bab ii marasmus kwashiorkor

86
BAB I PENDAHULUAN Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi yang dihadapi oleh dunia dan kebanyakan masalah malnutrisi berasal dari negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Bersumber pada data WHO tahun 1999 menyatakan terdapat kematian 10,5 juta anak usia kurang dari 5 tahun dan 99% diantaranya tinggal di negara berkembang. Penyebab kematiannya antara lain 54% adalah karena malnutrisi, disusul dengan kondisi perinatal yang kurang baik, pneumonia, diare, DI dan lainnya. 1 Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi kesehatan masyarakat dan masih menjadi maslaah utama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. KEP dimanifestasikan secara primer akibat kurangnya asupan diet yang mengandung energi dan protein secara tidak adekuat, baik karena kurangnya asupan kedua nutrisi ini yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan normal, maupun karena kebutuhan tubuh akan kedua nutrisi tersebut yang meningkat yang tidak sesuai dengan asupan yang tersedia. Namun, karena KEP hamper selalu disertai dengan kekurangan nutrisi-nutrisi lain, istilah ‘Kurang Gizi Berat Pada Anak-Anak’ atau ‘Severe Childhood Undernutrition’ (SCU), lebih tepat menggambarkan keadaan tersebut. SCU, baik primer maupun sekunder, merupakan spectrum yang memiliki rentang dari kekurangan gizi 1

Upload: elvira-kung-de-ornay

Post on 10-Aug-2015

2.573 views

Category:

Documents


165 download

DESCRIPTION

definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, klasifikasi

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Marasmus kwashiorkor

BAB I

PENDAHULUAN

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi yang dihadapi oleh

dunia dan kebanyakan masalah malnutrisi berasal dari negara berkembang, salah satunya adalah

Indonesia. Bersumber pada data WHO tahun 1999 menyatakan terdapat kematian 10,5 juta anak

usia kurang dari 5 tahun dan 99% diantaranya tinggal di negara berkembang. Penyebab

kematiannya antara lain 54% adalah karena malnutrisi, disusul dengan kondisi perinatal yang

kurang baik, pneumonia, diare, DI dan lainnya.1

Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi kesehatan masyarakat

dan masih menjadi maslaah utama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. KEP

dimanifestasikan secara primer akibat kurangnya asupan diet yang mengandung energi dan

protein secara tidak adekuat, baik karena kurangnya asupan kedua nutrisi ini yang seharusnya

digunakan untuk pertumbuhan normal, maupun karena kebutuhan tubuh akan kedua nutrisi

tersebut yang meningkat yang tidak sesuai dengan asupan yang tersedia. Namun, karena KEP

hamper selalu disertai dengan kekurangan nutrisi-nutrisi lain, istilah ‘Kurang Gizi Berat Pada

Anak-Anak’ atau ‘Severe Childhood Undernutrition’ (SCU), lebih tepat menggambarkan

keadaan tersebut. SCU, baik primer maupun sekunder, merupakan spectrum yang memiliki

rentang dari kekurangan gizi ringan yang ditandai dengan berkurangnya rasio tinggi badan dan

berat badan sesuai umur, hingga kekurangan gizi yang berat yang ditandai dengan berkurangnya

rasio tinggi badan dan berat badan yang signifikan sesuai umur disertai dengan ‘wasting’/

pengurangan atau kehilangan massa otot (bertambah kurus), yaitu penurunan rasio berat badan

sesuai tinggi badan normal. SCU dibedakan secara klinis menjadi 3, yaitu : 1

- Marasmus (penurunan berat badan/’wasting’ yang berat tanpa disertai edema)

- Kwashiorkor (ditandai dengan edema)

- Marasmus-Kwashiorkor (merupakan gabungan keduanya, ditandai dengan

‘wasting’ dan edema)

1

Page 2: BAB II Marasmus kwashiorkor

Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun pemerintah Indonesia telah

berupaya untuk menanggulanginya. Data Dusenas menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U

< -3 SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningkat dari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992

dan mencapai puncaknya 11,6% pada tahun 1995. Upaya pemerintah antara lain melalui

pemberian makanan tambahan dalam jaringan pengamanan social (JPS) dan peningkatan

pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan tatalaksana gizi buruk kepada tenaga kesehatan,

berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1% pada tahun 198, 8,1% pada tahun 1999,

dan 6,3% tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali 7% dan pada tahun

2003 menjadi 8,15%.2

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen Kesehatan-Unicef

tahun 2005, dari 343 kabupaten/kota di Indonesia penderita gizi buruk sebanyak 169

kabupaten/kota tergolong prevalensi sangat tinggi dan 257 kabupaten/kota lainnya prevalensi

tinggi. Dari data Depkes juga terungkap masalah gizi di Indonesia ternyata lebih serius dari yang

kita bayangkan selama ini. Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya diderita anak balita, tetapi

semua kelompok umur. Perempuan adalah yang paling rentan, disamping anak-anak. Sekitar 4

juta ibu hamil, setengahnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya kekurangan energi

kronis (KEK). Dalam kondisi itu, rata-rata setiap tahun lahir 350.000 bayi lahir dengan

kekurangan berat badan (berat badan rendah).2

Kasus kematian akibat gizi buruk di Indonesia bukan karena faktor kelaparan, melainkan

penyakit penyerta, seperti infeksi saluran penapasan, kelainan jantung, dan diare berat. Kasus

gizi buruk di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 18 Oktober 2012 lalu contohnya, merupakan

masalah serius karena sampai menyebabkan kematian 21 balita. Untuk itu, petugas kesehatan di

NTB diminta memberikan penanganan yang tepat pada balita gizi buruk, terutama meningkatkan

daya tahan tubuh mereka. Sedangkan menurut Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi ada

faktor lain yang dapat mengakibatkan kasus gizi buruk masih ada, kasus gizi buruk yang muncul

belakangan ini tidak semata-mata diakibatkan ketidakmampuan ekonomi keluarga, tetapi lebih

pada faktor kelalaian orangtua. “Contohnya, ada penderita gizi buruk yang ibunya justru

memiliki gelang emas dan bapaknya merokok dengan santai. Orangtua, kalau makan, lebih

mementingkan diri sendiri daripada anaknya,” kata Zainul Majdi.

2

Page 3: BAB II Marasmus kwashiorkor

BAB II

MARASMUS KWASHIORKOR

2.1 DEFINISI

Marasmus-Kwashiorkor adalah salah satu kondisi dari kurang gizi berat yang gejala

klinisnya merupakan gabungan dari marasmus, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya

asupan energi, dan kwashiorkor, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya asupan protein

sehingga gejalanya disertai edema.1

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kekurangan gizi sebagai

"ketidakseimbangan seluler antara asupan nutrisi dan energi dan kebutuhan tubuh untuk

menjamin pertumbuhan, pemeliharaan, dan fungsi-fungsi khusus." Malnutrisi protein-energi

(KEP) berlaku untuk sekelompok gangguan yang berhubungan seperti marasmus, kwashiorkor,

dan marasmus-kwashiorkor. Istilah marasmus berasal dari kata Yunani “marasmos”, yang berarti

layu atau kurang tenaga. Marasmus berhubungan dengan asupan yang tidak memadai protein dan

kalori dan ditandai oleh kekurusan. Istilah kwashiorkor ini diambil dari bahasa Ga dari Ghana

dan berarti "penyakit dari penyapihan." Williams pertama kali menggunakan istilah pada tahun

1933, dan mengacu pada asupan protein yang tidak memadai dengan asupan kalori dan energi

yang wajar. Edema adalah karakteristik dari kwashiorkor namun tidak ada dalam marasmus.3

Studi menunjukkan bahwa marasmus merupakan respon adaptif/penyesuaian terhadap

kelaparan, sedangkan kwashiorkor merupakan respon maladaptive terhadap kelaparan. Anak-

anak mungkin datang dengan gambaran beragam antara marasmus dan kwashiorkor, dan anak-

anak dapat datang dengan bentuk yang lebih ringan dari malnutrisi. Untuk alasan ini, Jelliffe

menyarankan istilah malnutrisi protein-kalori (energi) untuk menyatukan istilah dari keduanya.3

3

Page 4: BAB II Marasmus kwashiorkor

2.2 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan

laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita mengalami gizi buruk dan data

Susenas tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun 2005

telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi

di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei

2005, Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk yang

terjadi di NTT sebagai KLB, dan Menteri Kesehatan telah mengeluarkan edaran tanggal 27 Mei

tahun 2005, Nomor 820/Menkes/V/2005 tentang penanganan KLB gizi buruk di propinsi NTB.4

2.3 ETIOLOGI

Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa faktor yang

bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara lain faktor diet, faktor

social, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain.2

A. Peranan diet

Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang protein akan

menyebabkan anak menjadi penderita kwashiorkor, sedangkan diet kurang energi

walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita

marasmus. Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan Narasnya (1971)

terlihat bahwa dengan diet yang kurang-lebih sama, pada beberapa anak timbul gejala-

gejala kwashiorkor, sedangkan pada beberapa anak yang lain timbul gejala-gejala

marasmus. Mereka membuat kesimpulan bahwa diet bukan merupakan faktor yang

penting, tetapi ada faktor lain yang masih harus dicari untuk dapat menjelaskan

timbulknya gejala tersebut.2

B. Peranan faktor sosial

Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-temurun dapat

mempengaruhi terjadinya penyakit KEP. Adakalanya pantangan tersebut didasarkan pada 4

Page 5: BAB II Marasmus kwashiorkor

keagamaan, tetapi ada pula yang merupakan tradisi yang turun-temurun. Jika pantangan

itu didasarkan pada keagamaan, maka akan sulit diubah. Tetapi jika pantangan tersebut

berlangsung karena kebiasaan, maka dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan

terus-menerus hal tersebut masih dapat diatasi. Faktor-faktor sosial lain yang dapat

mempengaruhi terjadinya penyakit KEP adalah2 :

a) Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah mempunyai banyak anak

dengan suaminya yang merupakan pencari nafkah tunggal;

b) Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak, sehingga

dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat member cukup makan pada anggota

keluarganya yang besar itu;

c) Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada

musim panen mereka pergi memotong padi para pemilik sawah yang letak

sawahnya jauh dari tempat tinggal para ibu tersebut. Anak-anak terpaksa

ditinggalkan di rumah sehingga jatuh sakit dan mereka tidak mendapat perhatian

dan pengobatan semestinya;

d) Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap sehingga harus

meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore. Dengan demikian, bayi tersebut

tidak mendapat ASI sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan

tambahan tidak dilakukan dengan semestinya.

