masalah kelarutan dalam formulasi.docx
TRANSCRIPT
TUGAS FARMASI FISIK“RESUME”
Oleh :Ervina Wijayanti (115070501111005)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
MASALAH KELARUTAN DALAM FORMULASI
1. Campuran dari Senyawa Asam dan Basa
Campuran obat asam dan basa terkadang dibutuhkan dalam formulasi
kombinasi, salah satu contohnya adalah infus septrin yang mencampurkan
sulfamethoxazole yang merupakan substansi asam dan trimethoprim yang merupakan
basa lemah. Pencampuran tersebut untuk mendapatkan kelarutan yang optimal dari
larutan asam dan basa. Larutan sulfamethoxazole dan trimethoprim yang terlalu encer
akan menunjukkan inkompatibilitas dan pengendapan pada saat pencampuran. Untuk
mendapat disolusi yang baik, larutan encer tersebut memerlukan penambahan 40%
propylene glycol. Larutan yang berada pada pH antara 9.5 dan 11.0 memungkinkan
jumlah yang cukup dari kedua substansi untuk bersama dalam larutan agar diperoleh
konsentrasi yang tepat. Dari contoh tersebut maka benar adanya bahwa kelarutan
sensitif terhadap perubahan komposisi ion, pH dan zat tambahan. Apabila tidak terjadi
keseimbangan diantaranya maka salah satu komponen akan mengendap.
2. Pemilihan Bentuk Garam Obat Untuk Kelarutan yang Optimal
Pemilihan garam tertentu pada suatu obat digunakan dalam formulasi
tergantung pada beberapa faktor. Kelarutan obat dalam media air misalnya yang nyata
tergantung pada bentuk garamnya. Stabilitas kimia lebih tergantung pada pemilihan
bentuk garam daripada kelarutan. Pemilihan bentuk tak larut digunakan dalam
suspensi, sedangkan formasi larut air berasal dari kelarutan asam dan basa yang lemah
yang menggunakan counterion hidrofilik seringkali diusahakan untuk menghasilkan
larutan injeksi dari obat. Tabel 5.13 memberikan beberapa indikasi dari berbagai
kelarutan yang dapat diperoleh melalui penggunaan bentuk garam yang berbeda,
dalam hal ini adalah eksperimen obat antimalaria (XIX).
Senyawa hidrofobik XIX yang besar, bahkan sebagai garam hidroklorida
memiliki kelarutan yang lemah yang merupakan alasan kenapa bioavaibilitas oralnya
rendah. Selain itu pemiilihan bentuk garam kristal dan substansi obat mungkin juga
sangat penting. Beberapa perbedaan kelarutan jelas timbul dari perbedaan pH larutan
garam, yang dalam kasus senyawa XIX berkisar antara 2,4-5,8 unit pH. pH larutan garam
dari turunan 3-oxyl-1 ,4-benzodiazepin pada 5 mg cm_03 berkisar dari 2,3 untuk
dihidroklorida, untuk 4,3 untuk maleat, dan menjadi 4,8 untuk methanesulfonate.
Contoh lebih lanjut dari rentang kelarutan pada betuk garam obat dan derivatif
akan ditampilkan dalam Tabel 5.14. Peningkatan kelarutan pada formasi hidroklorida
akan mudah terlihat dalam kasus tetrasiklin pada penurunan pH larutan dengan
hidroklorida tersebut. Efek ion yang umum akan menghasilkan konsentrasi asam klorida
yang tinggi. Kenaikan konsentrasi Cl - akan menyebabkan keseimbangan antara bentuk
padat dan larutan yaitu dengan menggeser kesetimbangan ke kiri dengan penurunan
resultan kelarutan:
Perlu dicatat bahwadidalam perut kaya akan ion klorida. Pengaruh umum ion tersebut
akan terlihat di banyak cairan infus, yang mana obat yang dapat ditambahkan, dan oleh
karena itu pengaruh pH serta konsentrasi elektrolit harus dipertimbangkan.
Pertimbangan Tabel 5.14 menunjukkan bahwa garam hidroklorida dari
tetrasiklin yang selalu lebih mudah terlarut daripada basa. Pada pH 2,1 yang
hidroklorida memiliki kelarutan yang lebih tinggi karena pengaruhnya terhadap pH lokal
di sekitar partikel terlarut.
Eritromisin labil pada nilai pH di bawah pH 4, dan karenanya tidak stabil di perut.
Eritromisin stearat (garam dari amina alifatik tersier dan asam stearat), menjadi kurang
larut, dan tidak rentan terhadap degradasi. Bentuk garam berdisosiasi dalam usus untuk
menghasilkan basa bebas untuk diserap. Eritromisin etilsuksinat pada awalnya
dikembangkan untuk digunakan pediatrik karena kelarutan airnya yang rendah dan
relatif tidak berasa sehingga cocok untuk formulasi pediatrik. sedangkan kelarutan
lactobionate digunakan dalam infus intravena.
3. Kelarutan Obat dan Aktivitas Biologikal
Terdapat korelasi yang luas antara kelarutan dalam air dan indeks aktivitas
biologi. Di satu sisi, sebagai obat yang larut dalam media air berbanding terbalik dengan
dengan kelarutan agen di fase lipid biologi, akan ada beberapa hubungan antara
aktivitas farmakodinamik dan kelarutan obat. Di sisi lain, harus diprediksi bahwa
kelarutan obat atau bentuk garam dari obat mungkin mempengaruhi fase penyerapan,
obat yang kelarutan dalam airnya sangat rendah akan larut perlahan di saluran gastro-
intestinal, dan dalam banyak kasus tingkat pemutusan adalah langkah tingkat-
pengendali dalam penyerapan.
Dengan obat kelarutan air rendah seperti digoxin, klorpropamid, indometasin,
griseofulvin, dan steroid, sifat fisik dari obat dapat mempengaruhi properti biologi. Pada
tahap awal dalam pengembangan suatu obat, uji farmakologi dan toksikologi sering
dilakukan pada suspensi, karakteristiknya yang ditunjukkan tidak selalu didefinisikan
dengan baik. Hal ini bukan praktik yang baik sebagai toksisitas dari beberapa
obat yang diberikan secara gavage kepada tikus yang tergantung pada spesies obat
yang digunakan (Tabel 5.15). Dengan begitu telah terbukti bahwa dengan bentuk
polimorfik obat yang sama, tetapi dalam kasus yang dibahas pada Tabel 5.15 digunakan
garam yang berbeda.
Ada banyak contoh lain di mana kelarutan air dijadikan pedoman dalam
mengetahui karakteristik penyerapan. Dari kardiotonik digitoxin glikosida, digoxin, dan
ouabain, yang paling paling larut dalam air, akan paling larut dalam lipid , sehingga
penyerapannya terbaik. Garam kuaterner dengan berat molekul yang tinggi seperti
bephenium hydroxynaphthoate dan embonate pyrvinium, memiliki kelarutan lipid yang
rendah, tetapi juga memiliki kelarutan air yang rendah. Keduanya hampir tidak diserap
di usus dan memang digunakan dalam pengobatan gangguan cacing yang lebih rendah.