan yang sangat signifikan antara

Page 90: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

53 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

53

keduanya adalah dalam sampainya kepada generasi selanjutnya.

al-Qur’an sebagai sumber pertama ajaran Islam–tidak diragukan

Page 91: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

54 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

54

lagi sampai kepada generasi berikutnya dengan cara tasalsul atau

tawâtur. Sedangkan Hadis kalau dirunut hanya sedikit yang

bersifat tawâtur, dan yang mayoritas bisa dibilang sebagai Hadis

âhâd (Qardhawi, 2002:35).

Sebagaimana dipahami bahwa kajian pokok epistemologi

yaitu sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan yang

mencakup bidang, batas jangkauan pengetahuan. Pertanyaan yang

biasa diajukan yaitu apakah pengetahuan itu, apa yang menjadi

sumber dan dasar pengetahuan, apakah pengetahuan itu adalah

kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan. (Rapar,

2009:100). Epistemologi sangat erat kaitannya dengan bagaimana

cara memperoleh ilmu pengetahuan, mengolah, menganalisis, dan

membentuk suatu teori, postulat dan paradigma tertentu. Terkait

dengan epistemologi ilmu Hadis, hal-hal yang dipersoalkan ialah

apakah ilmu Hadis itu, apa yang menjadi dasar dan sumber ilmu

Hadis, apakah ilmu Hadis itu benar atau diragukan kebenarannya,

dan bagaimana cara mengetahui kebenaran ilmu tersebut. (Idri,

2020:99)

Pertama, pada dasarnya ilmu Hadis yang dikenal dengan

‘ulum al-hadis, musthalah al-hadits, ushul al-hadits, atau qawa’id

al-tahdits, menurut ulama mutaqaddimun, sebagaimana

ditegaskan al-Suyuthi, membahas cara-cara persambungan Hadis

sampai kepada Rasulullah SAW dari segi mengetahui hal ihwal

para periwatnya, menyangkut ke-dhabith-an dan keadilannya, dan

dari segi tersambung atau terputusnya sanad, dan sebagainya.

Pokok bahasan ini, pada perkembangan selanjutnya ketika ilmu

Page 92: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

55 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

55

Hadis dibagi menjadi dua jenis, yaitu ilmu Hadis riwayah dan

ilmu Hadis dirayah, oleh ulama mutaakhairun dijadikan sebagai

Page 93: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

56 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

56

pokok bahasan ilmu Hadis dirayah, (al-Khatib,1999:7). Pokok

bahasan ilmu Hadis riwayah berkenaaan dengan riwayat Hadis

yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun

ketetapan dan sebagainya. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib,

ilmu Hadis riwayah adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji

tentang segala yang disandarkan pada Nabi SAW baik berupa

perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat fisik atau psikis dengan

pengkajian yang detail dan terperinci. (Idri, 2020:100).

Ibn al-Akfani sebagaimana dikutip al-Suyuthi menyatakan

bahwa ilmu Hadis riwayah adalah ilmu pengetahuan yang

mencakup pembahasan tentang perkataan-perkataan Nabi SAW

dan perbuatan-perbuatannya, periwayatan dan pemeliharaannya,

serta penguraian lafal-lafalnya. Muhammad Abu Syihab dalam

kitabnya al-Wasith fi ‘Ulum wa Musthalah al-Hadits

mendefinisikan ilmu Hadis riwayah dengsn ilmu pengetahuan

yang mencakup pembahasan tentang sesuatu yang dinukil dari

Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan

(ketetapan), ataupun sifat fisik dan psikis. (Syuhbah, 2006:24)

Ilmu Hadis dirayah berkenaan dengan kaidah-kaidah dan

asas-asas yang dapat digunakan untuk mengetahui dan mengkaji

keberadaan sanad dan matan. Ilmu Hadis ini, menurut al-Suyuthi

muncul setelah masa al-Khatib al-Baghdadi, yaitu masa Ibn al-

Akhfani. Al-Suyuthi, mengutip pendapat Ibn al-Akfani,

menyatakan bahwa ilmu (ilmu) Hadis dirayah adalah ilmu

pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-

syarat, jenis-jenis, dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui

Page 94: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

57 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

57

keadaan para periwayat Hadis dan syarat-syarat mereka serta

jenis-jenis Hadis yang mereka riwayatkan dan segala yang

Page 95: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

58 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

58

berkaitan dengannya. Sejalan dengan ini, Muhammad ‘Ajjaj al-

Khathib menyatakan bahwa ilmu Hadis dirayah merupakan

sekumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah yang dengannya

dapat diketahui keberadaan periwayat dan Hadis yang

diriwayatkan dari segi dapat diterima atau ditolaknya suatu

Hadits. (Idri, 2020:101-102)

Dengan demikian, ilmu Hadis riwayah mengkaji tentang

segala yang disandarkan pada Nabi SAW baik perkataan,

perbuatan, ketetapan, sifat fisik ataupun sifat psikis. Pengkajian

itu dilakukan secara detail dan perinci. Pengkajian dan pengutipan

dilakukan secara bebas dan cermat. Ilmu ini juga mengkaji segala

yang disandarkan pada sahabat dan tabi’in. Adapun ilmu Hadis

dirayah mengkaji tentang hakikat periwayatan, syarat-syarat

periwayatan, jenis-jenis periwayatan, hukum-hukum periwayatan,

keadaan periwayat dan jenis-jenis Hadis yang diriwayatkan yang

mencakup Hadis-hadis yang dapat dihimpun pada kitab-kitab

tashnif, kitab tasnid, dan kitab mu’jam. (al-Khatib, 1999:8)

Kedua, dasar dan sumber ilmu Hadis yaitu Nabi Muhammad

dan segala yang dinisbahkan kepadanya serta hal ihwal yang

terkait dengan proses periwayatannya. Segala yang berasal dari

Nabi Muhammad baik perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun

sifat fisik dan psikis menjadi dasar dan sumber materiel kajian

ilmu Hadits, termasuk pula segala yang dinisbahkan kepada para

sahabat Nabi dan tabi’in. Ilmu Hadits juga berdasar dan

bersumber pada periwayatan Hadits sebagai media penyampaian

Hadits kepada umat Islam setelah masa Nabi.

Page 96: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

59 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

59

Periwayatan ini mencakup banyak hal seperti hakikat dan

proses dan periwayatan, syarat-syarat periwayatan, jenis-jenis

Page 97: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

60 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

60

periwayatan, hukum periwayatan, keadaan para periwayat, jenis-

jenis Hadits yang diriwayatkan dan sebagainya. Di samping itu,

sumber dan sekaligus objek kajian ilmu yaitu status dan kondisi

periwayat serta status Hadits yang mereka riwayatkan. Dengan

demikian, kajian dalam ilmu Hadits dapat menggunakan

pendekatan historis karena terkait dengan fakta yang terjadi pada

masa Nabi dan masa-masa berikutnya, dengan menggunakan

kritik internal maupun eksternal. (Idri, 2020:103)

Ketiga, pengujian kebenaran teori-teori dan kaidah-kaidah

dalam ilmu hadis dapat dilihat dari segi validitas dan

reliabilitasnya. Uji validitas berkenaan dengan tingkat keandalan

atau kesahihan suatu instrumen atau alat ukur tertentu. Validitas

suatu instrumen berarti alat itu dapat digunakan untuk mengukur

apa yang seharusnya diukur. Misalnya, meteran yang valid dapat

digunakan untuk mengukur panjang dengan teliti dan benar,

karena meteran merupakan alat untuk mengukur panjang. Meteran

menjadi tidak valid jika digunakan untuk mengukur berat.

Reliabilitas berkenaan dengan konsistensi alat atau instrumen

dalam mengukur apa saja yang diukur. Instrumen disebut reliabe l

jika digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama

dan menghasilkan data yang sama.

Pengkajian tentang validitas ilmu Hadis berkenaan dengan

kaidah-kaidah (teori-teori) yang digunakan oleh ulama Hadis

dalam melakukan penelitian dan kritik Hadis, seperti kaidah

tentang Hadis shahih, hasan, dha’if dan mawdhi’. Termasuk di

dalamnya kaidah tentang persambungan sanad, keadilan dan ke-

Page 98: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

61 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

61

dhabith-an periwayat, kajanggalan (syadz), cacat Hadis (‘illat),

yang di dalamnya terkandung kaidah-kaidah tentang Hadis

Page 99: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

62 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

62

muttashil atau mawshul, marfu’, mursal, mu’allaq, munqathi’,

mu’dhal, mawquf, maqthu’, mudallas, syadz, mu’allal, matruk,

munkar, mudraj, maqlub, mazid, mudhtharib, mushahhaf, majhul,

dan sebagainya. Demikian pula, kaidah-kaidah tentang kritik

Hadis yang termuat dalam disiplin ‘ilm al-Jarh wa al-Ta’dil,

Rijal al-Hadits, Tarikh al-Ruwah, Asbab Wurud al-Hadits dan

sebagainya. (Idri, 2020:105)

Berdasarkan kualitasnya, hadis dibagi atas tiga yaitu:

pertama; Hadis Shahih, yaitu menurut bahasa adalah hadis yang

sah, hadis yang sehat, atau hadis yang selamat. Secara terminologi

menurut Ibn al-Shalah, hadis shahih adalah hadis yang

disandarkan kepada Nabi saw. yang bersambung sanadnya,

diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dan tidak terdapat

kejanggalan (syuzuz) dan cacat (illat). (Ilyas dan Ahmad:2019:

26). Kedua, Hadis Hasan yaitu hadis yang sanadnya bersambung,

diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit dhabit,

tidak terdapat didalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga

terdapat cacat.(Syuhudi : 1987; 146), dan ketiga; Hadis Dhaif,

kata dhaif bermakna lemah juga dapat diartikan saqim (yang

sakit). Menurut Imam An-Nawawi hadis dhaif adalah hadis yang

di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-

syarat hadis hasan. (Ilyas dan Ahmad, 2011:33-34)

Dengan demikian hadis dhaif adalah hadis yang tidak

memenuhi salah satu atau semua persyaratan hadis shahih dan

hadis hasan. Para ulama memperbolehkan untuk meriwayatkan

hadis dhaif dengan dua syarat: a) tidak berkaitan dengan akidah

Page 100: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

63 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

63

seperti sifat-sifat Allah, b) tidak menjelaskan hukum syara’

seperti halal dan haram, tetapi berkaitan dengan mau’idzah,

Page 101: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

64 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

64

targhib wa tarhib, kisah-kisah dan lain-lain. (Ilyas dan Ahmad,

2011:34). Kaidah dan teori-teori tersebut dibuat oleh para ulama

Hadits berdasar fakta dan pengalaman periwayatan Hadits yang

telah terjadi pada masa Islam klasik, yang bertujuan untuk

menentukan dan memilih hadits-hadits yang dapat diterima

(maqbul) dan yang tidak dapat diterima (mardud) sebagai dalil

agama Islam.

Karena itu, dilihat dari perspektif ilmiah, kebanyakan teori

dalam ilmu Hadis diperoleh secara induktif yang bersifat

korespondensi. Para ulama Hadis membuat teori dan kaidah-

kaidah dalam ilmu Hadis berdasar fakta dan data pada masa Nabi

dan seterusnya kemudian dibuat generalisasi yang menjadi

kaidah-kaidah ilmu Hadits. Pemrakarsa awal kemunculan kaidah-

kaidah ilmu Hadits yaitu para ulama abad pertama dan kedua

hijriah seperti Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (51-124 H), Sa’id

ibn al-Musayyib (w. 94 H), al-Sya’bi (w. 104 H), Muhammad ibn

Sirin (w. 110 H), Yahya ibn Sa’id al-Qathan (w.189 H) dan ‘Abd.

Al-Rahman ibn Mahdi (w. 198 H), Syu’ban ibn al-Hajjaj (w. 160

H), Ma’mar (w. 153 H), dan ulama-ulama Hadits berikutnya. Dari

merekalah kemudian ditulis kaidah-kaidah (teori) ilmu Hadits

seperti yang dilakukan oleh ‘Ali ibn ‘Abd Allah al-Madini (161-

234 H) dalam kitabnya Ushul al-Sunnah dan Madzahib al-

Muhadditsin dan Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204 H)

melalui kitabnya al-Risalah yang menjelaskan tentang kehujjahan

Hadis ahad, syarat-syarat sah suatu Hadis mursal dan munqathi,

riwayat dengan lafal dan makna, serta syarat-syaratnya, dan lain-

lain. (Idri, 2020:106)

Page 102: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

65 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

65

Pada abad ketiga Hijriah, kaidah ilmu Hadis semakin

bertambah dengan dicetuskannya berbagai cabang ilmu Hadis

baru, seperti ilmu Gharib al-Hadits yang diprakarsai oleh Abu al-

Hasan Ismail al-Mazini al-Nahawi (w. 204 H) dan Abu ‘Ubaydah

Ma’mar ibn Matsna al-Taymi al-Bashri (w. 210 H), ilmu

Mukhlatif al-Hadits yang disusun oleh Imam al-Syafi’i (w. 204

H/819 M) dalam kitabnya Ikhtilaf al-Hadits dan ‘Abd Allah ibn

Qutaybah (w. 276 H) dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits,

ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil yang menguraikan sejarah dan kritik

terhadap para periwayat Hadis sebagaiman dilakukan oleh

Muhammad ibn Sa’ad (w. 230 H), Yahya ibn Ma’in (w. 232 H),

‘Ali ibn al-Madini (w. 234 H), al-Bukhari (w. 256 H), Muslim ibn

al-Hajjaj (w. 261 H), dan Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H).

Juga, karya ‘Ali ibn al-Madini (w. 234 H/818 M) yang berjudul

al-‘Ilal yang membahas Hadis-hadis yang mengandung ‘illat

(cacat). Dengan demikian, secara epistemologi, kaidah-kaidah

dalam berbagai disiplin ilmu Hadis tersebut bersifat induktif-

korespondensial, berdasar data yang terjadi pada masa awal Islam

yang dikaji secara terus-menerus sehingga menghasilkan displin

ilmu Hadis yang dikenal dengan ‘ulum al-hadits atau ‘ilm

musthalah al-hadits. (Idri, 2020:106-107)

Pada perkembangan berikutnya, terutama ketika dilakukan

penelitian dan kritik Hadis, kaidah dan teori-teori yang terdapat

dalam ilmu Hadis itu kemudian dijadikan tolak ukur dalam

menilai kualitas Hadis-hadis Nabi baik dari segi sanad maupun

matan. Seluruh uji validitas Hadis Nabi didasarkan pada teori dan

Page 103: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

66 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

66

kaidah-kaidah yang telah tersusun secara sistematis dan termuat

dalam literatur-literatur ilmu Hadis itu. Dengan kata lain, untuk

Page 104: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

67 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

67

meneliti keabsahan suatu Hadis, seseorang harus berdasar pada

kaidah-kaidah tersebut sehingga hasil penelitiannya dapat diakui

kebenarannya. Dalam hal ini, digunakan pendekatan deduktif-

koherensif dimana kaidah-kaidah itu menjadi dasar-dasar

penilaian Hadis atau periwayat tertentu. Misalnya, suatu Hadis

disebut shahih apabila memenuhi kaidah keshahihan Hadis, yaitu

sanad bersambung, periwayat ‘adil, periwayat dhabith, terlepas

dari ‘illat, dan syadz. Jika suatu Hadis tidak memenuhi salah satu

dari lima kaidah tersebut, maka tidak dapat disebut sebagai Hadis

Shahih. Demikian pula, kaidah tentang keadilan para sahabat Nabi

yang berbunyi: Kull al-shahabah ‘udul (Setap sahabat Nabi

pastilah adil) digunakan untuk menilai keberadaan sahabat-

sahabat Nabi bahwa mereka semua berstatus adil sehingga seluruh

Hadis yang mereka riwayatkan dapat diterima kebenarannya,

tanpa harus diteliti kualitas sahabat yang bersangkutan.

Para ahli ilmu Hadis membagi Hadis dari segi sampainya

atau jumlah rawinya menjadi tiga macam; yaitu mutawâtir, âhâd

dan masyhûr. Namun, ulama usul fikih membaginya menjadi dua

kategori saja; yaitu laporan mutawâtir dan laporan âhâd. Terlepas

dari perbedaan tersebut pembagian ini menghasilkan suatu konsep

berbeda. Laporan mutawâtir adalah Hadis yang diriwayatkan,

sepanjang tiga generasi pertama umat Islam, melalui banyak jalur

dan secara logis tidak memungkinkan untuk bersekongkol dalam

kebohongan. Sebagian ahli Hadis menetapkan standart

pemenuhan rawi, minimal tujuh orang, ada yang menentukan

sampai empat puluh bahkan ada yang tujuh puluh. Sehingga

Page 105: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

68 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

68

sangatlah sedikit Hadis yang sampai kepada kita masuk ke

dalam kategori mutawâtir. Sedang ahad adalah Hadis yang

Page 106: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

69 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

69

diriwayatkan selama masa tiga generasi pertama oleh satu sampai

empat orang perawi saja dan tidak mencapai derajat mutawâtir.

(Attabik, 2010:216)

Pemahaman mutawâtir ini secara epistemologi berfaedah

sekaligus menimbulkan ilmu pasti (yufîdu al-‘ilm al-yaqînî),

sedangkan metode penukilan riwayat lainnya tidak menimbulkan

ilmu pasti hanya saja menimbukan keraguan (dzan). Mengingkari

ketawâturan al-Qur’an dan Hadits-hadits tertentu secara historis

berimplikasi pada penolakan terhadap kenabian itu sendiri. Kalau

laporan âhâd hanya menimbulkan dzann, maka âhâd bukanlah

laporan yang diriwayatkan melalui satu jalur akan tetapi bisa juga

bisa dikategorikan sebagai laporan mutawatir yang tidak

memenuhi salah satu syarat sekalipun telah diriwayatkan oleh

lebih dari satu jalur (Hanafi, tt: 240).

Pada tahap akhir dari perjalanan Hadis adalah adanya upaya

ulama untuk memperketat “pencomotan” Hadis -hadis dalam

kitab. Maka diletakkanlah kaedah-kaedah paten yang dirumuskan

untuk dapat mengukur kualitas Hadis dari sahih atau tidaknya

Hadis. Adalah al-Bukhari dan Muslim orang yang meletakkan

pengambilan Hadis-hadis sahih saja. Sedangkan ulama’-ulama’

lain yang tergabung dalam penyusun al-kutub as-sittah, seperti al-

Tirmizi menambah adanya kriteria “Hadits hasan”. Selanjutnya

kitab-kitab Hadis (alkutub as-sittah) telah menyebar luas seantero

jagad raya dijadikan sebagai salah satu sumber landasan hukum

Islam hingga sampai pada kita sekarang ini.(Atabik, 2010:219)

Page 107: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

70 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

70

Dari banyaknya jalur yang ditempuh, maka sumber laporan

tersebut berefek pada kepastian kebenaran isinya. Jadi,

pengetahuan kebenaran isi ataupun pernyataan peristiwa masa

Page 108: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

71 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

71

silam bisa dikatakan sebagai pengetahuan terhadap masa silam itu

sendiri. Dengan kata lain, ketika seseorang mengetahui kebenaran

pernyataan (laporan) bahwa Nabi mengerjakan salat dzuhur empat

raka’at berarti orang itu mengetahui bahwa beliau salat dzuhur

empat raka’at.

Jadi pengetahuan tentang laporan bawa Nabi salat dzuhur

empat rakaat adalah benar. Singkatnya, pengetahuan tentang suatu

peristiwa masa lampau diperoleh dari pengetauan tentang

kebenaran laporan (pernyataan) tentang peristiwa tersebut

(Anwar, 2003:110). Jadi dengan adanya laporan mutawatir kita

juga seakan-akan mengetahui persis peristiwa masa silam yang

telah hilang yang merupakan pengetahuan yang berada diluar

jangkauan inderawi kita.

Adapun dari segi reliabilitasnya, kebenaran kaidah atau teori-

teori ilmu Hadis dapat dilihat pada sejauh mana konsistensi hasil

kritik dan penelitian Hadis. Suatu contoh, jika suatu Hadis dinilai

shahih berdasar pada kaidah-kaidah keshahihan Hadis dan

kemudian kaidah itu digunakan kembali untuk meneliti kualitas

Hadis lain dan ternyata hasilnya sama (shahih), maka teori atau

kaidah keshahihan Hadis tersebut bersifat reliabel. Secara faktual,

kaidah-kaidah dan teori-teori dalam ilmu Hadis tersebut telah

digunakan secara berabad-abad dikalangan umat Islam dan relatif

menghasilkan kesimpulan yang sama. (Idri, 2020:108)

C. Struktur Epistimologi Ilmu Hadits

Page 109: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

72 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

72

Pokok bahasan ilmu pengetahuan pada dasarnya dapat

dipetakan menjadi dua, yaitu objek materi dan objek forma. Objek

materi adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan

Page 110: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

73 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

73

(materi) ilmu pengetahuan. Objek farma adalah pandang terhadap

objek materi, yaitu cara pendekatan objek materi yang khas

sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang

berangkutan, baik itu pengetahuan, agama, kesenian, maupun

yang lain. Jelasakan, objek materi mengkaji tentang materi-materi

yang dipelajari dan dikaji dalam disiplin ilmu pengetahuan.

