ilmu hadits riwayah

Upload: arum-wulandari

Post on 16-Oct-2015

153 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

iu

TRANSCRIPT

ILMU HADITS RIWAYAH, DIRAYAH, DAN CABANG CABANG ILMU HADITSMAKALAH(Diajukan sebagai satu tugas Mata Kuliah Ilmu Hadits)

Disusun oleh:

Arum WulandariKusmawanDadan

Dosen :

PRODI FISIKAFAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGIUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG2014

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur seraya kita penjatkan kepada Alloh swt, karena atas curahan dan limpahan rahmat serta karuniaNya lah kita semua bisa beraktifitas menjalankan semua tugas kita. Sholawat beserta salam semoga selamanya tercurah limpahkan kepada jungjunan kita semua yaitu Nabi Muhammad saw, serta keluarganya, sahabatnya, tabiin tabiatnya serta kita semua selaku ummatnya aamiin ya Robbal Alamin. Setelah penulis memanjatkan puji serta syukur serta sholawat, penulis sengaja menyusun makalah ini untuk di ajukan sebagai tugas mata kuliah Ilmu Hadits di Sekolah Tinggi Agama Islam ( STAI ) Al Maarif Ciamis, dengan harapan dapat bermanfaat baik bagi diri pribadi penulis maupun untuk semua rekan rekan civitas akademik, dan lebih umumnya untuk semua yang membaca makalah ini. Penulis menyadari bahwa sebagai menusia biasa tentunya tidak terlepas dari kesalahan dan kehilafan terutama dalam penyajian materi atau pun penulisan makalah ini, untuk itu, penulis sangat berharap bagi siapa saja yang menemukan kesalahan pada makalah ini, mohon untuk bisa memeberitahukan kepada penulis serta mengembalikan kepada kebenaran yang sesungguhnya. Akhirnya penulis menyerahkan semua urusan kepada Alloh, karena hanya kepadaNya lah kita semua harus berserah diri.

Minggu, 23 maret 2014

( penulis )

BAB IPENDAHULUAN

1.1Latar Belakang MasalahSebagai sumber pokok ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran, hadits mempunyai peran dan fungsi menentukan dalam kehidupan umat Islam. Kehadiran hadits dalam kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam Al-Quran tidak didapatkan penjelasan yang rinci dalam suatu persoalan. Hadits yang menjadi penjelas atau bayan Al-Quran sangatlah dibutuhkan dalam memahami tekstual Al-Quran. Makanya eksistensi hadits dengan tidak menafikan derajat hadits seiring dengan sumber pokok Islam tersebut. Mengenai kedudukan Hadits dalam tertib hukum Islam, As-Suyuti dan Al-Qasimi berkomentar secara rasional dan tekstual sebagai berikut: Al-Quran bersifat (Qathil wurud), sedang hadits bersifat (Zhannil wurud). Karenanya yang (qathi) harus didahulukan daripada yang (Zhanni). Hadits berfungsi sebagai penjabaran Al-Quran. Hal ini berarti kedudukan yang menjelaskan setingkat dibawah yang menjelaskan. Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan bahwa hadits kedudukannya setelah Al-Quran. Hal ini dapat dilihat pada dialog Rasulullah dengan Muadz bin Jabal. Nabi bertanya: Dengan apa kau putuskan suatu perkara? Muadz menjawab: Dengan kitab Allah. Jika tidak ada nashnya, maka dengan sunah Rasulullah.. Kalau Al-Quran sebagai wahyu dan berasal dari sang Pencipta, maka hadits berasal dari hamba dan utusanNya. Karenanya sudah selayaknya jika yang berasal dari sang Pencipta lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba utusanNya. Kehadiran hadits sebagai sumber pokok ajaran islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi boleh atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah. Terlepas dari itu, perbedaan sahabat dalam memahami hadits pun menjadi hal yang penting untuk ditelaah lebih lanjut, karena perbedaan pemahaman tersebut mengakibatkan periwayatan pun menjadi berbeda. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab suatu hadits diperselisihkan oleh para ulama tentang kehujjahannya. Hadits merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al Quran, akan tetapi keaslian matan sebuah hadits tidak ada jaminan secara langsung baik dari Alloh maupun dari Rosululloh sendiri, beda halnya dengan Al Quran yang keasliannya mendapat jaminan dari Alloh. Oleh karena itu, kita selaku ummat islam harus selektif terhadap teks teks yang dikatakan hadits apakah itu sohih, hasan atau bahkan doif. Untuk menyekesi hadits tersebut maka kita perlu mengetahui ulumul hadits.Diantara sebahagian dari ulumul hadits ada ilmu hadits dirayah. Berangkat dari permasalahan di atas, maka dalam makalah ini akan di bahas sedikit tentang ilmu hadits dirayah.1.2Rumusan MasalahApa pengertian Hadits Riwayah?Bagaimana macam-macam Hadits Riwayah?Pengertian ilmu hadits dirayah dari berbagai pandangan para ulama hadits dan cabang dari ilmu hadits dirayah?

