romly muar, m.hi - sejarah ilmu kritik hadits

25
SEJARAH ILMU KRITIK HADITS MAKALAH Oleh: M. Romli Muar (dosen STAI Raden Rakhmat, Kepanjen) No HP: 081334228030 PROGRAM PASCASARJANA STUDI AL- AHWAL AL-SYAKHSIYAH UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG Oktober 2010

Upload: fadhahmad

Post on 08-Feb-2016

61 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Ketika mempelajari hadits, maka murnikan niat untuk memelihara dan melestarikan pesan yang dibawanya. Jangan untuk komersil atau sekedar mencari sensasi seperti para Orientalis

TRANSCRIPT

Page 1: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

SEJARAH ILMU KRITIK HADITS

MAKALAH

Oleh:

M. Romli Muar (dosen STAI Raden Rakhmat, Kepanjen)

No HP: 081334228030

PROGRAM PASCASARJANA

STUDI AL- AHWAL AL-SYAKHSIYAH UIN MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG Oktober 2010

Page 2: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

2

BAB I

PENDAHULUAN

Hadits Nabi SAW. adalah petunjuk bagi umat Islam setelah al-Qur'an, yang

sekaligus merupakan penjelas utama al-Qur'an. Para pemerhati dan pemikir keislaman

yang kritis, sudah cukup lama peduli pada sumber ajaran Islam kedua ini. Sampai para

orientalispun tertarik untuk mencoba mencari titik lemah dari hadits.

Menurut Fazlur Rahman menyebutkan, bahwa secara historis Hadits Nabi SAW.

dalam rangka formalisasinya untuk dijadikan sebagai otoritas pasca al-Qur'an itu telah

mengalami evolusi. Katanya, ada tiga tahapan dalam perkembangan evolutifnya;

informal, semi formal, dan formal. (baca: kritik).

Dengan demikian, penelitian terhadap Hadits Nabi SAW. sangat perlu sekali

dilakukan, demi menjaga autentisitasnya. Hemat penulis, berbagai kajian yang dimaksud

tersebut, masih cukup sedikit yang membahas secara langsung tentang "Ilmu Kritik

Hadits ('ilm naqd al-hadits)", atau lebih tepatnya yang menggunakan term kritik. Baru

sekitar abad XIV Hijriyah pengkajian itu dilakukan secara serius. Jika dikatakan, bahwa

kritik terhadap Hadits telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. atau pada masa

kegemilangan sejarah Islam, penulis berasumsi, itu masih berupa "cikal bakal" atau

proses dari suatu kajian yang mengarah ke kritik yang sebenarnya, yakni sistematisasi,

metodologisasi atau kajian yang komprehensif dalam ulum al-hadits.

Makalah ini, tentu saja tidak menyelesaikan semua penjelasan tentang kritik

hadits. Karena itu, maksud penulis hanya sekedar (cukup) untuk memperkenalkan saja

tentang "Studi Kritik Hadits", yaitu kajian model mutakhir dari metodologi penelitian

Hadits Nabi SAW. Ini juga, lebih banyak mengambil referensi dari berbagai kitab dan

buku yang telah ada, khususnya sejak abad tersebut.

Beberapa pemerhati dan literatur yang telah membahas dan langsung

menyebutkan dengan istilah "kritik (naqd)" hadits, antara lain; Nur ad-Din 'Itr dengan

karyanya, Manhaj an-Naqd fi 'Ulum al-Hadits, Muhammad Mustafa A'zami dalam

Studies In Hadith Methodology and Literature dan Manhaj an-Naqd 'ind al-Muhadditsin:

Nasy'atuh wa Tarikhuh, Muhammad Syuhudi Isma'il dalam Hadits Nabi Menurut

Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Ali Mustafa Ya'qub dalam Imam Bukhari &

Page 3: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

3

Metodologi Kritik dalam Hadits dan Kritik Hadits, dan Dr Umi Sumbulah, M.Ag Kritik

Hadits Pendekatan Historis Metodologis.

Berawal dari merekalah pengkajian atas studi kritik ini dilakukan. Sekalipun,

kajian itu belum memberikan pemahaman yang utuh sekali. Kita akan mendapatkan

sesuatu yang agak utuh, baru dari para pengkaji dan beberapa literatur mengenai kritik

Hadits Nabi SAW. yang lebih spesifik, baik untuk sanad ataupun matan hadits.

Lebih lanjut, diantara para ilmuan ada yang telah mencoba

mengaktualisasikannya dalam pergulatan intelektual kontemporer dan menerapkannya

secara kontekstual. Antara lain; Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-

Matn 'inda 'Ulama al-Hadits an-Nabawi; Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-

Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits an-Nabawi asy-Syarif; Afif Muhammad, "Kritik

Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual atas Hadis Nabi SAW."; dan Said Agil Husein

al-Munawwar, "Urgensi Kritik Matan dalam Studi Hadits Kontemporer: Rekonstruksi

Metodologi atas Kriteria Kesahihan Hadits". Yang menjadi latar belakang makalah ini

adalah sebagai berikut :

1. Apa definisi kritik hadits itu?

2. Bagaimana Sejarah kemunculannya?

3. Siapa saja tokoh-tokohnya?

4. Apa saja kitab-kitabnya?

5. Bagaimana para ulama hadits menilai status sebuah hadits?

Page 4: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kritik Hadits

Dr. Muhammad Mushthafa al A’dzami mendefinisikan al Naqdu sebagai

berikut :

1تمييز الدراھم واخراج الزيف منھا: النقد لغة

Memisah-misahkan dirham dan mengeluarkan yang palsu darinya

Agar dapat memperluas pendefinisian, maka penulis mencoba mengembangkan

pemaknaan dari sisi lain, kata kritik sebenarnya berasal dari bahasa Yunani krites

yang berarti “a judge (seorang hakim), kata a judge bisa berarti; pertama a person

who expresses an unfavuorable opinion or something, dan kedua a person who

reviwes literacy or artistic works .2

Di sini kata “kritik” dipakai untuk menunjuk kepada kata arab an-naqd dalam

studi hadits. Dalam literatur Arab kata “an-naqd” dipakai untuk arti “kritik”,3. Kata

“an-naqd” dalam pengertian tersebut tidak dijumpai dalam al-Qur’an maupun hadits.

Namun kata yang memiliki pengertian yang sama disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu

kata tamyiz yang berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain.4

Naqd dalam bahasa ilmiah berarti penelitian, analisis, pengecekan dan

pembedaan. Selanjutnya, dalam pembicaraan umum orang Indonesia, kata kritik

berkonotasi pengertian bersifat tidak mudah percaya, tajam dalam penganalisaan, ada

uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.5 Dari tebaran arti kebahasaan

tersebut, kata kritik bisa di artikan sebagai upaya membedakan antara yang benar

(asli) dan yang salah/ tiruan (palsu).

Seiring arti di atas, seorang pakar hadits abad ketiga Hijriah, Imam Muslim (w.