Materi-materi itu disusun secara sistematis dan komprehensif

(dengan cakupan dan ruang lingkup yang menyelutuh pada semua

bagiannya). Adapun objek forma mengkaji tentang sudut pandang

terhadap objek materi itu dari berbagai segi misalnya; sejarah,

sosial, filsafat, budaya, ekonomi dan politik.

Objek materi ilmu Hadis riwayah adalah segala yang

disandarkan kepada Nabi baik perkataan, perbuatan, ketetapan

atau persetujuan, sifat fisik dan psikis. Demikian pula, segala

yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in. Karena itu, objek

materi ilmu Hadis ini, antara lalin: Pertama, Hadis qawli (Hadis-

hadis yang berupa perkataan Nabi, yaitu segala perkataan Nabi

baik yang berkenaan dengan ibadah maupun kehidupan sehari-

hari. Kedua, Hadis fi’li (Hadis-hadis yang berupa perbuatan

Nabi), yaitu segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi

seperti cara Nabi melaksanakan shalat, wudhu’, dan lain-lain yang

disampaikan kepada umat Islam melalui sahabat. Ketiga, Hadis

taqriri (Hadis-hadis yang berupa persetujuan Nabi), yaitu

ketetapan Rasulullah atau sesuatu yang dilakukan oleh sahabat

baik berupa ucapan maupun perbuatan dengan cara Rasulullah

diam (tidak menyangkal), setuju dan menganggapnya bagus.

Page 111: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

74 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

74

Keempat, Hadis ahwali (Hadis-hadis yang berupa hal ihwal Nabi),

yaitu sesuatu yang berasal dari Nabi yang berkenaan dengan

Page 112: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

75 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

75

kondisi fisik, akhlak dan kepribadiannya. Kelima, Hadis hammi,

yaitu Hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi yang belum

terealisasikan. Disamping itu, objek materi ilmu Hadis riwayah

yaitu Hadis mawquf, yaitu segala yang disandarkan pada sahabat

dan Hadis dirayah yang merupakan objek forma ilmu Hadis. Ada

tiga fokus kajian ilmu Hadis dirayah, yang digunakan untuk

menyoroti segala yang berasal dari Nabi dan juga sahabat dan

tabi’in itu, yaitu periwayatan, status dan kondisi periwayat, serta

Hadis yang diriwayatkan.

Sebagai objek forma, ilmu Hadis dirayah mempunyai ruang

gerak dan lingkup yang lebih luas daripada ilmu Hadis riwayah.

Disiplin ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan dari

waktu ke waktu sehingga memunculkan banyak cabang ilmu

Hadis. Sebagian ulama seperti al-Hakim al-Naysaburi (321-405

H) menyatakan bahwa cabang ilmu Hadis ada 52 jenis dan Ibn al-

Shalah menyebut cabang ilmu ini 65 cabang, di antaranya

ma’rifah al-shahih min al-hadits, ma’rifah al-hasan, ma’rifah al-

dha’if, ma’rifah al-ma’rif, ma’rifah mukthalaf al-hadits, ma’rifah

thabaqat al-ruwah wa al-‘ulama.

Muhammad ibn Nashir al-Hasyimi, sebagaimana dikutip

‘Ajjaj al-Khathib, mengklaim jumlah ilmu Hadits mencapai lebih

dari 100 jenis, masing-masing mempunyai objek kajian khusus

sehingga dapat dianggap ilmu tersendiri (independen).

Menurutnya seandainya seseorang hendak menghabiskan

umurnya untuk mempelajari ilmu Hadis secara komprehensif,

maka tidak akan pernah selesai. Menurut Zubayr Shiddiqi,

Page 113: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

76 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

76

terdapat sekitar 100 jenis ilmu yang dinilai cukup penting

diperlakukan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang bersifat

Page 114: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

77 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

77

mandiri (to be treated as an independent branch of knowladge)

dalam ilmu Hadis. Sebagaian dari cabang disiplin ilmu itu

berkenaan dengan sanad Hadis dan kritik terhadapnya, sebagaian

berkenaan dengan teks (matan) Hadis, dan sebagaian

lainnyaberkenaan dengan sanad dan teks Hadits secara

bersamaan. Hamzah al-Malibari meringkas bahwa ilmu Hadis

mencakup empat bagian utama, yaitu ‘ilm al-riwayah, qawa’id al-

tashhih wa al-ta’lil, ‘ilm jarh wa al-ta’dil dan fiqh al-hadits.

Banyaknya cabang ilmu Hadis itu disebabkan oleh adanya

peninjauan objek ilmu ini berdasar forma (sudut pandang) yang

beragam. Umumnya, para ulama meninjau disiplin ilmu ini dari

segi unsur-unsur Hadis, yaitu sanad, matan, atau keduanya.

Ditinjau dari segi sanad, ilmu Hadis antara lain dapat diklasifikasi

sebagai berikut : ilmu Rijal al-Hadits, ilmu Thabaqah al-Ruwah,

ilmu Tarikh al-Ruwah, dan ilmu Asbab Wurud al-Hadits, ilmu

Nasikh wa Mansukh al-Hadits, ilmu Mukhtalif al-Hadits, dan ilmu

al-Tashhif dan al-Tahrif. Ditinjau dari segi sanad dan matan,

terdapat dua jenis disiplin ilmu, yaitu ilmu ‘Ilal al-Hadits dan

ilmu Fann al-Mubhamat.

Menurut Idri, peninjauan disiplin ilmu Hadis dapat pula

dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu sejarah, komparasi, dan

bahasa. Dilihat dari sudut pandang sejarah, ilmu Hadis dirayah

dapat diklasifikasi menjadi : ilmu Rijal al-Hadits (disebut juga

ilmu Asma’ al-Rijal), ilmu Thabaqat al-Ruwah, ilmu Tarikh al-

Ruwah, ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, ilmu Asbab Wurud al-Hadits,

dan ilmu Tarikh al-Mutun. (Idri, 2020:40). Dalam konteks

Page 115: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

78 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

78

sejarah, rekontruksi makna terjadi, ketika sejarawan berusaha

“mentransfer” makna data sejarah masa lalu kedalam konteks

Page 116: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

79 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

79

generasi sekarang, sehingga sejarah itu bisa dipahami oelh

generasi zaman sekarang. Hal yang perlu dicermati adalah tujuan

dari sejarah itu sendiri, yaitu ingin mempertemukan berbagai

peristiwa baik berupa perubahan maupun kontinuitas, dengan

memperhatikan masa lalu, sekarang dan yang akan datang sebagai

suatu kesatuan yang utuh. Memperhatikan hubungan masa lalu

dengan masa kini untuk memprediksi masa mendatang (Minhaji,

2010:18–19)

Uraian sejarah Hadits dirasa penting untuk menjembatani dan

menghubungkan kita kepada sumbernya yaitu Nabi sendiri

sebagai pengemban risalah ilahi. Sejak wahwu pertama dan kedua

diturunkan kepada Muhammad, beliau resmi didaulat menjadi

Nabi sekaligus rasul sebagai menyampai (muballigh) dari risalah

yang diembannya. Dengan adanya perintah tablîgh sebagai cara

berdakwah maka itu menandai adanya fase pertama terjadinya

Hadis. Karena permulaan terjadinya Hadis seiring-bersamaan

dengan awal turunnya wahyu. Bisa dikatakan bahwa usia Hadits

sama dengan usia al-Qur’an sendiri (Waryono, 2002:9).

Melalui pendekatan komparatif, terdapat beberapa disiplin

ilmu Hadis, yaitu : ilmu ‘Ilal al-Hadits, ilmu Nasikh wa Mansukh

al-Hadits, dan ilmu Mukhtalif al-Hadits. Pendekatan bahasa dapat

digunakan untuk epistemologi ilmu Hadis sehingga memunculkan

berbagai cabang disiplin ilmu, antara lain : ilmu Gharib al-Hadits,

ilmu al-Tashhif dan al-Tahrif dan ilmu Musthalah al-Hadits.

Meskipun demikian, pada era modern, problematika hadis lebih

cendrung pada masalah pemahaman. Para sarjana awal muslim

Page 117: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

80 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

80

telah mengkonstruk model pemahaman sebagai sebuah

percontohan, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi adalah

Page 118: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

81

manusia pertama yang mengajarkan metode dalam mehamai

ajaran agama dan dilanjutkan oleh orang-orang yang dekat dengan

Nabi (sahabat). Usaha para sarjana muslim awal terkumpul dalam

beberapa kitab-kitab syarah maupun yang bermodel fiqh

(Suryadi, 2000:140). Usaha tersebut tidak berhenti sampai disitu,

para pengkajia hadis modern yang berkompeten melanjutkan dan

mengembangkan dengan rekonstruksi tanpa menghilangkan nilai

ajaran hadis, sehingga ada banyak pendekatan-pendekatan yang

ditawarkan untuk memahami hadis. Di antara pendekatan yang

ditawarkan ialah bahasa, historis, sosiologis, psikologis, dan

antropologis, (Ismail, 2009:34).

Terdapat beberapa alasan kenapa metode dan pendekatan

dalam mehamai hadis menjadi urgen dalam era sekarang.

Urgumentasi paling sederhana ialah untuk memahami ajaran

agama supaya dapat melaksanakan perintah nabi. Tetapi hal

tersebut tidak cukup, karena bentuk perintah Nabi begitu beragam

dan ungkapanya bermacam-macam. Dalam hal ini, dapat

mengutip pendapat Suryadi yang berpendapat, bahwa terdapat dua

alasan besar. Pertama, tidak semua kitab hadis ada syarahnya,

kitab-kitab hadis syarah yang ada dimasyarakat pada umumnya

hanya meliputi Kutub al-Sittah. Dengan demikian, dalam tataran

realitas jumlah kitab-kitab hadis banyak sekali dengan metode

penyusunan yang beragam. Dengan demikian, baru sebagian kecil

saja yang telah disentuh dan dikupas maknanya oleh para

pakarnya. Di samping itu, meski telah bermunculan kitab-kitab

fiqh dengan berbagai alirannya. Namun harus dicatat bahwa

Page 119: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

82

materi ataupun tema hadis yang dibahas dalam kitab-kitab terebut

tidak berkutat dalam masalah fiqh saja, tetapi lebih luas dari itu

61 EPISTEMOLOGI;

Page 120: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

83

(Suryadi, 2000, hal. 140). Kedua, dalam upaya memahami hadis,

kesarjanaan Islam cenderung memfokuskan data riwayat dengan

menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa dengan model

episteme bayani. Kondisi ini menurut berdampak negatif, bila

pemikiran-pemikiran yang dicetuskan para ulama terdahulu

dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis. Bagaimanapun

juga harus dipahami bahwa pemikiran mereka muncul dari dan

dalam kerangka waktu, tempat, dan zaman tertenut, dan dengan

berubahnya konteks ruang dan zaman, maka adalah naif jika

memaksakan hal tersebut sebagai kebenaran yang hakiki. Oleh

sebab itu, tulisan ini berusaha mengenalkan perkembangan

metode dan pendekatan syarah hadis dari masa awal sampai

sekarang sebagai sebuah ikhtiyar untuk menggali nilai agama

yang terekam dalam hadis Nabi. (Muhtador, 2016:260)

Dalam pandangan Ahmad Attabik fungsi teori kebenaran

dalam epistemologi Hadis adalah mengaitkannya dengan

pentingnya keberadaan sanad sebagai penghubung generasi ke

generasi. Para perawi yang terpercaya (tsiqah) yang membentuk

sanad akan menjadikan suatu Hadis itu shahih atau benar adanya.

Jadi teori korespondensi yang menyatakan bahwa suatu

pernyataan dianggap benar apabila sesuai dengan fakta. Fakta dari

keberadaan sanad karena terpercayanya para rawi inilah yang

menyebabkan bahwa keberadaan Hadits atau sejarah masa silam

itu benar. Sedangkan teori koheren akan penting ketika

menetapkan protap-protap (prosedur tetap) kebenaran suatu

pernyataan. Prosedur tetap ini akan diberlakukan untuk mengecek

atau mengidentifikasi kebenaran itu. (Attabik, 2010:215)

Page 121: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

84

Page 122: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

85

63 EPISTEMOLOGI;

Page 123: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

64 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

86

BAB 4

KRITIK HADITS

KONTEMPORER

A. Pengertian Kritik Hadits

Kata kritik berasal dari bahasa Yunani “Krites” yang artinya

seorang hakim, “Krinein” berarti menghakimi, “kriteria” berarti

dasar penghakiman. Dikalangan ulama ahli hadist, kritik hadis

dikenal dengan sebutan (لاحديث naqd al-hadis. Kata naqd/(نقد

berasal dari kata نقد yang mempunyai arti sama dengan kata at-

tamyiz. Ditinjau dari segi bahasa berarti mengkritik, menyatakan,

memberi ulasan, dan memisahkan antara yang baik dari yang

buruk, (A. Warson Munawir, 2007:1452). Lafadz naqd dalam

bahasa arab biasa digunakan untuk sebuah istilah dalam

penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan. Kritik dalam

kamus bahasa Indonesia mempunyai makna menghakimi,

membandingkan dan menimbang. Dalam pemakainnya kata

ktritik sering dikonotasikan dengan makna yang tidak lekas

percaya, tajam dalam analisa, dan koreksi baik atau buruknya

suatu karya. (Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1988:466).

Dalam al-Qur’an dan al-Ḥadis tidak ditemukan kata Naqd

dalam pengertian kritik, tetapi menggunakan kata مييز seperti امزـ

disebutkan dalam Q.S. Al an’am: 164 (طلايب لاخبيث من مييز .(حتى

Page 124: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

64 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

87

Tidak disebutkannya istilah Naqd dengan arti kritik dalam al-

Qur‟ān dan al-Ḥadῑṡ, tidak berarti kritik terhadap ḥadῑṡ tidak ada

pada masa perkembangan agama Islām.

Sesungguhnya kritik ḥadῑṡ telah biasa dilakukan sejak zaman

para sahabat dengan menggunakan istilah tamyiz. Istilah tamyiz

ini digunakan oleh Imam Muslim dan sebagian ulama lain

menggunakan istilah naqd, yang semula tidak populer, kemudian

menjadi populer pada perkembangan selanjutnya. Pengertian

kritik dengan menggunakan kata naqd mengindikasikan bahwa

kritik harus dapat membedakan yang baik dan yang buruk,

sebagai pengimbang yang baik, ada timbal balik, menerima dan

memberi, terarah pada sasaran yang dikritik, ada unsur

perdebatan, karena perdebatan berarti mengeluarkan pemikiran-

pemikiran masing-masing, berarti kritik bertujuan memperoleh

kebenaran yang tersembunyi (Ahmad Fudhaiil, 2012: 35-37).

Secara terminologi naqd al-hadis/kritik hadis didevinisikan

sebagaiلارواة توثيقاو تجريحا عى لاضعيفة لاوحكم ل لاصحيحة من لااحاديث ييز مت upaya

membedakan antara hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da'if dan

menetukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas

maupun kecacatannya (Muhammad Musthafa Al-

‘Azhimy, 1990:5)

Dari beberapa pengertian tentang kritik hadis di atas, maka

dapat kita pahami bahwa upaya kritik hadis bukan untuk

membuktikan salah atau benarnya suatu hadis, karena Nabi

mempunyai sifat ma‘shum, yang dijamin terhindar dari kesalahan,

tetapi tujuannya adalah menguji kejujuran para perawi hadis

Page 125: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

64 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

88

selaku perekam sejarah dan kandungan matan hadis di dalamnya.

Kritik hadis ini pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan

Page 126: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

66 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

66

menganalisis secara kritis kebenaran suatu hadis dapat dibuktikan,

termasuk komposisi kalimat yang terdapat dalam matan suatu

hadis.

B. Landasan dan Prinsip-Prinsip Kritik Hadits

Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat

dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya

dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang

disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam

jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab

hadis tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan

riwayat hadis tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal

dari Nabi. Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.

Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat

berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut

dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih dahulu perlu

dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadis tidak hanya

ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadis itu

saja, yang biasa dikenal dengan masalah matan had is, tetapi juga

kepada berbagai hal yang berhubungan dengan periwayatannya,

dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat yang

menyampaikan matan hadis kepada kita.

M. Syuhudi Ismail menjelaskan 6 faktor yang melatar

belakangi pentingnya kritik hadis: (1) hadis Nabi sebagai salah

satu sumber ajaran islam, (2) tidak seluruh hadis ditulis pada

jaman Nabi, (3) telah muncul beragam pemalsuan hadis, (4)

proses penghimpunan hadis membutuhkan waktu yang lama, (5)

Page 127: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

67 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

67

jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang

beragam, dan (6) telah terjadi periwayatan hadis secara makna.

Page 128: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

68 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

68

Urgensi kritik hadis pada umumnya terdapat pada dua hal yaitu

kritik sanad dan matan. Terdapat pendapat yang berbeda antara

kaidah yang dianut oleh ulama hadis klasik dengan ulama

kontemporer mengenai istilah kritik sanad dan matan. Ulama

klasik berpendapat bahwa setiap sanad yang sahih, bisa dipastikan

matannya juga sahih, begitu juga sebaliknya. Sementara ulama

hadis kontemporer berpendapat bahwa kesahihan atau keda„ifan

suatu sanad tidak mempengaruhi kualitas matan. Begitu pula

sebaliknya, Kaidah ulama modern ini dicetuskan oleh ulama

khalaf (setelah masa fitnah) karena banyaknya aksi pemalsuan

hadis pada masa fitnah yang dilakukan oleh kaum shi‘ah,

mu‘tazilah, zindiq, ahlu bid’ah dan kelompok lainnya. Mereka

sengaja membuat matan palsu dan mencuri sanad dari hadis sahih

atau muawatir sebagai penguat argumen kepentingan kelompok

mereka (Atho’illah Umar, 2011:147). Fenomena inilah yang

membuat pentingnya kajian kritik sanad dan matan secara spesifik

dengan tidak meniadakan hubungan erat antara keduanya.

1. Kritik Sanad

Kritik sanad mendapatkan perhatian terbesar dari para ulama

hadis karena kebanyaan dari mereka menjadikan sanad sebagai

patokan dasar kesahihan suatu hadis. Pemusatan perhatian ini

mencakup keadaan perawi hadis serta ketersambungan sanad

hadis yang disampaikan. Adapun Kriteria kesahihan sanad hadis

yaitu: a) Sanadnya Bersambung (Muttashil), b) Perawi Yang Adil,

c) Perawi yang Dlabit, d) Tidak Shaadh (Janggal), e) Tidak Ada

‘Illat (cacat)

2. Al-Jarh wa al-Ta‘dil

Page 129: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

69 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

69

Al-jarh secara bahasa berarti luka yang mengalirkan darah.

Para ahli hadis mendefinisikan al-jarh sebagai terlihatnya sifat

pada seorang rawi yang dapat menjatuhkan keadilannya, dan

merusak hafalannya serta ingatannya, sehingga menyebabkan

gugur riwayatnya atau melemahkannya kemudian ditolak

(Manna’ Al-Qaththan, 2005:82). Secara bahasa al-ta‘dil berarti

taswiyyah (menyamakan). Sedang menurut istilah berarti lawan

dari al-jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan

ketetapan, bahwa ia ‘adl atau dlabt. Ulama lain mendefinisikan

al-jarh dan al-ta‘dil dalam satu definisi yakni لاذي يبحث في احوال علا مل

لارواة من حيث قبول رواياتهم اوردها ilmu yang membahas hal ihwal para

perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka

(Muhammad Ajjaj al-Khatib, 1989:168).

3. Kritik Matan

Menurut ulama hadis, suatu hadis barulah dinyatakan sahih

apabila kualitas sanad dan matannya adalah sahih. Namun pada

kenyataannya banyak dijumpai suatu hadis yang sanadnya sahih

tetapi matannya dianggap dla‘if. Fenomena ini bukan karena

kaidah kesahihan sanad yang digunakan, malainkan adanya faktor

lain yang terjadi, diantaranya: a) terjadi kesalahan dalam

melaksanakan penelitian matan, misalnya kesalahan pendekatan

dalam penelitian, b) terjadi kesalahan dalam penelitian sanad, c)

karena matan hadis telah mengalami periwayatan secara makna

sehingga terjadinya kesalahan dalam pemaknaan, (A.Qadir Hasa,

2007:375-376). Berbagai macam alasan diatas menunjukkan

Page 130: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

70 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

70

bahwa kegiatan kritik matan sanggatlah dibutuhkan. Kritik matan

merupakan sebuah upaya menseleksi matan hadis sehingga dapat

dibedakan antara matan yang bisa diterima dan ditolak dengan

Page 131: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

71 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

71

menggunakan kaidah-kaidah kritik yang telah disepakati para

ulama hadis (Atho’illah Umar, 2011:153).

Sebelum melakukan penelitian terhadap kualitas suatu matan

terlebih dahulu harus mengerti tentang syarat kasahihan matan,

yaitu suatu matan harus terhindar dari shudhud dan ‘illat.

Kegiatan ini sangat penting dan sulit karena belum adanya buku

atau kitab yang secara khusus menghimpun hadis yang

mengandung shudhud dan illat pada matan, (M. Syuhudi Ismail,

1992:124).