BAB IIISIA. Ilmu Hadis RiwayahMenurut bahasa riwayah berasal dari kata rawa-yarwi-riwayatan yang berarti annaql = memindahkan dan penukilan. Sedangkan ilmu hadits riwayah menurut istilah sebagaimana pendapat Dr. Subhi Asshalih adalah : ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat serta segala segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin (Subhi Asshalih, Ulumul Haditshal. 107)Menurut Syaikh Manna A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits: sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari segi periwayatannya secara detail dan mendalam. Faidahnya: menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam periwayatannyaSementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.Adapun kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.Jadi jelaslah, dari definisi diatas kita dapat menarik beberapa point , yaitu : Objek Ilmu Hadits Riwayah adalah matan atau isi hadits yang disandarkan kepada Nabi, Sahabat dan Tabiin. Ilmu Hadits Riwayah mempelajari periwayatan yang mengakumulasikan apa, siapa dan dari siapa suatu riwayat. Fokus kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Matan Hadits. Namun tidak mungkin ada matan tanpa disertai Sanad Hadits. Sedangkan Ilmu Hadits ialah seperangkat kaidah yang mengatur tentang anatomi dan morfologi hadits. Pengolahan anatomi hadits disebut Ilmu Hadits Riwayah, dan pengolahan morfologi hadits disebut Ilmu Hadits Dirayah. Dua bidang ilmu itu bergerak terus, dan berkembang sesuai kebutuhan, untuk menformatisasikan isi hadits Nabi kepada lokasi atau kepada perkembangan masyarakat. Ilmu Hadits Riwayah ialah studi hermeneutika atas teks hadits atau informasi tentang ungkapan isi hadits Nabi dari berbagai segi. Kitab Kuning mengulas masalah ini dengan sebutan Syarah Hadits, dan Hasyiyah atau Taliqat. Semua berkaitan dengan ilmu kalam, ilmu fiqh dan atau ilmu lainnya.Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam (Suriah). Dalam sejarah perkembangan hadis, az-Zuhri tercatat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah Umar II (memerintah 99 H/717 M-102 H /720 M).Meskipun demikian, ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulunah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.Kehadiran hadits sebagai sumber pokok ajaran islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi boleh atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah. Terlepas dari itu, perbedaan sahabat dalam memahami hadits pun menjadi hal yang penting untuk ditelaah lebih lanjut, karena perbedaan pemahaman tersebut mengakibatkan periwayatan pun menjadi berbeda. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab suatu hadits diperselisihkan oleh para ulama tentang kehujjahannya. Perbedaan pemahaman hadits yang dilakukan para sahabat antara tekstual dengan kontekstual melahirkan apa yang disebut dengan Hadits Riwayah Bil-lafdzi dan Hadits Riwayah Bil-mana.1. 1. HADITS RIWAYAH BIL-LAFDZIMeriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut:1. (Saya mendengar Rasulullah saw)Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka. (HR. Muslim dan lain-lainnya)2. (Menceritakan kepadaku Rasulullah saw)Artinya: Telah bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Siapa yang beramadhan dengan iman dan mengharap pahala, dihapus doasa-dosanya yang telah lalu.3. (Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah saw)4. (Saya melihat Rasulullah saw berbuat)Artinya: Dari Abbas bin Rabi ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu. (HR. Bukhari dan Muslim).Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan hadits. Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf.1. 2. HADITS RIWAYAH BIL-MANAMeriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya.Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.Adapun contoh hadits manawi adalah sebagai berikut:1. Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi saw, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Al-Quran. Maka Nabi saw berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Al-Quran.Dalam satu riwayat disebutkan:Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Quran. Dalam riwayat lain disebutkan: Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Quran. Dan dalam riwayat lain disebutkan: Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Quran. (Al-Hadits)1. Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadits dengan maknanya itu sebagai berikut: 1. Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadits, ahli fiqh dan ushuliyyin.2. Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu.3. Diperbolehkan, baik hadits itu marfu atau bukan asal diyakini bahwa hadits itu tidak menyalahi lafadz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hadits itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.4. Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafadz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.5. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadits itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafadz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafadz dengan murodifnya.6. Jika hadits itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadits mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:- Hanya pada periode sahabat- Bukan hadits yang sudah didewankan atau di bukukan-- Tidak pada lafadz yang diibadati, umpamanya tentang lafadz tasyahud dan qunut.B. Ilmu Hadist Dirayahilmu hadits Dirayah, menurut bahasa dirayah berasal dari kata dara-yadri-daryan yang berarti pengetahuan. Maka seringkali kita mendengar Ilmu Hadits Dirayah Disebut-sebut sebagai pengetahuan tentang ilmu Hadits atau pengantar ilmu hadits.Menurut imam Assyuthi, Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.Disebut dengan juga ilmu Musthalahul Hadits undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan al-Hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.Obyek Ilmu Hadits Riwayah : meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Menurut sebagian ulama, yang menjadi obyeknya ialah Rasulullah SAW sendiri dalam kedudukannya sebagai Rasul Allah. Faedahnya atau tujuan ilmu ini : untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadits dan selanjutnya untuk diamalkannya yang maqbul dan ditinggalnya yang mardud.Ulama hadits berbeda dalam memberikan definisi ilmu hadsit dirayah, meskipun dari berbagai definisi itu ada kemiripan batasab-batasan definisi. Ilmu hadits dirayah adalah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayahkan, apakah bisa diterima atau ditolak.Ibn Akfani berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang dapat mengetahui hakikat riwayah, syarat-syarat, macam-macam dan hokum-hukumnya, ilmu yang dapat mengetahui keadaan para rawi, syarat-syarat rawi dan yang diriwayahkannya serta semua yang berkaitan dengan periwayahannya.Ulama lain berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu undang-undang yang dapat mengetahui keadaan sanad dan matan. Definisi ini lebih pendek dari definisi di atas. Sedangkan definisi lain sebagaimana di sebutkan ibnu hajar, definisi paling baik dari berbagai definisi ilmu hadits dirayah adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat memperkenalkan keadaan-keadaan rawi dan yang diriwayahkan.Berbagai definisi di atas banyak kemiripan, pada dasarnya semua definisi itu sama yakni pengetahuan tentang rawi dan yang diriwayahkan atau sanad dan matannya baik juga berkaitan dengan pengetahuan tentang syarat-syarat periwayahan, macam-macamnya atau hukum-hukumnya.Istilah lain yang dipakai oleh ulama ahli hadits terhadap ilmu hadits dirayah adalah ilmu ushul al-hadits. Pada mulanya pembahasan yang menyangkut ilmu hadits dirayah sangat beragam. Kemudian muncullah beberapa ilmu yang bertalian dengan kajian analisis dan semuanya terangkum dalam satu nama, yakni ilmu hadits. Munculnya berbagai ilmu tersebut diakibatkan banyaknya topik tentang hadits dirayah tersebut dengan tujuan dan metodenya berbeda-beda. Berikut di antara ilmu-ilmu yang bermunculan dari berbagai ragam topik ilmu dirayah;1. Ilmu Jarah Wa Al-TadilIlmu ini membahas para rawi, sekiranya masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafad-lafad tertentu. Ini adalah buah ilmu tersebut dan merupakan bagian terbesarnya.1. Ilmu Tokoh-Tokoh HaditsDengan ilmu ini dapat diketahui apakah para rawi layak menjadi perawi atau tidak. Orang yang pertama di bidang ini adalah al-bukhari (256 H). dalam bukunya thabaqat, ibn saad (230 H) banyak menjelaskannya.1. Ilmu Mukhtalaf Al-HaditsIamam Nawawi berkata dalam kitab al-Taqrib, ini adalah salah satu disiplin ilmu dirayah yang terpentinng. Ilmu ini membahas hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan, namun ada kemumkinan dapat diterima dengan syarat. Jelasnya, umpamanya ada dua hadits yang yang makna lahirnya bertentangan, kemudian dapat diambil jalan tengah, atau salah satunya ada yang di utamakan.Misalnya sabda rasulullah SAW, tiada penyakit menular dan sabdanya dalam hadits lain berbunyi, Larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari singa. Kedua hadits tersebut sama-sama shahih. Lalu diterapkanlah jalan tengah bahwa sesungguhnya penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi allah SWT menjadikan pergaulan orang yang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularan penyakit.Di antara ulama yang menulis tentang ilmu mukhtalaf al-hadits adalah imam syafiI (204 H), Ibn Qutaibah (276 H), Abu Yahya Zakariya Bin Yahya al-Saji (307 H) dan Ibnu al-Jauzi (598 H).1. Ilmu Ilal Al-HaditsIlmu ini membahas tetentang sebab-sebab tersembunyinya yang dapat merusak keabsahan suatu hadits. Misalnya memuttasilkan hadits yang mungkati, memarfukan hadits yang maukuf dan sebagainya. Dengan demikian menjadi nyata betapa pentingnya ilmu ini posisinya dalam disiplin ilmu hadits.1. Ilmu Gharib Al-Haditsilmu ini membahas tentang kesamaran makna lafad hadits. Karena telah berbaur dengan bahasa arab pasar. Ulama yang terdahulu menyusun kitab tentang ilmu ini adalah abu hasan al-nadru ibn syamil al-mazini, wafat pada tahun 203 H.1. ilmu Nasakh Wa Al-Mansukh Al-Haditsilmu nasakh wa al-mansukh al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang hukumnya tidak dapat dikompromikan antara yang satu dengan yang lain.yang dating dahulu disebut mansukh (hadits yang dihapus) dan yang datang kemudian disebut nasikh (hadits yang menghapus).Pengetahuan ilmu tentang nasikh mansukh ini merupakan ilmu yang sangat penting untuk dan wajib dikuasai oleh seorang yang akan mengkaji hokum syariat. Sebab tidak mungkin bagi seseorang yang akan membahas tentang hokum syarI sementara ia tidak mengenal dan menguasai ilmu tentang nasikh mansukh.Al-hazimi berkata: disiplin ilmu ini (nasikh mansukh) termasul kesempurnaan ijtihad. Karena, rukun yang paling penting dalam beriitihad adalah pengetahuan tentang penulilan hadits, dan sedangkan faidah dari pengetahuan tentang penikilan adalah pengetahuan tentang nasikh dan mansukh.Nasikh adalah yang menghapus atau membatalkan. Kadang-kadang nasikh ini di lakukan oleh nabi sendiri, seperti, sabdanya, Aku pernah melarang ziarah kubur, lalu sekarang berziarahlah, karena itu akan mengingattkanmu pada akhirat.Pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurahman bin Khalad Ramahumuzi (w.360 H)Pokok pembahasan ilmu dirayah itu dua, yaitu :1. rijal al-sanad 2. jarah-tadil. Dari pembahasan dua ulasan itu muncul penilaian, bahwa suatu matan hadits dinilai shahih, atau hasan atau dlaif. Kata penilaian seperti itu biasa disebut Mushthalah al-Hadits. 