manajemen anastesi pada spinal cord injury

9
Referat Anestesi: Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Spinal Cord Injury Oleh: Rilnia Metha Sofia (H1A009024) Pembimbing: dr. Hj. Elya Endriani, Sp. An. DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN SMF ANESTESI dan REANIMASI RSUP NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 1

Upload: ryan-prasdinar

Post on 04-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

mmmm

TRANSCRIPT

Page 1: Manajemen Anastesi Pada Spinal Cord Injury

Referat Anestesi:

Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Spinal Cord Injury

Oleh:

Rilnia Metha Sofia

(H1A009024)

Pembimbing: dr. Hj. Elya Endriani, Sp. An.

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN SMF ANESTESI dan REANIMASI RSUP NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM

2012

1

Page 2: Manajemen Anastesi Pada Spinal Cord Injury

Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Spinal Cord Injury

Rilnia Metha Sofia-H1A009024

Medula spinalis (spinal cord), berasal dari bagian ujung kaudal medula oblongata pada

foramen magnum. Pada orang dewasa biasanya berakhir pada batas tulang L-1 sebagai konus

medularis. Di bawah level ini terdapat kauda ekuina, yang lebih tahan terhadap trauma. Dari

banyak traktus pada medula spinalis hanya 3 yang dapat diperiksa secara klinis: traktus

kortikospinalis, traktus spinotalamikus, kolum posterior. Pada tiap traktus terdapat satu pasang

yang dapat mengalami kerusakan pada satu sisi atau kedua sisi medula spinalis. Traktus

kosrtikospinalis terdapat pada daerah segmen posterolateral medula spinalis dan fungsinya

adalah mengontrol kekuatan motoris pada sisi yang sama pada tubuh dan dapat diuji dengan

kontraksi otot volunter atau respon involunter terhadap stimulus nyeri. Traktus spinotalamikus

pada daerah anterolateral dari medula spinalis, mentransmisikan sensasi nyeri dan temperatur

dari sisi yang berlawanan dari tubuh.

Secara umum dapat dilakukan test dengan pin prick dan raba halus. Kolum posterior

membawa proprioseptif, vibrasi dan sensasi raba halus dari sisi yang sama dari tubuh dan kolum

ini diuji dengan rasa posisi pada jari atau vibrasi dengan garpu tala. Bila tidak terdapat fungsi, ini

dikenal sebagai complete spinal cord injury. Bila masih terdapat fungsi sensoris atau motoris

disebut sebagai incomplete spinal cord injury (American College of Surgeons, 2004).

Spinal Cord Injury (SCI) relatif jarang terjadi. Kalaupun terjadi, biasanya ditemukan

pada laki-laki dewasa muda akibat traumatik karena kecelakaan lalu lintas. Dalam hal ini, SCI

juga dapat disebabkan oleh faktor non traumatik, seperti: infeksi, tumor, penyakit-penyakit

neuron motorik, demyelinisasi, juga kelainan kongenital dan perkembangan (Hambly & Martin,

1998).

SCI dapat menyebabkan terjadinya disreflexia otonom, bradikardi, hipotensi, defisiensi

respiratorik dan kejang otot. Manajemen anestesi dan intervensi dalam mengatasi SCI mesti

dipertimbangkan dengan baik untuk melindungi spinal cord dari kerusakan yang lebih lanjut

serta memfasilitasi stabilitas dan rehabilitasi neurologis secara maksimal (Wirasinghe, 2011 &

2

Page 3: Manajemen Anastesi Pada Spinal Cord Injury

Kanonidou, 2006). Adapun manajemen anestesi untuk SCI terbagi dalam beberapa fase, yakni:

fase primer, sekunder-anestesi, fase sekunder-perawatan intensif, dan fase manajemen jangka

panjang.

