manajemen stroke
DESCRIPTION
pdfTRANSCRIPT
-
MAKALAH
MANAJEMEN STROKE
Oleh:
I Made Cahyadi Dwi Putra 1002005146
Wayan Diah Anima W. P. 1002005078
Pratama Yulius Prabowo 1102005018
Haritharan Ganesan 1102005210
Pembimbing :
Dr. dr. Anna Marita Gelgel Sinardja, Sp.S (K)
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
DENPASAR
2015
-
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Manajemen
Stroke tepat pada waktunya. Penulisan tugas ini merupakan salah satu prasyarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian / SMF Ilmu Penyakit Saraf
UNUD / RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal hingga
akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1) Dr. dr. Anna Marita Gelgel Sinardja, Sp.S (K) selaku pembimbing
selama menjalani KKM di SMF Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUP Sanglah Denpasar
2) Dokter residen neurologi dan teman sejawat koas serta seluruh pihak
yang telah membantu pembuatan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan
kritik membangun, sangat penulis harapkan demi perbaikan tugas serupa di waktu
berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat memberi manfaat bagi pihak yang
berkepentingan.
Denpasar, Mei 2015
Penulis
-
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.. .................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Manajemen Stroke Pre-Hospital ....................................................... 3
2.2 Manajemen Stroke in Hospital......................................................... 3
2.3 Manajemen Stroke Post-Hospital .................................................... 19
BAB III. KESIMPULAN................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA
-
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke merupakan salah satu penyakit yang semakin banyak dijumpai di
masyarakat. WHO mendefinisikan stroke sebagai manifestasi klinis gangguan fungsi
otak, baik fokal maupun global, yang berlangsung cepat, lebih dari 24 jam atau
sampai menyebabkan kematian, tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler1.
Data epidemiologi menunjukkan bahwa stroke masih menjadi penyebab kematian
nomer 1 di Indonesia. Secara keseluruhan insiden stroke di Indonesia mencapai 51,6
per 100.000 penduduk. Angka kematian berdasarkan usia adalah 15,9% pada usia 45-
55 tahun, 26,8% pada usia 55-64 tahun dan 23,5% pada usia > 65 tahun. Penderita
laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan profil usia di bawah 45 tahun
sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun sebesar 54,2% dan usia di atas 65 tahun sebesar
33,5%. Stroke juga dapat menyerang usia produktif dan usia lanjut yang berpotensi
menimbulkan masalah baru dalam pembangunan nasional di masa mendatang.2
Berdasarkan jenisnya stroke dibagi menjadi 2 jenis yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Penelitian cross sectional yang dilakukan di Bagian Neurologi FK
USU/RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Juli hingga September 2010
menunjukkan bahwa sebesar 41,3% pasien menderita stroke iskemik dan 58,7%
menderita stroke hemoragik. Umur rata-rata penderita stroke iskemik adalah 56,95
tahun dengan proporsi laki-laki sebanyak 68,4% dan perempuan 31,6%.3
Berbagai faktor memiliki peranan penting dalam meningkatkan resiko terjadinya
stroke. Faktor resiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin,
etnis/ras dan riwayat stroke pada keluarga. Faktor resiko stroke yang dapat
dimodifikasi adalah tekanan darah tinggi, diabetes milletus, hiperlipidemia, obesitas
dan inaktivitas fisik, riwayat stroke sebelumnya, merokok, konsumsi alkohol, asupan
diet tinggi garam dan lain sebagainya.4
Tujuan umum penatalaksanaan stroke adalah menurunkan morbiditas dan tingkat
kematian serta mengurangi resiko kecacatan pada penderita. Penatalaksanaan stroke
dimulai dari penanganan pre-hospital yang cepat dan tepat, penanganan selama di
rumah sakit dan penanganan post-hospital.
-
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis tertarik untuk
membahas lebih lanjut mengenai manajemen stroke mulai dari pre-hospital,
in-hospital, hingga post-hospital.