1. 1. Rijal al-Sanadsering disebut riwayat perawi al-hadits, yaitu untaian informasi tentang sosok perawi yang menceritakan matan hadits dari satu rawi kepada rawi yang lain, sampai pada penghimpun hadits. Informasi itu menceritakan setiap rawi, dari segi kapan dia lahir dan wafatnya, siapa guru-gurunya, kapan tahun belajarnya, siapa murid-murid yang berguru kepadanya, dari daerah mana dia, kedatangan dia ke seorang guru kapan, dalam keadaan sehat, atau campur aduk kata-katanya (ikhtilath), atau dalam periwatan hadits terdapat illat (cacad) bagi perawi, atau bagi matan hadits, dan begitulah seterusnya.Dari satu segi, persyaratan perawi hadits adalah muslim, aqil-baligh, kesatria (adalah) dan kuat ingatan (dlabith), baik dlabith imgatan atau dlabit catatan Sedangkan cara penyampaiannya bisa menggunakan pendengaran teks dari guru kepada murid, murid membaca teks di depan guru, ijazah, timbang terima teks dari guru ke murid, tulisan guru yang terkirimkan, pengumuman guru, wasiat, dan penemuan tulisan guru oleh murid (wijadah). Semua bisa dikembangan dengan teknologi sekarang, seperti konsep dlabith bisa ditambah dengan catatan, atau website, atau sms dan sebagainya..Tingkatan perawi hadits pertama adalah shahabat Rasulullah Saw. yaitu seseorang yang pernah bertemu Rasulullah Saw. dalam keadaan hidup, sadar dan beriman (Islam) sampai dia wafat dalam keadaan Islam.Teknik penulisan matan hadits, sanadnyadimulai dari penyebutan sahabat Nabi, tabiin, tabi al-tabiin dan murid-muridnya, sampai guru perawi hadits yang ditulis oleh penghimpun hadits. Semua penyajian seperti itu biasanya ditulis oleh ulama mutaqaddimin dalam kitab karangannya masing-masing. Sedangkan penulisan ulama mutaakhirin dalam kitab-kitabnya hanya menyebutkan sahabat Nabi dan nama penghimpun matan hadits itu saja, seperti sebutan : Rawahu al-Bukhari dari Ibn Umar dan sebagainya. Penyajian seperti itu, baik penyajian ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhrin.1. 2. Jarah-tadiladalah unsur ilmu hadits yang penting dalam menentukan perawi hadits, diterima atau ditolak matan haditsnya. Dengan kata lain hadits Nabi dinilai shahih atau tidak, didasarkan pada penilaian itu. Dari segi lain, klasifikasi tingkat tinggi-rendahnya nilai hadits pun, ditentukan oleh unsur itu juga. Atas dasar itu, hampir semua kitab Ulum al-Hadits, baik karya ulama mutaqaddimin atau mutaakhirin, selalu membahas jarah tadil.Kitab-kitab yang membahas jarah-tadil banyak sekali, dengan metoda dan penyajian materi yang berbeda-beda. Tokoh yang pertama kali memperhatikan jarah tadil sebagai ilmu, adalah Ibn Sirin (w.110 H), Al-Syabi (w.103 H), Syubah, (w.160 H), dan al-imam Malik (w. 179 H.). Sedangkan tokoh yang pertama kali menulis kitab jarah-tadil adalah Yahya ibn Main (168-223 H), Ali ibn al-Madini (161-234 H), dan Ahmad ibn Hanbal (164-241 H). Kemudian bermunculan kitab-kitab yang menulis jarah tadil.Jarah tadil pada dasarnya diangkat dari ayat-ayat al-Quran, antara lain ayat 6 Suratal-Hujurat, dan beberapa hadits Nabi Saw. Kemudian pemahaman terhadap ayat dan hadits itu dikongkritkan oleh ahli hadits untuk dijadikan sebagai konsep jarah tadil. Kemudian konsep itu diterapkan pada setiap orang yang akan menceritakan hadits Nabi. Sebenarnya, pekerjaan itu sudah dilakukan oleh pengamal hadits sejak dari zaman Rasulullah, zaman sahabat Nabi, dan ulama berikutnya. Tetapi gagasan itu baru dinormatifkan sebagai ilmu hadits, pada zaman tabiin, seperti tersebut di atas.Jarah tadil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat dan tabiatnya adalah berkembang. Tetapi sesudah karya Ibn Hajar al-Asqallani, kitab yang muncul berikutnya hanya mengutip apa adanya, sehingga tidak ada komentar baru. Tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk mengolah jarah-tadil menjadi sebuah ilmu yang berkembang.Pengembangan jarah tadil berangkat dari dua kelompok pembahasan, yaitu :1. berangkat dari unsur rawi (pembawa hadits) dan unsur takhrij (metoda pengeluaran predikat jarah atau tadil pada seorang rawi yang ada dalam sanad).2. unsur dalil unsur penilaian. Yaitu unsur alasan ditetapkannya jarah atau tadil kepada seorang rawi, dan unsur norma-norma penilaian jarah atau tadil itu sendiri. Dua kelompok itulah merupakan pilar utama dalam bangunan Ilmu Hadits Dirayah.Secara rinci, fokus pengembangan jarah tadil tersebar berdasarkan dua pemilahan.1. Pemilahan matan hadits, seperti hadits akidah, hadits hukum, hadits muamalah, hadits sosial, hadits kepribadian, dan sebagainya.2. Pemilahan rawi dari segi jarah atau tadil berdasarkan jenjang kaidahnya, sehingga muncul pengkelompokkan ulama pemikir jarah tadil menjadi ulama mutasyaddidin, ulama mutawassithin, atau ulama mutasahilin. Semua itu berangkat dari penilaian mereka terhadap rawi, sehingga ada rawi yang disepakati jarahnya, ada yang disepakati adilnya, dan yang paling banyak adalah ualam yang diikhtilafkan penilaian jarah dan tadilnya. Atas dasar itu, jarah-tadil dapat diterapkan pada konteks yang berbeda-beda.Selain itu, Ilmu Hadits Dirayah juga mengolah matan hadits, dari segi penawaran beberapa metoda yang diperlukan oleh Ilmu Hadits Riwayah. Model-model pengolahan itu banyak sekali, tetapi dalam tulisan ini hanya disajikan dua model saja, yaitu matan hadits dan kebudayaan,atau mekanisme matan hadits.Matan hadits dan kebudayaan terdiri atas tiga masalah, yaitu (1) bentuk-bentuk hadits Nabi meliputi hadits qudsi, hadits nabawi bukan qudsi, jawami al-kalim, hadits dzikir dan doa, hadits riwayat bi al-makna, dan aqwal al-shahabah. Semua dikutip untuk dikembangkan, setelah ditafsirkan oleh para ulama dalam bentuk kitab. Penafsiran ulama dalam kitab-kitab itu disebut format hadits Gambarannya adalah sebagai berikut :1. Matan Hadits Nabi dan kebudayaan (Format dan formatisasi oleh matan hadits)Format hadits dinilai agama, sedangkan kehidupan masyarakat dinilai budaya, maka penerapan hadits kepada masyarakat disebut formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi kepada masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh hadits itu. Unsur penerapan formatisasi ada lima, yaitu :1. Penyusun konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan format hadits . 1. Nasikh Mansukh fi al-Hadits.2. Misi format baik verbal atau non-verbal yang memiliki nilai, norma, gagasan, atau maksud yang dibawakan oleh format hadits.3. Alat atau wahana yang digunakan oleh penyusun konsep, untuk menyampaikan pesan formatisasi kepada masyarakat.4. Halayak atau komentator yang menerima formatisasi dari penyusun konsep,5. Gambaran atau tanggapan yang terjadi pada penerima format setelah melihat formatisasi. Unsur ini tetap diperlukan untuk melihat perkembangan formatisasi.Teori nasikh-mansukh diterapkan, ketika ada dua hadits yang isinya kelihatan bertentangan, dan susah dijadikan istinbath sebagai dalil hukum. Teori ini dikembangkan oleh Ilmu Ushul Fiqh ketika membahas hadits sebagai dalil hukum. Contohnya seperti sabda Rasulullah Saya melarang kamu sekalian tentang ziarah ke kuburan. Maka ziarahilah ke kuburan, karena itu mengingatkan kamu ke akhirat. Riwayat Malik, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi dan al-Nasai.Hampir semua kitab Dirayah Hadits membahas tentang nasikh-mansukh. Tokoh yang pertama kali menulis Dirayah tentag ini adalah Qatadah ibn Diamah (w.118 H), tetapi kitab itu tidak dicetak sampai sekarang. Disusul oleh kitab Nasikh al-hadits wa mansukhuh karya Al-Atsram (w. 261 H), disusul lagi oleh kitab Nasikh al-Hadits wa Mansukhuh karya Ibn Syahin (w. 386 H). Tetapi kitab yang banyak beredar adalah Al-Itibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar karya Abu Bakar al-Hamdzani (w. 584 H).1. 3. Asbab Wurud al-Hadits.Teori ini membahas tentang latarbelakang datangnya sebuah haditsyang diterima oleh seorang rawi (shahabat). Pembahasan ini sama seperti ungkapan Ilmu Asbab al-Nuzul dalam Ulum al-Quran. Dalam kaitan ini, wurud al-hadits juga banyak membahas persesuaian (munasabat) antara satu matan hadits dengan matan hadits yang lain. Tokoh yang pertama kali membahas tentang Asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hafsh al-Ukburi (w. 468 H). Tetapi kitab yang lebih lengkap adalah Al-Bayan wa al-Tarif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif karya Ibn Hamzah al-Dimasyqi (w. 1120 H).Nasikh-Mansukh dan Asbab Wurud al-Hadits adalah dua teori Ilmu Hadits Dirayah yang berdekatan sasaranya, dan saling menunjang dalam penerapan makna. Nasikh-Mansukh dalam hadits tidak dapat diketahui tanpa melihat Wurud al-Hadits lebih dahulu. Hadits yang datang pertama disebut mansukh, dan hadits berikutnya disebut nasikh. Dua teori itu banyak dibahas oleh kitab-kitab Ulum al-Hadits.Jika nasikh-mansukh dan wurud al-hadits hanya diolah dengan pendekatan tekstualis, seperti filosofis, atau yuridis, tologis saja, maka ilmu hadits tidak dapat berkembang. Salah satu model pengembangan masalah ini adalah menggunakan pendekatan interdisipliner, atau ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Setidaknya ada dua sistem nilai yang diterapkan pada makna hadits yang berinteraksi, baik interaksi antara hadits dengan hadits, atau hadits dengan kasus yang melingkari. Dua sistem itu adalah sistem internal dan sistem eksternal (maa fi al-hadits dan maa haul al-hadits). Sistem internal adalah semua sistem nilai yang dibawakan oleh sebuah hadits, ketika ia diterapkan pada satu makna, atau pada maksud hadits yang dituju. Nilai itu terlihat ketika hadits itu diberi interpretasi seperti nilai akidah, hukum fiqh, akhlak, nasihat, doa dan sebagainya. Dalam istilah lain, sistem internal mencakup juga pola pikir, kerangka rujukan, struktur kognitif, atau juga sikap, yang dikandung oleh matan hadits.Sedangkan sistem eksternal terdiri atas unsur-unsur yang ada dalam lingkungan di luar isi matan hadits. Lingkungan itu, termasuk struktur yang mendorong munculnya matan hadits, atau kejadian yang melatarbelakangi tampilnya sebuah hadits, atau jawaban Rasulullah yang muncul karena pertanyaan sahabat. Lebih dari itu, pemecahan sebuah hadits yang ditulis oleh seorang perawi pun bisa diterima berdasarkan latarbelakang munculnya pemecahan itu.Ulama pertama yang membukukan ilmu hadis dirayah adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, al-Muhaddis al-Fasil bain ar-Rawi wa al- wa iz (Ahli Hadis yang Memisahkan Antara Rawi dan Pemberi Nasihat). Sebagai pemula, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap. Kemudian muncul al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Marifah U1um al-Hadis (Makrifat Ilmu Hadis).

