manajemen stroke

30
MAKALAH MANAJEMEN STROKE Oleh: I Made Cahyadi Dwi Putra 1002005146 Wayan Diah Anima W. P. 1002005078 Pratama Yulius Prabowo 1102005018 Haritharan Ganesan 1102005210 Pembimbing : Dr. dr. Anna Marita Gelgel Sinardja, Sp.S (K) DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR 2015

Upload: r-prawira-bayu

Post on 25-Sep-2015

42 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

pdf

TRANSCRIPT

  • MAKALAH

    MANAJEMEN STROKE

    Oleh:

    I Made Cahyadi Dwi Putra 1002005146

    Wayan Diah Anima W. P. 1002005078

    Pratama Yulius Prabowo 1102005018

    Haritharan Ganesan 1102005210

    Pembimbing :

    Dr. dr. Anna Marita Gelgel Sinardja, Sp.S (K)

    DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

    DI BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF

    RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH

    DENPASAR

    2015

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

    rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Manajemen

    Stroke tepat pada waktunya. Penulisan tugas ini merupakan salah satu prasyarat

    dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian / SMF Ilmu Penyakit Saraf

    UNUD / RSUP Sanglah Denpasar.

    Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal hingga

    akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis

    ingin mengucapkan terima kasih kepada :

    1) Dr. dr. Anna Marita Gelgel Sinardja, Sp.S (K) selaku pembimbing

    selama menjalani KKM di SMF Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf

    RSUP Sanglah Denpasar

    2) Dokter residen neurologi dan teman sejawat koas serta seluruh pihak

    yang telah membantu pembuatan laporan ini.

    Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan

    kritik membangun, sangat penulis harapkan demi perbaikan tugas serupa di waktu

    berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat memberi manfaat bagi pihak yang

    berkepentingan.

    Denpasar, Mei 2015

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL.. .................................................................................... i

    KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

    DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

    BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1

    BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3

    2.1 Manajemen Stroke Pre-Hospital ....................................................... 3

    2.2 Manajemen Stroke in Hospital......................................................... 3

    2.3 Manajemen Stroke Post-Hospital .................................................... 19

    BAB III. KESIMPULAN................................................................................ 25

    DAFTAR PUSTAKA

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    Stroke merupakan salah satu penyakit yang semakin banyak dijumpai di

    masyarakat. WHO mendefinisikan stroke sebagai manifestasi klinis gangguan fungsi

    otak, baik fokal maupun global, yang berlangsung cepat, lebih dari 24 jam atau

    sampai menyebabkan kematian, tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler1.

    Data epidemiologi menunjukkan bahwa stroke masih menjadi penyebab kematian

    nomer 1 di Indonesia. Secara keseluruhan insiden stroke di Indonesia mencapai 51,6

    per 100.000 penduduk. Angka kematian berdasarkan usia adalah 15,9% pada usia 45-

    55 tahun, 26,8% pada usia 55-64 tahun dan 23,5% pada usia > 65 tahun. Penderita

    laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan profil usia di bawah 45 tahun

    sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun sebesar 54,2% dan usia di atas 65 tahun sebesar

    33,5%. Stroke juga dapat menyerang usia produktif dan usia lanjut yang berpotensi

    menimbulkan masalah baru dalam pembangunan nasional di masa mendatang.2

    Berdasarkan jenisnya stroke dibagi menjadi 2 jenis yaitu stroke iskemik dan stroke

    hemoragik. Penelitian cross sectional yang dilakukan di Bagian Neurologi FK

    USU/RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Juli hingga September 2010

    menunjukkan bahwa sebesar 41,3% pasien menderita stroke iskemik dan 58,7%

    menderita stroke hemoragik. Umur rata-rata penderita stroke iskemik adalah 56,95

    tahun dengan proporsi laki-laki sebanyak 68,4% dan perempuan 31,6%.3

    Berbagai faktor memiliki peranan penting dalam meningkatkan resiko terjadinya

    stroke. Faktor resiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin,

    etnis/ras dan riwayat stroke pada keluarga. Faktor resiko stroke yang dapat

    dimodifikasi adalah tekanan darah tinggi, diabetes milletus, hiperlipidemia, obesitas

    dan inaktivitas fisik, riwayat stroke sebelumnya, merokok, konsumsi alkohol, asupan

    diet tinggi garam dan lain sebagainya.4

    Tujuan umum penatalaksanaan stroke adalah menurunkan morbiditas dan tingkat

    kematian serta mengurangi resiko kecacatan pada penderita. Penatalaksanaan stroke

    dimulai dari penanganan pre-hospital yang cepat dan tepat, penanganan selama di

    rumah sakit dan penanganan post-hospital.

  • Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis tertarik untuk

    membahas lebih lanjut mengenai manajemen stroke mulai dari pre-hospital,

    in-hospital, hingga post-hospital.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1.Manajemen Stroke Pre-Hospital

    Manajemen stroke pre hospital merupakan suatu penanganan yang dimulai

    dari keluarga pasien. Pada manajemen stroke pre hospital ini, penting untuk

    keluarga mengenal gejala gejala stroke. Gejala stroke ini dapat diditeksi

    dengan menggunakan FAST (Facial movement, Arm movement, Speech,

    Test all three). Dengan menggunakan metode FAST ini, keluarga pasien dapat

    mendeteksi serangan stroke secara dini, dan dapat segera membawa pasien ke

    pusat pelayanan stroke primer dalam 4 jam pertama, yang sering disebut

    sebagai Golden time of stroke.5 Hal ini penting untuk dilakukan, karena

    dapat mengurangi kerusakan otak dan komplikasi pada pasien. Selain deteksi

    dini, keluarga pasien juga harus melakukan pre-notification system, yakni

    melakukan pemberitahuan kepada rumah sakit sebelum pengiriman pasien,

    ataupun menghubungi ambulans di pusat pelayanan stroke primer terdekat.

    Setelah ambulans datang, dapat dilakukan penanganan awal oleh tenaga medis

    yang sudah terlatih, yakni deteksi dini dan penatalaksanaan awal, seperti

    evaluasi kesadaran, evaluasi abc, dan stabilisasi pasien. Kemudian dilakukan

    transportasi pasien ke pusat pelayanan stroke primer secepatnya, serta

    dilakukan observasi vital sign selama perjalanan.6

    2.2.Manajemen Stroke In-Hospital

    2.2.1 Penatalaksanaan di UGD

    i. Evaluasi Cepat dan Diagnosis

    Karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka

    harus dilakukan evaluasi dan diagnosis klinik yang cepat, sistemik dan

    cermat, meliputi: 2,7,8

    a) Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas

    saat serangan, gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa

    berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran,

    serta faktor2 resiko stroke (hipertensi, hiperkolesterol, diabetes, dll).

  • b) Pemeriksaan Fisik, meliputi penilaian ABC, nadi, oksimetri, dan

    suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misal cedera kepala

    akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda2 distensi vena

    jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan dada (jantung

    dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.

    c) Pemeriksaan Neurologik dan Skala stroke, Pemeriksaan neurologik

    terutama pemeriksaan saraf kraniales, rangsang meningeal, sistem

    motorik, sikap dan cara jalan, refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi

    kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS

    (National Institutes of Health Stroke Scale).

    d) Studi diagnostik, meliputi :

    ii. Terapi Umum (suportif) 2,7,8

    a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan

    Pemantauan terus-menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan

    darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam pada

    pasien dengan defisit neurologis yang nyata.

    Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen <

    95%.

    Perbaikan jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada

    pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang

  • mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan

    gangguan jalan napas.

    Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia

    Pasien stroke iskemik akut yang tdak mengalami hipoksia tidak

    memerlukan terapi oksigen.

    Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask

    Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO250 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk

    terjadi aspirasi.

    Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika

    pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan

    trakeostomi.

    b. Stabilisasi Hemodinamik

    Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian

    cairan hipotonik seperti glukosa).

    Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan

    tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk

    memasukkan cairan dan nutrisi.

    Usahakan CVC 5 -12 mmHg.

    Optimalisasi tekanan darah.

    Bila tekanan darah sistolik

  • Tekanan darah

    Pemeriksaan jantung

    Pemeriksaan neurologi umum awal:

    1) Derajat kesadaran

    2) Pemeriksaan pupil dan okulomotor

    3) Keparahan hemiparesis

    d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)

    Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral

    harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda

    neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.

    Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS 70 mmHg.

    Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial

    meliputi :

    1) Tinggikan posisi kepala 200-300

    2) Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular

    3) Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik

    4) Hindari hipertermia

    5) Jaga normovolemia

    6) Osmoterapi atas indikasi:

    a) Manitol 0,250,50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap

    4 - 6 jam dengan target 310 mOsm/L. Osmolalitas sebaiknya

    diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.

    b) Berikan furosemide dengan dosis awal 1 mg/kgBB i.v. jika

    diperlukan.

    7) Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).

    Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan

    operatif.

