manajemen anestesi pada asien ppok

33
BAB I PENDAHULUAN Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001, influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. 1 Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58% diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6% diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8% kasus infeksi dan 14,6% diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8% kasus infeksi dan 28,6% diantaranya infeksi nontuberkulosis. 1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas berbahaya. 1 penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan global saat ini. Data

Upload: cutnurulazzahra

Post on 01-Feb-2016

42 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Referat manajemen anestesi pada pasien PPOK

TRANSCRIPT

Page 1: Manajemen anestesi pada asien PPOK

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang

kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data

SEAMIC Health Statistic 2001, influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian

nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor

6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab

kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk

pneumonia dan influenza.1

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran

napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru

RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58% diantara

penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6% diantaranya kasus nontuberkulosis,

pada penderita rawat inap 58,8% kasus infeksi dan 14,6% diantaranya kasus nontuberkulosis.

Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8% kasus infeksi dan 28,6% diantaranya infeksi

nontuberkulosis.1

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai oleh

hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan

dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas berbahaya.1

penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah

kesehatan global saat ini. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda di tiap negara

dan terus mengalami peningkatan. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya usia harapan

hidup rata-rata masyarakat dan semakin tingginya pajanan terhadap faktor risiko.2

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020

prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya

meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya

juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan

angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%,

dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam

sebesar 6,7%.3

Jumlah penderita PPOK pada tahun 2006 untuk wilayah Asia diperkirakan sekitar 56,6

juta dengan prevalensi 6,3%. Di Cina angka kasus mencapai 38,16 juta jiwa, sedangkan di

Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta jiwa pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa

Page 2: Manajemen anestesi pada asien PPOK

meningkat seiring semakin banyaknya jumlah perokok, karena 90% penderita PPOK adalah

perokok atau mantan perokok.3

Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya

Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-

sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di

Indonesia.2

Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini

di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000

terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat

Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat

sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118

pada wanita vs pria secara berurutan.2

Penyakit penyerta paling banyak diderita pasien PPOK adalah pneumonia (47,8%)

sesuai data Sethi (2008) yang menyebutkan bahwa bakteri yang sering ditemukan dari saluran

napas bawah pada pasien PPOK eksaserbasi adalah Haemophilus influenza, Streptococcus

pneumonia, dan Moraxella catarrhalis.4

Page 3: Manajemen anestesi pada asien PPOK

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.a. PPOK

Pengertian

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan

oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada

paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya

reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap

gas atau partikel yang berbahaya.4,5

Epidemiologi

Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan

suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk

kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53%

pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.

Studi prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang

berumur 18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi,

dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.4

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020

prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya

meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya

juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan

angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%,

dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam

sebesar 6,7%.4

Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya

Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-

sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di

Indonesia.5

Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini

di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000

terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat

Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat

Page 4: Manajemen anestesi pada asien PPOK

sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118

pada wanita vs pria secara berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per

100.000 populasi.6

Faktor Risiko

PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan

hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul

dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat

merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari

PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan

perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status

sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.5

a.Genetik

PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik yang

sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi α1

antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan

contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok

maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada

beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat

pada kromosom 2q.5

b. Paparan partikel inhalasi

Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya. Tipe dari

suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan

dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap

pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama

kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang

diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang

merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental

smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada perokok

pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan

perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok

aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat

bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3

tahun pertama menjadi meningkat. Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik

bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah terlambat

Page 5: Manajemen anestesi pada asien PPOK

didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat berdasarkan derajat

spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa

mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak mengetahui bahwa mereka menderita

penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok justru didapatkan pada penderita PPOK

sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat

merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang

sedang (7,1%, p<0,02).5

Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang terkait

dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun bahan-bahan ini

tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK,

tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES III

didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena

pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada

pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK.4,

Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa

serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK

khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan

progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan

bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan

sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan

kepada fungsi paru.4

a. Pertumbuhan dan perkembangan paru

Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya

PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada saat dalam

kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar

didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.4

b. Stress oksidatif

Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-

paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara

enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan

yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon

inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan

yang penting terhadap patogenesis PPOK.4,6

Page 6: Manajemen anestesi pada asien PPOK

c. Jenis Kelamin

Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada

beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada

Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan

bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat

beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap

rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih

banyak yang merupakan perokok saat ini.6

d. Infeksi

Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap

patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya

inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap

terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,

dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan

peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada

PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran

nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.6

e. Status sosioekonomi dan nutrisi

Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik indoor maupun

outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang berhubungan dengan kejadian

PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan status sisioekonomi.4

f. Komorbiditas

Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu

penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang

dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.