261 H / 875 M) memberi judul bukunya yang mebahas metode kritik hadits dengan 1 Muhammad Mushthafa al A’dzami, Manhaju al Nqdi Inde al Muhadditsin Nasy atuhu wa Tarikhuhu,

Syirkahtu al Thaba’ah al Su’udiyah, 1982, hlm 5 2 Catherine Soanes (ed), Oxford Dictionary, Thesaurus, and Wordpower Guide, New York: Oxford

University Press, 2001, Hlm. 283. 3 A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Unit PP Al-munawwir,

2000, Hlm. 1551 4 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 5 5 Atar Semi, kritik Sastra (Bandung: Angkasa, 1987), hlm 7

Page 5: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

5

al-Tamyiz. Sebagian ulama menamakan istilah an-naqd dalam studi hadits dengan

sebutan al-jarh wa at-tadil sehingga dikenallah cabang ilmu hadits, al-jarh wa at-

tadil yaitu ilmu untuk menunjukkan ketidaksahihan dan keandalan.

dalam bahasa Indonsia, kritik berarti berusaha menemukan kekeliruan dan

kesalahan identik dengan kata “menyeleksi” yang secara leksikal memiliki arti

menyaring atau memilih.6

Sedangkan dalam arti istilah ulama Hadits, al Naqdu diartikan sebgai berikut:

7والحكم على الرواة توثيقا وتجريما, حيحة من الضعيفةتمييز ا�حاديث الص

Membedakan Hadits-hadits shaheh dari yang dhaif serta menetapkan hukum

tsiqah atau tidaknya para rawi.

Muhammad Tahir al-Jawaby sebagaimana dikutip Al Fudhaily adalah:

“Ilmu kritik hadits adalah ketentuan terhadap para periwayat hadits baik kecacatan

atau keadilannya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang dikenal

oleh ulama-ulama hadits. Kemudian meneliti matn hadits yang telah dinyatakan sahih

dari aspek sanad untuk menetukan keabsahan atau ke-dhaifan matn hadits tersebut,

mengatasi kesulitan pemahaman dari hadits yang telah dinyatakan sahih, mengatasi

kontradisi pemahaman hadits dengan pertimbangan yang mendalam”8

Adapun M. Azami memaknai kritik hadits dengan “Kemungkinan definisi

kritik hadits adalah membedakan (al-Tamyis) antara hadits-hadits sahih dari hadits-

hadits da’if dan menetukan kedudukan para periwayat hadits tentang kredibilitas

maupun kecacatannya”9 Dari beberapa pengertian kata atau istilah kritik di atas,

dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kritik hadits (naqd al-hadits) ialah

usaha untuk menyeleksi hadits sehingga dapat ditentukan antara hadits yang sahih

atau lebih kuat dan yang tidak.

B. Sejarah Kritik Hadits

1. Pada Masa Rasulullah saw dan Sahabat

Bila kita teliti dari sisi historis, maka kritik atau seleksi hadits, dalam arti

upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, telah ada dan

6 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balau Pustaka, 1996), Hlm. 965 7 Ibnu Abi Hatim al Razy, al Jarhu wa al Ta’dilu, Hidir abad, 1371 H, hlm 6 8 Ahmad Fudhaili,. Perempuan dilembaran Suci: Kritik atas Hadits-Hadits Sahih. (Yogyakarta: Pilar

media, 2005). hlm. 27 9 Ibid, Hlm. 28

Page 6: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

6

dimulai pada masa Nabi masih hidup, meskipun dalam bentuk yang sederhana.

Praktik penyelidikan atau pembuktian untuk meneliti hadits Nabi pada masa itu

tercermin dari kegiatan para sahabat yang pergi menemui atau merujuk kepada

Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar telah dikatakan oleh beliau.

Berkenaan dengan hal ini, Umi Sumbulah menyatakan bahwa:

“Jika kritik dipahami sebagai sebuah upaya untuk memilah-milah antara yang

sahih dan yang tidak, maka dapat dipahami bahwa kegiatan kritik hadits telah

ada sejak masa Rasulullah, meski disadari bahwa kegiatan tersebut masih

dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana. Pada masa ini masih dalam

bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang tidak secara langsung mendengar

secara langsung dari beliau, tetapi dari sahabat lainyang mendengarkannya”.10

Dengan demikian, para sahabat dapat secara langsung dapat mengetahui

valid dan tidaknya hadits yang mereka terima. Pada dasarnya, aktifitas tersebut

tidak dikarenakan ada kecurigaan terhadap pembawa berita bahwa ia telah

berdusta, namun kebih didasarkan bahwa berita yang berasal dari Rasulullah

memang benar-benar ada.11 Namun demikian, para ulama bersepakat bahwa

konfirmasi di era Rasulullah ini dipandang sebagai embrio atua cikal bakal

lahirnya ilmu kritik hadits, yang dalam tahap berikutnya menurut Jalaluddin Al

Suyuthi sebagaimana dikutup Umu Sumbulah menjadi salah satu dari 93 cabang

ilmu hadits.12 Praktik kritik hadits dengan pola konfirmasi ini berhenti dengan

wafatnya Rasulullah, namum buka berarti bahwa kritik hadits telah kehilangan

urgensinya.

Setelah Nabi wafat (11 H=632 M), tradisi kritik hadits dilanjutkan oleh

para sahabat. Pada periode ini, kritik hadits lebih bersifat komparatif. Tercatat

sejumlah sahabat perintis dalam bidang ini, yaitu Abu Bakar as-Siddiq (w. 13

H=634 M) dengan mensyaratkan adanya saksi yang mendukung terkait kasus

waris bagi nenek yang ditinggalkan cucunya, yang diikuti oleh Umar bin Khattab

(w. 234 H=644 M) dalam kasus salam yang dilakukan oleh Abu Musa al Asyari

10 Umi Sumbulah, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, Malang: UIN Malang Press, 2008,

Hlm. 33 11 Ali Musthafa Ya’qub, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, Hlm. 2 12 Umi Sumbulah, Op.Cit, Hlm. 37

Page 7: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

7

juga mensyaratkan untuk mendatangkan seorang saksi yang membenarkan

ucapan itu.13

Di samping kedua metode kritik di atas, pada periode ini juga

menggunakan periode kritik yang merupakan pengembangan dari metode

komparatif. Perbedaannya pada tidak hanya mengandalkan pada kekuatan hafalan

belaka, namun juga dilakukan perbandingan pada data tertulis yang ada. Diantara

para kritikus misalnya Abdullah Ibn Abbas (w. 65 H), ‘Aisyah (w. 52 H=678 M),

Abdullah bn Umar (w.83 H), Abdullah ibn ‘Amr ibn Al Ash (w. 65 H); Abu sa’id

Al Khuddzuri (w. 79 H), serta Anas ibn Malik (w. 92 H.).14

2. Pada Masa Setelah Sahabat

Pada periode pasca sahabat, mulai ditandai dengan penyebaran hadits

yang semakin banyak dan meluas, dan banyak bermunculan hadits palsu

(maudhu’). Menanggapi keadaan seperti itu, bangkitlah para ulama untuk

melakukan kritik atau seleksi guna menentukan hadits-hadits yang benar-benar

berasal dari Nabi, dan yang tidak. Sementara itu, rangkaian para periwayat hadits

yang “tersebar” menjadi lebih banyak dan panjang. Perhatian ulama untuk

meneliti matan dan sanad hadits makin bertambah besar, karena jumlah

periwayat yang tidak dapat dipercaya riwayatnya semakin bertambah banyak.