    8) Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang

    adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi

    naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk,

    suction, bucking ventilator. Agen nondepolarized seperti

  • vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada

    histamin dan blok pada ganglion lebih baik digunakan.1Pasien

    dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot

    sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternatif.

    9) Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema

    otak dan tekanan tinggi intrakranial pada stroke iskemik, tetapi

    dapat diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi.

    10) Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat

    stroke iskemik serebelar

    11) Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal

    yang menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat

    menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik.

    e. Penanganan Transformasi Hemoragik

    Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan

    asimptomatik. Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan

    terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi

    serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.

    f. Pengendalian Kejang

    Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan

    diikuti oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan

    kecepatan maksimum 50 mg/menit.

    Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.

    Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik

    tanpa kejang tidak dianjurkan

    Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis

    dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan

    bila tidak ada kejang selama pengobatan

    g. Pengendalian Suhu Tubuh

    Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan

    antipiretika dan diatasi penyebabnya

    Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC

    (AHA/ASA Guideline)1 atau 37,5 oC (ESO Guideline).

  • Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur

    dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika

    memakai kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus

    dilakukan untuk mendeteksi meningitis.

    Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik.

    h. Pemeriksaan Penunjang

    EKG

    Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis,

    kadar gula darah, analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)

    Pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi lumbal

    untuk pemeriksaan cairan serebrospinal, bila diperlukan

    Pemeriksaan radiologi

    1) Foto rontgen dada

    2) CT Scan

    2.2.2 Penatalaksanaan di Ruangan

    i. Terapi Umum9

    1. Cairan

    a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga

    euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.

    b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun

    enteral).

    c. Balance cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari

    ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi

    urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak

    dan ditambah lagi 300 ml/C pada penderita panas).

    d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu

    diperiksa dan ditangani bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai

    normal.

    e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas

    darah.

    f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari

    kecuali pada keadaan hipoglikemia.

    2. Nutrisi

  • a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,

    nutrisi oral hanya boleh diberikan bila fungsi menelan baik.

    b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan,

    nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik.

    c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan

    komposisi:

    Karbohidrat 30-40 % dari total kalori;

    Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %);

    Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0

    g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal 6

    minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.

    e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak

    memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.

    f. Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang

    diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung

    vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.2

    3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi7,10

    a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut

    (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru,

    dekubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan.

    b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur

    dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola

    kuman

    c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai

    kasur antidekubitus.

    d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.

    e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam,

    heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid

    perlu diberikan. Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan

    intraserebral perlu diperhatikan.4 Pada pasien imobilisasi yang tidak bias

    menerima antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau aspirin

    direkomendasikan untuk mencegah thrombosis vena dalam.

  • 4. Penatalaksanaan Medis Lain9,

    a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia

    (kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan

    titrasi insulin. Target yang harus dicapai adalah normoglikemia.

    Hipoglikemia berat (

  • 6. Pemberian antikoagulan

    a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke

    ulang awal, menghentikan perburukan deficit neurologi, atau

    memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut tidak

    direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke

    iskemik akut.

    b. Antikoagulasi urgent tidak drekomendasikan pada penderita dengan

    stroke akut sedang sampai berat karena meningkatnya risiko

    komplikasi perdarahan intrakranial.

    c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dlam jangka waktu 24 jam

    bersamaan dengan pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan.

    d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah

    stroke iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih

    merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik

    akut dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau

    stenosis berat arteri karotis sebelum pembedahan. Kontraindikasi

    pemberian heparin juga termasuk infark besar >50%, hipertensi yang

    tidak dapat terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang luas.

    7. Pemberian antiplatelet9,12

    a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dlam 24 sampai 48 jam

    setelah awitan stroke dianjurkan untuk seiap stroke iskemik akut

    b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi

    akut pada stroke, seperti pemberian rtPA intravena

    c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan.

    d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah

    pemberian obat trombolitik tidak dierkomendasikan.

    e. Pemberian klopidrogel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada

    stroke iskemik akut, tidak dianjurkan,kecuali pada pasien dengan

    indikasi spesifik, misalnya angina pectoris tidak stabil, non-Q-wave

    MI, atau recent stenting, pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan

    setelah kejadian.

    f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor

    glikoprotein IIb/IIIa tidak dianjurkan.

  • 8. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak

    dianjurkan dalam terpi stroke iskemik akut.

    9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi

    stroke iskemik akut.

    10. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk

    memperbaiki aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan

    tersebut, pemantauan kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan

    secara ketat.