1. Fase Primer

Fase primer yakni fase resusitasi berupa proteksi servical spine (imoblisasi), manajemen

airway, sirkulasi, dan survei primer. Proteksi cervical spine dengan kolar servikal semirigid tidak

menjamin stabilisasi tulang leher yang lengkap. Imobilisasi dengan spine board yang ditambah

alat penyangga kepala jauh lebih efektif dalam mengurangi gerakan leher. Penderita cedera

tulang cervical membutuhkan imobilisasi seluruh tubuh penderita dengan kolar servikal

semirigid, imobilisasi kepala, backboard, plester dan tali pengikat sebelum dan sewaktu transfer

ke fasilitas definitif. Selanjutnya untuk manajemen airway, saat intubasi, leher dipertahankan

dalam posisi netral. Pada curiga SCI, pemberian cairan intravena juga merupakan salah satu

tindakan awal resusitasi. Jika cairan sudah diberikan 2 liter atau lebih, kecurigaan adanya syok

neurogenik dapat ditingkatkan (American College of Surgeons, 2004). Pasien dengan syok

neurogenik yang ditandai dengan paralisis otot volunter, arefleksia, hilangnya tonus simpatis

(hipotensi dan bradikardi, peningkatan kapasitansi vaskular), poikilotermia, mungkin mengalami

cedera spinal khususnya di bagian servikal dan thorakal letak tinggi.

Trauma pada SCI dikaitkan dengan penurunan aliran darah spinal yang menyebabkan

hilangnya autoregulasi sehingga berakibat pada terjadinya iskemia dan hipoksia jaringan.

Berdasarkan hal ini, pasien dengan SCI rentan sekali mengalami hipoksemia dan hipotensi,

sehingga beresiko mengalami kerusakan sekunder lebih lanjut. Oleh karena itu, langkah pertama

dan paling penting dalam resusitasi pasien dengan SCI, bersama dengan immobilisasi vertebra,

adalah untuk memperbaiki hipotensi dan hipoksemia.

Sekalipun sadar sepenuhnya, pasien mampu mempertahankan jalan nafas sendiri dan

tidak membutuhkan manipulasi napas lebih lanjut, status pasien SCI dapat memburuk setiap saat,

sehingga harus selalu dipantau. Setelah jalan nafas stabil, hal berikutnya yang mesti diperhatikan

adalah oksigenasi dan ventilasi, juga pemantauan EKG dan nadi, pengukuran tekanan darah

secara teratur, uji pCO2 arteri, dan nilai : hemoglobin, glukosa, elektrolit.

3

Page 4: Manajemen Anastesi Pada Spinal Cord Injury

2. Fase Sekunder-anestesi

Fase ini meliputi pemberian anestesi untuk stabilisasi spinal dan untuk manajemen bedah

dalam penanganan cedera. Operasi umumnya dilakukan untuk menangani gangguan pada saraf

ataupun ketidakstabilan spinal. Tujuan utama selama pemeliharaan anestesi adalah untuk

mempertahankan perfusi spinal yang memadai untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Jika ada

gangguan bermakna pada autoregulasi, perfusi spinal menjadi tergantung pada perfusi sistemik.

Artinya, hipotensi sistemik dapat menyebabkan cedera sekunder dengan mengurangi tekanan

perfusi . Sebaliknya, hipertensi dapat menyebabkan perdarahan dan edema. Drainase cairan

serebrospinal melalui kateter juga dapat dipertimbangkan untuk membantu meningkatkan

tekanan perfusi tulang belakang. Hal ini dilakukan dengan mempertahankan tekanan arteri rata-

rata 85-90 mmHg dan menghindari tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg selama lebih

dari 5-7 hari dengan penggunaan intravena, vasopressor dan inotropik (Wirasinghe, 2011).

Selain manajemen saat operasi, sebelumnya penting untuk mengevaluasi pasien, meliputi

evaluasi status, status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang sesuai indikasi, serta

evaluasi khusus terhadap fungsi saraf otot di daerah tungkai, perut dan dada serta fungsi

vegetatif. Selanjutnya persiapan praoperatif yang terdiri dari persiapan rutin dan persiapan

khusus meliputi: bantuan nafas dan tunjangan sirkulasi (pada lesi do servikal-torakal), stabilisasi

sementara dari kolumna vertebralis, dan persiapan donor untuk keperluan operasi. Sementara

untuk premedikasi, diberikan secara intramuskular 30-45 menit pra induksi dengan: morfin 0.1-

0.2 mg/kg BB, midazolam 0.04-0,10 mg/kg BB, dan atropin 0.01 mg/kg BB.