Patogenesis dan Patofisiologi

Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan

unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar

patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang

ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal

bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.5

Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang

disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang

persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia,

Page 7: Manajemen anestesi pada asien PPOK

sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan

direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling

ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan

limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam

lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel

radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.5

Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari

alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (sentrilobular), emfisema

panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar (perilobular) yang sering dibahas dan skar

emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola

kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga

udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi

pada saat proses inflasi.5

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang

diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan

pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan

anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses

inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-

mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan

parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat

seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.5

Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat

keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang

berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti

CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß.

Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres

oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi

netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga

terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.5

Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier

mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas

pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru.

Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi: perfusi yang

pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.

Page 8: Manajemen anestesi pada asien PPOK

Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitasperubahan gas

yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia,

disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan

destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap

hipertensi pulmonal.5

Diagnosis

Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau produksi

sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor resiko PPOK sebaiknya dipikirkan sebagai

PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator.

Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik yang

dapat bervariasi seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK.4

Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK. Tanda fisik

hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat kerusakan yang bermakna dari

fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah.Pada

inspeksi dapat di temukan sentral sianosis, bentuk dada “barel-shaped”, takhipneu, edema

tungkai bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu

diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan

menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran nafas, dapat

dengan disertai adanya mengi.4

Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di lakukan pada

penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosa yang ada

sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis

yang paling objektif, terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran

nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi

Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras.

Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP <

0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat

keparahan dari PPOK.4

Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali adanya bulosa

pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya tanda hiperinflasi (pendataran

diafragma dan peningkatan volume udara pada rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan

peningkatan corak vaskuler paru. Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas

seperti gambaran gagal jantung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang

peranan penting.4

Page 9: Manajemen anestesi pada asien PPOK

COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang persisten dengan

meningkatnya residual volume dan function residual capacity. Resiko anestesi adalah :

hipoksemia, hiperkarbia, bronkospasme dan peningkatan insiden Postoperative Pulmonary

Complication (PPC), termasuk atelektasis, pneumonia dan gagal nafas.7

A. Bronkitis kronis

Diagnosis klinis bronchitis kronis didefinisikan oleh adanya batuk produktif di hampir setiap

hari dalam 3 bulan berturut-turut selama setidaknya 2 tahun berturut-turut. Selain merokok,

polusi udara, paparan karena pekerjaan ke debu, dan faktor genetik sangat berperan. Pada

pasien dengan COPD, hipoksemia kronis menyebabkan ke erythrocytosis, hipertensi

pulmonal, dan akhirnya kegagalan ventrikel kanan (kor pulmonal); kombinasi temuan ini

sering disebut sebagai sindrom blue bloatter, tapi <5% dari pasien dengan COPD cocok

dengan deskripsi ini. Tentu saja dari perkembangan penyakit, pasien secara bertahap

mengembangkan retensi CO 2 kronis; ventilasi yang normal menjadi kurang sensitif terhadap

tekanan CO 2 arterial dan mungkin menurun dengan pemberian oksigen.7

B. Emfisema

Emfisema adalah gangguan patologis ditandai oleh pembesaran ireversibel saluran

udara distal pada bronkiolus terminal dan penghancuran septa alveolar. Diagnosis dapat

dibuat dengan mengandalkan computed tomography (CT) dada. Perubahan emphysematous

apikal ringan adalah normal, tetapi secara klinis tidak signifikan adalah konsekuensi dari

penuaan. Emfisema yang signifikan lebih sering berhubungan dengan rokok. Emfisema ada

yang centrilobular atau bentuk panlobular. Bentuk centrilobular (atau centriacinar) hasil dari

dilatasi atau perusakan bronkiolus pernapasan, lebih erat terkait dengan merokok tembakau,

dan mengenai sebagian besar distribusi lobus atas. Bentuk panlobular (atau panacinar) terjadi

karena dilatasi dan penghancuran seluruh acinus, terkait dengan defisiensi α 1 antitripsin, dan

memiliki didominasi distribusi lobus bawah.

Hilangnya elastisitas yang biasanya mendukung saluran udara kecil oleh traksi radial

memungkinkan keruntuhan dini selama pernafasan, yang mengarah ke keterbatasan aliran

ekspirasi dengan menjebak udara dan hyperinflasi. Pasien khas memiliki peningkatan RV,

FRC, TLC, dan RV / TLC rasio. FRC adalah pergeseran ke kanan sepanjang kurva komplians

paru-paru, menuju bagian datar kurva, merugikan mekanik paru.

Gangguan struktur alveolar-kapiler dan hilangnya struktur asinar menyebabkan

penurunan kapasitas difusi paru (DLCO), V • / Q • mismatch, dan gangguan pertukaran gas.

Juga, parenkim normal dapat menjadi dikompresi oleh hyperinflasi bagian dari paru-paru,

Page 10: Manajemen anestesi pada asien PPOK

sehingga lebih lanjut meningkatkan V • / Q mismatch •. Karena lebih tinggi difusi dari CO 2,

eliminasi terjaga dengan baik Sampai kelainan V • / Q • menjadi parah. Retensi CO 2 Kronis

terjadi secara perlahan dan umumnya menghasilkan asidosis pernapasan terkompensasi pada

Analisis gas darah. Tekanan oksigen arteri biasanya normal atau sedikit berkurang. Akut CO

2 retensi adalah tanda kegagalan pernafasan yang akan datang.

