asuhan keperawatan spinal cord injury (sci)docshare02.docshare.tips/files/31576/315762707.pdf ·...

24
Asuhan Keperawatan Spinal Cord Injury (SCI) A. Definisi Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (Arifin cit Sjamsuhidayat, 1997). Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma spinal cord atau tekanan pada spinal cord karena kecelakaan B. Etiologi Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga, tersering karena menyelam pada air yang sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007). Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga (Arifin, 1997). Dari kedua sumber di atas dapat disimpulkan bahwa etiologi dari Spinal Cord Injury (SCI) adalah karena trauma. C. Manifestasi Klinis Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus di mana setelah cedera pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang.

Upload: others

Post on 16-Feb-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Asuhan Keperawatan Spinal Cord Injury (SCI)

    A. Definisi

    Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis

    akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (Arifin

    cit Sjamsuhidayat, 1997).

    Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma spinal cord atau

    tekanan pada spinal cord karena kecelakaan

    B. Etiologi

    Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak

    kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga, tersering karena menyelam pada air yang

    sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007).

    Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu

    lintas, kecelakakan olah raga (Arifin, 1997).

    Dari kedua sumber di atas dapat disimpulkan bahwa etiologi dari Spinal Cord Injury

    (SCI) adalah karena trauma.

    C. Manifestasi Klinis

    Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus di mana setelah cedera pasien

    mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas klinis mungkin

    tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami

    cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi

    anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang.

  • D. Patofisiologi

    Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu

    lintas, kecelakakan olah raga, mengakibatkan patah tulang belakang; paling banyak cervicalis

    dan lumbalis. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi,

    sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang,

    laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, blok syaraf parasimpatis pelepasan

    mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan

    hipoksemia syok spinal gangguan fungsi rektum, kandung kemih. Gangguan kebutuhan

    gangguan rasa nyaman, nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia,

    gangguan eliminasi.

  • E. Pathway

    F. Pemeriksaan Penunjang

    Berdasarkan patofisiologi di atas, maka sangat penting dilakukan pemeriksaan diagnostik

    SCI yang dapat meliputi, sbb:

    1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)

    2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas

    3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal

    4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru

    5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

  • G. Komplikasi

    Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas cedera lain dan

    mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera kord spinal

    bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta

    jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan

    penilaian ulang yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab

    kematian utama setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok.

    H. Penatalaksnaan Medis dan Keperawatan

    Penatalaksaan medis

    Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi lurus;

    1. Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan agar

    leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien.

    2. Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan

    Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak.

    3. Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikal

    stabil ringan.

    4. Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk

    mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x ditemui spinal

    tidak aktif.

    Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis dengan

    menggunakan glukortiko steroid intravena

    Penatalaksanaan Keperawatan

  • Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan didapati

    defisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena: syok spinal, nyeri, perubahan

    fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak

    terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi

    Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya

    Pemeriksaan diagnostik

    Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation).

    I. Pengkajian Keperawatan

    Adapun beberapa hal penting yang perlu dikaji dalan Spinal Cord Injury dapat meliputi,

    sbb:

    Riwayat trauma (KLL, olahraga, dll)

    Riwayat penyakit degeneratif (osteoporosis, osteoartritis, dll)

    Mekanisme trauma

    Stabilisasi dan monitoring

    Pemeriksaan fisik; KU, TTV, defisit neurologis, status kesadaran awal kejadian, refleks,

    motorik, lokalis (look, feel, move).

    Fokus; deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memarpada muka atau abrasi

    dangakal pada dahi.

    Pemeriksaan neurologi penuh.

    J. Diagnosa dan Rencana Keperawatan

  • 1 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma

    Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen

    Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < rr =" 16-20">

    Intervensi keperawatan :

    1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional: pasien dengan cedera

    cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan

    nafas.

    2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.

    Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan

    mengurangi resiko infeksi pernapasan.

    3. Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi

    pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.

    4. Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan

    akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.

    5. Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang

    memerlukan tindakan segera

    6. Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan

    karena kelumpuhan diafragma

    7. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional : membantu mengencerkan

    sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.

    8. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional :

    menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya

    kegagalan pernapasan.

    9. Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran

    gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.

    10. Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan

    isufisiensi pernapasan.

    11. Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan

    2. Diagnosa keperawatan : kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan

    Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai

  • cedera diatasi dengan pembedahan.

    Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas

    kembali secara bertahap.

