mengenal filariasis di jawa barat
DESCRIPTION
Filariasis (penyakit kaki gajah) yang ditularkan melalui vektor nyamuk, telah lama menjadi ancaman bagi masyarakat. Namun, hal itu dianggap tidak penting dan tidak menjadi target utama pengendalian penyakit menular karena tidak menimbulkan kematian. Padahal, sebenarnya penyakit ini menimbulkan kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial, serta penurunan produktivitas bagi penderita, keluarga, dan masyarakat sehingga berujung pada kerugian ekonomi.TRANSCRIPT
PENERBIT PT KANISIUS
MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT
Penyakit Tropis yang Terabaikan
Endang Puji AstutiMara Ipa
M. Umar RiandiTri Wahono
Lukman Hakim(editor)
Penerbit PT Kanisius
Mengenal Filariasis di Jawa Barat1014000024© 2014 PT Kanisius
PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI)Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349Website : www.kanisiusmedia.comE-mail : [email protected]
Cetakan ke 3 2 1Tahun 15 14 13
Desain Isi : NaelDesain Sampul : Yudi
ISBN 978-979-21-3969-3
Hak cipta dilindungi undang-undang.Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Kanisius Yogyakarta
iii
Kata Pengantar
Semangat Pagi!Filariasis (penyakit kaki gajah) yang ditularkan melalui
vektor nyamuk, telah lama menjadi ancaman bagi masyarakat. Namun, hal itu dianggap tidak penting dan tidak menjadi target utama pengendalian penyakit menular karena tidak menimbulkan kematian. Padahal, sebenarnya penyakit ini menimbulkan kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial, serta penurunan produktivitas bagi penderita, keluarga, dan masyarakat sehingga berujung pada kerugian ekonomi.
Buku ini hadir untuk mengenalkan filariasis di Jawa Barat dengan tujuan agar seluruh pihak terkait dapat mengenal lebih jauh serta mendapatkan informasi dan semoga dapat menunjang program eliminasi. Namun, buku ini tentulah masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan sumbang saran guna melengkapi dan memperbaikinya.
Terima kasih kepada tim penulis yang telah memberikan kontribusi, serta kepada semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan sehingga buku ini dapat diterbitkan.
Salam
Lukman Hakim (editor)
v
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................ iiiDaftar Isi ...................................................................... v
Bab 1 FILARIASIS PENYAKIT YANG TERABAIKAN ...... 1 M. Umar Riandi, Tri WahonoBab 2 EPIDEMIOLOGI FILARIASIS ............................. 19 Endang Puji Astuti, Mara IpaBab 3 UPAYA PENCEGAHAN & PENGENDALIAN FILARIASIS ...................................................... 45 Tri Wahono, M. Umar RiandiBab 4 DUA PILAR ELIMINASI FILARIASIS .................. 65 Mara Ipa, Endang Puji Astuti
Daftar Tabel
Tabel 4.1. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan ......... 68Tabel 4.2. Dosis Obat Berdasarkan Umur ................... 68Tabel 4.3. Pengobatan Filariasis di Indonesia Tahun 1970 - Sekarang ............................... 69Tabel 4.4. Rencana Cakupan POMP Filariasis Kabupaten/Kota Tahun 2010 - 2014 di Indonesia ................................................ 72Tabel 4.5. Pelaksanaan POMP Filariasis di Provinsi .... Jawa Barat Tahun 2013 .............................. 74Tabel 4.6. Stadium Limfedema ................................... 81
vii
Daftar Gambar
Gambar 1.1. Penyebaran Filariasis Limfatik Dunia
pada Tahun 2006 ............................................ 2
Gambar 1.2. Mikrofilaria a) W. brancofti, b) B. malayi, dan
c) B. timori ....................................................... 3
Gambar 1.3. Cacing; a) Loa loa di jaringan mata;
b) O. volvulus, dan c) M. streptpcerca ............. 4
Gambar 1.4. Mikrofilaria; a) Mansonella perstans dan
b) M. ozzardi, sedikit patogen terhadap
manusia. .......................................................... 5
Gambar 1.5. Jan Huyghen van Linscheton (1563-1611) ....... 6
Gambar 1.6. Gejala akut penyakit filariasis limfatik ............. 7
Gambar 1.7. Siklus Hidup Cacing Filariasis (W. bancrofti) .... 10
Gambar 1.8. Nyamuk-nyamuk yang Bisa Menjadi Vektor
Penyakit Filariasis............................................. 11
Gambar 1.9. Peta Endemisitas Filariasis di Indonesia
Tahun 2009 ...................................................... 12
Gambar 2.1. Kasus Klinis Filariasis di Indonesia
Tahun 2000 – 2009 .......................................... 21
Gambar 2.2. Jumlah Penderita Filariasis per Provinsi
di Indonesia Tahun 2009 .................................. 22
Mengenal Filariasis di Jawa Baratviii
Gambar 2.3. Distribusi Kasus Kronis dan Kematian Filariasis
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013 23
Gambar 2.4. Distribusi Kasus Positif Microfilaria Per
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
per tahun, 1999 - 2005 .................................... 24
Gambar 2.5. Distribusi Kasus Positif Microfilaria Per
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat,
2006 - 2010 ...................................................... 25
Gambar 2.6. Siklus Penularan Filariasis
(Wuchereria bancrofti) .................................... 28
Gambar 2.7. Distribusi Positif Mikrofilaria di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013 .................. 30
Gambar 2.8. Morfologi Wuchereria bancrofti ...................... 31
Gambar 2.9. Larva Culex spp. ............................................... 37
Gambar 2.10 Nyamuk Culex quinquefasciatus ...................... 38
Gambar 2.11. Breeding Places Nyamuk di Desa
Panumbangan, Kabupaten Ciamis ................... 40
Gambar 2.12. Breeding Places Nyamuk di Desa Jalaksana,
Kabupaten Kuningan ........................................ 40
Gambar 3.1. Penyemprotan Nyamuk Dewasa/Fogging ....... 48
Gambar 3.2. Abate 1G (Temephos 1%) ................................ 49
Gambar 3.3. Berbagai Tanaman yang Bisa Digunakan
sebagai Larvasida ............................................. 50
Gambar 3.4. Repellent Bahan Kimia Buatan. ........................ 51
Gambar 3.5. Berbagai tanaman yang bisa digunakan
sebagai repellent .............................................. 52
Gambar 3.6. Berbagai ikan pemakan larva/jentik ................ 53
Gambar 3.7. Bacillus Thuringiensis ...................................... 54
Gambar 3.8. Pengendalian Vektor secara Fisik ..................... 55
Mengenal Filariasis di Jawa Barat ix
Gambar 3.9. Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
melalui Program 3M (Menguras, Menutup,
Mengubur) ....................................................... 56
Gambar 4.1. Obat Filariasis (DEC , Albendazole dan
Paracetamol) ................................................... 71
Gambar 4.2. Peta Sebaran Mf Rate dan Kegiatan POMP
Filariasis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 .... 73
Gambar 4.3. Cakupan Pengobatan POMP Filariasis Provinsi
Jawa Barat Tahun 2012 .................................... 78
Gambar 4.4. Limfedema Stadium 1 ...................................... 82
Gambar 4.5. Limfedema Stadium 2 ...................................... 82
Gambar 4.6. Limfedema Stadium 3 ...................................... 83
Gambar 4.7. Limfedema Stadium 4 ...................................... 83
Gambar 4.8. Limfedema Stadium 1 ...................................... 84
Gambar 4.9. Limfedema Stadium 1 ...................................... 85
Gambar 4.10. Limfedema Stadium 1 ..................................... 85
Gambar 4.11. Lymp Scrotum ................................................. 86
Gambar 4.12. Hidrokel ........................................................... 86
Gambar 4.13. Gambar Rapor Perkembangan Penderita
Filariasis Kronis Terapi LDR di Kabupaten
Bandung, Jawa Barat ....................................... 88
Gambar 4.14. Penderita Filariasis di Kabupaten Bandung ..... 88
Gambar 4.15. Penderita Filariasis di Kabupaten Kuningan .... 89
1
Bab 1FILARIASIS PENYAKIT
YANG TERABAIKAN
M. Umar RiandiTri Wahono
Pendahuluan
Ketika kata Filariasis atau penyakit kaki gajah diucapkan kepada Anda, apa yang terlintas di benak Anda? Apakah bayangan seseorang dengan deformasi tungkai kaki? Lalu, apalagi? Jika dikatakan bahwa penyakit kaki gajah memiliki ancaman yang sama besar dengan penyakit demam berdarah dengue, apa yang terlintas dipikiran Anda? Mungkin sebagian dari Anda berpikir bahwa Filariasis bukan penyakit yang berbahaya, tidak menimbulkan kematian. Namun, kecacatan seumur hidup yang jika dipikirkan kembali, lebih banyak menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial.
Tahukah Anda, bahwa Filariasis merupakan penyakit yang mudah menular, semudah penyebaran DBD atau malaria. Di seluruh dunia, ada 120 juta orang terinfeksi limfatik filariasis dan 1,3 milyar orang berada pada risiko terinfeksi. Penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis, seperti Asia, Afrika, dan Pasifik Barat. Dari 1,3 milyar
Mengenal Filariasis di Jawa Barat2
penduduk tersebut, 851 juta di antaranya tinggal di Asia Tenggara. Indonesia menjadi negara dengan kasus filariasis paling tinggi. Pada komunitas di daerah endemis filariasis, sekitar 10% wanita dapat mengalami pembengkakan tungkai dan 50% pria dapat mengalami kelainan kaki dan organ genitalia akibat penyakit ini (WHO, 2010; Juriastuti et al. 2010). Kondisi tersebut berpengaruh dalam kehancuran masa depan dan kualitas hidup korban, bukan hanya memengaruhi fisik saja, tetapi juga emosional dan ekonomi.
Filariasis merupakan penyakit parasit (umumnya di-sebut penyakit infeksi tropis) yang disebabkan oleh cacing nematoda yang berasal dari superfamili Filarioidea atau dikenal juga dengan Filariae. Cacing parasit ini disebarkan oleh anthropoda pengisap darah, umumnya lalat hitam dan nyamuk.
Gambar 1.1Penyebaran Filariasis Limfatik Dunia pada Tahun 2006
Sumber: WHO, 2008
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 3
Ada delapan nematoda filaria yang menggunakan manusia sebagai inang definitifnya. Parasit tersebut dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan relung cacing dalam tubuh manusia (www.jurnalmedika.com) sebagai berikut.
Filariasis Limfatik1. Filariasis ini disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi, dan B. timori. Cacingcacing ini menempati sistem limfatik tubuh, termasuk nodus limfa. Pada kasus kronis, cacing ini menyebabkan penyakit elephantiasis (kaki gajah).
Gambar 1.2Mikrofilaria a) W. brancofti, b) B. malayi, dan c) B. timoriSumber: www.dpd.cdc.gov; www.stanford.edu
Filariasis Subkutan2. Filariasis ini disebabkan oleh cacing Loa loa (cacing mata
Afrika), Mansonella streptocerca, dan Onchocerca volvulus. Cacing ini mendiami lapisan subkutan kulit, pada lapisan lemak. Cacing L. loa menyebabkan loiasis, sedangkan O. vulvulus menyebabkan river blindness.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
4
Gambar 1.2. Mikrofilaria a) W. brancofti, b) B. malayi, dan c) B. timori Sumber: www.dpd.cdc.gov; www.stanford.edu
2. Filariasis Subcutaneous
Filariasis ini disebabkan oleh cacing Loa loa (cacing mata Afrika), Mansonella streptocerca, dan Onchocerca volvulus. Cacing ini mendiami lapisan subcutaneous kulit, pada lapisan lemak. Cacing L. loa menyebabkan filariasis Loa loa, sedangkan O. vulvulus menyebabkan river blindness.
a bb
c
Mengenal Filariasis di Jawa Barat4
Gambar 1.3Cacing a) Loa loa di jaringan mata, b) O. volvulus,
dan c) M. streptocercaSumber: www.stanford.edu; www.dpd.cdc.gov; www.icp.upl.ac.be
Filariasis Rongga Serosa3. Filariasis ini disebabkan oleh cacing M. perstans dan M.
ozzardi, yang mendiami rongga serosa dan abdomen. Cacing dewasa yang biasanya mendiami pada satu jaringan, menge-luarkan larva stadium awal yang dikenal sebagai mikro filaria ke dalam peredaran darah inang. Mikrofilaria yang beredar dalam aliran darah ini dapat terbawa bersama darah yang diisap oleh vektor arthropoda, seperti nyamuk dan lalat pengisap darah. Dalam tubuh vektor, mikrofilaria berkembang menjadi larva yang infektif dan dapat ditransmisikan ke inang yang baru.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
5
Gambar 1.3. Cacing; a)Loa loa di jaringan mata; b) O. volvulus, dan
c) M. streptpcerca Sumber: www.stanford.edu; www.dpd.cdc.gov; www.icp.upl.ac.be
3. Filariasis Rongga Serous
Filariasis ini disebabkan oleh cacing M. perstans dan M. ozzardi, yang mendiami rongga serous dan abdomen. Cacing dewasa yang biasanya mendiami pada satu jaringan, mengeluarkan larva stadium awal yang dikenal sebagai mikrofilaria ke dalam peredaran darah inang. Mikrofilaria yang beredar dalam aliran darah ini
a b
c
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 5
Gambar 1.4Mikrofilaria a) Mansonella perstans dan b) M. ozzardi,
sedikit patogen terhadap manusia.Sumber: www.phsource.us
Individu yang terinfeksi oleh cacing filaria dapat dikatakan mengidap microfilaraemic atau amicrofilaraemic ber-gantung ada atau tidaknya miklorilaria pada darah tepi. Filariasis didiagnosa dari kasus microfilaraemic melalui observasi langsung sediaan darah tepi atau survei darah jari (SDJ). Occult filariasis (filariasis tersembunyi/ asymptomatis) didiagnosa dari kasus amicrofilaraemic melalui observasi klinis, dan dalam beberapa kasus, dengan menemukan antigen yang beredar dalam darah.
Sejarah Filariasis
Filariasis diduga telah menginfeksi manusia sejak 4000 tahun yang lalu. Artefak dari Mesir Kuno (2000 SM) dan dari Peradaban Nok di Afrika Barat (500 SM) memperlihatkan kemungkinan gejala penyakit kaki gajah. Referensi yang jelas mengenai penyakit ini terdapat pada literatur Yunani Kuno, dimana para pelajar membedakan gejala yang sering dialami penderita limfatik filariasis mirip dengan gejala penyakit kusta.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
6
dapat terbawa bersama darah yang diisap oleh vektor antropoda, semisal nyamuk. Dalam tubuh vektor, mikrofilaria berkembang menjadi larva yang infektif dan dapat ditransmisikan ke inang yang baru.
