kajian distingtif hadits, sunnah, khabar, atsar dan hadits qudsi

Upload: ibnuasyariy

Post on 18-Oct-2015

189 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

This paper showing the result of book research about the distinction of hadith, sunnah, khabar, atsar and hadits qudsi

TRANSCRIPT

HADITS, SUNNAH, ATSAR, KHABAR DAN HADITS QUDSI (Kajian tentang Similasi dan Distingsi Terminologis serta Implikasinya dalam Kajian Pendidikan Islam)

MAKALAHDisusun sebagai tugas Ujian Akhir Semester Studi Al-Qur-an dan Al-Sunnah

Oleh:Akhid Nasrulloh

Dosen Pengampu:Dr. Asaril Muhajir, M.Ag

INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT) KEDIRIPROGRAM PASCASARJANAPROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM2014

A. PendahuluanDalam menjalankan praktek keagamaannya, umat Islam berpedoman pada dua sumber penting. Yaitu Al-Quran dan Sunnah. Keduanya merupakan wahyu Allah yang diinformasikan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat Nabi SAW sebagai petunjuk atas segala hal dalam kehidupan umat manusia.Jikalau diskursus tentang Al-Quran tidak terlalu banyak memunculkan problema, karena memang Al-Quran telah tersistematisasi dalam mushaf sejak lama, maka untuk sunnah Nabi masih terdapat beberapa permasalahan yang belum dipecahkan secara memuaskan. Terutama jika itu ditarik ke dalam ruang lingkup keilmuan tentang sunnah Nabi atau studi Hadits.Salah satu contoh yang sangat mudah ditemui adalah tentang peristilahan yang dipergunakan untuk menyebut sumber kedua hukum Islam itu. Kita sering mendengar istilah hadits, sunnah, khabar, atsar ataupun hadits qudsi. Akan tetapi kita juga sering menjumpai bahwa istilah itu sering dipertukarkan dalam penggunaannya, hingga seakan-akan tidak ada perbedaan diantara keduanya. Padahal bagaimana mungkin sebuah istilah lahir tanpa adanya konteks pemakaian? Apakah semua istilah lahir begitu saja? Terlebih ini untuk menyebut Sunnah Nabi Agung Muhammad SAW.Penjelasan akan hal ini sangat penting untuk dilakukan agar terdapat semacam pemilahan-pemilahan yang sesuai dengan konteks istilah tersebut. Terlebih jika itu dikaitkan dengan kajian dalam bidang keilmuan tertentu, pendidikan Islam misalnya, maka pembedaan ini menjadi sangat penting untuk menghindari kekaburan identitas dalam kajian. Mempertimbangkan hal tersbut di atas, setidaknya makalah ini kurang lebih akan membahas tentang beberapa hal seperti: pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi; Perbedaan Ulama tentang definisi masing-masing istilah itu; perbedaan diantara ke lima hal itu; dan Implikasi penggunaan varian istilah Hadits dalam kajian pendidikan Islam.

B. Pembahasan1. Hadits Istilah Hadis[footnoteRef:2] atau Hadits seringkali dimaksudkan untuk menunjukkan hal-hal yang terkait dengan diri Nabi Muhammad SAW, baik yang berbentuk perbuatan, sabda (perkataan), persetujuan maupun hal-hal lain yang lebih luas. Akan tetapi tidak sedikit pula yang menyebut hal itu dengan istilah sunnah. Inilah yang selalu menjadi perbincangan wajib dalam setiap literatur-literatur studi hadits. [2: Kata Hadis ini,_dengan menggunakan ejaan berakhiran huruf s, bukan ts, telah terserap ke dalam lingkup Bahasa Indonesia dengan pengertian sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad saw. yg diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam; atau bisa diartikan sumber ajaran Islam yg kedua setelah Alquran. Lihat dalam Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online 1.1]