    Intervensi keperawatan :

    1. Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum

    2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional memberikan rasa

    aman

    3. Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif

    4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah footdrop

    5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional : mengetahui adanya

    hipotensi ortostatik

    6. Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi

    kerusakan integritas kulit.

    7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional : berguna untuk

    membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas.

    3. Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya

    cedera

    Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan

    Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang

    Intervensi keperawatan :

    1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas

    tingkat cedera.

    2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri dipengaruhi oleh;

    kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan berbaring lama.

    3. Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara

    membantu mengontrol nyeri.

    4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan kembali perhatian,

    meningkatkan rasa kontrol.

  • 5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau

    untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan istirahat.

    4. Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan

    gangguan persarafan pada usus dan rektum.

    Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi

    Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali

    Intervensi keperawatan :

    1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising usus mungkin

    tidak ada selama syok spinal.

    2. Observasi adanya distensi perut.

    3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional : pendarahan

    gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.

    4. Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces

    5. Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus

    5. Diagnosa keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan

    kelumpuhan syarat perkemihan.

    Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan

    Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada

    Intervensi keperawatan:

    1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional : mengetahui fungsi ginjal

    2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.

    3. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu mempertahankan fungsi

    ginjal.

    4. Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine

    6. Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring

    lama

    Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan

    Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering

  • Intervensi keperawatan :

    1. Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi

    perifer.

    2. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan: untuk mengurangi penekanan kulit

    3. Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit

    4. Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit

    5. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan : Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik&

    perifer, menurunkan tekanan pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit.

    askep trauma spinal

    A. KONSEP DASAR PENYAKIT

    1. ANATOMI FISIOLOGI

    Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu yang keluar dari hemisfer serebral

    dan memberikan tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti kulit dan otot.

    Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari (Smeltzer,S.C, 2002). Medulla spinalis

    berfungsi sebagai pusat reflek spinal dan juga sebagai jaras konduksi impuls dari atau ke otak.

    Medula spinalis terdiri dari :

    a. Substansia alba (serabut saraf bermielin)

    Berfungsi sebagai jaras konduksi impuls aferen dan eferen antara berbagai tingkat medulla

    spinalis dan otak.

    b. Substansia grisea (jaringan saraf tak bermielin)

    Merupakan tempat integrasi reflek-reflek spinal. Pada penampang melintang , substansia grisea

    tampak menyerupai huruf H kapital. Bagian depan disebut kornu anterior atau kornu ventralis,

    sedangkan bagian belakang disebut kornu posterior atau kornu dorsalis.

    Kornu ventralis terutama terdiri dari badan sel dan dendrit neuron-neuron motorik eferen

    multipolar dari radiks ventralis dan saraf spinal. Sel kornu ventralis atau lower motor neuron

    biasanya dinamakan jaras akhir bersama karena setiap gerakan baik yang berasal dari korteks

    motorik serebral, ganglia basalis atau yang timbul secara reflek dari reseptor sensorik , harus

    diterjemahkan menjadi suatu kegiatan atau tindakan melalui struktur tersebut.

  • Kornu dorsalis mengandung badan sel dan dendrit asal serabut-serabut sensorik yang akan

    menuju ke tingkat SSP lain sesudah bersinaps dengan serabut sensorik dari saraf-saraf sensorik.

    Substansia grisea juga mengandung neuron-neuron internunsial atau neuron asosiasi, serabut

    aferen dan eferen system saraf otonom , dan akhir akson-akson yang berasal dari berbagai

    tingkatan SSP

    (Price & Wilson, 1995)

    Saraf-saraf spinal

    Medula spinalis tersusun dari 33 segmen yaitu 7 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral

    dan 5 segmen koksigius. Medula spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal ; masing-masing

    segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh.

    Kolumna Vertebra

    Kolumna vertebral melindungi medula spinalis, memungkinkan gerakan kepala dan tungkai, dan

    menstabilkan struktur tulang untuk ambulasi. Vertebra terpisah oleh potongan-potongan kecuali

    servikal pertama dan kedua, sakral dan tulang belakang koksigius. Masing-masing tulang

    belakang mempunyai hubungan dengan ventral tubuh dan dorsal atau lengkungan saraf, dimana

    semua berada di bagian posterior tubuh. Seterusnya lengkungan saraf terbagi dua yaitu pedikel

    dan lamina. Badan vertebra, arkus saraf, pedikel dan lamina semuannya berada di kanalis

    vertebralis.

    Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut:

    a. Vertebra Servikalis

    Vertebra servikalis adalah yang paling kecil. Kecuali yang pertama dan kedua yang berbentuk

    istimewa, maka ruas tulang leher pada umumnya mempunyai ciri: badannya kecil dan persegi

    panjang, lebih panjang dari samping ke samping daripada dari depan ke belakang, lengkungnya

    besar. Prosesus spinosus di ujungnya memecah dua atau bifida. Vertebra cervikalis kedua (axis)

    ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Vertebra servikalis ke tujuh disebut prominan

    karena mempunyai prosessus spinosus paling panjang.

    b. Vertebra Thorakalis

    Ukurannya semakin besar mulai dari atas ke bawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12

    buah yang membentuk bagian belakang thorak.

    c. Vertebra Lumbalis

  • Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang

    membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurannya sehngga

    pergerakannya lebih luas ke arah fleksi.

    d. Os Sacrum

    Terdiri dari 5 sakrum yang membentuk sacrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebra ini

    rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.

    e. Os Coccygis

    Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter yang

    bergabung menjadi satu.

    Traktus Spinalis

    Substansia alba membentuk bagian medulla spinalis yang besar dan dapat terbagi menjadi tiga

    kelompok serabut-serabut disebut traktus atau jaras, yaitu:

    a. Traktus posterior

    Menyalurkan sensasi, persepsi terhadap sentuhan, tekanan, getaran, posisi dan gerakan pasif

    bagian-bagian tubuh. Sebelum menjangkau daerah korteks serebri, serabut-serabut ini menyilang

    ke daerah yang berlawanan pada medulla oblongata.

    b. Traktus spinotalamus

    Serabut-serabut segera menyilang ke sisi yang berlawanan dan masuk medulla spinalis dan naik.

    Bagian ini bertugas mengirim impuls nyeri dan temperatur ke thalamus dan korteks serebri.

    c. Traktus lateral (piramidal, kortikospinal)

    Menyalurkan impuls motorik ke sel-sel tanduk anterior dari sisi yang berlawanan di otak.

    Serabut-serabut desenden merupakan sel-sel saraf yang didapat pada daerah sebelum pusat

    korteks. Bagian ini menyilang di medulla oblongata yang disebut piramida.

    1. DEFINISI

    Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervikalis, vertebralis dan lumbalis akibat

    trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan seterusnya

    ( Arifin, 1997).

    Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma spinal cord atau tekanan pada

    spinal cord karena kecelakaan.

  • Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan

    pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).

    Vertebra yang seringkali terkena dalam cedera medulla spinalis adalah servikal ke-5, ke-6,

    torakal ke-12, dan lumbal ke-1. Vertebra ini lebih mudah terserang karena terdapat rentang

    mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebra dalam area tersebut (Buaghman & Hackley,

    2000: 87).

    2. PATOFISIOLOGI

    Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang , jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,

    kecelakaan olahraga, mengakibatkan patah tulang belakang; paling banyak cervikalis dan

    lumbalis. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi,

    sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang,

    laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, blok saraf parasimpatis, pelepasan

    mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan

    hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum, kandung kemih.Bila hemoragik terjadi pada

    daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradural, subdural atau daerah

    subarachnoid pada kanal spinal. Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cidera,

    serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi terganggu. Tidak hanya ini saja

    yang terjadi pada cedera pembuluh darah medulla spinalis, tetapi proses patogenik dianggap

    menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder

    kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemoragi.

    1. ETIOLOGI

    Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak kord

    spinal serta kauda ekuina. Di bidang olahraga, tersering karena menyelam pada air yang sangat

    dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007).

    Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan

    kecelakaan olahraga (Arifin, 1997)

    1. MANIFESTASI KLINIS

    a. Nyeri akut pada belakang leher yang menyebar sepanjang saraf yang terkena

    Bila penderita sadar, pasti ada nyeri pada bagian tulang belakang yang terkena. Masalahnya

    adalah bahwa cukup sering ada cedera kepala (penderita tidak sadar), atau ada cedera yang lain

  • seperti misalnya patah tulang paha, yang jauh lebih nyeri dibandingkan nyeri pada tulang

    belakangnya.

    b. Paraplegia

    c. Tingkat neurologis :

    Paralisis sensorik dan motorik total di bawah tingkat neurologis

    Kehilangan kontrol kandung kemih dan usus (biasanya dengan retensi urine dan distensi

    kandung kemih)

    Kehilangan kemampuan berkeringat dan tonus vasomotor di bawah tingkat neurologis

    Reduksi tekanan darah yang sangat jelas akibat kehilangan tahanan vaskular perifer.

    d. Masalah pernapasan :

    Yang berhubungan dengan gangguan fungsi pernapasan ; keparahan bergantung pada tingkat

    cidera

    Gagal napas akut mengarah pada kematian pada cidera medulla servikal tinggi.