C. Cabang-cabang Ilmu HadistMenurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:1. IImu Rijalil HadisIlmu yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari sahabat, tabiin, maupun dari angkatan sesudahnya. Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi penerima hadits dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis.Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudu. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata -kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan.Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadits disebut Mutalif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. Ini dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Musytabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat.1. 2. Ilmul Jarhi Wat TakdilIlmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah: Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. Ilmu Jarhi wat Tadil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang dari Nabi dan mana yang bukan.Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat.Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat.Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadits ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H).Di antara tabiin ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadits, adakalanya karena me- rafa-kan hadits yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya Al Jarhu wat Tadil karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy.1. 3. IImu Illail HadisIlmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis. Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang mauqu memasukkan satu hadits ke dalam hadits yang lain dan yang serupa itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadis.Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalus-halusnya. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.Menurut Syaikh Manna Al-Qaththan bahwa cara mengetahui illah hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mutal (ada illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada illat pada hadits tersebut maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih .Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.1. 4. Ilmun nasil wal mansuhilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya.Apabila didapati suatu hadits yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadits tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadits yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadits itu dinamai Mukhatakiful Hadits. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh.Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mamuh ini, diantaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H)1. 5. Ilmu Asbabi Wuruddil HadisIlmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menurunkan itu. Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits adalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadits, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran. Disamping itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang Pertentangan. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Tarif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H.1. 6. Ilmu Talfiqil HadisIlmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits-hadits yang isinya berlawanan.Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyaknya yang terjadi. Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.1. 7. Ilmu Fannil Mubhammatilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad. Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.Perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al-Asqallanni dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.1. 8. Ilmu Ghoriebil HaditsYang dimaksudkan dalam ilmu haddits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits yang dalam matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut. Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya Al-Faiqu fi Gharibil Hadits karya Imam Zamakhsyary1. 9. Ilmu Tashif wat TahrifYaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).1. 10. Ilmu Tawarikhir RuwahIlmu tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggap kapan mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya, perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan per haditsan. Kitab Tawarikhir Ruwah yang terkenal At-Tarikhul-Kabir karya Imam Bukhary dan Tarikh Baghdad karya Imam Al Khatib Baghdady.1. 11. Ilmu Thabaqotur RuwahIlmu yang pembahasannya diarahkan kepada kelompok orang-orang (rawi) yang berserikat dalam suatu alat pengikat yang sama.Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya Thabaqatur Ruwah karya Al Hafidz Abu Amr Khalifah Bin Khayyath Asy Syaibany.1. 12. Ilmu Tawarikhul MutunIlmu yang menitik beratkan kapan dan dimana atau di waktu apa hadits itu diucapkan atau peebuatan itu dilakukan Rasulullah saw. Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya Mahasinul Ishthilah karya Imam Sirajuddin Abu Hafsh Amar Bin Salar Al-Bulqiny.1. 13. Ilmu Mukhtaliful HaditsIlmu yang membahas hadits hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, untuk dikompromikan, sebagaimana halnya membahas hadits hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikat-hakikatnya.Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya Musykilul Hadits wa Bayanuhu karya Abu Bakr Muhammad Bin Al Hasan (Ibnu Furak) Al Anshary Al Asbihany.