Beberapa literatur yang membahas tentang hadits, selalu memulai mengartikan istilah Hadits dari tinjauan kebahasaan (etimologi). Barang kali ini menjadi sangat urgen mengingat bahwa setiap kata yang menjadi istilah pasti memiliki asal-usul penggunaan sebelum kata tersebut berkembang dan menyempit maknanya dalam peristilahan keilmuan tertentu. Kata Hadits (dalam teks arab: ) dalam tinjauan kebahasaan (etimologis), memiliki kemiripan arti dengan kata: yang dalam penjelasan Abdul Majid memiliki beberapa makna seperti baru (al-jiddah), lemah lembut (ath-thariy), dan bermakna berita, pembicaraan atau perkataan (al-khabr wa al-kalaam).[footnoteRef:3] Oleh karenanya dari makna khabr (berita) inilah Hasbi Al-Shiddiqiy berpendapat bahwa makna itu sering dihubungkan dengan kata tahdits yang berarti periwayatan atau ikhbar yang berarti penyampaian berita.[footnoteRef:4] Betatapun konten sebuah hadits dimodifikasi, di dalamnya tetap terdapat unsur ikhbar (mengabarkan) ataupun tahdits (mengucapkan dalam rangka memberitahukan). Penggunaan kata Hadits dalam berbagai konteks kalimat dan berbagai arti ini juga dapat dilacak dalam beberapa ayat Al-Qur-an seperti pada surat Adl-Dhuha ayat 11: [3: Lihat dalam: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), hal: 1-2] [4: TM. Hasbi Al-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hal: 1]

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan[footnoteRef:5] [5: Kata fa haddits dalam ayat tersebut dimaknai sebagai: berita, informasi yang disebarkan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Imam Jalal al-Diin Al-Mahalli dan Al-Imam Jalal al-Diin Al-Suyuthi dalam Tafsir Beliau. Penggunaan kata Hadits telah terlihat dalam beberapa bentuk yang bervariatif. Lihat: Jalal al-Diin Al-Mahalli dan Jalal al-Diin Al-Suyuthi, Tafsir al-Quran al-Adziim (--:Dar al-Fikr), Hal: 441]

Penggunaan kata Hadits tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi SAW seperti misalnya pada sabda Nabi Muhammad SAW: - - - - - - .[footnoteRef:6] [6: Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (--: Wizarah Auqof al-Mishriyyah), Juz IX hal:267, CD Maktabah Syameela: Ishdar II]

Dari Abdurrahman bin Abdulloh bin Masud dari ayahnya, dari Nabi SAW, bahwa ayahnya tersebut berkata: Abdul Razaq berkata saya mendengar Rasululloh SAW bersabda: semoga Allah memberikan cahaya pada orang yang mendengar hadits dari saya, kemudian menghafalkannya lalu menyampaikannya, maka banyak orang yang menyampaikan itu lebih hafal daripada orang yang (hanya) mendengar (HR. Ahmad)Penggunaan kata Hadits dalam beberapa ayat Al-Qur-an dan Teks Hadits tersebut pada akhirnya juga menjadi sandaran beberapa pakar hadits untuk menguatkan argumen-argumen mereka tentang terminologi hadis. Ketika segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW ini menjadi objek kajian keilmuan dalam disiplin ilmu Musthalah al-Hadits, maka terdapatlah varian definisi yang bermunculan untuk mengurai hakikat hal-hal yang datang atau disandarkan pada Nabi Muhammad SAW. Maka dalam literatur studi Hadits terdapat beberapa definisi tentang Hadits. Misalnya definisi Hadits yang diungkapkan oleh Muhadditsin (ulama hadis) seperti: Dr. Mahmud Al-Thahan:[footnoteRef:7] [7: Mahmud Al-Thahan, Taisir Mushthalahu al-Hadits (Kuwait:--, 1415 H) Hal: 17]

Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, yang meliputi perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat. Syaikh Mahfudz At-Turmusiy (Syaikh Mahfudz Termas, Pacitan) [footnoteRef:8] [8: Muh Mahfudz bib Abdillah At-Tirmisiy, Manhaj Dzawi al-Nadzr (Jeddah: al-Haramain, 1974), hal: 8]

Bahwa Hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu, yaitu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW; melainkan juga bisa berupa sesuatu yang mauquf yaitu yang disandarkan kepada shahabat dan juga bisa sesuatu yang maqtu yaitu yang disandarkan kepada tabiin Syaikh Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthi[footnoteRef:9] yang mengutip dari Syaikhul Islam Ibnu Hajar, bahwa Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam uraiannya, Imam Suyuthi memaparkan bahwa memang terjadi berbagai macam pengertian hadis. Bahkan dari macam-macam definisi tersebut terkesan meniadakan perbedaan antara istilah-istilah tersebut. Semuanya, baik itu hadits, atsar maupun maupun khabar memang memiliki sisi kemiripan. [9: Dari keterangan Imam Suyuthi,terlihat bahwa perbedaan Ulama terkait definisi Hadits telah berlangsung sejak dahulu. Keterangan lebih lengkap bisa diperiksa dalam: al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Nuzhat al-Nadzar fi Taudlihi Nukhbati al-Fikar fi Mushthalahi Ahli al-Atsar, (Maktabah Misykah: dalam CD Maktabah Syameela Ishdar II). Berikut kutipan dalam: Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996), hal: 11-12 : , , . ( 6): - - , . : - - . : , , .: - - , , : , : . : , , . : . : , , : , , .]