Mereka pun merumuskan kaidah dan cara untuk melakukan kritik atau seleksi

hadits.

Sejak abad kedua sampai keenam Hijriah tercatat usaha para ulama yang

berusaha untuk merumuskan kaidah kesahihan hadits, sampai kemudian para

ulama menetapkan persyaratan hadits sahih, yaitu sanadnya bersambung (sampai

kepada Nabi), diriwayatkan oleh para periwayat yang bersifat tsiqah (adil dan

dhabit) sampai akhir sanad, dan dalam (sanad) hadits itu tidak terdapat

kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat).

Para ulama’ hadits menetapkan beberapa syarat untuk menyeleksi antara

hadits-hadits yang sahih dan yang maudhu‘ para pakar hadits menetapkan ciri-ciri

hadits shahih sebagai tolok ukurnya. Tiga syarat berkenaan dengan sanad dan dua

13 Ibid, Hlm. 38-39. Lebih lanjut diungkapkan bahwa kritik terhadap hadits pada masa Abu Bakar dan

Umar tidak dalam rangka ketidakpercayaan, tapi lebih karena kewajiban moral untuk memberikan teladan kepada umat Islam. Kritik yang dilakukan lebih dipahami sebagai bentuk keteladanan yang harus di contoh, terutama dalam kaitannya dengan penerimaan dan penolakan riwayat hadits.

14 Ibid, Hlm. 40

Page 8: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

8

berkenaan dengan matan hadits.15 Subhi Shalih dan Mahmud Tahhan

mengartikan hadits dikatakan shahih apabila memenuhi beberapa kriteria

berikut:16

الحديث المسند الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط حتى ينتھي الى رسول

هللا صلى هللا عليه وسلم أو الى منتھاه من صحابي أو من دونه و� يكون شاذا و� معل6

“Hadits yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang adil lagi dlobith

(cermat) dari orang yang sama, sampai berakhir kepada Rosulullah saw. atau

kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan hadits yang syadz (kontroversial) dan

terkena illat (yang menyebabkannya cacat dalam penerimaannya).”

Dari definisi di atas dapat ditarik simpulan bahwa untuk memenuhi kriteria

keshohihan hadits, terdapat lima poin syarat yang harus dipenuhi.17

artinya setiap perowi benar-benar meriwayatkan hadits tersebut langsung اتصال السند .1

dari orang (guru) diatasnya. Begitu seterusnya hingga akhir sanad.

artinya setiap perowi adalah seorang muslim yang sudah baligh dan عدالة الرواة .2

berakal sehat yang tidak memiliki sifat fasiq serta terjaga wibawanya.

,artinya setiap perowi adalah seorang pemelihara hadits yang sempurna ضبط الرواة .3

baik menjaganya dengan hati (hafalan) maupun dengan tulisan.

artinya hadits tersebut tidak berpredikat syadz yaitu hadits yang عدم الشذوذ .4

bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqoh

(terpercaya)

artinya hadits tersebut bukan hadits yang terkena illat. Yaitu sifat samar عدم العلة .5

yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaanya, kendati secara

lahiriyah hadits tersebut terbebas dari illat.

Beberapa persyaratan di atas cukup menjamin ketelitian dan penukilan

serta penerimaan suatu berita tentang Nabi. Bahkan kita dapat menyatakan bahwa

dalam sejarah peradaban manusia tidak pernah dijumpai contoh ketelitian dan

kehati-hatian yang menyamai apa yang telah dipersyaratkan dalam kaidah

15 Syaikh Muhammad Al Ghazali, Studi Kritik Atas Hadits Nabi SAW : Antara Pemahaman Tekstual dan

Kontekstual, Penj. Muhammad Al Baqir, (Bandung: Mizan, 1993). Hlm. 25-26 16 Subhi Shalih, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, Beirut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin, 1997. Hlm.145 17 Mahmud Tahhan, 1985, Taysir Musthalah Al-Hadits, Surabaya: al-Hidayah, cet.VIII, hlm.34

Page 9: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

9

kesahihan hadits. Namun yang lebih penting lagi adalah kemampuan yang cukup

untuk mempraktikan persyaratan-persyaratan tersebut.

Seiring dengan itu, perhatian para ulama dalam menyeleksi hadits banyak

terporsir untuk meneliti orang-orang yang meriwayatkan hadits. Jadi, dapat

dikatakan bahwa studi hadits pada periode ini mengalamai pergeseran pada

periode Rasul dan Sahabat kritik hadits tertuju pada matannya, sedangkan periode

sesudahnya cenderung lebih banyak mengkaji aspek sanadnya. Hal tersebut dapat

dimaklumi karena tuntutan dan situsi zaman yang berbeda, pada periode sahabat

Nabi belum dikenal tradisi sanad, sedangkan pasca sahabat sanad dan seleksi

sanad menjadi suatu keniscayaan dalam proses penerimaan dan penyampaian

(tahammul wa al-ada) hadits.

C. Tokoh-tokoh Kritik Hadits

Ketika membaca sejarah kritik Hadits, maka jelaslah bagi kita bahwa tokoh

pertama yang meletakkan dasar-dasar konsep kritik Hadits adalah Abu Bakar r.a yang

beliau lakukan sejak masa Rasulullah saw.18

Langkah beliau dilanjutkan oleh Shahabat Umar r.a dan Ali r.a. Seiring

penyebaran Hadits, maka bermunculanlah madrasah di Madinah dan Iraq yang

membahas kritik Hadits.