C. Tujuan Kritik Hadits

Tujuan kritik hadis adalah untuk mengetahui kualitas hadis

yang diteliti. Kualitas hadis sangat perlu diketahui dalam

hubungannya dengan kehujjahhan hadis yang bersangkutan, hadis

yang tidak memenuhi syarat itu diperlukan karena hadis

merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Peggunaan hadis yang

tidak memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Isalam

tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Sanad merupakan hal

penting dalam hadis, Muhammad bin Sirin (w110H/728M)

menyatakan “sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama,

maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama itu.

Artinya, dalam mengahadapi hadis maka sangat penting diteliti

terlebih dahulu para periwayat yang terlibat dengan sanad.

Begitupula halnya dengan matn hadis perlu adanya kritik dengan

melakukan penelitian, biasanya ilmu yang membahas hal tersebut

terangkum dalam ilmu jarh wat Ta’dil.

Page 132: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

72 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

72

Tujuan kritik matan menurut Muhammad Thahir al-Jawabi

ada dua, yaitu: 1) untuk menentukan benar tidaknya matan ḥadist.

Page 133: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

73 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

73

2) untuk mendapatkan pemahaman yang benar mengenai

kandungan yang terdapat dalam sebuah matan ḥadis (Umi

Sumbulah, 2008:26). Dengan demikian, kritik matan ḥadῑṡ

ditujukan untuk meneliti kebenaran informasi sebuah teks ḥadῑṡ

atau mengungkap pemahaman dan interpretasi yang benar

mengenai kandungan matan ḥadis. Dengan kritik hadis kita akan

memperoleh informasi dan pemahaman yang benar mengenai

sebuah teks ḥadst.

D. Sejarah Kritik Hadits

Aktivitas kritik hadis marak terjadi pada abad ke-3 hijriyah.

Namun hal tersebut tidak menunjukkan bahwa di era sebelumnya

sama sekali tidak terjadi kegiatan kritik hadis. Sebab ketika

penelitian hadis dipahami (dengan sederhana) sebagai upaya

untuk membedakan antara hadis yang sahih dan yang tidak sahih,

maka kegiatan kritik hadis dalam bentuk yang begitu sederhana

telah muncul sejak masa Rasululullah masih hidup (Umi

Sumbulah, 2008:32-33).

1. Kritik Hadist Era Rasulullah SAW

Sejarah kritik hadis telah terjadi sejak Nabi masih hidup.

Akan tetapi sifat dari kritik hadis yang diterapkan masih bersifat

konfirmasi, klarifikasi dan upaya memperoleh validitas

keterpercayaan. Kritik bersifat konfirmasi, yaitu upaya untuk

menjaga kebenaran dan keabsahan berita. Sebagai contoh tentang

kejadian seorang laki-laki yang mengaku telah membawa pesan

Nabi untuk singgah dirumah siapa saja untuk membuat

perhitungan hukum sendiri. Akan tetapi itu tidak benar.

Page 134: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

74 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

74

Kritik hadis pada saat Rasulullah masih hidup sangat mudah

dilakukan para sahabat, karena para sahabat secara langsung dapat

mengetahui valid dan tidaknya hadis yang mereka terima itu

melalui jalan konfirmasi kepada Rasulullah SAW. Pola

konfirmasi sebagai cikal bakal kritik hadis pada masa Rasulullah

bukanlah disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap

pembawa beritanya bahwa ia telah berdusta. Tetapi hal tersebut

mereka lakukan adalah dimotivasi oleh sikap mereka yang begitu

hati-hati dalam menjaga kebenaran hadis sebagai sumber hukum

Islam disamping Al-quran (Umi sumbulah, 2008: 183), juga untuk

mengokohkan hati mereka dalam mengamalkan hadis yang

langsung mereka yakini kebenarannya dari Rasulullah Saw. (Ali

Mustafa Ya’qub, 2008:2). Para ulama sepakat bahwa konfirmasi

hadis di era Rasulullah ini dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya

ilmu kritik hadis (Imam Suyuti:45).

2. Kritik Hadist Era Sahabat (Abad 1)

Pada era sahabat, metode penelitian hadis mulai berkembang

dengan pola yang bersifat komparatif (perbandingan). Pada masa

ini, setelah wafatnya Rasulullah Saw. para sahabat seperti Abu

Bakr Siddik, Umar Bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib kemudian

mulai membuat suatu rambu-rambu atau syarat diterimanya suatu

hadits, antara lain misalnya dengan mengharuskan kesaksian

sahabat yang lain untuk membenarkan periwayatan hadis tersebut.

Berdasarkan kasus tersebut, Abu Bakr terkesan sangat

berhati-hati dalam menerima kebenaran sebuah hadis. Dalam

kutipan Suryadi dan Muhammad Alfatih, Azmillah al-Damani

Page 135: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

75 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

75

menyimpulkan metode penelitian hadis di era sahabat terbagi

kepada tiga pilar utama, yaitu dengan kriteria bahwa hadis

Page 136: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

76 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

76

tersebut tidak bertentangan dengan Al-qur’an, tidak bertentangan

dengan hadis lain, dengan cara membandingkan antar riwayat

sesama sahabat, dan melalui penalaran akal sehat.

Selanjutnya pada masa khalifah Ali, perjalanan sejarah hadis

semakin digoyah oleh berbagai kasus manipulasi. Antara lain

disebabkan peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman ibn `Affan

pada tahun 35 H., serta peperangan Ali dan Muawiyah yang

kemudian berakibat pada perpecahan kaum muslim. Oleh karena

hal tersebut maka pola tradisional penelitian hadis yang dikenal

selama ini mengalami banyak cobaan disebabkan munculnya

berbagai hadis palsu yang mereka ungkapkan untuk tujuan atau

kepentingan politik atau kepentingan membela golongan

(Muhammad Musthafa Al-‘Azhimy:8).

Namun walaupun perpecahan umat Islam memberikan

dampak negatif bagi persatuan kaum muslimin tetapi ternyata

peristiwa tersebut juga memiliki implikasi positif bagi

pengembangan struktur ilmiah metode kritik hadis. Bahkan

menurut Umi Sumbulah, momentum tersebut merupakan tonggak

sejarah bagi pengembangan sistem kerja penelitian hadis, karena

hal tersebut telah memberikan motivasi positif kepada para ahli

hadis agar lebih efektif mengkaji kriteriakriteria hadis yang sahih

ditinjau dari kondisi sanad dan matan hadisnya (Umi

sumbulah:34).

3. Penelitian Hadis Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in Hingga

Kodifikasi Hadis (Abad II-III)

Page 137: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

77 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

77

Sebagaimana penulis, sebutkan di atas bahwa konflik sosial

politik yang memicu perpecahan umat muslimin telah

mengancam kemurnian dan keaslian hadis. Sebab pada masa ini

Page 138: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

78 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

78

telah terdapat para pemalsu hadis yang dengan sengaja

memanipulasi hadis dengan alasan-alasan yang bersifat personal

atau kepentingan golongan, seperti ungkapan Usman Sya’rani

bahwa pada masa ini telah muncul hadis palsu tentang kelebihan

empat khalifah, kelebihan ketua-ketua kelompok, kelebihan

ketua-ketua partai, memuliakan dan mencaci kelompok-kelompok

agama tertentu. Disamping pemalsu hadis tersebut dilakukan oleh

orang Islam, Orangorang non muslim juga melakukan pemalsuan

hadis karena keinginan untuk meruntuhkan Islam (Usman

Sya’rani, 2020:Viii).

Munculnya pemalsuan hadis kemudian menuntut para ulama

yang hidup pada masa tabi’in dan sesudahnya untuk lebih

bersikap ekstra ketat dalam melakukan penelitian hadis. Hal

tersebut antara lain dapat dibuktikan dengan semakin ramainya

aktivitas perjalanan ilmiah ke berbagai pelosok daerah yang

bermaksud mempelajari hadis Rasulullah Saw. Pada masa tabi’in

ini, para ulama semakin aktif dalam merumuskan rambu-rambu

yang dijadikan sebagai standar kesahihan hadis, Hal tersebut

terbukti dari lahirnya pemikiran-pemikiran tokoh kritik hadis

yang terkenal dalam memelihara kemurnian dan keaslian hadis

(Umi Sumbulah: 40-41). Kritik hadits pada masa tabi’in dan

setelahnya (abad keII dan ke-III) telah mencakup kepada

penelitian sanad dan matan hadis. Kegiatan penelitian tersebut

telah menjalar ke seluruh pelosok negeri Islam seperti: Makkah,

Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan, Bukhara, Merv, Kufah,

Naisabur dan sebagainya (Umi Sumbulah: 41).

Page 139: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

79 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

79

Selanjutnya berkat kegiatan kritik (baca: penelitian) hadis

tersebut bermunculanlah di berbagai negeri ini para peneliti hadis

Page 140: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

80 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

80

sepanjang masa. Mereka senantiasa mengorbankan waktu hanya

untuk membersihkan hadishadis dari kepalsuan, kelemahan dan

cacat lainnya. Setelah abad ketiga berakhir, aktifitas penelitian

hadits ini mulai terlihat lebih metodologis dan sistematis yang

ditandai dengan lahirnya karya-karya besar ulama mengenai

hadits ditinjau dari segala aspeknya. Sehingga sampai saat ini

karyakarya fenomenal itulah yang menjadi referensi utama dalam

menilai sebuah hadits (Muhammad Ali Qasim al-Umri, 2000:11).

Selanjutnya dilihat dari sisi sejarah pembukuan sistem penelitian

hadis, pada awalnya metode penelitian hadis tersebut hanya

ditulis di pinggiran buku-buku hadits seperti terdapat pada kitab

Musnad, Jawami’, Sunan dan lainnya. Ulama yang mencoba

memberikan komentar atau kritik terhadap beberapa hadits, hanya

meletakkan komentarnya di bagian akhir atau catatan kaki dalam

berbagai buku induk hadis.

Kemudian cara yang pertama ini dirasakan kurang efektif dan

tidak cukup luas untuk mengupas kelemahan dan cacat yang

terdapat dalam hadis, sehingga para ulama hadits kemudian

berinisiatif menuliskan komentar-komentar mereka dalam satu

kitab tersendiri, yang memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh

masing-masing perawi agar penilaan atas hadits benar-benar

objektif. Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Imam

Ahmad dalam karyanya: Kitâbul ‘Ilal fi Ma’rifatil Rijâl, atau

Musnad al-Mu’allal karya Ya‘qub bin Syaibah (Muhammad Ali

Qasim al-Umri, 2000:17). Pada tahap selanjutnya, penulisan kitab

rujukan kritik hadits menjadi lebih sistematis lagi setelah

Page 141: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

81 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

81

dilakukannya pengkajian yang terpisah antara penelitian sanad

dengan penelitian matan hadis. Hal ini digagas oleh pakar peneliti

Page 142: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

82 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

82

hadits seperti Ibnu Abi Hatim dalam bukunya: al-Jarh wa Ta’dîl

dan’Ilal yang begitu detail dalam melacak keabsahan hadits dari

aspek matan dan perawinya (Muhammad Ali Qasim al-Umri,

2000:17).

Page 143: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

83 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

83

BAB 5

TEORI PEMBERLAKUAN

HUKUM ISLAM

Hukum Islam telah datang ke Indonesia jauh sebelum kaum

penjajah datang pada pertengahan abad ke 16 M. Kepastian

waktunya, sangat terkait dengan kedatangan agama Islam, karena

Hukum Islam yang biasa juga disebut Syari’ah dan Fiqh itu,

merupakan bagian inheren dari keseluruhan ajaran Islam lainnya

seperti akidah dan akhlaq. Bahkan dalam keyakinan Islam,

hubungan antara akidah dan syari’ah atau hukum Islam sangat

erat. Adapun akidah adalah dasar sedangkan hukum adalah

pelaksanaannya. Konsekwensinya, di mana Islam ada maka di

sana ada Hukum Islam. Dengan demikian, Hukum Islam masuk

ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam (Dedi

Supriyadi, 2007:301). Kapan Islam datang ke Indonesia?

Para ahli sejarah telah banyak mengemukakan pendapatnya

tentang kapan tepatnya Islam datang ke Indonesia. Ada yang

mengatakan, bahwa Islam datang ke Indonesia sejak abad pertama

Hijriyah (abad ke 7 Masehi), namun ada yang mengatakan bahwa

Islam datang ke Indonesia sekitar abad keempat Hijriyah. Dugaan

bahwa Islam telah datang ke Indonesia sejak abad pertama

Hijriyah, karena tahun 650 M., yaitu pada masa pemerintahan

Page 144: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

84 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

84

Khalifah Usman bin Affan sudah ada orang Islam yang datang ke

Sumatera (Solihin Salam, 1964:7).

Menurut pendapat lain, agama Islam telah masuk ke

Indonesia sekitar abad ke 5 Hijriyah atau abad ke 13 M. Hal ini

disimpulkan, karena kira-kira pada tahun 1292 M. di Ferlec atau

Peureula atau disebut juga Perlak (Aceh), sudah ada yang masuk

Islam, dan kira-kira pada tahun 1297 M. di Basem (Pasei)

Sumatera Utara, Rajanya sudah memeluk agama Islam yang

bernama al-Malik al-Salih. Bahkan ada yang mengatakan

kedatangan Islam di Indonesia sejak abad ke 13, 16, dan 17,

seperti yang disebutkan oleh Andi Faisal sebagai berikut:

.. Pasai, Negara Islam telah berdiri pada abad ke 13.

Perkembangan yang signifikan terjadi akhir abad ke 16 atau

awal abad ke 17, beberapa negara Islam berdiri seperti: Aceh,

Banten, Mataram, Gowa-Tallo, Ternate, dan Tidore.

Penggunaan “sultan” (Arab: sulţan) adalah symbol nyata

Islam yang dipakai oleh beberapa raja, seperti Sultan Ageng

Tirtayasa Banten, Sultan Hasanuddin Gowa-Tallo, Sultan

Agung Mataram, dan Sultan Babullah Ternate. Pada periode

ini juga, muncul beberapa ulama Islam, seperti Hamzah

Fansuri Shams ad-Din as-Sumatrani, Abd al-Rauf as-Sinkli

yang menyebarkan Islam dari Aceh; Syekh Abu Yusuf dari

Makassar ke Banten dan Wali Songo di Jawa. Dari mereka

inilah Islam local dibuka... (Andi Faisal Bakti, 2000:156-157)

Ruslan Abdul Gani, condong mengikuti pendapat yang

mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia sejak abad pertama

Hijriyah (abad 7 M.) langsung dari Jazirah Arabia. Ia menyetujui

pendapat hasil kesimpulan Seminar Sejarah Masuknya Islam di

Page 145: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

85 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

85

Indonesia yang diadakan di Medan tahun 1963. Menurut Ruslan

Abdul Gani, Islam datang di Indonesia tidak dalam suatu vacuum

Page 146: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

86 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

86

cultural atau vacuum peradaban (Ruslan Abdul Gani, 1983:20).

Ini dapat dimengerti mengingat masyarakat Nusantara pra-Islam,

disekitar abad ke 7 dan ke 8 ke atas, adalah masyarakat dagang

dengan ciri cosmopolitan kuat. (Burge, 1962:35). Bahkan lebih

jauh Burger menyatakan jauh sebelum masa pra sejarah,

masyarakat Nusantara telah berkenalan dengan bangsa-bangsa

lain di luar kepulauan Nusantara. Perkenalan dengan bangsa-

bangsa lain tersebut memungkinkan terjadinya kontak-kontak

kultural-keagamaan antara masyarakat Nusantara dan masyarakat

luar, seperi masyarakat Arab dan India, dan menurut P. A. Husein

Djajadiningrat, pada abad ke 10 M. Islam telah tersiar di Jawa

khususnya di kota-kota pesisir. Hal ini antara lain dibuktikan oleh

adanya makam seorang wanita Islam di kota Gresik yang bernama

Fatimah binti Maimun bin Hibbatallah yang berangka tahun

475/495 H., bertepatan dengan tahun 1082/1102 M (Suparman

Usman, 2001:106).

Berdasarkan penjelasan tersebut, pada hakekatnya, Hukum

Islam telah ada di Indonesia jauh sebelum masa penjajahan pula,

yaitu sejak abad pertama Hijriyah (abad ke 7 M.) atau sejak

bermukimnya orang-orang Islam di kepulauan Nusantara

(Muhammad Daud Ali, 1984:7). Karena Hukum Islam tersebut

merupakan konsekwensi dari keimanan orang Islam, maka sudah

barang tentu ia ada dan dilaksanakan oleh orang Islam di mana

pun mereka berada. Dengan kata lain, dengan datangnya Islam di

Indonesia berarti secara otomatis Hukum Islam juga berlaku

karena Hukum Islam merupakan bagian tak terpisahkan dengan

Page 147: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

87 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

87

ajaran Islam lainnya. Berdasarkan itu maka Hukum Islam juga

dilaksanakan di Indonesia, seperti yang dikatakan oleh F. H. Der

Page 148: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

88 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

88

Kenderen yang dikutip T.M. Hasbi Ash-Shiddieqie, meskipun

hanya dilaksanakan secara sederhana dengan raja, penghulu, atau

kepala suku dalam kesatuan masyarakat pada waktu itu sebagai

sebagai hakim untuk menyelesaikan segala perkara dalam

masyarakat. Dari uraian yang dikemukakan di atas, dapat disusun

rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana keadaan Hukum

Islam di Indonesia? 2) Bagaimana teori pemberlakuan Hukum

Islam di Indonesia? 3) Bagaimana teori pemberlakuan Hukum

Islam dan implikasinya ada pengembangan Hukum Islam di

Indonesia?

A. Hukum Islam di Indonesia (Pra Kemerdekaan)

Sejak datang ke Indonesia abad ke 7 M., Hukum Islam

berkembang ke berbagai wilayah sesuai dengan kemajuan yang

dicapai dalam proses Islamisasi, karena dilaksanakan praktek

yudikatif untuk menyelesaikan persoalan hukum masyarakat.

Artinya, Hukum Islam telah diterima masyarakat Indonesia dan

menjadi kenyataan bangsa Indonesia jauh sebelum kedatangan

penjajah Belanda. Karena itu, menurut Bushar Muhammad (Guru

Besar Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta),

ketika penjajah Belanda datang ke Indonesia, sempat kaget karena

mereka mengira bahwa waktu itu Indonesia (Hindia Belanda)

masih merupakan hutan belantara, penuh dengan satwa tanpa

hukum di dalamnya.

Namun mereka melihat ternyata tidak demikian. Mereka

Page 149: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

89 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

89

menyaksikan bahwa di Indonesia sudah ada hukum yang berlaku,

yaitu hukum agama bagi masing-masing pemeluknya, seperti

Islam, Kristen, dan Hindu-Buddha di samping hukum adat

Page 150: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

90 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

90

(adatrecht) mereka. Khusus Hukum Islam, berlakunya hukum ini

bagi sebagian besar penduduk Indonesia, berkaitan dengan

munculnya kerajaan-kerjaan Islam setelah runtuhnya kerajaan

Majapahit pada sekitar tahun 1518 M. Menurut C. Snouck

Hurgronje sendiri, bahwa pada abad ke 16 di Indonesia sudah

muncul kerajaan-kerjaan Islam, seperti Mataram, Banten, dan

Cirebon, yang berangsur-angsur meng-Islam-kan seluruh

penduduknya (Snouck Hurgronje, 1983:10). Hukum Islam telah

menjadi hukum yang ditaati umat Islam Indonesia bahkan sudah

menjadi hukum nasional pada kerajaan Islam Mataram (1613-

17645 M.) di bawah Sultan Agung (Busthanul Arifin, 1999: xi).

Demikian pula halnya di Kerajaan Gowa-Tallo, Ternate, Tidore,

dan lain-lain.

Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda,

menghadapi perlawanan dari bangsa Indonesia yang mayoritas

beragama Islam, yang disebabkan karena dua hal: pertama,

pemerintah Hindia Belanda hanya menjadi alat eksploitasi atas

kekayaan bangsa Indonesia, apalagi dengan melakukan tindakan-

tindakan yang sangat tidak berperikemanusiaan untuk mencapai

tujuannya itu; kedua, agama kaum penjajah adalah Kristen. Pada

awalnya kehadiran mereka di Nusantara ini adalah untuk

kepentingan ekonomi, namun lambat laun juga menjadi agen

untuk missi Kristenisasi. Masa perlawanan terhadap penjajah

yang dilakukan oleh umat Islam ini, secara kebetulan berbarengan

dengan periode kebangkitan umat Islamdi dunia. Sehingga

perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah waktu itu menjadi

identik dengan perjuangan bangsa Indonesia (yang mayoritas

Page 151: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

91 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

91

penganut agama Islam) untuk mengusir orang Belanda (yang

beragama Nasrani-kafir).

Akibat perlawanan dari bangsa Indonesia ini, menyebabkan

penjajah mengambil sikap dalam menghadapi umat Islam tersebut

bagi kepentingan penjajahannya. Keadaan ini menyebabkan

kegiatan mereka tidak bisa terhindar dari terjadinya persentuhan

dengan masalah agama Islam yang dianut oleh sebagian besar

bangsa Indonesia. Bagi penjajah, umat Islam Indonesia

merupakan musuh dan penghambat bagi kepentingan mereka. H.