Akan tetapi dari kesemua definisi hadis yang telah dipaparkan di atas, walaupun ada perbedaan pemaparan, tetapi semuanya memiliki substansi yang sama, yaitu sebuah hal yang penyandarannya diarahkan kepada Nabi SAW. Selain itu titik kesamaan lainnya adalah bahwa substansi dari definisi tersebut mengarah kepada sebuah objek kajian. Dalam arti setiap definisi di atas selalu mengisyaratkan kepada sebuah hal yang disandarkan pada seseorang, yang itu menjadi objek kajian. Dan pada kenyataannya memang para ahli Hadits menggunakan redaksi ma udlifa, atau ma jaaa, ma utstsiro ilaihi dan sejenisnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa apa yang menjadi objek kajian ilmu hadits adalah sesuatu yang disandarkan, yang pada kelanjutannya memerlukan proses untuk memastikan bahwa apa yang disandarkan itu benar atau tidak, berkualitas atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, dan lain sebagainya.2. SunnahDalam tinjauan kebahasaan sunnah berarti jalan, perjalanan atau kebiasaan, baik itu positif maupun negatif.[footnoteRef:10] Dalam ayat-ayat Al-Qur-an maupun Hadits, juga sering dijumpai kata sunnah yang diartikan secara bervariatif. Seperti misalnya pada surat An-Nisa ayat 26: [10: Muhammad bin Mukarram bin Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir, tt)]

Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

Dalam ayat tersebut kata Sunnah (sunana) berarti jalan-jalan (banyak jalan), sesuai dengan arti secara kebahasaannya. Hal yang serupa juga bisa ditemui dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Jarir ibn Abdillah: [footnoteRef:11] [11: Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)]

Barangsiapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang; dan barangsiapa membuat inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa-dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang (HR. Muslim)Sedangkan sunnah menurut perspektif terminologi, terdapat beberapa definisi yang di paparkan oleh para Ulama Hadits. Ambillah contoh Ajjaj Al-Khatib maupun Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki yang menjelaskan sunnah dalam 3 sudut pandang[footnoteRef:12], yakni: [12: Sebagaimana dikutip Aqib Muslim dalam: Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian Hstoris Metodologis (Kediri: STAIN Kediri Press,2010), hal:5. Periksa Juga dalam: Muhammad Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-Hadiitsi al-Syariifi, terj. Adnan Qohar (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal: 4-5]

a. Sunnah menurut sebagian Muhadditsin: Segala apa yang dinisbatkan kepada Rasululloh baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakter fisik dan etika, ataupun kebiasaan-kebiasaan Nabi SAW baik sebelum diangkat menjadi utusan-seperti berhannuts-nya beliau di gua Hira- maupun setelah diangkat menjadi rasul.Sementara menurut Muhadditsin yang lain, Sayyid Muhammad menjelaskan bahwa sunnah itu termasuk segala sesuatu yang dihubungkan kepada para sahabat atau tabiin, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir ataupun sifat-sifatnya.[footnoteRef:13] [13: Muhammad Alwi, Al-Manhallu, hal: 4]