Tokoh-tokoh madrasah Madinah pride pertama:

1. Said bin Musayyab

2. Ak Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar

3. Salim bin Abdillah bin Umar

4. Ali bin Husen bin Ali

5. Abu Salmah bin Abdi al Rahman bin Auf

6. Abdullah bin Abdullah bin Utbah

7. Kharijah bin Zaid bin Tsabit

8. Urwah bin Zubair bin al Uwam

9. Abu Bakar bin Abdu al Rahman bin Harits bin Hisyam

10. Sulaiman bin Yasar

Tokoh-tokoh madrasah Madinah pride kedua:

18 Dr. Muhammad Mushthafa al A’dzami, Manhaju al Nqdi Inde al Muhadditsin Nasy atuhu wa Tarikhuhu,

Syirkahtu al Thaba’ah al Su’udiyah, 1982, hlm 10

Page 10: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

10

1. Al-Zuhri (w. 124 H)

2. Yahya ibn Sa’id al0Anshari,

3. Hisyam ibn ‘Urwah

4. Sa’ad ibn Ibrahim

Tokoh-tokoh di Iraq pertama:

Di Irak kegiatan penelitian dan kritik hadits telah digalakkan pada abad pertama

hijriah, Al-Tarmidzi menyebutkan telah muncul beberapa tokoh Tabi’in yang

meneliti tentang keadaan Rijal (para perawi) hadits, seperti :

1. Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H)

2. Sa’id ibn Jubair

3. Ibrahim al-Nukha’i

4. Amir al Sya’bi

5. Ibn Sirin (w. 110 H).

Menurut Ibn Rajab, Ibn Sirin adalah ulama pertama yang tidak melakukan

kritik rijal hadits serta melakukan pemisahan antara perawi yang tsiqat dari yang

tidak tsiqat.19

Langkah-langkah mereka disusul oleh beberapa ulama di berbagai penjuru daerah

diantaranya :

1. Sufyan ibn Sa’id al-Tsauri (97 – 161 H) di Kuffah,

2. Malik ibn Anas (93 – 179 H) di Madinah,

3. Syu’bah ibn al – Hajjaj (83 – 100 H) di Wasith,

4. ‘Abd al-Rahman ibn ‘Amr al-Auza’i (88 – 158 H) di Beirut,

5. Hammad ibn Salamah (w. 167 H) di Basrah,

6. Al-Laits ibn Sa’d (w. 175 H) di Mesir,

7. Hammad ibn Zaid (w. 179 H) di Mekkah,

8. Sufyan ibn ‘Uyainah (107 – 198 H) di Mekkah,

9. ‘Abd Allah ibn al-Mubarak (118 – 181 H) dari Marw,

10. Yahya ibn Sa’id a;-Qaththan (w. 198 H) dari Basrah,

11. Waki’ ibn al-Jarrah (w. 196 H) dari Kuffah,

12. ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi (w. 198 H) dari Basrah,

19 Ibid, hlm 5

Page 11: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

11

13. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H) dari Mesir,

14. Dan lain-lain.

Dari sejumlah nama di atas, maka yang paling terkenal adalah Syu’bah, Yahya

ibn Sa’id dan ibn Mahdi.

Para ulama di atas selanjutnya melahirkan sejumlah murid yang terkenal dalam

lapangan kritik hadits, diantara mereka adalah :

1. Yahya ibn Ma’in (w. 233 H) dari Baghdad,

2. ‘Ali ibn al-Madini (w. 234 H) dari Basrah,

3. Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dari Baghdad,

4. Abu Bakr ibn Abu Syaibah (w. 235 H) dari Wasith,

5. Ishaw ibn Rahwaih (w. 238 H) dari Marw,

6. ‘Ubaid Allah ibn ‘Umar al-Qawariri (w. 235 H) dari Basrah

7. Zuhair ibn Harb (w. 234 H) dari Baghdad.

Dari para ulama yang disebutkan di atas lahir pula sejumlah ulama hadits yang

terkenal dalam bidang kritik hadits yang terkenal dalam bidang kritik hadits, dan

periode mereka bersama-sama dengan guru mereka adalah merupakan periode

puncak untuk titik kulminasi dari studi dan kritik hadits. Para ulama tersebut adalah :

1) Muhammad ibn Yahya ibn ‘Abd Allah al-Dzuhali al-Naisaburi (w. 258 H / 870

M),

2) ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Rahman al-Darimi (181 – 255 H / 797 – 896 M),

3) Abu Zur’ah ‘Ubaid Allah ibn ‘Abd al-Karim ibn Yazid al-Razi (200 – 264 H /

815 – 878 M),

4) Muhammad ibn Ism’il al-Ja’fi al –Bukhari (194 – 256 H / 809 – 869 M),

5) Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi (206 – 261 H / 821 – 875 M),

6) Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistan (w. 275 H / 888 M),

7) Ahmad ibn Syu’aib.

Setelah mereka, lahir pula kritikus hadits seperti Muhammad ibn ‘Isa ibn

Saurah al-Tirmidzi (210 – 279 H / 825 – 892 H), Ahmad ibn ‘Amr ibn ‘Abd al-

Khaliq Abu Bakr al-Bazzar (w. 292 H 905 M), Ibrahim ibn Ishaq al-Harbi (198 – 285

H / 814 – 898 M), ‘Utsman ibn Sa’id al-Tamimi al-Sijistani al-Darimi (200 – 280

H/816-893 M).20

20 Ibid, 15,16,17

Page 12: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

12

D. Urgensi Ilmu Kritik Hadits

Ada beberapa faktor yang menjadikan penelitian / kritik hadits berkedudukan

sangat penting. Menurut Syuhudi Ismail faktor-faktor tersebut adalah:

1. Hadits Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Kita harus memberikan

perhatian yang khusus karena hadits merupakan sumber dasar hukum Islam

kedua setelah al-Qur’an dan kita harus menyakininya.

2. Tidaklah seluruh hadits tertulis pada zaman Nabi. Nabi pernah melarang

sahabat untuk menulis hadits, tetapi dalam perjalannnya hadits ternyata

dibutuhkan untuk dibukukan.

3. Telah timbul berbagai masalah pemalsuan hadits. Kegiatan pemalsuan hadits

ini mulai muncul kira-kira pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi

Thalib, demikaian pendapat sebagaian ulama hadits pada umumnya.

4. Proses penghimpunan hadits yang memakan waktu yang lama. Karena proses

yag panjang maka diperlukan penelitian hadits, sebagai upaya kewaspadaan

dari adanya hadits yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.

5. Jumlah kitab hadits yang banyak dengan model penyusunan yang beragam.

Bayaknya metode memunculkan kriteria yag berbeda mengenai hadits,

terkadang kitab-kitab hadits hanya mengumpulkan /menghimpun hadits

tanpa menyebut rawi, maka hal ini perlu diteliti lebih lanjut.

6. Telah terjadi periwayatan hadits secara makna, hal ini dikhawatirkan

terputusan sumber informasinya.21

Sisi lain, banyak problem yang menimpa keotentikan hadits, mulai dari

persoalan ekternal sampai internal ahli hadits. Bermunculan aksi gugat mengugat

yang datang dari kalangan non muslim atau orientalis maupun muslim sendiri, yang

mempersoalkan keberadaan hadits. Tokoh-tokoh eksternal yang mempersoalkan

keberadaan hadits misalnya Ignas Goldziher dan Joseph Schacht, dua orientalis ini

sangat getol mengkritik hadits atau meragukan otentisitasnya.22

Adapun persoalan yang mengemukakan dari sisi internal, adalah persoalan yang

bersangkutan dari figur Nabi, sebagai figus sentral. Sebagai Nabi akhir zaman,

otomatis ajaran-ajaran beliau berlaku bagi keseluruhan umat, dari berbagai tempat,

waktu sampai pada akhir zaman, sementara hadits itu sendiri turun pada kisaran

21 Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadits Nabi.. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hlm. 7-20 22 Fazlur Rahman. Dkk. Wacana Studi Hadits Kontemporer. (Yogjakarta:.Tiara Wacana, 2002). hlm. 138

Page 13: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

13

kehidupan Nabi. Disamping itu tidak semua hadits mempuyai asbab al-wurud, yang

menyebabkan hadits bersifat umum atau khusus. Dengan melihat kondisi yang

melatar belakangi menculnya suatu hadits, menjadikan sebuah hadits kadang

difahami secara tekstual dan secara kontektual.