Aqib Suminto dalam hal ini menulis:

Keinginan keras pemerintah Hindia Belanda untuk tetap

berkuasa di Hindia Belanda, mengharuskan mereka untuk

menemukan politik Islam yang tepat, karena sebagian besar

penduduk kawasan ini beragama Islam. Dalam perang

menaklukkan bangsa Indonesia selama sekian lama, Belanda

menemukan perlawanan keras justeru dari pihak raja-raja

Islam terutama, sehingga tidaklah mengherankan bila

kemudian Islam dipandangnya sebagai ancaman yang harus

dikekang dan ditempatkan di bawah pengawasan yang ketat

(Aqip Suminto, 1986:199).

Meskipun begitu, umat Islam Indonesia tidak pernah surut

untuk mengadakan perlawanan, sehingga atas rekomendasi C.

Snouck Hurgronje, pada akhir abad ke 19 pemerintah Hindia

Belanda bersikap netral terhadap kegiatan keagamaan mereka,

dengan memberikan fasilitas untuk kegiatan ibadahnya, namun

tetap harus bertindak tegas terhadap setiap bentuk perlawanan

orang-orang Islam tersebut. Kebijakan ini dimaksudkan untuk

Page 152: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

92 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

92

membangun ketentraman kehidupan beragama, khususnya orang-

orang Islam agar tidak mengganggu kepentingan pemerintah

Page 153: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

93 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

93

Hindia belanda. Meskipun hanya taktik pemrintah Hindia

Belanda, tetapi pada waktu itu umat Islam Indonesia bebas

melasanakan ajaran agama Islam dalam berbagai aspeknya,

kecuali politik dan militer.

Dengan adanya kebijakan pemerintah Hindia Belanda seperti

itu, meskipun untuk sementara waktu, ternyata membawa dampak

positif bagi keberlakuan Hukum Islam, karena ia tetap

dilaksanakan seperti biasa. Bahkan melalui Dekrit Kerajaan tahun

1835, pemerintah kolonial secara formal mengakui kekuasaan

penghulu untuk memutuskan segala masalah dalam masyarakat

Jawa berkenaan dengan perkawinan, kewarisan, dan semua yang

berkaitan dengannya, namun aturan pelaksanaan keputusannya

tetap di bawah aturan hukum yang terpisah (Sudirman Teba,

1993: 30). Selanjutnya diterbitkan pemerintah Hindia Belanda

Regeeringsreglement (RR) Staatsblaad (Stbl.) 1855 No. 2, yang

dalam Pasal 75 ayat (3) dinyatakan sebagai berikut: “Oleh hakim

Indonesia itu hendaklah diperlakukan Undang-undang agama

(godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu”.

Dan selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Stbl.

1882 No. 152 mengenai pembentukan Pengadilan Agama bagi

umat Islam Indonesia, yang berarti pengakuan resmi dan

pengukuhan suatu pranata hukum yang telah ada, tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat. Dan terakhir dengan Stbl. 1925

No. 415 tentang Indische Staatsregeling (IS), yang dapam Pasal

134 ayat (2) disebutkan bahwa: “Kalau terjadi perselisihan

perdata antara sesama penduduk inlander atau penduduk yang

Page 154: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

94 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

94

dipersamakan dengan mereka, diputuskan oleh kepala agama atau

kepala adat mereka menurut undang-undang agamanya atau adat

Page 155: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

95 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

95

aslinya”. Namun suasana demikian hanya berlangsung hingga

awal abad ke 20, karena pada waktu itu sikap pemerintah Hindia

Belanda telah berubah drastis dan tidak menguntungkan untuk

pengembangan Hukum Islam, yaitu dengan dicabutnya Hukum

Islam dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Instrumen

pencabutan itu adalah dengan keluarkannya Stbl. 1929 No. 221 IS

sebagai perubahan atas IS tahun 1925 No. 415. Dalam Pasal 134

ayat (2) Stbl. 1929 No. 221 berbunyi sebagai berikut:

“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam

akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum

adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak di tentukan

lain dengan sesuatu ordonansi”.

Menurut Sajuti Thalib, sejak saat itu dimulailah suatu masa di

mana masyarakat Indonesia yang mempunyai hubungan dengan

soal-soal hukum merasakan pengaruh dari teori Receptie yang

kuat. Seakan-akan masyarakat Indonesia telah merasakan sebagai

suatu hal benar dan biasa saja bahwa Hukum Islam itu bukan

hukum di Indonesia (Sajuti Talib, 1985:39). Telah tertanam pada

pikiran orang bahwa yang berlaku adalah Hukum Adat, dan hanya

kalau Hukum Islam telah menjadi Hukum Adat barulah menjadi

hukum. Dan keadaan ini menurut Sajuti Thalib terjadi hingga

sudah lama Indonesia merdeka dan teori Receptie dihapus oleh

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berlaku.

A. Teori Pemberlakuan Hukum Islam

Page 156: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

96 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

96

Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum

penjajah datang ke Indonesia. Waktu penjajah Belanda datang di

Indonesia (Hindia Belanda), mereka menyaksikan kenyataan

Page 157: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

97 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

97

bahwa di Hindia Belanda sudah ada hukum yang berlaku, yaitu

agama yang dianut oleh penduduk Hindia Belanda, seperti Islam,

Nasrani, Hindu, dan Buddha, di samping Hukum Adat bangsa

Indonesia (adatrect). Berlakunya Hukum Islam bagi sebagian

besar penduduk Hindia Belanda, berkaitan dengan munculnya

kerajaan-kerjaan Islam setelah runtuhnya kerajaan Majapahit pada

sekitar tahun 1518 M. Menurut C. Snouck Hurgronje sendiri,

bahwa pada abad ke 16 di Hindia Belanda sudah muncul

kerajaan-kerajaan Islam, seperti Mataram, Banten, dan Cirebon,

yang berangsur-angsur meng-Islam-kan seluruh penduduknya.

Walaupun pada mulanya kedatangan Belanda (yang

beragama Kristen Protestan) ke Hindia Belanda tidak ada

kaitannya dengan masalah (hukum) agama, namun pada

perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan

penjajah, akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya

persentuhan dengan masalah hukum yang berlaku bagi penduduk

pribumi.

Sehubungan dengan berlakunya Hukum Adat bagi bangsa

Indonesia dan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya,

termasuk Hukum Islam, muncullah beberapa teori. Menurut

Suparman Usman, ada lima teori tentang ini, yaitu: teori receptio

in complexu, teori receptie (resepsi), teori reseptie exit, teori

receptio a contrario, dan teori eksistensi. Dedi Supriyadi,

mengemukakan enam teori, yaitu: teori kredo atau syahadat, teori

receptio in complexu, teori receptie, teori reseptie exit, teori

receptio a contrario, teori recoin (receptio contextual

Page 158: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

98 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

98

interpretatio). Apabila dianlisis, maka sebenarnya teori

pemberlakukan Hukum Islam di Indonesia, sudah terdapat tujuh

Page 159: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

99 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

99

macam, yaitu: 1) teori kredo atau syahadat; 2) teori receptio in

complexu; 3) teori receptie; 4) teori reseptie exit; 5) teori receptio

a contrario; 6) teori recoin (receptio contextual interpretatio); 7)

teori eksistensi.

1. Teori Kredo (Syahadat)

Menurut teori Kredo atau Syahadat, bahwa bagi mereka yang

telah mengikrarkan dua kalaimat sayadat (sahâdataîn) harus

melaksanakan Hukum Islam sebagai konsekwensi logis dari

pengucapan dua kalimat syahadat itu. Teori ini terambil dari

Alquran: Q.S. (1): 5; Q.S. (2): 179; Q.S. (3): 7; Q.S. (4): 13, 14,

49, dan lain-lain. Teori kredo atau syahadat dikemuakakan dan

diberi nama oleh Juhaya S. Praja (Juhaya Praja, 1995:133).

Lebih lanjut, Juhaya menjelaskan bahwa teori kredo atau

syahadat sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid

dalam filsafat hukum Islam. Prinsip tauhid menghendaki setiap

orang yang menyatakan dirinya beriman kepada kemahaesaan

Allah, ia harus tunduk dan patuh pada apa yang diperintahkan

Allah dan Rasul-Nya. Artinya, seorang muslim melaksanakan

hukum-hukum yang diambil dari kedua sumber tersebut. Teori ini

sama dengan “teori otorias hukum” sebagimana dikemukakan

oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya The Modern Trend of Islam

(1950). Menurut teori ini, orang Islam, apabila telah menerima

Islam sebagai agamanya, menerima otoritas Hukum Islam

terhadap dirinya. Menurut teori ini, Hukum Islam ada dalam

masyarakat Islam karena ia ditaati oleh orang-orang Islam. Orang-

orang Islam menaati Hukum Islam karena diperintahkan oleh

Allah dan rasul-Nya (Tjun Sumarjan, 1991:114-115).

Page 160: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

100

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

100

Menurut Jaih Mubarok, teori ini sangat ideal karena tidak

dibangun berdasarkan doktrinal Islam dan cenderung

mengabaikan pengujian empirik di lapangan. Meskipun Gibb

sendiri mengakui bahwa tingkat ketaatan masyarakat Islam

terhadap Hukum Islam berbeda-beda, karena amat bergantung ada

ketakwaannya kepada Allah, sehingga ada yang taat kepada

seluruh aspek Hukum Islam dan ada pula yang taat hanya kepada

sebagian aspek Hukum Islam (Jaih Mubarok, 2000:114).

2. Teori Receptio in Complexu

Menurut teori Receptio in Complexu bagi setiap penduduk

berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam

berlaku Hukum Islam, demikian pula bagi pemeluk agama lain.

Teori ini semula berkembang dari pemikiran-pemikiran para

sarjana Belanda seperti Carel Frederik Winter (1799-1859)

seorang ahli tertua mengenai soal-soal Jawa, Salomon Keyzer

(1823-1868) seorang ahli bahasa dan kebudayaan Hindia Belanda.

Teori Receptio in Complexu ini, dikemukakan dan diberi nama

oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-

1925) seorang penulis, ahli Hukum Islam, politikus, penasehat

pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa Timur dan Hukum

Islam. Berg dengan teorinya tetap memperkuat alam pikiran

bahwa yang berlaku di Hindia Belanda itu adalah Hukum Islam

untuk orang-orang Islam.

Teori Receptio in Complexu ini, dilaksanakan pemerintah

Hindia Belanda dengan dimuatnya dalam Regeeringsreglement

(RR) tahun 1855. Pasal 75 ayat (3) RR berbunyi: “Oleh hakim

Page 161: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

101

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

101

Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama

(godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu”.

Page 162: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

102

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

102

Dan dalam Pasal 75 ayat (4) RR berbunyi: “Undang-undang

agama, instelling dan kebiasaan itu jugalah yang dipakai untuk

mereka oleh hakim Eropa pada pengadilan yang lebih tinggi

andaikata terjadi hoger beroep atau permintaan pemeriksaan

banding”. Jadi, pada masa teori ini, hukum Islam berlaku bagi

orang Islam dengan istilah godsdienstige wetten. Pada masa teori

inilah keluarnya Staatsbalad (stbl) 1882 No. 152 tentang

pembentukan Pengadilan Agama (Priesterraad) di samping

Pengadilan Negeri (Landraad), yang sebelumnya didahului

dengan penyusunan kitab Mogharrer Code pada tahun 1747,

Copendium van Clootwijk pada tahun 1795, dan Copendium

Freijer pada tahun 1761. Berdasarkan itu, maka pada waktu itu

pemerintah Belanda dan pemerintah Hindia Belanda dengan

peraturan perundang-undangan yang tertulis telah mengakui

bahwa Hukum Islam berlaku bagi orang Indonesia yang beragama

Islam. Hukum yang diberlakukan adalah Hukum Islam. Bahkan

peradilan yang diberlakukan untuk mereka juga peradilan dengan

Hukum Islam.

3. Teori Receptie

Selanjutnya muncul teori yang menentang teori Receptio in

Complexu, yaitu teori Receptie (Resepsi). Menurut teori Receptie,

bahwa yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat asli. Ke

dalam Hukum Adat ini memang telah masuk pengaruh Hukum

Islam, namun pengaruh Hukum Islam itu, baru mempunyai

kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh Hukum Adat dan

dengan demikian lahirlah dia sebagai hukum Adat bukan sebagai

Page 163: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

103

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

103

Hukum Islam (Hazairin, 1985: 52). Jadi, Hukum Islam tidak

otomatis berlaku bagi orang Islam, ia berlaku bagi orang Islam

Page 164: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

104

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

104

kalau sudah diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi Hukum

Adat mereka. Karena itu, menurut pendukung teori ini, yang

berlaku bagi mereka bukan Hukum Islam tetapi Hukum Adat.

Teori ini dikemukakan Cornelis van Vollenhoven (1874-1933),

dan Christian Snouck Hurgronje (1857-1936).

Cornelis van Vollenhoven, sebenarnya adalah ahli Hukum

Adat dan disebut sebagai orang yang memperkenalkan Hukum

Adat Indonesia (het Indisch Adatrecht) serta diberi gelar sebagai

pendasar (grondlegger), pencipta, dan pembuat sistem (systeem

bouwer) Ilmu Hukum Adat. Dialah yang menyuarakan melalui

tulisan-tulisannya menentang penggantian Hukum Adat dengan

hukum Barat yang hendak dilancarkan pemerintah Belanda pada

tahun 1904 untuk tujuan melindungi kepentingan pengkristenan

penduduk Hindia Belanda (Soepomo,1977:10). Sedangkan

Christian Snouck Hurgronje, adalah seorang doktor sastra Semit,

ahli dalam bidang hukum Islam, dan penasehat Pemerintah Hindia

Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri. Khusus untuk

menjadi ahli Hukum Islam, ia bahkan mendalami hukum dan

agama Islam pada umumnya dan agama Islam secara khusus yang

ada di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, dia memasuki

Makkah al-Mukarramah, tanah suci orang Islam, unttuk

mempelajari agama Islam dengan nama samaran Abdul Gaffar

pada tahun 1884-1885 atau ada yang mengatakan antara tahun

1884-1888, dengan menyamar sebagai dokter mata dan tukang

potret. Menurut Hazairin, di Makkah pula Snouck Hurgronje itu

diketahui bahwa dia bukan orang Islam dan diusir dari tanah suci

Page 165: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

105

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

105

umat Islam itu. Di samping itu, Snouck Hurgronje juga adalah

ahli dalam Hukum Adat sebagian daerah di Indonesia.

Page 166: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

106

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

106

Teori Receptie sangat berpengaruh pada waktu itu, termasuk

terhadap pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, Pemerintah

penjajah ini, menerapkannya di Hindia Belanda antara lain

dengan dimuatnya pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling (IS),

stbl. 221 Tahun 1929, sebagai berikut: “Dalam hal terjadi perkara

perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim

agama Islam, apabila Hukum Adat mereka menghendakinya dan

sejauh tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi.”

Selain itu, penerapan teori Receptie antara lain, dengan stbl.

No. 116 Tahun 1937 tentang peradilan. Dalam stbl. Tersebut,

wewenang menyelesaikan hukum waris dicabut dari Pengadilan

Agama dan dialihkan menjadi wewenang Pengadilan Negeri.

Alasan pencabutan wewenang Pengadilan Agama tersebut adalah

bahwa hukum waris Islam belum sepenuhnya diterima oleh

Hukum Adat (belum diresepsi).

4. Teori Reseptie Exit

Terhadap teori Receptie, timbul lagi teori yang menentang

keberadaannya, yaitu teori Receptie Exit. Menurut teori Receptie

Exit, pemberlakuan Hukum Islam tidak harus didasarkan atau ada

ketergantungan kepada Hukum Adat. Hukum Islam tidak sama

dengan Hukum Adat. Karena itu, Hukum Adat tidak dapat dan

tidak boleh dicampur adukkan dengan Hukum Islam. Kedua-

duanya mesti tetap terpisah. Pencetus teori ini adalah Prof. Dr.

Hazairin, SH. (1906-1975), Guru Besar Ilmu Hukum Universitas

Indonesia.

Page 167: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

107

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

107

Sebagai upaya menentang eksistensi teori Receptie, Hazairin

menyebutkan bahwa teori Receptie adalah teori iblis karena

bertentangan dengan Alquran dan Hadis. Sembari mengecam teori

Page 168: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

108

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

108

ini, ia juga mengemukakan bahwa Hukum Islam itu berlaku dan

mesti dijalankan atas seseorang semenjak dia masuk agama Islam,

yaitu semenjak dia mengucapkan dua kalimat syahadat. Untuk

mendukung bantahannya terhadap teori Receptie, ia mengatakan

bahwa masyarakat Islam di Indonesia tidak dapat melepaskan

dirinya dari ikatan hukum agamanya, karena beberapa ayat

Alquran dengan tegas menyatakan barang siapa yang tidak

menjalankan hukum Allah maka dia tergolong orang kafir dan

zhalim.

Lebih lanjut Hazairin menyatakan tentang teori Receptie ini

sebagai berikut:

Bahwa teori Resceptie, baik sebagai teori maupun sebagai

ketetapan dalam Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling

sebagai konstitusi Belanda telah lama modar, yaitu terhapus

dengan berlakunya UUD 1945, sebagai konstitusi Negara

Republik Indonesia (Hazairin, 1975: 8).

Jadi, menurut Hazairin, teori Receptie, yang menyatakan

bahwa Hukum Islam baru berlaku bagi orang Islam kalau sudah

diterima dan menjadi bagian dari Hukum Adat-nya, sebagaimana

yang dikemukakan oleh Chriatian Snouck Hurgronje, telah mati,

artinya telah hapus atau dinyatakan hapus (keluar) dengan

berlakunya UUD 1945. Dan yang tidak berlaku itu adalah teori

Receptie itu sendiri dan peraturan penyokongnya, yaitu Pasal 134

ayat (2) IS stbl. No. 221 Tahun 1929.

Berdasarkan teori Receptie Exit ini, telah membawa

Page 169: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

109

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

109

konsekwensi baik kepada teori Receptie maupun kepada negara

dan hukum agama pada umumnya, yaitu; a) Teori Receptie telah

patah, dan tidak berlaku dan keluar dari tata negara Indonesia

Page 170: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

110

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

110

sejak tahun 1945 dengan kemerdekaan bangsa Indonesia dan

mulai berlakunya UUD 1945 dan dasar Negara Indonesia.

Demikian pula keadaan ini setelah adanya Dekrit Presiden tanggal

5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945, b) Sesuai dengan

Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, Negara Republik Indonesia

berkewajiban membentuk hukum nasional Indonesia yang

bahannya adalah hukum agama, c) Hukum agama yang masuk

dan menjadi hukum nasional Indonesia itu bukan hanya Hukum

Islam, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama

lain tersebut. Hukum agama di bidang Hukum Perdata dan

Hukum Pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia. Itulah

hukum baru di Indonesia dengan dasar Pancasila (Afdol, 2006:51)

5. Teori Receptio a Contrario

Menurut teori Receptio a Contrario, bahwa bagi umat Islam,

yang berlaku adalah Hukum Islam, Hukum Adat baru dinyatakan

berlaku apabila tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Teori

ini dikemukakan dan diberi nama oleh Sajuti Thalib (lahir di

Maninjau, Bukittinggi, 25 Mei 1929), murid Hazairin dan

pengajar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas

Indonesia. Penjabaran dari teori Receptio a Contrario menurut

Afdol mengutip pendapat Sajuti Thalib, adalah sebagai berikut; a)

Bagi orang Islam berlaku Hukum Islam, b) Hal tersebut sesuai

dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan

moralnya, c) Hukum Adat berlaku bagi orang Islam kalau tidak

bertentangan dengan agama Islam dan Hukum Islam.

Page 171: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

111

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

111

Kerangka pikir teori tersebut merupakan kebalikan dari teori

Receptie. Latar belakang munculnya teori Receptio a Contrario,

adalah kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang sudah

Page 172: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

112

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

112

berkembang jauh dari teori Receptio Exit yang dibangun Hazairin.

Dalam kaitan ini, Sajuti Thalib menyatakan sebagai berikut:

Sebagai kelanjutan atas ajaran Hazairin tersebut kita coba

melihat ke dalam masyarakat. Dalam masyarakat telah hidup

suatu perkembangan yang lebih jauh lagi. Di beberapa daerah

yang dianggap sangat kuat adatnya, terlihat ada

kecenderungan teori Receptie dari Snouck Hurgronje itu

dibalik.

Di Aceh misalnya, masyarakatnya menghendaki agar soal-

soal perkawinan dan soal-soal mengenai harta mereka termasuk

kewarisan diatur menurut Hukum Islam. Ada ketentuan-ketentuan

adat dalam upacara perkawinan misalnya.....ya boleh saja

dilakukan dan dipakai, tetapi dengan suatu ukuran. Ukuran itu

berupa: Apakah adat itu bertentangan dengan Hukum Islam atau

tidak. Kalau adat bertentangan dengan Hukum Islam, maka tidak

boleh dijalankan adat itu, tetapi harus diperbaiki dan diubah

sehingga tidak menyalahi ketentuan agama atau Hukum Islam.

Namun jika adat tidak bertentangan dengan Hukum Islam, maka

dapat digunakan. Dengan demikian, dalam masyarakat Aceh,

Hukum Adat-lah yang diukur dengan Hukum Islam. Hukum Adat

atau upacara adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan

Hukum Islam.

Demikian juga di Sumatera Barat dan Minangkabau. Daerah

ini dikenal dengan daerah yang kuat kedudukan adatnya.