A. PENGERTIAN PERIWAYATAN DAN HADIST1. Pengertian PeriwayatanRawi menurut bahasa berasal dari kata riwayah yang merupakan bentuk mashdar dari kata kerja rawa-yarwi, yang berarti memindahkan atau meriwayatkan. Bentuk plural dari rawi adalah ruwat. Jadi rawi adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seorang.Secara devinisi, kata Riwayah adalah kegiatan penerimaan atau penyampaian hadist, serta penyandaran hadist itu kepada rangkaian periwayatannya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadist itu pada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai seorang yang telah mnelakukan periwwayatan hadist. Demikian pula halnya dengan orang menyampaikan hadist yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika ia menyampaikan hadist itu, ia tidak menye butkan rangkaian para perawinya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist.[1]Hadist Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya Shahih Al Bukhariy dan Shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayat al hadist atau al riwayat, yang dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan hadist atau periwayatan sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa juga disebut dengan riwayat.Menurut istilah ilmu hadist yang dimaksud dengan Al riwayah ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist serta penyadaran hadist itu pada kepada rangkaian para riwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyapaikan hadist itu kepada o rang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwaytan hadist. Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadist yang telah di terimanya pada orang lain. tetapi ketika orang menyapaikan hadist itu dia tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatn hadistPara ulama pun sependapat menetapkan, bahwa seorang perawi yang tiada mempunyai ilmu yang dalam mengenai lafadz-lafadz hadist, madlul-madlulnya dan maksud-maksudnya, dan tiada mempunyai pengetahuan mengenai hal-hal yang memalingkan mana hadist, tidak mempunyai pengetahuan tentang kadar-kadar perbedaan, tidak boleh meriwayatkan hadist dengan mana. Wajiblah ia menunaikan persis seperti lafadz yang ia dengar dengan tidak memotong barang sekalimat, tidak mengganti barang selafadz jua.Demikian menurut nukilan Ibnush shalah dan An-Nawawi.Mengenai para ahli, yakni mereka yang mempunyai ilmu yang dalam tentang hal-hal tersebut, maka para ilama berselisihan faham atas beberapa pendapat:a.Tidak boleh.inilah pendapat segolongan ulama hadist, fuqoha dan Ushuliyin. Diantara yang tidak membolehkan :Ibnu sirien,Tsalab,Abu BakarbAr Razi,Perawi-perawi itu haruz meriwayatkan persis sebagaimana lafadz yang ia dengar.b.Boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadist marfu. Mengenai hadist marfu,tidak boleh. Ini lah pendapat malik menurut nukilan Al Khalil ibn Ahmad dan A; Baihaqi dalam Al Madkhal.c.Boleh kita meriwayatkan dengan makna, baik mengenai hadist marfu maupun mengenai hadist lain, apabila diyakini bahwa hadist itu menunaikan makna lafadz yang didengar. Inilah yang ditunjuki oleh sikap sahabat dan ulama salaf . mereka sering meriwayatkan sesuatu riwayat dengan bermacam-macam lafadz[2].Golongan ini berdalil dengan hadist yang meriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Kabier dan diriwayatkan oleH Ibnu mandah dalam kitab Marifaus sahabat dari Abdulllah bin Sulaiman ibn Aktsam Al Laily ujarnya : : . : .Artinya :Saya berkata : ya rasulullah, saya mendengar dari pada enkau sesuatu hadist, saya tiada sanggup menunaikannya sebagai yang saya dengar, mungkin bertambah sehuruf, atau kurang sehuruf.maka bersabdalah Nabi S. A. W. : "Apabila kamu tiada menghalalkan yang haram dan tiada mengharamkan yang halal dan sesuai dengan makna yang dimaksud, maka hal itu dibolehkan.Abdullah menerangkan yang demikian kepada Al Hasan Al Bishry. Maka Al Hasan berkata : .Artinya : Sekiranya tak ada keterangan ini, tentulah kita tiada meriwayatkan hadist.Di antara dalil yang paling kuat, ialah: ijma salaf muslimin untuk membolehkan kita mensyarahkan syariat kepada orang yang tidak mengetahui bahasa arab. Maka apabila boleh kita mensyarahkan dengan bahasa yang lain dari bahasa arab, tentulah dengan bahasa arab lebih boleh lagi.Demikian penegasan Syaikhul Islam Ibn Hajar Al Astqolani.d.Boleh, jika si perawi tidak ingat lagi akan lafadz yang ia telah dengar. Jika masih ia ingat lafadz asli tidak dibolehkan.e.Boleh mengganti lafadz, asal dengan lafadz yang murodif baginyaf.Boleh, jika hadist itu mengenai ilmu, seperti itiqad. Jika mengenai amal, tidak dibolehkan.Menurut pentahqiq-kan Ibn Arabi dalam Ahkamul Quran, bahwa Khilaf yang telah tersebut ini hanya berlaku di massa sahabat. Adapun bagi yang selain dari sahabat, maka sudah terang tidak di bolehkan mereka mengganti lafadz dengan lafadz, walaupun memenuhi makna.Dan khilaf ini tidak berlaku pada lafadz-lafadz hadist yang sudah didewankan. Karena itu, tidak boleh kita merubah suatu lafadz dari suatu kitab,walaupun kita berhak mengolah lafadz namun sama sekali kita tidak mempunyai berhak sedikitpun merubah susunan seorang orang (perawi)[3].B. MENELITI PRIBADI PERIWAYAT 1. Kaidah Kesahihan Sanad Sebagai Acuan Untuk meniliti hadist, diperlukan acuan. Acuan yang digunakan adalah kaidah kesahihan hadis bila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawatir.Benih-benih kaedah kesahihan hadis telah muncul pada zaman Nabi dan zaman sahabat Nabi. Imam asy-syafii (wafat 204 H/820 M), imamn Al-Bukhari, imam muslim dan lain-lain telah memperjelas benih-benih kaidah itu dan menerapkanya pada hadis-hadis yang mereka teliti dan mereka riwayatkan. Kemudian ulama pada zaman berikutnya menyempurnakan benih-benih kaedah itu kedalam rumusan kaedah yang selanjutnya, kaedah itu baerlaku sampai sekarang.Sahabat-sahabat Rasul SAW. Dan pemuka-pemuka tabiin mengetahui isi Al-Quran dengan sepenuhnya. Mereka dengan segera mengikuti segala awamir dan menjauhi segala nawahi. Apabila mereka mengetahui sesuatu dari sunnah Rasul mereka bersegera mengajarkannya kepada orang lain dan menyampaikannyauntuk memenuhi tugas wajib, menyampaikan amanah dan untuk mencari Rahmat.Dengan demikian segeralah hadit-hadist itu tersebar dikalangan umat. Maka apabila hadist itu terlupa oleh seseorang, tetap ada orang yang masih menghafalnya.Akan tetapi mereka sangat berhati-hati dalam menerima hadist. Mereka tidak menerimanya dari siapa saja. Mereka mengetahui ada hadist yang menghalalkan dan ada hadist yang mengharamkan. Jalan untuk itu, yakin atau dhan yang kuat. Karena itu mereka memperhatiakn rawi dan marwi.dan mereka tidak membanyakkan penerimaaan hadis, sebagai mana pula tidak membanyakkan riwayat[4]. Dimana salah seorang ulama hadis yang berhasil menyusun rumusan kaedah kesahihan , hadis tersebut adalah abu Amr Utsman bin Abdurrohman bin Al-Salah As Sahrozuri,yang biasa disebut sebagai Ibnu salah(wafat 577 H/1245 M).Rumusan yang dikemukakan sebagai berikut: : .Adapun hadis sahih ialah hadis yang bersambung sanadnya(sampai kepada Nabi),diriwayatkan oleh(periwayat) yang adildan dabit sampai akhir sanad,(didalam hadis) itu tidak terdapat kejanggalan(syuzuz) dan cacat (illat).[5]