Gambar 1.4. Mikrofilaria; a) Mansonella perstans dan b) M. ozzardi,
sedikit patogen terhadap manusia. Sumber: www.phsource.us
Individu yang terinfeksi oleh cacing filaria dapat dikatakan mengidap microfilaraemic atau amicrofilaraemic bergantung ada atau tidaknya miklorilaria pada darah tepi. Filariasis didiagnosa dari kasus microfilaraemic melalui observasi langsung sediaan darah tepi atau survei darah jari (SDJ). Occult filariasis (filariasis tersembunyi/ asymptomatis) didiagnosa dari kasus amicrofilaraemic melalui observasi klinis, dan dalam beberapa kasus, dengan menemukan antigen yang beredar dalam darah.
a b
Mengenal Filariasis di Jawa Barat6
Dokumentasi pertama mengenai gejala filariasis didapat pada abad ke16, ketika Jan Huyghen van Linscheton menulis mengenai hal tersebut dalam ekspedisinya ke Goa India. Gejala yang mirip juga dilaporkan dari beberapa eksplorasi setelahnya di wilayah Asia dan Afrika. Meskipun demikian, pemahaman mengenai penyakit ini tidak berkembang hingga satu abad kemudian.
Pada tahun 1866, Timothy Lewis, berdasarkan hasil temuan dari JeanNicolas Demarquay dan Otto Henry Wucherer, membangun pemahaman mengenai hubungan mikrofilaria dan elephantiasis (kaki gajah). Hal ini menjadi landasan bagi penelitian yang akhirnya dapat menjelaskan penyakit elephantiasis. Pada tahun 1876, Joseph Bancroft menemukan bentuk dewasa cacing penyebab filariasis.
Pada tahun 1877, siklus hidup yang melibatkan arthrophoda dikemukakan oleh Patrick Manson, yang selanjutnya menjadi awal penemuan keberadaan cacing tersebut di nyamuk. Meskipun pada saat itu, Manson salah menyimpulkan hipotesis bahwa cacing tersebut ditransmisikan melalui kontak kulit dengan air dimana nyamuk tersebut
Gambar 1.5Jan Huyghen van Linscheton
(1563-1611)Sumber: www.linschoten-vereeniging.nl
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 7
meletakkan telurnya. Hingga pada tahun 1900, George Chamichael Low menemukan metode penularan sebenarnya karena menemukan keberadaan cacing di probosis nyamuk vektor (filariasis.org.uk).
Gejala dan Tanda Infeksi
Gejala kronis filariasis limfatik adalah elephantiasis atau kaki gajah – edema dengan penebalan kulit dan jaringan di bawahnya – merupakan penyakit pertama yang ditemukan karena transmisi oleh gigitan nyamuk. Elefantiasis terjadi ketika parasit sampai ke sistem limfatik.
Gambar 1.6Gejala akut penyakit filariasis limfatik
Sumber: magelangimages.wordpress.com
Spesies cacing filaria cenderung memengaruhi bagian tubuh yang berbeda. Spesies W. brancofti dapat memengaruhi
Mengenal Filariasis di Jawa Barat8
kaki, lengan, vulva, payudara, dan skrotum (menyebabkan formasi hidrokel), sementara B. timori jarang memengaruhi organ genitalia. Uniknya, seseorang yang terinfeksi filaria kronis dan menjadi elefantiasis, biasanya amikrofilaremik dan sering kali memiliki reaksi imunologi terhadap mikrofilaria serta cacing filaria dewasa.
Diagnosis
Diagnosis filariasis umumnya dengan identifikasi mikrofilaria secara mikroskopis. Dengan bantuan pewarnaan Giemsa sediaan darah apus tipis dan tebal, menggunakan gold standar yang disebut sediaan darah jadi (SDJ) dengan mengambil darah dari kapiler ujung jari. Pembuluh vena yang lebih besar dapat digunakan untuk mengeluarkan darah, namun harus memperhatikan waktu pengambilan darah. Darah harus diambil pada waktu yang sama dengan aktivitas makan serangga vektor. Misalnya, W. bancrofti ditularkan oleh nyamuk yang aktif mengisap darah pada malam hari (nokturnal). Waktu pengambilan darah harus malam hari.
Tes provokasi diethyl carbamazine (DEC provocation test) dapat dilakukan untuk memperoleh jumlah parasit pada sampling siang hari dan mengatasi kekurangan survei darah jari. Tes ini memprovokasi mikrofilaria agar bermigrasi ke darah tepi dalam waktu sekitar 1 jam setelah pemberian DEC sehingga dapat dideteksi dengan SDJ.
Metode diagnosis lain dapat pula menggunakan metode Polymerase chain reaction (PCR) dan analisis antigen yang mendeteksi antigen filaria dalam darah. Analisis antigen juga dapat digunakan untuk mendeteksi kasus amikrofilaria. Spot survey untuk pemeriksaan antigen melalui ELISA jauh
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 9
lebih sensitif dan dapat dilakukan setiap waktu. Saat ini telah tersedia dan ditawarkan berbagai alat diagnostik baru dan telah banyak digunakan untuk alat diagnosis. Salah satunya yang sangat sederhana tanpa memerlukan fasilitas laboratorium yaitu card test untuk mendeteksi antigen parasit yang bersirkulasi, cara kerjanya hanya perlu tetesan darah dari ujung jari. Pada dasarnya teknik tersebut berbasis serologis yang secara riil lebih lemah sensitivitas dan spesifisitasnya dibanding ELISA (Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004).
Aspirasi nodus limfatik dan cairan limfa juga dapat mendeteksi kehadiran mikrofilaria. Pengindraan medis, seperti Computerized Tomography (CT-scan) dan Magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat menemukan tanda ‘tarian filaria’ pada cairan limfa. Pemindaian sinarX dapat mendeteksi adanya cacing dewasa yang mengalami pengapuran di sistem limfatik.
Siklus Hidup Cacing Filaria
Cacing filaria memiliki siklus hidup yang rumit, dapat dibedakan menjadi lima tahap. Setelah cacing dewasa me-lakukan perkawinan, filaria betina menghasilkan ribuan mikrofilaria. Cacing mikrofilaria terbawa oleh vektor serangga (host perantara) seperti nyamuk, ketika mengisap darah manusia. Di dalam host perantara, mikrofilaria melakukan molting (berganti kulit) dan berkembang menjadi larva infektif (tahap ketiga). Saat mengisap darah lainnya, serangga vektor menyuntikkan larva ke dalam lapisan dermis kulit. Setelah sekitar satu tahun, larva melakukan molting hingga dua tahap dan berkembang menjadi cacing dewasa.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat10
Spesies W. bancrofti, B. malayi, dan B. timori sebagai penyebab filariasis limfatik hidup eksklusif dalam tubuh manusia. Cacing berada pada sistem limfatik antara pembuluh limfe dan pembuluh darah yang memelihara keseimbangan cairan tubuh dan merupakan komponen yang essensial untuk sistem pertahanan imun tubuh. Cacing hidup selama 4-6 tahun menghasilkan larva (mikrofilaria) yang akan ikut dalam sirkulasi darah (Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004).
Gambar 1.7Siklus hidup cacing filariasis (W. bancrofti)
Sumber: suryapurnama.student.umm.ac.id
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 11
Penularan
Diperkirakan kurang lebih 77 spesies nyamuk dari genus Anopheles spp, Aedes spp, Culex spp, dan Mansonia spp. dapat mendukung perkembangan W. bancrofti, tetapi secara alami hanya sebagian kecil yang dapat berlaku sebagai vektor. Nyamuk Culex spp. dan Anopheles spp. merupakan vektor utama bentuk periodik nocturnal, sedang bentuk subperiodik ditransmisikan nyamuk Ae. polynesiensis.
Pada B. malayi, bentuk periodik nocturnal ditemukan pada area dengan banyak sawah sedangkan bentuk sub-periodik nocturnal ditemukan di desa terpencil, perkebunan dan hutan-hutan disekitar sungai. Nyamuk yang menjadi
Gambar 1.8Nyamuknyamuk yang bisa menjadi vektor penyakit filariasis
Sumber: arali2008.wordpress.com
Mengenal Filariasis di Jawa Barat12
vektor B. malayi adalah nyamuk malam dari genus Mansonia, Aedes dan Culex. Spesies An. barbirostris yang ber-kembang biak pada area persawahan diketahui sebagai vek-tor B. timori (Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004).
Endemisitas di Indonesia
Filariasis dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889. Dari ketiga jenis cacing filaria penyebab filariasis, B. malayi mempunyai penyebaran paling luas di Indonesia. Spesies B. timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor, dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur; sedangkan W. bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB, dan Papua.
Gambar 1.9Peta Endemisitas Filariasis di Indonesia Tahun 2009
Sumber: Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2 (2010)
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 13
Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah endemis filariasis, wilayah Indonesia Timur memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 dilaporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 kabupaten/kota. Laporan yang ditindaklanjuti dengan survey endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009, adalah 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota nonendemis (Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2., 2010).
Di Provinsi Jawa Barat, sepanjang tahun 2004-2005 telah dilaporkan kasus filariasis lebih dari 17 kabupaten, di antaranya adalah Bogor (5 kasus), Sukabumi (6 kasus), Cianjur (6 kasus), Garut (7 kasus), Tasikmalaya (7 kasus), Ciamis (7 kasus), Kuningan (4 kasus), Cirebon (4 kasus), Majalengka (1 kasus), Subang (6 kasus), Purwakarta (5 kasus), Karawang (2 kasus), Bekasi (61 kasus), kota bekasi (18 kasus), Kota Sukabumi (4 kasus), dan kota Bandung (1 kasus) (Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004).
Pencegahan dan Pengobatan
Mengeliminasi filariasis secara cepat dan ekstrim relatif sulit dilakukan. Meskipun parasit dapat dideteksi secara mikroskopis di dalam darah, penyebaran filariasis cukup sulit dikendalikan karena nyamuk sebagai vektor filariasis sulit untuk dikendalikan. Menurut Haryuningtyas, DS dan Didik Subekti (2004), pencegahan utama yang dapat dilakukan adalah melindungi diri dari gigitan nyamuk pada daerah endemis. Hal ini tentunya sama dengan pencegahan beberapa penyakit yang ditularkan oleh vektor nyamuk, semisal malaria, chikungunya, dan DBD.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat14
Pada tahun 1993, International Task Force for Disease Eradication mendeklarasikan bahwa limfatik filariasis sebagai salah satu dari tujuh penyakit infeksi yang potensial untuk dapat diberantas. Beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa transmisi infeksi cacing filaria dapat diputuskan ketika satu dosis obat oral kombinasi diberikan secara berkala selama kurang lebih tujuh tahun. Dengan pengobatan yang konsisten akan terjadi pengurangan mikrofilaria, sehingga penyakit tidak akan ditularkan, cacing dewasa akan mati dan siklus cacing dapat diputuskan.
Oleh karena itu, strategi untuk eliminasi penularan limfatik filariasis adalah pemberian obat masal yang dapat membunuh mikrofilaria dan menghentikan penularan parasit oleh nyamuk pada komunitas endemis filariasis. Pemberian obat ini dikenal dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Filariasis. Pertama kali dilakukan di Nigeria pada tahun 2009. Pada tahun 2012 dilakukan survei pada 7.100 anak-anak dan 173 sekolah, didapat hasil yang memuaskan. Program POMP mengombinasikan obat albendazole (donasi oleh Glaxo Smithkline) dengan obat ivermectin (donasi Merck & Co) untuk mengobati filariasis (Anon n.d., 2013). Di China, filariasis telah dieliminasi menggunakan garam yang diperkaya dengan diethylcarbamazine (DEC) (WHO, 2007). Obat DEC menghambat metabolisme asam arachidonic pada mikrofilaria yang merusak sistem imun parasit. Pencegahan filariasis lainnya dengan menghindari gigitan nyamuk, tidur menggunakan kelambu berinsektisida.
Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat du-nia sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA) tahun 1997. Program eleminasi filariasis di dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000, yaitu The Global
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 15
Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020. Program eliminasi filariasis di Indonesia dimulai pada tahun 2002. Pada tahun 2010 telah dilaksanakan pemetaan penyakit filariasis seluruh kabupaten/kota di Indonesia dan didapatkan prevalensi filaria ratarata 19%. Ini berarti 40 juta penduduk Indonesia bisa menderita filariasis di masa mendatang apabila tidak dilaksanakan POMP dan kegiatan-kegiatan yang terencana menuju eliminasi filariasis di Indonesia tahun 2020. Diperkirakan kerugian ekonomi mencapai 43 trilyun rupiah, jika tidak dilakukan POMP filariasis.
Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua pilar yang akan dilaksanakan memutuskan rantai penularan dengan POMP filariasis di daerah endemis; dan mencegah atau membatasi kecacatan karena filariasis. (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Penutup
Filariasis limfatik merupakan salah satu penyakit tropis terabaikan tertua dan paling melemahkan; disebabkan oleh 3 spesies utama cacing filaria: W. bancrofti, B. malayi, dan B. timori.
Diperkirakan 120 juta manusia di 81 negara saat ini terinfeksi dan 1,34 milyar manusia berisiko terinfeksi karena hidup di wilayah endemis. Diperkirakan juga sekitar 40 juta orang menderita akibat cara pandang yang salah mengenai penyakit ini sehingga menghalangi manifestasi klinis ter-hadap filariasis. Hal ini termasuk sekitar 15 juta orang yang menderita limfodema (elefantiasis) dan 25 juta lakilaki yang mengalami pembengkakan urogenital (WHO, 2010). Di
Mengenal Filariasis di Jawa Barat16
Indonesia kasus filariasis telah dilaporkan terjadi di berbagai daerah antara lain di Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Papua, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Tangerang, dan lebih dari 17 Kabupaten di Jawa Barat.
Diduga lebih dari 73 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Aedes, Culex, dan Mansonia dapat mendukung perkembangan cacing filaria. Pengendalian filariasis perlu segera dilaksanakan mengingat kasusnya terus meningkat setiap tahunnya. Salah satu kontrol yang dilakukan melalui deteksi dini pada orang di daerah endemis dan pengobatan dengan segera bagi orang yang sudah terinfeksi.
Daftar PustakaAnonim, Lymphatic Filariasis Elimination Program. Tersedia
di http://www.cartercenter.org/health/lf/index.html [diakses August 6, 2013].
Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004. “Dinamika filariasis di Indonesia”. In Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor. pp. 242–250. Tersedia di: http://digilib.litbang.deptan.go.id/repository/index.php/repository/download/6099/5969.
Juriastuti, Puji et al. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kelurahan Jati Sampurna. Makara Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2010: 31-36.
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010. Buletin Jendela Epidemiologi: Filariasis di Indonesia. Volume 1 Juli 2010.
Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2, 2010. Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia, Jakarta: Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 17
WHO, 2007. Bulletin of The World Health Organization. Volume 85, Number 7, July 2007, 501-568.
WHO, 2010. Progress report 2000-2009 and strategic plan 2010-2020 of the global programme to eliminate lymphatic filariasis: halfway towards eliminating lymphatic filariasis.
WHO. Lymphatic Filariasis (internet) 2008 [diakses 15 Agustus 2013]. Tersedia di: http://www.who.com.
Wikipedia. Filariasis (internet) 2013 [diakses 2 Juli 2013]. Tersedia di http://en.wikipedia.org.
19
Bab 2EPIDEMIOLOGI FILARIASIS
Endang Puji AstutiMara Ipa
Pendahuluan
Filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit tular vektor yang disebabkan oleh cacing filaria dengan perantara nyamuk. Penyakit ini hampir tersebar di semua pulau besar di Indonesia, penyakit ini awalnya banyak ditemukan di daerah terisolir, namun saat ini sudah banyak di laporkan di daerah perkotaan (urban). Di daerah tropis dan subtropis, kejadian filariasis meningkat, diantaranya disebabkan oleh perkembangan kota sehingga menimbulkan perkembangbiak-an nyamuk vektor (Depkes, RI., 2008).