b. Sunnah menurut Ushuliyyin: Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur-an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang patut dijadikan dalil dalam penetapan hukum agama (syariat)c. Sunnah menurut Fuqaha: Segala sesuatu yang telah dipastikan berasal dari Nabi SAW yang bukan merupakan hal fardlu juga bukan hal yang wajibSudut pandang dalam definisi di atas sudah sangat bisa dimaklumi mengingat bahwa masing-masing ulama berangkat dari sudut pandang keilmuan masing-masing. Keilmuan Ushul Fiqh memang menuntut adanya dalil yang bisa dan layak untuk dijadikan dasar menentukan hukum. Sementara keilmuan fiqh memang memiliki peristilahan tersendiri yang itu berkaitan dengan bobot sebuah perintah (amr), apakah itu wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Sementara muhadditsin juga tidak seragam dalam memberikan definisi terhadap sunnah, meskipun pada dasarnya tetap saja memiliki substansi yang sama.Dalam sebuah perbandingan, banyak juga para ahli hadits yang mencoba menjelaskan definisi sunnah dengan menghadapkannya pada lawan kata sunnah yaitu bidah. Dengan kata lain, Sunnah adalah sesuatu yang bukan bidah. 3. KhabarSecara etimologis khabar() berarti berita. Dalam pengembangan bentuk katanya, kata khabar bisa berarti pemberitaan, baik itu berita yang benar maupun berita yang salah. Kata Khabar ini tidak seperti kata Hadits dan Sunnah yang telah dipergunakan cukup sering dalam ayat Al-Quran maupun Hadits. Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat dalam mendefiniskan Khabar. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa khabar adalah sinonim dari kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian. Di antara definisi Khabar yang beredar di kalangan Muhadditisin digambarkan secara lengkap oleh Ibnu Hajar sebagaimana sebagai berikut: : , , .: - - , , : , : . : , , .[footnoteRef:14] [14: Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996), hal: 11-12]

Syaikhul Islam (Ibnu Hajar) menuturkan dalam syarh nuhbah: khabar menurut pakar istilah merupakan sinonim dari hadits, dimana keduanya merupakan sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, Sahabat dan Tabiin. pendapat lain mengungkapkan, bahwa hadits adalah sesuatu yang berasal dari Nabi SAW sementara khabar berasal dari selain Nabi SAW. Maka dari itu ada yang menyebut bahwa orang yang berkecimpung dalam kajian sunnah disebut muhaddits, dan orang yang berkecimpung dalam bidang tarikh/sejarah dan sesamanya disebut akhbariy. Pendapat lain mengatakan dengan konsep umum-khusus, dalam arti setiap hadits adalah khabar, dan belum tentu setiap khabar itu hadits.Perbedaan dalam mengartikan khabar tersebut tampaknya masih terlihat dalam literature-literatur hadits hingga kini. Para pakar kontemporer seperti Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Manna Khalil Qatthan, hingga Subhi Shalih tetap menguraikan perbedaan definisi khabar diantara para Ulama. Hanya saja, Subhi Shalih terlihat lebih memilih konsep umum-khusus dalam membedakan Khabar dan Hadits.[footnoteRef:15] Dalam arti bahwa setiap hadits itu pasti khabar, dan setiap khabar belum tentu hadits. Karena bisa jadi khabar itu bukan bersandar pada Rasulullah SAW, akan tetapi bisa jadi mauquf atau maqtu. Hal ini mengingat bahwa khabar lebih dominan sebagai pemberitaan atau pemberitahuan, dari manapun datangnya. [15: Periksa lebih Lanjut dalam: Muhammad Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-Hadiitsi al-Syariifi, terj. Adnan Qohar (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009); Subhi Shalih, Al-Hadits wa Mushtalahuhu,; Manna Khalil Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdlol A. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), hal: 23-25 ]

4. AtsarSecara etimologi, Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa sesuatu dan berarti pula sesuatu yang dinukil (dikutip). Misalnya sering terdengar ungkapan bahwa ini tafsir bil matsur yang maksudnya adalah tafsir yang mengadopsi perkataan-perkataan atau bekas-bekas orang sebelumnya. Sedangkan atsar menurut istilah, juga memiliki perbedaan definisi diantaranya adalah apa yang dipaparkan oleh Syaikh Dahlawi sebagai berikut: [footnoteRef:16] [16: Abd al-Haq al-Dahlawi, Muqaddimah fi Ushuli Al-Hadits (Beirut: Dar al-Basyair Al-Islamiyyah,1986), cet. II, hal 34-36, CD Maktabah Syameela Ishdar II]

terkadang sebagian ulama mengkhususkan istilah hadits hanya untuk sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dan Sahabat, sedangkan sesuatu yang disandarkan kepada tabiin disebut Atsar. Terkadang istilah Atsar juga digunakan untuk menyebut sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, seperti misalnya ucapan seseorang bahwa ini doa yang matsur, yang menunjukkan bahwa itu berasal dari Nabi SAW.Ketika melihat pendapat semacam ini, maka Mahmud Thahan memetakan definisi Atsar dalam 2 hal[footnoteRef:17], yakni: [17: Mahmud, Taisir, Hal: 17]

Atsar itu sama dengan Hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW Atsar itu berbeda dengan hadits, yakni bahwa atsar merupakan sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin yang meliputi ucapan maupun perbuatan.Selain itu, ada juga yang menambahkan bahwa Atsar hanya terkhusus pada khabar yang mauquf atau maqtu. Istilah atsar bisa digunakan untuk menyebut Hadits jika disertai keterangan bahwa itu adalah hadits Nabi SAW. misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan: atsar ini dari Nabi SAW, maka berarti hal ini adalah hadits.