Melanggar adat masih merupakan suatu celaan besar dalam

masyarakat Minangkabau itu, bahkan mempunyai akibat yang

Page 173: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

113

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

113

jauh dalam bentuk pengutukan masyarakatnya bagi mereka yang

melanggar adat itu. Tetapi sungguhpun demikian, malahan di

Page 174: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

114

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

114

sanalah terdapat ketentuan yang tegas-tegas bahwa adat itu baru

dapat berlaku kalau bersandar kepada agama. Berbagai petatah

petitih yang menjelaskan hal itu. Petatah dan petitih itu dalam

masyarakat Minangkabau merupakan perumusan Undang-

Undang dan hukum. Salah satu ungkapan petatah petitih itu

berbunyi: “Adat bersendi syara’, Syara’ bersendi kitabullah.”

Adapun perbedaan teori Receptie Exit dengan teori Receptio

a Contrario terletak pada pangkal tolak pemikirannya. Teori

Receptie Exit yang dibangun oleh Hazairin bertolak dari

kenyataan bahwa sejak kemerdekaan bangsa, berdirinya Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan UUD 1945, ialah

dengan mendahulukan dasar dan jiwa kemerdekaan dan tidak

menerima pemahaman aturan peralihan secara formal belaka.

Sedangkan landasan teori Receptio a Contrario yang dibangun

oleh Sajuti Thalib, bertolak dari kenyataan bahwa NKRI yang

merdeka, sesuai dengan cita-cita batin, cita-cita moral, dan

kesadaran hukum kemerdekaan, berarti ada keleluasaan untuk

mengamalkan ajaran agama dan hukum agama.

6. Teori Recoin (Receptio Contextual Interpretatio)

Inti teori Recoin adalah penfasiran kontekstual terhadap

tekstual ayat Alquran. Teori ini dikemukakan oleh Dr. Afdol,

seorang pakar hukum dari Universitas Airlangga, Surabaya.

Menurut Afdol, teori Recoin diperlukan untuk melanjutkan teori

Receptio in Complexu, teori Receptie, teori Receptie Exit, dan

teori Receptio a Contrario. Selain itu, teori ini didasarkan pada

hasil penelitiannya tentang waris Islam, misalnya pembagian

waris antara laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki mendapat

Page 175: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

115

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

115

dua kali bagian anak perempuan. Dengan kata lain, bagian anak

perempuan setengan dari anak laki-laki.

Dengan dasar pemikiran bahwa hukum yang diciptakan

Tuhan bagi manusia pasti adil, tidak mungkin Tuhan menurunkan

aturan hukum yang tidak adil, demikian pula persoalan waris laki-

laki dan perempuan tersebut. Kalau menggunakan interpretasi

secara tekstual, ayat tersebut secara rasional dapat dinilai tidak

adil. Berbeda halnya jika ayat tersebut ditafsirkan secara

kontekstual. Pada kasus-kasus tertentu, ayat tersebut dapat diberi

interpretasi bahwa “bagian waris anak perempuan adalah minimal

setengah bagian anak laki-laki. Interpretasi secara kontekstual ini

oleh Afdol dinamakan teori Recoin.

7. Teori Eksistensi

Menurut Ichtijanto S.A., bahwa teori Eksistensi ini

merupakan kelanjutan dari teori Receptie Exit dan teori Receptio a

Contrario (Ichtijanto 1985:263). Teori Eksistensi adalah teori

yang menerangkan tentang adanya Hukum Islam dalam hukum

nasional Indonesia. Menurut teori ini, bentuk eksistensi

(keberadaan) Hukum Islam dalam hukum nasional itu ialah: a)

Ada, dalam arti Hukum Islam berada dalam hukum nasional

sebagai bagian yang integral darinya; b) Ada, dalam arti adanya

kemandiriannya yang diakui berkekuatan hukum nasional dan

sebagai hukum nasional; c) Ada dalam hukum nasional, dalam

arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring

bahan-bahan hukum nasional Indonesia; d) Ada dalam hukum

nasional, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum

nasional Indonesia.

Page 176: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

116

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

116

Berdasarkan teori Eksistensi di atas, maka keberadaan

Hukum Islam dalam tata hukum nasional, merupakan suatu

kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan lebih dari

itu, Hukum Islam merupakan bahan utama atau unsure utama

hukum nasional. Masing-masing teori di atas, telah memainkan

peranan penting terhadap keberlakuan Hukum Islam di Indonesia.

Teori Receptio in Complexu yang menjelaskan bahwa bagi setiap

penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing; bagi bagi

orang Islam berlaku Hukum Islam, demikian pula bagi pemeluk

agama lain, dianut bangsa Indonesia hingga menjelang

kemerdekaan Indonesia. Salah satu pengaruh teori ini ialah

dengan diakuinya Hukum Islam sebagai salah satu sub sistem

hukum yang yang berlaku oleh pemerintah Hindia Belanda

bersama subsistem hukum lainnya.

Sama dengan Receptio in Complexu, teori Receptie yang

menjelaskan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia bagi

penduduk pribumi (inlander)adalah Hukum Adat asli, juga

berpengaruh luas termasuk kepada pemerintah Hindia Belanda.

Ini terbukti berubahnya sikap atau kebijakan pemerintah yang

sebelumnya mengakui keberlakuan Hukum Islam bagi orang-

orang Islam menjadi tidak mengakui. Bagi penduduk pribumi,

yang diakui adalah Hukum Adat asli sedangkan Hukum Islam

dapat berlaku apabila telah diterima atau diresepsi oleh Hukum

Adat. Setelah Indonesia merdeka dengan teori Receptie Exit yang

mengatakan bahwa teori Receptie telah mati dan tidak berlaku

lagi dengan berlakunya UUD 1945, dan Hukum Islam menjadi

Page 177: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

117

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

117

salah satu sub sistem hukum nasional. Dan teori Eksistensi, yang

telah mendorong makin diakuinya eksistensi Hukum Islam di

Page 178: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

118

Indonesia. Karena pengaruh teori-teori yang terakhir ini, maka

sekarang Hukum Islam telah baampai sekaran sudah banyak

peraturan perundang-undang tentang kehidupan beragama, baik di

bidang perkawinan, perwakafan, dan lain-lain.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

a. Hukum Islam pada masa sebelum penjajahan hingga

menjelang kemerdekaan, adalah merupakan hukum yang

hidup di Indonesia dan merupakan hukum positif atau

hukum nasional dalam kerajaan-kerajaan Islam. Selain itu,

berlaku pula Hukum Adat, tetapi hukum ini berlaku

apabila diterima atau tidak bertentangan dengan Hukum

Islam. Keadaan ini berlangsung hingga dicabutnya

keberlakuan Hukum Islam oleh pemerintah Hindia

Belanda dengan diterbitkannya Staatsblaad 1929 No. 221

tentang IS menggantikan Staatsblaad 1925 No. 415 IS.

b. Keberlakuan Hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam

berkenaan dengan hubungannya dengan Hukum Adat,

terdapat tujuh teori yang menjelaskannya, yaitu: 1) Teori

Kredo (Syahadat); Bagi mereka yang telah mengikrarkan

dua kalaimat sayadat (sahâdataîn) harus melaksanakan

Hukum Islam sebagai konsekwensi logis dari pengucapan

dua kalimat syahadat itu. 2) Teori Receptio in Complexu;

Bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-

masing. Bagi orang Islam berlaku Hukum Islam, demikian

pula bagi pemeluk agama lain. 3) Teori Receptie; yang

berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat asli. Ke dalam

Page 179: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

119

Hukum Adat ini memang telah masuk pengaruh Hukum

EPISTEMOLOGI; 96

Page 180: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

120

Islam, namun pengaruh Hukum Islam, baru mempunyai

kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh Hukum

Adat dan dengan demikian lahirlah dia sebagai Hukum

Adat bukan sebagai Hukum Islam.

4) Teori Reseptie Exit; Pemberlakuan Hukum Islam tidak

harus didasarkan atau ada ketergantungan kepada Hukum

Adat. Hukum Islam tidak sama dengan Hukum Adat.

Karena itu, Hukum Adat tidak dapat dan tidak boleh

dicampur adukkan dengan Hukum Islam. Kedua-duanya

mesti tetap terpisah. 5) Teori Receptio a Contrario; Bagi

umat Islam, yang berlaku adalah Hukum Islam, Hukum

Adat baru dinyatakan berlaku apabila tidak bertentangan

dengan Hukum Islam. 5) Teori Recoin (Receptio

Contextual Interpretatio); Inti teori Recoin adalah

penfasiran kontekstual terhadap tekstual ayat Alquran.

Teori Recoin diperlukan untuk melanjutkan teori Receptio

in Complexu, teori Receptie, teori Receptie Exit, dan teori

Receptio a Contrario. 6) Teori Eksistensi; Teori

Eksistensi ini merupakan kelanjutan dari teori Receptie

Exit dan teori Receptio a Contrario. Teori Eksistensi

adalah teori yang menerangkan tentang adanya Hukum

Islam dalam hukum nasional Indonesia.

Page 181: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

121

Page 182: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

122

EPISTEMOLOGI; 98

Page 183: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

123

BAB 6

MENGUNGKAP OBJEK

MATERIAL DAN FORMAL

KEILMUAN HUKUM ISLAM

Menengok sejarah sejak awal kehadiran Islam pada abad ke

tujuh Masehi tata hukum Islam sudah dipraktikkan dan

dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan peradilan Islam.

Hamka mengajukan fakta berbagai karya ahli Hukum Islam

Indonesia. Misalnya Shirat al-Thullab, Shirat al-Mustaqim, Sabil

al-Muhtadin, Kartagama, Syainat al-Hukm, dan lain-lain, (Hamka,

1974:324). Hukum merupakan sebuah peraturan atau seperangkat

norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu

masyarakat, baik berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat maupun peraturan dan norma yang dibuat

dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa, (Muhammad

Daud Ali, 2005:43).

Sementara itu dalam memahami hukum Islam, ditemukan

bahwa kata hukum berasal dari bahasa arab hukm yang

mengandung makna mencegah atau menolak, yaitu mencegah

ketidakadilan, mencegah kedzoliman, mencegah penganiayaan

dan menolak bentuk kemafsadatan lainya. Sehingga yang

dimaksud dengan hukum Islam adalah hukum yang bersumber

Page 184: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

100 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

100

dari agama Islam, (Zainuddin Ali, 2006:5). Dalam memberikan

kejelasan tentang arti hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu

arti dari kata “hukum”. Sebenarnya tidak ada arti yang sempurna

tentang hukum, (Mardani, 2009:271). Namun, untuk mendekatkan

kepada pengertian mudah dipahami, meski masih mengandung

kelemahan, definisi yang diambil oleh Muhammad Muslehuddin

dari Oxford English Dictionary perlu diungkapkan. Menurutnya,

hukum adalah “the body of rules, wether proceeding from formal

enactment or from custom, which a particular state or community

recognizes as binding on its members or subjects”. (Sekumpulan

aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang

diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi

anggotanya), (Honrby, 1989:478)

Kemudian kata obyek menurut KBBI adalah hal, atau sesuatu

yang dituju, atau sasaran. Sehingga sering ditemuakan bahwa

dalam ilmu komunikasi objek dapat berupa pesan yang

disampaikan (Komunike) atau pihak yang diajak bicara

(Komunikan), (Kansil. 1989:42). Sementara itu dalam kajian ilmu

objek adalah berarti bahasan kajian. Setiap disiplin ilmu pasti

memiliki bahasan kajian ataupun bisa disebut juga objek studi

karena ni merupakan salah satu syarat wajib bagi disiplin ilmu.

Melalui objek kajian, suatu ilmu dapat dibedakan dengan ilmu

lainya. Karena apabila beda objek pasti berbeda juga

pendekatanya sehingga hasilnyapun dapat dipastikan berbeda.

Oleh karena itu suatu ilmu tidak diperkenankan memilik objek

kajian yang sama. Setidaknya ada dua objek kajian yang harus

Page 185: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

101 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

101

dimiliki oleh disiplin ilmu yakni objek material dan objek formal.

Bidang pengetahuan tertentu yang diambil untukditeliti disebut

Page 186: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

102 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

102

objek material. Objek material tidak dinyatakan seperti dalam

kenyataan namun objek ini perlu diabstrakkan terlebih dahulu.

Untuk menjadikan manusia sebagai objek material perlu

gambaran difinitif tentang manusia. Bagaimana suatu ilmu bisa

diteliti jika objeknya belum terlintas gambaranya, (Muhammad

Daud Ali, 2005:45).

Selanjutnya objek formal adalah penyempitan atau perincian

lebih detail lagi dari objek material, sehingga objek formal

memfokuskan pada bagian tertentu dari bjek material tersebut.

Dapat dikatakan juga suatu objek material dapat mengandung

beberapa objek formal. Beberapa disiplin ilmu dapat sama dari

segi objek materialnya tetapi harus berbeda dari objek formalnya.

Hanya objek formal yang dapat membedakan antara satu ilmu

dengan ilmu yang lain.

A. Objek Material Keilmuan Hukum Islam

Objek material ilmu hukum yaitu manusia. dimana hukum

bertujuan menertibkan kehidupan manusia dalam hubungannya

dengan sesamanya. Van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot

de studie van het nederlandse recht” mengatakan tujuan hukum

adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai, karena

hukum menghendaki kedamaian, (Kansil. 1989:44). Perdamaian

diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi

kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan,

kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap semua pihak yang

merugikanya. Kepentingan seseorang selalu bertentangan dengan

Page 187: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

103 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

103

kepentingan golongan-golongan manusia. Pertenangan ini dapat

menyebabkan pertikaian bahkan dapat menjelma menjadi

Page 188: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

104 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

104

peperangan seandainya hukum tidak bertindak sebagai perantara

dalam mempertahankan perdamaian, (Kansil. 1989:43).

Melihat penjeabaran di atas terlihat bahwa terdapat dua

bentuk kajian hukum yaitu hukum sosiologis (law in society) dan

hukum normative (Law in book). Studi hukum sosiologis atau

sosiologi hukum menelaah hukum berdasarkan hubungan antar

manusia, sementara itu studi hukum normative mempelajari

norma-norma hukum yang merupakan produk budaya dari

hubungan sesame manusia. Tidak ada suatu norma hukum yang

diciptakan manusia untuk dirinya sendiri oleh karena itu, ilmu

hukum baik itu ilmu hukum sosiologis maupun normatif termasuk

kelompok-kelompok ilmu social, yang mana kajian utamanya

adalah manusia, (Kansil. 1989:46).

Adapun dalam memperjelas kajian objek studi ilmu hukum

Islam ilmu hukum yakni mengkaji hubungan manusia dengan

alam selain manusia. Manusia bisa berhubungan dengan

lingkungan atau lingkungan hidup, namun hubungan ini pasti

berdampak pada manusia yang lainya. Penebangan hutan bisa

berakibat erosi yang pada akhirnya merusak ekosistem manusia.

Demikian pula, pencemaran lingkungan, kepunahan binatang,

atau polusi udara harus dihindarkan dengan pembuatan dan

penegakan hukum, karena kasus-kasus ini berdampak buruk bagi

manusia. Dengan memperhatikan keuntungan dan kerugianya

dalam masyarakat maka hukum harus tegas dan memaksa mereka

untuk taat padanya.

Page 189: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

105 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

105

Diketahui ketika Islam diletakkan pada hukum, maka objek

hukum semakin diperluas, hukum Islam tidak hanya mengkaji

manusia sebagai makhluk sosial, tetapi juga manusia sebagai

Page 190: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

106 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

106

makhluk beragama. Sebagai agama, ajaran Islam mencakup

hubungan manusia dengan Alah Swt, hubungan manusia dengan

manusia dan hubungan manusia dengan makhluk Allah Swt yang

lain, keseluruhan hubungan ini terfokus pada manusia sehingga

objek material studi hukum Islam adalah manusia. Tidak di

pungkiri pergulatan antara realitas dan wahyu memunculkan dua

bidang kajian utama studi hukum Islam. Pertama, studi fikih yang

mempertemukan realitas dan pemikiran manusia. Kedua, studi

yurisprudensi Islam yang menghubungkan pemikiran manusia

dengan wahyu, (Kansil. 1989:47-48)

B. Objek Formal Keilmuan Hukum Islam

Objek formal ilmu hukum adalah suatu perbuatan manusia

yang tampak. Ilmu hukum dapat menelaah pikiran dan maksud

hati seseorang apabila dituangkan dalam bentuk tulisan atau

perbuatan. Pengakuan tersangka yang tercatat diberita acara

pemeriksaan (BAP) dapat menjadi kajian hukum tidak peduli dia

jujur atau tidak, karena semua apapun yang lahir dari manusia

bernilai hukum selama ia bisa ditangkap oleh panca indera.

Tentunya, studi hukum Islam baik fikih maupun ushul fiqh,

memiliki objek formal yaitu perbuatan manusia dewasa yang

berakal sehat.Sasaran dalam ilmu ini adalah semua perilaku

mukallaf atau dengan kata lain sasaranya adalah manusia serta

dinamika dan perkembangan masyarakatnya yang semua itu

merupakan gambaran nyata perilaku seorang mukalaf, yang

semua itu bertujuan untuk membentuk masyarakat yang

berkualitas baik, (Hamzah Ya’qub, 1995:93).

Page 191: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

107 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

107

Namun disisi lain studi hukum Islam tidak mengkaji

keyakinan dan maksud hati manusia. Kajian keyakinan dibahas

oleh ilmu tauhid, sedangkan maksut hati ditelaah oleh ilmu

akhlak. Ketika manusia berhubungan dengan tuhanya, maka

penerimaanya didasarkan pada dua aspek yaitu keiklasan hati dan

kebenaran tindakan. Studi hukum Islam, dalam hal ini hanya

membahas kebenaran tindakan, bukan keiklasan hati. Kegiatan

ritual dapat dibenarkan jika sesuai dengan perinyah wahyu,

(Hamzah Ya’qub, 1995:94).

Kalau ditelaah lebih jauh, mengenai perbedaan hukum Islam

dengan ilmu hukum secara konvesiaonal. Hukum Islam

disamping mengatur hubungan manusia dengan manusia, namun

juga megatur manusia senagai makhluk beragama yaitu

menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya. Sementara itu

ilmu hukum secara konvesional hanya membahas hubungan

manusia dengan manusia atau benda saja. (Hamzah Ya’qub,

1995:95).

C. Urgensi Studi Hukum Islam

Studi hukum Islam merupakan salah satu bahan kajian yang

wajib dipelajari oleh umat Islam, karena objek studi ini adalah

umat Islam itu sendiri sehingga konsekuensi logisnya umat

Islamlah yang harus lebih mendalami. Dapat dilihat bahwa

terdapat beberapa urgensi studi hukum Islam diantaranaya seperti;

1. Studi Hukum Islam sebagai Etika Islam

Page 192: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

108 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

108

Terdapat kaitan erat antara hukum dan etika. Hukum

menghasilkan konsep benar dan salah, sedangkan etika

menghasilkan konsep baik dan buruk. Keputusan hukum

Page 193: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

109 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

109

harus berlandaskan etika agar tetap berada dalam koridor

keadilan. Sebaliknya, etika akan semakin kuat bila didukung

oleh keputusan hukum. Etika hanya memiliki sanksi moral,

sementara hukum mempunyai sanksi legal. Dilihat dari sisi

bentuknya, hukum dapat dibaca dengan jelas, karena berupa

peraturan perundang-undangan yang tertulis. Tidak demikian

halnya dengan etika yang bentuknya banyak yang tidak

tertulis. Karena itu, perdebatan hukum selalu melibatkan

logika pernyataan, sedangkan etika terus diperdebatkan tanpa

standar baku. Setiap orang dapat menyatakan moral, tetapi

mereka berbeda pendapat tentang ukuranya. Studi tentang

ukuran moral ini masuk dalam wilayah fisafat etika, (Abd.

Shomad, 2012:10).

Adapun studi hukum Islam di Indonesia, bisa

dikategorikan dalam dua kajian yaitu kajian hukum dan

kajian etika. Tidak banyak rumusan hukum Islam yang

menjadi peraturan perundang-undangan Indonesia. Rumusan

hukum yang paling dominan adalah memberlakukan hukum

Islam sebagai etika sebagai umat Islam. Apabila ada seorang

muslim yang engan mematuhi keputusan hukum Islam,

maka ia tidak dijerat dengan sanksi legal, melainkan sanksi

moral. Diamna hal ini sejalan dengan yang dikatakan M.

Daud Ali, ia mengatakan bahwa di Indonesia hukum Islam

ada yang berlaku normatif ada juga yang berlaku formal

yuridis, (Abd. Shomad, 2012:12). Dengan demikian, kasus

yang sering muncul adalah terjadi benturan antara keputusan

Page 194: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

110 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

110

hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Page 195: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

111 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

111

Meski sebagai kekuatan moral, hukum Islam senantiasa

menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan di

masyarakat muslim. Kekuatan agama yang melekat dalam

hukum Islam menjadikanya lebih berarti. Diantara umat

Islam, ada yang mengutamakan hukum Islam diatas

segalanya, termasuk peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Hal ini dapat dipahami, bahwa pemberlakuan hukum

Islam di Indonesia jauh lebih tua dibandingkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, (Abd. Shomad, 2012:15).

Ketika hukum Islam menjadi etika utama bagi umat Islam

indonesia, maka ukuran etikanya adalah studi hukum Islam.