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Manajemen Stroke Pre-Hospital
Manajemen stroke pre hospital merupakan suatu penanganan yang dimulai
dari keluarga pasien. Pada manajemen stroke pre hospital ini, penting untuk
keluarga mengenal gejala gejala stroke. Gejala stroke ini dapat diditeksi
dengan menggunakan FAST (Facial movement, Arm movement, Speech,
Test all three). Dengan menggunakan metode FAST ini, keluarga pasien dapat
mendeteksi serangan stroke secara dini, dan dapat segera membawa pasien ke
pusat pelayanan stroke primer dalam 4 jam pertama, yang sering disebut
sebagai Golden time of stroke.5 Hal ini penting untuk dilakukan, karena
dapat mengurangi kerusakan otak dan komplikasi pada pasien. Selain deteksi
dini, keluarga pasien juga harus melakukan pre-notification system, yakni
melakukan pemberitahuan kepada rumah sakit sebelum pengiriman pasien,
ataupun menghubungi ambulans di pusat pelayanan stroke primer terdekat.
Setelah ambulans datang, dapat dilakukan penanganan awal oleh tenaga medis
yang sudah terlatih, yakni deteksi dini dan penatalaksanaan awal, seperti
evaluasi kesadaran, evaluasi abc, dan stabilisasi pasien. Kemudian dilakukan
transportasi pasien ke pusat pelayanan stroke primer secepatnya, serta
dilakukan observasi vital sign selama perjalanan.6
2.2.Manajemen Stroke In-Hospital
2.2.1 Penatalaksanaan di UGD
i. Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka
harus dilakukan evaluasi dan diagnosis klinik yang cepat, sistemik dan
cermat, meliputi: 2,7,8
a) Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas
saat serangan, gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa
berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran,
serta faktor2 resiko stroke (hipertensi, hiperkolesterol, diabetes, dll).
-
b) Pemeriksaan Fisik, meliputi penilaian ABC, nadi, oksimetri, dan
suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misal cedera kepala
akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda2 distensi vena
jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan dada (jantung
dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
c) Pemeriksaan Neurologik dan Skala stroke, Pemeriksaan neurologik
terutama pemeriksaan saraf kraniales, rangsang meningeal, sistem
motorik, sikap dan cara jalan, refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi
kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS
(National Institutes of Health Stroke Scale).
d) Studi diagnostik, meliputi :
ii. Terapi Umum (suportif) 2,7,8
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Pemantauan terus-menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan
darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam pada
pasien dengan defisit neurologis yang nyata.
Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen <
95%.
Perbaikan jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada
pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang
-
mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan
gangguan jalan napas.
Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia
Pasien stroke iskemik akut yang tdak mengalami hipoksia tidak
memerlukan terapi oksigen.
Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask
Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO250 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk
terjadi aspirasi.
Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika
pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan
trakeostomi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian
cairan hipotonik seperti glukosa).
Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan
tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk
memasukkan cairan dan nutrisi.
Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
Optimalisasi tekanan darah.
Bila tekanan darah sistolik
-
Tekanan darah
Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan neurologi umum awal:
1) Derajat kesadaran
2) Pemeriksaan pupil dan okulomotor
3) Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral
harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda
neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS 70 mmHg.
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial
meliputi :
1) Tinggikan posisi kepala 200-300
2) Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
3) Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4) Hindari hipertermia
5) Jaga normovolemia
6) Osmoterapi atas indikasi:
a) Manitol 0,250,50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap
4 - 6 jam dengan target 310 mOsm/L. Osmolalitas sebaiknya
diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.
b) Berikan furosemide dengan dosis awal 1 mg/kgBB i.v. jika
diperlukan.
7) Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan
operatif.
8) Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang
adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi
naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk,
suction, bucking ventilator. Agen nondepolarized seperti
-
vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada
histamin dan blok pada ganglion lebih baik digunakan.1Pasien
dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot
sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternatif.
9) Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema
otak dan tekanan tinggi intrakranial pada stroke iskemik, tetapi
dapat diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi.
10) Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat
stroke iskemik serebelar
11) Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal
yang menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat
menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik.
e. Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan
asimptomatik. Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan
terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi
serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
f. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan
diikuti oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan
kecepatan maksimum 50 mg/menit.
Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik
tanpa kejang tidak dianjurkan
Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis
dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan
bila tidak ada kejang selama pengobatan
g. Pengendalian Suhu Tubuh
Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya
Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC
(AHA/ASA Guideline)1 atau 37,5 oC (ESO Guideline).
-
Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur
dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika
memakai kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus
dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik.
h. Pemeriksaan Penunjang
EKG
Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis,
kadar gula darah, analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)
Pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi lumbal
untuk pemeriksaan cairan serebrospinal, bila diperlukan
Pemeriksaan radiologi
1) Foto rontgen dada
2) CT Scan
2.2.2 Penatalaksanaan di Ruangan
i. Terapi Umum9
1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga
euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun
enteral).
c. Balance cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi
urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak
dan ditambah lagi 300 ml/C pada penderita panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu
diperiksa dan ditangani bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai
normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas
darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari
kecuali pada keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
-
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,
nutrisi oral hanya boleh diberikan bila fungsi menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan,
nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan
komposisi:
Karbohidrat 30-40 % dari total kalori;
Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %);
Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0
g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal 6
minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak
memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang
diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung
vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.2
3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi7,10
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut
(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru,
dekubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan.
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur
dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola
kuman
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai
kasur antidekubitus.
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.
e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam,
heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid
perlu diberikan. Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan
intraserebral perlu diperhatikan.4 Pada pasien imobilisasi yang tidak bias
menerima antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau aspirin
direkomendasikan untuk mencegah thrombosis vena dalam.
-
4. Penatalaksanaan Medis Lain9,
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia
(kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan
titrasi insulin. Target yang harus dicapai adalah normoglikemia.
Hipoglikemia berat (
-
6. Pemberian antikoagulan
a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke
ulang awal, menghentikan perburukan deficit neurologi, atau
memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut tidak
direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke
iskemik akut.
b. Antikoagulasi urgent tidak drekomendasikan pada penderita dengan
stroke akut sedang sampai berat karena meningkatnya risiko
komplikasi perdarahan intrakranial.
c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dlam jangka waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan.
d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah
stroke iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih
merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik
akut dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau
stenosis berat arteri karotis sebelum pembedahan. Kontraindikasi
pemberian heparin juga termasuk infark besar >50%, hipertensi yang
tidak dapat terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang luas.
7. Pemberian antiplatelet9,12
a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dlam 24 sampai 48 jam
setelah awitan stroke dianjurkan untuk seiap stroke iskemik akut
b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi
akut pada stroke, seperti pemberian rtPA intravena
c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan.
d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah
pemberian obat trombolitik tidak dierkomendasikan.
e. Pemberian klopidrogel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada
stroke iskemik akut, tidak dianjurkan,kecuali pada pasien dengan
indikasi spesifik, misalnya angina pectoris tidak stabil, non-Q-wave
MI, atau recent stenting, pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan
setelah kejadian.
f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa tidak dianjurkan.
-
8. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak
dianjurkan dalam terpi stroke iskemik akut.
9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi
stroke iskemik akut.
10. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk
memperbaiki aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan
tersebut, pemantauan kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan
secara ketat.
11. Tindakan endarterektomi karotid pada stroke iskemik akut akut dapat
mengakibatkan risiko serius dan keluaran yang tidak menyenangkan.
Tindakan endovaskular belum menunjukkan hasil yang bermanfaat,
sehingga tidak dianjurkan
12. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang
efekif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun, Citicolin
sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut.
Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg
intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu
dilakukan dalam penelitian ICTUS (International Citicholin Trial in Acute
Stroke).
13. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)9,13
a. Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor risiko yang mendasari baru
diketahui sebesar 80%. Beberapa faktor risiko sering dijumpai
bersamaan. Penelitian The International Study On Cerebral Vein And
Dural Sinus Thrombosis (ISCVT) mendapatkan 10 faktor risiko
terbanyak, antara lain kontrasepsi oral (54,3%), trombofilia (34,1%),
masa nifas (13,8%), infeksi dapat berupa infeksi SSP, infeksi organ-
organ wajah, dan infeksi lainnya (12,3%), gangguan hematologi seperti
anemia, trombositemia, polisitemia (12%), obat-obatan (7,5%),
keganasan (7,4%), kehamilan (6,3%), presipitasi mekanik termasuk
cedera kepala (4,5%), dan vaskulitis (3%). Penatalaksanaan CVST
diberikan secara komprehensif, yaitu dengan terapi antitrombotik,
terapi simptomatik, dan terapi penyakit dasar. Pemberian terapi UFH
atau LMWH direkomendasikan untuk diberikan, walaupun terdapat
-
infark hemoragik.Terapi dilanjutkan dengan antikoagulan oral
diberikan selama 3-6 bulan, diikuti dengan terapi antiplatelet.
ii. Stroke Hemoragik
1. Perdarahan subarachnoid
a. Penanganan dengan Vasospasme
Tekanan darah sistolik tetap dijaga sekitar 140-160 mmHg sangat
disarankan dalam rangka pencegahan perdarahan ulang pada PSA,
sehingga bila tekanan sistolik
-
dikontraindikasikan pada pasien dengan koagulopati, riwayat infark
miokard akut, stroke iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam.
Terapi antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien dengan risiko rendah
terhadapa terjadinya vasospasme atau pada pasien dengan penundaan
operasi. pada beberapa studi, terapi antifibrinolitik dikaitkan dengan
tingginya angka kejadian iskemik serebral sehingga mungkin tidak
menguntungkan pada hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu,
studi dengan menggunakan kombinasi antifibrinolitik dengan obat-
obatan lain untuk mengurangi vasospasme perlu dilakukan.15,16
c. Tindakan operasi pada aneurisma yang ruptur
I. Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan
untuk mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada
PSA.
II. Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko
perdarahan ulang setelah PSA, banyak penelitian yang meperlihatkan
bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi
yang ditunda. Operasi segera (early dan ultra early) dianjurkan pada
pasien dengan derajat yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang
tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau yang
ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.
Rujukan dini ke pusat spesialis sangat dianjurkan. Penanganan dan
pengobatan pasien aneurisma lebih awal diajurkan untuk sebagian
besar kasus.
III. Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa coilling
and clipping ditentukan tim bedah saraf dan dokter endovaskuler.
Tindakan endovaskuler coiling lebih bermanfaat.
IV. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang tinggi
untuk perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma secara komplit
dianjurkan kapan saja bila memungkinkan.
2. Perdarahan intraserebral2,8
Pedoman Penatalaksanaan :
I. Konservatif
-
Hilangkan faktor-faktor yang beresiko meningkatkan tekanan darah,
seperti retensi urine, nyeri, febris, peningkatan tekanan intrakranial,
emosional stress dan sebagainya. Bila tekanan darah sistolik > 220
mmHg atau tekanan diastolik > 140 mmHg atau tekanan darah arterial
rata-rata > 145 mmHg, berikan nikardipin, diltiazem atau nimodipin.
Mencegah atau mengatasi vasospasme otak akibat perdarahan, bila
tekanan sistolik 180 220 mmHg atau tekanan diastolik 105-140
mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg, berikan:
1. Labetolol 10-20 mg iv selama 1-2 menit. Ulangi atau gandakan
setiao 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis
awal bolus diikuti oleh labetolol drip 2-8 mg/menit atau;
2. Nicardipin, diltiazem
3. Nimodipin
Pada fase akut, tekanan darah tidak boleh diturunkan > 20-25% dari
tekanan darah arteri rata-rata dalam 1 jam pertama.
Bila tekanan sistolik < 180 mmHg dan tekanan diastolik < 105
mmHg, tangguhkan pemberian obat anti hipertensi.
Bila terdapat fasilitas pemantauan tekanan intrakranial, tekanan
perfusi otak harus dipertahankan > 70 mmHg.
Pada penderita dengan riwayat hipertensi, penurunan tekanan darah
harus dipertahankan dibawah tekanan arterial rata-rata 130 mmHg.
Tekanan darah arterial rata-rata lebih dari 110 mmHg harus dicegah
segera pada waktu pasca operasi dekompresi.
Bila tekanan darah arterial sistolik turun < 90 mmHg harus diberikan
obat menaikkan tekanan darah (vasopresor).