5. Hadits QudsiySecara etimologi kata Qudsiy merupakan bentuk nisbah dari kata Quds yang mempunyai arti bersih atau suci. Jikalau Quds berarti Suci, maka ketika mendapat rangkaian huruf ya nisbah menjadi berarti: yang berhubungan dengan hal yang suci atau disucikan. > = Hadits Qudsi merupakan varian lain dari hadits yang berasal dari Nabi SAW. Secara terminologis, pengertian hadits qudsi yang telah disepakati Muhadditsin adalah bahwa Hadits Qudsi merupakan setiap hal yang diriwayatkan oleh Nabi SAW dari Tuhan Yang Maha Agung. Demikian yang diungkap dalam Syarh Arbain Nawawi. : Akan tetapi terdapat perbedaan di kalangan Muhadditsin terkait lafadz (redaksi) Hadits Qudsi. Perbedaan tersebut berangkat dari pertanyaan mendasar: apakah hadits qudsi itu kalam Allah dalam arti makna dan lafadznya dari Allah sebagaimana Al-Quran- ataukah makna (substansi) tersebut diwahyukan oleh Allah, kemudian Nabi SAW sendiri yang memformulasikan redaksinya? Menanggapi pertanyaan ini, para Ulama (semoga Allah merahmati mereka) berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa seluruh komponen dalam hadits qudsi yang meliputi makna dan lafadz berasal dari Allah SWT. Karena pada kenyataannya, Nabi SAW meriwayatkan hadits tersebut dengan menyandarkannya kepada Allah SWT seperti sabda beliau . Ini menunjukkan bahwa lafadz maupun makna Hadits tersebut dari Allah SWT. Apalagi pada kenyataannya Nabi SAW adalah manusia yang paling dapat dipercaya dan kuat riwayatnya. Tidak mungkin beliau mengungkapkan itu dengan tanpa arti dan maksud. Pendapat kedua seakan memberikan bantahan terhadap pendapat yang pertama. Para Ulama ini menyatakan bahwa lafadz hadits qudsi merupakan lafadz Nabi SAW, sedangkan maknanya dari Allah SWT. Hal ini dikarenakan oleh beberapa alasan, yakni: Jikalau hadits Qudsi dikatakan bahwa lafadz dan maknanya dari Allah SWT, maka berarti hadits Qudsi memiliki mata rantai sanad yang lebih tinggi dari Al-Quran. Karena semua tahu bahwa hadits Qudsi diriwayatkan Nabi SAW dari Allah SWT dengan tanpa perantara Malaikat Jibril. Sementara Al-Quran disampaikan kepada Nabi SAW melalui malaikat Jibril. Jikalau hadits Qudsi dikatakan bahwa lafadz dan maknanya dari Allah SWT, maka akan tidak ada bedanya antara hadits Qudsi dan Al-Qur-an yang sama-sama Kalam Allah. Padahal Al-Quran telah memiliki kekhususan dan keistimewaan seperti: bernilai ibadah bagi yang membacanya, harus suci sebelum menyentuhnya, terjaga dari campur tangan manusia dan lain sebagainya.Menanggapi hal ini, maka yang diunggulkan adalah pendapat yang kedua yakni bahwa lafadz hadits Qudsi merupakan lafadz Nabi SAW sementara maknanya berasal dari Allah SWT. Contoh Hadis Qudsi misalnya: - - - - . .[footnoteRef:18] ) ( [18: Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)]

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad, beliau bersabda, Allah Azza wa Jalla berfirman, Puasa itu untukku, dan Aku yang akan memberikan ganjarannya, disebabkan seseorang menahan syahwatnya dan makannya serta minumnya karena-Ku, dan puasa itu adalah perisai, dan bagi orang yang berpuasa dua kebahagiaan, yaitu kebahagian saat berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya, dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah, daripada bau minya misk/kesturi