Keberadaan Nabi dalam berbagai posisi dan fungsinya yang terkadang sebagai

manusia biasa, sebagai pribadi, suami, sebagai utusan Allah, sebagai kepala negara,

sebagai panglima perang, sebagai hakim dan lainya. Keberadan Rasulullah ini

menjadi acuan bahwa untuk memahami hadits perlu dikaitkan dengan peran apa yang

beliau ‘mainkan’. Oleh karenanya penting sekali untuk mendudukan pemahaman

hadits pada tempatnya yang proporsional, kapan dipahami secara tekstual, kontektual,

universal, temporal, situasional maupun lokal.23 Itulah sekelumit pentingnya

mengenal ilmu penelitian/kritik hadits, hal ini akan memudahkan kita memahami

hadits, mengerti maksud dan tujuannya, serta tak kalah pentingnya kita juga bisa

menilai kualitas suatu hadits.

E. Kitab-kitab Dalam Kritik Hadits

Keberadaan sejarah ilmu kritik hadits mulai lahirnya hingga sekarang bisa dibagi

menjadi dua priode besar. Periode pertama disebut dengan masa riwayah. Setiap

hadits pada masa ini diriwayatkan dengan sanad tersendiri yang menghubungkan

penuturnya dengan pemilik perkataan tersebut, baik Nabi Saw, sahabat, atau tabiin,

dengan urutan nama-nama perawi yang disebut sanad. Pada masa yang berakhir kira-

kira abad keempat/kelima hijriah ini, sanad merupakan tulang punggung yang

menentukan validitas sebuah riwayat sehingga menjadi bagian penting dari agama.24

Buku-buku yang ditulis di masa ini pun sarat dengan sanad-sanad yang

menghubungkan para pengarang buku dengan sumber referensinya. Hal ini kita bisa

temukan misalnya pada Muwattha Imam Malik (w. 179), buku-buku Imam Asy-Syafii

23 Ibid. hlm. 139-140 24 Pembagian priode riwayah dan pasca riwayah, lalu pembagian ahli hadits menjadi Al-Mutaqaddimin dan

Al-Mutaakhirin ditegaskan oleh Dr Hamzah Al-Malyabari dalam buku-bukunya seperti Al-Muwazanah baina al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin fi Ta'lil Al-Ahaadits wa Tashhihiha (Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. Kedua, 2001). Di Damaskus, pembagian ini ditegaskan juga oleh guru hadits muda yang sangat cemerlang: Fadhilah Syeikh Riyadh bin Muhammad Salim Al-Khiraqi.

Page 14: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

14

(w. 204 H) dan Imam Ahmad (w. 224 H), Al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H),

dan buku-buku lain yang ditulis hingga masa Al-Daruquthni (w. 385 H)25.

Dari pentingnya sanad pada masa ini melahirkan perhatian dan upaya luar biasa

yang dicurahkan ulama hadits untuk mengoleksi dan memverifikasi setiap riwayat

dengan seksama, demi memastikan tertutupnya semua celah yang memungkinkan

penyusupan unsur asing yang dapat mengeruhkan kejernihan ajaran Islam. Ibn

Hibban (w. 354 H) dengan sangat indah menjelaskan upaya luar biasa ahli hadits ini

dengan berkata, “…Andai salah seorang dari ulama itu ditanya berapa jumlah huruf

dalam setiap hadits niscaya dia mampu menghitungnya. Dan andai seorang perawi

menambahkan alif atau wau ke dalam sebuah hadits, mereka akan menyingkapnya

dengan mudah dan menjelaskannya dengan ikhlas. Tanpa mereka, atsar pasti punah

dan hadits pasti hilang, dan niscaya ajaran sesat akan menyebar dan ahli bid'ah

akan meraja lela.”26 Al-Baihaqi (w. 458 H) menambahkan bahwa upaya

pengumpulan hadits di masa riwayah ini telah sempurna, “maka barangsiapa pada

hari ini meriwayatkan hadits yang tidak terdapat di -dalam buku-buku karangan-

mereka maka hadits itu tidak dapat diterima.”27

Periode kedua dinamakan dengan masa pasca riwayah. Pada periode yang

terbentang sejak berakhirnya priode riwayah hingga sekarang ini, hadits-hadits telah

terkumpul di dalam kitab-kitab sunnah yang sangat masyhur hasil upaya keras para

ulama di periode sebelumnya. Oleh karena itu, perhatian ahli hadits pada saat ini

beralih dari koleksi riwayat kepada upaya memelihara warisan ilmiah itu dengan teliti

agar tidak terjadi kekeliruan membaca (tashhif dan tahrif) yang dapat mereduksi

makna. Sanad tidak lagi urgen, minimal tidak sepenting pada masa riwayah, dan

disampaikan hanya sekedar untuk melestarikan keistimewaan umat islam yang tidak

dimiliki oleh umat lain itu. Pada periode ini juga, bermunculan buku-buku khusus

yang menjelaskan secara seksama teori seleksi riwayat dan menafsirkan makna

istilah-istilah teknis yang digunakan oleh ahli hadits dalam praktek ilmiah mereka.

Buku 'Ulum Al-Hadits -dikenal juga dengan nama Muqaddimah- karya Ibn Al-

25 Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa sanad, setiap orang bisa

berbicara sembarang keinginannya.” Sufyan Al-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata muslim.” “Shahih Muslim” (Dar Al-Salam, Riyadh, 1998) hal. 12.

26 Hamdi Al-Silafi, Al-Majruhiin min al-Muhadditsin,, Dar Al-Shamai'i, Riyadh, cet. Pertama, 2000, 1/54-55.

27 Al-Sayyid Ahmad Shaqr , Manaqib Al-Syafi'I,, Maktabah Dar Al-Turats, Cairo tt, 2/321.

Page 15: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

15

Shalah (w. 643 H) tampil menjadi rujukan terpenting sebelum kemudian karya Ibn

Hajar (w. 852 H), Nukhbat Al-Fikar dan Syarh-nya, merebut posisi bergengsi itu

beberapa abad kemudian.28

Pada masa-masa selanjutnya, bermunculan kitab-kitab baru, diantaranya buku-

buku yang ditulis khusus untuk menyebutkan nama-nama perawi yang “bermasalah”

seperti Al-Dhu'afa karya Al-'Uqaili (w. 322 H), Kitab Al-Majruhin karya Ibn Hibban

(w. 354 H) dan Al-Kamil fi Al-Dhu'afa milik Ibn 'Adi (w. 365 H), akan mendapati

bahwa setiap perawi yang dinyatakan dhaif oleh ahli hadits disebutkan juga

bersamanya bukti-bukti).” “Kitab Al-Majruhin” 1/413.