Perlu diperhatikan peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh
stress akibat stroke, kandung kencing penuh, nyeri, respon fisiologis
dari hipoksia atau peningkatan tekanan intrakranial. Dengan
memperhatikan dan melakukan penanganan pada keadaan tersebut di
atas akan banyak berpengaruh pada tekanan darah sistemik pada fase
menunggu 5-20 menit pengukuran berikutnya.
Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait
obat antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi
mendapat terapi untuk menggganti vitamin K-dependent factor dan
-
mengkoreksi INR, serta mendapat vitamin K intravena. Konsentrat
kompleks protrombin tidak menunjukkan perbaikan keluaran
dibandingkan dengan Fresh Frozen Plasma (FFP). Namun,
pemberian konsentrat kompleks protrombin dapat mengurangi
komplikasi dibandingkan dengan FFP dan dapat dipertimbangkan
sebagai alternative FFP. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka
dapat dikoreksi sebagai berikut:
Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan
peningkatan INR dan diberikan dalam waktu yang sma dengan
terapi yang lain karena efek akan timbul 6 jam kemudian.
Kecepatan pemberian
-
Setelah dokumentai penghentian perdarahan LMWH atau UFH
subkutan dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan
tromboembolin vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang
setelah satu hingga empat hari pascaawitan.
Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat 10-50 mg
IV dalam waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian protamin
sulfat perlu pengawasan ketat untuk melihat tanda-tanda hipersensitif.
II. Operatif
Dilakukan pada kasus yang indikatif/memungkinkan:
Pasien stroke hemoragik GCS 30 mL
atau diameter > 3 cm pada fossa posterior, perdarahan intraventrikuler
dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis herniasi transtentorial, harus
dirawat di ICU.
Perdarahan lobar >60 mL dan kortikal dengan tanda peningkatan
tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.
Drainase ventrikuler sebagai tata laksana hidrosefalus dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran.
Perdarahan serebellum
GCS > 7
2.3.Manajemen Stroke Post Hospital
2.3.1 Prevensi Sekunder
Prevensi sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya stroke
berulang. Hal ini mencakup pengendalian faktor resiko dan modifikasi gaya
hidup. Salah satu faktor resiko stroke adalah hipertensi. Penurunan tekanan
darah direkomendasikan untuk pencegahan terjadinya stroke berulang maupun
komplikasi. Target penurunan tekanan darah yang absolut tidak dapat
dipastikan dan tergantung pada setiap keadaan pasien, namun penurunan
tekanan darah yang disarankan adalah rata-rata sekitar 10/5 mmHg dengan
tekanan darah normal didefinisikan
-
product, olahraga teratur dan pembatasan konsumsi alkohol. Bagi individu
dengan diabetes milletus disarankan untuk melakukan cek gula darah secara
teratur dan meningkatkan kepatuhan dalam menjalani terapi farmakologi.
Pasien stroke dengan hiperlipidemia, pengobatan statin terbukti memberikan
efek penurunan lipid yang efektif untuk mengurangi risiko stroke dan penyakit
kardiovaskuler untuk pasien yang menderita stroke iskemik dan TIA yang
juga disertai aterosklerosis, kadar LDL 100 mg/dl dan tanpa penyakit
jantung koroner. Untuk pasien stroke iskemik aterosklerosis atau TIA tanpa
penyakit jantung koroner, target penurunan LDL C sekurang-kurangnya 50%
atau
-
2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca stroke
3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
Pada stroke fase akut, kondisi hemodinamik pasien belum stabil dan umumnya
dalam perawatan di rumah sakit, baik di ruang rawat biasa maupun di unit
stroke. Rehabilitasi lebih ditujukan pada spesialistik di rumah sakit.