Studi hukum Islam dimasa mendatang, dapat menjadi

alternatif dalam sistem hukum di indonesia. Wacana untuk

membangun kembali huku pidana dan perdata telah lama

digulirkan, mengingat produk dari belanda ini dinilai sudah

tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Inilah

peluang sekaligus tantangan bagi hukum Islam. Para pakar

studi hukum Islam terus membuat formulasi hukum Islam

yang sesuai dengan zaman modern serta cocok dengan

budaya indonesia. Secara evolusi, beberapa konsep dan

rumusan hukum Islam telah diterima oleh negara antara lain:

UU pengelolaan zakat, undang-undang perbankan syariah,

bahkan beberapa daerah telah memutuskan menerapkan

hukum Islam melalui perda syariah. Jadi studi hukum Islam

telah memberi kontribusi nyata dalam penataan etika

masyarakat muslim. Diharapkan lebih mewarnai kehidupan

umat beragama di indonesia, (Abuddin hata, 2010:40).

Page 196: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

112 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

112

2. Muara Ilmu Ilmu KeIslaman

Praktek keagamaan berkaitan erat dengan pemikiran.

Suatu amal tergantung pada ilmunya. Ilmu yang mencapai

tingkat teringgi adalah iman. Seseorang akan percaya sesuatu

jika benar-benar mengetahuinya dengan yakin. Sebagaimana

yang termuat dalam surat At-takasur: 5 artinya; “janganlah

begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang

yakin. Diamana untuk mencapai keimanan taraf yakin ini,

ajaran Islam dikembangkan dengan ilmu tauhid. Keyakinan

pada ajaran Islam dengan sendirinya akan melaksanakanya.

Persoalannya adalah bagaimana cara melaksanakanya.

Jawaban ini dapat ditemukan dalam studi hukum Islam.

(Abuddin hata, 2010:43).

Studi hukum Islam membahas cara mempraktekkan ajaran

Islam. Sesungguhnya, cara ini telah diperaktekkan dan

ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw yang kemudian

direkam menjadi hadits. Melalui al-qur’an dan hadits, tata

cara dan praktek ajaran Islam digali dan dirumuskan. Proses

penggalian dan perumusan ini melibatkan ilmu-ilmu teks

arab, antara lain:ilmu lughah, ilmu nahwu, ilmu sharaf serta

ilmu balaghah, termasuk ilmu ushul fikih. Selain itu, ilmu-

ilmu tentang al-qur’an dan hadis juga diperlukan, demikian

dibutuhkan ilmu logika, karena studi hukum Islam memilah

benar dan salah. Studi teks tidak terlepas dengan kondisi

sejarah pergulatan teks dan konteks, sehingga studi hukum

Islam harus dibantu oleh ilmu sejarah, terutama sejarah

Page 197: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

113 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

113

perkembangan praktek hukum Islam. Oleh karena itu,studi

hukum Islam bukan disiplin yang berdiri sendiri, melainkan

Page 198: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

114

ditopang oleh ilmu-ilmu keIslaman yang lain. Dengan

demikian, pakar studi hukum Islam dapat dipastikan telah

mendalami semua ilmu-ilmu keIslaman, (Muhammad Daud

Ali, 2005:46).

Ketika studi hukum Islam bersentuhan dengan realitas

sosial, maka ilmu yang membantunya semakin bertambah,

yakni ilmu-ilmu sosial. Sosiologi perlu dihadirkan untuk

membaca perubahan sosial, antropologi untuk menelaah

tradisi masyarakat, psikologi untuk melihat kemampuan

individu maupun masyarakat dalam melaksanakan hukum

Islam, ilmu politik untuk legalisasi hukum Islam, ilmu

ekonomi untuk mengembangkan ekonomi Islam dan

metodologi riset dipakai untuk menggali dan menganalisis

data lapangan. Studi hukum Islam tidak menutup diri dari

ilmu-ilmu alam, sepanjang hal itu dibutuhkan. Kasus ganti

kelamin, kontrasepsi dan bayi tabung. Misalnya, perlu

menghadirkan ilmu kedokteran. Saat membahas waktu shalat,

gerhana, arah kiblat dan masalah perbintangan, studi hukum

Islam perlu menggandeng ilmu astronomi. Mustahil

menemukan seorang ulama yang menguasai studi hukum

Islam seta ilmu-ilmu bantu lainnya. Untuk itu, keputusan

hukum tidak dirumuskan secara perorangan,melainkan

difatwakan secara kelembagaan, (Muhammad Daud Ali,

2005:48).

Seperti disinggung sebelunya bahwa lembaga hukum Islam

berisi para pakar studi hukum Islam, bukan para ilmuwan dengan

disiplin ilmu yang berbeda. Akan tetapi, jika suatu masalah yang

Page 199: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

115

akan diputuskan memerlukan keterlibatan ilmuwan yang terkait, EPISTEMOLOGI; 108

Page 200: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

116

maka ilmuwan tersebut dihadirkan untuk memperjelas masalah.

Setelah mendapatkan penjelasannya, pemecahan masalah

dilimpahkan kembali kepada para pakar hukum Islam. Tidak

jarang, persoalan yang dipecahkan juga menyangkut masalah

agama di luar wilayah hukum Islam,seperti teologi,tasawwuf dan

peradaban. Pada tahun 1998, majelis tarjih muhammadiyah,

akhirnya, memperlebar wilayahnya, dari persoalan hukum Islam

hingga peradaban Islam. Komisi fatwa MUI-pun demikian.

Begitu pula, pelebaran masalah juga terjadi di bahtsul masail NU

hingga memunculkan bahtsul masail maudlu’iyyah (pembahasan

persoalan secara tematis), dan bahtsul masail waqi’iyyah

(pembahasan persoalan aktual).

Pelebaran masalah di atas bukan hal yang baru, nyatanya

beberapa karya klasik yang selama ini dianggap sebagai literatur

ilmu fikih juga membahas tentang teologi maupun tasawwuf.

Kitab al-umm karya imam al-Syafi’i pendiri madzab fikih syafi’i,

juga memuat teologis, meski porsinya sedikit. Di samping

itu,ulama yang dianggap sebagai pakar hukum Islam ternyata

menulis karya-karya tentang teologis atau tasawuf. Imam abu

hanifah pendiri madzab fikih hanafi, menulis kitab al fiqh al akbar

yang memuat pembahasan tentang teologi. Fakta ini menujukkan

bahwa studi hukum Islam menjadi muara bagi ilmu-ilmu

keIslaman. Semua disiplin ilmu, bertemu di satu wilayah,yaitu

hukum Islam, (Muhammad Daud Ali, 2005:49).

Page 201: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

117

Page 202: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

118

EPISTEMOLOGI; 110

Page 203: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

111 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

119

BAB 7

METODE-METODE

ANALISIS DALAM HUKUM

ISLAM

Pada al-Qur'an maupun pada literatur; kata hukum Islam

tidak dapat ditemukan, yang terdapat dalam Qur’an merupakan

kata Syari’ah, fikih, hukum Allah serta yang seakar dengannya,

yakni hukm jamaknya ahkam yang berarti perintah, ketetapan,

vonis, pemerintah, kekuasaan, serta lain-lain. Hukum Islam

mencakup hukum syariah serta hukum fikih sebab makna syarak

serta fikih tercantum didalamnya, (Djamil, 2015:43).

Hukum Islam merupakan syariat yang berarti ketentuan yang

diadakan oleh Allah buat umat- Nya yang dibawa oleh seseorang

Nabi SAW, baik hukum yang berhubungan dengan keyakinan

(aqidah) ataupun hukum-hukum yang berhubungan dengan

amaliyah (perbuatan), (Iryani, 2017:24). Dalam suatu Negeri

hukum, terdapat karakteristik spesial yang mengikat pada Negeri

tersebut, yaitu menjunjung tinggi kedudukan hak asasi manusia,

kesetaraan serta kesamaan derajat antara satu dengan yang yang

lain disamping berpegang teguh pada aturan-aturan, norma-

norma yang sudah diterapkan serta diberlakukan untuk

masyarakat negaranya tanpa terdapat perkeculian, Ikatan antara

Page 204: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

111 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

120

Agama serta Negeri bagi Islam merupakan tidak bisa terpisahkan.

Sebab dalam al-Qur‘an yang diatur tidak cuma saja yang

berhubungan dengan Tuhan saja namun berhubungan dengan

kemasyarakatan yang keduanya tidak bisa di pisahkan, (Anshar,

2019:243). Selanjutnya kata metode berasal dari bahasa Yunani

“methodos”, kata depannya meta yang berarti melalui, menuju,

sessudah, mengikuti sedangkan kata hodos yang berarti jalan,

cara, perjalanan dan arah. Dalam bahasa Arab “tariqa” berarti

jalan dan langkah. Senn berpendapat dalam (Suriasumantri,

2005:119), metode adalah suatu cara atau prosedur untuk

memahami sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang

teratur. Sedangkan menurut Suhartono metode adalah suatu

prosedur atu proses yang tersusun sesuai dengan prinsip-prinsip

dan teknik-teknik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin (bidang

studi) untuk mencapai suatu target. Metode sering disandingkan

dengan metodologi. Metodologi adalah pengkajian mengenai

model atau bentuk metode-metode, aturan-aturan yang harus

dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan (Suhartono, 2008:71).

Dalam bidang Hukum Islam, metode analisis dilakukan pada

pesan-pesan Tuhan yang sistematis dan sumbernya Al-qur’an dan

Sunnah. Agar tersusun pesan-pesan Tuhan itu dilakukan dengan

tekun melalui pemahaman dan penjelasan terhadap sumbernya,

(Arfa, 2007:90). Al-qur’an ialah wahyu Allah yang disampaikan

kepada Nabi Muhammad Saw. untuk hukum Islam al-qur’an

sebagai sumber utama, pertama dan sumber pokok. Maka dalam

menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada dibumi harus

Page 205: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

111 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

121

berpedoman pada ayat-ayat al-qur’an terlebih dahulu. Selama

penanganan masalah dapat ditemukan pada nash-nash al-qur’an,

Page 206: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

113 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

113

umat Islam tidak diizinkan mengambil hukum atas persoalannya

diluar qur’an. Sedangkan Sunnah adalah sumber kedua setelah

qur’an dalam menjawab suatu permasalahan (Djamil, 2015:73).

Ulama berpendapat bahwa tindakan manusia, baik berupa ucapan

maupun perbuatan, dalam hal ibadah maupun muamalah, berupa

tindakan pidana maupun perdata, masalah akad atau menajemen,

dalam syariat Islam seluruhnya masuk dalam wilayah hukum.

Hukum-hukum itu sebagian ada yang diterangkan oleh al Qur’an

dan Sunnah dan sebagian tidak. Tetapi Syariat Islam telah

menentukan dalil dan tanda-tanda hukum yang tidak diterangkan

oleh keduanya, sehingga seorang mujtahid dengan dalil dan

tanda-tanda hukum itu dapat memutuskan dan menjelaskan

hukum-hukm yang tidak diterangkan tersebut (Khallaf, 2003:1).

Dari keterangan diatas, dapat dipahami bahwa metode

analisis hukum Islam adalah suatu teknik atau cara untuk

manjawab permasalahan atau menentukan hukum melalui pesan-

pesan Allah Swt yang tersusun pada qur’an dan Sunnah. Metode-

metode analisis dalam hukum Islam dapat dirumuskan sebagai

berikut:

A. Metode Deduksi-Koherensi

Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada

pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan

yang telah dikumpulkan sebelumya (Suriasumantri, 2005:120).

Metode deduksi untuk kajian keilmuan hukum Islam yang dimulai

dari dalil-dalil umum dan diaplikasikan pada kasus-kasus spesifik

Page 207: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

114 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

114

lalu disimpulkan (Shaffat, 2010). Pendapat lain tentang metode

deduksi dalam hukum Islam adalah suatu cara memahami makna

Page 208: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

115 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

115

dan tunjukan hukum yang terdapat pada qur’an dan Sunnah

kemudian dirumuskan sebagai ketentuan hukum yang terperinci

(Arfa, 2007:90).

Sedangkan teori koheren (coherence theory) yang

dikembangkan oleh kaum idealis, dan sering disebut sebagai teori

saling berhubungan atau teori konsistensi. Disebut demikian

karena teori ini menyatakan bahwa kebenaran tergantung pada

adanya saling hubungan secara tepat antara ide-ide yang

sebelumnya telah diakui kebenaranya (Suhartono, 2008:84). Teori

kebenaran koherensi menurut ilmuan lainnya bahwa suatu

pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren

atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang

dianggap benar (Faisar Ananda Arfa dan Watni Marpaung, 2016,

p. 5). Sedangakan pendapat Bochenski koheren itu kesesuain

antara suatu benda atau hal dengan pikiran atau idea (Suhartono,

2008:84).

Berdasarkan pendapat tersebut, maka metode deduksi-

koherensi dalam hukum Islam adalah suatu cara penetapan hukum

dimulai dari dalil-dalil umum yang memiliki kesesuaian dengan

dalil yang lainnya atau saling terkait satu sama lain dan

diaplikasikan pada kasus-kasus spesifik kemudian disimpulkan.

Mayoritas umat Islam telah sepakat bahwa dalil syara’ yang

menjadi dasar pengambilan hukum berhubungan dengan

perbuatan manusia ada empat yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, al-

Ijma’ dan al-Qiyas, yakni; 1) Jika ditemukan suatu persoalan,

pertama kali hukumnya dicari di dalam Quran, dan bila hukumnya

Page 209: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

116 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

116

ditemukan harus dilaksanakan. 2) Jika didalam Quran tidak

ditemukan maka harus dicari dalam al sunnah, dan bila hukumnya

Page 210: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

117 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

117

ditemukan harus dilaksanakan. 3) Jika di dalam sunah juga tidak

ditemukan maka harus dilihat, apakah para mujtahid telah sepakat

tentang hukum dari kejadian tersebut, dan jika ditemukan

kesepakatan mereka maka harus dilaksanakan. 4) Jika tidak

ditemukan juga, maka harus berijtihad mengenai hukum atas

kejadian tersebut dengan mengkiaskan kepada hukum yang

memiliki nash. (Khallaf, 2003:13-14)

Adapun dalil mengenai keempat tersebut terdapat pada surah

an Nisa;

ي اأ يهاا لذينآ منوطأ ايعوا ال أوطيعوا الرسول أووليا ألمر منكم فإن

ل اوليوم اآلرخ تنازعتم في شيء فردوهإ لى ال اولرسولإ ن كنتم تؤمنون با

ذ لك خير أوحسن تأويل ﴿٩٥﴾

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan

ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah

dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)

dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisaa’:59)

Terdapat dalil selain dari empat diatas, yang mayoritas umat

Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Tetapi

sebagian dari mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini

sebagai alasan penetapan hukum syara’ dan sebagian yang lain

mengingkarinya.dalil yang diperselisihkan pemakaiannya itu ada

enam (6) yaitu istihsân, mashlahah mursalah, istishâb, ’urf,

mazhab Shahabiy, dan hukum umat sebelum kita. Sehingga

keseluruhan dalil syara’ ada sepuluh, empat telah disepakati

Page 211: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

118 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

118

penggunaannya oleh mayoritas ummat Islam sedangkan yang

enam masih diperselisihkan. (Khallaf, 2003:16). Metode deduksi-

Page 212: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

119 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

119

koherensi ini dapat digunakan dalam kajian keilmuan hukum

Islam dengan cara menganalisis nash pada kategori bayan

(kejelasan) dapat dilihat dari segi mubâayan, zhâhir, mujmal,

nash, mufassar, muhkam, khâfi, musykil, mutasyâbih, dan

sebagainya. Metode deduksi koherensi banyak digunakan oleh

ulama ushûl al-fiqh dengan menempatkan nash sebagai sumber

hukum yang darinya ditetapkan banyak ketentuan-ketentuan atau

ketetapan-ketatapan hukum. Metode yang digunakan bersifat

deduktif-koherensi sebagaimana pada gambar:

Dalil Al-qur’an dan Hadits

Pendekatan Kaedah Pendekatan Kaedah

Klasrifikasi (Bayan) Analogi (qiyas)

dan lain-lain

Produk-produk Hukum Islam

Gambar: 1.

Metode deduksi koherensi Dalam Hukum Islam,

(Shaffat, 2010:43)

Kajian keilmuan hukum Islam dengan menggunakan metode

deduksi-korespondensi dilakukan berdasar dalil baik al-Qur’ân

maupun Hadîts yang dianalisis melalui pendekatan kaedah-kaedah

Page 213: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

120 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

120

kebahasaan dan kaedah-kaedah syar’iyah. Melalui pendekatan

kebahasaan muncullah kemudian beberapa metode istinbâth

hukum seperti bayân, zhâhir, mujmal, nash, mufassar, muhkam,

khâfi, musykil, mutasyâbih, dan lainnya. Sedangkan pendekatan

syar’iyah berkenaan dengan qiyâs, istihsân, istishlah, istishâb,

sadd al-dzari’ah, ‘urf, madzhab shahabi syar’ man qablanâ, dan

‘amal ahl al-Madînah. Melalui pendekatan dan metode-metode di

atas kemudian dihasilkan produk-produk hukum Islam baik yang

disepakati oleh para ulama maupun yang diperselisihkan. Dengan

demikian, secara epistemologis, keilmuan hukum Islam dapat

diketahui melalui pemikiran terhadap dalil-dalil baik al-Qur’ân

maupun Hadîts Nabi yang dilakukan melalui ijtihâd terhadap

ayat-ayat atau Hadîts-hadis hukum, dengan metode istinbâth

tertentu, yang kemudian melahirkan produk-produk hukum

berupa fiqh. Ijtihâd demikian disebut dengan ijtihâd istinbâthi

yaitu ijtihâd yang dilakukan melalui nash syarî’ah dengan

meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung dalam

nash. Metode deduksi koheren dianggap masih memiliki

kelemahan, yakni belum menunjukkan kesesuaian dengan fakta.

Sebab, suatu pendapat tidak ada artinya, betapa pun pendapat itu

logis dan sistematis jika tidak ada hubungannya dengan fakta.

Teori koheren tidak sepenuhnya dapat memecahkan persoalan

sehari-hari.

B. Metode Induksi Korespondensi

Page 214: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

121 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

121

Metode induksi dalam hukum Islam yaitu berangkat dari

kasus-kasus yang membutuhkan ketentuan hukum. Kemudian

ulama melakukan ijtihad dengan berupaya mencarikan

Page 215: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

118 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

122

jawabannya dari Alqur’an dan Sunnah (Arfa, 2007:90). Jika sifat

koheren memakai pola pikir secara deduktif, maka sifat

korespondens dalam mencari kebenaran ilmiah menggunakan

pola pikir induktif. Bochenski dalam (Suhartono, 2008:86)

menerangkan bahwa disamping kebenaran ontologis ada

kebenaran logis. Minurut Titus dkk, dalam (Suhartono, 2008:85)

korespondensi maksudnya jika suatu pertimbangan sesuai dengan

fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika tidak maka

pertimbangan itu salah. Kebenaran adalah persesuaian antara

pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.

Misalnya terdapat suatu pendapat bahwa diluar cuaca panas,

maka teori ini menuntut adanya fakta cuaca benar-benar panas

diluar. Jadi, tidak hanya sekedar ide tetapi diiringi dengan fakta.

Ia menjelaskan bahwa teori koheren diatas bersifat rasional

aprioris sedangkan koresponden bersifat empiris aposterioris.

Kalau metode deduktif-koherensi menekankankan pada adanya

saling hubungan antara ide-ide secara tapat, logis dan sistematis

sedangkan metode ini menekankan pada apakah ide-ide itu sesuai

fakta-faktanya sendiri atau tidak. Korespondensi berdasar pada

data empirik di lapangan yang kemudian dibuatkan pernyataan-

pernyataan yang berisifat umum yang disebut kesimpulan. Dalam

penelitian lapangan (field research), baik pola pikir induktif

maupun sifat koresponden banyak digunakan karena kesimpulan

yang diperoleh, baik yang didahului dengan hipotesis maupun

tidak, sangat tergantung pada data empirik yang bersifat khusus

itu. Hal-hal yang bersifat kongkrit di lapangan empirik dapat

diabstraksi dalam bentuk konsep dan teori. Teori dan konsep

Page 216: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

118 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

123

dalam ilmu pengetahuan dapat berkembang baik melalui

penelitian maupun pemikiran rasional. (Shaffat, 2010)

Metode ini digunakan dalam kajian hukum Islam tidak sama

persis dengan metode induksi-korespondensi pengetahuan ilmiah

umumnya karena pernyataan-pernyataan umum sebagai

generalisasi dari peristiwa-peristiwa partikular tidak diperoleh

dari pengambilan kesimpulan dari data di lapangan, tetapi

dikaitkan terlebih dahulu dengan teks Qur’an atau Hadîts. Metode

induksi ini dapat digunakan pada keilmuan hukum Islam sebagai

suatu disiplin yang dinalisis secara ilmiah. Melalui kajian

terhadap materia-materia keilmuan hukum Islam yang beragam

sesuai dengan disiplin masing-masing ragam ditarik suatu

generalisasi yang kemudian dijadikan sebagai kesimpulan.