C. Peranan kepadatan penduduk

Dalam World Food Conference di Roma (1974) telah dikemukakan bahwa meningkatnya

jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya persediaan bahan

makanan setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan

kemiskinan penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan

makanan yang bergizi baik di samping kuantitasnya. 2

McLaren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak

jika suatu daerah terlalu padat penduduknya dengan keadaan hygiene yang buruk,

misalnya, di kota-kota dengan kemungkinan pertambahan penduduk yang sangat cepat; 5

Page 6: BAB II Marasmus kwashiorkor

sedangkan kwashiorkor akan terdapat dalam jumlah yang banyak di desa-desa dengan

penduduk yang mempunyai kebiasaan untuk member makanan tambahan berupa tepung,

terutama pada anak-anak yang tidak atau tidak cukup mendapat ASI. 2

D. Peranan infeksi

Telah lama diketahui adanya interaksi antara malnutrisi dan infeksi. Indeksi derajat

apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi, walaupun masih ringan,

mempunyai pengaruh negative pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini

sinergistis, sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya mempunyai konsekuensi

yang lebih besar daripada sendiri-sendiri. 2

E. Peranan kemiskinan

Penyakit KEP merupakan masalah negara-negara miskin dan terutama merupakan

problema bagi golongan termiskin dalam masyarakat negara tersebut. Pentingnya

kemiskinan ditekankan dalam laporan Oda Advisory Committee on Protein pada tahun

1974. Mereka menganggap kemiskinan merupakan dasar penyakit KEP. Tidak jarang

terjadi bahwa petani miskin harus menjual tanah miliknya untuk mencukupi kebutuhan

hidup sehari-hari, lalu ia menjadi penggarap yang menurunkan lagi penghasilannya, atau

ia meninggalkan desa untuk mencari nafkah di kota besar. Dengan penghasilan yang

tetap rendah, ketidakmampuan menanam bahan makanan sendiri, ditambah pula dengan

timbulnya banyak penyakit infeksi karena kepadatan tempat tinggal seperti telah

diutarakan tadi, timbulnya gejala KEP lebih dipercepat.2

2.4. PATOFISIOLOGI

Banyak manifestasi dari KEP merupakan respon penyesuaian pada kurangnya

asupan energi dan protein. Untuk menghadapi asupan yang kurang, maka dilakukannya

pengurangan energi dan aktifitas. Namun, meskipun ini respon penyesuaian, deposit

lemak dimoilisasi untuk memenuhi kebutuhan energi yang sedang berlangsung meskipun

6

Page 7: BAB II Marasmus kwashiorkor

rendah. Setelah deposit lemk habis, katabolisme protein harus menyediakan substrat yang

berkelanjutan untuk menjaga metabolisme basal.

Alasan mengapa ada anak yang menderita edema dan ada yang tidak mengalami

edema pada KEP masih belum diketahui. Meskipun tidak ada faktor spesifik yang

ditemukan, beberapa kemungkinan dapat dipikirkan. Salah satu pemikiran adalah

variabilitas antara bayi yang satu dengan yang lainnya dalam kebutuhan nutrisi dan

komposisi cairan tubuh saat kekurangan asupan terjadi. Hal ini juga telah

dipertimbangkan bahwa pemberian karbohidrat berlebih pada anak-anak dengan non-

edematous KEP membalikkan respon penyesuaian untuk asupan protein rendah, sehingga

deposit protein tubuh dimobilisasikan. Akhirnya, sintesis albumin menurun, sehingga

terjadi hipoalbuminemia dengan edema. Fatty liver juga berkembang secara sekunder,

mungkin, untuk lipogenesis dari asupan karbohidrat berlebih dan mengurangi sintesis

apoliprotein. Penyebab lain KEP edematous adalah keracunan aflatoksin serta diare,

gangguan fungsi ginjal dan penurunan aktivitas NA K ATPase. Akhirnya, kerusakan

radikal bebas telah diusulkan sebagai faktor penting dalam munculnya KEP edematous.

Kejadian ini didukung dengan konsentrasi plasma yang rendah akan metionin, suatu

precrusor dari sistein, yang diperlukan untuk sintesis dari faktor antioksidan major,

glutathione. Kemungkinan ini juga didukung oleh tingkat yang lebih rendah dari sintesis

glutathione pada anak-anak dengan pembengkakan dibandingkan dengan non-edematous

KEP. 1

2.5 KLASIFIKASI

1. Klasifikasi menurut derajat beratnya KEP

Jika tujuannya untuk menentukan prevalensi KEP di suatu daerah, maka yang diperlukan

klasifikasi menurut derajat beratnya KEP, hingga dapat ditentukan persentasi gizi-kurang

dan berat di daerah tersebut. Dengan demikian pemerintah dapat menentukan prioritas

tindakan yang harus diambilnya untuk menurunkan insidensi KEP. Klasifikasi demikian

yang sering dipakai adalah sebagai berikut :2

7

Page 8: BAB II Marasmus kwashiorkor

A. Klasifikasi menurut Gomez (1956)

Klasifikasi tersebut didasarkan atas berat badan individu dibandingkan dengan

berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur. Sebagai baku patokan dipakai

persentil 50 baku Harvard (Stuart dan Stevenson,1954). Gomez mengelompokkan

KEP dalam KEP-ringan, sedang, dan berat. Tabel di bawah memperlihatkan cara

yang dilakukan oleh Gomez.2

Klasifikasi KEP menurut Gomez

Derajat KEP Berat badan % dari baku*

0 (normal) ≥90%

1 (ringan) 89-75%

2 (sedang) 74-60%

3 (berat) <60%

*Baku = persentil 50 Harvard

B. Modifikasi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan R.I.

Demi keseragaman dalam membuat rencana dan mengevaluasi program-

program pangan dan gizi serta kesehatan di Indonesia, maka Lokakarya Antropometri

Gizi Departemen Kesehatan R.I. yang diadakan pada tahun 1975 membuat keputusan

yang merupakan modifikasi klasifikasi Gomez. Berbeda dengan penggolongan yang

ditetapkan oleh Gomez, lokakarya mengklasifikasikan status gizi dalam gizi lebih, gizi

baik, gizi kurang, dan gizi buruk. Tabel di bawah memperlihatkan batas-batasnya :2

Klasifikasi KEP menurut Dep.kes. (1975)

Derajat KEP Berat badan % dari baku*

0 = normal

1 = gizi kurang

2 = gizi buruk

= / > 80 %

60 – 79 %

< 60 %

*Sebagai baku patokan dipakai persentik 50 Harvard

8

Page 9: BAB II Marasmus kwashiorkor

2. Klasifikasi menurut tipe (klasifikasi kualitatif)

Klasifikasi ini menggolongkan KEP dalam kelompok menurut tipenya : gizi –kurang,

marasmus, kwashiorkor, dan kwashiorkor marasmik.