Secara epidemiologis, filaria terjadi karena ada interaksi antara hospes/host definitive, yaitu manusia, dan hospes/host reservoir, nyamuk yang membawa cacing filaria serta lingkungan yang mendukung kelangsungan hidup vektor. Filariasis ditularkan oleh nyamuk vektor, baik dari genus Aedes, Culex, Armigeres, Anopheles dan Mansonia melalui gigitan nyamuk yang membawa cacing filaria infektif (mikrofilaria) dari orang yang sakit/terdapat mikrofilaria dalam
Mengenal Filariasis di Jawa Barat20
darahnya ke orang yang sehat/tidak terdapat mikrofilaria. Cacing filaria penyebab filaria di Indonesia terdiri dari dua genus yaitu Wuchereria dan Brugia. Host yang terinfeksi mikrofilaria tidak selalu menimbulkan gejala, penyakit ini merupakan penyakit kronis (menahun) dengan gejala umum adalah terjadinya pembengkakan (edema). Walaupun tidak mematikan, penyakit ini menimbulkan masalah stigma sosial dan psikologis penderita.
Pengamatan terhadap penularan filariasis terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah host (ma-nusia), agent (mikrofilaria), nyamuk vektor, lingkungan serta faktor-faktor risiko lainnya perlu dilakukan untuk kegiatan pe-ngendalian serta penurunan kasus filariasis.
Penyebaran Filariasis di Jawa Barat
Di Indonesia, filariasis hampir menyebar di seluruh provinsi. Berdasarkan data tahun 2000, tercatat bahwa filariasis tersebar di 1553 desa, di 231 kabupaten, 26 provinsi sebagai wilayah endemis. Hasil survei darah jari (SDJ) meng-hasilkan microfilaria rate (Mf rate) sebanyak 3,1%. Dapat disimpulkan bahwa sebanyak 6 juta orang telah terinfeksi dan sekitar 100 juta orang mempunyai risiko tinggi untuk tertular (WHO, 2000). Kasus filariasis mengalami peningkatan mulai dari tahun 2000 2009 dilaporkan kasus klinis filariasis sebanyak 11.914 kasus pada tahun 2009 yang tersebar di 308 kabupaten/kota di 33 provinsi endemis (Gambar 2.1). Berdasarkan kondisi tersebut, diestimasikan bahwa prevalensi microfilaria rate (Mf rate) sebesar 19%, dengan prevalensi tertinggi adalah wilayah Indonesia bagian timur (Anonim, 2010).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 21
Gambar 2.1Kasus Klinis Filariasis di Indonesia Tahun 2000 – 2009
Sumber: Ditjen PP dan PL, Depkes RI., 2009
Pada tahun 2009, kasus filariasis di Provinsi Jawa Barat merupakan tertinggi keenam dengan 474 kasus dan paling tinggi dibandingkan provinsi lain di Pulau Jawa (Gambar 2.2.). Sampai tahun 2010 terdapat 11 kabupaten/ kota endemis dengan Mf rate yang bervariasi antara 1,0 % - 5,25 %, yaitu Kabupaten Subang, Karawang, Purwakarta, Bekasi, Bogor, Tasikmalaya, Kuningan, Bandung, Kota Bekasi, kota Bogor, dan Kota Depok. Sedangkan jumlah kumulatif kasus kronis pada periode tahun 2002 sampai dengan bulan Juni 2013, tercatat 886 penderita dengan jumlah kematian 51 orang, tersebar di 25 kabupaten/kota meliputi 135 kecamatan dan 221 desa/kelurahan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat22
Gambar 2.2Jumlah Penderita Filariasis per Provinsi di Indonesia Tahun 2009
Sumber: Ditjen PP dan PL, Depkes RI., 2009
Kasus kronis filaria dan kematian tertinggi tahun sampai Juni tahun 2013 adalah di Kabupaten Sukabumi, kemudian Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Bekasi mempunyai jumlah kasus yang sama dan berada di urutan ketiga tertinggi di Provinsi Jawa Barat. Kasus klinis dengan Microfilaria rate (Mf rate) positif sudah tidak ditemukan di 25 kabupaten Provinsi Jabar pada tahun 2010 - 2013, sedangkan Mf rate positif tahun 2009 hanya ditemukan di dua lokasi yaitu kabupaten Bandung (1,16%) dan Kuningan (1,75%) (Tabel 2.1).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 23
Gambar 2.3Distribusi Kasus Kronis dan Kematian Filariasis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013
Sumber : Data kasus Filariasis Dinas Kesehatan Provinsi Jabar
Kasus klinis periode tahun 1999 – 2008 hasil SDJ, ditemukan di 12 wilayah dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat24
Gambar 2.4Distribusi Kasus Positif Microfilaria Per Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Barat per tahun, 1999 - 2005Sumber: Laporan Filariasis Dinkes Provinsi Jabar
Berdasarkan data kasus filariasis tahun 1999 – 2005, ditemukan 10 kabupaten/kota yang positif microfilaria. Survey sediaan darah jari (SDJ) di Kota Bekasi tiap tahun menemukan positif microfilaria, sedangkan di kabupaten Bekasi, Cianjur, Bogor, Tasikmalaya, Karawang, Purwakarta, Kota dan Kabupaten Bogor hanya ditemukan satu kali di periode tahun 1999 – 2005. Beberapa kabupaten/kota yang sebelumnya belum ditemukan kasus filariasis, pada tahun 2006 – 2010 ditemukan positif, yaitu: Kabupaten Bandung, Majalengka dan Kuningan, sedangkan Kabupaten Cianjur ditemukan positif lagi di periode tahun 2006 – 2010. Pemeriksaan SDJ di beberapa kabupaten/kota Jawa Barat yang dilakukan setelah tahun 2010, hasilnya adalah negatif mikrofilaria.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 25
Gambar 2.5Distribusi Kasus Positif Mikrofilaria per Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Barat, 2006 - 2010Sumber: Laporan Filariasis Dinkes Provinsi Jabar
Transmisi Filariasis
Penularan atau transmisi filariasis/kaki gajah dapat terjadi apabila ada interaksi tiga faktor, antara lain sebagai berikut.
Host1) atau sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya dan manusia yang rentan. Vektor, yaitu nyamuk yang mempunyai kapasitas sebagai 2) vektor untuk menularkan mikrofilaria infektif ke manusia rentan (host). Agent,3) yaitu mikrofilaria yang infektif.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat26
WHO menyatakan seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva cacing mikrofilaria (mf) stadium III (L3). Nyamuk menjadi infektif karena mengisap darah penderita yang mengandung mikrofilaria atau binatang reservoir yang juga mengandung mikrofilaria. Penularan kaki gajah berbeda dengan penularan penyakit tular vektor lainnya, seperti: malaria, demam berdarah dengue (DBD), atau chikungunya. Seseorang dapat terinfeksi/sakit kaki gajah apabila orang tersebut mendapat gigitan dari nyamuk vektor infektif sampai ribuan kali.
Siklus penularan penyakit kaki gajah melalui dua tahap, yaitu:
perkembangan dalam tubuh nyamuk vektor, 1) perkembangan dalam tubuh manusia 2) (hospes) dan reservoir.
Dengan demikian manusia atau hewan yang mengan-dung mikrofilaria merupakan sumber penularan penyakit.
Perkembangan dalam tubuh nyamuk vektor (ekstrinsik)•
Pada saat nyamuk vektor mengisap darah penderita filariasis, beberapa mikrofilaria akan ikut terhisap bersama darah dan masuk ke dalam lambung nyamuk. Beberapa saat setelah berada dalam lambung nyamuk, mikrofilaria yang bersarung akan melepaskan sarungnya kemudian dalam waktu satu jam akan menembus dinding lambung nyamuk dan bermigrasi ke dalam otot dada atau thorax nyamuk (Anonim, 2012).
Dalam thorax, mikrofilaria menjadi lebih pendek dan gemuk dibandingkan dengan larva yang ada di lambung, dan disebut larva stadium 1 (L1). Ukurannya berkisar antara 244
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 27
- 296 μm x 7.5 - 10 μm (Anonim, 2012). Larva stadium 1 selanjutnya akan berganti kulit dan berkembang menjadi larva stadium 2 (L2) yang ukurannya 200 - 300 µm x 15 – 30 µm (Depkes, 2006). Larva stadium 2 ini juga akan berganti kulit lagi dan berkembang menjadi larva stadium 3 (L3) yang merupakan larva infektif yang aktif dan akan bermigrasi ke dalam proboscis nyamuk.
Pada saat nyamuk infektif mengisap darah manusia untuk kebutuhan pematangan telurnya, larva cacing L
3 akan jatuh atau keluar dari probosis dan tinggal beberapa saat di kulit sekitar lubang tusukan nyamuk. Nyamuk yang telah mengisap darah manusia akan menarik proboscis, kemudian larva cacing L
3 merayap masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe manusia (Anonim, 2012). Masa inkubasi ekstrinsik spesies W. bancrofti antara 10 - 14 hari, sedangkan B. malayi dan B. timori antara 8 - 10 hari (Depkes RI, 2006).
Perkembangan dalam tubuh manusia (intrinsik)•
Larva cacing L3, selanjutnya bergerak menuju sistem limfe dan tinggal dalam waktu 9 10 hari. Selanjutnya akan berganti kulit dan berkembang menjadi larva stadium 4 (L4) yang merupakan stadium larva paling akhir, yang akan berkembang menjadi cacing dewasa atau makrofilaria atau larva stadium 5 (L5). Cacing dewasa betina berukuran dengan panjang 80 - 100 mm dan diameter 0.24 - 0.30 mm, sedangkan ukuran yang jantan panjang sekitar 40 mm dan diameter 0.1 mm (Anonim, 2012).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat28
Gambar 2.6Siklus Penularan Filariasis (Wuchereria bancrofti)
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention World Health Organization (CDC-WHO) (www.cdc.gov)
Stadium larva 3 (L3) mikrofilaria disebut stadium immature. Perkembangan dari stadium immature sampai menjadi dewasa membutuhkan waktu sangat lama, sekitar 6 – 12 bulan. Cacing dewasa dapat bertahan hidup di dalam tubuh manusia serta berkembang biak 5 – 10 tahun. Apabila dalam saluran limfe terdapat cacing betina dan jantan, akan terjadi perkawinan. Setelah kopulasi, cacing betina secara periodik menghasilkan mikrofilaria. Satu cacing betina dewasa akan menghasilkan kurang lebih 30.000 mikrofilaria setiap harinya (Depkes RI, 2006). Mikrofilaria tidak hidup dalam saluran atau kelenjar limfe, tetapi akan bermigrasi ke dalam saluran darah dan saluran darah tepi (Anonim, 2012). Mikrofilaria yang beredar di saluran darah tepi akan terisap kembali oleh nyamuk vektor dan akan ditularkan ke manusia lainnya.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
30
bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe manusia (Anonim, 2012).
Perkembangan dalam tubuh manusia (intrinsik)
Larva cacing L3, selanjutnya bergerak menuju sistem limfe dan tinggal dalam waktu 9 - 10 hari. Selanjutnya akan berganti kulit dan berkembang menjadi larva stadium 4 (L4) yang merupakan stadium larva paling akhir, yang akan berkembang menjadi cacing dewasa atau makrofilaria atau larva stadium 5 (L5). Cacing dewasa betina berukuran dengan panjang 80 - 100 mm dan diameter 0.24 - 0.30 mm, sedangkan ukuran yang jantan panjang sekitar 40 mm dan diameter 0.1 mm (Anonim, 2012). Masa inkubasi ekstrinsik spesies W. bancrofti antara 10 - 14 hari, sedangkan B. malayi dan B. timori antara 8 - 10 hari (Depkes RI, 2006).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 29
Agent
Cacing kecil penyebab filariasis termasuk dalam cacing nematoda. Di dunia, sebagian besar kasus filariasis disebabkan oleh cacing W. bancrofti (90%), kemudian B. Malayi, dan B. timori (Das et al. 2002). Agent filariasis di Indonesia juga terdiri atas tiga jenis cacing tersebut (Haryuningtyas et al. 2013). Cacing W. bancrofti banyak ditemui di daerah tropis seluruh dunia, B. malayi terbatas di Asia sedangkan B. timori terbatas di beberapa kepulauan Indonesia. Di Jawa Barat, ditemukan dua agent filariasis yaitu W. bancrofti dan B. malayi, tetapi yang dominan ditemukan adalah W. bancrofti (Rusmartini et al. 2008).
Dari hasil SDJ di 22 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang terdapat penderita kronis filariasis, spesies mikrofilaria positif yang ditemukan tahun 1999 sampai tahun 2008 adalah W. bancrofti dan tidak menemukan spesies mikrofilaria lainnya. Di Kabupaten Cianjur, Mf rate kurang dari 1%, maka belum dinyatakan sebagai daerah endemis. Jumlah kumulatif kasus klinis positif mikrofilaria hasil SDJ, tertinggi di Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, kemudian di Kabupaten Subang dan Kabupaten Kuningan (Gambar 2.7). Di wilayah ini sudah dilakukan pengobatan massal, kecuali Kabupaten Kuningan pengobatan hanya dilakukan selektif pada penderita dan masyarakat sekitar penderita.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat30
Gambar 2.7Distribusi Positif Mikrofilaria
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013Sumber: Data Kasus Filariasis Dinas Kesehatan Jawa Barat Tahun 2013
Ukuran tubuh mikrofilaria W. bancrofti yang banyak ditemukan di Jawa Barat, lebih besar dibandingkan Brugia malayi dan B. timori yaitu 244 – 296 µM dan 7,5 – 10 µM, ekornya berbentuk pita dan mengerucut. Inti sel di tubuh cacing tergambar jelas dan mudah dihitung secara mikroskopis, namun cacing ini tidak mempunyai inti sel di ekornya (McCarthy, James. 2000).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 31
Gambar 2.8Morfologi Wuchereria bancrofti
Sumber: www.stanford.edu. (Lymphatic Filariasis Introduction)
Morfologi cacing W. bancrofti dewasa berbentuk silin-dris, halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing filaria dewasa atau yang lebih dikenal makrofilaria, baik yang jantan maupun betina, hidup pada saluran dan kelenjar limfe. Makrofilaria betina ukurannya kurang lebih dari 65100 mm x 0.25 mm, sedangkan makrofilaria jantan ukurannya 40 mm x 0,1 mm. Makrofilaria betina akan mengeluarkan larva filaria yang disebut mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran berkisar antara 250-300 µm x 7-8 µm (Spicer, W.J. 2000).
Berbeda dengan induknya, mikrofilaria hidup pada aliran darah, dan pada waktu-waktu tertentu ditemukanpada aliran darah tepi, sehingga mikrofilaria ini memiliki periodisitas tertentu. Umumnya, periodisitas mikrofilaria W. bancrofti di Jawa Barat adalah nokturna atau malam hari, artinya mikrofilaria hanya terdapat dalam peredaran darah tepi pada
Mengenal Filariasis di Jawa Barat32
malam hari. Pada siang hari mikrofilaria berada pada kapilerkapiler organ dalam seperti paruparu, jantung, ginjal dan lain-lain. Namun, di beberapa wilayah W. bancrofti juga bersifat diurnal (siang hari) (McCarthy, James. 2000).
