makalah sumber-sumber ilmu fiqh

29
MAKALAH SUMBER-SUMBER ILMU FIQH Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Fiqih Dosen : Bapak Asep Susanto M,pd,i. Disusun oleh : Tanti Renita PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TASIKMALAYA 2015

Upload: ivannet

Post on 06-Dec-2015

662 views

Category:

Documents


57 download

DESCRIPTION

Kalau mau bentuk Doc (Ms Office) salin link "http://adf.ly/1PiDAF" (tanpa tanda petik) ini ke browser anda. Tunggu 5 detik lalu klik Skip di atas kanan layar anda. dan Klik download.

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

MAKALAH

SUMBER-SUMBER ILMU FIQH

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Fiqih

Dosen : Bapak Asep Susanto M,pd,i.

Disusun oleh : Tanti Renita

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TASIKMALAYA

2015

Page 2: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada ALLAH SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya

penyusun dapat menyusun makalah berjudul Sumber-sumber Ilmu Fiqih. Makalah ini disusun

untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pengantar ilmu fiqih.

Sholawat dan salam semoga tercurah limpah kepada Nabi kita Muhammad SAW, tak lupa

kepada keluarganya, para sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya yang mudah-mudahan

bisa ta’at sampai akhir zaman.

Kami mengakui bahwa apa yang kami sajikan kedalam makalah ini masih banyak

kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, kritik dan saran dari para

pembaca yang budiman sangat diharapkan untuk perbaikan selanjutnya.

Tasikmalaya, September 2015

Penyusun,

i

Page 3: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………… i

DAFTAR ISI…………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG……………………………………………... iii

B. RUMUSAN MASALAH…………………………………………... iv

C. TUJUAN PENELITIAN…………………………………………... iv

D. MANFAAT PENELITIAN………………………………………... iv

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SUMBER FIQH…………………………………. 1

B. SUMBER-SUMBER FIQH……………………………………….. 1

Al-Qur’an……………………………………………………………… 1

As-Sunnah……………………………………………………………... 7

Ijma’…………………………………………………………………… 10

Qiyas…………………………………………………………………… 17

BAB III KESIMPULAN

Kesimpulan……………………………………………………………. 22

BAB IV PENUTUP

Penutup……………………………………………………………….... 23

DAFTAR PUSTAKA

ii

Page 4: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana kesepakatan seluruh ulama yang berbeda madzhab, bahwa seluruh

tindakan manusia (ucapan, perbuatan dalam ibadah dan muamalah) terdapat hukum-

hukumnya. Hukum-hukum tersebut sebagian telah dijelaskan di dalam nash-nash al-Qur’an

dan as-Sunnah. Meskipun sebagian yang lain belum terdapat penjelasan, namun syari’at

Islam telah memberikan dalil dan isyarat-isyarat tersebut.

Para imam mazhab sepakat dengan dalil yang dikemukakan Imam Syafi’i dalam kitab

al-Risalah yakni al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Pendapat tersebut benar adanya namun

al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber hukum utama yang saling berkaitan dan tidak

bisa dipisahkan satu sama lain.

Tujuan mempelajari Ushul Fiqh ialah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasan

dalil-dalil secara detail dalam rangka melahirkan hukum syari’at Islam yang diambil dari

dalil-dalil tersebut. Adapun dalam makalah ini lebih mengedepankan fungsi al-Qur’an dan as-

Sunnah, karena selruh ulama ushul fiqh tidak pernah melepaskan peran keduanya. Adapun

ijma’ dan sebagainya, disebagian ulama tidak menggunakannya. Hal ini karena keyakinan

mereka bahwa tidak ada sumber melainkan dua sumber diatas.

Hukum seluruhnya termaktub didalam al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai penjelas al-

Qur’an. Maka dari itu penting sekali bagi umat muslim untuk memahami al-Qur’an dan as-

Sunnah dalam perannya. Pada dasarnya kedua sumber inilah yang selalu diutamakan dalam

mencari ketetapan hukum.

Melalui tugas ini kami ingin mengetahui sumber-sumber ilmu fiqh agar perilaku kita

selaras dengan ajaran agama Islam maka penulis mengambil judul : " Sumber-sumber Ilmu

Fiqh".

iii

Page 5: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

B. Rumusan Masalah

Selanjutnya penulis menghasilkan suatu konsekuensi yang terangkum dalam

pertanyaan sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud sumber ilmu fiqh?