A. Klasifikasi kualitatif menurut Wellcome Trust (FAO/WHO Exp.Comm.,1971)

Cara Wellcome Trust dapat dipraktekkan dengan mudah, tidak diperlukan penentuan

gejala klinis maupun laboratoris, dan dapat dilakukan oleh tenaga para medis setelah

diberi latihan seperlunya. Untuk survei lapangan guna menentukan prevalensi tipe-

tipe KEP banyak gunanya. Akan tetapi jika cara Wellcome Trust diterapkan pada

penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan dapat pengobatan diet, maka

adakalanya dapat dibuat diagnosa yang salah. Seorang penderita dengan edema,

kelainan kulit, kelainan rambut, dan perubahan-perubahan lain yang khas bagi

kwashiorkor dengan berat badan lebih dari 60%, jika dirawat selama 1 minggu akan

kehilangan edemanya dan beratnya dapat menurun dibawah 60% walaupun gejala

klinisnya masih ada. Dengan berat dibawah 60% dan tidak terdapatnya edema,

penderita tersebut dengan klasifikasi Wellcome Trust didiagnosia sebagai penderita

marasmus. Tabel di bawah menunjukkan klasifikasi kualitatif menurut Wellcome

Trust :2

Klasifikasi kualitatif KEP menurut Wellcome Trust

Berat badan % dari baku*Edema

Tidak ada Ada

> 60 % Gizi kurang Kwashiorkor

< 60 % Marasmus Kwashiorkor marasmic

* Baku = persentil 50 Harvard

B. Klasifikasi kualitatif menurut McLaren,dkk (1967)

McLaren mengklasifikasikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya. Gejala

klinis edema, dermatosis, edema disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan

9

Page 10: BAB II Marasmus kwashiorkor

pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total

protein serum. Cara demikian dikenal dengan scoring system McLaren dan tabel di

bawah memperlihatkan cara pemberian angka

Cara pemberian angka menurut McLaren

Gejala klinis/laboratoris Angka

Edema

Dermatosis

Edema disertai dermatosis

Perubahan pada rambut

Hepatomegali

3

2

6

1

1

7

6

5

4

3

2

1

0

Albumin seru atau protein total serum/g%

< 1.00 < 3.25

1.00 – 1.49 3.25 – 3.99

1.50 – 1.99 4.00 – 4.74

2.00 – 2.49 4.75 – 5.49

2.50 – 2.99 5.50 – 6.24

3.00 – 3.49 6.25 – 6.99

3.50 – 3.99 7.00 – 7.74

> 4.00 > 7.75

Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap penderita:

0-3 angka = marasmus

4-8 angka = marasmic-kwashiorkor

10

Page 11: BAB II Marasmus kwashiorkor

9-15 angka = kwashiorkor

Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalahan jika dibandingkan dengan cara

Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan

laboratorium.2

C. Klasifikasi KEP Menurut Waterlow (1973)

Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan menahun. Waterlow

berpendapat bahwa defisit berat terhadap tinggi mencerminkan gangguan gizi yang akut

dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering). Sedangkan defisit tinggi menurut

umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya

laju tinggi badan akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk

seusianya.2

Klasifikasi KEP menurut Waterlow

Derajat gangguan Stunting

(tinggi menurut umur)

Wasting

(berat terhadap tinggi)

0

1

2

3

> 95%

95 – 90 %

89 – 85 %

< 85 %

> 90 %

90 – 80 %

80 – 70 %

< 70 %

Lokakarya Antropometri Dep.Kes.R.I pada tahun 1975 memutuskan untuk mengambil

baku Harvard persentil 50 sebagai patokan dan menggolongkannya sebagai berikut :

Bagi tinggi menurut umur

Tinggi normal : diatas 85 % Harvard persentil 50

Tinggi kurang : 70 – 84 % Harvard persentil 50

Tinggi sangat kurang : dibawah 0 % Harvard persentil 50

Bagi berat terhadap tinggi

11

Page 12: BAB II Marasmus kwashiorkor

Gizi baik : 90 % atau lebih dari Harvard persentil 50

Gizi kurang dan buruk : di bawah 90 % Harvard persentil 50

Beberapa cara membuat klasifikasi direncanakan sedemikian, hingga hanya memerlukan

alat-alat yang sederhana, tidak diperlukan untuk menkalkulir hasilnya, tidak perlu

mengetahui umur yang akan diperiksa, hingga dapat dilakukan oleh tenaga paramedik

atau sukarelawan setelah mendapat petunjuk seperlunya.2

2.6. MANIFESTASI KLINIS

GEJALA KLINIS KEP

Gejala klinis KEP berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi protein dan

energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh adanya kekurangan vitamin dan

mineral yang menyertainya. Pada KEP ringan yang ditemukan hanya pertumbuhan yang

kurang, seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat. Keadaan

KEP yang berat memberi gejala yang kadang-kadang berlainan, tergantung dari dietnya,

fluktuasi musim, keadaan sanitasi, kepadatan penduduk, dan sebagainya.2

A. Gejala klinis Kwashiorkor

12

Page 13: BAB II Marasmus kwashiorkor

Gambar 1. Manifestasi klinis anak dengan kwashiorkor

Penampilan

Penampilannya seperti anak yang gemuk (suger baby) bilamana dietnya

mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun di bagian

tubuh lainnya, terutama di pantatnya terlihat adanya atrofi.2

Gangguan Pertumbuhan

Pertumbuhan terganggu, berat badan di bawah 80% dari baku Harvard persentil 50

walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya terutama jika KEP sudah

berlangsung lama. 2

13

Page 14: BAB II Marasmus kwashiorkor

Perubahan Mental

Perubahan mental sangat mencolok. Pada umummnya mereka banyak menangis,

dan pada stadium lanjut bahkan sangat apatis. Perbaikan kelainan mental tersebut

menandakan suksesnya pengobatan. 2

Edema

Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pada sebagian besar penderita

kwashiorkor. Walaupun jarang, asites dapat mengiringi edema. 2

Gambar 2. Edema dan kelainan kulit pada kwashiorkor

Atrofi otot

Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring terus-menerus,

walaupun sebelum menderita penyakit demikian sudah dapat berjalan. 2

Sistem gastro-intestinum

Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting. Pada anoreksia yang berat

penderita menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya

dapat diberikan melalui sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar

penderita, dengan feses yang cair dan mengandung banyak asam laktak karena

14

Page 15: BAB II Marasmus kwashiorkor

mengurangnya produksi lactase dan enzim disakaridase lain. Adakalanya diare

demikian disebabkan pula oleh cacing dan parasit lain. 2

Perubahan rambut

Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture) maupun

warnanya. Sangat khas bagi penderita kwashiorkor ialah rambut yang mudah

dicabut. Pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala yang

kusam, kering, halus, jarang, dan berubah warnanya. Warna rambut yang hitam

menjadi merah, coklat, kelabu, maupun putih. Rambut alispun menunjukkan

perubahan demikian, akan tetapi tidak demikian dengan rambut matanya yang

justru memanjang. 2

Perubahan kulit

Perubahan kulit yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang melaporkan

adanya penyakit kwashiorkor, diberi nama crazy pavement dermatosis merupakan

kelainan kulit yang khas bagi penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai

dengan titik-titik merah menyerupai ptechiae, berpadu menjadi bercak yang lambat-

laun menghitam. Setelah bercak hitam mengelupas, maka terdapat bagian-bagian

yang merah dikelilingi oleh batas-batas yag masih hitam. Bagian tubuh yang sering

membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan yang terus-menerus

mendapat tekanan merupakan predileksi crazy pavement dermatosis,seperti di

punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya. Perubahan kulit lainnya seperti

kulit kering dengan garis kulit yang mendalam, luka yang mendalam tanpa tanda-

tanda inflamasi. Kadang-kadang pada kasus yang sangat lanjut ditemui petechiae

tanpa trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi si penderita. 2

Pembesaran hati

Termasuk gejala yang sering ditemukan. Kadang-kadang batas hati terdapat

setinggi pusar. Hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal

15

Page 16: BAB II Marasmus kwashiorkor

pada rabahan dengan permukaan yang lici dan pinggir yang tajam. Sediaan hati

demikian jika dilihat dibawah mikroskop menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi

dengan lemak. Pada kwashiorkor yang relatif ringan infiltrasi lemak itu terdapat

terutama di segi taga Kirnan, lebih berat penyakitnya lebih banyak sel hati yang

terisi dengan lemak, sedangkan pada yang sangat berat perlemakan terdapat pada

hamper semua sel hati. Adakalanya terlihat juga adanya fibrosis dan nekrosis hati. 2

Anemia

Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita demikian. Bilamana kwashiorkor

disertai oleh penyakit lain, terutama ankylostomiasis, maka dapat dijumpai anemia

yang berat. Jenis anemia pada kwashiorkor bermacam-macam, seperti normositik

normokrom, mikrositik hipokrom, makrositik hiperkrom, dan sebagainya.

Perbedaan macam anemia pada kwashiorkor dapat dijelaskan oleh kekurangan

berbagai faktor yang mengiringi kekurangan protein, seperti zat besi, asam folat,

vitamin B12, vitamin C, tembaga, insufisiensi hormone, dan sebagainya. Macam

anemia yang terjadi menunjukkan faktor mana yang lebih dominan. Pada

pemeriksaan sumsum tulang sering ditemukan mengurannya sel system eripoitik.

Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian disebabkan terutama oleh

kekurangan protein dan infeksi menahun. 2

Kelainan biokimiawi darah

Ada hipotesis mengatakan bahwa pada penyakit kwashiorkor tubuh tidak dapat

beradaptasi terhadap keadaan baru yang disebabkan oleh kekurangan protein

maupun energi. Oleh sebab itu banyak perubahan biokimiawi dapat ditemukan pada

penderita kwashiorkor, misalnya:

o Albumin serum

16

Page 17: BAB II Marasmus kwashiorkor

Albumin serum yang merendah merupakan kelainan yang sering dianggap

spesifik dan sudah ditemukan pada tingkat dini, maka McLarena member angka

(skor) untuk membedakan kwashiorkor dan marasmus. Lebih rendah kadar

albumin serum, lebih tinggi pemberian angkanya. 2

o Globulin serum

Kadar globulin dalam serum kadang-kadang menurun akan tetapi tidak

sebanyak menurunnya albumin serum, hingga pada kwashiorkor terdapat rasio

albumin/globulin yang biasanya 2 menjadi lebih rendah, bahkan pada

kwashiorkor yang berat ditemukan rasio yang terbalik. 2

o Kadar kolesterol serum

Pada penderita kwashiorkor, terutama yang berat, kadar kolesterol darahnya

rendah. Mungkin saja rendahnya kolesterol darah disebabkan oleh makanan

sehari-harinya yang terdiri dari sayuran hingga tidak mengandung kolesterol,

atau adanya gangguan dalam pembentukan kolesterol dalam tubuh. 2

o Tes thymol turbidity(derajat kekeruhan)

Merupakan tes fungsi hati. Penentuan terhadap 109 penderita kwashiorkor

member hasil sebagai berikut : pada 73 penderita meninggi, sedangkan pada

selebihnya tidak. Tidak ditemukan korelasi antara tingginya kekeruhan dan

beratnya perlemakan hati maupun tingginya angka kematian, maka tes tersebut

tidak mempunyai nilai diagnosis maupun prognosis. 2

B. Gejala klinis Marasmus

Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi

yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering

diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain, seperti

infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorbsi, gangguan

17

Page 18: BAB II Marasmus kwashiorkor

metabolic, penyakit ginjal menahun, dan juga pada gangguan saraf pusar. Perhaian ibu

dan pengasuh yang berlebihan sehingga anak dipaksa menghabiskan makanan yang

disediakan, walaupun jumlahnya jauh melampaui kebutuhannya, dapat menyebabkan

anak kehilangan nafsu makannya, atau muntah begitu melihat makanan atau formula

yang akan diberikannya. Adakalanya anak demikian menolak segala macam makanan

hingga pertumbuhannya terganggu. 2

Gambar 3. Manifestasi klinis marasmus

Penampilan

Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua. Anak terlihat

sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-

ototnya. 2

Perubahan mental

18

Page 19: BAB II Marasmus kwashiorkor

Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh sebab masih merasa lapar.

Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada penderita marasmus yang berat. 2

Kelainan pada kulit tubuh

Kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkan kehilangan banyak lemak

dibawah kulit serta otot-ototnya. 2

Kelainan pada rambut kepala

Walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor, adakalanya tampak

rambut kering, tipis dan mudah rontok. 2

Lemak dibawah kulit

Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang. 2

Otot-otot

Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas. 2

Saluran pencernaan

Penderita marasmus lebih sering menderita diare atau konstipasi. 2

Jantung

Tidak jarang terdapat bradikardi. 2

Tekanan darah

Pada umummnya tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan dengan anak

sehat seumur. 2

19

Page 20: BAB II Marasmus kwashiorkor

Saluran nafas

Terdapat pula frekuensi pernafasan mengurang. 2

Sistem darah

Pada umummnya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah. 2

C. Gejala klinis Marasmus-Kwashiorkor

Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara penyakit

marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup mengandung protein

dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian, disamping

menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal memperlihatkan gejala-gejala

kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan

biokimiawi terlihat pula. 2

Gambar 4. Manifestasi klinis Marasmus-Kwashiorkor

20

Page 21: BAB II Marasmus kwashiorkor

2.7. DIAGNOSIS

Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada kedua kaki

atau adanya severe wasing (BB/TB < 70 % atau < -3SD), atau ada gejala klinis gizi buruk

(kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-kwashiorkor). Walaupun kondisi klinis pada

kwashiorkor, marasmus, dan marasmus kwashiorkor berbeda tetapi tatalaksananya

sama.5,6

A. Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Anak

didiagnosis gizi buruk apabila :

BB/TB < -3 SD atau < 70% dari median (marasmus)

Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor : BB/TB > -

3 SD atau marasmus-kwashiorkor: BB/TB < -3SD)

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak

tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak

di bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantan dan paha; tulang iga terlihat

jelas, dengan atau tanpa adanya edema. 5,6

Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak

tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak

membutuhkan perawatan di rumah sakit, keciali jika ditemukan penyakit lain yang

berat. 5,6

B. Penilaian awal anak gizi buruk

Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis

terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan. 5,6

Anamnesis awal (untuk kedaruratan):21

Page 22: BAB II Marasmus kwashiorkor

Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare

(encer/darah/lendir)

Kapan terakhir berkemih

Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin

Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi

dan/atau syok, serta harus diatasi segera. 5,6

Anamnesis lanjutan

Dilakukan untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan

setelah kedaruratna ditangani:

Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit

Riwayat pemberian ASI

Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir

Hilangnya nafsu makan

Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru

Pernah sakit camapat dalam 3 bulang terakhir

Batuk kronik

Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung

Berat badan lahir

Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain22

Page 23: BAB II Marasmus kwashiorkor

Riwayat imunisasi

Apakah ditimbang setiap bulan

Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)

Diketahi atau tersangka infeksi HIV

Pemeriksaan fisik

Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.

Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.

Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati menentukan

status dehidrasi pada gizi buruk)

Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang melambat, nadi lemah

dan cepat) kesadaran menurun.

Demam (suku aksilar ≥ 37,50C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35,50C)

Frekuensi dan tipe pernapasan : pneumonia atau gagal jantung

Sangat pucat

Pembesaran hati dan ikterus

Adakah perut kembung, bising usu melemah/meninggi, tanda asites, atau adanya

suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)

Tanda defisiensi vitamin A pada mata :

23

Page 24: BAB II Marasmus kwashiorkor

Gambar 5. Bercak Bitot pada mata

o Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot

o Ulkus kornea

o Keratomalasia

Ulkus pada mulut

Fokus infeksi : telinga, tenggorokan, paru, kulit

Lesi kulit pada kwashiorkor :

o Hipo- atau hiper- pigmentasi

o Deskuamasi

o Ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga)

o Lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seingkali dengan infkesi

sekunder (termasuk jamur)

Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir)

Tanda dan gejala HIV

24

Page 25: BAB II Marasmus kwashiorkor

Catatan :

Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia. Penting untuk memeriksa

mata dengan hati-hati untuk menghindari robeknya kornea.

Pemeriksaan laboratorium terhadap HB dan atau Ht, jika didapatkan anak sangat

pucat5,6.

2.8. DIAGNOSIS BANDING

KEP berat/Gizi buruk secara klinis terdapat dalam 3 (tiga) tipe yaitu kwashiorkor,

marasmus, dan marasmik-kwashiorkor sehingga perlu dibedakan dari masing-masing

gejala yang telah dijelaskan sebelumnya di atas.

2.9. PENATALAKSANAAN

Gambar 6. Alur pemeriksaan anak gizi buruk

25

Page 26: BAB II Marasmus kwashiorkor

Pada saat masuk rumah sakit

Anak dipisahkan dari pasien infeksi

Ditempatkan di ruangan yang hangat (25-30oC, bebas dari angin)

Dipantau secara rutin

Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera keringkan.

Demi keberhasilan tatalaksana diperlukan:

Fasilitas dan staf yang professional (Tim Asuhan Gizi)

Timbangan badan yang akurat

Penyediaan dan pemberian makan yang tepat dan benar

Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga kemajuan selama

perawatan dapat dievaluasi

Keterlibatan orang tua

26

Page 27: BAB II Marasmus kwashiorkor

Gambar 7. Alur pelayanan anak gizi buruk di rumah sakit/puskesmas perawatan

Tatalaksana umum

Penilaian triase anak dengan gizi buruk dilakukan dengan tatalaksana syok pada anak

dengan gizi buruk :

Lakukan penanganan ini hanya jika ada tanda syok dan anak letargis atau idak

sadar.

27

Page 28: BAB II Marasmus kwashiorkor

Pastikan anak menderita gizi buruk dan benar-benar menunjukkan tanda syok.

Timbang anak untuk menghitung volume cairan yang harus diberikan

Pasang infus (dan ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium gawat darurat)

Masukkan larutan Ringer Laktat dengan dekstrose5% (RLD5%) atau Ringer

Laktat atau Garam Normal – pastikan aliran infus berjalan lancer. Bila gula darah

tinggi maka berikan Ringer Laktat (tanpa dekstrose) atau Garam Normal.

Alirkan cairan infus 10ml/kgBB selama 30 menit

Hitung denyut nadi dan frekuensi napas anak mulai dari pertama kali pemberian

cairan dan setiap 5-10menit

Jika ada perbaikan tapi belum adekuat (denyut nadi melambat, frekuensi napas

anak melambat, dan capillary refill >3 detik):

o Berikan lagi cairan di atas 10 ml/kbBB selama 30 menit

o Nilai kembali setelah volume cairan infus yang sesuai telah diberikan

Jika ada perbaikan dan sudah adekuat (denyut nadi melambat, frekuensi napas

anak melambat, dan capillary refill < 2 detik):

o Alihkan ke terapi oral atau menggunakan NGT dengan ReSoMal

10ml/kgBB/jam hingga 10 jam

o Mulai berikan anak makanan dengan F-75 (resep formula modifikasi)

Jika tidak ada perbaikan, lanjutkan dengan pemberian cairan rumatan

4ml/kgBB/jam dan pertimbangkan penyebab lain selain hipovolemik

28

Page 29: BAB II Marasmus kwashiorkor

o Transfusi darah 10ml/kgBB selama 1 jam (bila ada perdarahan nyata yang

signifikan dan darah tersedia)

o Bila kondisi stabil rujuk ke rumah sakit dengan kemampuan lebih tinggi.