6. Substansi Perbedaan Hadits dan SunnahIstilah hadits dan sunnah memang sering dianggap muradif (bermakna sama) oleh para Muhadditsin. Hal ini dikarenakan hadits dan sunnah bermuara pada pusat yang sama yaitu Nabi SAW. Maka dalam hal ini mereka menganggap bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari dua istilah yang berbeda kata itu. Akan tetapi Muhadditsin yang lain menganggap bahwa secara teknis terdapat perbedaan antara Hadis dan Sunnah. Golongan yang menganggap adanya perbedaan ini tidak memandang kesamaan muara hadis dan sunnah, akan tetapi mereka lebih tertuju kepada substansi hadits dan sunnah.Dalam keterangan Rifat Fawzi, sebagaimana dikutip oleh Dzikri, bahwa distingsi (perbedaan dan pembedaan) antara Hadits dan Sunnah telah muncul sejak abad ke-2 Hijriyah (sekitar tahun 100 Hijriyah dan seterusnya).[footnoteRef:19] Menurutnya, ada dua teori yang menyebabkan munculnya distingsi tersebut muncul; pertama, perbedaan pandangan bahwa hadis merupakan sesuatu yang bersifat teoritis, sedangkan sunnah lebih bersifat praktis (amaliy); kedua, asumsi sebagian ulama yang memandang sunnah lebih umum dari hadis. Penyandaran sunnah tidak hanya kepada sabda, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW semata (marfu), tetapi juga kepada sahabat (mawquf) dan tabiin (maqthu), sementara hadis, penyandarannya hanya kepada Nabi saw. (marfu).[footnoteRef:20] [19: Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadis Dalam Wacana Studi Islam: Telaah Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3 No.1 Maret 2012] [20: ibid]

Hal inilah yang kemudian menarik para sarjana muslim seperti Fazlur Rahman untuk mengurai perbedaan antara Hadits dan Sunnah. Dalam Pandangan Rahman, Sunnah merupakan sesuatu yang telah dipraktekkan sehari-hari oleh Nabi yang kemudian ditirukan oleh para sahabat, tabiin dan seterusnya. Baginya, sunnah merupakan praktek-praktek nyata dari apa yang yang diverbalisasi oleh Nabi dalam hadisnya. Rahman menyebut Sunnah sebagai practical tradition (kebiasaan yang dipraktekkan).[footnoteRef:21] [21: Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin M (Bandung: Pustaka, 1984), hal: 69]

Maka jika demikian tentu dapat dipahami dengan mudah perbedaan antara sunnah dan hadis. Sunnah lebih menekankan kepada perilaku tampak atau kebiasaan yang dipraktekkan Nabi SAW dan diikuti umatnya, seperti misalnya Nabi sedang Shalat, Nabi sedang bertutur kata, Nabi sedang menyuapkan makanan untuk fakir miskin dan sejenisnya. Sedangkan istilah hadis lebih tertuju kepada sebuah istilah teknis keilmuan untuk menyebut periwayatan tentang apa yang ada pada diri Nabi SAW. Buktinya, dalam setiap definisi Hadits, selalu didapatkan kata maa adloofa, maa udliifu, atau maa yudloofu yang itu menunjukkan penyandaran atau klaim. Karena itu hanya penyandaran atau klaim, maka dalam studi hadits dipelajari tentang apakah sebuah hadits itu benar-benar sampai kepada Rasululloh SAW atau terputus sanadnya, apakah hadits itu shahih atau hasan atau dlaif dan kajian lain yang sejenis. Inilah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Hadis selalu berkaitan dengan kajian keilmuan terhadap sunnah-sunnah Nabi SAW. Dalam pandangan Akib, Hadits lebih terkait dengan unsur-unsur seperti matan[footnoteRef:22], rawi[footnoteRef:23], sanad[footnoteRef:24] dan sesamanya.[footnoteRef:25] Ketika seseorang menyebut Hadits, maka akan tertuju pada sebuah verbalisasi atau hasil tangkapan sahabat terhadap apa yang terjadi pada diri Nabi SAW yang itu kemudian diriwayatkan dalam sebuah mekanisme yang melibatkan rowi, konten matan maupun sanad. Dengan bahasa sederhana, penulis menyimpulkan bahwa sunnah itu sesuatu yang berada di alam nyata, sementara hadist itu sesuatu yang berada di alam ide, hasil rekaman tajam panca indra sahabat. Dan tampaknya asumsi ini senada dengan apa yang telah dijelas oleh Al-Imam Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa orang yang berkecimpung dalam mengkaji sunnah disebut sebagai Muhaddits.[footnoteRef:26] [22: Matan adalah isi dari sebuah hadits.] [23: Rawi adalah orang yang meriwayatkan Hadits, orang yang menyampaikan hadits hingga sampai kepada kita. ] [24: Sanad adalah silsilah atau rantai periwayatan mulai dari rawi yang pertama hingga terakhir.] [25: Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian Historis Metodologis (Kediri: STAIN Kediri Press,2010), hal: 19-22] [26: Periksa lebih lanjut dalam: Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996), hal: 11-12]