Host Di dalam darah manusia terdapat mikrofilaria. Artinya,
manusia rentan tertular filariasis. Tidak semua manusia/individu yang terinfeksi mikrofilaria menunjukkan gejala klinis, walaupun dalam tubuhnya telah terjadi perubahan patologis. Proses penularan filariasis membutuhkan waktu yang lama dengan kemungkinan tertular/terkena infeksi kecil, tetapi keberadaan seseorang di daerah endemis dalam waktu yang lama akan memperbesar risiko penularan. Berikut ini beberapa faktor determinan yang mempengaruhi terjadinya penularan pada manusia.
Sosiodemografi
Faktorfaktor sosiodemografis dapat mempengaruhi penularan filariasis. Berikut ini adalah faktorfaktor tersebut.
Jenis kelamin1.
Dalam penelitian Juriastuti et al. 2010 di Depok Jawa Barat, jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko penularan 4,7 kali lebih besar dibandingkan wanita. Hasil ini sejalan dengan penelitian terhadap kejadian filariasis di Indonesia yang menunjukkan penderita filariasis lebih banyak berjenis kelamin laki-laki (Santoso et al, 2010). Hal ini terkait dengan perilaku masyarakat baik aktivitas maupun mobilitas, lakilaki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah pada malam hari seperti melakukan kegiatan ronda, pengajian, serta mempunyai mobilitas yang tinggi.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 33
Kondisi seperti ini mendukung terjadinya kontak antara nyamuk vektor dengan manusia.
Umur2.
Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur. Berdasarkan analisa lanjut Riskesdas tahun 2007 terhadap 967 penderita filariasis di Indonesia, proporsi umur terbanyak adalah 31 - 46 tahun, sebanyak 256 orang (26,7%).
Pekerjaan3.
Kegiatan aktif yang dilakukan pada malam hari ketika nyamuk aktif mencari pakan darah mempunyai risiko yang tinggi terhadap penularan filariasis. Penelitian di Pekalongan tahun 2006 melaporkan bahwa pekerjaan pada malam hari mempunyai korelasi dengan kejadian filariasis (p = 0,003) (Febrianto et al, 2006).
Pendidikan4.
Variabel ini tidak mempunyai pengaruh langsung ter hadap kejadian filariasis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nasrin (2008), dapat dikatakan bahwa pendidikan memengaruhi jenis pekerjaan, pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) seseorang.
Tindakan/Praktik
Tindakan merupakan bagian dari perilaku. Dalam kasus penyakit tular vektor seperti filariasis, tindakan berkaitan dengan kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari memiliki peluang 5,4 kali lebih besar untuk menderita penyakit filariasis (Juriastuti et al. 2010). Hal ini terkait bionomik nyamuk vektor yaitu Cx.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat34
quinquefasciatus, seperti penelitian yang dilakukan Astuti et al., 2012 di desa Jalaksana Kabupaten Kuningan, yang memperoleh hasil bahwa puncak kepadatannya hasil umpan orang dalam dan luar terjadi pada pukul 23.00 dan 01.00 - 02.00 dengan nilai MHD 0,014. Oleh sebab itu, responden yang memiliki kebiasaan untuk keluar pada malam hari lebih berisiko dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan tersebut.
Upaya masyarakat untuk menghindari atau memutus kontak dengan nyamuk vektor juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian filariasis, antara lain sebagai berikut.
Pemakaian kelambu sangat efektif untuk mencegah 1) kontak dengan nyamuk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anshari (2004), menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunakan kelambu waktu tidur sebagai faktor resiko kejadian filariasis (OR= 8,09) (Nasrin, 2008). Pemakaian kawat kassa yang dipasang di bagian ventilasi 2) rumah berfungsi untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah sehingga terhindar dari gigitan nyamuk sehingga mengurangi risiko terkena filariasis (Febrianto, 2006). Penggunaan insektisida seperti obat anti nyamuk dapat 3) membunuh atau mengurangi populasi nyamuk sedangkan penggunaan losio anti nyamuk, dapat mngurangi kontak atau menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor. Menurut Febrianto (2006), diketahui bahwa kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p= 0,004) (Rufaidah, 2004).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 35
Vektor
Nyamuk vektor filariasis W. bancrofti, berbeda genus dan spesies di beberapa wilayah dan tergantung pada geografisnya. Nyamuk vektor di dunia yang telah ditemukan diantaranya adalah Culex (Cx. annulirostris, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, dan Cx. pipiens); Anopheles (An. arabinensis, An. bancrofti, An. farauti, An. funestus, An. gambiae, An. koliensis, An. melas, An. merus, An. punctulatus dan An. wellcomei); Aedes (Ae. aegypti, Ae. aquasalis, Ae. bellator, Ae. cooki, Ae. darlingi, Ae. kochi, Ae. polynesiensis, Ae. pseudoscutellaris, Ae. rotumae, Ae. scapularis, dan Ae. vigilax); Mansonia (Ma. pseudotitillans, Ma. uniformis); Coquillettidia (C. juxtamansonia) (Anonim, 2012).
Nyamuk vektor yang telah teridentifikasi di Indonesia, sebanyak 23 spesies antar lain: Mansonia (Ma. uniformis, Ma. indiana, Ma. dives, Ma. bonneae, Ma. annulifera, Ma. annulata, Ma. dives, Ma. nigerimus), Anopheles (An. nigerimus, An. subpictus, An. barbirostris, An. aconitus, An. vagus, An. dives, An. maculatus, An. farauti, An. koliensis, An. punctulatus, An. bancrofti), Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx. annulirostris, Cx. whitmorei, Cx.bitaeniorhynchus), Aedes (Ae. subalbatus) dan Armigeres (Depkes, 2006).
Nyamuk Anopheles spp. yang teridentifikasi sebagai vektor W. bancrofti termasuk tipe pedesaan, sedangkan Cx. quinquefasciatus merupakan vektor tipe perkotaan. Nyamuk Mansonia merupakan vektor B. malayi, sedangkan di Indonesia bagian timur, nyamuk vektor yang penting adalah Mansonia dan An. barbirostris. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor B. malayi tipe subperiodik nokturna.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat36
Nyamuk An. barbirostris merupakan vektor penting B. timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan (Depkes RI, 2006).
Nyamuk vektor di Provinsi Jawa Barat adalah Cx. quinquefasciatus dan Ma. indiana (Depkes, 2006). Nyamuk Ma. Indiana juga ditemukan dalam penelitian Hoedojo et al. (1972), yang mempelajari penyakit kaki gajah selama kurang lebih 10 tahun (1960 – 1970) di pedesaan Banten, yaitu desa Kresek. Tempat pengembangbiakan larva yang ditemukan di desa tersebut adalah rawarawa seluas 125 hektar. Penelitian Dharma et al. 2004 di desa Margamulya Tangerang juga berhasil menemukan tiga spesies Mansonia antara lain: Ma. indiana, Ma. Longipalpis, dan Ma. uniformis. Wilayah Banten masih dilaporkan sebagai wilayah Provinsi Jawa Barat. Pada saat penelitian tersebut, Banten belum menjadi provinsi tersendiri.
Penelitian di desa Jalaksana Kabupaten Kuningan Jabar, mendapatkan populasi nyamuk terbanyak di luar maupun di dalam rumah adalah Cx. sitiens, kemudian Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus. Penelitian dila-kukan di daerah yang terdapat penderita kronis, dengan kondisi pemukimannya padat dan dekat dengan jalan utama dan merupakan tipe perkotaan. Sedangkan di Desa Panumbangan Kabupaten Ciamis yang merupakan tipe pedesaan, nyamuk yang tertangkap sebanyak 9 spesies (666 nyamuk), spesies yang dominan adalah Cx. sitiens (386 ekor) dan Cx. tritaeniorhynchus (222 ekor). Hasil pembedahan nyamuk secara massal maupun individu, tidak ditemukan adanya mikrofilaria (negatif) (Astuti et al., 2012).
Berdasarkan literatur Depkes RI, nyamuk Cx. sitiens belum ditentukan sebagai vektor filariasis, namun karena
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 37
berjumlah dominan dan ada penderita filariasis, nyamuk tersebut dikategorikan sebagai tersangka vektor. Selain dite-mukan di Ciamis dan Kuningan, berdasarkan penelitian tentang populasi nyamuk oleh Nusa et al. 2007, nyamuk Cx. sitiens juga ditemukan di Kabupaten Bekasi yang merupakan wilayah endemis filariasis.
Gambar 2.9Larva Culex spp.
Sumber: http://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos/culex_quinquefasciatus_larvgroup.jpg
Periodisitas mikrofilaria dan perilaku nyamuk mengisap darah berpengaruh terhadap risiko penularan sehingga untuk memberantas vektor filariasis, perilaku vektor harus diketahui meliputi perilaku reproduksi, menggigit, dan istirahat (Nutman dan Waller, 2000).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat38
Gambar 2.10Nyamuk Culex quinquefasciatus
Sumber: apni-news.blogspot.com
Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Daerah endemis W. bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat pen-duduk dan banyak terdapat genangan air kotor seperti saluran pembuangan air limbah terbuka yang dapat dijadikan sebagai habitat nyamuk Cx. quinquefasciatus. Kondisi lingkungan tipe pedesaan (rural) secara umum yang cocok untuk perkembangbiakan vektor W. bancrofti adalah perkebunan, hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air (Depkes RI, 2006). Keadaan lingkungan, seperti daerah hutan, persawahan, rawa-rawa yang sering ditumbuhi tumbuhan air dan saluran air limbah dan parit adalah salah satu habitat yang baik untuk pertumbuhan nyamuk spesies tertentu (Sigit SH dan Hadi UK, 2006). Penelitian lain oleh Astuti et al, 2012 yang melaksanakan survei tempat perkembangbiakan nyamuk di
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 39
dua lokasi di Provinsi Jawa Barat, melaporkan bahwa lokasi yang berisiko sebagai tempat perkembangbiakan vektor filariais yaitu di Desa Panumbangan Kabupaten Ciamis adalah persawahan, kolam, dan sungai; sedangkan di Desa Jalaksana Kabupaten Kuningan adalah kolam terbengkalai dan selokan terbuka sekitar rumah penduduk.
Lingkungan fisik berpengaruh terhadap munculnya tempat perkembangbiakan dan beristirahatnya nyamuk (Notoatmodjo S., 1997). Hasil penelitian di Kabupaten Bekasi menunjukkan adanya hubungan bermakna antara konstruksi plafon, keberadaan kawat kassa, dan barang-barang ber-gantung dengan kejadian filariasis (Juriastuti et al, 2010). Sedangkan lingkungan pemukiman berpengaruh terhadap terjadinya penularan filariasis.
Analisis riskesdas oleh Santoso et al. menunjukkan sebagian besar penderita filariasis (39,2%), tidak memiliki tempat penampungan air limbah, jadi hanya dibuang/ mengalir begitu saja di pekarangan dan dibiarkan terbuka. Kondisi ini dapat meningkatkan munculnya tempat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga meningkatkan risiko terjadinya penularan filariasis karena jaraknya ke pemukiman kurang dari 100 meter yang masih dalam jangkauan terbang nyamuk, karena sesuai dengan teori bahwa nyamuk pada umumnya mempunyai daya terbang sejauh 50 - 100 meter.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat40
Gambar 2.11Breeding Places Nyamuk di Desa Panumbangan, Kabupaten Ciamis
Sumber: Astuti et al., 2012
Gambar 2.12.Breeding Places Nyamuk di Desa Jalaksana, Kabupaten Kuningan
Sumber: Astuti et al., 2012
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 41
Penutup
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan secara epidemiologi bahwa penularan filariasis di Provinsi Jawa Barat merupakan interaksi dari multifaktor. Faktor risiko yang ditemukan di Jawa Barat dan mendukung terjadinya kasus filariasis adalah host (manusia) positif mikrofilaria, agent (W. bancrofti), nyamuk vektor (Cx. quinquefasciatus), dan faktor lingkungan sekitar tempat tinggal (rawa, kolam terbengkalai, persawahan, selokan terbuka, dan sungai). Di samping itu, jumlah kasus filariasis di Jawa Barat didukung oleh perilaku masyarakat yang berisiko, seperti: kebiasaan keluar pada malam hari, tidur tanpa kelambu, tidak menggunakan kawat kasa pada ventilasi rumah, dan tidak menggunakan repellent atau insektisida.
Daftar Pustaka
Anonim. 2010. “Filariasis di Indonesia” [Topik Utama]. Buletin Jendela Epidemiologi. Vol. I Juli 2010 hal. 1 - 8. ISSN 2087 – 1546. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi.Kementerian Kesehatan RI.
Anonim. 2012. “Filariasis”. [Last modified: 10/05/2012 00:58:21]. www.dpd.cdc.gov/.../Filariasis/
Anshari, Rudi. 2004. Analisis Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Dusun Tanjung Bayur Desa Sungai Asam Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Pontianak. [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Febrianto, Bagus, Asri Maharani, Sapto P, Widiarti. 2006. “Studi Faktor Resiko Filariasis Di Desa Sambirejo Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah”. Bulletin of Health Research. DOAJ. 2012 Volume 36 issue 2 Juni.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat42
Astuti, Endang Puji, Mara Ipa, Tri Wahono, M. Umar Riandi. 2012. “Faktorfaktor yang Mempengaruhi Filariasis di Daerah Endemis Provinsi Jawa Barat dan Banten (Gambaran Epidemiologi Filariasis di Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Serang)”. [Laporan Penelitian]. Loka Litbang P2B2 Ciamis.
Das, P.K., S.P. Pani and K. Krishnamoorthy. 2002. Prospects of Elimination of lymphatic Filariasis in India. Indian Council Med. Res. 32: 5-6.
Depkes RI. 2006. Epidemiologi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di Indonesia. Ditjen PP & PL. Jakarta. DEPKES RI.
Depkes RI. 2008. Pedoman Program Eliminasi Filariasis. Direktorat Jenderal PPM & PL. DEPKES RI. Jakarta.
Dharma, Wirya, Hoedojo et al. 2004. Survei Nyamuk di Desa Marga Mulya, Kecamatan Mauk Tangerang. J. Kedokteran Triksakti. April – Juni 2004 ; Vol. 23 No. 2.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2012. Situasi P2 Filariasis Provinsi Jawa Barat tahun 2007 2011. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Bandung. Kemenkes RI.
Haryuningtyas, Dyah dan Subekti, Didik. Dinamika Filariasis. [Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis]. [disitasi Mei 2013]. Balai Penelitian Veteriner Bogor. www.digilib.litbang.deptan.go.id/
Hoedojo, Oemijati S. “Environmental control of the vektor of malayan filariasis in Kresek, West Java. Vektor Control in Southeast Asia”. Proceedings of the First SEAMEO Workshop Singapore. 1972: August 17 - 18: 176 – 82.
Juriastuti, Puji et al. 2010. “Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kelurahan Jati Sampurna”. Makara Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2010: 31 - 36.
Maharani, Asri., Bagus Febrianto et al. 2006. “Studi Faktor Risiko Filariasis di Desa Sambirejo, Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan Jateng”. [Laporan Risbinkes]. BPVRP – Salatiga.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 43
McCarthy, James. 2000. “Diagnosis of Lymphatic Filarial Infections”. Bab 6 hlm. 133. dalam Nutman, Thomas B. Lymphatic Filariasis. Tropical Medicine: Science and Practice.
Nasrin. 2008. Faktor-faktor Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bangka Barat. [Tesis]. Program Pasca Sarjana Kesehatan Lingkungan. Universitas Diponegoro Semarang.