Pada stroke fase subakut, kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil
dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan
penanganan rehabilitasi yang intensif. Pada fase subakut pasien diharapkan
mulai kembali untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan
berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak akan melakukan
reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung
sirkuit jaras otak yang paling sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui
rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar mencapai
kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai oleh pasien, melalui sirkuit
yang memungkinkan gerak yang lebih terarah dengan menggunakan
energi/tenaga seefisien mungkin. Intervensi rehabilitasi pada stroke fase
subakut ditujukan untuk:
1. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
2. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan
fungsional yang paling optimal
3. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental
Dalam mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring, pemulihan
fungsional harus diperhatikan karena mempunyai periode emas yang
terbatas waktunya. Stimulasi yang diberikan pada 3 bulan pertama akan lebih
memberikan hasil dibandingkan fase kronis, dan tentu tidak boleh disia-
siakan. Pasien harus diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas
sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan diprogramkan dengan
durasi dan frekuensi latihan secara bertahap ditingkatkan.
Salah satu akibat tirah baring lama adalah terjadinya pemendekan otot dan
kontraktur sendi. Bila otot diam pada satu posisi tertentu dalam waktu lama
kelenturannya akan hilang. Demikian pula sendi yang akan menjadi kering
dan kaku. Kedua kondisi ini membuat pasien yang karena kelumpuhannya
sudah sulit bergerak menjadi tambah tidak mungkin bergerak. Latihan
-
mencapai lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai latihan
regangan otot sedikitnya 2 kali per hari diperlukan. Setelah stroke akan
terbentuk spastisitas dan pola gerak khas yaitu pola sinergis fleksor atau
ekstensor. Pada umumnya, akan terbentuk pola sinergis fleksor pada
ekstremitas atas sedangkan pada ekstremitas bawah pola sinergis ekstensor.
Spastisitas dan pola gerak sinergis tidak dapat dihilangkan akan tetapi perlu
dikontrol. Hal ini dapat dicegah melalui latihan posisi antisipasi, yaitu posisi
sebaliknya dari pola gerak yang akan timbul. Pada ekstremitas atas misalnya,
cenderung timbul spastisitas fleksor, maka lengan diupayakan selalu dalam
posisi ekstensi apabila tidak sedang latihan.
Sebagian besar nyeri pasca stroke merupakan nyeri muskuloskeletal, terutama
pada bahu sisi yang terkena. Penyebab utamanya seringkali adalah
penanganan bahu yang salah atau kurang tepat, seperti dalam penempatan
bahu saat tidur miring ke sisi sakit sehingga bahu tertindih tubuh, atau saat
duduk bahu tidak tersanggah dengan baik. Program rehabilitasi yang dapat
dilakukan adalah melalui edukasi untuk mencapai pemahaman mengenai
pemberian posisi yang tepat, cara membantu pasien dalam transfer atau
aktivitas sehari-hari serta cara berlatihan oleh karena itu sangat penting
diberikan pada pasien dan keluarganya.
Tujuan rehabilitasi fase subakut selanjutnya adalah mengembalikan
kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Salah satu hal yang sering
dialami pasien adalah afasia. Pada pasien stroke dengan afasia, rehabilitasi
perlu dilakukan dengan cara mengajak pasien berbicara dengan suara biasa
dan tidak perlu berteriak keras. Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan
kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam setiap kalimat.
Stimulasi auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan dengan
stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar) akan sangat membantu.
Pasien afasia jangan diajarkan mengeja huruf, karena akan membuat pasien
frustasi. Mengeja merupakan fungsi hemisfer kiri yang justru terganggu.
Stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah
pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.
Selain afasia, beberapa pasien stroke juga mengalami disartria. Parameter
bicara yang terkena pada disatria antara lain respirasi, fonasi/suara, artikulasi,
resonansi dan prosodi. Berdasarkan letak lesi disatria dibedakan atas disatria
-
flaksid, spastik, ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik. Terapi latihan diberikan
sesuai dengan penyebab disatria, antara lain untuk memperbaiki kontrol
pernapasan, meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara dan
artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot pernapasan.
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah konstipasi
akibat immobilisasi. Diare yang timbul kemudian selain gastroenteritis juga
bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului oleh obstipasi
lama sebelumnya. Pasien dapat disarankan untuk banyak bergerak aktif,
berikan cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan bila
tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan berserat tinggi. Bila perlu obat
laksatif dapat diberikan.
