86561435 spinal cord injury makalah kelompok v

Upload: ganda-firdaus

Post on 30-Oct-2015

78 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan

    seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 atau di

    bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan

    fungsi defekasi dan berkemih.

    Cidera medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi

    motorik volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik

    volunter (Marilynn E. Doenges,1999;338).

    Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000

    orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun.

    Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera

    (Suzanne C. Smeltzer,2001;2220). Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat

    Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka

    kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk

    angka kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).

    Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena

    olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak

    dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal

    (menopause) (di kutip dari Medical Surgical Nursing, Charlene J. Reeves,1999).

    Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3

    membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam

    pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi

    cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia dan

    hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu

    dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera medulla spinalis dengan cara

    promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien

    dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.

    Tujuan

    Umum

    1

  • Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan

    trauma kepala dan Cedera medulla spinalis

    Khusus

    Mengetahui pengertian trauma kepala dan Cedera medulla spinalis

    Mengetahui etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang

    dan penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala dan Cedera medulla spinalis

    Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala

    dan Cedera medulla spinalis

    BAB II

    CEDERA MEDULLA SPINALIS

    ANATOMI FISIOLOGI

    Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula

  • spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-

    lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus

    intervertebralis.

    Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :

    a. Vetebrata Thoracalis (atlas)

    Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa

    cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan

    pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus

    spinasus paling panjang.

    b. Vertebrata Thoracalis

    Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung,

    berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.

    c. Vertebrata Lumbalis

    Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah

    yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya

    sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.

    d. Os. Sacrum

    Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5

    vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.

    e. Os. Coccygis

    Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.

    Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis

    memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada

    daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal

    kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap

    pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan

    lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin

    dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan

    keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder

    3

  • lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk

    melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia

    merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak. (lihat gambar A1)

    Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus

    bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang

    lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah.

    Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat

    badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang

    terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan,

    menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior yang

    kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.

    (Eveltan. C. Pearah, 1997 ; 56 62)

    Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablonata, menjulur

    kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama

    dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian

    sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang menembus

    kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran

    panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam,

    sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.

    Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan

    ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah : dan plexus

    dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang :

    a. Mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.

    Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :

    1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit

    2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam

    ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior

    mendula spinalis.

    3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan

    impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.

    4. sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan

  • mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.

    5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf

    motorik.

    6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah

    torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot

    interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah,

    serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.

    PENGERTIAN

    Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan

    oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001)

    Cedera Medula spinalis dalah cedera yang biasanya berupa fraktur atau cedera lain

    pada tulang vertebra, korda spinalis itu sendiri, yang terletak didalam kolumna vertebralis,

    dapat terpotong, tertarik,terpilin atau tertekan.. kerusakan pada kolumna vertaebralis atau

    korda dapat terjadi disetiap tingkatan,kerusakan korda spinalis dapat mengenai seluruh

    korda atau hanya separuhnya.

    Cidera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang

    mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan

    sebagai :

    - komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)

    - tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)

    ETIOLOGI

    Penyebab dari cidera medulla spinalis yaitu

    Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak

    kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga, tersering karena menyelam

    pada air yang sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007).

    Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu

    5

  • lintas, kecelakakan olah raga (Arifin, 1997).

    Dari kedua sumber di atas dapat disimpulkan bahwa etiologi dari Spinal Cord

    Injury (SCI) adalah karena trauma.

    PATOFISIOLOGI

    Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh

    sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau

    dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis).

    Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke

    ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio

    atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi

    darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik

    menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut.

    Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi,

    hemorargi.

    Cidera medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5

    - Lesi 11 15 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian

    dari bokong.

    - Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.

    - Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.

    - Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.

    - Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.

  • MANIFESTASI KLINIS

    - nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena

    - paraplegia

    - tingkat neurologik

    - paralisis sensorik motorik total

    - kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)

    - penurunan keringat dan tonus vasomoto

    7

  • - penurunan fungsi pernafasan

    - gagal nafas

    (Diane C. Baughman, 200 : 87)

    PEMERIKSAN DIAGNOSTIK

    Sinar X spinal

    Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran,

    reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi

    CT Scan

    Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural

    MRI

    Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi

    Mielografi.

    Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya

    tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis

    (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).

    Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma,

    atelektasis)

    Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi

    maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada

    trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).

    GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi

    (Marilyn E. Doengoes, 1999 ; 339 340)

    KOMPLIKASI DAN PENCEGAHAN

    Komplikasi

  • Syok neurogenik versus syok spinal

    Syok neurogenik merupakan hasiol dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada

    medulla spinalis. Kondisi mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan

    persarafan simpatis pada jantung. Keadaan ini menyebapkan vasodilatasi pembuluh

    darah visceral serta ektremitas bawah, terjadi penumpukan darah dan sebagai

    konsekuensinya terjadi hipotensi. Sebagai akibat kehilangan cardiac sympatik tone.

    Penderita akan mengalami bradikardia atau setidak tidaknya gagal untuk menjadi

    takhikardia sebagai respon dari hipovolemia. Pada keadaan ini tekanan darah tidak

    akan membaik hanya dengan impus saja dan usaha untuk menormalisasi tekanan darah

    akan menyebabkan kelebihan cairan dan udema paru. Tekanan darah biasanya dapat

    diperbaiki dengan penggunaan vasopresor, tetapi perfusi yang adekuat akan dapat

    dipertahankan walaupun tekanan darah belum normal.

    Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya repleks, terlihat setelah terjadinya

    cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit,

    walaupun tidak seluruh bagian rusak.

    Hipoventilasi yang disebabkan karena paralysis otot interkostal dapat merupakan hasil

    dari cedera yang mengenai medulla spinalis didaerah servikal bawah atau torakal atas.

    Bila bagian atas atu tengah medulla spinalis didaerah servikal mengalami cedera,

    diagframa akan mengalami paralysis yang disebabkan segmen C3 C5 terkena, yang

    mempersarafi diagfragma melalui frenikus.

    Trombosis vena profunda adalah komplikasi umum pada cedera medulla spinalis. Pasien

    PVT berisiko mengalami embolisme pulmonal.

    Komplikasi lain adalah hiperfleksia autonomic(dikarakteristikkan oleh sakit kepala

    berdenyut, keringat banyak,kongesti nasal,piloereksi, bradikardi dan hipertensi),

    komplikasi lain yaitu berupa dekubitus dan infeksi (infeksi urinarius,dan tempat pin ).

    Pencegahan

    Factor faktor resiko dominant untuk cedara medulla spinalis meliputi usia, jenis

    kelamin, dan penyalahgunaan obat. Frekuensi factor resiko ini dikaitkan dengan cedera

    medulla spinalis bertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan primer.untuk

    mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah langkah berikut perlu dilakukan :

    (1) menurungkan kecepatan berkendara., (2) menggunakan sabuk pengaman, (3)

    9

  • menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda, (4) program pendidikan langsung

    untuk mencegah berkendara sambil mabuk, (5) mengajarkan penggunaan air yang aman,

    (6) mencegah jatuh,(7) menggunakn alat alat pelindung dan tekhnik latihan.

    PENATALAKSANAAN MEDIS

    Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi lurus;

    1. Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan agar

    leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien.

    2. Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan

    Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak.

    3. Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikal

    stabil ringan.

    4. Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk

    mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x ditemui spinal tidak

    aktif.

    Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis dengan

    menggunakan glukortiko steroid intravena

    PENALAKSANAAN KEPERAWATAN

    Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan didapati

    defisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena: syok spinal, nyeri, perubahan

    fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak

    terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi

    Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya

    Pemeriksaan diagnostik

    Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation).

    PENATALAKSANAAN CEDERA MEDULA SPINALIS (FASE AKUT)

  • Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih lanjut

    dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi

    sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.

    Farmakoterapi

    Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medela.

    Tindakan Respiratori

    1. Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.

    2. Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi

    leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal.

    3. Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan

    lesi servikal yang tinggi.

    Reduksi dan Fraksi skeletal

    1. Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi

    koluma vertebrata.

    2. Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal,

    yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest.