2. Apa saja yang menjadi sumber ilmu fiqh?

C. Tujuan Penelitian.

Dari perumusan masalah yang dipaparkan diatas maka yang menjadi tujuan dalam

tugas ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa itu sumber ilmu fiqh

2. Mengetahui sumber-sumber illmu fiqh

D. Manfaat Penelitian.

Secara praktis hasil dari tugas ini diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan bahan

masukkan untuk berbagai pihak. Manfaatnya antara lain setelah melakukan presentasi banyak

manfaat yang dapat kita ambil salah satunya kita dapat mengetahui lebih dalam tentang

sumber-sumber ilmu fiqh.

iv

Page 6: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sumber Fiqh

Sumber fiqh adalah landasan yang digunakan untuk memperoleh hukum fiqh. Ulama

fiqh membagi dua macam sumber fiqh, yaitu sumber yang disepakati dan sumber yang

diperselisihkan.

Sumber yang disepakati atau dalam istilah Mustafa Ahmad az-Zarqa disebut dengan

al-Masadir al-Asasiyyah adalah Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Tetapi menurut

jumhur ulama fiqh sumber tersebut ada empat, yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, Ijma',

dan Qiyas.

Adapun sumber fiqh yang tidak disepakati seluruh ulama fiqh atau yang disebut juga dengan

al-masadir at-Taba'iyyah (sumber selain Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW) terdiri atas

Istihsan, Maslahat, Istishab, Urf, Sadd az-Zari'ah, Mazhab Sahabi, dan Syar'u Man Qablana.

Bagi ulama fiqh yang menyatakan bahwa al-Masadir al-Asasiyyah hanya terdiri dari Al-

Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma', Qiyas dan yang termasuk al-Masadir at-Taba'iyyah

tersebut dikatakan sebagai dalil atau metode untuk memperoleh hukum syara' melalui ijtihad.

Alasannya, metode-metode tersebut merupakan metode penggalian hukum Islam yang tidak

dapat berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan kepada Al-Qur'an dan atau sunnah Nabi SAW.

Oleh sebab itu, ada diantara metode ijtihad tersebut yang keabsahannya sebagai dalil

diperselisihkan ulama usul fiqh. Misalnya, metode istihsan diterima oleh ulama Mazhab

Hanafi, Maliki dan sebagian Mazhab Hanbali sebagai dalil; sedangkan ulama Mazhab Syafi'i

menolaknya. Karenanya dalam suatu kasus akan ditemukan beberapa hukum, apabila

landasan yang dipakai adalah salah satu dari al-Masadir at-Taba'iyyah tersebut.

B. Sumber-Sumber Fiqh

1. Al-Qur’an

Secara Bahasa (Etimologi)

Merupakan mashdar dari Qoro-’a ( ) yang bermakna Talaa ( ) keduanya berarti

membaca, atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi).

1

Page 7: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

Secara Syari’at (Terminologi)

Al-Qur’an adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para

Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan

diakhiri dengan surat an-Naas.

Allah ta’ala berfirman dalam QS. Al-Insaan ayat 23 yang berbunyi :

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad)

dengan berangsur-angsur.” (al-Insaan:23)

Dan firman-Nya QS. Yusuf ayat 2 yang berbunyi :

Artinya : “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa

Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)

Allah ta’ala telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah,

mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya

sebagaimana dalam firman-Nya, QS. Al Hijr ayat 9 yang berbunyi :

Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya

Kami benr-benar memeliharanya.” (al-Hijr:9)

Nama-Nama Al-Qur’an

1. Al kitab (kitabullah) yang merupakan sinonim dari kata Al Qur’an artinya, kitab suci sebagai

petunjuk bagi orang yang bertakwa nama ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah

ayat 2.

2. Az-zikr artinya peringatan, nama ini di terangkan dalam Al-Qur’an surat al-hijr ayat 9.

3. Al- furqan, artinya pembedaan,nama ini diterangkan dalam surat al Furqan ayat 1.

4. As-suhuf berarti lembaran-lembaran, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-

bayinah ayat 2.

Pembagian surat dalam Al-Qur’an.