Sementara itu, jika kita beralih ke buku-buku karya ahli hadits mutaakhirin dan

kontemporer kita melihat penilaian mereka terhadap seorang perawi bertumpu kepada

referensi-referensi yang hanya memberikan penilaian global kepada setiap perawi

seperti “Taqrib Al-Tahdzib” dan “Tahdzib Al-Tahdzib” karya Ibn Hajar, juga “Al-

Jarh wa Al-Ta'dil” karya Ibn Abi Hatim. 29

Jika kita pisah dalam kategori obyek bahasan dari kitab-kitab kritik hadits, maka

dapat kita uraikan sebagai berikut :

1. Kritik Sanad

� Al Tarikh al Kabir karya Al Bukhari (w. 256 H)

� Al Jarh wa al Ta’dil karya Ibn abi Haitam al Razi (w. 328 H)

� Siyar A’lam al Nubala’ karya Utsman Al Dzahabi (w. 748 H)

� Al Kamal fi Asma al Rijal karya Abdul Al Ghani Al Maqdisi (w. 600 H)

� Al Kasyif karya Al Dzahabi (748 H)

� Al Tsiqah karya Ibn Shalih al ‘Ijli (261 H)

� Al Isabah fi Tamyiz al Sahabah karya Ibn Hajar Al Asqalani (w. 852 H)

� dll

2. Kritik Matan

� Ikhtilaf al Hadits karya Muhammad ibn Idris al Syafi’i (w. 204H)

� Ta’wil Mukhtalif al Hadits karya Ibn Qutaibah Al Dinuri (w. 276 H)

� Manhaj Naqd al Matn ‘inda ‘Ulama Al Hadits al Nabawi karya Salahuddin

Ibn Ahmad Al Dzahabi

28 Dr Nuruddin 'Itr ,Ulum Al-Hadits, atau Muqaddimah Ibn Al-Shalah, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet.

Ketiga, 2002 hal. 17. 29 Al Majruuhiin, op.cit, I/413

Page 16: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

16

� Juhud Al Muhaditsin fi Naqd Matn Al Hadits Al Nabawi Al Syarif karya

Muhammad Thair Al Jawabi

� Manhaj al Naqd ‘inda al muhaditsin karya Muhammad Musthofa Al Azami

� Assunah An Nabawiyah bayn ahl al fiqh wa Ahl al Hadits karya Muhammad

Al Ghazali.

� dll

E. Indikasi mayor dan minor sanad hadits Shahih

Kaedah mayor yang dimaksud dalam sub ini adalah penilaian Maksimal terhadap

sanad. Sedangkan kaedah minor adalah nilai minimalnya.

Unsur-unsur kaedah mayor yang berkenaan dengan sanad, dapat kami paparkan

lebih lanjut. Para ulama mutaqaddim belum menetapkan kriteria hadits shahih secara

jelas, tapi pada umumnya mereka hanya memberikan pernyataan tentang penerimaan

berita yang bisa dipegangi. Pernyataan yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

1. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits kecuali dari orang yang tsiqah.

2. Periwayat harus dilihat kualitas ibadahnya, perilaku dan keadaannya.

3. Harus mempunyai pengetahuan tentang hadits.

4. Tidak berdusta dan tidak suka mengikuti hawa nafsunya.

5. Tidak ditolak kesaksiannya.30

Kalau ditelusuri antara Bukhari dan Muslim umpamanya, tampak ketidak jelasan

kriteria yang ditetapkan. Keduanya hanya berdasar pada penelitian para ulama,

sehingga kriteria yang dipegangi oleh keduanya adalah: (1) sanadnya harus

bersambung (2) sanadnya harus tsiqah (3) terhindar dari cacat dan illat (4) sanad

yang berdekatan harus sezaman dan bertemu.31 Mengenai sanad yang berdekatan bagi

Muslim cukup sezaman, sedangkan Bukhari mengharuskan bertemu langsung,32

sehingga dapat dikatakan bahwa kriteria yang ditetapkan oleh Bukhari lebih ketat

dibanding kriteria yang ditetapkan oleh Muslim.

Pada bagian lain, ulama muthakhirin telah memberikan penjelasan yang tegas

tentang apa yang dimaksud hadis shahih, seperti yang dikemukakan oleh ibnu al-

30 Abu Muhammad bin ‘Abd. Rahman bin Abi Hatim al-Razi, Kitab Jarh Wa al-Ta’dil, Juz II, Dairat al-

Ma’arif, 1952, hlm. 27-33 31 Ibnu Hajar al-Askalani, Hadyu ak-Sari Muqaddimah Faht al-Bari’, Juz XIV,Beirut: Dar al-Fikr, tt hlm.

8-10. 32 Ibid., hlm. 12

Page 17: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

17

Shalah, yaitu: a) Sanadnya bersambung sampai kepada Nabi, b) Seluruh

periwayatannya adil dan dhabit, c) Terhindar dari Syaz dan Illat.33 Penegasan tersebut

meliputi sanad dan matan hadits.

Hal senada juga dikemukakan oleh para Muhadditsin lainnya, seperti al-Nawawi,

Mahmud Thahan, Subhi al-Saleh. Oleh M. Syuhudi Ismail semua pendapat tersebbut

disimpulkan, baik dari para ulama Mutaqqaddimin maupun dari para ulama

Mutaakhirin sebagai berikut:

1) Sanadnya bersambung

2) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabit

3) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil

4) Sanad hadis terhindar dari syuzus

5) Sanad hadis terhindar dari Illat.34

Kelima syarat ini selanjutnya oleh M. Syuhudi Ismail diperas menjadi tiga kaidah

mayor yaitu: nomor 1 sampai nomor 3, sedangkan yang keempat dan kelima

dimasukkan dalam kaidah minor, sanad bersambung dan periwayat yang dhabit.

Alasannya, bahwa penyebab terjadinya syuzus dan illat illat adalah tidak

bersambungnya sanad dan tidak sempurnanya kedhabitan, sehingga kalau meneliti

sanad bersambung dan sempurna kedhabitan para periwayat, maka syuzus dan illat

ikut didalamnya.35

Arti Syuzus, dikemukakan oleh Imam Syafi’i adalah apabila suatu hadits

diriwayatkan oleh seorang tsiqah bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh

orang banyak yang tsiqah.36 Karena itu suatu syuzus ada pada suatu hadis jika ada

pertentangan. Sedangkan illat adalah suatu sebab yang tersembunyi yang

menyebabkan rusaknya kualitas hadis,37 dimana hadis itu kelihatannya sahih, setelah

diteliti ternyata tidak shahih.

Sedangkan unsur-unsur kaidah minor yang berkenaan dengan shahih hadits

adalah sebagaimana paparan di bawah ini.