Selanjutnya untuk induksi:

1. Dilakukan preakurarisasi

2. Induksi dengan penthotal atau dengan obat hipnotik yang lain

3. Suksinil kholin untuk fasilitas intubasi

4. Laringoskopi dan semprotan lidokasin 4% sebanyak 3-5 kali semprot ke dalam

laring-faring dan trakea untuk menekan refleks batuk saat intubasi.

5. Intubasi ET dengan pipa yang sesuai

6. Posisi tengkurap sesuai kebutuhan operasi dengan perut dan dada pasien yang harus

bebas agar ekspansi saat ventilasi memadai.

4

Page 5: Manajemen Anastesi Pada Spinal Cord Injury

Dan untuk pemeliharaan selama anestesi dan reanimasi, dengan N2O : O2 = 60% : 40% dan

halotan atau enfluran atau isofluran dengan dosis 0.5 – 1.0 vol % disertai obat pelumpuh otot

atau dengan anestesia imbang, yang bisa disertai dengan pemberian nafas kendali dan hipotensi

kendali pada beberapa kasus.

Pada perdarahan <20% dari perkiraan volume darah pasien cairan pengganti kristaloid

atau koloid diberikan. Jika lebih, maka pasien diberikan transfusi darah. Saat operasi selesai,

aliran obat anestesi dihentikan, sementara oksigen 100% tetap diberikan. Obat penawar

pelumpulh otot diberikan, jalan nafas dibersihkan, dan ekstubasi dilakukan setelah pasien

bernafas spontan dan adekuat. Apabila pemulihan nafas spontan memanjang akibat lesi servikal

atau torakal, pasien dirawat di ruang ICU (Mangku & Senapati, 2010).

3. Fase Sekunder-perawatan intensif

Kebanyakan pasien dengan cedera spinal bagian servikal terkait dengan cedera lain dan

dirawat di ICU. Sebagian dari pasien tersebut biasanya juga mengalami cedera kepala dengan

peningkatan tekanan intrakranial (ICP). Peningkatan ICP yang terjadi mesti ditekan sampai

pembengkakan yang menyebabkan cedera otak difus mereda atau didekompresi secara operatif.

Selain ini, manajemen respiratorik, manajemen gizi, juga kontrol infeksi penting untuk

diperhatikan.

4. Fase Manajamen Jangka Panjang

Fase ini berupa pemberian anestesi dalam jangka panjang pada pasien SCI yang terakait

maupun yang tidak terkait dengan tindakan operatif (Wirasinghe. 2011).

5

Page 6: Manajemen Anastesi Pada Spinal Cord Injury

Daftar Pustaka

American College of Surgeons. 2004. Advanced Trauma Life Support. Seventh Edition:

Terjemahan Bahasa Indonesia. IKABI

Mangku, Gde & Senapathi, T.G.A. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:

Indeks.

Martin, B., & Hambly, P.R. 1998. Anaesthesia for chronic spinal cord lesions. Anaesthesia. Vol

53, p: 273-289.

Z., Kanonidou. 2006. Anaesthesia for chronic spinal cord lesions. Hippokratia. Vol 10, p.: 28-

31.

Wirasinghe, V. et, al. 2011. Anaesthetic Management Of Patients With Acute Spinal Injury. The

Internet Journal of Anesthesiology. Vol. 30, no. 1. (available at:

http://archive.ispub.com/journal/the-internet-journal-of-anesthesiology/volume-30-number-1/

anaesthetic-management-of-patients-with-acute-spinal-injury.html#sthash.65nDTUkT.dpuf)

6