1. Assabi’uthiwaal, yaitu tujuh surat yang panjang, ketujuh surat itu yaitu al-baqarah (286),

al-A’raf (206), Ali Imran (200), an-nisa (176), al an’am (165),al-maidah (120), dan

Yunus (109)

2. Al-Miuun, yaitu surat yang berisi seratus ayat lebih. Maksudnya surat-surat tersebut

memiliki ayat sekitar seratus ayat atau lebih. Misalnya,surat Hud (123 ayat),Yusuf (111

ayat), dan At-Taubah (129 ayat).

2

Page 8: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

3. Al-Matsaani, yaitu surat-surat yang berisi kurang dari seratus ayat. Maksudnya surat-surat

tersebut kurang dari seratus ayat.Misalnya,surat Al-anfal (75 ayat),ar-rum (60 ayat),dan

al-hijr(99 ayat).

4. Al- Mufashshal, yaitu surat-surat pendek seperti al-ikhlas,ad-duha,dan an-nasr.suat-surat

seperti ini kebannyakan di temukan dalam juz ke 30.

Wahyu yang pertama dan terakhir diturunkan .

Wahyu yang di turunkan oleh Allah swt kepada nabi Muhammad adalah surat Al-Alaq

ayat ke 1-5 di gua hira. Tepatnya pada tangal 17 ramadan,tahun ke 40 bertepatan dengan

tanggal 6 Agustus 610 M.

Proses turunnya Al-Qur’an

Ada 3 pendapat yang berkenaan dengan proses turunnya Al-Qur’an :

1. Al-Qur’an diturunnkan sekaligus

Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadar kemudian diturunkan secara

berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw.

2. Al-Qur’an di turunkan secara berangsur-angsur

Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur pada setiap malam lailatul qadar.

3. Al-Qur’an diturunkan dari Lauhul Mahfuz ke Baitul izzah. AL-Qur’an diturunkan pertama

kali pada malam lailatul qadar sekaligus dari Lauhul Mahfuz ke Baitul izzah,kemudian baru

diturunkan sedikit demi sedikit kepada Nabi Muhammad saw.

Sejarah turunnya Al-Qur’an

Allah SWT menurunkan Al-Qur’an dengan perantaraan malaikat jibril sebagai

pengantar wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di gua hiro pada tanggal

17 ramadhan ketika Nabi Muhammad berusia / berumur 41 tahun yaitu surat al alaq ayat 1

sampai ayat 5. Sedangkan terakhir alqu’an turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10

hijriah yakni surah al-maidah ayat 3. Alquran turun tidak secara sekaligus, namun sedikit

demi sedikit baik beberapa ayat, langsung satu surat, potongan ayat, dan sebagainya.

Turunnya ayat dan surat disesuaikan dengan kejadian yang ada atau sesuai dengan

keperluan.

3

Page 9: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

Selain itu dengan turun sedikit demi sedikit, Nabi Muhammad SAW akan lebih

mudah menghafal serta meneguhkan hati orang yang menerimanya. Lama al-quran

diturunkan ke bumi adalah kurang lebih sekitar 22 tahun 2 bulan dan 22 hari.

Fungsi Al-Qur’an

1. Petunjuk bagi Manusia.

Allah swt menurunkan Al-Qur’an sebagai petujuk umar manusia, seperti yang dijelaskan

dalam surat (Q.S AL-Baqarah 2:185) (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-Fusilat 41:44)

2. Sumber pokok ajaran islam.

Fungsi AL-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya

oleh segenap hukum islam. Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara umum

seperti hokum, ibadah ,ekonomi, politik, social, budaya, pendidikan, ilmu pengethuan dan

seni.

3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia.

Dalam AL-Qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu,baik umat

yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka yang menentang dan

mengingkari ajaran-Nya. Bagi kita, umat uyang akan datang kemudian tentu harus pandai

mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.

4. sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw.

Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi Muhammad saw.

Tujuan Pokok Al-Quran

1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul

dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari

pembalasan.

2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma

keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual

atau kolektif.

3. petunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum

yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau

dengan kata lain yang lebih singkat, “Al-Quran adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke

jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat.”