Notoatmodjo S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Nusa, Roy RES. 2007. “Populasi Nyamuk yang Berpotensi sebagai Vektor Japanese Encephalitis di Kabupaten Bekasi Jawa Barat”. Inside. Vol. II No. 2/Des. 2007. Loka Litbang P2B2 Ciamis. Balitbangkes Kemenkes RI.
Nutman dan Waller, 2001. Lymphatic Filariasis. Tropical Medicine: Science and Practice. Imperial College Press, 2000 : 283 hal.
Oemijati S Kurniawan A. “Epidemiologi Filariasis” dalam Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W (penyunting)Parasitologi Kedokteran. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, 2006. H 42 – 44.
Rufaidah, Y. Hubungan Lingkungan Rumah danKarakteristik Responden yang Berhubungan dengan Kejadian filariasis di Wilayah KerjaPuskesmas Bantar Gebang II Kota Bekasi Tahun 2004. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Indonesia, 2004.
Rusmartini, Tinni dan Yuliantina, Fitri. 2008. Prevalence Study of Re-Emerging Lymphatic Filariasis in West Java Indonesia. Departmen Parasitology. Universitas Padjadjaran. Bandung. Proc ASEAN Congr Trop Med Parasitol. 2008; 3: 125 - 9.
Santoso, Aprioza Yenni, Rika Mayasari. 2010. “Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis pada Masyarakat di Indonesia”. Buletin Spirakel. Loka Litbang P2B2 Baturaja. ISSN 2086-1346.
Sigit SH, Hadi UK, Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi dan Pengendalian. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 2006: 27 - 33.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat44
Spicer, W.J. 2000. Tissue Nematodes. In: Clinic al Bacteriology, Mycology, and Parasitology. Churchill Livingstone: London.
WHO. 2000. Lymphatic Filariasis. World Health Organization (WHO) mediacentre. http://www.who.int/mediacentre/
WHO. Lymphatic Filariasis. [disitasi Mei 2013]. www.who.int/ lymphatic_filariasis.
45
Bab 3UPAYA PENCEGAHAN &
PENGENDALIAN FILARIASIS
Tri WahonoM. Umar Riandi
Pendahuluan
Pemberantasan suatu penyakit perlu dilakukan apabila mempunyai dampak yang jelas, misalnya mempunyai angka kematian yang tinggi, angka kesakitan dan prevalensi yang tinggi, dapat menyebar dengan cepat dan menimbulkan wabah, serta menimbulkan kerugian yang besar. Filariasis adalah penyakit yang tidak menyebabkan kematian, tapi menyebabkan penderitaan dan kerugian yang besar karena penderita menjadi tidak produktif akibat kecacatan permanen (Oemijati, 1990).
Pencegahan filariasis merupakan upaya mencegah penularan dengan menghindarkan dari gigitan nyamuk yang membawa larva cacing filaria. Dapat dilakukan dengan pemberantasan parasit pada semua hospes (menghilangkan agent penyakit), pengendalian vektor, pengendalian hospes reservoir serta manajemen lingkungan.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat46
Pemberantasan Parasit pada Semua Hospes
Pengobatan seluruh hospes yang mengandung parasit, selain untuk menyembuhkan infeksi, juga untuk memberantas parasit sehingga tidak menjadi sumber penularan. Tapi untuk mencapai seluruh hospes sangat sulit dilakukan karena lingkupnya yang sangat luas. Upaya yang dapat dilakukan adalah pengobatan massal terhadap semua hospes yang berpotensi.
Program eliminasi filariasis di dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. Di Indonesia, untuk mencapai eliminasi filariais, ditetapkan dua pilar kegiatan yaitu memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal pencegahan fialriasis (POMP filariasis) di daerah endemis serta mencegah atau membatasi kecacatan karena filariasis. Pengobatan massal dilakukan dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan albendazol sekali setahun selama 5 - 10 tahun. Pelaksanaan kegiatan POMP di lapangan, mendapatkan beberapa kendala terutama adalah efek samping yang ditimbulkan obat dan cakupan (coverage) yang rendah. Rendahnya cakupan salah satunya dikarenakan mobilitas penduduk yang tinggi, bepergian untuk sementara atau jangka waktu lama karena alasan pekerjaan atau pendidikan. Dalam POMP, obat diberikan kepada sasaran, tetapi karena tidak bisa diawasi sehingga tidak dapat diketahui apakah obat diminum atau tidak.
Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan yang disebabkan oleh vektor yaitu
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 47
dengan cara meminimalkan habitat perkembangan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dan manusia serta memutus rantai penularan penyakit (PP&PL, 2012). Pengendalian vektor filaria di Indonesia belum dilakukan secara khusus dan spesifik. Vektor filaria yang sekarang ini diketahui ada 23 jenis nyamuk dari 5 genus berbeda merupakan kendala tersendiri dalam upaya pengendalian vektor ini. Pengendalian vektor di Indonesia yang telah dilakukan adalah pengendalian vektor DBD, malaria, dan chikungunya. Karena persamaan vektor DBD, malaria, dan chikungunya dengan filaria maka secara tidak langsung pengendalian vektor penyakit tersebut juga mempunyai efek terhadap pengendalian vektor filaria.
Secara garis besar ada empat cara pengendalian vektor yaitu dengan cara kimiawi, biologis, mekanik, dan radiasi (Soegijanto, 2006).
Pengendalian vektor secara kimiawi
Dalam pengendalian vektor secara kimiawi meng-gunakan berbagai bahan kimia untuk menghindari gigit-an nyamuk, membunuh nyamuk, atau menghambat pertum-buhan nyamuk. Bahan kimia yang digunakan mulai dari insektisida, larvasida maupun repellent.
Insektisida merupakan senyawa kimia yg digunakan untuk membunuh serangga (biasanya dengan cara meng-usapkan atau menyemprotkannya) (KBBI Depdiknas). Peng-gunaan insektisida ini mungkin yang paling cepat terlihat efeknya walaupun memiliki efek samping yang tidak kalah bahayanya. Penggunaan insektisida yang umum dilakukan adalah penyemprotan yang bertujuan untuk membunuh
Mengenal Filariasis di Jawa Barat48
nyamuk dewasa. Penyemprotan seharusnya dilakukan pada tempat menggigit dan tempat istirahat vektor. Pada praktiknya, hal ini sering tidak mencapai sasaran karena yang disemprot biasanya hanya rumah tinggal dan pemukiman sedangkan vektor filaria ini juga terdapat di berbagai macam lingkungan misalnya di ladang atau tepi hutan. Beragamnya vektor filariasis yang ada di Indonesia juga menjadi kendala yang besar karena membutuhkan data bionomik yang lengkap agar penggunaan insektisida tepat sasaran (Oemijati CDK, 1990).
Masalah lain yang timbul adalah resistensi vektor terhadap insektisida yang digunakan. Penentuan jenis insekti sida, dosis dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Bila penggunaan insektisida secara berulangulang dapat menimbulkan resistensi pada serangga sasaran.
Jenis insektisida kimiawi yang digunakan untuk pengendalian vektor nyamuk dewasa ada dua, yaitu organophosphat (Malathion, Methylpirimiphos) dan golongan pyretroid (Cypermethrine, Lamda-cyhalotrine, Cyflutrine, Permethrine, dan SBioalethrine). Insektisida ini ditujukan untuk stadium
Gambar 3.1Penyemprotan Nyamuk Dewasa/Fogging
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 49
dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/Fogging dan pengabutan dingin/ULV (PP&PL, 2012).
Larvasida adalah bahan kimia yang digunakan untuk membunuh larva/stadium pradewasa serangga. Penggunaan larvasida bertujuan untuk membunuh larva atau membuat larva tidak bisa menjadi nyamuk dewasa. Bahan kimia larvasida yang digunakan bisa merupakan bahan kimia buatan atau kimia bahan alam (ekstrak tumbuhan).
Bahan kimia buatan yang digunakan sebagai larvasida adalah insektisida jenis organophosphat (Temephos) (PP&PL, 2012). Di Indonesia, larvasida ini lebih dikenal dengan istilah Abate 1G yang mengandung Temephos 1%. Aplikasinya adalah dengan menaburkan abate ke dalam tempat penampungan air.
Gambar 3.2Abate 1G (Temephos 1%)
Selain larvasida bahan kimia buatan, sekarang banyak dilakukan penelitian menggunakan larvasida dengan zat kimia bahan alam (ekstrak tumbuhan). Bahan ini lebih dianjurkan karena tidak menimbulkan efek samping terhadap lingkungan. Penggunaan ekstrak tanaman ini terbukti efektif
Mengenal Filariasis di Jawa Barat50
sebagai larvasida pada berbagai penelitian seperti: ekstrak tumbuhan zodia dan tembakau (Susanti, 2012), daun sirih (Parwata , 2011), akar wangi (Laelatul K., 2010), jarak pagar (Atuti, 2011), dan lainlain. Walaupun terbukti efektif dalam penelitian tetapi penggunaan dan produksi massal ekstrak tanaman ini belum diterapkan di masyarakat.
Repellent merupakan bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk menjauhkan serangga sehingga dapat digunakan untuk menghindari gigitan serangga. Repellent ini digunakan dengan cara menggosokkan atau
Gambar 3.3Berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai larvasida
menyemprotkan pada kulit atau pakaian. Bahan kimia yang digunakan bisa bahan kimia buatan atau kimia bahan alam (ekstrak tumbuhan).
Bahan kimia buatan yang digunakan untuk repellent nyamuk antara lain: DEET (N,N-diethyl-m-toluamide),
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
53
lain-lain. Walaupun terbukti efektif dalam penelitian tetapi penggunaan dan produksi massal ekstrak tanaman ini belum diterapkan di masyarakat.
Repellent merupakan bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk menjauhkan serangga sehingga dapat digunakan untuk menghindari gigitan serangga. Repellent
ini digunakan dengan cara menggosokkan atau Gambar 3.3.
Berbagai Tanaman yang Bisa Digunakan sebagai Larvasida
menyemprotkan pada kulit atau pakaian. Bahan kimia yang digunakan bisa bahan kimia buatan atau kimia bahan alam (ekstrak tumbuhan).
Bahan kimia buatan yang digunakan untuk repellent nyamuk antara lain: DEET (N,N-diethyl-m-toluamide), Permethrin, IR 3535 (3-[N-butyl-N-acetyl]-aminopropionic acid (MDPH, 2008). Repellent dengan bahan DEET tidak
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 51
Permethrin, IR 3535 (3-[N-butyl-N-acetyl]-aminopropionic acid (MDPH, 2008). Repellent dengan bahan DEET tidak boleh digunakan untuk bayi yang berumur kurang dari dua bulan. Bayi yang berumur kurang dari dua bulan memiliki rasio luas permukaan tubuh terhadap masa tubuh yang lebih besar sehingga mudah menyerap bahan kimia dan mencapai konsentrasi plasma yang tinggi. Bahan repellent ini bersifat korosif dan walaupun ditambahkan dengan zat-zat lain yang berfungsi sebagai pelembap, zat ini tetap berbahaya.
Gambar 3.4Repellent Bahan Kimia Buatan.
Selain bahan kimia buatan terdapat berbagai ekstrak tumbuhan yang bisa digunakan sebagai repellent yang relatif lebih aman daripada menggunakan bahan kimia buatan.
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik telah melakukan penelitian terhadap potensi tanaman aromatik sebagai penghalau nyamuk dan lalat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman serai wangi yang mengandung sitronela dan geraniol; zodia yang mengandung evodiame, rutaecarpine, dan linool; serai dapur yang mengandung citrat; nilam yang mengandung patchouli alkohol; adas yang
Mengenal Filariasis di Jawa Barat52
mengandung anetol, berpotensi sebagai penghalau (repellent terhadap nyamuk Ae. Aegypti dengan daya proteksi berkisar antara 60 – 80% selama 2 – 4 jam (Kardinan, 2008).
Gambar 3.5Berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai repellent
Pengendalian vektor secara biologis/hayati
Pengendalian vektor secara biologis/hayati adalah pengendalian yang dilakukan dengan cara menggunakan makhluk hidup (Soegijanto, 2006). Tiga peran utama pengen-dalian vektor biologis adalah sebagai predator, patogen, dan parasit. Pengendalian secara biologis ini secara biologis/hayati ini memiliki berbagai keuntungan antara lain aman, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, tidak menyebabkan resistensi, relatif murah, dan bersifat jangka panjang.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
55
mengandung evodiame, rutaecarpine, dan linool; serai dapur yang mengandung citrat; nilam yang mengandung patchouli alkohol; adas yang mengandung anetol, berpotensi sebagai penghalau (repellent terhadap nyamuk Ae. Aegypti dengan daya proteksi berkisar antara 60 – 80% selama 2 – 4 jam (Kardinan, 2008).
Gambar 3.5. Berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai repellent
Pengendalian vektor secara biologis/hayati
Pengendalian vektor secara biologis/hayati adalah pengendalian yang dilakukan dengan cara menggunakan makhluk hidup (Soegijanto, 2006). Tiga peran utama pengendalian vektor biologis adalah sebagai predator, patogen, dan parasit. Pengendalian secara biologis ini
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 53
Predator adalah binatang yang hidupnya memangsa hewan lain (KBBI, 2005). Ada beberapa jenis ikan seperti: ikan kepala timah, gabus, cupang, tampalo, dan guppy merupakan predator pemakan larva/jentik nyamuk. Ikan jenis ini banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk dipelihara dalam kolam, bak mandi atau tempat penampungan air lainnya. Cara ini terbukti efektif dalam mengendalikan dan menekan jumlah larva/jentik nyamuk.
Gambar 3.6Berbagai ikan pemakan larva/jentik
Selain ikan ada larva capung, Toxorchyncites, Mesocylops yang juga dapat berperan sebagai predator walaupun bukan sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor (PP & PL, 2012). Nimfa capung (Labellulla) yang hidup di dalam air telah lama diketahui sebagai predator larva nyamuk baik di laboratorium maupun di alam (Suwasono, 1997).
Patogen adalah parasit yang mampu menimbulkan penyakit pada inangnya; bahan yang menimbulkan penyakit (KBBI, 2005). Pengendalian vektor menggunakan patogen
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
56
secara biologis/hayati ini memiliki berbagai keuntungan antara lain aman, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, tidak menyebabkan resistensi, relatif murah, dan bersifat jangka panjang.
Predator adalah binatang yang hidupnya memangsa hewan lain (KBBI, 2005). Ada beberapa jenis ikan seperti: ikan kepala timah, gabus, cupang, tampalo, dan guppy merupakan predator pemakan larva/jentik nyamuk. Ikan jenis ini banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk dipelihara dalam kolam, bak mandi atau tempat penampungan air lainnya. Cara ini terbukti efektif dalam mengendalikan dan menekan jumlah larva/jentik nyamuk.
Gambar 3.6. Berbagai ikan pemakan larva/jentik
Selain ikan ada larva capung, Toxorchyncites, Mesocylops yang juga dapat berperan sebagai predator
Mengenal Filariasis di Jawa Barat54
contohnya adalah pemanfaatan bakteri Bacillus thuringiensis dan bakteri yang bersifat kitinolitik.
Bacillus thuringiensis bersifat toksik terhadap larva nyamuk. Bakteri ini memproduksi toksin yang dapat meng-hancurkan sel-sel epitel inangnya sehingga menyebabkan kematian inangnya (Blondine, 2004).