    ( Baughman & Hackley, 2000: 87)

    2. PEMERIKSAAAN DIAGNOSTIK

    a. Sinar X spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cidera tulang (fraktur, dislokasi), untuk

    kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.

    b. Skan CT untuk menentukan tempat luka /jejas, mengevaluasi gangguan structural.

    c. MRI untuk mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal , edema dan kompresi.

    d. Mielografi untuk memperlihatkan koumna spinalis (kanal vertebral) jika factor patologisnya

    tidak jelas atau dicurigai adanya dilusi pada ruang sub arachnoid medulla spinalis (biasanya tidak

    dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).

    e. Foto rontgen torak , memperlihatkan keadaan paru (contoh: perubahan pada diafragma,

    atelektasis).

    f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume inspirasi maksimal

    khususnya pada pasien dengan trauma servikal bagian bawah atau pada trauma torakal dengan

    gangguan pada saraf frenikus / otot interkostal.

    g. GDA unutk menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

    (Doengoes, 1999 : 339-340).

  • 3. PENATALAKSANAAN

    a. Penatalaksanaan kegawatdaruratan

    Proteksi diri dan lingkungan, selalu utamakan A-B-C

    Sedapat mungkin tentukan penyebab cedera (tabrakan mobil frontal tanpa sabuk

    pengaman,misalnya)

    Lakukan stabilisasi dengan tangan untuk menjaga kesegarisan tulang belakang.

    Kepala dijaga agar tetap netral, tidak tertekuk ataupun mendongak.

    Kepala dijaga agar tetap segaris, tidak menengok ke kiri atau kanan.

    Posisi netral-segaris ini harus tetap selalu dan tetap dipertahankan, walaupun belum yakin

    bahwa ini cedera spinal. Anggap saja ada cedera spinal (dari pada penderita menjadi lumpuh)

    Posisi netral : kepala tidak menekuk (fleksi),atau mendongak (ekstensi)

    Posisi segaris : kepala tidak menengok ke kiri atau kanan.

    Pasang kolar servikal, dan penderita di pasang di atas Long Spine Board

    Periksa dan perbaiki A-B-C

    Periksa akan adanya kemungkinan cedera spinal

    Rujuk ke RS

    Penatalaksanaan langsung pasien di tempat kejadian kecelakaan sangat penting. Penanganan

    yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dan penurunan fungsi neurologis.

    Pertimbangkan setiap korban kecelakaan sepeda motor atau mengendarai kendaraan bermotor,

    cedera olahraga kontak badan, terjatuh, atau trauma langsung ke kepala dan leher sebagai cedera

    medulla spinalis sampai dapat ditegakkan.

    Di tempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal (punggung), dengan kepala

    dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah cedera komplit.

    Salah satu anggota tim harus mengontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi dan

    ekstensi kepala.

    Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan

    kesejajaran sementara papan spinal atau alat imobilisasi servikal dipasang.

    Paling sedikit empat orang harus mengangkat korban dengan hati-hati ke atas papan untuk

    memindahkan ke rumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak medulla spinalis

  • ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong medulla

    komplet.

    Pasien harus selalu dipertahankan dalam posisi ekstensi. Tidak ada bagian tubuh yang terpuntir

    atau tertekuk, juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.

    b. Penatalaksanaan cedera medulla spinalis (Fase Akut)

    Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medulla spinalis lebih lanjut dan untuk

    mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan

    pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.

    Farmakoterapi : berikan steroid dosis tinggi (metilprednisolon) untuk melawan edema medula .

    Tindakan Respiratori :

    1. Berikan oksigen untuk mempertahankan PO₂ arterial yang tinggi.2. Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau ekstensi leher bila

    diperlukan intubasi endotrakeal.

    3. Pertimbangkan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan lesi

    servikal yang tinggi.

    Reduksi dan Traksi Skeletal:

    1. Cedera medulla spinalis membutuhkan imobilisasi, reduksi dislokasi dan stabilisasi kolumna

    vertebra.

    2. Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal, yaitu

    teknik tong/caliper skeletal atau halo-vest.