4

Page 10: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

Pokok Ajaran Dalam Isi Kandungan Al-Qur’an

1. Akidah

Akidah adalah keyakinan atau kepercayaan. Akidah islam adalah keyakinan atau

kepercayaan yang diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati oleh setiap muslim. Dalam

islam, akidah bukan hanya sebagai konsep dasar yang ideal untuk diyakini dalam hati seorang

muslim. Akan tetapi, akidah tau kepercayaan yang diyakini dalam hati seorang muslim itu

harus mewujudkan dalam amal perbuatan dan tingkah laku sebagai seorang yang beriman.

2. Ibadah dan Muamalah

Kandungan penting dalam Al-Qur’an adalah ibadah dan muamallah. Menurut Al-

qur’an tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah.

Seperti yang dijelaskan dalam (Q.S Az,zariyat 51:56)

Manusia selain sebagai makhluk pribadi juga sebagai makhluk sosial. Manusia

memerlukan berbagai kegiatan dan hubungan alat komunikasi. Komonikasi dengan Allah

atau hablum minallah, seperti shalat, membayar zakat dan lainnya. Hubungan manusia

dengan manusia atau hablum minannas, seperti silahturahmi, jual beli, transaksi dagang, dan

kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan seperti itu disebut kegiatan Muamallah, tata cara

bermuamallah di jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 82.

3. Hukum

Secara garis besar Al-Qur’an mengatur beberapa ketentuan tentang hukum seperti hukum

perkawinan, hukum waris, hukum perjanjian, hukum pidana, hukum musyawarah, hukum

perang, hukum antar bangsa.

4. Akhlak

Dalam bahasa Indonesia akhlak dikenal dengan istilah moral. Akhlak, di samping

memiliki kedudukan penting bagi kehidupan manusia, juga menjadi barometer kesuksesan

seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Nabi Muhammad SAW berhasil menjalankan

tugasnya menyampaikan risalah islamiyah, antara lain di sebabkan memiliki komitmen yang

tinggi terhadap akhlak. Ketinggian akhlak Beliau itu dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an surat

al-Qalam ayat 4.

5. Kisah-kisah umat terdahulu

Kisah merupakan kandungan lain dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menaruh perhatian penting

terhadap keberadaan kisah di dalamnya. Bahkan, didalamnya terdapat satu surat yang di

namakan al-Qasas. Bukti lain adalah hampir semua surat dalam Al-Qur’an memuat tentang

5

Page 11: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

kisah. Kisah para nabi dan umat terdahulu yang diterangkan dalam Al-Qur’an antara lain di

jelaskan dalam surat al-Furqan ayat 37-39.

6. Isyarat pengemban ilmu pengetahuan dan teknologi

Al-Qur’an banyak mengimbau manusia untuk menggali dan mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Seperti dalam surat ar-rad ayat 19 dan al zumar ayat 9. Selain

kedua surat tersebut masih banyak lagi dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi seperti

dalam kedokteran, farmasi, pertanian, dan astronomi yang bermanfaat bagi kemajuan dan

kesejahteraan umat manusia.

Keistimewaan Dan Keutamaan Al-qur’an

1. Memberi pedoman dan petunjuk hidup lengkap beserta hukum-hukum untuk

kesejahteraan dan kebahagiaan manusia seluruh bangsa dimanapun berada serta

segala zaman / periode waktu.

2. Memiliki ayat-ayat yang mengagumkan sehingga pendengar ayat suci al-qur’an dapat

dipengaruhi jiwanya.

3. Memberi gambaran umum ilmu alam untuk merangsang perkembangan berbagai

ilmu.

4. Memiliki ayat-ayat yang menghormati akal pikiran sebagai dasar utama untuk

memahami hukum dunia manusia.

5. Menyamakan manusia tanpa pembagian rata, kelas, golongan, dan lain sebagainya.

Yang menentukan perbedaan manusia di mata Allah SWT adalah taqwa.

6. Melepas kehinaan pada jiwa manusia agar terhindar dari penyembahan terhadap

makhluk serta menanamkan tauhid dalam jiwa.

Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur

1. Untuk menguatkan hati Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam . Firman-Nya:“Orang-orang

kafir berkata, kenapa Qur’an tidak turun kepadanya sekali turun saja? Begitulah, supaya

kami kuatkan hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).”