Kesimpulan dapat menjadi teori keilmuan hukum Islam, jika

benar-benar didukung data tersebut. Selanjutnya perhatikan

gambar berikut;

Kasus Hukum A

Produk-produk

Hukum Islam

Dalil Al-qur’an

dan Hadits

Kasus Hukum B

Kasus Hukum A

Kasus Hukum A

Gambar: 2

Metode Induksi-Korespondensi Dalam Hukum Islam

Page 217: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

120 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

120

Dengan demikian, keilmuan hukum Islam dapat diperoleh

melalui telaah terhadap peristiwa hukum empirik secara parsial,

satu persatu, baik dalam bentuk sampel maupun populasi ditinjau

berdasar dalil baik al-Qur’ân maupun Hadîts selanjutnya

dibuatkan ketentuan hukumnya dalam bentuk kesimpulan ide

hukum. Pola pikir induktif pada keilmuan hukum Islam berbeda

dengan pola pikir yang sama pada ilmu pengetahuan umumnya.

Jika pada ilmu pengetahuan umum pencaharian kebenaran

dimulai dari fakta-fakta di lapangan yang kemudian dari berbagai

fakta itu dibuat kesimpulan, maka pada keilmuan hukum Islam,

pembuatan kesimpulan bukan berdasar ‘apa’ kata fakta itu, tetapi

bagaimana keberadaan fakta itu secara hukum sehingga

kesimpulan yang dibuat bukan berdasar pernyataan fakta semata

tetapi pernyataan dalil tentang fakta itu, baik dalil al-Qur’ân atau

Hadîts Nabi. Misalnya hasil penelitian menunjukkan bahwa

kenyataannya umat Islam tidak hanya mengkonsumsi makanan

yang halal saja tetapi juga harus sehat. Pernyatatan ini harus

diiringi dengan dalil yang ada baru dapat di jadikan suatu produk

hukum.

C. Metode Ilmiah

Metode ilmiah merupakan penggabungan metode analisa

deduksi koherensi dengan induksi korespondensi dalam

menentukan suatu hukum Islam atau dikenal dengan proses

logico-hypothetico-verifikasi. Tentunya metode ini menunjukkan

terdapatnya kelemahan terhadap kedua metode analisis diatas.

Page 218: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

121 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

121

Karena yang rasional kadang tidak sesuai dengan kenyataannya.

Suatu pendapat bersifat dinamis atau dapat mengalami perubahan

Page 219: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

122 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

122

seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Artinya suatu ide atau pendapat bukan benda objektif.

Gaya berpikir dalam mengartikan objek, sering terjebak

kedalam analogi yang tidak realistis. Begitu pula sumber

pengalaman, karena sifatnya yang terlalu subjektif dan relatif,

maka lemah dipakai sebagai dasar kebenaran. Selain itu,

pancaindera memiliki keterbatasan dalam memahami objek.

Penginderaan hanya dapat menangkap bagian tertentu dari objek,

sehingga mudah terjebak pada generalisasi. Jadi penentuan suatu

hukum berdasarkan kemampuan rasio dan penginderaan. Rasio

yang hanya mengetahui ide suatu objek berarti hanya gambaran

umum saja sedangkan penginderaan hanya dapat mengenal bagia-

bagian dari objek itu saja.

Proses analisis seorang ilmuan dimulai dengan ragu-ragu dan

diakhiri dengan percaya atau tidak percaya. Hal ini berbeda

dengan penelaahan dalam penentuah hukum Islam. Karena agama

di mulai dengan percaya dan diakhiri dengan makin percaya atau

jadi ragu. Keadaan seperti ini maksudnya pengetahuan agama

yang diwahyukan oleh Tuhan harus diterima dulu sebagai

hipotesis yang kebenarannya kemudian diuji oleh kita. Proses

pengujian ini berbeda dengan pengujian ilmiah yang berdasarkan

kepada tangkapan panca indera sebab pengujian kebenaran agama

harus dilakukan oleh seluruh aspek kemanusiaan kita seperti

penalaran, perasaan, intuisi, imajinasi disamping pengalaman.

Demikian tidak semua pernyataan keagamaan dapat diverifikasi

seperti adanya malaikat dan hari kiamat sebab hal ini berada

diluar jangkauan pengalaman.

Page 220: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

123 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

123

Alur berpikir yang mencakup dalam penentuan hukum Islam

agar menghasilkan suatu produk hukum, kiranya baik yang

diwahyukan Tuhan ataupun pengalaman indra perlu dimanfaatkan

secara dialektik-fungsional, saling lengkap-melengkapi, saling

memperkuat dan saling uji menguji sehingga kebeneran yang

dicapai dapat diandalkan. Proses analisis metode ilmiah dalam

hukum Islam dapat di gambarkan sebagai berikut;

Indentifikasi dan

Perumusan Masalah

Al-Qur’an

dan hadits

Deduksi Koherensi

Penyusunan

Kerangka

Berfikir

Perumusan

Hipotesis

Kesesuaian

Induksi

Korespondensi

Diterima Pengujian

Hipotesis

Ditolak

Gambar: 3

Metode Ilmiah Dalam Hukum Islam

Page 221: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

124 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

124

Adapun langkah-langkah analisis metode ilmiah dalam

hukum Islam sebagai berikut;

1. Identifikasi dan Perumusan Masalah adalah mengkaji dan

menganalisis masalah-masalah yang terjadi di lingkungan

masyarakat atau menentukan objek kajian hukum Islam

kemudian dirumuskan berupa pertanyaan mengenai objek

materia hukum Islam yang jelas batas-batasnya serta dapat

diidentifikasikan faktor faktor yang memiliki hubungan

dan pengaruh di dalamnya. Persoalan yang menyangkut

objek ini ditentukan secara rinci dan jelas sehingga

diketahui esensi dan eksistensinya.

2. Penyusunan kerangka untuk diajukan sebagai hipotesis

merupakan penyusunan kerangka berpikir baik dengan

pengajuan asumsi yang merupakan argumentasi yang

menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara

berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk

tatanan permasalahan atau dengan kontruks sebagai

landasan teoterik. Kerangka berpikir dalam bentuk asumsi

ataupun kontruks ini disusun secara rasional berdasarkan

premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya

dengan memperhatikan dalil hukum (wahyu) dan faktor-

faktor empiris atau landasan teoretik yang relevan dengan

permasalahan. Perumusan kerangka pikir berdasar teori

yang berasal dari khazanah pengetahuan ilmiah yang

dipilih bsecara seksama dan dianggap relevan dengan

masalah hukum yang dikaji. Teori ini dapat berupa dalil

al-Qur’ân, Hadîts, atau pendapat ulama.

Page 222: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

125 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

125

3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara

atau asumsi terhadap pertanyaan yang diajukan yang

materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir

yang dikembangkan. Asumsi dalam kajian keilmuan

hukum Islam, berbeda dengan yang digunakan dalam

penelitian ilmiah umumnya, tidak dimaksudkan untuk

menguji kebenaran teori atau dalil yang digunakan, tetapi

untuk mencari jawaban sementara apakah masalah hukum

yang terjadi sesuai dengan ketentuan dalil (teori) atau

tidak.

4. Pengujian hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta

yang relevan dengan asumsi yang diajukan untuk

memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang

mendukung asumsi tersebut atau tidak. Pola pikir yang

digunakan adalah induksi-korespondensi dengan

menelaah kasus-kasus hukum sepesifik yang terjadi di

lapangan dengan menelitinya secara detail dengan

melakukan verifikasi.

5. Penarikan Kesimpulan merupakan penentuan apakah

hipotesis diterima atau ditolak. Hipotesis dinyatakan

diterima atau dapat dijadikan ketentuan hukum apabila

terdapat kesesuaian antara fakta di lapangan dengan

ketentuan dalil al-qur’an, hadis, al Ijma’ serta al Qiyas

dan dinyatakan ditolak atau tidak dapat dijadikan sebagai

ketetapan hukum apabila terdapat kesenjangan/

bertentangan antara ketentuan Qur’an dan hadits dengan

Page 223: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

126 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

126

permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini, produk hukum

terbentuk misalnya terbentuknya produk hukum undnag-

Page 224: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

127 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

127

undang tentang jaminan produk halal, dilakukan melalui

pengkajian dan penelitian yang panjang, melibatkan

stakeholder dan benar-benar tidak bertentangan dengan al

Qur’an dan Sunnah, baruhlah dapat dijadikan sebagai

produk Hukum yang legal.

D. Metode Fenomenologis

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani yaitu phainomai

yang artinya terlihat. Metode fenomenologis dalam hukum Islam

merupakan metode yang berusaha memperoleh gambaran yang

lebih utuh dan fundamental tentang fenomena keilmuan hukum

Islam dari pada metode ilmiah. Edmund Husserl salah satu orang

yang mendukung metode ini, menurutnya fenomenologi adalah

studi tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-

kesadaran tersebut menunjukkan kepada objek-objek di luar

dirinya. Metode ini mengenyampingkan segalanya. Ia menyebut

tipe refleksi ini reduksi ‘ephoce’ fenomenologis. Karena pikiran

dapat diarahkan keobjek-objek yang non-eksis dan riil. (Rusli,

2008). Ia juga menggunakan kata Einklammerung maksudnya

segi-segi itu mungkin tidak dipandang dan tidak diperhatikan

dulu. Penyaringan ini termasuk meminggirkan komponen tradisi

dan komponen-komponen yang tidak bisa di tes. Adapun objek

pada metode ini adalah fenomena berupa data yang sederhana.

Fenomena pada kajian ini tidak dimaksudkan fenomena alamiah

yang dapat diserap dengan observasi empiris, dan bukan pula

fenomena pandangan, seperti pandangan keagamaan, (Lubis,

2015:36).

Page 225: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

128 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

128

Berikut ini karakteristik menganalisis dengan metode

fenomenologi; 1) Metode ini lebih kepada menghilangkan sikap

tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh

kepentingan (interested approaches) dan fenomenologi telah

membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagaman Islam

baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. 2) Metode

ini menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data

seperti sejarah, arkeologi, studi sastra, sosiologi, psikologi,

antropologi dan sebagainya. 3) Dianalisis dengan tajam struktur

dan hubungan antar data yang berhubungan dengan kesadaran

masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. 4)

Menggunakan prinsip-prinsip yang lebih luas dan tampak

membentuk keberagaman manusia secara menyeluruh (Anwar,

2017:113-114).

Langkah-langkah tentang metode fenomenologi ini yaitu

pertama melakukan refleksi mengenai pengalaman langsung

sejauh bertindak secara dasar dan sengaja berhubungan dengan

objek, contoh: saya melihat warna dan saya mencintai teman.

Perhatian metode fenomena ini secara intuitif ditujukan kepada

seluruh objek dengan meminggirkan komponen-komponen

subjektif seperti perasaan, keinginan, pandangan. Kriterianya

dapat dideskripsikan sebagai berikut: a) Subyek melupakan

dirinya dan mengambil sikap murni objektif, b) Meminggirkan

komponen-komponen praktis, c) Tidak ditanyakan guna maupun

manfaatnya, tetapi apa adanya, d) Segala pengertian diskursif

seperti pemikiran, e) Hipotesa, pembuktian dan penyimpulan

disisihkan, (Lubis, 2015:36).

Page 226: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

127 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

127

Selanjutnya, reduksi eiditis, berasal dari kata Eidos yang

artinya hakikat. Dengan reduksi eiditis, Husserl ingin mencari

eidos (hakikat). Hakikat maksudnya merupakan tahapan reduksi

kedua dalam penelitian berperspektif fenomenologi (Lubis,

2015:37). Reduksi ini bertujuan memperoleh intisari dari hakikat

yang telah ada. Biasanya dalam reduksi ini, peneliti menempuh

langkah pengabstraksian (menggambarkan secara imajinatif)

tentang peristiwa sosial yang hidup. Selain itu, peneliti melakukan

identifikasi dan klasifikasi terhadap data-data yang bersifat tetap

atau tidak menunjukkan perubahan dalam berbagai variasi situasi

dan kondisi. Melalui cara interpretative understanding ini

diharapkan dapat mempermudah bagi peneliti secara langsung

membuat klasifikasi dan identifikasi perolehan data di lapangan.

Dalam kegiatan ini pencatatan data dan informasi dengan

menggunakan field notes, dilakukan sesegera mungkin setelah

wawancara naturalistic (naturalistic interview) berlangsung,

misalnya di rumah. Selanjutnya dari hasil observasi, perilaku

tindakan masyarakat dipilah-pilah untuk dilakukan pendalaman

lebih lanjut melalui wawancara mendalam sehingga diperoleh

makna dan pemahaman. Proses pengumpulan data dihentikan

setelah dianggap jenuh yaitu setelah tidak ada jawaban baru lagi

dari lapangan.

Kelemahan metode Fenomenologis adalah sebagai berikut:

pertama, adapun yang menjadi kelemahan dalam pendekatan ini

adalah sebagaimana tujuan dari fenomenologi untuk mendapatkan

pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai

Page 227: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

128 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

128

pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu

pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Kedua, selain itu,

Page 228: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

129 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

129

fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut

terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek

dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian,

pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif,

yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi

tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain,

pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat

digenaralisasi.

Ciri utama menganalisi dengan tata cara fenomenologis yaitu

di dalamnya ada 4 fakta, yakni fakta dapat ditangkap oleh panca

indera, Fakta yang dihasilkan dari ide/rasio/kepala, fakta harus

sesuai dengan yang kode etik, serta fakta berdasarkan pengalaman

yang berhubungan dengan kepercayaan ataupun ketuhanan.

(Muhadjir, 2002). Fakta dapat ditangkap oleh panca indera adalah

suatu kasus atau peristiwa hukum dapat dianalisi lewat panca

indera atau disebut juga dengan kebenaran empirik sensual.

Kebenaran hukum Islam secara empirik sensual berkenaan

dengan upaya seseorang dalam menguasai objek ataupun

peristiwa hukum di kalangan penduduk muslim. Dengan

meninjau, meneliti, serta mempelajari masalah yang terjadi pada

masyarakat, kita bisa mendapatkan cerminan tentang bagaimana

hukum berperan dalam mengendalikan mereka. Kasus hukum itu

ditelaah secara empirik- inderawi sehingga dikenal kebenarannya.

Kebenaran empirik logik diperoleh melalui pemikiran logis

yang didasarkan pada data empirik, bukan logika murni umumnya

yang berdasar premis-premis tertentu baik premis mayor maupun

Page 229: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

130 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

130

premis minor meskipun tanpa dukungan data di lapangan.

Kebenaran keilmuan hukum Islam yang diusung oleh empirik

Page 230: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

131 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

131

logik dimulai dengan pemikiran logis hukum Islam, kemudian

dicarikan bukti-buktinya di lapangan. Jika premis-premis yang

terdapat pada pemikiran hukum itu logis dan sejalan dengan

bukti-bukti empirik di lapangan, maka kebenarannya dapat

diterima. Kalau tidak, maka tidak dapat diterima.

Fakta empirik etik berhubungan dengan idealisasi kenyataan,

yakni kebenaran sesuatu objek dilihat dari segi faktanya secara

etis. Fakta keilmuan hukum Islam tidak sekedar membahas teori-

teori yang mendasarinya namun ditelaah juga dari sisi nilai-nilai

etis yang ada di dalamnya. Walaupun, di kalangan para pakar

terjalin perbandingan komentar apakah bidang hukum bisa

ditelaah bertepatan dengan etika ataupun tidak. Bila dilihat dari

pandangan filsafat ilmu yang mengelompokkan jajak ilmu

pengetahuan berdasar 3 jenis; ontologi, epistemologi, serta

aksiologi, hingga keilmuan hukum Islam tidak bisa dilepaskan

dari aspek nilai termasuk nilai etis.

Kebenaran fenomenologi empirik transendental ini sangat

inheren dengan keilmuan hukum Islam, suatu pengetahuan yang

berasal dan bersumber dari Allâh sebagai Syari’ (Pembuat dan

Penetap hukum). Berbeda dengan hukum positif Barat, hukum

Islam tidak dapat dilepaskan dari sifat transendental. Pada kajian

ini, transcendental tidak dipahami secara murni terlepas dari sifat

empirik sehingga fenomena yang mengemuka adalah telaah

keilmuan hukum Islam berdasar fakta hukum Islam yang bersifat

empiris yang dipadukan dengan ketentuan wahyu baik dalam al-

Qur’ân (al-wahy al-matlu) maupun Hadîts (al-wahy ghayr al-

Page 231: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

132 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

132

matlu). Melalui metode fenomenologis diharapkan kajian

keilmuan hukum Islam dapat terlepas dari kesenjangan antara

Page 232: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

133 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

133

positivisme logis dengan etos Islam, dikhawatirkan sehingga

diperlukan peran sarjana-sarjana muslim dalam rangkarekonsiliasi

nilai-nilai Islami dengan metode logika positivistik.

Keempat kebenaran yang menjadi dasar metode

fenomenologis di atas secara integral dapat digunakan untuk

menganalisis keilmuan hukum Islam dengan melibatkan

kebenaran yang diperoleh dari indera, logika, etika, dan wahyu

sebagaimana terlihat pada gambar berikut:

Sesuai dengan

Qur’an dan

Hadis (Wahyu)

Berkaitan

dengan Nilai

Etis

Produk

Hukum

Islam

Dapat Dianalisis

Oleh

Pancaindera

Logis Dan

Sejalan

Dengan Bukti

Dilapangan

Gambar: 4

Metode Fenomenologis dalam Hukum Islam

Keilmuan Hukum Islam Pada gambar di atas terlihat produk

hukum Islam dapat dihasilkan melalui metode fenomenologis

yakni harus sejalan dengan al-Qur’an dan hadits, berkaitan

dengan nilai etis, dapat dianalisis oleh panca indra, serta logis

dengan fakta dilapangan. Keempat kriteria di atas dapat terlibat

Page 233: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

134

dalam menganalisis ketentuan hukum Islam. Kemudian terdapat

beberapa prosedur analisis metode fenomenologis yang disusun

Cresswell (Rusli, 2008) yaitu:

Pertama, penelaah harus mengetahui sudut pandang filosofis

di balik pendekatan itu, terutama konsep tentang membahas

bagaimana orang menghadapi fenomena. Konsep epoché

merupakan suatu yang krusial, di mana penelaah menahan ide-ide

yang telah terbentuk sebelumnya tentang suatu fenomena untuk

mengetahuinya melalui suara-suara narasumber. Kedua, penelaah

menulis pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mempelajari arti

dari suatu pengalaman bagi seseorang dan memintanya untuk

memaparkan pengalaman hidup mereka sehari-hari. Ketiga,

penelaah lalu mengumpulkan data dari individu yang menghadapi

fenomena yang sedang diteliti. Khususnya, fakta dikumpulkan

melalui wawancara yang panjang (ditambah dengan refleksi-diri

dan deskripsi-deskripsi yang dikembangkan sebelumnya dari

karya-karya artistik) dengan informan yang terdiri dari 5 hingga

25 orang. Keempat, langkah-langkah analisis data fenomenologis

pada umumnya sama dengan semua fenomenolog psikologis yang

mendiskusikan metode-metode. Semua fenomenolog psikologis

memakai sejumlah rangkaian langkah yang sama. Rancangan

prosedur dibagi ke dalam pernyataan-pernyataan. Kemudian unit-

unit ditransformasikan ke dalam cluster of meanings (kumpulan

makna) yang diekspresikan dalam konsep-konsep psikologis atau

fenomenologis. Terakhir, transformasi-transformasi ini diikat

bersama-sama untuk membuat deskripsi umum tentang

Page 234: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

135

pengalaman, deskripsi tekstural tentang apa yang dialami dan

deskripsi struktural tentang bagaimana ia dialami. Sebagian

131 EPISTEMOLOGI;

Page 235: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

136

fenomenolog membuat variasi dari pendekatan ini dengan

memasukkan makna pengalaman personal, dengan menggunakan

analisis subyek-tunggal sebelum analisis antar-subyek, dan

dengan menganalisa peran konteks dalam prosesnya.

Laporan fenomenologis diakhiri dengan pemahaman yang

lebih baik dari pembaca tentang struktur (esensi) yang esensial,

tidak berubah dari pengalaman, sembari mengakui bahwa makna

tunggal yang utuh dari pengalaman itu eksis. Misalnya, ini berarti

bahwa semua pengalaman mempunyai struktur “mendasar”

(kesedihan itu sama entah yang dicintai itu seekor anjing

peliharaan, burung beo, atau seorang anak kecil). Seorang

pembaca laporan tersebut akan datang dengan perasaan “Saya

memahami lebih baik tentang seperti apa bagi seorang untuk

mengalami itu.”

Page 236: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

137

Page 237: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

138

133 EPISTEMOLOGI;

Page 238: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

139

Daftar Pustaka

‘Ajjaj al-Khatib, Muhammad. 1999. Ushul al-Hadits ‘Ulumuuh

w-Mustalahuh, Beirut: Dar al-Fikr.

Abbas. M. 1984. Epistemologi Bagian I Teori Pengetahuan

Diktat. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.

Abdul Gani, H. Ruslan. 1983. Sejarah Perkembangan Islam di

Indonesia. Cet. I; Jakarta: Pustaka Antar Kota.

Abdullah, Amin. 2003. “Pengembangan Metode Studi Islam dalam

Perspektif Hermeneutika Sosial dan Budaya” Jurnal

Tarjih edisi VI (LPPI-UMY dan Majelis Tarjih & PPI PP

Muhammadiyah), Juli 2003.