33 Lihat Ibnu Salah, Ulum al-Hadits, Madinah: al-Maktabat al-Islamiyah, 1972, hlm. 10 34 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadist Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan

Ilmu Sejarah, Jakarta; Bulan Bintang, 1988, hlm. 111 35 Ibid., h. 132-133 36 Ibid., h. 122 37 Ibnu al-Shalah, Op. cit., h. 81

Page 18: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

18

Yang menjadi dasar dalam pembahasan kaidah minor kesahihan sanad hadis

adalah kaidah mayor itu sendiri, sesuai pendapat M. Syuhudi Ismail, yaitu:

1. Sanad Bersambung

Maksudnya adalah, bahwa dalam peristiwa suatu hadis dimana sanad pertama

bersambung terus sampai akhir sanad, yakni setiap sanad terdekat dari sanad lain

harus bertemu, minimal sezaman. Untuk mengetahui bersambung tidaknya suatu

sanad hadis. Maka jalan yang harus ditempuh adalah:

a) Mencatat semua periwayat dalam sanad yang diteliti.

b) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.

c) Meneliti kata-kata yang dipakai sebagai penghubung.38

Hadits yang bersambung sanadnya disebut muttasil. Sedangkan yang sanadnya

sampai kepada sahabat disebut maukuf dan yang sampai kepada Nabi disebut

marfu’: Oleh karena itu kaedah minornya adalah: (a) Muttasil, (b) Marfu’ dan (c)

terhindar dari syuzus dan illat .39

2. Periwayat Bersifat Adil

Adil menurut pengertian bahasa adalah, tidak berat sebelah, tidak sewenang-

wenang.40 Namun dalam hal ini terdapat perbedaan di antara para muhaddisin

tentang apa yang dimaksud dengan periwayat bersifat adil. Walaupun demikian

oleh M. Syuhudi Ismail menyimpulkan dari beberapa pendapat dimaksud sebagai

berikut:

a. Beragama Islam

b. Mukallaf yang meliputi baligh dan berakal

c. Melaksanakan ketentuan agama, yang meliputi:

1) Teguh dalam agama

2) Tidak berbuat dosa besar

3) Menjauhi dosa kecil

4) Tidak berbuat bid’ah

5) Tidak berbuat maksiat

6) Tidak berbuat fasiq

38 M. Syuhudi Ismail, Kaidah, Op. Cit., h. 112 39 Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema

Insani Press, 1990), h. 77 40 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Ba;ai Pustaka,

1990), h. 6

Page 19: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

19

7) Berakhlak yang baik

8) Memelihara muruah dengan hal-hal yang dapat merusak muruah.41

Mengenai ketaqwaan seorang periwayat, menjadi kriteria umum yang meliputi

kaedah kesahihan sanad. Adapun kriteria seorang periwayat adalah dapat

dipercaya beritanya dan biasanya benar merupakan akibat dari sosok pribadi yang

telah memenuhi persyaratan di atas.42 Secara implisit telah tercakup pada empat

poin dimaksud dengan periwayat yang adil. Jika kaidah minor dari periwayat

yang bersifat adil adalah: (1) Beragama Islam, (2) mukallaf, (3) melaksanakan

ketentuan agama (4) memelihara muru’ah.

3. Periwayat Bersifat Dlabith

Secara etimologi, dlabith berarti kokoh, kuat dan tepat, mempunyai hapalan yang

kuat dan sempurna.43 Sedangkan menurut muhadditsin, dlabith adalah sikap

penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hapalannya bila hadits yang diriwayatkan

berdasarkan hapalan, benar tulisannya manakala hadits yang diriwayatkan

berdasarkan tulisan, dan jika meriwayatkan secara makna, maka ia pintar memilih

kata-kata yang tepat digunakan.44

Adapun kaedah minornya adalah sebagai berikut:

1. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya.

2. Periwayat hapal dengan baik riwayat yang diterimanya.

3. Mampu menyampaikan riwayat yang diterima dengan baik kepada orang lain

kapan saja diperlukan.45

F. Indikasi mayor dan minor matan hadis shahih

Dari ketentuan hadist Shahih seperti yang dikemukakan oleh Ibn al-Shaleh, maka

tampak adanya unsur sanad dan matan hadist di dalamnya, sebab suatu hadist

dikatakan shahih manakala shahih dari segi sanad dan matan unsur kaedah kesahehan

matan hadist dalam ketentuan dimaksud adalah terhindar dari syudzuz dan illat .

Secara etimologi Syadz berarti: jarang menyendiri, yang asing, menyalahi anturan

dari orang banyak.46 Karena itu syadz adalah suatu matan hadist bertentangan dengan

41 Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaidah, Op. cit., h. 118 42 Ibid 43 Lihat Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masriq, 1973), h. 445 44 Nuruddin Itr, Op. cit., h. 66 45 M. Syuhudi Ismail, Kaedah, Op. cit., h. 120

Page 20: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

20

matan-matan hadist lain yang lebih kuat dan mempunyai obyek pembahasan yang

sama. Sedangkan Illat berarti cacat, penyakit atau keburukan.47 Karena itu juga suatu

matan hadist yang mengandung cacat, mengurangi nilai dan kualitas hadits.

Menurut M. Syuhudi Ismail, kedua unsur itu menjadi kaedah mayor dari kaedah

kesahihan matan hadist.48 Hanya saja kaedah minornya tidak terinci sebagaimana

yang terdapat pada kaedah kesahihan sanad. Hal tersebut bukan berarti tidak ada

patokan tertentu. Yang jelas, dalam meneliti suatu matan hadist merupakan

penjabaran dari kedua unsur tersebut.

Adapun yang dapat dijelaskan patokan dalam penelitian matan hadist adalah yang

dikemukakan oleh al-Khatib Al-Bagdadi, sebagaimana yang dikutip oleh M. Syuhudi

Ismail sebagai berikut:

1. Tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkam.

2. Tidak bertentangan dengan akal sehat

3. Tidak bertentangan dengan hadist mutawatir

4. Tidak bertentangan dengan amalan yang menjadi kesepakatan ulama salaf.

5. Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.

6. Tidak bertentangan dengan hadist ahad yang kualitasnya lebih kuat.49

Di samping enam patokan di atas, M. Syuhudi Ismail menambahkan satu patokan

yaitu mempunyai susunan bahasan yang baik dan sesuai dengan fakta sejarah,50 yakni

matan hadist harus sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan tidak bertentang dengan

fakta sejarah yang ada.

Sementara itu, Shalahuddin al-Abidi mengemukakan empat macam kaedah

kesahihan matan hadist, yaitu sebagai berikut:

1. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran

2. Tidak bertentangan dengan hadist yang kualitasnya lebih kuat

3. Tidak bertentangan dengan akal sehat

4. Susunan pernyataan menunjukan ciri-ciri sabda kenabian.51

46 Lihat Louis Maluf, Op. cit., h. 379 47 Lihat Ibnu Manzur, Jamaluddin Muhammad bin Mukrimal-Anshari, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-

Mishriyah li al-Tarjamah, t. th), h. 495 48 Lihat M. Syuhudi Ismail, Loc. cit 49 Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 126 50 Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadits, Op. cit. 51 Ibid.,

Page 21: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

21

Walaupun kaedah tersebut masih bersifat umum bila dibandingkan dengan yang

dikemukakan oleh al-Khatib al-Bagdadi, namun masih nampak adanya hal-hal yang

tidak tercakup didalamnya.