Berikut merupakan tabel untuk memudahkan melihat distingsi (perbedaan) antara sunnah dan hadits:IstilahPenyandaran(dialamatkan kepada..)BentukKeberadaan

SunnahNabi SAW, akan tetapi bisa juga sahabat, tabiin dan lainnyaPractical Tradition (Perilaku tampak yang dipraktekkan)Berada di alam nyata, dan bisa disaksikan

HaditsNabiBentuk Verbal dari perilaku tampak yang dipraktekkan tersebutBerada di alam ide, yang merupakan hasil rekaman tajam para sahabat

7. Perbedaan dan persamaan antara Hadits, Khabar, Atsar dan Implikasinya dalam kajian IslamPerdebatan para Ulama terkait peristilahan yang terkait Hadits memang telah terjadi. Mereka mendefinisikan Sunnah, Hadits, Khabar maupun Atsar dalam perspektifnya masing-masing. Akan tetapi jika melihat definisi yang diuraikan, sebenarnya ada benarnya apa yang diungkapkan oleh Hasbie Ash-Shiddiqiy, bahwa perbedaan definisi itu tidak prinsipil.[footnoteRef:27] Dalam arti perbedaan-perbedaan seputar apakah istilah itu sama atau berbeda diantara yang lain hanyalah berbeda sudut pandang yang tidak sampai mengarah pada kerancuan penyebutan objek. Misalnya ketika seseorang mengatakan ini hadits, ini khabar, atau ini atsar, maka tentu yang dimaksud adalah sesuatu yang berhubungan dengan Nabi SAW, kecuali jika terdapat keterangan bahwa itu memang bukan dari Nabi SAW. Dan memang pada kenyataannya, dalam literature-literatur Islam klasik penyebutan istilah itu disamakan atau dipertukarkan satu sama lain. [27: TM Hasbie Ash-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997), cet 1.]