    11. Tindakan endarterektomi karotid pada stroke iskemik akut akut dapat

    mengakibatkan risiko serius dan keluaran yang tidak menyenangkan.

    Tindakan endovaskular belum menunjukkan hasil yang bermanfaat,

    sehingga tidak dianjurkan

    12. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang

    efekif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun, Citicolin

    sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut.

    Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg

    intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu

    dilakukan dalam penelitian ICTUS (International Citicholin Trial in Acute

    Stroke).

    13. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)9,13

    a. Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor risiko yang mendasari baru

    diketahui sebesar 80%. Beberapa faktor risiko sering dijumpai

    bersamaan. Penelitian The International Study On Cerebral Vein And

    Dural Sinus Thrombosis (ISCVT) mendapatkan 10 faktor risiko

    terbanyak, antara lain kontrasepsi oral (54,3%), trombofilia (34,1%),

    masa nifas (13,8%), infeksi dapat berupa infeksi SSP, infeksi organ-

    organ wajah, dan infeksi lainnya (12,3%), gangguan hematologi seperti

    anemia, trombositemia, polisitemia (12%), obat-obatan (7,5%),

    keganasan (7,4%), kehamilan (6,3%), presipitasi mekanik termasuk

    cedera kepala (4,5%), dan vaskulitis (3%). Penatalaksanaan CVST

    diberikan secara komprehensif, yaitu dengan terapi antitrombotik,

    terapi simptomatik, dan terapi penyakit dasar. Pemberian terapi UFH

    atau LMWH direkomendasikan untuk diberikan, walaupun terdapat

  • infark hemoragik.Terapi dilanjutkan dengan antikoagulan oral

    diberikan selama 3-6 bulan, diikuti dengan terapi antiplatelet.

    ii. Stroke Hemoragik

    1. Perdarahan subarachnoid

    a. Penanganan dengan Vasospasme

    Tekanan darah sistolik tetap dijaga sekitar 140-160 mmHg sangat

    disarankan dalam rangka pencegahan perdarahan ulang pada PSA,

    sehingga bila tekanan sistolik

  • dikontraindikasikan pada pasien dengan koagulopati, riwayat infark

    miokard akut, stroke iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam.

    Terapi antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien dengan risiko rendah

    terhadapa terjadinya vasospasme atau pada pasien dengan penundaan

    operasi. pada beberapa studi, terapi antifibrinolitik dikaitkan dengan

    tingginya angka kejadian iskemik serebral sehingga mungkin tidak

    menguntungkan pada hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu,

    studi dengan menggunakan kombinasi antifibrinolitik dengan obat-

    obatan lain untuk mengurangi vasospasme perlu dilakukan.15,16

    c. Tindakan operasi pada aneurisma yang ruptur

    I. Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan

    untuk mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada

    PSA.

    II. Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko

    perdarahan ulang setelah PSA, banyak penelitian yang meperlihatkan

    bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi

    yang ditunda. Operasi segera (early dan ultra early) dianjurkan pada

    pasien dengan derajat yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang

    tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau yang

    ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.

    Rujukan dini ke pusat spesialis sangat dianjurkan. Penanganan dan

    pengobatan pasien aneurisma lebih awal diajurkan untuk sebagian

    besar kasus.

    III. Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa coilling

    and clipping ditentukan tim bedah saraf dan dokter endovaskuler.

    Tindakan endovaskuler coiling lebih bermanfaat.

    IV. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang tinggi

    untuk perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma secara komplit

    dianjurkan kapan saja bila memungkinkan.

    2. Perdarahan intraserebral2,8

    Pedoman Penatalaksanaan :

    I. Konservatif

  • Hilangkan faktor-faktor yang beresiko meningkatkan tekanan darah,

    seperti retensi urine, nyeri, febris, peningkatan tekanan intrakranial,

    emosional stress dan sebagainya. Bila tekanan darah sistolik > 220

    mmHg atau tekanan diastolik > 140 mmHg atau tekanan darah arterial

    rata-rata > 145 mmHg, berikan nikardipin, diltiazem atau nimodipin.

    Mencegah atau mengatasi vasospasme otak akibat perdarahan, bila

    tekanan sistolik 180 220 mmHg atau tekanan diastolik 105-140

    mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg, berikan:

    1. Labetolol 10-20 mg iv selama 1-2 menit. Ulangi atau gandakan

    setiao 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis

    awal bolus diikuti oleh labetolol drip 2-8 mg/menit atau;

    2. Nicardipin, diltiazem

    3. Nimodipin

    Pada fase akut, tekanan darah tidak boleh diturunkan > 20-25% dari

    tekanan darah arteri rata-rata dalam 1 jam pertama.