Gambar 3.7Bacillus ThuringiensisSumber: Blondine (2004)
Bakteri kitinolitik juga berpotensi sebagai pengendali hayati nyamuk. Hal ini didasarkan bahwa komponen eksoskeleton nyamuk tersusun dari bahan kitin sehingga secara logika dapat didegradasi oleh enzim kitinase yang dihasilkan oleh bakteri kitinolitik. Kerusakan struktur eksoskeleton larva nyamuk dapat berakibat pada gangguan pertumbuhan dan kematian (Pujiyanto, 2008).
Parasit adalah organisme yang hidup dan mengisap makanan dari organisme lain yang ditempelinya (KBBI, 2005). Romanomermis iyengari merupakan organisme jenis cacing Nematoda yang bersifat parasit pada larva nyamuk. Cacing tersebut tumbuh dan berkembang menjadi dewasa di dalam tubuh larva yang menjadi inangnya. Setelah dewasa cacing tersebut keluar dari tubuh inangnya dengan jalan menyobek
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 55
dinding tubuh inang sehingga menyebabkan kematian inangnya (Suwasono, 1997). Tidak seperti ikan pemangsa larva yang sudah banyak diterapkan masyarakat luas, penggunaan bakteri patogen maupun parasit belum terlalu dikenal dan masih dalam tahap penelitian laboratorium.
Pengendalian vektor secara fisik/mekanik
Pengendalian vektor secara fisik dapat dilakukan dengan cara mencegah kontak antara vektor dengan manusia. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan menggunakan kelambu, memasangan kasa nyamuk di rumah atau meng-gunakan net/raket nyamuk.
Gambar 3.8Pengendalian Vektor secara Fisik
Selain itu ada Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melaui program 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) merupakan upaya pengendalian yang dilakukan secara fisik dan dijadikan program pengendalian utama oleh pemerintah. Program 3M yang dimaksud adalah menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, menutup rapat-rapat tempat penampungan air, dan mengubur atau mendaurulang
Mengenal Filariasis di Jawa Barat56
barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.
Gambar 3.9Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui Program
3M (Menguras, Menutup, Mengubur)
Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode komunikasi/penyampaian informasi/pesan yang berdampak pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan PSN melalui pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Communication for Behavioral Impact (COMBI). Metode ini pernah dilakukan di beberapa kota antara lain: Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Padang, dan Yogyakarta pada tahun 2007; sedangkan pada tahun 2008 dilaksanakan di lima kota, meliputi: Jakarta Selatan, Bandung, Tangerang, Semarang, dan Surabaya. Kegiatan PSN dengan metode pendekatan COMBI tersebut menjadi salah satu prioritas kegiatan dalam program P2DBD di masa yang akan datang. Dari tahun 1994 – 2008 diperoleh
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 57
angka ABJ masih di bawah di bawah target. Tampaknya upaya PSN belum berjalan dengan baik di masyarakat, sehingga kegiatan penyuluhan dan sosialisasi mobilisasi masyarakat untuk PSN perlu lebih ditingkatkan (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Pengendalian vektor secara radiasi
Pengendalian vektor ini menggunakan teknik jantan mandul. Nyamuk dewasa jantan diradiasi menggunakan bahan radioaktif dengan dosis tinggi sehingga menjadi mandul. Nyamuk jantan yang telah diradiasi ini kemudian dilepaskan ke alam bebas. Meskipun nantinya terjadi perkawinan dengan nyamuk betina di alam tapi nyamuk betina tersebut tidak dapat menghasilkan telur yang fertil (Soegijanto, 2006).
Pengendalian Hospes Reservoir
Pengendalian hospes reservoir ini mungkin pengenda-lian yang paling sulit dilaksanakan saat ini. Seperti yang kita ketahui ada dua hospes reservoir filaria yaitu kera dan kucing. Pemberantasan terhadap kedua spesies ini tidak mungkin dilakukan karena kera merupakan hewan yang dilindungi dan pemberantasan suatu spesies akan merusak keseimbangan ekologi.
Pendekatan yang mungkin dilakukan adalah menjauhkan habitat kera dari manusia sehingga tidak menimbulkan penularan. Sedangkan untuk kucing bisa dilakukan pengobatan massal tapi akan susah dilakukan karena pengobatan massal pada hewan biasanya mempunyai jangkauan yang rendah (Oemijati, 1990). Hal ini dikarenakan
Mengenal Filariasis di Jawa Barat58
tidak semua kucing dipelihara dan banyak yang liar sehingga untuk monitoring sangat susah untuk dilakukan.
Manajemen Lingkungan
Pengendalian vektor yang paling efektif adalah manajemen lingkungan, termasuk perencanaan, organisasi, pe-laksanaan dan aktivitas monitoring untuk memanipulasi atau memodifikasi faktor lingkungan dengan maksud untuk mencegah atau mengurangi vektor penyakit manusia dan perkembangan vektor patogen (WHO, 1997). Pengendalian melalui manajemen lingkungan ini dinilai paling aman karena selain tidak merusak keseimbangan alam tapi juga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Manajemen lingkungan ini juga bersifat jangka lama karena biasanya dilakukan sekali dan dilakukan pemeliharaan secara berkala. WHO membagi manajemen lingkungan menjadi tiga jenis, yaitu: modifikasi lingkungan, manipulasi lingkungan, dan mengubah perilaku atau tempat tinggal manusia. Manajemen lingkungan ini bertujuan untuk menghilangkan atau menghambat kelestarian lingkaran hidup parasit dengan cara menghilangkan tempat perindukan, mengurangi potensi tempat perindukan, dan mengurangi kontak antara vektor dan manusia. Manajemen lingkungan ini hanya akan berhasil dengan baik jika dilakukan oleh seluruh masyarakat, lintas sektor, pemenang kebijakan dan lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan.
Modifikasi lingkungan
Modifikasi lingkungan mempunyai tujuan utama untuk menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan. Hal ini dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain: penim-
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 59
bunan tempat perkembangbiakan, pengeringan tempat perkembangbiakan atau pengaturan pengairan/irigasi (Boesri, 2010).
Penimbunan tempat perkembangbiakan ini dilakukan dengan cara menimbun tempat-tempat yang mempunyai potensi membuat genangan air seperti cekungan tanah, bekas kolam, atau kontainer. Cara lain yang bisa ditempuh yaitu pengeringan tempat perkembangbiakan yang meliputi: bekas kolam ikan, genangan-genangan air ataupun saluran/selokan air yang mampet. Pengaturan pengairan/irigasi dapat dilakukan dengan mengalirkan air secara cepat sehingga nyamuk tidak dapat berkembangbiak.
Manipulasi lingkungan
Manipulasi lingkungan merupakan kegiatan yang bertujuan menghasilkan keadaan sementara yang tidak menguntungkan bagi vektor untuk berkembang biak. Khusus untuk vektor nyamuk manipulasi yang bisa dilakukan antara lain: pembersihan dan pengangkatan lumut dari lagoon, pengubahan kadar garam air menjadi tawar, dan pemutusan pengairan secara berkala dibidang pertanian.
Pembersihan dan pengangkatan lumut dari lagoon pernah dilakukan di Cibalong Kecamatan Pameungpeuk Jawa Barat pada tahun 1980 – 1981, dengan cara mengangkat lumut yang merupakan tempat perkembangbiakan An. sundaicus. Hasil dari pengamatan sebelum dan sesudah pembersihan lumut menunjukkan penurunan densitas nyamuk baik dewasa, larva maupun pupa (Ditjen P3M, 1982).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat60
Mengubah perilaku atau tempat tinggal manusia
Tujuannya untuk mencegah atau membatasi per-kembangan vektor dan mengurangi kontak antara vektor dan manusia. Pendekatan ini bisa dilakukan dengan penempatan dan pemukiman kembali penduduk jauh dari sumber vektor, perlindungan perorangan, pembersihan tempat perkembangbiakan, pemasangan rintangan-rintangan dan menyediakan fasilitas untuk menyalurkan air dan kotoran/sampah (Boesri, 2010).
Perubahan perilaku dapat dilakukan dengan cara men-sosialisasikan perilaku untuk mengurangi kontak dengan vektor penyakit seperti tidur dengan kelambu, mengurangi kebiasaan keluar malam, menggunakan obat nyamuk, pe-masangan kasa nyamuk, menggunakan repellent atau mem-bersihkan tempat-tempat yang dapat untuk berkembang biak nyamuk. Sedangkan untuk penempatan dan pemukiman kembali dengan lokasi yang jauh dari vektor susah untuk dilakukan karena membutuhkan biaya yang besar, tapi upaya ini dapat dilakukan terhadap penduduk/peladang liar dekat hutan. Hal ini dapat dilakukan untuk mengurangi risiko gigitan nyamuk/vektor malaria dan filaria yang habitatnya di hutan.
Pengendalian Vektor di Jawa BaratPengendalian vektor filariasis sampai saat ini belum
ada yang spesifik. Untuk memutus transmisi penularan program yang dilakukan adalah dua pilar eliminasi filariasis, yaitu pengobatan massal dan pembatasan kecacatan pada penderita. Namun demikian, bukan berarti tidak dilakukan pengendalian vektor. Pengendalian vektor dilakukan secara lintas program mengingat vektor filariasis juga merupakan vektor DBD dan malaria.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 61
Vektor filariasis yang ditemukan di Provinsi Jawa Barat adalah C. quinquefasciatus dan Ma. Indiana. Pengendalian vektor yang sudah dilakukan di beberapa kabupaten/kota yang endemis filariasis masih belum spesifik dan masih tergabung kegiatannya dengan penyakit tular vektor yang disebabkan oleh nyamuk lainnya, yaitu malaria dan demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan hasil wawancara de-ngan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, pengendalian untuk filariasis belum terfokus pada vektornya. Selama ini pengendalian yang dilakukan masyarakat adalah membersih-kan lingkungan atau tempat perkembangbiakan potensial nyamuk berupa genangan air terbuka, pesawahan, dan ko-lam terbengkalai. Selain itu, beberapa pengendalian yang dapat mengurangi kontak antara manusia dengan nyamuk adalah pemakaian kasa, kelambu berinsektisida, dan raket listrik. Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwasono, Hadi et al., 2004, bahwa kelambu yang menggunakan insektisida alphacypermethrin dengan dosis 0,01 – 0,04 ml/m2 mempunyai daya bunuh terhadap nyamuk Cx. quinquefasciatus kurang dari 3 bulan dengan kematian 50%. Walaupun kelambu berinsektisida efektif dalam memutus kontak antara manusia dengan nyamuk, masih jarang digunakan oleh masyarakat. Di Provinsi Jawa Barat, pembagian kelambu berinsektisida sudah dilakukan oleh program pengendalian penyakit menular untuk wilayah endemis malaria, yang sekaligus mampu mengendalikan populasi vektor filaria.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat62
Penutup
Metode pengendalian vektor filariasis yang dilakukan sampai dengan saat ini belum ada yang spesifik, pengendaliannya berupa pendekatan baik secara fisik, kimiawi, dan biologis serta melalui manajemen lingkungan. Pemerintah berupaya mencegah dengan melalui dua pilar eliminasi filariasis yaitu memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal pencegahan filariasis (POMP) serta mencegah dan membatasi kecacatan yang diakibatkan oleh filariasis.
DaftarPustaka
Astuti, Endang Puji dkk. 2011. “Efektivitas Minyak Jarak Pagar sebagai Larvasida, AntiOviposisi dan Ovisida terhadap Larva Nyamuk Aedes albopictus”. Bull. Littro, Vol 2. 44-53.
Blondine, Ch P dkk. 2004. “Pengendalian Vektor Malaria Anopheles Sundaicus Menggunakan Bacillus Thuringiensis 014 Galur Lokal yang Dibiakkan dalam Buah Kelapa dengan Partisipasi Masyarakat di Kampung Laut Kabupaten Cilacap”. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 3 No. 1. 24-36
Boesri Hasan. 2010. “Prospek Pengendalian Lingkungan dalam Upaya Pengendalian Serangga Kesehatan”. Aspirator Vol. 2 No. 1. 32-36
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ditjen P3M. 1982. Laporan Hasil Penangkapan Anopheles sundaicus di Desa Cibalong Kecamatan Pameungpeuk Jawa Barat dalam Rangka Studi Bionomik. Sub Dit SPP Dit. Jen P3M. Jakarta
Ditjen PP dan PL. 2012. Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 63
Gilchrist, Mary dan De Maria Alfred. 2008. Massachusetts Arbovirus Surveillance and Response Plan. Massachusetts Department of Public Health.
Kardinan, Agus. 2008. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Agromedia Pustaka.
Laelatul K, Lela dkk. 2010. “Efektivitas Biolarvasida Ekstrak Etanol Limbah penyulingan Minyak Akar Wangi (Vetiveria zizanoides) terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti, Culex sp. dan Anopheles sundaicus.”
Oemijati, Sri. 1990. “Masalah dalam Pemberantasan Filariasi di Indonesia”. Cermin Dunia Kedokteran. No. 64, 7-10.
Parwata, I Made Oka Adi dkk. “Aktivitas Larvasida, Minyak Atsiri pada Daun Sirih (Piper betle Linn) terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti”. Jurnal Kimia 5 (1). 88-93.
Pujianto, Sri dkk. 2008. “Isolasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik Isolat Lokal yang Berpotensi untuk Mengendalikan Larva Nyamuk Aedes aegypti”. Jurnal Ilmiah. No. 1 Vol. 9. 5-8.
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. 2010. “Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968 – 2009”. Buletin Jendela Epidemiologi Vol. 2. 1-14.
Soegijanto, Soegeng, 2006. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia. Cetakan I. Airlangga, Surabaya.
Susanti, Lulus dan Boesri, Hasan. “Toksisitas Biolarvasida Ekstrak Tembakau Dibandingkan dengan Ekstrak Zodia terhadap Jentik Vektor Demam Berdarah Dengue (Aedes aegypti)”. Buletin Penelitian Kesehatan Volume 40 No. 2. 75-84.
Suwasono, Hadi. 1997. “Berbagai Cara Pemberantasan Larva Aedes aegypti”. Cermin Dunia Kedokteran No. 119. 10-13.
WHO. 1997. Vektor Control: Methods for Use by Individuals and Communities. Alden Press. Geneva.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat64
65
Bab 4DUA PILAR ELIMINASI FILARIASIS
Mara IpaEndang Puji Astuti
Pendahuluan
Program eliminasi filariasis di dunia berdasarkan deklarasi WHO dimulai tahun 2000, sedangkan di Indonesia dimulai tahun 2002, dan merupakan salah satu program prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Tujuan umum program eliminasi filariasis adalah menjadikan filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Untuk mencapai eliminasi filariasis, di Indonesia ditetapkan dua pilar kegiatan yaitu memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal pencegahan filariasis (POMP filariasis) di daerah endemis, dan mencegah serta membatasi kecacatan yang diakibatkan oleh filariasis (Ditjen P2PL Depkes RI., 2009).
Penyelenggaraan POMP filariaris diprioritaskan pada daerah endemis yang ditentukan melalui survei darah jari di setiap Kabupaten/Kota. Namun upaya ini belum menjangkau
Mengenal Filariasis di Jawa Barat66
seluruh penduduk wilayah kabupaten/kota, sehingga tidak efisien dan tidak efektif karena belum seluruh penduduk terlindungi sehingga tetap terdapat risiko penularan (re-infeksi). Pelaksanaan POMP filariasis perlu direncanakan secara komprehensif dan mencakup seluruh wilayah endemis di Indonesia (Ditjen P2PL Depkes RI., 2010).