Perbedaan penyebutan istilah di kalangan Ulama menurut penulis lebih disebabkan karena masing-masing kata tersebut memang memiliki makna yang layak untuk menyebut sebuah berita yang diklaim datang dari Nabi SAW. Misalnya kata Hadits yang berari omongan atau pembicaraan; atau kata khabar yang berarti kabar atau berita; atau kata atsar yang berarti bekas atau sisa memang kesemuanya itu layak untuk menyebut sesuatu yang berhubungan dengan Nabi SAW. Walaupun demikian adanya, kita juga tetap perlu mempertimbangkan konsep keumuman dan kekhususan istilah tersebut, sebagaiman dinyatakan dalam pemaparan terdahulu. Maka konteks ini menurut penulis, hal yang penting dilakukan adalah adanya qoyyid atau penjelasan dari manakah riwayat itu berasal. Dalam kaitannya dengan kajian keIslaman maupun terkhusus pada kajian pendidikan Islam, perbedaan penyebutan istilah tersebut memang bisa jadi berpotensi menimbulkan kerancuan, terutama pada terma hadits dan sunnah. Hadits dan Sunnah memiliki perbedaan yang cukup jelas, yang jika itu disamakan maka bisa jadi akan menimbulkan ketidakjelasan dalam kajian. Karena hadits lebih terkait dengan seperangkat formula matan, sanad dan rowi yang itu merupakan hasil tangkapan panca indra, sedangkan sunnah lebih kepada apa yang dipraktekkan oleh Nabi SAW. Asumsi lain dari penulis, kajian dalam hadits hanya berkutat pada hasil-hasil periwayatan verbal, baik itu dari lisan maupun dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Ulama penghimpun hadits. Sedangkan dalam kajian sunnah lebih luas lagi, karena selain mengkaji hadits sebagai verbalisasi dari sunnah juga mengkaji aspek lain yang tidak terdapat dalam formulasi hadits seperti misalnya konteks sejarah (historisitas), situasi sosial budaya ketika sunnah tersebut berlangsung dan lain sebagainya. Maka dengan demikian bukan tidak mungkin bahwa kajian sunnah akan mampu mengungkap dan memotret secara lebih utuh fenomena yang terjadi pada masa Nabi SAW.C. Kesimpulan1. Dalam mendefinisikan Hadits para Ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi; atau sahabat; atau tabiin. Akan tetapi, pada pembahasan ini disimpulkan bahwa Hadits adalah sesuatu yang dikaitkan dengan Nabi SAW yang berupa bentuk verbal (periwayatan).2. Sunnah lebih menekankan kepada Practical Tradition (kebiasaan yang dipraktekkan), yakni meliputi praktek-praktek yang dilakukan Nabi SAW dan ditirukan oleh sahabat, tabiin dan orang-orang setelahnya.3. Khabar merupakan bentuk umum dari sesuatu yang diriwayatkan. Maka dalam hal ini, Ulama berbeda pendapat tentang sandaran khabar yang bisa mengarah ke marfu, mauquf atau maqtu. Sedangkan Atsar, juga mengalami hal yang sama dengan khabar.4. Hadits Qudsi adalah hadits yang oleh Rasululloh disandarkan kepada Allah SWT. Dalam arti, Rasululloh meriwayatkan hadis tersebut dari Allah SWT. dalam pada itu Ulama berselih paham tentang lafadz dan makna Hadits Qudsi. Ada yang menyatakan bahwa lafadz dan makna hadits qudsi semuanya dari Allah. Dan ada pula yang mengatakan bahwa lafadz hadis qudsi merupakan lafadz Nabi SAW, sedangkan maknanya dari Allah SWT.5. Sunnah dan Hadits meskipun banyak Ulama yang mengatakan murodif, namun menurut beberapa pakar dapat ditemukan sisi perbedaannya. Sunnah lebih menekankan kepada praktek (perilaku tampak) yang dilakukan NabiSAW, sementara Hadits lebih mengarah kepada verbalisasi atau hasil periwayatan yang mengandung unsur-unsur teknis keilmuan seperti sanad, rawi dan matan.6. Perbedaan antara Hadits, Khabar dan Atsar tidak terlalu signifikan, hanya saja beberapa Ulama menyetujui konsep umum-khusus dalam penggunaan istilah tersebut. Perbedaan yang cukup signifikan justru terjadi pada Hadits dan Sunnah seperti yang telah diungkapkan di atas. Perbedaan antara hadits dan sunnah tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi fokus dalam kajian Islam. Para pengkaji yang ingin mengkaji Sunnah berarti dia harus mengkaji apa yang dipraktekkan oleh Nabi selama hidupnya lengkap dengan konteks sosial budaya dan sejenisnya pada masa itu. Sementara bagi para pengkaji Hadits, hanya berkutat pada sistematika periwayatan sunnah-sunnah Nabi yang meliputi Matan, rawi, sanad dan sesamanya.

D. Bibliografi Jalal al-Diin Al-Mahalli dan Jalal al-Diin Al-Suyuthi, Tafsir al-Quran al-Adziim. --:Dar al-FikrAbu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (--: Wizarah Auqof al-Mishriyyah, CD Maktabah Syameela: Ishdar IIMahmud Al-Thahan, Taisir Mushthalahu al-Hadits. Kuwait:--, 1415 H Mahfudz bib Abdillah At-Tirmisiy, Manhaj Dzawi al-Nadzr (Jeddah: al-Haramain, 1974al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Nuzhat al-Nadzar fi Taudlihi Nukhbati al-Fikar fi Mushthalahi Ahli al-Atsar, (Maktabah Misykah: dalam CD Maktabah Syameela Ishdar II).Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996Muhammad bin Mukarram bin Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir, ttAbu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian Hostoris Metodologis (Kediri: STAIN Kediri Press,2010Muhammad Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-Hadiitsi al-Syariifi, terj. Adnan Qohar (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996Subhi Shalih, Al-Hadits wa Mushtalahuhu,; Manna Khalil Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdlol A. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004Abd al-Haq al-Dahlawi, Muqaddimah fi Ushuli Al-Hadits (Beirut: Dar al-Basyair Al-Islamiyyah,1986Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadis Dalam Wacana Studi Islam: Telaah Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3 No.1 Maret 2012Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin M. Bandung: Pustaka, 1984TM Hasbie Ash-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra,199719