Jika kondisi anak menurun selama diberikan cairan infus (napas anak meningkat 5

kali/menit atau denyut nadi 15 kali/menit), hentikan infus karena cairan infus dapar

memperburuk kondisi anak. Alihkan ke terapi oral atau menggunakan pipa

nasogastrik dengan ReSoMal, 10 ml/kgBB/jam hingga 10 jam.6

Catatan pada saat memberikan penanganan gawat-darurat pada anak

dengan gizi buruk6

Selama proses triase, semua anak dengan gizi buruk akan diidentifikasi sebagai

anak dengan tanda prioritas, artinya mereka memerlukan pemeriksaan dan

penanganan segera.

Pada saat penilaian triase, akan ditemukan sebagian kecil anak gizi buruk dengan

tanda kegawatdaruratan.

29

Page 30: BAB II Marasmus kwashiorkor

Gambar 8. Klasifikasi tanda bahaya atau tanda kegawatdaruratan

Hal – hal penting yang harus diperhatikan :7

1. Jangan berikan Fe sebelum minggu ke-2 (Fe diberikan pada fase stabilisasi)

2. Jangan berikan cairan intravena kecuali syok atau dehidrasi berat.

3. Jangan berikan protein terlalu tinggi pada fase stabilisasi.

4. Jangan berikan diuretic pada penderita kwashiorkor.

Anak dengan tanda dehidrasi berat tapi tidak mengalami syok tidak boleh

dilakukan rehidrasi dengan infus. Hal ini karena diagnosis dehidrasi berat pada

anak dengan gizi buruk sulit dilakukan dan sering terjadi salah diagnosis. Bila

diinfus berarti menempatkan anak ini dalam resiko over-hidrasi dan kematian

karena gagal jantung. Dengan demikian, anak ini harus diberi perawatan

30

Page 31: BAB II Marasmus kwashiorkor

rehidrasi secara oral (melalui mulut) dengan larutan rehidrasi khusus untuk gizi

buruk (ReSoMal). 6

Anak dengan tanda syok dinilai untuk tanda lainnya (letargis atau tidak sadar).

Pada gizi buruk, tanda gawat darurat umum yang biasa terjadi pada anak syok

mungkin timbul walaupun anak tidak mengalami syok.

o Jika anak letargis atau tidak sadar, jaga agar tetap hangat dan berikan

cairan infus dan glukosa 10% 5ml/kgBB iv.

o Jika anak sadar (tidak syok) jaga agar tetap hangat dan berikan glukosa

10% 10ml/kgBB lewat mulut atau pipa nasogastrik dan lakukan segera

penilaian menyeluruh dan pengobatan lebih lanjut. 6

Catatan : ketika memberikan cairan infus untuk anak syok, pemberian cairan

infus tersebut berbeda dengan anak yang dalam kondisi gizi baik. Syok yang

terjadi karena dehidrasi dan sepsis mungkin dapat terjadi secara bersamaan dan

hal ini sulit untuk dibedakan dengan tampilan klinis semata. Anak dengan

dehidrasi memberikan reaksi yang baik pada pemberian cairan infus (napas dan

denyut nadi lebih lambat, capillary refill lebih cepat). Anak yang mengalami

syok sepsis dan tidak dehidrasi, tidak akan memberikan reaksi. Jumlah cairan

yang diberikan harus melihat reaksi anak. Hindari terjadi over-hidrasi. Pantau

denyut nadi dan pernapasan pada saat infus dimulai dari tiap 5-10 menit untuk

melihat kondisi anak mengalami perbaikan atau tidak. Ingat bahwa jumlah dan

kecepatan aliran cairan infus berbeda pada gizi buruk. 6

Semua anak dengan gizi buruk membutuhkan penilaian dan pengobatan segera

untuk mengatasi masalah serius seperti hipoglikemi, hipotermi, infeksi berat,

anemia berat dan kemungkinan besar kebutaan pada mata. Penting juga

melakukan pencegahan timbulnya maslah tersebut bila belum terjadi pada saat

anak dibawa ke rumah sakit. 6

31

Page 32: BAB II Marasmus kwashiorkor

Anak marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena terdapat berbagai

komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan yang dilakukan berdasarkan pada

ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting, yang dikelompokkan menjadi 5, yaitu:7

Kondisi I

Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau

dehidrasi.Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:7

1. Pasang O2 1-2L/menit

2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan perbandingan 1:1

(RLG 5%)

3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan dengan

4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT

Kondisi II

Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana II,

dengan tindakan segera, yaitu:7

1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB

2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak

50ml

3. 2 jam pertama

berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB setiap

pemberian

catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi III

Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana III, dengan

tindakan segera, yaitu:7

1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)

32

Page 33: BAB II Marasmus kwashiorkor

2. 2 Jam pertama

berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB setiap

pemberian

catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi IV

Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu:7

1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB

2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak

50ml

3. 2 jam pertama

berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat

badan (NGT)

catat nadi, frekuensi nafas

Kondisi V

Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.

Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:7

1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral

2. Catat nadi, frekuensi nafas

Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk:7

33

Page 34: BAB II Marasmus kwashiorkor

34

Page 35: BAB II Marasmus kwashiorkor

Gambar 9. Bagan Langkah Rencana Pengobatan Anak Gizi Buruk7

Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 fase yang harus

dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14), faserehabilitasi

(Minggu ke 3 – 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26). Dimana tindakan pelayanan

terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb:7

Gambar 10. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk7

A. Prinsip Dasar Pengobatan Gizi Buruk (10 Langkah utama)

Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia

Tanda-tanda hipoglikemi8 :

35

Page 36: BAB II Marasmus kwashiorkor

1. Hipoglikemi adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah yang sangat rendah.

2. Anak gizi buruk, dianggap hipoglikemia bila kadar glukosa darah < 3 mmol/liter

atau <54 mg/dl.

3. Hipoglikemia biasanya juga terjadi bersamaan dengan hipotermia.

4. Tanda lain hipoglikemia adalah letargis, nadi lemah, dan kehilangan kesadaran.

5. Gejala hipoglikemia berupa berkeringat dan pucat, sangat jarang dijumpai pada

anak gizi buruk.

6. Kematian karena hipoglikemia pada anak gizi buruk, kadang-kadang hanya

didahului dengan tanda seperti mengantuk saja.

7. Di unit pelayanan kesehatan yang belum mampu memeriksa kadar glukosa darah,

setiap anak gizi buruk yang dating harus dianggap mengalami hipoglikemia. Oleh

jarena itu harus segera mendapatkan perawatan dan penanganan sebagai penderita

hipoglikemia.

Cara mengatasi hipoglikemia:8

1. Sadar (tidak letargis)

Berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir 10%* secara oral atau NGT

(bolus) sebanyak 50ml

2. Tidak sadar (letargis)

Berikan larutan Glukosa 10% secara intravena(iv) (bolus) sebanyak 5 ml/kgBB

Selanjutnya berikan larutan Glukosa 10% atau larutan gula pasir 10% secara

oral atau NGT (bolus) sebanyak 50 ml.

3. Renjatan(syok)

Berikan cairan intravena (iv) berupa Ringer Laktat dan Dextrose/Glukosa 10%

dengan perbandingan 1:1 (=RLG 5%) sebanyak 15ml/kgBB selama 1 jam

pertama atau 5 tetes/menit/kgBB

Selanjutnya berika larutan Glukosa 10% secara intravena (iv) (bolus) sebanyak

5ml/kgBB

*5 gram gula pasir (=1 sendok teh munjung) + air matang s/d 50ml

36

Page 37: BAB II Marasmus kwashiorkor

Pemantauan6 :

Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30

menit.

Jika kadar gula darah < 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian larutan glukosa

atau gula 10%.

Jika suhu rectal <35,50C atau bila kesadaran memburuk, mungkin hipoglikemia

disebabkan oleh hiponatremia, ulangi pengukuran kadar gula darah dan tangani

sesuai keadaan (hiponatremia dan hipoglikemia).

Pencegahan6 :

Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu,

lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang

malam.

Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia

Hipotermia8 :

1. Adalah suatu keadaan tubuh dimana suhu aksiler <360C

2. Hipetermia biasanya terjadi bersama-sama dengan kejadian hipoglikemia.

3. Hipoglikemia daan hipotermia pada anak gizi buruk biasanya merupakan tanda dari

adanya infeksi sistemik yang serius.

4. Semua anak gizi buruk dengan hiponatremia harus mendapat pengobatan untuk

mengatasi hipoglikemia dan infeksi.

5. Cadangan energi anak gizi buruk sangat terbatas, sehingga tidak mampu

memproduksi panas untuk mempertahankan suhu tubuh.

6. Setiap anak gizi buruk harus dipertahankan suhu tubuhnya dengan menutup

tubuhnya dengan penutup yang memadai.

7. Tindakan menghangatkan tubuh, adalah usaha untuk menghemat penggunaan

cadangan energi pada anak tersebut.