Penghancuran kapiler paru di septa alveolar mengarah ke hipertensi pulmonal.

Namun, tingkat hipertensi pulmonal biasanya rendah sampai sedang, jarang melebihi 35-40

mm Hg. Ketika dyspnea, pasien dengan emfisema sering mengerutkan bibir mereka untuk

menunda penutupan saluran udara kecil, yang menyumbang istilah "pink puffer" yang sering

digunakan. Namun, seperti yang disebutkan di atas, kebanyakan pasien didiagnosis dengan

PPOK memiliki kombinasi bronkitis dan emphysema.7

Komplikasi Pulmoner Perioperatif (PPC)

Pasien PPOK memiliki risiko lebih tinggi atas atelektasis paru pasca bedah atau

pneumonia dan kematian. Insidens komplikasi pulmoner sangat bervariasi tergantung pada

definisi komplikasi pulmoner dan desain penelitian. Pada populasi umum, PPC dilaporkan

terjadi sekitar 5-10%, 4-22% pada pasien yang menjalani pembedahan abdomen. Pasien

PPOK (dengan VEP1≤1,2 L dan VEP1/ KVP<75%) yang menjalani pembedahan non-

kardiotorasik, insidens PPC sebesar 37% (tidak termasuk komplikasi atelektasis) dan angka

mortalitas dalam 2 tahun sebesar 47%.8

Faktor risiko independen terjadinya PPC pada pasien dewasa dengan penyakit

respirasi adalah usia lanjut, riwayat penyakit paru sebelumnya, merokok, gagal jantung

kongestif, dependensi fungsional (ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari), dan

lokasi pembedahan (pembedahan toraks dan abdomen memiliki risiko lebih besar).7 Epstein

dkk. menyusun cardiopulmonaryrisk index (CPRI) yang merupakan kombinasi indeks

kardiak Goldman yang dimodifikasi dengan faktor risiko pulmoner (kegemukan, batuk

produktif, mengi, kebiasaan merokok, VEP1/KVP<70%, dan PaCO2>45 mmHg). Pasien

dengan CPRI≥4 memiliki risiko komplikasi major pembedahan toraks 22 kali lebih besar

(p<0,0001). Wong, dkk. memperkirakan 5 macam komplikasi pascabedah pasien PPOK

derajat berat, yaitu kematian, pneumonia, intubasi lama (prolonged intubation),bronkospasme

refrakter, dan perawatan intensif lama.7 Faktor risiko preoperatif yang bermakna antara lain

ASA≥IV, skor Shapiro≥5, dan nilai VEP1, sedangkan faktor risiko intraoperatif antara lain

pembedahan emergensi, insisi abdominal, durasi anestesia lebih dari 2 jam, dan anestesi

Page 11: Manajemen anestesi pada asien PPOK

umum. Jika sistem klasifi kasi (ASA dan skor Shapiro) dikeluarkan dari model regresi maka

nilai VEP1 menjadi satu-satunya faktor risiko preoperatif yang signifikan.8

Sistem klasifikasi dapat bermanfaat untuk menilai faktor risiko tunggal dalam

memprediksi PPC karena variabel nonpulmoner juga berperan dalam timbulnya PPC.

Pneumonia pasca bedah, intubasi lama pasca bedah, dan mortalitas yang lebih tinggi

dikaitkan dengan ASA yang lebih tinggi. Klasifikasi ASA sebaiknya dimasukkan dalam

model regresi yang digunakan untuk memprediksi insiden PPC.

Etiologi PPC

Pada pasien dengan gangguan respirasi, terdapat banyak kausa yang potensial

menimbulkan PPC. Anestesi dapat menimbulkan gangguan koordinasi otot dinding dada yang

memfasilitasi pernapasan (otot diafragma, otot-otot interkostal, dan otot-otot

abdomen).Induksi anestesi dapat menurunkan KRF yang dapat memicu terjadinya atelektasis

serta gangguan pertukaran gas walaupun pada pasien PPOK sudah terdapat PEEPi sebagai

usaha proteksi terhadap atelektasis.8

Pada periode pasca bedah, perubahan fungsi dinding dada akibat anestesi tetap

berlangsung. Gangguan mekanika otot abdomen dan dada intraoperatif mengganggu fungsi

otot pasca bedah, nyeri menyebabkan restriksi dinding dada dan stimulasi serabut aferen

viseral menyebabkan inhibisi refleks inspirasi pada diafragma.Gangguan refleks saluran

napas atas dapat menyebabkan pemanjangan masa intubasi atau gangguan reversal blokade

neuromuskular sehingga meningkatkan risiko aspirasi dan pneumonia terutama pada pasien

usia tua.8

Pada pasien PPOK yang merokok, sudah terdapat gangguan mekanisme pertahanan

paru terhadap infeksi seperti gangguan transpor mukosilier dan fungsi makrofag alveolar.