    3. Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi

    Intervensi bedah = Laminektomi

    Dilakukan Bila :

    1. Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi

    2. Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal

    3. Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal

    4. Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau

    dislokasi atau dekompres medulla.

    (Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89)

    11

  • PENATALAKSANAAN CEDERA MEDULA SPINALIS POST OPERASI (DI RUMAH)

    Mempersiapkan rumah beserta isinya pada penderita.

    Mengadakan alat-alat pembantu

    Mempersiapkan pekerjaan tangannya. Siapapun yang mengelola penderita ini harus dapat:

    Mengembalikan spinal augment

    Stabilitas dan tulang belakang

    Mengusahakan agar penderita mencapai kehidupan normal

    Mencegah komplikasi.

    Latihan gerak pasif untuk ekstremitas

    Rehabilitasi

    Terapi Definitif

    Tujuan Terapi adalah :

    Mempertahankan fungsi neurologic

    Mengurangi kompresi pada saraf atau korda yang dapat dipulihkan

    Menstabilkan spina

    Merehabilitasi pasien

    Metode Terapi

    Halo-Body cast

    Dengan pasien pada posisi terlentang dan kepalanya disangga oleh seorang asisten,

    alat halo dipertahankan pada posisi tepat di bawah bagian terlabar tengkorak. Di

    bawah anastesia local, empat pen steril dimasukan ke lubang halo dan disekrupkan

    ke bagian luar tengkorak, pen kemudian dikunci pada posisinya. Jaket gips

    diterapkan.

    Dekompresi dan stabilisasi

    Dekompresi dapat dicapai dari depan melalui pendekatan transtoraks atau

  • transperitoneal, atau dari belakang melalui pendekatan translaminar atau trans

    pedikular.

    PROMOSI KESEHATAN

    Memberian diet yang sesuai diantaranya:

    Makanan yang mudah dicerna,

    makanan dengan porsi kecil tapi sering

    Makanan yang tinggi kalori, protein, dan kalsium

    Nutrisi yang seimbang, (nutrisi oral dan parenteral)

    Mengurangi konsumsi alcohol dan rokok

    Menghindari makanan rendah serat dan berlemak

    Membuat jadual kegiatan dan mendampingi dalam setiap kegiatan

    Jika pasien fraktur, maka biasanya bad rest untuk itu perlu d perhatikan kebutuhan

    cairanya.

    13

  • BAB III

    ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA MEDULA SPINALIS

    Pengkajian

    a. Aktifitas /Istirahat

    Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan

    umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).

    b. Sirkulasi

    Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.

    c. Eliminasi

    Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna

    seperti kopi tanah /hematemesis.

    d. Integritas Ego

    e. Takut, cemas, gelisah, menarik diri.

    f. Makanan /cairan

    Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)

    g. Higiene

    Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)

  • h. Neurosensori

    Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok

    spinal).

    Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal

    sembuh).

    Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk

    tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang

    terkena karena pengaruh trauma spinal.

    i. Nyeri /kenyamanan

    Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.

    j. Pernapasan

    Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat,

    sianosis.

    k. Keamanan

    Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).

    l. Seksualitas

    Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.

    (Marikyn E. Doengoes, 1999 ; 338-339)

    DIAGNOSA KEPERAWATAN

    1. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan atau paralisis

    otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.

    2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan

    sesorik.

    3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan

    immobilitas, penurunan sensorik.

    15

  • 4. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara

    spontan.

    5. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.

    6. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alt

    traksi

    (Diane C. Boughman, 2000 : 90)

    PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI

    Tujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola pernapasan,

    perbaikan mobilitas, pemeliharaan integritas kulit, menghilangkan retensi urine, perbaikan

    fungsi usus, peningkatan rasa nyaman, dan tidak terdapatnya komplikasi.

    INTERVENSI

    Dx : Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan atau paralisis

    otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.

    Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat

    Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sekret, bunyi napas normal,

    jalan napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan,

    pasien, mampu melakukan reposisi, nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg,

    PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35 7,45

    Rencana Tindakan

    a. Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret

    R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh

    terhadap kemampuan batuk.

    b. Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, bersihkan sekret)

    R/ Menutup jalan nafas.

    c. Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur

    R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.