    Bila tekanan sistolik < 180 mmHg dan tekanan diastolik < 105

    mmHg, tangguhkan pemberian obat anti hipertensi.

    Bila terdapat fasilitas pemantauan tekanan intrakranial, tekanan

    perfusi otak harus dipertahankan > 70 mmHg.

    Pada penderita dengan riwayat hipertensi, penurunan tekanan darah

    harus dipertahankan dibawah tekanan arterial rata-rata 130 mmHg.

    Tekanan darah arterial rata-rata lebih dari 110 mmHg harus dicegah

    segera pada waktu pasca operasi dekompresi.

    Bila tekanan darah arterial sistolik turun < 90 mmHg harus diberikan

    obat menaikkan tekanan darah (vasopresor).

    Perlu diperhatikan peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh

    stress akibat stroke, kandung kencing penuh, nyeri, respon fisiologis

    dari hipoksia atau peningkatan tekanan intrakranial. Dengan

    memperhatikan dan melakukan penanganan pada keadaan tersebut di

    atas akan banyak berpengaruh pada tekanan darah sistemik pada fase

    menunggu 5-20 menit pengukuran berikutnya.

    Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait

    obat antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi

    mendapat terapi untuk menggganti vitamin K-dependent factor dan

  • mengkoreksi INR, serta mendapat vitamin K intravena. Konsentrat

    kompleks protrombin tidak menunjukkan perbaikan keluaran

    dibandingkan dengan Fresh Frozen Plasma (FFP). Namun,

    pemberian konsentrat kompleks protrombin dapat mengurangi

    komplikasi dibandingkan dengan FFP dan dapat dipertimbangkan

    sebagai alternative FFP. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka

    dapat dikoreksi sebagai berikut:

    Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan

    peningkatan INR dan diberikan dalam waktu yang sma dengan

    terapi yang lain karena efek akan timbul 6 jam kemudian.

    Kecepatan pemberian

  • Setelah dokumentai penghentian perdarahan LMWH atau UFH

    subkutan dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan

    tromboembolin vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang

    setelah satu hingga empat hari pascaawitan.

    Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat 10-50 mg

    IV dalam waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian protamin

    sulfat perlu pengawasan ketat untuk melihat tanda-tanda hipersensitif.

    II. Operatif

    Dilakukan pada kasus yang indikatif/memungkinkan:

    Pasien stroke hemoragik GCS 30 mL

    atau diameter > 3 cm pada fossa posterior, perdarahan intraventrikuler

    dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis herniasi transtentorial, harus

    dirawat di ICU.

    Perdarahan lobar >60 mL dan kortikal dengan tanda peningkatan

    tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.

    Drainase ventrikuler sebagai tata laksana hidrosefalus dapat

    dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran.

    Perdarahan serebellum

    GCS > 7

    2.3.Manajemen Stroke Post Hospital

    2.3.1 Prevensi Sekunder

    Prevensi sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya stroke

    berulang. Hal ini mencakup pengendalian faktor resiko dan modifikasi gaya

    hidup. Salah satu faktor resiko stroke adalah hipertensi. Penurunan tekanan

    darah direkomendasikan untuk pencegahan terjadinya stroke berulang maupun

    komplikasi. Target penurunan tekanan darah yang absolut tidak dapat

    dipastikan dan tergantung pada setiap keadaan pasien, namun penurunan

    tekanan darah yang disarankan adalah rata-rata sekitar 10/5 mmHg dengan

    tekanan darah normal didefinisikan

  • product, olahraga teratur dan pembatasan konsumsi alkohol. Bagi individu

    dengan diabetes milletus disarankan untuk melakukan cek gula darah secara

    teratur dan meningkatkan kepatuhan dalam menjalani terapi farmakologi.

    Pasien stroke dengan hiperlipidemia, pengobatan statin terbukti memberikan

    efek penurunan lipid yang efektif untuk mengurangi risiko stroke dan penyakit

    kardiovaskuler untuk pasien yang menderita stroke iskemik dan TIA yang

    juga disertai aterosklerosis, kadar LDL 100 mg/dl dan tanpa penyakit

    jantung koroner. Untuk pasien stroke iskemik aterosklerosis atau TIA tanpa

    penyakit jantung koroner, target penurunan LDL C sekurang-kurangnya 50%

    atau

  • 2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca stroke

    3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke

    Pada stroke fase akut, kondisi hemodinamik pasien belum stabil dan umumnya

    dalam perawatan di rumah sakit, baik di ruang rawat biasa maupun di unit

    stroke. Rehabilitasi lebih ditujukan pada spesialistik di rumah sakit.