Anestesia dan pembedahan dapat memperberat gangguan tersebut.14Manipulasi saluran napas

dapat menimbulkan bronkospasme. Gabungan faktor-faktor tersebut dengan atelektasis

pascabedah dan gangguan refl eks batuk akibat disfungsi otot pernapasan dapat memicu

timbulnya PPC.8

Persiapan preoperatif pasien PPOK

Manajemen preoperatif meliputi penilaian keadaan fisis umum (riwayat penyakit

paru, jantung, dan neurologik) serta terapi terhadap gejala dan tanda yang reversibel. Patologi

laparoskopi yang reversibel dapat diterapi dengan antibiotik, bronkodilator, kortikosteroid,

Page 12: Manajemen anestesi pada asien PPOK

dan sebagainya. Prinsip umum adalah fungsi paru sebaiknya dalam keadaan optimal sesuai

standar.7

Pasien dengan PPOK harus disiapkan sebelum prosedur bedah elektif dengan cara

yang sama seperti pasien dengan asma (atas). Yang harus dipertanyakan adalah tentang

perubahan terbaru dalam dyspnea, dahak, dan mengi. Pasien dengan FEV 1 kurang dari 50%

dari prediksi (1,2-1,5 L) biasanya memiliki dyspnea pada latihan, sedangkan mereka dengan

FEV 1 kurang dari 25% (<1 L pada pria) biasanya memiliki dyspnea dengan minimal

aktivitas. 7

Temuan terakhir, pada pasien dengan didominasi bronkitis kronis, juga sering terkait

dengan retensi CO 2 dan hipertensi pulmonal. PFTS, radiografi dada, dan pengukuran gas

darah arteri, jika tersedia, harus ditinjau dengan hati-hati. Adanya perubahan bulosa pada

radiograf harus diperhatikan. Banyak pasien memiliki penyakit jantung secara bersamaan dan

harus menerima evaluasi kardiovaskular secara hati-hati.7

Foto toraks diperlukan untuk evaluasi gejala. Analisis gas darah hanya bila

diperlukan, indikasinya adalah jika nilai VEP1 dan KVP<50% nilai prediksi atau nilai

VEP1< 1 liter atau nilai KVP < 1,5 liter. Pasien PPOK biasanya mengalami penurunan nilai

PaO2 dan peningkatan PaCO2 yang mengindikasikan keadaan hipoventilasi alveolar. Nilai

PaCO2>45 mmHg merupakan faktor risiko kuat terjadinya PPC.5 Nilai PaCO2>50mmHg

diperkirakan akan membutuhkan ventilasi buatan pasca bedah setelah operasi besar,

sedangkan nilai PaCO2≤45 mmHg dapat diatasi dengan terapi oksigen terkontrol dan

pengawasan ketat terhadap analisis gas darah.8

Intervensi pra operasi di pasien dengan COPD ditujukan untuk memperbaiki

hipoksemia, menghilangkan bronkospasme, memobilisasi dan mengurangi sekresi, dan

mengobati infeksi mungkin mengurangi kejadian komplikasi paru pasca operasi. Pasien

dengan risiko terbesar komplikasi adalah mereka dengan fungsi paru pra operasi pengukuran

kurang dari 50% dari prediksi. Kemungkinan bahwa ventilasi pasca operasi mungkin

diperlukan pada pasien risiko tinggi harus didiskusikan dengan kedua pasien dan dokter

bedah. Merokok harus dihentikan setidaknya 6-8 minggu sebelum operasi untuk mengurangi

sekresi dan untuk mengurangi komplikasi paru. Merokok meningkatkan produksi lendir dan

menurunnya clearance. Kedua gas dan partikulat fase asap rokok dapat menguras glutathione

dan vitamin C dan dapat mempromosikan cedera oksidatif jaringan. Penghentian merokok

untuk sesedikit 24 jam memiliki efek keuntungan secara teoritis pada oksigen yang membawa

kapasitas hemoglobin; inhalasi akut rokok akan mengeluarkan asap karbon monoksida, yang

Page 13: Manajemen anestesi pada asien PPOK

meningkatkan tingkat carboxyhemoglobin, serta oksida nitrat, dan nitrogen dioksida, yang

dapat menyebabkan pembentukan methemoglobin.7

Bronkodilator dan mukolitik long-acting harus dilanjutkan, termasuk pada hari

operasi. Eksaserbasi PPOK harus ditangani secara agresif. Fisioterapi dada pre operatif dan

intervensi ekspansi paru-paru dengan spirometri insentif, latihan pernapasan dalam, batuk,

perkusi dada, dan drainase postural mungkin menguntungkan dalam mengurangi komplikasi

paru pasca operasi.7

Pembedahan elektif dapat ditunda untuk mencapai perbaikan fungsi paru.Edukasi

preoperatif tentang teknik pernapasan dalam/spirometri insentif/ dan penggunaan continuous

positive airway pressure (CPAP) pascabedah dapat meningkatkan hasil akhir.8

Preoperative smoking abstinence

Merokok merupakan salah satu faktor risiko PPC yang khusus karena dapat

dihentikan sebelum bedah. Mungkin diperlukan beberapa bulan untuk dapat memperbaiki

kerusakan akibat asap rokok tetapi penghentian kebiasaan merokok selama beberapa minggu

sebelum dapat menurunkan risiko PPC secara bermakna. Berhenti merokok segera sebelum

bedah diduga dapat meningkatkan risiko PPC namun tidak didukung oleh bukti ilmiah.

Penurunan komplikasi pasca bedah dikatakan bermakna jika berhenti merokok selama 6

minggu prabedah. Efek toksik CO dan nikotin mulai hilang dalam 12 sampai 48 jam setelah

berhenti merokok. Reaktivitas saluran napas turun bermakna setelah 1 minggu dan setelah 2

minggu terdapat penurunan bertahap volume sputum sampai minggu ke-6. Pada 6-8 minggu

didapatkan penurunan komplikasi dan maksimal setelah 12 minggu.8

Pemilihan teknik anestesi

Gambaran klinis klasik pasien PPOK dapat dibagi menjadi dua yaitu ‘pink puffers’

dan‘blue bloaters’. Pada ‘pink puffers’ rangsang pernapasan dan nilai PaCO2 normal,

sedang-kan ‘blue bloaters’ mengalami penurunan rangsang napas dan retensi CO2.16

Pendekatananestesi disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, rencana operasi, dan setting

klinik. Masa pembedahan yang lebih singkat membantu mengurangi risiko komplikasi.8

Pendekatan anestesi minimal

Pendekatan ini dapat digunakan untuk prosedur minor seperti tindakan pada tungkai,

abdomen bawah dan perineum, permukaan tubuh lainnya. Pendekatan ini mempertahankan

ventilasi spontan sehingga menghindari risiko gangguan pemulihan pernapasan saat akhir

Page 14: Manajemen anestesi pada asien PPOK

pembedahan. Tujuan teknik ini adalah untuk menghindari intervensi pada percabangan

trakeobronkialserta untuk meminimalkan risiko depresi pernapasan. Kekurangan utama

teknik ini adalah bahaya hipoventilasi.8

Pendekatan suportif maksimal

Teknik ini meliputi relaksasi otot, intubasi trakeal, dan ventilasi terkontrol sehingga

memungkinkan pengaturan PaCO2 dan PaO2 serta bersihan mukus. Bantuan pernapasan

pasca bedah dibutuhkan sampai pengaruh obat anestesia hilang dan analgesia mencukupi.

Pendekatan ini dianjurkan untuk tindakan mayor pada abdomen dan toraks serta pasien

mengalami peningkatan PaCO2 prabedah. Sisa blokade neuromuskular pasca bedah harus

dicegah karena meningkatkan risiko PPC.8

Peran anestesi lokal dan regional

Pada pasien yang dapat berbaring datar dan menahan batuk, blok pleksus saraf

mampu menghindari efek samping pernapasan. Pasien PPOK menggunakan otot abdomen

untuk membantu ekspirasi aktif sehingga teknik neuroaksial yang menghilangkan aktivitas

tersebut dapat menimbulkan dispnea. Sedasi dapat mengganggu fungsi pernapasan.8

Teknik laparoskopik

Teknik laparoskopik perlu dipertimbangkan jika mungkin. Teknik ini tidak banyak

mengganggu fungsi/kerja dinding dada dibandingkan pembedahan terbuka, namun nilai

spirometri masih terganggu pasca tindakan abdomen, mungkin karena terangsangnya aferen

viseral sehingga menghambat refl eks diafragma. Insuflasi abdomen yang merupakan syarat

laparosparukopi juga dapat mengganggu pernapasan pasien.8

Pencegahan dan terapi bronkospasme

Pada pasien dengan saluran napas yang reaktif, bronkospasme harus dicegah. Salah

satu cara adalah dengan mengatasi inflamasi saluran napas yang ada. Dapat diberikan inhalasi

agonis β2-adrenergik atau antikolinergik preoperatif, terutama jika merencanakan intubasi

trakea. Intubasi trakea dapat dihindari dengan menggunakan laryngeal mask atau

semacamnya, jika mungkin. Propofol, ketamin, atau anestetik volatil merupakan agen induksi

pilihan, sedangkan barbiturat kadang dapat merangsang bronkospasme. Agen tambahan

untuk meningkatkan kedalaman anestesia dan menumpulkan refl eks-refleks saluran napas

sebelum intubasi (lidokain atau opioid) dapat membantu. Pemberian lidokain laringotrakeal

Page 15: Manajemen anestesi pada asien PPOK

tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan tahanan jalan napas. Agen anestesia volatil dapat

membantu saat rumatan anestesia karena memiliki efek bronkodilatasi, kecuali desfl urane.

Bronkospasme dalam anestesia dapat menyerupai obstruksi mekanik saluran napas, tension

pneumothorax, aspirasi, dan edema paru. Penyebab utama bronkospasme intraoperatif adalah

reaksi anafi laktoid terhadap obat dan instrumentasi alat saat anestesia kurang dalam. Jika

kemungkinan reaksi anafi laktoid dapat disingkirkan, anestesia diperdalam dengan bantuan

zat anestesia volatil. Bronkospasme intraoperatif menyebabkan hiperinflasi dinamik pada

keterbatasan aliran udara ekspirasi. Penurunan tahanan jalan napas dengan zat anestesia

volatil dapat mengurangi hiperinfl asi dinamik yang terjadi.8

Tahanan jalan napas dapat tetap (perifer) atau labil (sentral). Tahanan jalan napas

sentral lebih cepat bereaksi terhadap zat anestesia volatil dan sevofl urane dibandingkan

dengan isoflurane. Obat-obatan intravena seperti propofol dapat digunakan untuk

memperdalam anestesia secara cepat. Agonis β2 inhalasi dapat diberikan melalui tube

endotrakeal. Pada bronkospasme yang berat, pemberian agonis adrenergik intravena seperti

epinefrin dapat dilakukan untuk memberikan rangsang yang cukup ada reseptor beta-

adrenergik saluran napas. Kortikosteroid intravena berperan dalam pencegahan rekurensi

karena butuh waktu beberapa jam sebelum berkerja maksimal. Aminofilin intravena

umumnya telah ditinggalkan pada terapi bronkospasme intravena.8

Anestesi umum dengan ventilasi mekanik

Preoksigenasi sebelum induksi anestesi umum mencegah desaturasi oksigen yang

cepat sering terlihat pada pasien-pasien ini. Pilihan agen anestesi dan manajemen

intraoperatif umum harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dan tujuan dari setiap

pasien. Sayangnya, penggunaan bronkodilatasi anestesi meningkatkan hanya komponen

reversibel obstruksi aliran udara; Obstruksi ekspirasi yang signifikan mungkin masih ada,

bahkan di bawah anestesi yang dalam. Keterbatasan aliran udara ekspirasi, terutama di bawah

ventilasi tekanan positif, dapat menyebabkan perangkap udara, hyperinflasi dinamis, dan

peninggian tekanan akhir ekspirasi intrinsik positif (iPEEP). Hyperinflasi Dinamis dapat

mengakibatkan volutrauma ke paru-paru, ketidakstabilan hemodinamik, hiperkapnia, dan

asidosis. Intervensi untuk mengurangi perangkap udara meliputi: (1) memungkinkan lebih

banyak waktu untuk menghembuskan napas oleh penurunan baik tingkat pernapasan dan I: E

rasio; (2) memungkinkan hiperkapnia permisif; (3) menerapkan rendahnya tingkat PEEP

ekstrinsik; dan (4) mengobati bronkospasme secara agresif.7

Page 16: Manajemen anestesi pada asien PPOK

Pasien dengan hiperinflasi kronik memiliki risiko atelektasis dependen yang lebih

rendah. Fungsi diafragma mampu dipertahankan baik selama anestesia karena terdapat

fenomena ‘length adaptation’ sehingga hanya mengalami sedikit penurunan pertukaran gas.

Oleh karena itu, anestesi umum dengann ventilasi terkontrol tetap dapat dilakukan pada

pasien PPOK dengan tetap memperhatikan pola ventilasi pasien. Target ventilasi mekanik

terkontrol pasien PPOK meminimalkan hiperinfl asi dinamik sangat penting pada manajemen

pasien PPOK. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa strategi berikut:

(1) menurunkan ventilasi per menit dengan menurunkan volume tidal, frekuensi

pernapasan, dan kebutuhan ventilasi dengan menerima hiperkapnia dan asidemia ringan.

(2) penentu utama hiperinflasi dinamik adalah waktu ekspirasi absolut. Pasien dengan

obstruksi di paru membutuhkan waktu 3 detik atau lebih untuk ekspirasi sempurna dan

pengaturan ventilator yang tidak memfasilitasi waktu ekspirasi ini akan memperberat

hiperinfl asi dinamik. Saat melakukan ventilasi satu paru untuk pembedahan toraks, frekuensi

pernapasan yang rendah, memperpanjang masa ekspirasi dan ventilasi per menit dapat

menurunkan PEEP dan hiperkapnia. Memperpanjang masa ekspirasi dapat dicapai dengan

meningkatkan meningkatkan aliran inspirasi sehingga meningkatkan puncak tekanan dinamik

dan mengurangi end-inspiratory pause time. Puncak tekanan dinamik yang biasanya

digunakan untuk memantau komplikasi saat ventilasi mekanik seperti barotrauma dan

gangguan hemodinamik tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien PPOK karena bisa

terjadi kesalahan.

(3) menurunkan tahanan ekspirasi dengan penggunaan bronkodilator, kortikosteroid, heliox,

tube ventilator bertahanan rendah dan berkatup, dapat membantuk mengurangi hiperinflasi

dinamik. Jika mungkin, ketiga strategi tersebut dilakukan secara simultan. Manuver

rekrutmen, yang terdiri dari pemberian tekanan tinggi pada jalan napas (30-40 cmH2O)

selama 8-15 detik, diikuti oleh positive end-expiratory pressure [PEEP] dan membatasi fraksi

oksigen inspirasi dapat meminimalkan atelektasis dependen dan meningkatkan oksigenasi

intraoperatif. Pada pasien PPOK, penggunaan PEEP mendekati nilai PEEP dapat mengurangi

kerja pernapasan tanpa meningkatkan hiperinflasi dinamik.

Evaluasi kecukupan penerapan strategi tersebut dalam usaha mengurangi hiperinflasi

dinamik dapat dilakukan dengan mengukur volume gas yang terjebak dalam paru pada akhir

ekspirasi, dan menilai static end-inspiratory plateau pressure. Menilai penutupan saluran

napas pada akhir ekspirasi dan membandingkannya dengan pengaturan PEEP ekstrinsik dapat

memastikan adanya serta nilai PEEPi. Parameter hemodinamik (tekanan arterial, frekuensi

nadi, produksi urin) biasanya membaik dengan penurunan hiperinflasi dinamik.8

Page 17: Manajemen anestesi pada asien PPOK

Nitrous oxide harus dihindari pada pasien dengan bula dan hipertensi pulmonal.

Inhibisi dari hipoksia vasokonstriksi paru jika terhirup anestesi biasanya tidak secara klinis

tidak bisa signifikan pada dosis biasa. Namun, karena meningkatnya ruang mati, pasien

dengan PPOK berat memiliki serapan dan distribusi agen inhalasi yang tidak terduga, dan

konsentrasi anestesi end-tidal stabil yang tidak akurat. 7

Pengukuran gas darah arteri yang diinginkan untuk prosedur intraabdominal luas dan

dada . Meskipun oksimetri akurat mendeteksi desaturasi arteri, pengukuran tekanan oksigen

arteri secara langsung mungkin diperlukan untuk mendeteksi perubahan yang lebih halus di

intrapulmonary shunting. Selain itu, pengukuran CO 2 arteri harus digunakan untuk

memandu ventilasi karena peningkatan ruang mati melebar pada arteri normal ke gradien

tidal CO 2. Hiperkapnia moderat dengan Pa co 2 hingga 70 mm Hg dapat ditoleransi dengan

baik dalam jangka pendek, dengan asumsi cadangan kardiovaskular wajar.7

Dukungan hemodinamik dengan agen inotropik mungkin diperlukan lebih

dikompromikan pasien. Pemantauan hemodinamik harus didikte oleh disfungsi jantung yang

mendasari, serta sebagai tingkat operasi. Pada pasien dengan hipertensi pulmonal,

pengukuran tekanan vena sentral menggambarkan fungsi ventrikel kanan daripada volume

intravaskular.7

Pemantauan bentuk kurva pernapasan ventilator pada pasien PPOK

Tampilan bentuk kurva pernapasan ventilatoryang kontinyu dapat membantu

mendeteksi dan memantau perubahan patofi silogik, optimalisasi setting ventilator dan terapi,

menentukan efektivitas setting ventilator dan meminimalkan risiko terjadinya komplikasi

akibat ventilator. Kurva laju aliran udara, volume, dan tekanan jalan napas dapat

mengidentifikasi berbagai aspek interaksi ventilator sehingga dapat membantu mendeteksi

adanya hiperinfl asi dinamik. Adanya aliran udara saat akhir ekspirasi biasa menandakan

bahwa aliran tersebut didorong oleh rekoil elastik positif pada akhir ekspirasi sistem

pernapasan (PEEPi).

Kurva laju aliran udara dan volume dapat digunakan untuk memperkirakan volume

udara paru pada akhir ekspirasi (air trapping). Volume udara ekspirasi saat apnea lama

(mencapai 40 detik) dapat digunakan untuk mengukur volume gas yang terjebak diluar dari

KRF (air trapping). Total volume ekhalasi diukur mulai dari akhir inspirasi sampai tidak

terdeteksi adanya perubahan volume lagi. Perbedaan volume pada akhir inspirasi (VE1) dan

Page 18: Manajemen anestesi pada asien PPOK

volume tidal mewakili nilai volume air trapping (Vtrap). Perkiraan volumen air trapping

saat akhir ekspirasi membantu menilai kecukupan setting ventilator.8

Perawatan pasca bedah

Pada akhir operasi, waktu ekstubasi harus menyeimbangkan risiko bronkospasme

dengan kegagalan pernapasan, tetapi bukti menunjukkan bahwa ekstubasi awal (di ruang

operasi) memiliki keuntungan. Ekstubasi sukses pada akhir prosedur tergantung pada

beberapa faktor: kontrol nyeri yang memadai, pembalikan blokade neuromuskular, tidak

adanya bronkospasme dan sekresi yang signifikan, tidak adanya hiperkapnia dan asidosis

yang signifikan, dan tidak adanya depresi pernapasan akibat sisa agen anestesi. Pasien dengan

FEV1 di bawah 50% mungkin memerlukan periode ventilasi pasca operasi, terutama berikut

operasi perut dan dada bagian atas.7

Hipoksemia pascabedah dapat terjadi akibat depresi pernapasan dan penurunan KVP

akibat pirau dan atelektasis. Hal ini dapat memicu terjadinya PPC sehingga perlu dihindari.

Depresi pernapasan pada pasien PPOK dapat diperberat dengan menurunnya rangsang napas

akibat penurunkan kadarCO2 dan penutupan saluran napas. Pasien seperti ini memerlukan

pemantauan ketatdengan pulse oxymetry, analisis gas darah, dan pemeriksaan fisik serta

radiologis berulang.8

Analgesia Regional

Meskipun anestesi regional adalah sering dianggap lebih baik untuk anestesi umum,

spinal tinggi atau epidural anestesi dapat menurunkan volume paru-paru, membatasi

penggunaan otot pernapasan aksesori, dan menghasilkan batuk yang inefektif, yang mengarah

ke dyspnea dan retensi sekresi. Kehilangan proprioception dari posisi dada dan seperti

litotomi atau lateral decubitus dapat menonjolkan dyspnea pada pasien yang bangun.

Kekhawatiran tentang kelumpuhan diafragma mungkin membuat interscalene blok pilihan

yang kurang menarik di pasien penyakit paru-paru. 7

Secara teoritis, analgesia regional dapat mengatasi faktor nyeri sehingga dapat

menimbulkan gangguan kerja otot pernapasan yang persisten pascabedah. Namun demikian,

sebagian besar teknik analgesia regional juga memblokade aferen viseral sebagian sehingga

menghambat refleks diafragma. Teknik regional analgesia tidak dapat mengembalikan fungsi

otot pernapasan secara sempurna dan menormalkan gerakan dinding dada. Penelitian juga

sudah menunjukkan bahwa analgesia epidural yang baik pun tidak dapat menormalkan fungsi

Page 19: Manajemen anestesi pada asien PPOK

otot diafragma pascabedah. Sampai saat ini belum terdapat bukti ilmiah yang cukup untuk

menyimpulkan apakah analgesia regional dapat menurunkan insidens PPC.

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah pengaruh analgesia regional

mengurangi fungsi otot pernapasan pada pasien yang sudah memiliki gangguan pernapasan

seperti pasien PPOK. Berkurangnya fungsi otot-otot ekspirasi akibat teknik neuroaksial

menggunakan anestesi lokal, atau paralisis diafragma unilateral oleh blok nervus

interskalenus sulit ditoleransi pasienpasien tersebut.5,17 Dilain pihak, analgesia yang baik

dapat menguntungkan karena mampu mempercepat mobilisasi sehingga tidak perlu

dikontraindikasikan pada pasienpasien dengan gangguan respirasi.17Dalam

mempertimbangkan risiko/manfaat penerapan analgesia regional sebaiknya tidak untuk

mengharapkan perbaikan fungsi paru.8

Dekompresi nasogastrik

Dekompresi nasogastrik setelah pembedahan abdomen dilakukan untuk mengatasi

mual dan muntah pascabedah, ketidakmampuan makan, atau distensi abdomen simptomatik,

mengurangi risiko pneumonia dan atelektasis tanpa mempengaruhi parameter fungsi gaster.

Drainase nasogastrik meningkatkan risiko silent bronchoaspirasi sehingga sebaiknya

dilakukan secara selektif.8

Page 20: Manajemen anestesi pada asien PPOK

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter paru Indonesia (PDPI). 2003. Pneumonia Komuniti Pedoman

Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

diagnosis dan penatalaksanaan. Edisi ke-1. Jakarta

3. Soeharyo. 2007. Buku saku mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan

laboratorium pengertian, nilai normal dan interpretasi. Jogjakarta: Amara Publish

4. Anthonisen N. 2007. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Di dalam: Goldman L

dan Ausiello D. Cecil Medicine. Philadelphia Elsevier.

5. Boon NA, Cumming AD, John G. 2007. Respiratory Disease. Davidson’s Principles

& Practice of Medicine, edisi XX. USA: Churchill Livingstone.

6. Kumar P dan Clark M. 2006. Respiratory disease. Clinical Medicine. Philadelphia:

Elsevier

7. Morgan. 2013. Clinical anesthesiology. USA: Mc. Graw Hill.

8. Ina Ariani. Manajemen Perioperatif Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Cermin

Dunia Kedokteran. CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014