  • d. Lakukan suction bila perlu

    R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.

    e. Auskultasi bunyi napas

    R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.

    f. Lakukan latihan nafas

    R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.

    g. Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi

    R/ Mengencerkan sekret

    h. Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah

    R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.

    i. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi

    R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.

    Dx : Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan

    sesorik.

    Tujuan : Memperbaiki mobilitas

    Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur,

    footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit

    /kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yang

    memungkinkan melakukan kembali aktifitas.

    Rencana Tindakan

    a. Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.

    R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.

    b. Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan

    kenyamanan pasien.

    17

  • R/ Mencegah terjadinya dekubitus.

    c. Beri papan penahan pada kaki

    R/ Mencegah terjadinya foodrop

    d. Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits

    R/ Mencegah terjadinya kontraktur.

    e. Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari

    R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.

    f. Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.

    R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.

    g. Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints

    R/ Memberikan pancingan yang sesuai.

    Dx : Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan

    immobilitas, penurunan sensorik.

    Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit

    Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi

    pada lokasi yang tertekan.

    Rencana Tindakan

    a. Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit

    R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder

    /bowel.

    b. Kaji keadaan pasien setiap 8 jam

    R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.

    c. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)

    R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas

    d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis

  • R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi

    meningkatkan sirkulasi darah.

    e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.

    R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit

    f. Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam

    dengan gerakan memutar.

    R/ Meningkatkan sirkulasi darah

    g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein

    R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan

    h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari

    R/ Mempercepat proses penyembuhan.

    Dx : Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara

    spontan.

    Tujuan : Peningkatan eliminasi urine

    Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan

    distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang

    Rencana tindakan

    a. Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih

    R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih

    b. Kaji intake dan output cairan

    R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.

    c. Lakukan pemasangan kateter sesuai program

    R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga

    perlu bantuan dalam pengeluaran urine

    d. Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari

    19

  • R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ........

    e. Cek bladder pasien setiap 2 jam

    R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia

    f. Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas

    R/ Mengetahui adanya infeksi

    g. Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam

    R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.

    Dx : Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan

    autonomik.

    Tujuan : Memperbaiki fungsi usus

    Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.

    Rencana tindakan

    a. kaji pola eliminasi bowel

    R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi

    b. b. Berikan diet tinggi serat

    R/ Serat meningkatkan konsistensi feses

    c. Berikan minum 1800 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi

    R/ Mencegah konstipasi

    d. Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen

    R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik

    e. Hindari penggunaan laktasif oral

    R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan

    f. Lakukan mobilisasi jika memungkinkan

  • R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik

    g. Berikan suppositoria sesuai program

    R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi

    h. Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi

    R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria

    Dx : Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alt

    traksi

    Tujuan : Memberikan rasa nyaman

    Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan

    cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan

    keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan

    individu.

    Rencana tindakan

    a. Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri,

    misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 1-

    R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada /

    punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer

    b. Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres

    hangat / dingin sesuai indikasi.

    R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan,

    selain menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi

    pernafasan.

    c. Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi,

    latihan nafas dalam.

    R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat

    meningkatkan kemampuan koping

    21

  • d. kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren

    (dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)

    R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan-

    ansietas dan meningkatkan istrirahat.

    DAFTAR PUSTAKA

    Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 . Jakarta :

    EGC.

    Apley, Graham, dkk. 1995. Buku ajar ortopedi dan fraktur system apley edisi ke 7. Jakarta:

    Penerbit Widya Medika

    Braddom, Randall. 2007. physical medicine & rehabilitation third edition . USA : penerbit

    Saunders Elsevier.

    Muttaqin, Arif. 2010. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan gangguan sistem persyarafan.

    Jakarta: Salemba Medika.

    Ester, Monica. 2010. Diagnosis Keperawatan definisi dan klasifikasi 2009-2011/editor. Jakarta :

    EGC.

    Doengoes, M. E, 1999, Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan

    Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta ; EGC.

    Luckman, J. and Sorensens R.C. 1993. Medical Surgical Nursing a Psychophysiologic approach,

    Ed : 4. Philadelphia ; WB, Souders Company.

  • Pearce Evelyn C. 1997. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT. Gramedia.

    23