Berangkat dari definisi itu dapatlah dikemukakan bahwa unsur-unsur kaedah kesahihan hadis adalah sebagai berikut :1. Sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharrij-nya sampai kepada nabi.2. Seluruh periwayat dalam hadis ituharus bersifat adil dan dabit.3. Hadis itu, jadi sanad dan matanya,harus terhindar dari kejanggalan(syuzuz) dan cacat (illat).Dari ketiga butir tersebut dapat di urai menjadi tujuh butir,ykni yang lima butir berhubungan dengan sanad dan yang dua butir dengan matan,berikut ini dikemukakan uraian butir-butir yang dimaksud:a. Yang berhubungan dengan dengan sanad: (1) sanad bersambung: (2) periwayat bersifat adil: (3) periwayat bersifat dabit:, (4) terhindardari kejanggalan (syuzuz):, dan (5) terhindarr dari cacat (ilat). b. Yang berhucbungan dengan matn: (1) terhindar dari kejanggalan (syuzuz):, dan (2) terhindar dri cacat (ilat) Muhyid-Din Abuzakaria Yahya Bin Syarof An-Nawawi, yang dikenal dengan seebutan An-Nawawi (W. 676 H/1277 M.), seorang ulama hadits terkenal yang sebagian karya-Karya tulisnya sampai saat ini masih menjadi bahan kajian umat islam, telah mengajukan rumusan kaidah keshahihan hadits dengan unsur-unsur sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Ibnus-Salah tersebut. An-Nawawi mengjukan rumusan setelah dia membanding-bandingkan dan menyimpulkan rumusan yang diajukan oleh berbagai ulama hadits, termasuk yang telah dikemukakan oleh Ibnus-Salah diatas. Rumusan kaidah yang dikemukakan oleh imam An-Nawawi sebagai berikut: .(hadits shahih adalah) hadits yng bersambung sanad-nya, (di-riwayatkan oleh orang-orang yang) adil dan dhabit, serta tidak terdapat (dalam hadits itu) kejanggalan (syuzuz) dan cacat (ilat).Dari rumusan definisi hadits shahih yang dikemukakan oleh An-Nawawi itu tampak jelas bahwa unsur-unsur kaidah hadits ada tuju macam, lima macam berhubungan dengan sanad dan dua macam berhubungan dengan matan. Jumhur ulama pada zaman berikutnya, bahkan sampai saat ini menyebutkan unsur-unsur kaidah kesahihan hadits sama dengan yang telah disebutkan diatas. Dengan mengacu unsur-unsur kaidah kesahihan hadits tersebut, maka Ulama menilai bahwa hadits sahih, yakni sahihi sanad dan sahih matannya. Apabila sebagian unsur tidak terpenuhi, maka hadits yang bersangkutan bukanlah hadits sahih, yakni mungkin sanad-nya yang tidak sahih mungkin matannya, dan mungkin kedua-duanya. Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, maka unsur-unsur kaidah kesahihan yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan. Unsur-nusur itu ada yang berhubungan dengan rangkaian atau persambungan sanad dan ada yang berhubungan dengan keadaan pribadi para periwayat. 2. Segi-Segi Periwayat Yang Ditelusuri Ulama hadits sependapat bahwa ada dua hal yang harus ditelusuri dan diteliti pada diri periwayat hadits untuk dapat diketahui apakah riwayat hadits yang dikemukannya dapat diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu addalah keadilan dan ke-dhabit-annya. Keadilan berhubungan dengan kualitas peribadi. Sedang ke-dhabit-annya berhubungan dengan kapasitas intelektual. Apabiala kedua hal itu dimiliki oleh periwayat hadits, maka periwayat tersebut dinyatakan sebagai bersipat tsiqah. Istilah tsiqah merupakan gabungan dari sipat adil dan dhabit.[6] Untuk sipat adil dan sipat dhabit, masing-masing memiliki keritiria tersendiri.a. Kuwalitas peribadi periwayat Sebagaimana dikemukakan bahwa kualitas periwayat bsgi hsdits hsruslah adil. Kata adil dalam hal ini tidak sepenuhna sama artinyadengan kata adil menurut bahassa indonesia. Dalam kamus umum bahasa indonesia dinyatakan bahwa kata adil berarti tidak berat sebelah (tidak memihak) atau sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Kata adil berasal dari bahasa arab: adl. Arti adl menurut bahasa ialah: pertengahan; lurus; atau condong kepada kebenaran. Dalam memberikan pengertian istilah yang berlaku dalam ilmu hadits ulama berbeda pendapat. Dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpunkan keriterianya pada empat poin. Penghimpunan keritiria itu didasarkan pada kesamaan maksud tetapi berbeda dalam bentuk ungkapan sebagai akibat dari perbedaan peninjauan. Keempat poin sebagai keriteria untuk sipat adil itu ialah: (1) beragama islam; (2) mukalaf (mukallaf); (3) melaksanakan ketentuan agama; dan (4) memilihara muraah.b. kapasitas intelektual periwayatintelektual periwayat harus memenuhi kapasitas tertentu sehingga hadist yang disampaikannya dapat memenuhi salah satu unsur hadist yang berkualitas shahih. Periwayat yang kapasitas intelektualnya memenuhi syarat keshahihan sanad hadist yang disebut sebagai periwayat yang dhabit.Arti harfiyah dhabit ada beberapa macam, yakni dapat berarti: yang kokoh, yang kuat, yang tepat, dan hafal dengan sempurna, Pengertian harfiyah tersebut diserap kedalam pengertian istilah dengan dihubungkan dengan kapasitas intelektual.Ulama hadist memang berbeda pendapat dalam memberikan pengertian istilah untuk dhabit, namun perbedaan itu dapat dipertemukan dengan memberi rumusan sebagai beriku :1.periwayat yang bersifat dhabit adalah periwayat yang (a) hafal dengan sempurna hadist yang diterimanya; dan (b) mampu menyampaikan dengan baik hadist yang dihafalnya itu kepada orang lain.2.periwayat yang bersifat dhabit ialah periwayat yang selain disebutkanb dalam butir pertama diatas, juga dia mampu memahami dengan baik hadist yang dihafalnya itu.Rumusan tentang dhabit yang disebutkan pada butir kedua lebih sempuran dari pada rumusan yang disebutkan pada butir pertama. Rumusan pertama merupakan kriteria sifat dhabit dalam arti umum. Sedang rumusan yang kedua merupakan sifat yang dhabit yang lebih sempurna dari yang umum itu. Ke-dhabt-an yang diseebutkan kedua disebut sebagai tamm dhabit atau dhabit plus[7].