    Pada stroke fase subakut, kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil

    dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan

    penanganan rehabilitasi yang intensif. Pada fase subakut pasien diharapkan

    mulai kembali untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan

    berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak akan melakukan

    reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung

    sirkuit jaras otak yang paling sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui

    rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar mencapai

    kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai oleh pasien, melalui sirkuit

    yang memungkinkan gerak yang lebih terarah dengan menggunakan

    energi/tenaga seefisien mungkin. Intervensi rehabilitasi pada stroke fase

    subakut ditujukan untuk:

    1. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring

    2. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan

    fungsional yang paling optimal

    3. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari

    4. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental

    Dalam mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring, pemulihan

    fungsional harus diperhatikan karena mempunyai periode emas yang

    terbatas waktunya. Stimulasi yang diberikan pada 3 bulan pertama akan lebih

    memberikan hasil dibandingkan fase kronis, dan tentu tidak boleh disia-

    siakan. Pasien harus diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas

    sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan diprogramkan dengan

    durasi dan frekuensi latihan secara bertahap ditingkatkan.

    Salah satu akibat tirah baring lama adalah terjadinya pemendekan otot dan

    kontraktur sendi. Bila otot diam pada satu posisi tertentu dalam waktu lama

    kelenturannya akan hilang. Demikian pula sendi yang akan menjadi kering

    dan kaku. Kedua kondisi ini membuat pasien yang karena kelumpuhannya

    sudah sulit bergerak menjadi tambah tidak mungkin bergerak. Latihan

  • mencapai lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai latihan

    regangan otot sedikitnya 2 kali per hari diperlukan. Setelah stroke akan

    terbentuk spastisitas dan pola gerak khas yaitu pola sinergis fleksor atau

    ekstensor. Pada umumnya, akan terbentuk pola sinergis fleksor pada

    ekstremitas atas sedangkan pada ekstremitas bawah pola sinergis ekstensor.

    Spastisitas dan pola gerak sinergis tidak dapat dihilangkan akan tetapi perlu

    dikontrol. Hal ini dapat dicegah melalui latihan posisi antisipasi, yaitu posisi

    sebaliknya dari pola gerak yang akan timbul. Pada ekstremitas atas misalnya,

    cenderung timbul spastisitas fleksor, maka lengan diupayakan selalu dalam

    posisi ekstensi apabila tidak sedang latihan.

    Sebagian besar nyeri pasca stroke merupakan nyeri muskuloskeletal, terutama

    pada bahu sisi yang terkena. Penyebab utamanya seringkali adalah

    penanganan bahu yang salah atau kurang tepat, seperti dalam penempatan

    bahu saat tidur miring ke sisi sakit sehingga bahu tertindih tubuh, atau saat

    duduk bahu tidak tersanggah dengan baik. Program rehabilitasi yang dapat

    dilakukan adalah melalui edukasi untuk mencapai pemahaman mengenai

    pemberian posisi yang tepat, cara membantu pasien dalam transfer atau

    aktivitas sehari-hari serta cara berlatihan oleh karena itu sangat penting

    diberikan pada pasien dan keluarganya.

    Tujuan rehabilitasi fase subakut selanjutnya adalah mengembalikan

    kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Salah satu hal yang sering

    dialami pasien adalah afasia. Pada pasien stroke dengan afasia, rehabilitasi

    perlu dilakukan dengan cara mengajak pasien berbicara dengan suara biasa

    dan tidak perlu berteriak keras. Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan

    kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam setiap kalimat.

    Stimulasi auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan dengan

    stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar) akan sangat membantu.

    Pasien afasia jangan diajarkan mengeja huruf, karena akan membuat pasien

    frustasi. Mengeja merupakan fungsi hemisfer kiri yang justru terganggu.

    Stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah

    pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.

    Selain afasia, beberapa pasien stroke juga mengalami disartria. Parameter

    bicara yang terkena pada disatria antara lain respirasi, fonasi/suara, artikulasi,

    resonansi dan prosodi. Berdasarkan letak lesi disatria dibedakan atas disatria

  • flaksid, spastik, ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik. Terapi latihan diberikan

    sesuai dengan penyebab disatria, antara lain untuk memperbaiki kontrol

    pernapasan, meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara dan

    artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot pernapasan.

    Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah konstipasi

    akibat immobilisasi. Diare yang timbul kemudian selain gastroenteritis juga

    bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului oleh obstipasi

    lama sebelumnya. Pasien dapat disarankan untuk banyak bergerak aktif,

    berikan cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan bila

    tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan berserat tinggi. Bila perlu obat

    laksatif dapat diberikan.

    Pada pasien dengan gangguan berjalan, terapi latihan menuju ambulasi jalan

    perlu diberikan bertahap, dimulai dari kemampuan mempertahankan posisi

    duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik dan dinamik kemudian

    latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu diperhatikan bahwa

    panggul harus pada posisi ekstensi 00, lutut mengunci pada posisi ekstensi 00

    sedangkan pergelangan kaki dalam posisi netral 900 . Pastikan berat badan

    tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar yaitu palang dari besi,

    kayu atau bambu yang dipasang sejajar merupakan tempat latihan jalan yang

    paling baik. Letakan kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat

    melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan melakukan koreksi secara

    aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam paralel bar, maka latihan jalan

    dapat dilanjutkan dengan memakai tripod, yaitu tongkat yang ujung bawahnya

    bercabang tiga.

    Untuk menjaga kebugaran fisik dan mental, terapi yang terbaik adalah

    biasakan pasien sejak awal aktif semampunya. Pasien jangan dibiarkan

    istirahat berkepanjangan. Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan duduk di

    tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar kamar tidur. Waktu aktif dan

    istirahat dijadwalkan secara proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien

    dimotivasi untuk selalu makan di kamar makan bersama keluarga dan

    dibiarkan untuk mengambil makananan pilihannya sendiri. Pasien selalu

    dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan bagi pasien dengan afasia. Pasien

    diajak berlatih yang bertargetkan hasil misalnya melempar bola masuk ke

    keranjang, bowling kecil, main catur atau halma.

  • Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda dengan fase

    sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah

    terbentuk, membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat.

    Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk

    memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan

    semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurans dan

    penguatan otot secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat

    mencapai aktivitas aktif yang optimal.

    Hasil rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti (a) Mandiri penuh

    dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum sakit, (b) Mandiri penuh dan

    bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan sesuai kondisi, (c) Mandiri

    penuh namun tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal

    dari orang lain atau (e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar atau sepenuhnya

    dibantu orang lain.

  • BAB III

    KESIMPULAN

    Stroke merupakan salah satu penyakit yang semakin banyak dijumpai di masyarakat.

    WHO mendefinisikan stroke sebagai manifestasi klinis gangguan fungsi otak, baik

    fokal maupun global, yang berlangsung cepat, lebih dari 24 jam atau sampai

    menyebabkan kematian, tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler. Di Indonesia,

    stroke masih merupakan penyebab kematian nomor 1. Secara garis besar stroke dapat

    dibedakan menjadi 2, yakni stroke hemoragik dan stroke non hemoragik.

    Berbagai faktor memiliki peranan penting dalam meningkatkan resiko terjadinya

    stroke. Faktor resiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin,

    etnis/ras dan riwayat stroke pada keluarga. Faktor resiko stroke yang dapat

    dimodifikasi adalah tekanan darah tinggi, diabetes milletus, hiperlipidemia, obesitas

    dan inaktivitas fisik, riwayat stroke sebelumnya, merokok, konsumsi alkohol, asupan

    diet tinggi garam dan lain sebagainya.

    Tujuan umum penatalaksanaan stroke adalah menurunkan morbiditas dan tingkat

    kematian serta mengurangi resiko kecacatan pada penderita. Penatalaksanaan stroke

    dimulai dari penanganan pre-hospital yang cepat dan tepat, penanganan selama di

    rumah sakit dan penanganan post-hospital.

    Penanganan pre-hospital biasanya dimulai dari keluarga. Pada tahap ini peran

    keluarga sangat penting dalam hal deteksi dini, sehingga pasien mampu dikirim ke

    pusat pelayanan stroke primer dalam kurun waktu kurang dari 4 jam. Perananan

    penanganan pre-hospital ini cukup penting, karena dapat mengurangi kerusakan otak

    dan komplikasi pada pasien.

    Penanganan selama di rumah sakit dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yakni

    penanganan ketika di UGD, penanganan di ruangan, dan penanganan secara khusus.