Filariasis tidak mengakibatkan kematian namun kecacatan yang ditimbulkan dapat menimbulkan stigma sosial bagi penderita dan keluarganya, sehingga berdampak pada penurunan produktivitas kerja penderita, menjadi beban keluarga, dan masyarakat, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit bagi negara karena penderita tidak dapat bekerja secara optimal dalam waktu yang lama (Subdit Filariasis & Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI., 2006). Upaya mencegah dan membatasi kecacatan yang diakibatkan oleh filariasis, dilakukan terhadap penderita dengan gejala klinis akut juga dengan gejala klinis kronis.
Dalam rangka mensukseskan program eliminasi filariasis, Menteri Kesehatan mengharapkan seluruh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di daerah endemis filariasis dapat menjaga keberlangsungan program ini selama lima tahun ke depan. Hal ini terkait komitmen Pemerintah Daerah (Pemda), karena besarnya anggaran untuk program POMP Filariasis. Sasaran program POMP adalah seluruh masyarakat di daerah program minum obat untuk mensukseskan eliminasi filariasis di Indonesia (Depkes RI., 2009).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 67
Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Filariasis
Pengobatan massal filariasis merupakan salah satu pilar program eliminasi filariasis yang bertujuan untuk memutuskan rantai penularan filariasis dengan mengurangi mikrofilaria dalam darah tepi penderita sehingga mengurangi potensi penularan oleh nyamuk. Pengobatan massal filariasis dilakukan dengan pemberian tiga jenis obat filariasis Diethyl Carbamazine Citrate (DEC), Albendazole, dan Paracetamol secara cumacuma kepada masyarakat yang tinggal di daerah endemis filariasis.
Obat DEC merupakan obat yang paling efektif untuk membunuh microfilaria maupun makrofilaria. Berbagai metoda untuk memberantas filariasis di Indonesia telah dilakukan, antara lain: pengobatan massal dengan dosis standar di sekitar Bendungan Gumbasa di Sulawesi Tengah dan di Banjar, Kalimantan Selatan (Putrali, Kaleb, 1974 dalam Sudomo, 2008). Pengobatan dengan dosis rendah yang diikuti oleh dosis standar telah dilakukan di Kalimantan Selatan, Flores Barat, Kabupaten Batanghari, Jambi dengan hasil yang sangat baik (Rush J et al., 1980 dalam Sudomo, 2008). Pengobatan massal dilakukan di daerah endemis dengan menggunakan obat DEC, Albendazole, Paracetamol yang diberikan sekali setahun selama minimal 5 tahun. Dosis obat untuk sekali minum adalah DEC 6 mg/kg/berat badan, Albendazol 400 mg (1 tablet) dan Paracetamol 10 mg KgBB sekali pemberian. Sebaiknya obat diminum sesudah makan dan didepan petugas. Berikut dosis obat berdasarkan berat badan dan Umur (Purwantyastuti, 2010).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat68
Tabel 4.1 Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan
Berat BadanDEC
(100 mg)Tablet
Albendazole (400mg)
Tablet
Paracetamol (500mg)
Tablet10 – 16 1 1 0,5
17 – 25 1,5 1 0,526 – 33 2 1 134 – 40 2,5 1 141 – 50 3 1 151 – 58 3,5 1 159 – 67 4 1 168 – 75 4,5 1 176 – 83 5 1 1
> 84 5,5 1 1Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Parasetamol diberikan untuk mencegah reaksi samping seperti demam, sedangkan untuk dosis obat berdasarkan umur ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 4.2 Dosis Obat Berdasarkan Umur
UMUR(Tahun)
DEC (100 mg)(Tablet)
Albendazole (400mg)(Tablet)
Paracetamol(500mg)(Tablet)
2 - 5 1 1 0,256 - 14 2 1 0,5>14 3 1 1
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Pengobatan massal dihentikan apabila Mf rate sudah mencapai <1%; secara individual/selektif; dilakukan pada kasus klinis, baik stadium dini maupun stadium lanjut, jenis dan obat tergantung dari keadaan kasus. Tujuan dari
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 69
pemberantasan jangka pendek adalah: untuk mengurangi angka prevalensi, 1) untuk mengurangi angka kesakitan, terutama gejala akut, 2) dan untuk mengurangi intensitas penularan. 3)
Program pemberantasan jangka panjang digunakan untuk mendukung konsep bahwa filariasis dapat hilang dengan sendirinya, bahkan tanpa intervensi dari sektor kesehatan, apabila terjadi perubahan ekosistem yang akan menuju kepada hilangnya tempat perindukan nyamuk vektor filariasis (Ditjen P2PL Depkes RI., 2010). Berikut pengobatan filariasis yang pernah dilakukan di Indonesia.
Tabel 4.3 Pengobatan Filariasis di Indonesia Tahun 1970 - Sekarang
Tahun Pengobatan Keterangan1970 - 1983
Dosis standar: 5 mg/kg BB/hari 10 hari: B. malayi, B. timori 15 hari: W. bancrofti
Timbul efek samping, tidak disukai penduduk
1984 - 1990: dosis kombinasi
Umur > 10 th: 100mg/hari selama 6 hari , dilanjutkan dosis standar: 4 hari Umur < 10 th: 50mg/hari selama 6 hari , dilanjutkan selama 4 hari Dosis kombinasi yang lain:Umur > 10 th: 50 mg/ minggu selama 6 bulan
Masih timbul efek samping
Masih timbul efek samping, walaupun sudah
Mengenal Filariasis di Jawa Barat70
Umur < 10 th: 25 mg/ minggu selama 6 bulan dilanjutkan dosis standar: 5mg/kg BB/hari
berkurang
1991 – sekarang
1997 – sekarang
Umur > 10 th: 100 mg/ minggu selama 40 minggu Umur < 10 th: 50 mg/ minggu selama 40 minggu garam DEC 0,2%
2002 - sekarang
DEC 6mg/kgBB + Albendazol 400mg + Paracetamol setahun sekali selama 5 tahun
Sumber: Materi Kuliah S2 Penyakit Tropis, Prof. DR. dr. Soeyoko, DTM&H, SU
Pada pengobatan filariasis, terutama pengobatan massal, sesudah obat diberikan dapat timbul kejadian pasca pengobatan filariasis baik ringan maupun berat yang merupakan efek farmakologi, efek samping, interaksi obat, intoleransi, idiosinkrasi ataupun kejadian ikutan berupa alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan. Kejadian ikutan tersebut antara lain: sakit kepala, pusing, demam, mual, muntah, sakit otot, lemas, gatal, keluar cacing, diare, dan mengantuk sedangkan yang berat antar lain: diare dengan dehidrasi berat, sinkop, udem anasarka, dan angioedema. Kejadian ikutan pasca pengobatan apabila tidak diantisipasi dapat memberikan hambatan yang besar terhadap suksesnya program eliminasi filariasis.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 71
Gambar 4.1 Obat Filariasis (DEC, Albendazole, dan Paracetamol)
Sumber: http://lonelylovelycat.wordpress.com/
Mengenal Filariasis di Jawa Barat72
Tabe
l 4.4
.
Renc
ana
Caku
pan
POM
P Fi
lari
asis
Kab
upat
en/K
ota
Tahu
n 20
10 -
2014
di I
ndon
esia
Sum
ber:
Ditj
en P
2PL
Dep
kes
RI.,
2010
No
Wila
yah
Pula
u
Jum
lah
Kab/
Kota
dan
Kab/
Kota
ende
mis
filar
iasi
s
Jum
lah
Kab/
Kota
yan
g
mel
aksa
naka
n PO
MP
Fila
rias
is
Tota
l sam
pai
2014
2010
2011
2012
2013
2014
Kab POMP
FilariasisKab POMP
Filariasis 5 thn
Kab POMP
FilariasisKab POMP
Filariasis 5 thn
Kab POMP
FilariasisKab POMP
Filariasis 5 thn
Kab POMP
FilariasisKab POMP
Filariasis 5 thn
Kab POMP
FilariasisKab POMP
Filariasis 5 thn
Kab POMP
FilariasisKab POMP
Filariasis 5 thn
1Su
mat
era
139
139
318
353
413
472
522
7069
2Ka
liman
tan
5555
181
1820
323
325
3223
3Ja
wa
117
3217
017
018
020
421
227
54
Sula
wes
i70
3717
117
113
713
317
130
75
Bali
90
00
00
00
00
6N
TB&
NTT
2921
51
51
80
120
190
210
7M
aluk
u18
182
04
04
07
114
116
28
Papu
a35
3514
019
11
225
131
035
0To
tal
472
337
104
1111
512
515
147
1417
96
231
106
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 73
POMP Filariasis Provinsi Jawa Barat
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, melaporkan bah-wa 11 kabupaten/kota dari 26 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat merupakan daerah endemis filariasis. Kabupaten/Kota tersebut antara lain: Kabupaten Karawang, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Bandung. Hingga Juni 2013 kasus filariasis yang ditemukan di Provinsi Jawa Barat sebanyak 833 kasus kronis dan 555 kasus positif mikrofilaria yang tersebar di 25 kabupaten/kota pada 174 desa/kelurahan. Rentang Mf rate di Provinsi Jawa Barat sebesar 0% - 5,58% (Dinkes Prov Jabar, 2013).
Gambar 4.2Peta Sebaran Mf Rate dan Kegiatan POMP Filariasis
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012
Mengenal Filariasis di Jawa Barat74
Dalam upaya eliminasi filariasis di Provinsi Jawa Barat, telah dilakukan upaya pemberian obat, pembuatan tim dan koordinasi yang melibatkan berbagai unsur masyarakat, te-naga kesehatan termasuk perguruan tinggi kesehatan yang ada di tiap kabupaten/kota di Jawa Barat.
Pelaksanaan POMP Filariasis di Provinsi Jawa Barat dari 11 Kabupaten/kota yang endemis, 8 Kabupaten/Kota sudah melaksanakan POMP Filariasis implementation unit (IU) se-Kabupaten/Kota, sedangkan 3 Kabupaten masih pengobatan secara selektif, yaitu Kabupaten Purwakarta, Bogor, dan Kuningan. Berikut tabel pelaksanaan POMP Filariasis di Provisinsi Jawa Barat sampai dengan tahun 2013.
Tabel 4.5
Pelaksanaan POMP Filariasis di ProvinsiJawa Barat Tahun 2013
No Kabupaten/Kota POMP Fialriasis1 Kota Bogor Selesai POMP F IU 5 tahun dan
Transmission Assessment Survey ( TAS)
2 Kota Depok dan Kab. Bekasi
Selesai POMP F IU 5 tahun Tahun 2012
3 Kab. Bandung Selesai POMP F IU 5 tahun Tahun 2013
4 Kota Bekasi POMP F IU Tahun ke IV Tahun 20135 Kab. Subang POMP F IU Tahun ke III Tahun 20136 Kab. Karawang
dan TasikmalayaPOMP F IU Tahun ke I Tahun 2013
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2013
Namun setelah dilakukan validasi data diketahui bahwa hasil evaluasi World Health Organization (WHO) terhadap
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 75
pelaksanaan POMP F di 8 Kabupaten/kota yang dinyatakan telah selesai adalah Kota Bogor saja. Berikut hasil indept interview pemegang program filaria Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
“... Kabupaten Bekasi sama Kota Depok. Tetapi setelah mendapat evaluasi dari WHO sebenarnya belum bisa masuk TAS tapi baru survei endemisitas. Karena berdasar evaluasi itu kegiatan POMP kabupaten/kota cakupannya itu minimal 65% dari populasi penduduk. Seperti kota Depok yang seharusnya sudah 5 tahun di tahun 2012, tahun ini sudah kita survei untuk evaluasi prevalensi mikrofilaria walaupun hasilnya nol tetapi ada 2 tahun berturutturut tahun 2009 dan 2010 itu kurang dari 65% harus mengulang 2 tahun lagi. TAS ini tetap dilaksanakan tapi survei endemisitas. Untuk melihat seberapa jauh transmisi ke anak sekolah. Jadi kita kan pengobatan dari usia 2 – 65 tahun, dengan TAS itu untuk mengetahui apakah masih transmisi di anak usia 6 – 7 tahun ...” [CM, 8 Oktober 2013]
Perubahan indikator cakupan pengobatan efektif sangat disesalkan karena tidak diinformasikan lebih awal oleh tim evaluasi WHO. Berikut pernyataan hasil wawancara mendalam.
“… Sekarang WHO sangat ketat untuk eliminasi filariasis. Yang kita lihat jumlah penduduk, bukan sasaran ...” [CM, 8 Oktober 2013]
“... Kalau dikasih tahu cakupannya minimal 65%, kenapa tidak dari awal pemberitahuannya. Jadi kita bisa melaksanakan pada saat POMP, misalnya ku-rang dari cakupan 65% kita bisa sweeping, kita bisa
Mengenal Filariasis di Jawa Barat76
upayakan mana-mana cakupan wilayah yang rendah ...” [CM, 8 Oktober 2013]
“... WHO mengevaluasi setelah tahun ini. Jadi kita tidak bisa memperbaiki yang sebelumnya tetep harus diulang, jadi seperti Kota Depok harus tetap mengulang 2 tahun lagi walaupun harusnya sudah selesai tahun 2012. Tahun 2013 sudah tidak ada pengobatan massal, tahun depan baru dilaksanakan walaupun TAS-nya tetap bisa dilaksanakan. Ini sebagai pertimbangan nanti, kalau TAS-nya bagus, tidak ada transmisi di anak usia sekolah kita mau mengajukan permohonan pertimbangan ke WHO apakah masih tetap perlu dilaksanakan 2 tahun lagi atau cuma 1 kali dengan cakupan efektif 65% ...”[CM, 8 Oktober 2013]
POMP Filariasis pelaksanaannya tidak bersamaan karena program ini sangat bergantung pada ketersediaan ang-garan dan komitmen Pemerintah Daerah (Pemda) setempat mengingat dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit dan pelaksanaannya dalam jangka waktu lima tahun.
Kegiatan yang dilakukan setelah pelaksanaan POMP Filariasis adalah evaluasi pengobatan massal yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Program Eliminasi Filariasis. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam memonitor pengobatan massal sebagai berikut.
Jumlah penduduk yang minum obat (cakupan pengobatan)1) Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menilai
keberhasilan cakupan pengobatan filariasis (SK Menkes No. 1582, 2005), yaitu: cakupan pengobatan yang terdiri dari angka pencapaian pengobatan dan angka keberhasilan
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 77
pengobatan. Angka pencapaian pengobatan diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut.
Cakupan ini dapat menjelaskan jumlah penduduk yang berisiko untuk diobati dan aspek epidemiologinya. Angka keberhasilan pengobatan diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut.