Abdullah, Amin. 2005. Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan

Peradaban, Yogyakarta: MTPPI dan UAD Press.

Admojo. 1998. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka

Afdol. 2006. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU

No. 3 Tahun 2006 dan Legislasi Hukum Islam di

Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: 1984. Kamus Arab-

Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir.

Ahmad. 1984. Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok

Pesantren Al-Munawwir.

Al Jabiri, Muhammad Abed. 2000. Post Tradisionalisme Islam,

Yogyakarta: LkiS.

Page 239: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

135 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

135

Al-‘Azhimy, Muhammad Musthafa. 1990. Manhaj al-Naqd inda

al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu. Riyad: Maktabat

al-Kausar. Ali, Muhammad Daud. 2005. Hukum Islam, Jakarta:RajaGrafindo

Persada.

Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum,

Jakarta: Sinar Grafira.

Al-Khatib Muhammad Ajjaj. 1989. Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa

Musthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Qaththan, Manna'. 2005. Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an

Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Al-Syuyuti, Jalal al-Din, Tadrib al-Rawi ‘ala Taqrib al-Nawawi,

ttp.: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.th.), juz II. Al-Umri, Muhammad Ali Qasim. 2000. Dirâsât fi Manhaji An-

Naqdi ‘Indal Muhadditsîn, Yordan: Dar An-Nafais. An-Na’im, Abdullah Ahmad. 1990. Toward an Islamic

Reformation: Civic liberties, Human Right and International Law, New York: Syracuse University Press.

Anshar, S. 2019. Konsep Negara Hukum Dalam Perspektif Islam.

SOUMATERA LAW REVIEW.

Anwar, S. 2017. Pendekatan Dalam Pengkajian Islam. An-Nas

Jurnal Humaniora.

Anwar, Syamsul. 2003. Kontribusi Ahli-Ahli Usul Fikih Dalam

Pengembangan Studi Hadis, Profetika, Jurnal Studi

Islam, Vol. 5, No. 1 Januari 2003.

Page 240: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

136 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

136

Arfa, F. A. 2007. Filsafat Hukum Islam. Medan: Cptapustaka

Media Perintis. Arifin, Busthanul. 1999. Membangun Ilmu Hukum Indonesia,

dalam Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia. Cet. I;

Jakarta: Universitas Yasri. Arifin, Busthanul. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia,

Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press.

Arkoun, Mohammed. 1988. “Topicality of the Problem of the

Person in Islamic Thought”, dalam International Social Science Journal, August 1988.

Atabik, Ahmad. 2010. Epistimologi Hadits: Melacak Sumber

Otentitas Hadits, Jurnal Religia Vol 11 Tahun 2010

STAIN Kudus. Azra, Azyumardi. 2003. Pendidikan Islam Tradisi dan

Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: LogosWacana Ilmu.

Bakhtiar. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bakhtiar, Amsal. 2011. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Bakti, Andi Faisal. 2000. Islam and Nation Formation in

Indonesia. Jakarta: Logos.

Burger, D. H. 1962. Sejarah Ekonomi Sosiologis. Jilid I. Jakarta:

Pradnya Paramita.

Daud Ali, Muhammad. 1984. Kedudukan Hukum Islam dalam

Page 241: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

137 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

137

Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Risalah.

Page 242: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

138 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

138

Dep. Pendidiikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Umum Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Djamil, F. 2015. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Eviyana, Eva Nur dkk. 2020. Pancasila dan tokoh pahlawan Indonesia, Prolog Nur Kholik, Integrasi Politik Islam dan Negara Di Indonesia, Yogyakarta: Bintang Pustaka

Madani.

Faisar Ananda Arfa dan Watni Marpaung. 2016. Metodologi

Penelitian Hukum Islam. Jakarta: Prenadamedia Group.

Farida, U. 2016. Polemik Penulisan Hadits : Perspektif Michael A.

Cook dalam The Opponents of the Writing of Tradition in Early Islam. Riwayah: Jurnal Studi Hadis.

Fudhaiil, Ahmad. 2012. Perempuan di Lembaran Suci “Kritik atas

Hadis-hadis Shahih”, Jakarta: Kementerian Agama

Republik Indonesia. G. Barbour, Ian. 1966. Issues in Science and Religion, New York:

Harper Torchbook.

Gazalba. 1992. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. Hamka. 1974. Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta:

Bulan Bintang.

Hanafi, Hasan, Min al-’Aqîdah ilâ as-Tsauroh, jilid ketiga tentang

‘an-Nubuwwah wa al-Mu’âd’ kenabian dan konsep eskatologi. Kairo:Maktabah Madbuli, tt.

Hartono Kasmadi, dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP

Semarang Press.

Page 243: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

138 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

138

Hasan, A. Qadir. 2007. Ilmu Mushhalah Hadith. Bandung: Diponegoro.

Hazairin. 1975. Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan

No. 1 Tahun 1974. Cet. I; Jakarta: Tintamas.

Hazairin. 1985. Tujuh Serangkai Tentang Hukum. Cet. IV; Jakarta:

Bina Aksara.

Hendrik Jan Rapar, (2002), Pengantar Filsafat, Cet 6,

(Yokyakarta: Knisius)

Honrby, AS. 1989. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of

Current English, Britain: Oxford University Press.

Hurgronje, C. Snouck. 1983. De Islam in Nederlandsch Indie, terj.

S. Gunawan. Cet. II; Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Ichtijanto S.A. 1985. Pengadilan Agama Seabagai Wadah

Perjuangan Mengisi Kemerdekaan Bangsa, dalam

Kenang-Kenangan Se Abad Pengadilan Agama. Cet. I;

Jakarta: Dirbinbapera Dep Agama RI. Idri. 2015. Epistimologi; Ilmu Pengetahuan, Ilmu Hadits dan Ilmu

Hukum Islam, Cetakan I, Jakarta : PT. Karisma Putra Utama.

Ilyas, Abustani dan Islami Ahmad, La Ode. 2011. Studi Hadis:

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, Makassar:

Alauddin Press.

Iryani, E. 2017. Hukum Islam, Demokrasi, dan Hak Asasi

Manusia. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 24-31.

Page 244: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

139 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

139

Islamil, Syuhudi, 1987. Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Penerbit

Angkasa. Ismail, M. Syuhudi. 1992. Meodologi Penelitian Hadis. Jakarta:

Bulan Bintang.

Page 245: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

140 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

140

Ismail, S. 2009. Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, cet 2, Jakarta: Bulan Bintang.

Ismail. M. Syah. 1992. Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara,

Jakarta.

Juhaya S. Praja. 1995. Filsafat Hukum Islam. Bandung: UNINUS.

Jujun. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Tata Hukum

Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka.

Kartodirdjo, Sartono. et.al. 1975. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid

II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Khallaf, A. W. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.

Khanafie Al-Jauharie, Imam. 2010. Filsafat Islam Pendekatan

Tematik, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press. Khobir, Abdul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam Landasan Teoritis

dan Praktis Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.

Kholik, Nur. 2020. Terobosan Baru Membentuk Manusia

Berkarakter Di Abad 21; Gagasan Pendidikan Holistik

al-Attas, Tasikmalaya: Edupublisher.

Koento Wibisono Siswomihardjo. 1994. ‘Ilmu Pengetahuan

Kelahiran dan Perkembangan, Klasifikasi serta Strategi

Pengembangannya’ dalam Filsafat Ilmu Dan

Perkembangannya, Ed. M. Thoyibi, Muhammadiyah

University Press Universitas Muhammadiyah Surakarta,

Surakarta.

Page 246: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

141 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

141

Liang Gie. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

Page 247: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

142 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

142

Lubis, N. A. 2015. Pengantar Filsafat Umum. Medan: Perdana

Publishing. Mardani. 2009. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum

Nasional, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 16 APRIL 2009. Minhaji, A. 2010. Antologi hukum Islam. Yogyakarta: Program

Studi Hukum Islam, Program Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga.

Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah Perkembangan Hukum Islam.

Bandung: Rosdakarya. Muhadjir, N. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yokyakarta:

Rake Sarasin.

Muhammad. 2010. Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi,

Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan). Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Muhtador, Muhammad. 2016. Sejarah Perkembangan, Metode dan

Pendekatan Syarah Hadits, Riwayah: Jurnal Studi Hadis,

Volume 2 Nomor 2 2016 UIN Sunan Kalijaga

Yokyakarta. Munawwir, A.W. 2007. Kamus Al-Munawwir Indonesia Dan

Arab, Surabaya: Pustaka Progressif. Musliadi. 2014. Epistemologi Keilmuan Dalam Islam: Kajian

Terhadap Pemikiran M. Amin Abdullah, Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Volume 13 No.2, Februari 2014.

Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan

Multidisipliner, Jakarta: Rajawali Press.

Page 248: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

143 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

143

Poedjawijatna. 1994. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta:

Rineka Cipta.

Page 249: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

144 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

144

Pramushinta, Azzimar Shidqy., Wahyuningsih, Sri Endah. 2017.

Mengenal Epistemologi Islam Dalam Perkembangan Ilmu Hukum, Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol.

12. No. 2 Juni 2017.

Qardhawi, Yusuf, 2002. Al-, Kaifa Nata’âmal ma’a As-Sunnah

An-Nabawiyyah, Kairo: Dar As-Syuruq. Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan islam, (Jakarta,

Penerbit Erlangga.

Rusli. 2008. Pendekatan Fenomenologi Dalam Studi Agama

(Konsep, Kritik dan Aplikasi). ISLAMICA. Salam, Solihin. 1964. Sejarah Islam di Jawa. Jakarta: Djajamurni.

Salam. 2000. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.

Shaffat, I. 2010. Epistemologi Keilmuan Hukum Islam. al-ahkam. Shomad, Abd. 2012. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah

dalam hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Pernada Media Group.

Silaturrahmah, Wahyuni. 2006. Epistemologi Hadis, Sunni dan Syi’ah, Yogyakarta: Tesis UIN Yogyakarta. Soepomo,

R. 1977. Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Sofyan, Ayi.

2002. Manual Training Filsafat, Jakarta: Kosmic.

Soyomukti, Nurani. 2011. Pengantar Filsafat Umum: dari

Pendekatan Historis, Pemetaan Cabang-cabang Filsafat,

Pertarungan Pemikiran, Memahami Filsafat Cinta,

hingga Panduan Berpikir Kritis-Filosofis, Jogjakarta: Ar-

RuzzMedia, 2011.

Page 250: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

145 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

145

Suhartono, S. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yokyakarta: Ar- Ruzz Media.

Sumardjan, Tjun (ed). 1991. Hukum Islam di Indonesia:

Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: Rosdakarya.

Sumbulah, Umi. 2008. Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-

Malang Press. Suminto, H. Aqib. 1986. Politik Islam Hindia Belanda . Cet. II;

Jakarta LP3ES. Supriyadi, Dedi. 2007. Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan

Jazirah Arab sampai Indonesia). Cet. I; Bandung: CV. Pusataka Setia.

Surajiyo. 2000. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia,

Jakarta: Bumi. Suriasumantri, J. S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar

Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Suryadi. 2000. Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi,

“Wacana Studi Hadis Kontemporer”, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Sya’rani, Usman. 2002. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan

Kaum Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Syahrur, Muhammad. 1992. Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah

Mu’āṣirah Kairo: Sina Publisher.

Syuhbah, Muhammad. 2009. al-Wasith fi ‘Ulum wa Musthaalah

al-Hadits, Kairo: Dar al-Fikr.

Page 251: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

146 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

146

Teba, Sudirman (ed). 1993. Perkembangan Mutakhir: Hukum

Islam di Asia Tenggara. Bandung: Mizan.

Page 252: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

147 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

147

Thalib, Sajuti. 1985. Receptio A Contrario: Hubungan Hukum

Adat dengan Hukum Islam. Cet. IV; Jakarta: Bina Aksara. Umar, Atho’illah. 2011. Budaya Kritik Ulama Hadis‛, Jurnal

Mutawatir fakultas Ushuluddin UINSA, Vol.1, No. 1,

Surabaya.

Usman, Suparman. 2001. Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Gaya

Media Pratama.

Van Melsen. 2002. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita.

Terj. K. Bertens, Jakarta: Gramedia.

Waryono, Abdul Ghofur. 2002. Epistemologi Ilmu Hadis, dalam

‘Wacana Studi Hadis Kontemporer’, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Waskito, Tejo., Kholik, Nur. 2020. Enigmatik; Revolusi

Paradigma Ke-Islaman Nahdlatul Ulama,

Tasikmalaya: Edupublisher. Ya’qub, Hamzah. 1995. Pengantar Ilmu syariat (Ilmu Hukum),

Bandung: CV. Diponegoro.

Yaqub, Ali Mustafa. 2008. Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Page 253: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

148 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

148

Tim Penulis

Miftahul Ulum. S.Th.I., M.Pd. Lahir di

Bangka, Pangkal pinang 3 Agustus 1989.

Telah menyelesaikan program studi S-1

Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakutas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan

kalijaga tahun 2009-2013, Dilanjutkan lagi pada di Program

Master of Islamic Studies Universitas Islam Indonesia (UII)

lulus pada tahun 2018, tahun 2019 penulis mengajar di

Universitas Bangka Belitung (UBB) selama tiga semester

dan pada tahun 2020 penulis mengajar di IAINU Tuban

serta menjabat sebagai anggota LPPM sampai sekarang.

Rusmin Nuryadin, A.Md.Par, S.E., M.Si.

Lahir di Desa Teke Kecamatan Belo

Kabupaten Bima 16 Juli 1973, telah

menempuh pendidikan formal pada SDN

No.1 Teke, Desa Teke Kecamatan Belo

Kabupaten Bima tamat tahun 1984, SMPN

1 Belo Kecamatan Belo Kabupaten Bima Tamat 1987, SMA

Negeri 1 Bima tamat 1990, kemudian melanjutkan studi

pada AKPARI YPAG Makassar D3 Bina Wisata tamat 1994,

setelah tamat menjadi karyawan pada usaha jasa

Pariwisata di Makassar, sambil menjadi guru SMK pada

SMIP YPAG Makassar dan beberapa SMK di kota Makassar ,

Page 254: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

149 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

149

Tahun 2000 melanjutkan kuliah pada Sekolah Tinggi Ilmu

Ekonomi (STIE-NI) NOBEL Makassar Jurusan Majamen

Page 255: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

150 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

150

tamat tahun 2003, Tahun 2004 sampai sekarang sebagai

Dosen Tetap Yayasan Pada STIPAR Tamalatea Makassar ,

dan sebagai dosen Luar biasa pada beberapa Lembaga

pendidikan Pariwisata. Tahun 2013 melanjutkan Studi

Magister pada UNHAS Makassar Jurusan Manajemen

Perkotaan tamat tahun 2016 , disamping sebagai dosen

Tetap pada STIPAR Tamalate mengajar pada beberapa

Lembaga pendidikan dikota Makassar, sebagai pengajar

aktif menjadi nara sumber pada pelatihan serta seminar

yang berkaitan dengan manajemen SDM Pariwisata dan

Tenaga Pendidik, penulis telah menulis beberapa jurnal

yang diterbitkan secara nasional serta buku tentang “Usaha

Jasa Kuliner Teori dan Praktek” ber ISBN dan Hak Paten.

Penulis sekarang aktif sebagai nara sumber pada Forum

Grup Diskusi serta seminar tentang kepariwisataan.

Sekarang Sebagai Ketua TIM Pendamping Desa Wisata

sekaligus sebagai TOT manajemen desa wisata Nasional

kerjasama Kementrian Pariwisata Ekonomi kreatif dan

Perguruan tinggi.

Drs. Habibullah Angkasa, M.Ag Lahir di

Palembang, 20 Oktober 1969. Menempuh

Pendidikan Formal Sekolah Dasar Negeri

188 di Palembang, Kemudian melanjutkan

ke Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota

Lubuklinggau Provinsi Sumatera Selatan, Selanjutnya

meneruskan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri

Page 256: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

151 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

151

Lahat Filial Kota Llubuklinggau. Pendidikan Sarjana di

tempuh pada Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah IAIN Raden

Page 257: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

146 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

146

Fatah Palembang lulus tahun 1993. Diangkat menjadi Guru

Agama di MTs Negeri 2 Kota Plembang Tahun 1996. Pada

tahun 2000 mendapat Beasiswa S2 Studi Islam di

Universitas Muhammadiyah Surakarta, melalui Program

Guru Bina Kementerian Agama RI tamat tahun 2003. Saat

ini bekerja sebagai Kasi Pendikan Madrasah pada

Kementerian Agama Kota Lubuklinggau sembari

menyelesaikan Program S3 PAI Multikultural di IAIN

Bengkulu.

Sugiharto, M.Pd.

Dr. Zarul Arifin, M.S.I. Lahir di Simpang

Empat, Kabupaten Sambas 28 April 1989.

Menyelesaikan S1 pada Program Studi

Pendidikan Agama Islam di Institut Agama

Islam Sultan Muhammad Syafiuddin

Sambas pada tahun 2012. Kemudian

melanjutkan program pascasarjana pada prodi Hukum

Islam Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah pada Tahun 2012

selesai pada tahun 2014 di Pascasarjana UIN Sunan kalijaga

Yogyakarta. Pada tahun 2016 awal masuk kuliah program

Doktoral Prodi Dirasah Islamiyah Konsentrasi Hukum

Islam di Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Selesai pada

Tahun 2019. Bertugas di fakultas Syariah Institut Agama

Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas Semenjak

Tahun 2014 Sampai sekarang.

Page 258: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

147 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

147

Baiq Ismiati, S.E.I., M.H., M.E. Lahir di

Pendem, pada tanggal 12 Mei 1994. Yang

berdomisili di Jl. Kapten Piere Tendean,

Gang Puntadewa No. 15C Wirobrajan,

Yogyakarta. Anak dari bapak H. Lalu Muhtar

dan Hj. Baiq Hilwati ini memulai

pendidikan SD di SDN Ketangga Lombok Tengah.

Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya ke MTS

Salman Al-Farisi Ketangga Lombok Tengah, sedangkan

untuk Madrasah Aliyahnya penulis menyelesaikannya di

Pondok Pesantren Nurul Hakim (MA. DI. PI. Nurul Hakim

Putri Lombok Barat NTB).

Penulis merupakan anak terakhir dari sepeluh saudara

Bapak H. Lalu Muhtar dan Ibu Hj. Baiq. Hilwati. Pada tahun

2016 penulis menyelesaikan S1 di Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jurusan Ekonomi

dan Perbankan Islam (UMY). Pada tahun 2016 bulan

September penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S2

Jurusan Hukum Bisnis Syariah Program Pascasarjana

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarta (lulus dengan predikat

Cumlaude, 2018). Tak hanya itu, pada Agustus 2017,

penulis melanjutkan kembali studi S2 Pascasarjana

Fakultas Agama Islam Universitas Islam Indonesia Jurusan

Ekonomi Islam (lulus dengan predikat Cumlaude, 2019).

Penulis merupakan salah satu dosen tetap Prodi Ekonomi

Syariah Universitas Alma Ata Yogyakarta sampai sekarang.

Page 259: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

148 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

148

Terkait dengan karya, penulis pernah menulis tentang

“Analisis Program Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

Page 260: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

149 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

149

Di Rumah Zakat Yogyakarta, Metodologi Pemikiran KH

Sahal Mahfudh Tentang Penetapan Zakat Uang Kertas,

Pengelolaan Zakat Produktif (Studi Atas Kebijakan

Pemerintah Melalui BAZNAS D.I.Y.”. Sedangkan terkait

dengan kontak, penulis dapat dihubungi di alamat email

[email protected].

Dr. Sri Wahyuni Hasibuan, M. Pd

Page 261: EPISTEMOLOGI; ILMU HADITS DAN ILMU HUKUM ISLAM

EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

150 EPISTEMOLOGI; Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum

Islam

150

SINOPSIS

Ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki karakteristik khas

yang berbeda secara fundamental dengan ilmu-ilmu yang

dikembangkan di Barat, baik landasan, sumber, sarana, dan

metodologinya. Dimana dalam Islam, ilmu pengetahuan

memiliki landasan yang kokoh melalui al-Qur’an dan Sunnah;

dari alam fisik dan alam metafisik; diperoleh melalui indra,

akal, dan hati/intuitif. Sehingga cakupan ilmunya sangat luas,

tidak hanya menyangkut persoalan-persoalan duniawi, namun

juga terkait dengan permasalahan ukhrawi.

Melalui buku ini pembaca akan lebih memahami bahwa

Islam merupakan agama yang mengatur seluruh aspek

kehidupan manusia. Namun disisi lain, tidak ada pengekangan

yang dilakukan Islam kepada pemeluknya kecuali untuk hal-

hal yang dapat merugikan manusia itu sendiri. Itulah sebabnya

mengapa hanya Islam yang diridhai Allah sebagai agama yang

haq. Disitulah hukum Islam merupakan bagian yang sangat

penting. Karena mempunyai peran besar dalam menampakkan

wajak Islam, dan sekaligus memberikan kerangka dasar

bagaimana bertindak bagi seorang muslim. Tidak hanya hal

tersebut, hukum Islam juga memberikan rambu-rambu yang

berisi ideal-filosofis sekaligus praktis-teknis. Mudah-mudahan

buku ini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan atau referensi

para mahasiswa khususnya, para dosen, serta para pengakaji

ilmu hadits dan hukum Islam pada umumnya.

Selamat membaca..!!