    Penanganan secara umum di UGD mencakup evaluasi cepat dan diagnosis, serta

    terapi suportif, mencakup ABC, terapi kejang, pengendalian suhu tubuh, pemeriksaan

    penunjang, dan sebagainya. Pada penanganan di ruangan, dilakukan monitoring untuk

    menjaga keseimbangan cairan, dan nutrisi. Selain itu juga dilakukan pencegahan

    terjadinya komplikasi, serta penanganan gejala gejala yang dialami oleh pasien.

    Untuk terpi khusus pada stroke dapat dibedakana menjadi 2 kelompok besar. Terapi

    khusus untuk stroke non hemoragik mencakup penanganan hipertensi, pemberian

  • trombolitik, anti platelet, dan juga anti koagulan. Untuk stroke hemoragik, terapi

    khususnya dapat dibedakan menjadi 2, yakni terapi konvensional dan terapi

    pembedahan.

    Penanganan post-hospital dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yakni

    prevensi sekunder yang bertujuan untuk mencegah terjadinya stroke berulang, dan

    rehabilitasi yang bertujuan untuk mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring,

    menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan fungsional

    yang paling optimal, mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-

    hari, mengembalikan kebugaran fisik dan mental. Prevensi sekunder ini dapat berupa

    perubahan pola hidup pasien, ataupun intervensi factor risiko dengan menggunakan

    obat obatan.

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. World Health Organization. 2006. Stroke and Its Management.

    2. Kelompok Studi Serebrovaskular Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

    2011. Guidelines Stroke 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

    (PERDOSSI).

    3. Sembiring, Krisnarta. 2010. Hubungan Kelainan Jantung dengan Stroke Iskemik

    Pada Pasien Rawat Inap Di Bagian Neurologi FK USU/RSUP Haji Adam Malik

    Medan.

    4. Malaysia Society of Neurosciences. Academy of Medicine Malaysia. 2011.

    Management of Ischemic Stroke 2nd Edition. Malaysia : Clinical Practice

    Guidelines.

    5. Simons, N. E., Menzies, B. & Matthews, M. (2011) A Short Course on early stroke

    management. [Online] London,Thomas Telford Publishing

    :www.strokeassociation.org [diakses 10th APRIL 2015].

    6. National Clinical Guideline for Diagnosis and Initial For Management of Acute

    Stroke and Transient Ischemic Attack. 2008. Royal College of Physician. London.

    7. Jauch E et al. AHA/ASA Guidelines for the early management of patients with

    acute ischemic stroke. Stroke. 2013; 44:870-947.

    8. Ringleb PA et al. Guideline for management of ischemic stroke and transient

    ischemic attack 2008. The European Stroke Organization (ESO) Executive

    Committee and the ESO Writing Committee.

    9. Adams HP et al. Emergent use of anticoagulation for treatment of patient with

    ischemic stroke. Stroke. 2002;33:856-861.

    10. International Citicoline on Acute Stroke: ICTUS, October 2006.

    11. Khan S, Adeoye O, Abruzzo TA, Shutter LA, Ringer AJ. Intracranial dural sinus

    thrombosis: novel use of a mechanical thrombectomy catheter and review of

    management strategis. Clinical Medicine & Research. 2009; 7(4): 157-165.

    12. De Freitas GR, Christoph DDH, Bogousslavsky J. Topographic classification of

    ischemic stroke, in Fisher M. (ed). Handbook of Clinical Neurology, Vol. 93 (3rd

    series). Elsevier BV, 2009.

    13. Weaver JP, Fisher M, Subaarachnoid Hemorrhage: An Update of Patogenesis,

    Diagnosa and Management. J Neurol Sci. 1994:125 (2): 11931 (midline)

  • 14. Adam HP, Del Zoppo GJ, Von Kummer R. Management of Stroke, A Practical

    Guide for The Prevention, Evaluation, and Treatment of Acute Stroke. New

    York: Professional Communications, 2002: 25-117

    15. Caplan LR. Caplan's Stroke: A Clinical Approach. 4th Ed. Philadelphia:

    Saunders, 2009: 641451 446-486

    16. Goldstein IN. A Primer on Stroke Prevention and Treatment. An Overview

    Based on ANA/ASA Guideline s. 1st Ed. Oxford: Wiley-Blackwell, 2009: 35-84

    17. AHA/ASA Guideline. Guideline for The Prevention of Stroke in Patient with

    Stroke or Transient Ischemic Attack. Stroke 2011; 42; 227-276.

    18. Wirawan, Rosiana P. 2009. Rehabilitasi stroke pada Pelayanan Kesehatan

    Primer. Jakarta : Maj. Kedokteran Indonesia.