37

Page 38: BAB II Marasmus kwashiorkor

Suhu tubuh 36-370C 8

Keadaan ini pada anak gizi buruk dapat dengan mudah jatuh pada hiponatremia, cara

untuk mempertahankan (pencegahan) agar tidak hipotermia adalah :

1. Tutuplah tubuh anak termasuk kepalanya

2. Hindari adanya hembusan angin dalam ruang perawatan

3. Petahankan suhu ruangan sekitar 25-300C.

4. Jangan membiarkan anak tanpa baju terlalu lama pada saat tindakan pemeriksaan

dan penimbangan.

5. Usahakan tangan dari pemberi perawatan pada saat menangani anak gizi buruk

dalam keadaan hangat.

6. Segeralah ganti baju atau peralatan tidur yang basah oleh karena air kencing atau

keringat atau sebab-sebab yang lain.

7. Bila anak baru saja dibersihkan tubuhnya dengan air, segera keringkan dengan

sebaik-baiknya.

8. Jangan menghangati anak dengan air panas dalam botol, hal ini untuk menghindari

ibu anak/pengasuh lupa membungkus botol dengan kain akan menyebabkan kulit

anak terbakar.

Suhu tubuh <360C (hipotermia)8

Cara untuk memulihkan penderita gizi buruk yang mengalami hipotermia adalah:

1. Bila suhu <360C harus dilakukan tindakan menghangati untuk mengembalikan

kembali suhu tubuh anak.

2. Pemanasan suhu tubuh anak yang hipotermia adalah dengan cara “kanguru”, yaitu

dengan mengadakan kontak langsung kulit ibu dan kulit anak untuk memindahkan

panas tubuh ibu kepada tubuh anak dan anak digendong serta diselimuti seluruh

tubuhnya.

38

Page 39: BAB II Marasmus kwashiorkor

3. Pemanasan tubuh anak juga dapat dilakukan dengan menggunakan lampu. Lampu

harus diletakkan 50cm dari tubuh anak.

4. Suhu tubuh harus dimonitor setiap 30 menit untuk memastikan bahwa suhu tubuh

anak tidak terlalu tinggi akibat pemanasan.

5. Hentikan pemanasan bila suhu tubuh sudah mencapai 370C.

Pemantauan6 :

1. Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36,50C atau

lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan pemanasan

bila suhu mencapai 36,50C.

2. Patikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada malam

hari.

3. Periksa kadar gula darah bila ditemukan hiponatremi.

Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi

Diagnosis6

Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang berlebihan

mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal ini disebabkan oleh

sulitnya menentukan status dehidrasi secara tepat pada anak dengan gizi buruk hanya

dengan menggunakan gejala klinis saja. Anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala

dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi ringan.

Catatan: hipovolemia dapat terjadi bersamaan dengan adanya edema.

Tatalaksana6

1. Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, keciali pada kasus dehidrasi berat

dengan/tanpa syok.

2. Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding jika

melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.

Beri 5ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama.

Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5-10 ml.kgBB/jam berselang-seling dengan F-

75 dengan jumlah yang sama setiap jam selama 10 jam.

39

Page 40: BAB II Marasmus kwashiorkor

Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang

keluar, dan apakah anak muntah.

Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan mempunyai

kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah; cairan yang lebih tepat adalah

ReSoMal.

Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.

Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia <1th: 50-100ml

setiap buang air besar, usia ≥ 1 thL 100-200ml setiap buang air besar.

Resep ReSoMal

ReSoMal mengandung 37,5 mmol Na, 40 mmol K, 3 mmol Mg per liter

Bahan Jumlah

Oralit WHO*

Gula pasir

Larutan mineral-mix**

Ditambah air sampai menjadi

1 sachet (200ml)

10 gr

8 ml

400

*2,6 g NaCl; 2,9 g trisodium citrate dehydrate, 1.5 g KCl, 13.5 g glukosa dalam 1L

**Lihat resep larutan mineral mix

Bila larutan mineral mix tidak tersedia, sebagai pengganti ReSoMal dapat dibuat

larutan sebagai berikut:

Bahan Jumlah

Oralit

Gula pasir

Bubuk Kcl

Ditambah air sampai menjadi

1 sachet (200ml)

10 g

0,8 g

400 ml

Oleh karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu, maka dapat

diberikan makanan yang merupakan sumber mineral tersebut. Dapat pula diberikan

MgSO4 40% IM 1x/hari dengan dosis 0,3 ml.kgBB, maksimum 2 ml/hari.

40

Page 41: BAB II Marasmus kwashiorkor

Larutan Mineral-mix

Larutan ini digunakan pada pembuatan F-75, F-100 dan ReSoMal.

Jika tidak tersedia larutan mineral-mix siap pakai, buatlah larutan dengan

menggunakan bahan berikut ini :

Bahan Jumlah (g)

Kalium klorida (KCL)

Tripotassium citrate

Magnesium klorida (MgCl2, 6H2O)

Seng asetat (Zn asetat, 2H2O)

Tembaga sulfat (CuSO4, 5H2O)

Air tambahkan menjadi

89,5

32,4

30,5

3,3

0,56

1000 ml

Pemantauan

Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap setengah jam

selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya. Waspada

terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bias mengakibatkan gagal

jantung dan kematian.6

Periksalah

Frekuensi napas

Frekuensi nadi

Frekuensi miksi dan jumlah produksi urin

Frekuensi buang air besar dan muntah

Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai ada

dieresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan fontanel berkurang serta

turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk

seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah terjadi,

sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.6

41

Page 42: BAB II Marasmus kwashiorkor

Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit dan

frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian cairan/ReSoMal segera dan lakukan

penilaian ulang setelah 1 jam.6

Pencegahan

Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada anak

dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai pengganti larutan oralit

standar.

Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI

Pemberian F-75 sesegera mungkin

Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.

Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit

Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na

plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering terjadi dan paling

sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan.9

Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema (jangan obati

edema dengan pemberian diuretikum)9

Berikan :

- Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)

- Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2 /kgBB/hari)

- Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)

- Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.

Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang ditambahkan

langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut pada 1 liter formula, dapat

memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat lampiran 6 untuk cara pembuatan larutan).9

Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi

42

Page 43: BAB II Marasmus kwashiorkor

Pada KEP berat/gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya infeksi seperti

demam seringkali tidak tampak.9

Karenanya pada semua KEP berat/gizi buruk beri secara rutin :

- Antibiotik spektrum luas

- Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah diimunisasi (tunda

bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah keadaan gizi anak menjadi baik.9

Catatan:

Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama 7 hari)

sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat perbaikan mucosa

usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat

pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus.9

Pilihan antibiotik spektrum luas:

Bila tanpa komplikasi:

Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2 x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila

berat badan < 4 Kg)

Atau

43

Page 44: BAB II Marasmus kwashiorkor

Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia: hipotermia,

infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :

Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. – setiap 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan dengan

Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8 jam selama 5 hari. Bila amoksisilin

tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam secara oral.

Dan

Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.

Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol 25

mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari.

Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik yang sesuai.

Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria positif.9

Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi pemberian

hingga 10 hari.

Bila masih tetap ada, nilai kembali kadaan anak secara lengkap, termasuk lokasi

infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah vitamin dan mineral

telah diberikan dengan benar.9

Langkah Ke-6: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien

Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun anemia biasa

dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai

anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2).

Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya.9

Berikan setiap hari:

- Suplementasi multivitamin

- Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)

- Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari

- Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari

44

Page 45: BAB II Marasmus kwashiorkor

- Bila BB mulai naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10 mg/kgBB/hari

- Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan : 100.000 SI,

< 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah mendapat suplementasi

vit.A pada 1 bulan terakhir. Bila ada tanda/gejala defisiensi vit.A, berikan vitamin dosis

terapi. 9

Langkah Ke-7: Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi

Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar tercapai

masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan ≥ 50 g/minggu. Awal

fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu setelah

dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung

dan intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan

dalam jumlah banyak secara mendadak.9

Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula

khusus awal ke formula khusus lanjutan9 :

- Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml)

dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100 ml)

dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan

asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.

- Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula tersisa,

biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200 ml/kgBB/hari).

Pemantauan pada masa transisi:

• frekwensi nafas

• frekwensi denyut nadi

Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit dalam

pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula. Setelah

normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.9

45

Page 46: BAB II Marasmus kwashiorkor

Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:

- Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.

- Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari

- Protein 4-6 gram/kgBB/hari

- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena energi

dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.9

Pemantauan setelah periode transisi:

Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan :

- Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.

- Evaluasi kenaikan BB setiap minggu

Bila kenaikan BB:

- kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh :

cek apakah asupan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.