C. BAGAIMANAKAH SISTEM PERIWAYAT DALAM MERIWAYATKAN HADISTCara-cara sahabat menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada sahabat lainnya yang tidak hadir pada saat Nabi menyampaikan hadistnya,atau kepada para tabiin, berbeda dengan cara menyampaikan wahyu Al quran. Berkenaan dengan wahyu, para sahabat menyampaikannya secara lafdzi (harfiyah) sebagai mana yang mereka terima dari Nabi, sedangkan mengenai hadist, tidaklah mutlak seperti itu. Hal ini dapat di mengerti sebab ayat-ayat Al Quran adalah wahyu Allah dan mujizat yang harus dipelihara, tidak hanya dari segi maknanya saja, tetapi juga dari susunan kalimat dan kata-katanya. Hal ini dapat berlangsung, karena mujizat Al Quran telah dijamin orisinalitas periwayatannya oleh Allah SWT, sebagaimana firmanya : ( : 9 )sesungguhnya kami lah yang menurunkan A Qran dan sesungguhnya kami pula lah yang memeliharakannya.[8]

Adapun tentang penyampaian hadist oleh para sahabat dilakukan dengan dua cara, yaitu :1. Dengan lafadz yang masih asli dari Rasulullah SAW.2. Dengan maknanya saja, sedang diredaksinya disusun sendiri oleh orang orang yang meriwayatkannya. hal itu disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul pada lafadz aslinya, disamping mereka hanya mementingkan dari segi isinnya yang benar-benar dibutuhkan disaat iu. Sistem meriwayatkan hadist dengan mananya saja tidak dilarang oleh rasulullah SAW. Berlaian dengan meriwayatkan Al Quran, susunan bahasa dan ma;nanya, sedikitpun tidak boleh dirubah, baik dengan mengganti lafadz muradlif (sinonim)nya yang tidak mempengaruhi isinya, teristimewa kalau sampai membawa perbedaan mana. Hal itu disebabkan karena lafadz dan susunan kalimat Al quran itu merupakan mujizat allah taala tetapi dalam meriwayatka Al hadist yang dipentingkan ialah isinya. Adapun lafadz dan susunan kalimat laiin, asalkan kandungan dan mananya tidak berubah.[9]

[1] Prof. Dr. H. M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadist (Jakarta Gaung Persada Press 2008) Hal :129[2] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, pokok-pokok ilmu dirayah hadist (2), (Jakarta PT Bulan Bintang 1994) Hal : 91-92[3] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, pokok-pokok ilmu dirayah hadist (2), (Jakarta PT Bulan Bintang 1994) Hal : 92-93[4] Prof. Dr. Teunku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist,(Semarang PT Pustaka Rizki Putra 1999), Hal : 4[5]Dr. M. Syuhudi di Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta:PT Bulan Bintang, 1992), Hal: 64[6] Dr. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta:PT Bulan Bintang, 1992), Hal: 66[7] Dr. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta:PT Bulan Bintang, 1992), Hal: 70[8] Prof. Dr. H. M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadist (Jakarta Gaung Persada Press 2008) Hal : 58-59[9] Drs. Fatchur Rahman,Ikhtishar Musthalahul-Hadits, (Bandung PT al-maarif 1974) Hal : 32-33

TEKNIK PERIWAYATAN HADIS

A. Bentuk-Bentuk Periwayatan Hadis dari NabiDalam kamus besar Indonesia Periwayatan adalah kata yang memberoleh awalan me dan akhiran an yang berasal dari kata riwayat yaitu cerita yang turun temurun. Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, telah berhasil membimbing ummat kepada ajaran Agama yang dibawanya. Walaupun dia sukses dalam membimbing ummatnya, tapi kehidupan sehari-harinya tetap sederhana, tidak jarang ia terlihat menjahit sendiri pakaiannya yang robet. Dalam pada itu dia juga sebagai kepala rumah tangga yang hidup dalam lingkungan masyarakat.Apabila kedudukan Nabi dihubungkan dengan bentuk-bentuk hadis yang terdiri dari sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwalnya, maka dapat dikatakan bahwa hadis Nabi telah disampaikan oleh Nabi sendiri dengan berbagai cara. Berikut contoh Nabi menyampaikan hadisnya: -: Artinya

Kaum wanita berkata kepada Nabi: kaum peria telah mengalahkan kami (untuk memperoleh pengajaran) dari anda. Karena itu mohon anda menyiapkan waktu satu hari untuk kami (kaum wanita). Maka Nabi menjanjikan untuk memberikan pengajaran kepada kaum wanita itu (dalam pengajian itu) Nabi memberi nasehat dan menyuruh mereka untuk berbuat kebajikan. Nabi bersabda kepada kaum wanita tidaklah seorang dari kalian yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya menjadi dinding baginya dari ancaman apai neraka. (Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari).

Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut:1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki 2. Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki dan3. Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya. Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu:1. Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan subuh.2. Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan korupsi berupa penerimaan hadia dari masyarakat.3. Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.4. Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Nabi.5. Riwanyat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.6. Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan. Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikut:a. Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.b. Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi saw. Yang penting dari hadis ialah : isi Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alquran, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.

B. Periwayatan dengan Lafal dan Makna Sebagimana telah disinggung pada pembahasan diatas bahwa adakala Para Sahabat meriwayatkan hadis dengan lafal aslinya dan adakala dengan maknanya saja, dan disini penulis akan lebih memperjelas cara-cara beriwayatan hadis dengan lafal dan makna sebagai berikut:1. Periwayatan dengan lafalLafal periwayatan hadis bagi para rawi yang mendengar langsung dari gurunya, lafal-lafal itu tersusun sebagai berikut: : Saya telah mendengar : Kami telah mendengar. Lafal ini menjadikan nilai hadis yang diriwayatkan tinggi martabatnya, lantaran rawi-rawinya mendengarkan sendiri, baik berhadapan muka dengan guru yang memberinya atau yang dibelakang tabir. Seperti lafal: : Seorang telah bercerita kepadaku : Seorang telah bercerita kepada kamiLafal-lafal tahdits ini; oleh jumhur kadang-kadang di rumuskan dengan:

: Seorang telah mengabarkan kepadaku : Seorang telah mengabarkan kepada kami

Lafal ihbar ini oleh muhadditsin di rumuskan dengan:

lafal haddatsana itu untuk rawi yang mendengar langsung .Disamping lafal-lafal di atas ada kadang-kadang kita jumpai rumusan-rumusan sebagai berikut: : berarti : berarti : menurut muhadditsin, juga Imam Nawawy, bahwa rumus itu untuk satu hadis yang mempunyai dua sanad atau lebih. Jika penulis hadis telah menulis sanad pertama di tulislah rumus itu, apabila ia hendak beralih menulis sanad yang lain. Rumus h adalah singkatan dari tahawwul (beralih). Demikianlah tadi periwayatan hadis dengan lafal. Dan adapun periwayatan hadis dengan makna sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Hasbi Ash Shiddieqy yang berjudul Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, sebagai berikut:2. Periwayatan Hadis dengan MaknaMeskipun terjadi perbedaan dikalangan para fukaha tentang kebolehan tidaknya meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini merupakan ilmu riwayah hadis yang penting, . Diantara kewajiban para perawi, ialah menerangkan cara tahammul sebagaimana yang akan dibahas pada sub bahasan berikutnya ialah dengan cara itu dia menerima apa yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama sangat memerlukan dengan cara-cara tahammul di waktu menyampaikan hadis kepada orang lain, begitu pula sangat memerlukan penyampaian hadis itu sebagaimana mereka dengar tampa menukar ataupun menggati kalimat-kalimatnya. Bahkan sebahagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinkilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafas yang ia dengar. Dalam bukunya Ahmad Muhammad akir yang berjudul Ihtiar Ulum Al-Hadis, dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahui makna hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu. Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa: boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu. Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa arab. Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya. Al- Imam Asy Syafii telah menerangkan tentang sifat-sifat perawi.

Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna; karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram.Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya.

Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu. Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.

C. Tahammul wa Ad al-HadisTahammul merupakan suatu cara pencarian hadis sedangkan Ada adalah penyampaian (periwayatan). Para ulama dan peneliti lebih-lebih para pembaca umumnya masih banyak yang beraaggapan bahwa Hadis Nabi saw tersebar secara lisan dari generasi ke generasi. Seperti pendapat yang termasyhur dari Malik bin Anas, di mana beliau mengatakan bahwa orang yang pertama kali mentadwin Hadis adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Adalah suatu kekeliruan yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah al-Zuhri. Dari data-data termaktub bahwa penulisan hadis sudah dimulai sejak Nabi Muhammad saw masih hidup, dalam hal itu berlangsung sampai kurung waktu sesudahnya. Adapun syarat-syarat Tahammul 1). mendengarkan hadis 2). boleh laki-laki atau perempuan Islam, baliq, adil, dhabit 3) ketika mendengar ia dalam kedaan sehat, memahami dan bagus hapalannya baik dalam hati maupun tertulis 4). bolah bagi anak-anak yang sudah berusia lima tahun asalkan sudah bisa membedakan antara kuda dan sapi. sedangkan syarat-syarat Ada 1). sebelum baliq tidak boleh meriwayatkan hadis 2). anak kecil belum bisa menyampaikan hadis karna siapa tau bohong 3). orang yang selalu bertaqwa 4). periwayatan orang gila yang disampaikan setelah sehat itu bisa diterima sebab sewaktu gila ia hilang kesadarannya ada ke-dhabith-an. Adapun jenis-jenis Tahammul (mendapatkan hadis) yang dilakukan oleh ulama dalam meneliti rawi baik yang berkaitan dengan keadaan khusus dan keadaan yang bersifat umum, segi daya hapal, dan segi kecermatannya, yakni dengan meneliti bagaimana si perawi itu memperoleh hadis dari gurunya. Dan kemudian dibahas bagaimana cara mereka menerima dan menyampaikan kepada rawi lain, yang dalam masalah ini kita kelompokkan sebagai berikut:1. Sima. yakni seorang guru meng-imla-kan (mendiktekan) hapalan atau tulisannya kepada muridanya. Dan murid-muridnya mendenngar, menghapal, dan menulisnya. walaupun mendengar dibalik hijab, asal berkeyakinan bahwa yang suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia sampaikan kepada orang lain. Dan ini merupakan cara sima yang paling tinggi seperti: 2. Seorang murid membacakan hapalan atau tulisannya di hadapan gurunya, sedangkan gurunya dan murid-murid lain mendengarkan. seperti Saya telah membacakan di hadapannya Dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang saya mendengarnya

3. Seorang murid mendengar dari murid yang lainnya yang sedang membaca dihadapan guru mereka. 4. Munawalah (menyerahkan) dengan disertai ijazah, yakni seorang guru memberikan catatan asli atau salinannya kepada muridnya seraya menyebutkan bahwa salinan tersebut merupakan hasil catatanya, dan mengatakan, Saya ijazahkan kepadamu dan kalian boleh meriwayatkannya. seperti diberi ijazah: Ini adalah hasil pendengaranku dan periwayatanku dari seseorang riwayatkanlah

5. Ijazah tampa munawalah, yakni seorang guru membolehkan muridnya untuk meriwayatkan hadis dari gurunya. Dalam hal ijazah ini, banyak macam ragamnya, yaitu mengijazahi tulisan dengan disertai izin. Aku Ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulan dari saya

6. Munawwalah tampa ijazah yakni seorang guru menyerahkan kitab kepada muridnya seraya berkata, Ini hadis yang saya dengar, tampa mengatakan kepada muridnya, Riwayatkan hadis ini dari saya! Atau saya ijazahnya periwayatan hadis kepadamu. Dan pendapat yang sahih menurut ulama bahwa periwayatan yang semata-mata munawalah (penyerahan) saja itu tidak dapat diterima.7. Ilam yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa Hadis yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterimah dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya. Lafaznya: : seorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya, telah berkata kepadaku"

8. Wasiat, yakni seorang ketika dalam bepergian atau menjelang meninggalnya berwasiat dengan sebuah kitab kepada salah seorang muridnya. Dan ulama menolak hadis penyampaian dengan cara wasiat ini. 9. Wijadah, yakni Al-Muhaddis menemukan hadis atau kitab yang ditulis ulama yang dikenal adil dan dhabit. Kemudian seorang muhaddits berkata, Saya temukan tulisan seseorang begini. Atau saya membaca tulisan seorang demikian, tampa mengatakan, Saya mendengar atau dia mengijazikan kepadaku, Di dalam kitab Musnad Ahmad bin Hambal dari Periwayatan anaknya, banyak hal seperti ini. Imam An-Nawawi berkata, Mengamalkan dengan cara wijadah menurut sebagian ulama tidak boleh. Dan menurut ulama lainnya tergantung kepada penemunya. Jika si penemu itu tsiqah (terpercaya dikenal adil maka wajib diamalkan secara mutlak. Dan jika tidak, maka tidak boleh diamalkan. Kemudian sebagian ulama itu berkata, Ini adalah pendapat yang benar yang ditujukan pada waktu itu bukan pada waktu-waktu lainnya. Demikianlah tingkatan-tingkatan Tahammul yang dilakukan oleh para ulama dalam meneliti kehidupan rawi baik yang berkaitan dengan keadaan umum maupun khusus. Jika kita amati bahwa adakalanya tinkatan ini di bolehkan menggunakan dalam meriwayatkan hadis seperti tingkatan sima yang merupakan cara yang paling tinggi, dan adakahnya tidak dibolehkan seperti wasiat jika seorang guru berpesan kepada seorang muridnya menjelang dia meninggal ulama menolak penyampaian hadis dengan cara wasiat.

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan

Ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulunah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya. Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Alquran AlqarimAsh Shiddieqy Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Jakarta: Penyebaran Buku-buku, 1995.

_______,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid. II. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1958.

________,Ilmu Dirayah Hadis, Jilid. II, Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Athhn Mahmud, Taisyir Musthalahul Hadis, tt: Dar-Fikr, t.th.

Azami Muhammad Mustafa, Dirasat fi al-Hadists al-Nabawi, diterjemahkan oleh H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya Cet. I; Jakarta:PT Pustaka Firdaus, 1994.

Bukhari Imam , Shahih Bukhri, dalam Kitab Al-Ilmu, Bab. Hal Yajala linnisi Yaum al Haddat f ilmi, Nomor Hadis 99, Cet. I; Bairut Libanon: Dar Kutub Ilmiah, 1994.

Chumaidy A Zarkasyi, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet. II; Jakarta: Bali Pustaka, 1990.

Nuruddin ltr, Manhaj An-Naqd Fi Ulum Al-Hadis, diterjemahkan oleh Drs. H. Endang Soetari Ad, Ulum Al-Hadits 1 Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.

Muhammad akir Ahmad , Ihtiar Ulum Al-Hadis Berut: Dr Kutub Ilmiah, t.th.

Rahman Fathul, Ikhtisar Mustahalul Hadits Cet. I; Bandung: PT. Almaarif, 1974.

Drs. H. Endang Soetari Ad., M.Si, Ilmu Hadis Cet. II; Bandung: Amal Bakti Perss, 1997.

Watt W. Montgomery, Muhammad Prophet and Statemen, diterjemahkan oleh Syuhudi Ismail: Kaedah-kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Pendekatan dengan Ilmu Sejarah, Cet. II; Jakarta: Bulang Bintang, 1995.