Pada pasien dengan gangguan berjalan, terapi latihan menuju ambulasi jalan
perlu diberikan bertahap, dimulai dari kemampuan mempertahankan posisi
duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik dan dinamik kemudian
latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu diperhatikan bahwa
panggul harus pada posisi ekstensi 00, lutut mengunci pada posisi ekstensi 00
sedangkan pergelangan kaki dalam posisi netral 900 . Pastikan berat badan
tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar yaitu palang dari besi,
kayu atau bambu yang dipasang sejajar merupakan tempat latihan jalan yang
paling baik. Letakan kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat
melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan melakukan koreksi secara
aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam paralel bar, maka latihan jalan
dapat dilanjutkan dengan memakai tripod, yaitu tongkat yang ujung bawahnya
bercabang tiga.
Untuk menjaga kebugaran fisik dan mental, terapi yang terbaik adalah
biasakan pasien sejak awal aktif semampunya. Pasien jangan dibiarkan
istirahat berkepanjangan. Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan duduk di
tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar kamar tidur. Waktu aktif dan
istirahat dijadwalkan secara proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien
dimotivasi untuk selalu makan di kamar makan bersama keluarga dan
dibiarkan untuk mengambil makananan pilihannya sendiri. Pasien selalu
dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan bagi pasien dengan afasia. Pasien
diajak berlatih yang bertargetkan hasil misalnya melempar bola masuk ke
keranjang, bowling kecil, main catur atau halma.
-
Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda dengan fase
sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah
terbentuk, membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat.
Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk
memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan
semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurans dan
penguatan otot secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat
mencapai aktivitas aktif yang optimal.
Hasil rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti (a) Mandiri penuh
dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum sakit, (b) Mandiri penuh dan
bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan sesuai kondisi, (c) Mandiri
penuh namun tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal
dari orang lain atau (e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar atau sepenuhnya
dibantu orang lain.
-
BAB III
KESIMPULAN
Stroke merupakan salah satu penyakit yang semakin banyak dijumpai di masyarakat.
WHO mendefinisikan stroke sebagai manifestasi klinis gangguan fungsi otak, baik
fokal maupun global, yang berlangsung cepat, lebih dari 24 jam atau sampai
menyebabkan kematian, tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler. Di Indonesia,
stroke masih merupakan penyebab kematian nomor 1. Secara garis besar stroke dapat
dibedakan menjadi 2, yakni stroke hemoragik dan stroke non hemoragik.
Berbagai faktor memiliki peranan penting dalam meningkatkan resiko terjadinya
stroke. Faktor resiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin,
etnis/ras dan riwayat stroke pada keluarga. Faktor resiko stroke yang dapat
dimodifikasi adalah tekanan darah tinggi, diabetes milletus, hiperlipidemia, obesitas
dan inaktivitas fisik, riwayat stroke sebelumnya, merokok, konsumsi alkohol, asupan
diet tinggi garam dan lain sebagainya.
Tujuan umum penatalaksanaan stroke adalah menurunkan morbiditas dan tingkat
kematian serta mengurangi resiko kecacatan pada penderita. Penatalaksanaan stroke
dimulai dari penanganan pre-hospital yang cepat dan tepat, penanganan selama di
rumah sakit dan penanganan post-hospital.
Penanganan pre-hospital biasanya dimulai dari keluarga. Pada tahap ini peran
keluarga sangat penting dalam hal deteksi dini, sehingga pasien mampu dikirim ke
pusat pelayanan stroke primer dalam kurun waktu kurang dari 4 jam. Perananan
penanganan pre-hospital ini cukup penting, karena dapat mengurangi kerusakan otak
dan komplikasi pada pasien.
Penanganan selama di rumah sakit dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yakni
penanganan ketika di UGD, penanganan di ruangan, dan penanganan secara khusus.
Penanganan secara umum di UGD mencakup evaluasi cepat dan diagnosis, serta
terapi suportif, mencakup ABC, terapi kejang, pengendalian suhu tubuh, pemeriksaan
penunjang, dan sebagainya. Pada penanganan di ruangan, dilakukan monitoring untuk
menjaga keseimbangan cairan, dan nutrisi. Selain itu juga dilakukan pencegahan
terjadinya komplikasi, serta penanganan gejala gejala yang dialami oleh pasien.