- Baik (≥ 50 g/minggu), lanjutkan pemberian makanan

Resep formula WHO F-75 dan F-1006

Bahan makanan Per 1000 ml F-75 F-75 (=sereal) F-100

Susu krim bubuk

Gula pasir

Tepung beras/maizena

Minyak sayur

Larutan elektrolit

Tambahan air s/d

gram

gram

gram

gram

ml

ml

25

100

-

27

20

1000

25

70

35

27

20

1000

85

50

-

60

20

1000

Nilai gizi/1000ml

46

Page 47: BAB II Marasmus kwashiorkor

Energi

Protein

Laktosa

Kalium

Natrium

Magnesium

Seng

Tembaga

% energi protein

% energi lemak

Osmolaritas

Kkal

gram

gram

mmol

mmol

mmol

mg

mg

-

-

mOsm/l

750

9

13

40

6

4.3

20

2.5

5

32

413

750

11

13

42

6

4.6

20

2.5

6

32

334

1000

29

42

63

19

7.3

23

2.5

12

53

419

Langkah Ke-8: Memberikan makanan untuk tumbuh kejar

Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati karena keadaan

faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.9

Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang

sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme

basal.9

Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :

Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-osmolar.

Berikan secara oral/nasogastrik

Energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari

Protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari

Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)

Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian formula.

47

Page 48: BAB II Marasmus kwashiorkor

Formula khusus seperti F-75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus

disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas: (lihat tabel 2

halaman 24). Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan

dengan sendok / pipet.9

Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian makanan

pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap

tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg BB/hari, berikan sisa

formula melalui pipa nasogastrik. Jangan beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada

fase stabilisasi ini.9

Pantau dan catat :

- Jumlah yang diberikan dan sisanya

- Muntah

- Frekwensi buang air besar dan konsistensi tinja

- BB (harian)

Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik, tetapi pada

penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan dengan menghilangnya

edema, baru kemudian BB mulai naik.9

Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan Emosional

Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, karenanya

berikan:9

Kasih sayang

Lingkungan yang ceria

Terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari

Aktifitas fisik segera setelah sembuh

Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).

48

Page 49: BAB II Marasmus kwashiorkor

Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah

Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat

dikatakan anak sembuh.

Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah

penderita dipulangkan.9

Peragakan kepada orangtua :

- pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat

- terapi bermain terstruktur.

Sarankan:

- Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur:

bulan I : 1x/minggu

bulan II : 1x/2 minggu

bulan III : 1x/bulan

- Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)

- Pemberian vitamin A setiap 6 bulan.

B. Pengobatan Penyakit Penyerta

1. Masalah pada mata

Jika anak mempunyai gejala defisiensi vitamin A, lakukan hal seperti di

bawah ini6 :

Gejala Tindakan

Hanya bercak Tidak memerlukan obat tetes mata

49

Page 50: BAB II Marasmus kwashiorkor

Bitot saja (tidak

ada gejala mata

yang lain)

Nanah atau

peradangan

Beri tetes mata kloramfenikol atau tetrasiklin (1%)

Kekeruhan pada

kornea

Ulkus pada

kornea

Tetes mata kloramfenikol 0,25%-1% atau tetes

tetrasiklin (1%); 1 tetes, 4x sehari, selama 7-10 hari

Tetes mata atropine (1%); 1 tetes, 3x sehari, selama 3-

5 hari.

Jika perlu, kedua jenis obat tetes mata tersebut dapat

diberikan secara bersamaan

Jangan menggunakan sediaan yang berbentuk salep.

Gunakan kasa penutup mata yang dibasahi larutan garam normal.

Gantilah kasa setiap hari.

Beri vitamin A

Umur Dosis

< 6 bulan

6 – 12 bulan

1-5 tahun

50.000 (1/2 kapsul biru)

100.000 ( 1 kapsul biru)

200.000 (1 kapsul merah)

Bila ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3

bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke

1,2, dan 15.6

Catatan :

Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia sehingga selalu

menutup matanya. Penting untuk memeriksa mata dengan hati-hati untuk

menghindari rupture kornea.6

2. Anemia berat

50

Page 51: BAB II Marasmus kwashiorkor

Transfusi darah diperlukan jika:

Hb < 4 g/dl

Hb 4-6 g/dl dan anak mengalami gangguan pernapasan atau tanda gagal

jantung.

Pada anak gizi burukm transfuse harus diberikan secara lebih lambat dan

dalam volume lebih kecil dibanding anak sehat. Beri :

Darah utuk (whole blood), 10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam,

Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfuse dimulai.

Bila terdapat gejala gagal jantung, berikan komponen sel darah merah (packed

red cells) 10 ml/kgBB. Anak dengan kwashiorkor mengalami redistribusi

cairan sehingga terjadi penurunan Hb yang nyata dan tidak membutuhkan

transfuse. Hentikan semua pemberian cairan lewat oral/NGT selama anak

ditransfusi.5,6

Monitor frekuensi nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama transfuse. Jika

terjadi peningkatan (frekuensi napas meningkat 5x/menit atau nadi

25x/menit), perlambat transfuse.5,6

Catatan: Jika Hb tetap rendah setelah transfuse, jangan ulangi transfuse dalam

4 hari. 5,6

3. Lesi kulit pada kwashiorkor

Defisiensi seng (Zn); sering terjadi pada anak dengan kwashiorkor dan

kulitnya akan membaik secara cepat dengan pemberian suplementasi seng. 5,6

Sebagai tambahan:

Kompres daerah luka dengan larutan Kalium permanganate PK; KMnO4)

0,01% selama 10menit/hari.

Bubuhi salep/krim (seng dengan minyak kastor, tulle gras) pada daerah

yang kasar, dan bubuhi gentian violet (atau jika tersedia, salep nistatin)

pada lesi kulit yang pecah-pecah.

Hindari penggunaan popok-sekali-pakai agar daerah perineum tetap

kering. 5,6

51

Page 52: BAB II Marasmus kwashiorkor

4. Diare persisten

Tatalaksana

Giardiasis dan kerusakan mukosa usus

Jika mungkin, lakukan pemeriksaan mikroskopis atas specimen feses.

Jika ditemukan kista atau trofozoit dari Giardia lamblia, beri Metronidazol

7,5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari).

Intoleransi laktosa

Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja. Tatalaksana intoleransi

laktosa hanya diberikan jika diare terus menerus ini menghambat perbaikan

secara umum. Perlu diingat bahwa F-75 sudah merupakan formula rendah

laktosa. 5,6

Pada kasus tertentu :

Ganti formula dengan yoghurt atau susu formula bebas laktosa.

Pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu diberikan kembali

secara bertahap.

Diare osmotic

Diare osmotic perlu diduga jika diare makin memburuk pada pemberian F-75

yang hiperosmolar dan akan berhenti jika kandungan gula dan osmolaritasnya

dikurangi. 5,6

Pada kasus seperti ini gunakan F-75 berbahan dasar serealia dengan

osmolaritas yang lebih rendah.

Berikan F-100 untuk tumbuh kejar secara bertahap.

5. Tuberkulosis

Jika anak diduga kuat menderita tuberkulosis,lakukan: 5,6

Tes Mantoux (walaupun seingkali negative palsu)

Foto thoraks, bila mungkin

52

Page 53: BAB II Marasmus kwashiorkor

Untuk diagnosis dan tatalaksana sesuai dosis pengobatan TB pada anak

C. Pemulangan dan tindak lanjut

Bila telah tercapai BB/TB > -2SD (setara dengan >80%) dapat dianggap anak telah

sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak berperwakan

pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di

rumah.5,6

Berikan contoh kepada orang tua: 5,6

Menu dan cara membuat makanan kaya energia dan padat dizi serta frekuensi

pemberian makan yang sering.

Sarankan:

Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan

Mengikuti program pemberian vitamin A

Pemulangan sebelum sembuh total

Anak-anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh. Waktu

untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor risiko.

Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan lanjutan

melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta untuk mencegah

kekambuhan. 5,6

Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil :

Anak seharusnya : 5,6

Telah menyelesaikan pengobatan antibiotic

Mempunyai nafsu makan yang baik

Menunjukkan kenaikan berat badan yang baik

Edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang

Ibu atau pengasuh seharusnya : 5,6

Mempunyai waktu untuk mengasuh anak

Memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis, jumlah dan

frekuensi)

53

Page 54: BAB II Marasmus kwashiorkor

Mempunyai sumber daya untuk member makan anak. Jika tidak mungkin, nasihati

tentang dukungan yang tersedia.

Penting untuk mempersiapkan orang tua dalam hal perawatan di rumah. Hal ini

mencakup: 5,6

Pemberian makanan seimbang dengan bahan local yang terjangkau.

Pemberian maknan minimal 5 kali sehari termasuk makanan selingan (snacks) tinggi

kalori di antara waktu makan (misalnya susu,pisang,roti, biscuit).

Bantu dan bujuk anak untuk menghabiskan makanannya.

Beri anak makanan tersendiri/terpisah, sehingga asupan makan anak dapat dicek.

Beri suplemen mikronutrien dan elektrolit.

ASI diteruskan sebagai tambahan.

Tindak lanjut bagi anak yang pulang sebeblum sembuh

Jika anak dipulangkan lebih awal, buatlah rencana untuk tindak lanjut sampai anak

sembuh:

Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan local untuk

melakukan supervise dan pendampingan.

Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan kenaikan

berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi penurunan berat badan,

anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit. 5,6

2.9. KOMPLIKASI

Gizi buruk atau KEP berat seperti marasmus-kwashiorkor memiliki komplikasi-

komplikasi yaitu :

Perkembangan mental

Mwnurut Winick dan Rosso (1975) bahwa KEP yang diderita pada masa dini

perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA, dengan akibat

terdapatnya otak dengan jumlah sel yang kurang walaupun besarnya otak normal. Jika

KEP terjadi setelah masa divisi otak berhenti, hambatan sintesis protein akan

menghasilkan otak dengan jumlah sel yang normal namun dengan ukuran yang lebih

54

Page 55: BAB II Marasmus kwashiorkor

kecil. Dari hasil penelitian Karyadi (1975) terhadap 90 anak yang pernah menderita

KEP bahwa terdapat deifisit IQ pada anak-anak tersebut, deficit tersebut meningkat

pada penderita KEP lebih dini. Didapatkan juga hasil pemeriksaan EEG yang

abnormal mencapai 30 persen pada pemeriksaan setelah 5 tahun lalu meningkat

hinggal 65 persen pada pemeriksaan ulang 5 tahun setelahnya.2

Noma

Noma atau stomatitis gangrenosa merupakan pembusukan mukosa mulut yang

bersifat prograsif hingga dapat menembus pipi, bibir, dan dagu, biasanya disertai

nekrosis sebagian tulang rahang yang berdekatan dengan lokasi noma tersebut. Noma

merupakan salah satu penyakit yang menyertai KEP berat akibat imunitas tubuh yang

menurun, noma timbul umumnya pada tipe kwashiorkor. 2

Xeroftalmia

Merupakan penyakit penyerta KEP berat yang sering ditemui akibat defisiensi dari

vitamin A umumnya pada tipe kwashiorkor namun dapat juga terjadi pada marasmus.

Penyakit ini perlu diwaspadai pada penderita KEP berat karena ditakutkan akan

mengalami kebutaan.2

Kematian

Kematian merupakan efek jangka panjang dari KEP berat. Pada umumnya penderita

KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru lain,

disentri, dan sebagainya. Tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit gizi

lainnya. Maka dapat dimengerti mengapa angka mortalitas pada KEP berat tinggi.

Daya tahan tubuh pada penderita KEP berat akan semakin menurun jika disertai

dengan infeksi, sehingga perjalanan penyakit infeksi juga akan semakin berat.2

2.10. PENCEGAHAN

55

Page 56: BAB II Marasmus kwashiorkor

Tindakan pencegahan penyakit KEP bertujuan untuk mengurangi insidensi KEP dan

menurunkan angka kematian sebagai akibatnya. Akan tetapi tujuan yang lebih luas dalam

pencegahan KEP ialah memperbaiki pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak-

anak Indonesia sehingga dapat menghasilkan manusia Indonesia yang dapat bekerja baik

dan memiliki kecerdasan yang cukup. Ada berbagai macam cara intervensi gizi, masing-

masing untuk mengatasi satu atau lebih dari satu faktor dasar penyebab KEP (Austin,

1981), yaitu :2

Meningkatkan hasil produksi pertanian, agar persediaan bahan makanan menjadi

lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan penghasilan rakyat.

Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan tinggi energi

untuk anak-anak yang disapih.

Memperbaiki infrastruktur pemasarna.

Subsidi harga bahan makanan.

Pemberian makanan suplementer.

Pendidikan gizi yang bertujuan untuk mengajarkan rakyat untuk mengubah kebiasaan

mereka dalam menanam bahan makanan dan cara menghidangkan makanan agar

menghasilkan makanan yang bermutu.

Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan:

o Pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu, misalnya ke Pusksesmas,

Posyandu.

o Melakukan imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi yang memiliki

prevalensi yang tinggi.

o Memperbaikin higienitas lingkungan.

o Mendidik rakyat untuk mengunjungi Puskesmas secepatnya jika kesehatan

terganggu.

o Menganjurkan keluarga berencana.

56

Page 57: BAB II Marasmus kwashiorkor

2.11. PROGNOSIS

Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian dari

penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi prognosisnya dapat

dikatakan baik apabila malnutrisi ditangani secara tepat dan cepat. Kematian dapat

dihindarkan apabila dehidrasi berat dan penyakit infeksi kronis lain seperti tuberkulosis

atau hepatitis yang menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari. Pada anak

yang mendapatkan malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal ini berbanding terbalik

dengan psikomotor anak yang mendapat penanganan malnutrisi lebih cepat menurut

umurnya, anak yang lebih muda saat mendapat perbaikan keadaan gizinya akan

cenderung mendapatkan kesembuhan psikomotornya lebih sempurna dibandingkan

dengan anak yang lebih tua, sekalipun telah mendapatkan penanganan yang sama. Hanya

saja pertumbuhan dan perkembangan anak yang pernah mengalami kondisi marasmus in

cenderung lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal pertumbuhan tinggi badan anak

dan pertambahanan berat anak, walaupun jika dilihat secara ratio berat dan tinggi anak

berada dalam batas yang normal.1,2

57

Page 58: BAB II Marasmus kwashiorkor

BAB III

PENUTUP

3.1. RANGKUMAN

Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di dunia,

terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Salah satu

klasifikasi dari gizi buruk adalah tipe marasmik-kwashiorkor, yang diakibatkan defisiensi

protein berat dan pemasukan kalori yang sedikit atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

gizi.

Manifestasi klinis marasmik-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain hambatan

pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit, atrofi otot, perubahan tekstur dan warna

rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur yang tegas dalam, pembesaran hati, anemia,

anoreksia, edema, dan lain-lain.

Diagnosis marasmik-kwashiorkor ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (gejala

klinis dan abnormalitas pada pemeriksaan antropometrik) dan laboratorium yang

memperlihatkan penurunan kadar albumin, kolesterol, glukosa, gangguan keseimbangan

elektrolit, hemoglobin, serta defisiensi mikronutrien yang penting bagi tubuh.

Penatalaksanaan gizi buruk secara umum memiliki 10 prinsip yang harus dilakukan yaitu

mengatasi/mencegah hipoglikemia, mengatasi/mencegah hiponatremia, mengatasi/mencegah

dehidrasi, koreksi gangguan keseimbangan elektrolit, obati/cegah infeksi, mulai pemberian

makanan, fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”), koreksi defisiensi nutrient mikro,

stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental, persiapkan dan rencanakan tindak lanjut

setelah sembuh.

58

Page 59: BAB II Marasmus kwashiorkor

3.2. SARAN

Marasmus-kwashiorkor merupakan salah satu manifestasi klinis dari kurang energi

protein berat yang sering terjadi dan anak-anaklah yang banyak mengalami kondisi gizi

buruk ini. Jika kondisi ini dibiarkan, maka akan banyak anak Indoneisa yang tumbuh

kembangnya terhambat dan mempengaruhi sumber daya manusianya di kemudian hari,

sehingga diperlukan usaha yang lebih untuk menanggulangi permasalahan tersebut, seperti:

1. Anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sebaiknya mendapatkan asupan

gizi yang adekuat sesuai “empat sehat lima sempurna”, yaitu kecukupan karbohidrat,

lemak, protein, serat, vitamin dan mineral dalam makanan sehari-harinya.

2. Orang tua lebih memperhatikan asupan anak-anaknya apakah makanan yang

diberikan sudah mencukupi nutrisi yang dibutuhkan dalam masa tumbuh kembang

serta secara rutin memeriksakan anaknya ke pusat kesehatan terdekat seperti

posyandu atau puskesmas untuk memantau tumbuh kembang anak-anaknya.

3. Pemerintah bersama dengan masyarakat melalui posyandu dan puskesmas turut

berperan aktif sebagai basis terdepan dalam usaha meningkatkan taraf hidup

masyarakat terutama anak-anak dalam menuju Indonesia sehat di masa depan.

4. Pemerintah menggalakan kembali program Keluarga Berencana melalui puskesmas-

puskesmas maupun pusat kseshatan lain yang tersebar di kota maupun di daerah

tertinggal untuk menekan tingkat pertumbuhan penduduk sehingga dengan rendahnya

pertumbuhan penduduk maka akan meningkatkan tingkat kesejahteraan individu dan

keluarga teruama anak-anak, Sehingga kasus gizi buruk pada anak-anak dapat ditekan

serendah mungkin.

59

Page 60: BAB II Marasmus kwashiorkor

DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.18th

Edition. United States of America : Sunders Elsevier Inc.2007. Hal : 229-232.

2. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi Klinis pada Anak.

Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. Jakarta. 2005 : 95-137.

3. Emedicine. Protein Energy Malnutrition. Diunduh pada tanggal 25 November 2012 dari :

http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview#a0101

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat

Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk.

Departemen Kesehatan RI, 2008.

5. Departement of Child and Adolescent Health and Development. Management of the Child

with Serious Infection or Severe Malnutrition : Guidelines for Care at the First-Refferal

Level in Developing Countries.United States of America : World Health Organization. 2000.

Hal : 80-91.

6. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku : Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Pedoman

Bagi Rumah Sakit Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta : Departemen Kesehatan dan

WHO. 2009. Hal : 193-221.

7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat

Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen

Kesehatan RI, 2011.

8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat

Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk.

Departemen Kesehatan RI, 2011.

9. Indonesian Nutrition Network. Pedoman Tata Laksana KEP pada Anak di Rumah Sakit

Kabupaten/Kota. Diunduh tanggal 30 November 2012 dari :

http://gizi.depkes.go.id/pedoman-gizi/pd-kep-kab-kota.shtml

60