Menurut jumhur Ulama, tanda-tanda matan hadist palsu adalah:

1. Susunan bahasanya rancu

2. Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan

secara rasional.

3. Isinya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam.

4. Isinya bertentangan dengan hukum alam (sunnatullah)

5. Isinya bertentangan dengan petunjuk al-Quran atau hadist mutawatir yang telah

mengandung petunjuk secara pasti.

6. Isinya bertentangan dengan sejarah

7. Isinya berbeda di luar kewajiban bila diukur dari petunjuk umum ajaran Islam.52

Jika yang menjadi tanda-tanda hadist palsu dipakai dalam menentukan kaedah

kesahehan matan hadist, maka matan hadist shahih adalah yang bertentangan dengan

hadist palsu. Dalam bahasa lain, matan hadis sahih adalah:

1. Tidak bertentangan dengan Al-Quran

2. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir dan hadis ahad yang kualitasnya

lebih kuat.

3. Tidak bertentangan dengan akal sehat

4. Tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan

5. Tidak bertentangan dengan ijma’ ulama salaf.

6. Susunan bahasanya sesuai kaedah bahasa Arab

7. Tidak bertentangan dengan fakta sejarah dan sunnatullah.

G. Contoh Kritik Sanad dan Matan Hdits

حدثنا وقيع عن ا�مش عن ابي صالح عن ابي ھريرة عن النبي : لحدثنا ابو كريب والحسين بن حريث قا

يارسول هللا فمن ھلك : قيل , كل مولود يولد على الفطرة فابواه يھودانه او ينصرانه او يشركانه: صلعم قال

هللا اعلم بما كانوا عاملينز: قبل دلك ؟ قال

52 Fazlurahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis, (Bandung: al-Ma’arif, 1995), h. 143-145 dan Ahmad

Muhammad Syakir, al-Ba’ith al-Hadits fi Ikhtisar al-Hadits, (Baeirut: Dar al-Fikr, t. th), h. 40-41

Page 22: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

22

I. Sanad

Setelah tersusun diagram transmiter sanad hadits seperti di atas, selanjutnya dikupas

satu persatu person yang ada di dalamnya. (lengkapnya; lihat Ummi Sumbulah, Kritik

Hadits, hlm 132 – 143).

II. Matan

Untuk matan, maka berlaku penelitian sebagaimana ketentuan pada sub bab

sebelumnya. (lengkapnya; lihat Ummi Sumbulah, Kritik Hadits, hlm 144 – 151).

كل مولود يولد على الفطرة: قال رسول هللا صلعم

ابو ھريرة

ابو صالح

ا�عمس

وكيع

ابو كريب الحسين بن حريث

الترمدي

عن

عن

عن

عن

حدثنا

حدثنا

Page 23: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

23

BAB III KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Kritik hadits sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad saw. Tapi masih bersifat

konfirmasi. Pada masa sahabat, berkembang menjadi bersifat konfirmasi dan

komperatif. Jadi masih bersifat kritik matan.

Pada abad kedua sampai enam baru muncul kritik sanad yang bersamaan dengan

maraknya kodifikasi hadits. Lebih lanjut, dalam perkembangannya, kritik tertumpu

pada sanad dan matan secara bersamaan. Para ulama hadits meletakkan kaedah-

kaedah untuk menyaring hadits-hadits yang beredar. Semua itu tertuju untuk menjaga

dan memelihara hadit Nabi saw.

B. Saran-saran

“Jika kita minum, maka tidak akan membuat kenyang. Jika kita makan, tidak

akan membuat hilang dahaga kita” (karangan penulis). Dimaksudkan : Segala sesuatu

yang dihasilkan dari perbuatan seseorang, adalah sesuai dengan perbuatan tersebut.

Ketika mempelajari hadits, maka murnikan niat untuk memelihara dan

melestarikan pesan yang dibawanya, jangan untuk komersil atau sekedar mencari

sensasi seperti para orientalis.

Page 24: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

24

DAFTAR PUSTAKA

Abu Muhammad bin ‘Abd. Rahman bin Abi Hatim al-Razi, Kitab Jarh Wa al-Ta’dil, Juz II, Dairat al-Ma’arif, 1952 Ahmad Fudhaili,. Perempuan dilembaran Suci: Kritik atas Hadits-Hadits Sahih. Yogyakarta: Pilar media, 2005 Ali Musthafa Ya’qub, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 Al-Sayyid Ahmad Shaqr , Manaqib Al-Syafi'I,, Maktabah Dar Al-Turats, Cairo tt A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Unit PP Almunawwir, 2000 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Catherine Soanes (ed), Oxford Dictionary, Thesaurus, and Wordpower Guide, New York: Oxford University Press, 2001 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: BaLai Pustaka, 1990) Fazlurahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis, Bandung: al-Ma’arif, 1995 Fazlur Rahman. Dkk. Wacana Studi Hadits Kontemporer. Yogjakarta:.Tiara Wacana, 2002 Hamdi Al-Silafi, Al-Majruhiin min al-Muhadditsin,, Dar Al-Shamai'i, Riyadh, cet. Pertama, 2000 Ibnu Abi Hatim al Razy, al Jarhu wa al Ta’dilu, Hidir abad, 1371 Ibnu Hajar al-Askalani, Hadyu ak-Sari Muqaddimah Faht al-Bari’, Juz XIV,Beirut: Dar al-Fikr, tt . Ibnu Manzur, Jamaluddin Muhammad bin Mukrimal-Anshari, Lisan al-‘Arab, Kairo: Dar al-Mishriyah li al-Tarjamah, t. Th Ibnu Salah, Ulum al-Hadits, Madinah: al-Maktabat al-Islamiyah, 1972 Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Masriq, 1973 Mahmud Tahhan, 1985, Taysir Musthalah Al-Hadits, Surabaya: al-Hidayah, cet.VIII,

Page 25: Romly Muar, M.HI - Sejarah Ilmu Kritik Hadits

25

Muhammad Mushthafa al A’zami, Manhaju al Nqdi Inde al Muhadditsin Nasy atuhu wa Tarikhuhu, Syirkahtu al Thaba’ah al Su’udiyah, 1982 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadist Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta; Bulan Bintang, 1988 _______________, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1990 _______________, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992 Nuruddin 'Itr ,Ulum Al-Hadits, atau Muqaddimah Ibn Al-Shalah, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. Ketiga, 2002 Subhi Shalih, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, Beirut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin, 1997 Syaikh Muhammad Al Ghazali, Studi Kritik Atas Hadits Nabi SAW : Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Penj. Muhammad Al Baqir, Bandung: Mizan, 1993 Umi Sumbulah, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, Malang: UIN Malang Press, 2008 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balau Pustaka, 1996