Untuk terpi khusus pada stroke dapat dibedakana menjadi 2 kelompok besar. Terapi
khusus untuk stroke non hemoragik mencakup penanganan hipertensi, pemberian
-
trombolitik, anti platelet, dan juga anti koagulan. Untuk stroke hemoragik, terapi
khususnya dapat dibedakan menjadi 2, yakni terapi konvensional dan terapi
pembedahan.
Penanganan post-hospital dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yakni
prevensi sekunder yang bertujuan untuk mencegah terjadinya stroke berulang, dan
rehabilitasi yang bertujuan untuk mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring,
menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan fungsional
yang paling optimal, mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-
hari, mengembalikan kebugaran fisik dan mental. Prevensi sekunder ini dapat berupa
perubahan pola hidup pasien, ataupun intervensi factor risiko dengan menggunakan
obat obatan.
-
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. 2006. Stroke and Its Management.
2. Kelompok Studi Serebrovaskular Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
2011. Guidelines Stroke 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI).
3. Sembiring, Krisnarta. 2010. Hubungan Kelainan Jantung dengan Stroke Iskemik
Pada Pasien Rawat Inap Di Bagian Neurologi FK USU/RSUP Haji Adam Malik
Medan.
4. Malaysia Society of Neurosciences. Academy of Medicine Malaysia. 2011.
Management of Ischemic Stroke 2nd Edition. Malaysia : Clinical Practice
Guidelines.
5. Simons, N. E., Menzies, B. & Matthews, M. (2011) A Short Course on early stroke
management. [Online] London,Thomas Telford Publishing
:www.strokeassociation.org [diakses 10th APRIL 2015].
6. National Clinical Guideline for Diagnosis and Initial For Management of Acute
Stroke and Transient Ischemic Attack. 2008. Royal College of Physician. London.
7. Jauch E et al. AHA/ASA Guidelines for the early management of patients with
acute ischemic stroke. Stroke. 2013; 44:870-947.
8. Ringleb PA et al. Guideline for management of ischemic stroke and transient
ischemic attack 2008. The European Stroke Organization (ESO) Executive
Committee and the ESO Writing Committee.
9. Adams HP et al. Emergent use of anticoagulation for treatment of patient with
ischemic stroke. Stroke. 2002;33:856-861.
10. International Citicoline on Acute Stroke: ICTUS, October 2006.
11. Khan S, Adeoye O, Abruzzo TA, Shutter LA, Ringer AJ. Intracranial dural sinus
thrombosis: novel use of a mechanical thrombectomy catheter and review of
management strategis. Clinical Medicine & Research. 2009; 7(4): 157-165.
12. De Freitas GR, Christoph DDH, Bogousslavsky J. Topographic classification of
ischemic stroke, in Fisher M. (ed). Handbook of Clinical Neurology, Vol. 93 (3rd
series). Elsevier BV, 2009.
13. Weaver JP, Fisher M, Subaarachnoid Hemorrhage: An Update of Patogenesis,
Diagnosa and Management. J Neurol Sci. 1994:125 (2): 11931 (midline)
-
14. Adam HP, Del Zoppo GJ, Von Kummer R. Management of Stroke, A Practical
Guide for The Prevention, Evaluation, and Treatment of Acute Stroke. New
York: Professional Communications, 2002: 25-117
15. Caplan LR. Caplan's Stroke: A Clinical Approach. 4th Ed. Philadelphia:
Saunders, 2009: 641451 446-486
16. Goldstein IN. A Primer on Stroke Prevention and Treatment. An Overview
Based on ANA/ASA Guideline s. 1st Ed. Oxford: Wiley-Blackwell, 2009: 35-84
17. AHA/ASA Guideline. Guideline for The Prevention of Stroke in Patient with
Stroke or Transient Ischemic Attack. Stroke 2011; 42; 227-276.
18. Wirawan, Rosiana P. 2009. Rehabilitasi stroke pada Pelayanan Kesehatan
Primer. Jakarta : Maj. Kedokteran Indonesia.