marasmus uyee.doc

25
BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pendahuluan Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan gizi (Kemenkes RI, 2011). Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman. Dengan alasan tersebut, masalah ini selalu menjadi program penanganan khusus oleh pemerintah (Hasaroh, 2010). Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk, kurang vitamin A, anemia defisiensi besi, gangguan akibat kurang Yodium dan gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di seluruh tanah air. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan

Upload: srie-cyutezz-aiy

Post on 02-Jan-2016

45 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: marasmus uyee.doc

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Pendahuluan

Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat

pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian, karena

merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan gizi (Kemenkes RI, 2011).

Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau

nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum

terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun

(balita). Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab

penderita gizi buruk umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah

generasi generus bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan

masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman. Dengan alasan tersebut,

masalah ini selalu menjadi program penanganan khusus oleh pemerintah (Hasaroh,

2010).

Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum menggembirakan.

Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk, kurang vitamin A, anemia

defisiensi besi, gangguan akibat kurang Yodium dan gizi lebih (obesitas) masih banyak

tersebar di kota dan desa di seluruh tanah air. Faktor-faktor yang mempengaruhi

keadaan tersebut antara lain adalah tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan

pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan perilaku keluarga

dalam meilih, mengolah, dan membagi makanan di tingkat rumah tangga, ketersediaan

air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan aksesibilitas terhadap

pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat yang berkualitas (Depkes Pedoman

Pendampingan Keluarga Menuju KADARZI)

Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

(MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa tahun

2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada

tahun 1990. Dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah

Page 2: marasmus uyee.doc

menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita (indikator keempat) dan

menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi (indikator kelima)(depkes RAN).

Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini

dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4%

pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi

jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar. (kemenkes RI)

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi provinsi

NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan dengan target

pencapaian program perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20% dan target MDG untuk

NTB sebesar 24,8% berada di atas nasional yang 18,5% maka NTB belum melampaui

target nasional 2015 sebesar 20%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa

prevalensi gizi buruk NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011). Sedangkan menurut

data hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009 prevalensi gizi buruk di NTB

sebesar 5,49 dan tahun 2010 turun menjadi 4,77. (kemenkes RI)

Page 3: marasmus uyee.doc

1.2. Definisi

Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut

umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI,

2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada

anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau

ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.

(kemenkesdanDepkes)

A. Epidemiologi

Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah

Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa

jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari

6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995.

Upaya pemerintahan tara lain melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring

Pengaman Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan

Tatalaksana Gizi Buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi

buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998; 8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001.

Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003

menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan

gejala klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai

dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).

Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa

54 % angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA,

18% perinatal, 7% campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain (buku TAGB).

Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini

dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4%

pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi

jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi provinsi

NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan dengan target

pencapaian program perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20% dan target MDG untuk

NTB sebesar 24,8% berada di atas nasional yang 18,5% maka NTB belum melampaui

Page 4: marasmus uyee.doc

target nasional 2015 sebesar 20%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa

prevalensi gizi buruk NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011). Sedangkan menurut

data hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009 tahun 2009 prevalensi gizi buruk di

NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010 turun menjadi 4,77.

B. Klasifikasi Gizi Buruk

Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-

kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari

masing-masing tipe yang berbeda-beda.

1. Marasmus

Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup karena

diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti mereka yang

hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolic atau malformasi

congenital. Gangguan berat setiap system tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi

(NELSON).

Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang

timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di

bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,

gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya.

Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih

merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000) :

a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-

ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit

b. Wajah seperti orang tua

c. Iga gambang dan perut cekung

d. Otot paha mengendor (baggy pant)

e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

2. Kwashiorkor

Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana

dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian

Page 5: marasmus uyee.doc

tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau

edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.

Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik dan

kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup

bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada

keadaan diare kronik, kehilangan protein abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi,

perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati

kronik (NELSON).

Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat dan

masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang

berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat

defisiensi vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala

tersebut. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini

terutama berada di daerah industri belum bekembang (NELSON).

Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis

atau iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang

stamuna, kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dan

udem. Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang paling

serius dan konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan

dan kehilangan tonus otot. Hati membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering

terdapat infiltrasi lemak. Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan mungkin

ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam organ dalam sebelum dapat dikenali pada

muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal, laju filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler

ginjal menurun. Jantung mungkin kecil pada awal stadium penyakit tetapi biasanya

kemudian membesar. Pada kasus ini sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit

tampak pada daerah yang teriritasi tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar

matahari. Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi atau dapat

generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya. Pada anak

yang berambut hitam, dispigmentasi menghasilkan corak merah atau abu-abu pada

warna rambut (hipokromotrichia) (NELSON).

Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya noreksia, mual,

muntah, dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi kadang-

Page 6: marasmus uyee.doc

kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental, terutama iritabilitas

dan apati sering ada. Stupor, koma dan meninggal dapat menyertai (NELSON).

Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :

a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis

b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada

penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.

c. Wajah membulat dan sembab

d. Pandangan mata anak sayu

e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa

kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.

f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi

coklat kehitaman dan terkelupas

3. Marasmik-Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan

marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk

pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat

badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema,

kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula (Depkes

RI, 2000).

C. Etiologi

Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh berbagai

faktor, baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak langsung.

Menurut Depkes RI (1997) dalam Mastari (2009), faktor penyebab langsung timbulnya

masalah gizi pada balita adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi

makanan dengan kebutuhan anak, sedangkan faktor penyebab tidak langsung

merupakan faktor sepertitingkat sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan,

ketersediaan pangan ditingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke fasilitas

pelayanan. Selain itu, pemeliharaan kesehatan juga memegang peranan penting. Di

bawah ini dijelaskan beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah gizibalita, yaitu:

Page 7: marasmus uyee.doc

a. Tingkat Pendapatan Keluarga.

Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan untuk

konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh peningkatan penghasilan

terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi

dengan status gizi yang berlawanan hampir universal.

Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua dalam hal

memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang higienis.

b. Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.

Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan

pada tiga kenyataan yaitu:

Status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.

Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu

menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal.

Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar

menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.

Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun

menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang,maka

ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk

dikonsumsi.

Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan tentang penilaian

status gizi balita. Dengan demikian ibu bias lebih bijak menanggapi tentang masalah

yang berkaitan dengan gangguan status gizi balita.

c. Tingkatan Pendidikan Ibu.

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat

pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan

kesehatan, kebersihan pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran

terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan

berpengaruh pula pada factor social ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan,

kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal.

Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap

dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bias dijadikan landasan

untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga,

Page 8: marasmus uyee.doc

pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di

dalam keluarga dan bias mengambil tindakan secepatnya.

Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk

menghadapi berbagai masalah, missal memintakan vaksinasi untuk anaknya,

memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu

yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta

tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna

pemeliharaan kesehatan anak maupun salah satu penjelasannya.

d. Akses Pelayanan Kesehatan.

Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical service)dan

pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum akses kesehatan

masyarakat adalah merupakan subsistem akses kesehatan, yang tujuan utamanya adalah

pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran

masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak

melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).

Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan danstatus

gizi pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-

anak kecil, sehingga dapat menurunkan angka kematian. Pusat kesehatan yang paling

sering melayani masyarakat, membantu mengatasi dan mencegah gizi kurang melalui

program-program pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap

dan dekat dengan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan derajat kesehatan.

Dengan akses kesehatan masyarakat yang optimal kebutuhan kesehatan dan

pengetahuan gizi masyarakat akan terpenuhi.

D. Diagnosis

Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan

pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat

dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh

karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi

buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang

kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat

(Krisnansari, 2010).

Page 9: marasmus uyee.doc

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran

antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :

BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)

Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh(kwashiorkor :

BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor : BB/TB < -3SD.

Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis berupa

anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak

bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas

dengan atau tanpa adanya edema (WHO).

Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Anamnesis terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.

Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :

Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan

diare (encer/darah/lender)

Kapan terakhir berkemih

Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin

Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi dan/atau

syok, serta harus diatasi segera.

Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,

dilakukan setelah kedaruratan tertangani)

Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit

Riwayat pemberian ASI

Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir

Hilangnya nafsu makan

Kontak dengan campak atau tuberculosis paru

Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir

Batuk kronik

Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung

Berat badan lahir

Riwayat tumbuh kembang

Riwayat imunisasi

Page 10: marasmus uyee.doc

Apakah ditimbang setiap bulan

Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)

Diketahui atau tersangka infeksi HIV (WHO).

Pemeriksaan Fisik

Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.

Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB

Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk

Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran

menurun

Demam (suhu aksilar ≥ 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C)

Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung

Sangat pucat

Pembesaran hati dan ikterus

Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda asites

Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)

Ulkus pada mulut

Fokus infeksi : THT, paru, kulit

Lesi kulit pada kwashiorkor

Tampilan tinja

Tanda dan gejala infeksi HIV

E. Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk

Page 11: marasmus uyee.doc

Berikut disertakan alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

Bagan 1. Alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

Page 12: marasmus uyee.doc

Selain itu, berikut disertakan alur pelayanan anak gizi buruk di rumah sakit/puskesmas

perawatan.

Bagan 2. Alur Pelayanan Anak Gizi Buruk di Rumah Sakit/Puskesmas Perawatan

Page 13: marasmus uyee.doc

Berikut juga disertakan salah satu tatalaksana anak dengan gizi buruk tanpa tada

bahaya atau tanda penting tertentu.

Bagan 3. Pemberian Cairan dan Makanan Untuk Stabilisasi

Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase

transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana

yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita

kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.

1. Tahap Penyesuaian

Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga

ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini

Page 14: marasmus uyee.doc

dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada

kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien

kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama

adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2%

tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada,

berikan ASI.

Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan

untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair,

kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.

b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.

c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan

keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk

meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan

d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3

jam.

Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat

pipa (per-sonde)

2. Tahap Penyembuhan

Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara

berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai

150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.

3. Tahap Lanjutan

Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh

makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya

diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan,

memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.

Page 15: marasmus uyee.doc

Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :

a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda

hipoglikemia.

b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.

c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikansecara intra

muskulerbilaterdapathipomagnesimia.

d. Vitamin A diberikansebagaipencegahansebanyak 200.000 SI peroralatau

100.000 SI secara intra muskuler. Bilaterdapatxeroftalmia, vitamin A

diberikandengandosis total 50.000 SI/kg beratbadandandosismaksimal

400.000 SI.

e. Vitamin B dan vitamin C dapatdiberikansecarasuntikan per-oral. Zatbesi (Fe)

danasamfolatdiberikanbilaterdapat anemia yang biasanyamenyertai KKP

berat.

Tabel 1.Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk

Page 16: marasmus uyee.doc

F. Dampak Gizi Buruk

Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan

dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi

yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem,

karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan

mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak

porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik

sehingga mudah sekali terkena infeksi.

Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena

berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah

kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah

kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun

tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat ”catch up” dan mengejar

ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan

maupun perkembangannya.

Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat

kondisi ”stunting” (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak pun

terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat

beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak

ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.

Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap

perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan

perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ,

penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian,

gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak