manajemen anestesi pada asien ppok
DESCRIPTION
Referat manajemen anestesi pada pasien PPOKTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data
SEAMIC Health Statistic 2001, influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian
nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor
6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab
kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk
pneumonia dan influenza.1
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran
napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru
RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58% diantara
penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6% diantaranya kasus nontuberkulosis,
pada penderita rawat inap 58,8% kasus infeksi dan 14,6% diantaranya kasus nontuberkulosis.
Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8% kasus infeksi dan 28,6% diantaranya infeksi
nontuberkulosis.1
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai oleh
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan
dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas berbahaya.1
penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah
kesehatan global saat ini. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda di tiap negara
dan terus mengalami peningkatan. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya usia harapan
hidup rata-rata masyarakat dan semakin tingginya pajanan terhadap faktor risiko.2
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya
meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya
juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan
angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%,
dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam
sebesar 6,7%.3
Jumlah penderita PPOK pada tahun 2006 untuk wilayah Asia diperkirakan sekitar 56,6
juta dengan prevalensi 6,3%. Di Cina angka kasus mencapai 38,16 juta jiwa, sedangkan di
Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta jiwa pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa
meningkat seiring semakin banyaknya jumlah perokok, karena 90% penderita PPOK adalah
perokok atau mantan perokok.3
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya
Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-
sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di
Indonesia.2
Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini
di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000
terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat
Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat
sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118
pada wanita vs pria secara berurutan.2
Penyakit penyerta paling banyak diderita pasien PPOK adalah pneumonia (47,8%)
sesuai data Sethi (2008) yang menyebutkan bahwa bakteri yang sering ditemukan dari saluran
napas bawah pada pasien PPOK eksaserbasi adalah Haemophilus influenza, Streptococcus
pneumonia, dan Moraxella catarrhalis.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.a. PPOK
Pengertian
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan
oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada
paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya
reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap
gas atau partikel yang berbahaya.4,5
Epidemiologi
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan
suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk
kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53%
pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.
Studi prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang
berumur 18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi,
dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.4
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya
meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya
juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan
angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%,
dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam
sebesar 6,7%.4
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya
Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-
sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di
Indonesia.5
Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini
di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000
terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat
Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat
sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118
pada wanita vs pria secara berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per
100.000 populasi.6
Faktor Risiko
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan
hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul
dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat
merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari
PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan
perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status
sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.5
a.Genetik
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik yang
sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi α1
antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan
contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok
maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada
beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat
pada kromosom 2q.5
b. Paparan partikel inhalasi
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya. Tipe dari
suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan
dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap
pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama
kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang
diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang
merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental
smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada perokok
pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan
perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok
aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat
bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3
tahun pertama menjadi meningkat. Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik
bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah terlambat
didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat berdasarkan derajat
spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa
mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak mengetahui bahwa mereka menderita
penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok justru didapatkan pada penderita PPOK
sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat
merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang
sedang (7,1%, p<0,02).5
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang terkait
dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun bahan-bahan ini
tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK,
tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES III
didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena
pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada
pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK.4,
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa
serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK
khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan
progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan
bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan
sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan
kepada fungsi paru.4
a. Pertumbuhan dan perkembangan paru
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya
PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada saat dalam
kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar
didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.4
b. Stress oksidatif
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-
paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara
enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan
yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon
inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan
yang penting terhadap patogenesis PPOK.4,6
c. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada
beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada
Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan
bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat
beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap
rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih
banyak yang merupakan perokok saat ini.6
d. Infeksi
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap
patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya
inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap
terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,
dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan
peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada
PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran
nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.6
e. Status sosioekonomi dan nutrisi
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik indoor maupun
outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang berhubungan dengan kejadian
PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan status sisioekonomi.4
f. Komorbiditas
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu
penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang
dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.
Patogenesis dan Patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan
unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar
patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang
ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal
bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.5
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang
persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia,
sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan
direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling
ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan
limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam
lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel
radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.5
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari
alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (sentrilobular), emfisema
panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar (perilobular) yang sering dibahas dan skar
emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola
kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga
udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi
pada saat proses inflasi.5
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang
diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan
pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan
anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses
inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-
mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan
parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat
seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.5
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat
keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang
berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti
CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß.
Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres
oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi
netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga
terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.5
Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier
mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas
pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru.
Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi: perfusi yang
pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.
Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitasperubahan gas
yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia,
disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan
destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap
hipertensi pulmonal.5
Diagnosis
Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau produksi
sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor resiko PPOK sebaiknya dipikirkan sebagai
PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator.
Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik yang
dapat bervariasi seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK.4
Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK. Tanda fisik
hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat kerusakan yang bermakna dari
fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah.Pada
inspeksi dapat di temukan sentral sianosis, bentuk dada “barel-shaped”, takhipneu, edema
tungkai bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu
diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan
menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran nafas, dapat
dengan disertai adanya mengi.4
Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di lakukan pada
penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosa yang ada
sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis
yang paling objektif, terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran
nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi
Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras.
Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP <
0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat
keparahan dari PPOK.4
Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali adanya bulosa
pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya tanda hiperinflasi (pendataran
diafragma dan peningkatan volume udara pada rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan
peningkatan corak vaskuler paru. Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas
seperti gambaran gagal jantung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang
peranan penting.4
COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang persisten dengan
meningkatnya residual volume dan function residual capacity. Resiko anestesi adalah :
hipoksemia, hiperkarbia, bronkospasme dan peningkatan insiden Postoperative Pulmonary
Complication (PPC), termasuk atelektasis, pneumonia dan gagal nafas.7
A. Bronkitis kronis
Diagnosis klinis bronchitis kronis didefinisikan oleh adanya batuk produktif di hampir setiap
hari dalam 3 bulan berturut-turut selama setidaknya 2 tahun berturut-turut. Selain merokok,
polusi udara, paparan karena pekerjaan ke debu, dan faktor genetik sangat berperan. Pada
pasien dengan COPD, hipoksemia kronis menyebabkan ke erythrocytosis, hipertensi
pulmonal, dan akhirnya kegagalan ventrikel kanan (kor pulmonal); kombinasi temuan ini
sering disebut sebagai sindrom blue bloatter, tapi <5% dari pasien dengan COPD cocok
dengan deskripsi ini. Tentu saja dari perkembangan penyakit, pasien secara bertahap
mengembangkan retensi CO 2 kronis; ventilasi yang normal menjadi kurang sensitif terhadap
tekanan CO 2 arterial dan mungkin menurun dengan pemberian oksigen.7
B. Emfisema
Emfisema adalah gangguan patologis ditandai oleh pembesaran ireversibel saluran
udara distal pada bronkiolus terminal dan penghancuran septa alveolar. Diagnosis dapat
dibuat dengan mengandalkan computed tomography (CT) dada. Perubahan emphysematous
apikal ringan adalah normal, tetapi secara klinis tidak signifikan adalah konsekuensi dari
penuaan. Emfisema yang signifikan lebih sering berhubungan dengan rokok. Emfisema ada
yang centrilobular atau bentuk panlobular. Bentuk centrilobular (atau centriacinar) hasil dari
dilatasi atau perusakan bronkiolus pernapasan, lebih erat terkait dengan merokok tembakau,
dan mengenai sebagian besar distribusi lobus atas. Bentuk panlobular (atau panacinar) terjadi
karena dilatasi dan penghancuran seluruh acinus, terkait dengan defisiensi α 1 antitripsin, dan
memiliki didominasi distribusi lobus bawah.
Hilangnya elastisitas yang biasanya mendukung saluran udara kecil oleh traksi radial
memungkinkan keruntuhan dini selama pernafasan, yang mengarah ke keterbatasan aliran
ekspirasi dengan menjebak udara dan hyperinflasi. Pasien khas memiliki peningkatan RV,
FRC, TLC, dan RV / TLC rasio. FRC adalah pergeseran ke kanan sepanjang kurva komplians
paru-paru, menuju bagian datar kurva, merugikan mekanik paru.
Gangguan struktur alveolar-kapiler dan hilangnya struktur asinar menyebabkan
penurunan kapasitas difusi paru (DLCO), V • / Q • mismatch, dan gangguan pertukaran gas.
Juga, parenkim normal dapat menjadi dikompresi oleh hyperinflasi bagian dari paru-paru,
sehingga lebih lanjut meningkatkan V • / Q mismatch •. Karena lebih tinggi difusi dari CO 2,
eliminasi terjaga dengan baik Sampai kelainan V • / Q • menjadi parah. Retensi CO 2 Kronis
terjadi secara perlahan dan umumnya menghasilkan asidosis pernapasan terkompensasi pada
Analisis gas darah. Tekanan oksigen arteri biasanya normal atau sedikit berkurang. Akut CO
2 retensi adalah tanda kegagalan pernafasan yang akan datang.
Penghancuran kapiler paru di septa alveolar mengarah ke hipertensi pulmonal.
Namun, tingkat hipertensi pulmonal biasanya rendah sampai sedang, jarang melebihi 35-40
mm Hg. Ketika dyspnea, pasien dengan emfisema sering mengerutkan bibir mereka untuk
menunda penutupan saluran udara kecil, yang menyumbang istilah "pink puffer" yang sering
digunakan. Namun, seperti yang disebutkan di atas, kebanyakan pasien didiagnosis dengan
PPOK memiliki kombinasi bronkitis dan emphysema.7
Komplikasi Pulmoner Perioperatif (PPC)
Pasien PPOK memiliki risiko lebih tinggi atas atelektasis paru pasca bedah atau
pneumonia dan kematian. Insidens komplikasi pulmoner sangat bervariasi tergantung pada
definisi komplikasi pulmoner dan desain penelitian. Pada populasi umum, PPC dilaporkan
terjadi sekitar 5-10%, 4-22% pada pasien yang menjalani pembedahan abdomen. Pasien
PPOK (dengan VEP1≤1,2 L dan VEP1/ KVP<75%) yang menjalani pembedahan non-
kardiotorasik, insidens PPC sebesar 37% (tidak termasuk komplikasi atelektasis) dan angka
mortalitas dalam 2 tahun sebesar 47%.8
Faktor risiko independen terjadinya PPC pada pasien dewasa dengan penyakit
respirasi adalah usia lanjut, riwayat penyakit paru sebelumnya, merokok, gagal jantung
kongestif, dependensi fungsional (ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari), dan
lokasi pembedahan (pembedahan toraks dan abdomen memiliki risiko lebih besar).7 Epstein
dkk. menyusun cardiopulmonaryrisk index (CPRI) yang merupakan kombinasi indeks
kardiak Goldman yang dimodifikasi dengan faktor risiko pulmoner (kegemukan, batuk
produktif, mengi, kebiasaan merokok, VEP1/KVP<70%, dan PaCO2>45 mmHg). Pasien
dengan CPRI≥4 memiliki risiko komplikasi major pembedahan toraks 22 kali lebih besar
(p<0,0001). Wong, dkk. memperkirakan 5 macam komplikasi pascabedah pasien PPOK
derajat berat, yaitu kematian, pneumonia, intubasi lama (prolonged intubation),bronkospasme
refrakter, dan perawatan intensif lama.7 Faktor risiko preoperatif yang bermakna antara lain
ASA≥IV, skor Shapiro≥5, dan nilai VEP1, sedangkan faktor risiko intraoperatif antara lain
pembedahan emergensi, insisi abdominal, durasi anestesia lebih dari 2 jam, dan anestesi
umum. Jika sistem klasifi kasi (ASA dan skor Shapiro) dikeluarkan dari model regresi maka
nilai VEP1 menjadi satu-satunya faktor risiko preoperatif yang signifikan.8
Sistem klasifikasi dapat bermanfaat untuk menilai faktor risiko tunggal dalam
memprediksi PPC karena variabel nonpulmoner juga berperan dalam timbulnya PPC.
Pneumonia pasca bedah, intubasi lama pasca bedah, dan mortalitas yang lebih tinggi
dikaitkan dengan ASA yang lebih tinggi. Klasifikasi ASA sebaiknya dimasukkan dalam
model regresi yang digunakan untuk memprediksi insiden PPC.
Etiologi PPC
Pada pasien dengan gangguan respirasi, terdapat banyak kausa yang potensial
menimbulkan PPC. Anestesi dapat menimbulkan gangguan koordinasi otot dinding dada yang
memfasilitasi pernapasan (otot diafragma, otot-otot interkostal, dan otot-otot
abdomen).Induksi anestesi dapat menurunkan KRF yang dapat memicu terjadinya atelektasis
serta gangguan pertukaran gas walaupun pada pasien PPOK sudah terdapat PEEPi sebagai
usaha proteksi terhadap atelektasis.8
Pada periode pasca bedah, perubahan fungsi dinding dada akibat anestesi tetap
berlangsung. Gangguan mekanika otot abdomen dan dada intraoperatif mengganggu fungsi
otot pasca bedah, nyeri menyebabkan restriksi dinding dada dan stimulasi serabut aferen
viseral menyebabkan inhibisi refleks inspirasi pada diafragma.Gangguan refleks saluran
napas atas dapat menyebabkan pemanjangan masa intubasi atau gangguan reversal blokade
neuromuskular sehingga meningkatkan risiko aspirasi dan pneumonia terutama pada pasien
usia tua.8
Pada pasien PPOK yang merokok, sudah terdapat gangguan mekanisme pertahanan
paru terhadap infeksi seperti gangguan transpor mukosilier dan fungsi makrofag alveolar.
Anestesia dan pembedahan dapat memperberat gangguan tersebut.14Manipulasi saluran napas
dapat menimbulkan bronkospasme. Gabungan faktor-faktor tersebut dengan atelektasis
pascabedah dan gangguan refl eks batuk akibat disfungsi otot pernapasan dapat memicu
timbulnya PPC.8
Persiapan preoperatif pasien PPOK
Manajemen preoperatif meliputi penilaian keadaan fisis umum (riwayat penyakit
paru, jantung, dan neurologik) serta terapi terhadap gejala dan tanda yang reversibel. Patologi
laparoskopi yang reversibel dapat diterapi dengan antibiotik, bronkodilator, kortikosteroid,
dan sebagainya. Prinsip umum adalah fungsi paru sebaiknya dalam keadaan optimal sesuai
standar.7
Pasien dengan PPOK harus disiapkan sebelum prosedur bedah elektif dengan cara
yang sama seperti pasien dengan asma (atas). Yang harus dipertanyakan adalah tentang
perubahan terbaru dalam dyspnea, dahak, dan mengi. Pasien dengan FEV 1 kurang dari 50%
dari prediksi (1,2-1,5 L) biasanya memiliki dyspnea pada latihan, sedangkan mereka dengan
FEV 1 kurang dari 25% (<1 L pada pria) biasanya memiliki dyspnea dengan minimal
aktivitas. 7
Temuan terakhir, pada pasien dengan didominasi bronkitis kronis, juga sering terkait
dengan retensi CO 2 dan hipertensi pulmonal. PFTS, radiografi dada, dan pengukuran gas
darah arteri, jika tersedia, harus ditinjau dengan hati-hati. Adanya perubahan bulosa pada
radiograf harus diperhatikan. Banyak pasien memiliki penyakit jantung secara bersamaan dan
harus menerima evaluasi kardiovaskular secara hati-hati.7
Foto toraks diperlukan untuk evaluasi gejala. Analisis gas darah hanya bila
diperlukan, indikasinya adalah jika nilai VEP1 dan KVP<50% nilai prediksi atau nilai
VEP1< 1 liter atau nilai KVP < 1,5 liter. Pasien PPOK biasanya mengalami penurunan nilai
PaO2 dan peningkatan PaCO2 yang mengindikasikan keadaan hipoventilasi alveolar. Nilai
PaCO2>45 mmHg merupakan faktor risiko kuat terjadinya PPC.5 Nilai PaCO2>50mmHg
diperkirakan akan membutuhkan ventilasi buatan pasca bedah setelah operasi besar,
sedangkan nilai PaCO2≤45 mmHg dapat diatasi dengan terapi oksigen terkontrol dan
pengawasan ketat terhadap analisis gas darah.8
Intervensi pra operasi di pasien dengan COPD ditujukan untuk memperbaiki
hipoksemia, menghilangkan bronkospasme, memobilisasi dan mengurangi sekresi, dan
mengobati infeksi mungkin mengurangi kejadian komplikasi paru pasca operasi. Pasien
dengan risiko terbesar komplikasi adalah mereka dengan fungsi paru pra operasi pengukuran
kurang dari 50% dari prediksi. Kemungkinan bahwa ventilasi pasca operasi mungkin
diperlukan pada pasien risiko tinggi harus didiskusikan dengan kedua pasien dan dokter
bedah. Merokok harus dihentikan setidaknya 6-8 minggu sebelum operasi untuk mengurangi
sekresi dan untuk mengurangi komplikasi paru. Merokok meningkatkan produksi lendir dan
menurunnya clearance. Kedua gas dan partikulat fase asap rokok dapat menguras glutathione
dan vitamin C dan dapat mempromosikan cedera oksidatif jaringan. Penghentian merokok
untuk sesedikit 24 jam memiliki efek keuntungan secara teoritis pada oksigen yang membawa
kapasitas hemoglobin; inhalasi akut rokok akan mengeluarkan asap karbon monoksida, yang
meningkatkan tingkat carboxyhemoglobin, serta oksida nitrat, dan nitrogen dioksida, yang
dapat menyebabkan pembentukan methemoglobin.7
Bronkodilator dan mukolitik long-acting harus dilanjutkan, termasuk pada hari
operasi. Eksaserbasi PPOK harus ditangani secara agresif. Fisioterapi dada pre operatif dan
intervensi ekspansi paru-paru dengan spirometri insentif, latihan pernapasan dalam, batuk,
perkusi dada, dan drainase postural mungkin menguntungkan dalam mengurangi komplikasi
paru pasca operasi.7
Pembedahan elektif dapat ditunda untuk mencapai perbaikan fungsi paru.Edukasi
preoperatif tentang teknik pernapasan dalam/spirometri insentif/ dan penggunaan continuous
positive airway pressure (CPAP) pascabedah dapat meningkatkan hasil akhir.8
Preoperative smoking abstinence
Merokok merupakan salah satu faktor risiko PPC yang khusus karena dapat
dihentikan sebelum bedah. Mungkin diperlukan beberapa bulan untuk dapat memperbaiki
kerusakan akibat asap rokok tetapi penghentian kebiasaan merokok selama beberapa minggu
sebelum dapat menurunkan risiko PPC secara bermakna. Berhenti merokok segera sebelum
bedah diduga dapat meningkatkan risiko PPC namun tidak didukung oleh bukti ilmiah.
Penurunan komplikasi pasca bedah dikatakan bermakna jika berhenti merokok selama 6
minggu prabedah. Efek toksik CO dan nikotin mulai hilang dalam 12 sampai 48 jam setelah
berhenti merokok. Reaktivitas saluran napas turun bermakna setelah 1 minggu dan setelah 2
minggu terdapat penurunan bertahap volume sputum sampai minggu ke-6. Pada 6-8 minggu
didapatkan penurunan komplikasi dan maksimal setelah 12 minggu.8
Pemilihan teknik anestesi
Gambaran klinis klasik pasien PPOK dapat dibagi menjadi dua yaitu ‘pink puffers’
dan‘blue bloaters’. Pada ‘pink puffers’ rangsang pernapasan dan nilai PaCO2 normal,
sedang-kan ‘blue bloaters’ mengalami penurunan rangsang napas dan retensi CO2.16
Pendekatananestesi disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, rencana operasi, dan setting
klinik. Masa pembedahan yang lebih singkat membantu mengurangi risiko komplikasi.8
Pendekatan anestesi minimal
Pendekatan ini dapat digunakan untuk prosedur minor seperti tindakan pada tungkai,
abdomen bawah dan perineum, permukaan tubuh lainnya. Pendekatan ini mempertahankan
ventilasi spontan sehingga menghindari risiko gangguan pemulihan pernapasan saat akhir
pembedahan. Tujuan teknik ini adalah untuk menghindari intervensi pada percabangan
trakeobronkialserta untuk meminimalkan risiko depresi pernapasan. Kekurangan utama
teknik ini adalah bahaya hipoventilasi.8
Pendekatan suportif maksimal
Teknik ini meliputi relaksasi otot, intubasi trakeal, dan ventilasi terkontrol sehingga
memungkinkan pengaturan PaCO2 dan PaO2 serta bersihan mukus. Bantuan pernapasan
pasca bedah dibutuhkan sampai pengaruh obat anestesia hilang dan analgesia mencukupi.
Pendekatan ini dianjurkan untuk tindakan mayor pada abdomen dan toraks serta pasien
mengalami peningkatan PaCO2 prabedah. Sisa blokade neuromuskular pasca bedah harus
dicegah karena meningkatkan risiko PPC.8
Peran anestesi lokal dan regional
Pada pasien yang dapat berbaring datar dan menahan batuk, blok pleksus saraf
mampu menghindari efek samping pernapasan. Pasien PPOK menggunakan otot abdomen
untuk membantu ekspirasi aktif sehingga teknik neuroaksial yang menghilangkan aktivitas
tersebut dapat menimbulkan dispnea. Sedasi dapat mengganggu fungsi pernapasan.8
Teknik laparoskopik
Teknik laparoskopik perlu dipertimbangkan jika mungkin. Teknik ini tidak banyak
mengganggu fungsi/kerja dinding dada dibandingkan pembedahan terbuka, namun nilai
spirometri masih terganggu pasca tindakan abdomen, mungkin karena terangsangnya aferen
viseral sehingga menghambat refl eks diafragma. Insuflasi abdomen yang merupakan syarat
laparosparukopi juga dapat mengganggu pernapasan pasien.8
Pencegahan dan terapi bronkospasme
Pada pasien dengan saluran napas yang reaktif, bronkospasme harus dicegah. Salah
satu cara adalah dengan mengatasi inflamasi saluran napas yang ada. Dapat diberikan inhalasi
agonis β2-adrenergik atau antikolinergik preoperatif, terutama jika merencanakan intubasi
trakea. Intubasi trakea dapat dihindari dengan menggunakan laryngeal mask atau
semacamnya, jika mungkin. Propofol, ketamin, atau anestetik volatil merupakan agen induksi
pilihan, sedangkan barbiturat kadang dapat merangsang bronkospasme. Agen tambahan
untuk meningkatkan kedalaman anestesia dan menumpulkan refl eks-refleks saluran napas
sebelum intubasi (lidokain atau opioid) dapat membantu. Pemberian lidokain laringotrakeal
tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan tahanan jalan napas. Agen anestesia volatil dapat
membantu saat rumatan anestesia karena memiliki efek bronkodilatasi, kecuali desfl urane.
Bronkospasme dalam anestesia dapat menyerupai obstruksi mekanik saluran napas, tension
pneumothorax, aspirasi, dan edema paru. Penyebab utama bronkospasme intraoperatif adalah
reaksi anafi laktoid terhadap obat dan instrumentasi alat saat anestesia kurang dalam. Jika
kemungkinan reaksi anafi laktoid dapat disingkirkan, anestesia diperdalam dengan bantuan
zat anestesia volatil. Bronkospasme intraoperatif menyebabkan hiperinflasi dinamik pada
keterbatasan aliran udara ekspirasi. Penurunan tahanan jalan napas dengan zat anestesia
volatil dapat mengurangi hiperinfl asi dinamik yang terjadi.8
Tahanan jalan napas dapat tetap (perifer) atau labil (sentral). Tahanan jalan napas
sentral lebih cepat bereaksi terhadap zat anestesia volatil dan sevofl urane dibandingkan
dengan isoflurane. Obat-obatan intravena seperti propofol dapat digunakan untuk
memperdalam anestesia secara cepat. Agonis β2 inhalasi dapat diberikan melalui tube
endotrakeal. Pada bronkospasme yang berat, pemberian agonis adrenergik intravena seperti
epinefrin dapat dilakukan untuk memberikan rangsang yang cukup ada reseptor beta-
adrenergik saluran napas. Kortikosteroid intravena berperan dalam pencegahan rekurensi
karena butuh waktu beberapa jam sebelum berkerja maksimal. Aminofilin intravena
umumnya telah ditinggalkan pada terapi bronkospasme intravena.8
Anestesi umum dengan ventilasi mekanik
Preoksigenasi sebelum induksi anestesi umum mencegah desaturasi oksigen yang
cepat sering terlihat pada pasien-pasien ini. Pilihan agen anestesi dan manajemen
intraoperatif umum harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dan tujuan dari setiap
pasien. Sayangnya, penggunaan bronkodilatasi anestesi meningkatkan hanya komponen
reversibel obstruksi aliran udara; Obstruksi ekspirasi yang signifikan mungkin masih ada,
bahkan di bawah anestesi yang dalam. Keterbatasan aliran udara ekspirasi, terutama di bawah
ventilasi tekanan positif, dapat menyebabkan perangkap udara, hyperinflasi dinamis, dan
peninggian tekanan akhir ekspirasi intrinsik positif (iPEEP). Hyperinflasi Dinamis dapat
mengakibatkan volutrauma ke paru-paru, ketidakstabilan hemodinamik, hiperkapnia, dan
asidosis. Intervensi untuk mengurangi perangkap udara meliputi: (1) memungkinkan lebih
banyak waktu untuk menghembuskan napas oleh penurunan baik tingkat pernapasan dan I: E
rasio; (2) memungkinkan hiperkapnia permisif; (3) menerapkan rendahnya tingkat PEEP
ekstrinsik; dan (4) mengobati bronkospasme secara agresif.7
Pasien dengan hiperinflasi kronik memiliki risiko atelektasis dependen yang lebih
rendah. Fungsi diafragma mampu dipertahankan baik selama anestesia karena terdapat
fenomena ‘length adaptation’ sehingga hanya mengalami sedikit penurunan pertukaran gas.
Oleh karena itu, anestesi umum dengann ventilasi terkontrol tetap dapat dilakukan pada
pasien PPOK dengan tetap memperhatikan pola ventilasi pasien. Target ventilasi mekanik
terkontrol pasien PPOK meminimalkan hiperinfl asi dinamik sangat penting pada manajemen
pasien PPOK. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa strategi berikut:
(1) menurunkan ventilasi per menit dengan menurunkan volume tidal, frekuensi
pernapasan, dan kebutuhan ventilasi dengan menerima hiperkapnia dan asidemia ringan.
(2) penentu utama hiperinflasi dinamik adalah waktu ekspirasi absolut. Pasien dengan
obstruksi di paru membutuhkan waktu 3 detik atau lebih untuk ekspirasi sempurna dan
pengaturan ventilator yang tidak memfasilitasi waktu ekspirasi ini akan memperberat
hiperinfl asi dinamik. Saat melakukan ventilasi satu paru untuk pembedahan toraks, frekuensi
pernapasan yang rendah, memperpanjang masa ekspirasi dan ventilasi per menit dapat
menurunkan PEEP dan hiperkapnia. Memperpanjang masa ekspirasi dapat dicapai dengan
meningkatkan meningkatkan aliran inspirasi sehingga meningkatkan puncak tekanan dinamik
dan mengurangi end-inspiratory pause time. Puncak tekanan dinamik yang biasanya
digunakan untuk memantau komplikasi saat ventilasi mekanik seperti barotrauma dan
gangguan hemodinamik tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien PPOK karena bisa
terjadi kesalahan.
(3) menurunkan tahanan ekspirasi dengan penggunaan bronkodilator, kortikosteroid, heliox,
tube ventilator bertahanan rendah dan berkatup, dapat membantuk mengurangi hiperinflasi
dinamik. Jika mungkin, ketiga strategi tersebut dilakukan secara simultan. Manuver
rekrutmen, yang terdiri dari pemberian tekanan tinggi pada jalan napas (30-40 cmH2O)
selama 8-15 detik, diikuti oleh positive end-expiratory pressure [PEEP] dan membatasi fraksi
oksigen inspirasi dapat meminimalkan atelektasis dependen dan meningkatkan oksigenasi
intraoperatif. Pada pasien PPOK, penggunaan PEEP mendekati nilai PEEP dapat mengurangi
kerja pernapasan tanpa meningkatkan hiperinflasi dinamik.
Evaluasi kecukupan penerapan strategi tersebut dalam usaha mengurangi hiperinflasi
dinamik dapat dilakukan dengan mengukur volume gas yang terjebak dalam paru pada akhir
ekspirasi, dan menilai static end-inspiratory plateau pressure. Menilai penutupan saluran
napas pada akhir ekspirasi dan membandingkannya dengan pengaturan PEEP ekstrinsik dapat
memastikan adanya serta nilai PEEPi. Parameter hemodinamik (tekanan arterial, frekuensi
nadi, produksi urin) biasanya membaik dengan penurunan hiperinflasi dinamik.8
Nitrous oxide harus dihindari pada pasien dengan bula dan hipertensi pulmonal.
Inhibisi dari hipoksia vasokonstriksi paru jika terhirup anestesi biasanya tidak secara klinis
tidak bisa signifikan pada dosis biasa. Namun, karena meningkatnya ruang mati, pasien
dengan PPOK berat memiliki serapan dan distribusi agen inhalasi yang tidak terduga, dan
konsentrasi anestesi end-tidal stabil yang tidak akurat. 7
Pengukuran gas darah arteri yang diinginkan untuk prosedur intraabdominal luas dan
dada . Meskipun oksimetri akurat mendeteksi desaturasi arteri, pengukuran tekanan oksigen
arteri secara langsung mungkin diperlukan untuk mendeteksi perubahan yang lebih halus di
intrapulmonary shunting. Selain itu, pengukuran CO 2 arteri harus digunakan untuk
memandu ventilasi karena peningkatan ruang mati melebar pada arteri normal ke gradien
tidal CO 2. Hiperkapnia moderat dengan Pa co 2 hingga 70 mm Hg dapat ditoleransi dengan
baik dalam jangka pendek, dengan asumsi cadangan kardiovaskular wajar.7
Dukungan hemodinamik dengan agen inotropik mungkin diperlukan lebih
dikompromikan pasien. Pemantauan hemodinamik harus didikte oleh disfungsi jantung yang
mendasari, serta sebagai tingkat operasi. Pada pasien dengan hipertensi pulmonal,
pengukuran tekanan vena sentral menggambarkan fungsi ventrikel kanan daripada volume
intravaskular.7
Pemantauan bentuk kurva pernapasan ventilator pada pasien PPOK
Tampilan bentuk kurva pernapasan ventilatoryang kontinyu dapat membantu
mendeteksi dan memantau perubahan patofi silogik, optimalisasi setting ventilator dan terapi,
menentukan efektivitas setting ventilator dan meminimalkan risiko terjadinya komplikasi
akibat ventilator. Kurva laju aliran udara, volume, dan tekanan jalan napas dapat
mengidentifikasi berbagai aspek interaksi ventilator sehingga dapat membantu mendeteksi
adanya hiperinfl asi dinamik. Adanya aliran udara saat akhir ekspirasi biasa menandakan
bahwa aliran tersebut didorong oleh rekoil elastik positif pada akhir ekspirasi sistem
pernapasan (PEEPi).
Kurva laju aliran udara dan volume dapat digunakan untuk memperkirakan volume
udara paru pada akhir ekspirasi (air trapping). Volume udara ekspirasi saat apnea lama
(mencapai 40 detik) dapat digunakan untuk mengukur volume gas yang terjebak diluar dari
KRF (air trapping). Total volume ekhalasi diukur mulai dari akhir inspirasi sampai tidak
terdeteksi adanya perubahan volume lagi. Perbedaan volume pada akhir inspirasi (VE1) dan
volume tidal mewakili nilai volume air trapping (Vtrap). Perkiraan volumen air trapping
saat akhir ekspirasi membantu menilai kecukupan setting ventilator.8
Perawatan pasca bedah
Pada akhir operasi, waktu ekstubasi harus menyeimbangkan risiko bronkospasme
dengan kegagalan pernapasan, tetapi bukti menunjukkan bahwa ekstubasi awal (di ruang
operasi) memiliki keuntungan. Ekstubasi sukses pada akhir prosedur tergantung pada
beberapa faktor: kontrol nyeri yang memadai, pembalikan blokade neuromuskular, tidak
adanya bronkospasme dan sekresi yang signifikan, tidak adanya hiperkapnia dan asidosis
yang signifikan, dan tidak adanya depresi pernapasan akibat sisa agen anestesi. Pasien dengan
FEV1 di bawah 50% mungkin memerlukan periode ventilasi pasca operasi, terutama berikut
operasi perut dan dada bagian atas.7
Hipoksemia pascabedah dapat terjadi akibat depresi pernapasan dan penurunan KVP
akibat pirau dan atelektasis. Hal ini dapat memicu terjadinya PPC sehingga perlu dihindari.
Depresi pernapasan pada pasien PPOK dapat diperberat dengan menurunnya rangsang napas
akibat penurunkan kadarCO2 dan penutupan saluran napas. Pasien seperti ini memerlukan
pemantauan ketatdengan pulse oxymetry, analisis gas darah, dan pemeriksaan fisik serta
radiologis berulang.8
Analgesia Regional
Meskipun anestesi regional adalah sering dianggap lebih baik untuk anestesi umum,
spinal tinggi atau epidural anestesi dapat menurunkan volume paru-paru, membatasi
penggunaan otot pernapasan aksesori, dan menghasilkan batuk yang inefektif, yang mengarah
ke dyspnea dan retensi sekresi. Kehilangan proprioception dari posisi dada dan seperti
litotomi atau lateral decubitus dapat menonjolkan dyspnea pada pasien yang bangun.
Kekhawatiran tentang kelumpuhan diafragma mungkin membuat interscalene blok pilihan
yang kurang menarik di pasien penyakit paru-paru. 7
Secara teoritis, analgesia regional dapat mengatasi faktor nyeri sehingga dapat
menimbulkan gangguan kerja otot pernapasan yang persisten pascabedah. Namun demikian,
sebagian besar teknik analgesia regional juga memblokade aferen viseral sebagian sehingga
menghambat refleks diafragma. Teknik regional analgesia tidak dapat mengembalikan fungsi
otot pernapasan secara sempurna dan menormalkan gerakan dinding dada. Penelitian juga
sudah menunjukkan bahwa analgesia epidural yang baik pun tidak dapat menormalkan fungsi
otot diafragma pascabedah. Sampai saat ini belum terdapat bukti ilmiah yang cukup untuk
menyimpulkan apakah analgesia regional dapat menurunkan insidens PPC.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah pengaruh analgesia regional
mengurangi fungsi otot pernapasan pada pasien yang sudah memiliki gangguan pernapasan
seperti pasien PPOK. Berkurangnya fungsi otot-otot ekspirasi akibat teknik neuroaksial
menggunakan anestesi lokal, atau paralisis diafragma unilateral oleh blok nervus
interskalenus sulit ditoleransi pasienpasien tersebut.5,17 Dilain pihak, analgesia yang baik
dapat menguntungkan karena mampu mempercepat mobilisasi sehingga tidak perlu
dikontraindikasikan pada pasienpasien dengan gangguan respirasi.17Dalam
mempertimbangkan risiko/manfaat penerapan analgesia regional sebaiknya tidak untuk
mengharapkan perbaikan fungsi paru.8
Dekompresi nasogastrik
Dekompresi nasogastrik setelah pembedahan abdomen dilakukan untuk mengatasi
mual dan muntah pascabedah, ketidakmampuan makan, atau distensi abdomen simptomatik,
mengurangi risiko pneumonia dan atelektasis tanpa mempengaruhi parameter fungsi gaster.
Drainase nasogastrik meningkatkan risiko silent bronchoaspirasi sehingga sebaiknya
dilakukan secara selektif.8
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter paru Indonesia (PDPI). 2003. Pneumonia Komuniti Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
diagnosis dan penatalaksanaan. Edisi ke-1. Jakarta
3. Soeharyo. 2007. Buku saku mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan
laboratorium pengertian, nilai normal dan interpretasi. Jogjakarta: Amara Publish
4. Anthonisen N. 2007. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Di dalam: Goldman L
dan Ausiello D. Cecil Medicine. Philadelphia Elsevier.
5. Boon NA, Cumming AD, John G. 2007. Respiratory Disease. Davidson’s Principles
& Practice of Medicine, edisi XX. USA: Churchill Livingstone.
6. Kumar P dan Clark M. 2006. Respiratory disease. Clinical Medicine. Philadelphia:
Elsevier
7. Morgan. 2013. Clinical anesthesiology. USA: Mc. Graw Hill.
8. Ina Ariani. Manajemen Perioperatif Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Cermin
Dunia Kedokteran. CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014