Cakupan ini menjelaskan efektivitas pengobatan massal. Pada Gambar 4.3, ditunjukkan data cakupan pengobatan massal di Provinsi Jawa Barat di 7 Kabupaten dan Kota yang telah melakukan POMP Filariasis. Kabupaten Karawang baru tahun pertama melakukan pengobatan massal tampak persentase angka keberhasilan pengobatan sangat tinggi mencapai 99,64%, namun berbanding terbalik dengan angka pencapaian pengobatan hanya 62,44%. Hal ini dijelaskan bahwa jumlah penduduk sasaran pengobatan di Kabupaten Karawang belum mencakup seluruhnya. Berbeda dengan Kabupaten Bogor, jumlah penduduk sasaran pengobatan massal mencakup seluruh jumlah penduduknya. Angka keberhasilan pengobatan yang tinggi juga diikuti oleh Angka pencapaian pengobatan.
Pemberian obat massal pencegahan sebagai upaya intervensi untuk memutus rantai penularan besarnya cakupan POMP Filariasis > 85%. Tampak pada Gambar 4.3. Kabupaten Subang cakupannya masih < 85%, hal ini menunjukkan trans-misi penularan filariasis masih bisa berlangsung.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat78
Gambar 4.3 Cakupan Pengobatan POMP Filariasis Provinsi Jawa Barat
Tahun 2012Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012
Menurunnya prevalensi mikrofilaria 2) Setiap kabupaten/kota yang sudah melaksanakan peng
obatan massal filariasis berkewajiban untuk melaksanakan survei evaluasi sebagai penilaian penurunan prevalensi mikrofilaria. Survei evaluasi adalah survei untuk mengetahui prevalensi (mikrofilaria rate) dan densitas (kepadatan) mikrofilaria setelah dilakukan pengobatan massal. Survei evaluasi tersebut dilakukan sebelum pengobatan massal tahun ketiga dan kelima.
Lokasi survei evalusi ditetapkan di dua desa sentinel dan dua desa spot check. Desa sentinel adalah desa dengan mikrofilaria rate tertinggi dibandingkan dengan desa yang disurvai lainnya pada survai awal dan tidak boleh di
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 79
ganti dengan desa yang lain selama pengobatan massal dilaksanakan. Desa spot check dipilih secara acak di antara desa-desa yang masuk dalam program pengobatan massal dan belum pernah dilakukan survai darah jari.
Populasi survei adalah penduduk yang berusia > 2 tahun. Penduduk di desa sentinel yang pada survai awal positif mikrofilaria harus dimasukkan dalam sampel survei evaluasi. Jumlah sampel 500 di setiap lokasi survei dan cara pengambilan dan penentuan sampel sama seperti pada survei darah jari untuk menentukan endemisitas. Waktu pelaksanaan survei evaluasi dilaksanakan 11 bulan sebelum pengobatan massal tahun ketiga dan kelima.
Penatalaksanaan Kasus Klinis FilariasisKasus klinis filariasis adalah seseorang yang terinfeksi
cacing filaria dan sudah menunjukkan gejalagejala klinis baik akut maupun kronis. Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Gejala kronis terdiri dari limfadema, lymp scrotum, kiluria, dan hidrokel.
Adapun tujuan dari penatalaksanaan kasus klinis filariasis adalah untuk mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis, dan agar penderita mampu hidup lebih baik serta dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat, baik sosial maupun ekonomi.
Perawatan Kasus Klinis Pada setiap kasus filariasis, setelah pengobatan adalah
perawatan pada kasus dengan gejala klinis akut juga dengan gejala klinis kronis. Perawatan kasus dengan gejala klinis akut dan kronis sebagai berikut (SK Menkes No. 1582, 2005).
Mengenal Filariasis di Jawa Barat80
Perawatan kasus dengan gejala klinis akut1) Istirahat yang cukup dan banyak minum.•Pengobatan simtomatis demam, rasa sakit dan gatal •sesuai dengan keadaan sakitnya diberikan antibiotika, atau anti jamur lokal maupun sistemik.Pembersihan luka dan lesi kulit, tetapi apabila •terdapat abses perlu dilakukan insisi dan pengobatan.Pengobatan luka dan lesi di kulit dengan salep •antibiotika atau anti jamurApabila dengan pengobatan simptomatis selama tiga •hari keadaan penderita tidak membaik, dianjurkan untuk berobat ke Puskesmas atau Rumah Sakit.
Perawatan kasus dengan gejala klinis kronis2) Perawatan kasus dengan gejala kronis dilakukan ber-
dasarkan kondisi medis masing-masing kasus, mulai dari limfedema, lymph scrotum, dan hidrokel.
Komponen pokok perawatan kasus klinis kronis yg dapat dilakukan keluarga adalah pencucian, pengobatan luka atau lesi, meninggikan tungkai atau lengan, latihan bagian tubuh yang bengkak, dan pemakaian alas kaki yang cocok. Berikut diuraikan beberapa gejala dalam pentahapan stadium lim-fedema (Tabel 4.6), yang disertai uraian langkah-langkah perawatannya.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 81
Tabe
l 4.6
Stad
ium
Lim
fede
ma
No
Gej
ala
Stad
ium
1St
adiu
m 2
Stad
ium
3St
adiu
m 4
Stad
ium
5St
adiu
m 6
Stad
ium
71
Beng
kak
dika
kiM
engh
ilang
w
aktu
ba
ngun
tidu
r pa
gi
Men
etap
Men
etap
Men
etap
Men
etap
,m
elua
sM
enet
ap,
mel
uas
Men
etap
,m
elua
s
2Li
pata
nku
litTi
dak
ada
Tida
k ad
ada
ngka
lda
ngka
lD
alam
,Ka
dang
dang
kal
Dan
gkal
, D
alam
Dan
gkal
, D
alam
3N
odul
Tida
k ad
aTi
dak
ada
Tida
k ad
aA
daKa
dang
-ka
dang
Kada
ng-
kada
ngKa
dang
-ka
dang
4M
ossy
le
sion
s *)
Tida
k ad
aTi
dak
ada
Tida
k ad
aTi
dak
ada
Tida
k ad
aA
daKa
dang
-ka
dang
5H
amba
tan
bera
tTi
dak
Tida
kTi
dak
Tida
kTi
dak
Tida
kya
Sum
ber:
Sur
at K
eput
usan
Men
teri
Kes
ehat
an N
omor
158
2 Ta
hun
2005
*) G
amba
ran
sepe
rti lu
mut
Mengenal Filariasis di Jawa Barat82
Limfedema Stadium 1
Menjaga kebersihan - bagian tubuh yang bengkak.Perawatan luka/- lesi di kulit jika ada, dengan krim antibiotika/anti jamur.Melakukan latihan - (exercise) pada anggota tubuh yang bengkak.Meninggikan (elevasi) - anggota tubuh bengkak Pemakaian alas kaki yang cocok.
Limfedema Stadium 2
Menjaga kebersihan - anggota tubuh yang bengkak.Perawatan luka/ lesi - di kulit jika ada.Pelatihan anggota - tubuh yang bengkak.Meninggikan (elevasi) - anggota tubuh bengkak saat (tidur, nonton TV, dan lain-lain).Pemakaian alas kaki yang cocok. -
Gambar 4.4Limfedema Stadium 1
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Gambar 4.5Limfedema Stadium 2
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 83
Memakai verban elastis/pembalutan saat melakukan - aktivitas.
Limfedema Stadium 3
Menjaga kebersihan - anggota tubuh yang bengkak.Perawatan luka/lesi - di kulit jika ada.Pelatihan anggota - tubuh yang bengkak.Meninggikan (elevasi) - anggota tubuh bengkak saat (tidur, nonton TV dan lain-lain).Pemakaian alas kaki - yang cocok. Memakai verban elastis/pembalutan saat melakukan - aktivitas.
Limfedema Stadium 4
Menjaga kebersihan - anggota tubuh yang bengkak.Perawatan luka/lesi - di kulit. Melakukan latihan - (exercise) anggota tubuh yang bengkak.
Gambar 4.6Limfedema Stadium 3
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Gambar 4.7 Limfedema Stadium 4
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Mengenal Filariasis di Jawa Barat84
Meninggikan tungkai yang bengkak.- Pemakaian alas kaki yang cocok. - Memakai verban elastis/pembalutan. - Salep antibiotik/antijamur jika diperlukan.- Antibiotika sistemik bila ada indikasi.- Bedah kosmetik (jika ada indikasi medis).-
Limfedema Stadium 5
Menjaga kebersihan - anggota tubuh yang bengkak dua kali sehari.Perawatan luka/lesi - di kulit. Menggerakkan - anggota tubuh yang bengkak (exercise).Meninggikan - (elevasi) tungkai yang bengkak. Pemakaian alas kaki yang cocok. - Mengoleskan krim antibiotik/antijamur jika perlu.- Pembalutan (atas saran petugas kesehatan).- Antibiotika sistemik jika ada serangan akut.- Bedah kosmetik (jika ada indikasi).-
Limfedema Stadium 6
Membersihkan tungkai yang bengkak dua kali sehari. - Perawatan luka/lesi di kulit jika ada- .Lakukan latihan - (exercise) bila memungkinkan.
Gambar 4.8 Limfedema Stadium 1
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 85
Meninggikan tungkai - yang bengkak. Pemakaian alas kaki - yang cocok. Oleskan krim - antibiotik/antijamur setiap hari. Antibiotika sistemik - bila perluBedah kosmetik (jika - ada indikasi).
Limfedema Stadium 7
Membersihkan - anggota tubuh yang bengkak dua kali sehari.Perawatan luka/lesi - di kulit jika ada.Lakukan latihan - (exercise) bila memungkinkan. Mengubah posisi - untuk menghindari dekubitus. Jika mungkin meninggikan tungkai yang bengkak setiap - saat. Krim antibiotik/antijamur selalu diperlukan.- Pembalutan tidak disarankan.- Antibiotika sistemik selalu diperlukan.-
Gambar 4.9 Limfedema Stadium 1
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Gambar 4.10Limfedema Stadium 1
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Mengenal Filariasis di Jawa Barat86
Bedah kosmetik (jika ada indikasi medis).- Semua perawatan pada stadium 7 harus dilakukan dengan hatihati.
Lymph Scrotum
Perawatan untuk lymph scrotum antara lain menjaga kebersihan buah zakar; perawatan luka dan lesi di kulit dengan salep antibiotik atau anti jamur; bila ada serangan akut diobati dengan obat simptomatis; pengobatan individual DEC 100 mg 3x1/hari selama 10 hari; luka-luka dapat ditutup dengan verban steril.
Hidrokel
Perawatan hidrokel meliputi menjaga kebersihan di bagian buah zakar; perawatan luka dan lesi jika ada; dirujuk ke rumah sakit untuk terapi bedah.
Gambar 4.11Lymp Scrotum
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Gambar 4.12Hidrokel
Sumber: Kepmenkes No. 1582/2005
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 87
Perawatan penderita filariasis klinis kronis, salah satu alternatif yang dikembangkan oleh Doktor Ambar Sulianti adalah melalui metode Laser Dosisi Rendah (LDR). Metode ini dilakukan selama dua bulan, empat kali dalam satu minggu. Doktor Ambar melakukan penelitian pada 10 orang penderita kaki gajah, hasil yang signifikan diperoleh dibandingkan dengan metode penyembuhan yang lama. Berdasarkan hasil pengamatannya ditemukan penurunan volume limfedema (cairan pada penyakit kaki gajah) sebesar 819,50 mililiter. Metode yang lama, biasanya hanya mampu mengurangi limfedema sebesar 104,5 mililiter. Sementara cara kerja yang dilakukan Doktor Ambar dalam penelitiannya adalah menggunakan alat LDR, yang disebar di delapan titik akupuntur.
Selain itu, dijelaskan pula mengenai salahnya metode pengukuran pengembangan penyakit kaki gajah pada tu-buh manusia. Seharusnya, pengembangan penyakit kaki gajah, tidak bisa diukur berdasarkan besarnya bengkak yang penderita alami tetapi diukur dengan Metua (Metode Tumpahan Air). Cara kerja Metua adalah dengan memasukkan kaki yang bengkak ke dalam ember yang dipenuhi air, hingga air yang tumpah akan ditimbang untuk mendapat ukuran bengkak kaki yang sebenarnya (Galih P, 2013).
Salah satu pasien Doktor Ambar di Kabupaten Bandung yang mengikuti terapi LDR menyatakan merasakan perubahan baik pembesaran di tangan juga kakinya. Berikut gambar rapor hasil terapi LDR tampak pada Gambar 4.13.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat88
Gambar 4.13Gambar Rapor Perkembangan Penderita Filariasis Kronis Terapi LDR
di Kabupaten Bandung, Jawa BaratSumber: Dokumentasi peneliti
Penderita Filariasis di Provinsi Jawa Barat
Gambar 4.14
Penderita Filariasis di Kabupaten BandungSumber: Dinkes Kab Bandung
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 89
Gambar 4.15Penderita Filariasis di Kabupaten Kuningan
Sumber: Astuti, et al. (2012)
Penutup
Filariasis yang lebih dikenal dengan penyakit kaki gajah merupakan salah satu penyakit yang terabaikan (neglected tropical disesase). Penyakit ini kurang mendapat perhatian karena tidak menyebabkan kematian namun kecacatan yang ditimbulkan memberi dampak sosial terhadap penderita selain menurunkan produktivitas kerja.
Keberhasilan program eliminasi filariasis diperlukan kerja sama lintas sektor terutama komitmen pemerintah daerah terhadap keberlangsungan program selama lima tahun dan Dinas Kesehatan sendiri selaku leading sector melakukan berbagai inovasi kreatif sehingga masyarakat mendukung dengan bersedia minum obat.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat90
Daftar Pustaka
Astuti, et al.2012. “Faktorfaktor yang Memengaruhi Filariasis di Daerah Endemis Provinsi Jawa Barat dan Banten (Gambaran Epidemiologi Filariasis di Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Serang)”. Laporan Penelitian.Loka Litbang P2B2 Ciamis.
Center of Diseases Control and Preventation. Epidemiology and Risk Factors. Department of Health and Human Service. Atlanta. 2013. [disitasi 8 Agustus 2013] http://www.cdc.gov/ncidod/dpd/parasites/lymphaticfilariasis/epidemiology_lymphatic_filar.htm].
Depkes RI. “Sambutan Menkes RI: Pencanangan Pengobatan Massal Filariasis di Fakultas Kedokteran UNPAD Jawa Barat”. Jakarta. 2009 [disitasi 20 Agustus 2013] http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/409-menkes-canangkan-pengobatanfilariasisdijawabarat.html.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2013. Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Bandung.
Ditjen P2PL Depkes RI. 2010. Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. Jakarta.
Galih Persiana, 2013. “Kaki Gajah Bisa Sembuh dengan Laserpuntur?” dalam majalah Tempo. 2013. http://www.tempo.co/read/news/2013/07/01/173492632/Kaki-Gajah-Bisa-Sembuh-dengan-Laserpuntur. [diunduh tanggal 11 September 2013].
Infeksi.com. Filariasis. “Pusat Informasi Penyakit Infeksi”. http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=32.
Purwantyastuti, 2010. “Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Filariasis”. Buletin Jendela Epidemiologi. Vol. 1 Juli 2010. Jakarta.
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. 2010. “Filariasis di Indonesia”. Buletin Jendela Epidemiologi: Vol. 1, Juli 2010. Jakarta.
Putrali J, Kaleb YM, 1974. dalam Sudomo M., 2008. “Penyakit Parasit yang Kurang Diperhatikan di Indonesia”. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska.
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 91
Rush J, et al. 1980. dalam Sudomo M., 2008. “Penyakit Parasit yang Kurang Diperhatikan di Indonesia”. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1582 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) Tahun 2005.