    3. Gantung pemberat dengan bebas sehingga tidak mengganggu traksi.

    c. Intervensi Bedah : Laminektomi

    Dilakukan bila:

    Deformitas tidak dapat dikurangi dengan traksi.

    Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal.

    Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal.

    Status neurologis mengalami penyimpangan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau

    dekompres medula. (Baughman & Hackley, 2000: 88-89).

  • 4. KOMPLIKASI

    Neurogenik shock

    Hipoksia

    Gangguan paru-paru

    Instabilitas spinal

    Orthostatic hipotensi

    Ileus paralitik

    Infeksi saluran kemih

    Kontraktur

    Dekubitus

    Inkontinensia blader

    Konstipasi

    5. PENCEGAHAN

    Untuk mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah-langkah berikut perlu dilakukan:

    a. Menurunkan kecepatan berkendara

    b. Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu

    c. Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda

    d. Program pendidikan langsung untuk mencegah berkendara sambil mabuk

    e. Mengajarkan penggunaan air yang aman

    f. Mencegah jatuh

    g. Menggunakan alat-alat pelindung dan teknik latihan.

    Personel paramedis diajarkan pentingnya memindahkan korban kecelakaan mobil dari mobilnya

    dengan tepat dan mengikuti metode pemindahan korban yang tepat ke bagian kedaruratan rumah

    sakit untuk menghindari kemungkinan kerusakan lanjut dan menetap pada medulla spinalis

  • TRAUMA TULANG BELAKANG

    A. PENGERTIANTulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akanmempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah ragadsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).

    B. ETIOLOGI1. Kecelakaan lalu lintas 2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian3. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)

  • 4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang. (Harsono, 2000).

    C. PATOFISIOLOGITulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah perdarahan dlam

  • medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.

    D. MANIFESTASI KLINISGambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandungkemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua

  • sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barangberat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998).Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).

    E. PEMERIKSAAN PENUNJANGSinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejasMRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinalFoto rongent thorak : mengetahui keadaan paruAGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi(Tucker,Susan Martin . 1998)

    F. PENATALAKSANAAN MEDISPembagian trauma atau fraktur tulang belakang secara umum:1. Fraktur Stabila. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)b. Burst frakturc. Extension2. Fraktur tak stabila. Dislokasib. Fraktur dislokasic. Shearing frakturFraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu tulang belakang tegak. Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2

  • dapat mengakibatkan fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering kena adalah daerah yang mobil yaitu VC4.6 dan Th12-Lt-2.Perawatan:1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan sembuh.. 2. Fraktur dengan kelainan neorologis. Fase Akut (0-6 minggu)a. Live saving dan kontrol vital signb. Perawatan trauma penyerta• Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.• Perawatan trauma lainnya.c. Fraktur/Lesi pada vertebra1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus, terutama simple kompressi.2) OperatifPada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:- Laminektomimengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks.- fiksasi interna dengan kawat atau plate- anterior fusion atau post spinal fusion

    3) Perawatan status urologiPada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor dapat kembali.Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)b) Manuver crede

  • c) Ransangan sensorik dan bagian dalam pahad) Gravitasi/ mengubah posisi4) Perawatan dekubitusDalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.

    Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan NeorologisPenderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena “wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instabilityKriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:1) Dislokasi feset >50%2) Loss of paralelisine dan feset.3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)5) Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto APPada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan spinal cord.Penanganan Cedera dengan Gangguan NeorologisPatah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.

    G. KOMPLIKASI (Mansjoer, Arif, et al. 2000).1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.

  • 2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).3. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktulama dari proses penyembuhan fraktur.5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.6. Emboli lemak 7. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.8. Sindrom KompartemenMasalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.H. PENGKAJIANPengkajian pada klien dengan trauma tulang belakang meliputi:a. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinalb. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucatc. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik hilangd. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik dirie. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilangf. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADLg. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi

  • pupil, ptosih. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan

    Mengalami deformitas pada daerah traumai. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosisj. Keamanan : suhu yang naik turun(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))

    H. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATANDiagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul (Carpenito (2000), Doenges at al (2000))1. Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot diafragma2. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelumpuhan3. Nyeri akut b.d adanya cedera4. Konstipasi b.d gangguan persarafan pada usus dan rectum.5. Perubahan pola eliminasi urine b.d kelumpuhan saraf perkemihan6. Kerusakan integritas kulit b.d tirah baring lama.7. Resiko tinggi terhadap infeksi saluran kemih b.d retensi urine dan pemasangan alat invasif