(Al-Furqaan: 32)

2. Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari Qur’an karena menurut mereka

aneh kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur. Dengan begitu Allah

6

Page 12: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

menantang mereka untuk membuat satu surat saja yang (tak perlu melebihi) sebanding

dengannya. Dan ternyata mereka tidak sanggup membuat satu surat saja yang seperti Qur’an,

apalagi membuat langsung satu kitab.

3. Supaya mudah dihapal dan dipahami.

4. Supaya orang-orang mukmin antusias dalam menerima Qur’an dan giat

mengamalkannya.

5. Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu

hukum.

2. As-Sunnah

Secara etimologis Sunnah berarti “jalan yang dilalui” atau “cara yang senantiasa

dilakukan”. Sedangkan secara syara’ adalah “sesuatu yang datang dari Rasulullah, baik

berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan”.

Secara terminologi, Sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu hadits,

ilmu fiqh dan ushul fiqh. Menurut ahli hadis, Sunnah identik dengan hadits. Sedangkan

menurut ahli ushul fiqh adalah “segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW, berupa perkataaan,

perbuatan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.

Sunnah menurut ahli fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan para ulama

ushul fiqh diatas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang mengandung

pengertian “perbuatan yang apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan

tidak berdosa.

Berdasarkan definisi diatas, para ahli ushul fiqh membagi Sunnah sebanyak tiga

macam :

1. Sunnah Fi’liyyah (perbuatan), yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi SAW yang dilihat atau

diketahui dan disampaikan kepada orang lain. Misalnya, tata cara shalat yang ditunjukkan

Rasulullah SAW, kemudian disampaikan sahabat yang melihat atau mengetahuinya kepada

orang lain.

2. Sunnah Qauliyyah (ucapan), yaitu ucapan Nabi SAW yang didengar dan disampaikan

seseorang atau bebebrapa sahabat kepada orang lain, misalnya sabda Rasulullah yang

diriwayatkan Abu Hurairah : Tidak sah shalat yang tidak membaca surat al-Fatihah (H.R

Bukhari dan Muslim).

3. Sunnah Taqririyah (ketetapan) ialah : sesuatu yang timbul dari sahabat yang telah diakui

7

Page 13: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

oleh Rasulullah SAW, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Pengakuan tersebut

adakalanya dengan sikap diamnya dan tidak adanya keingkaran beliau, atau dengan adanya

persetujuan dan pernyataan penialaian baik terhadap sikap ini.

Pembagian As-Sunnah Berdasarkan Sanad.

As-Sunnah ditinjau dari perawi-perawinya dari Rasulullah SAW, dibagi tiga macam,

yaitu:

1. Sunnah Mutawatirah, sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (rawi) yang

biasanya rawi-rawi itu tidak mungkin mengadakan sekutu untuk melakukan kebohongan. Hal

tersebut karena jumlah mereka banyak, jujur dan berbeda lingkungannya. Kemudian dari

mereka diceritakan kepada orang lain hingga sunnah tersebut bisa sampai kepada kita dengan

sanad kelompok rawi dari masing-masing tingkatan yang tidak pernah melakukan

persekongkolan melakukan bohong sejak diterimanya dari Rasulullah.

2. Sunnah Masyhurah, Sunnah yang diriwayatkan dari rasulullah SAW oleh seorang atau

dua orang atau kelompok sahabat yang tidak mempunyai derajat atau tingkatan tawatur.

Kemudian, beberapa rawi atau sekelompok dari kelompok-kelompok yang tawatur itu

meriwayatkan hadits tersebut dari seorang rawi atau beberapa rawi. Dari kelompok ini,

diriwayatkan oleh kelompok lain yang sepadan hingga kepada kita sanad bahwa kelompok

pertama mendengar dari perkataan Rasulullah atau melihat perbuatan Rasulullah oleh seorang

atau dua orang. Namun kelompok ini belum mencapai derajat matawatir, walaupun

kelompok-kelompok itu sudah mencapai tingkat tawatur.

3. Sunnah Ahad, Sunnah yang diriwayatkan oleh kelompok yang tidak sampai kepada derajat

tawatur, atau yang diriwayatkan oleh seorang atau dua orang atau kelompok orang yang tidak

mencapai derajat tawatur.

Qath’i dan Zhanni-nya As-Sunnah.

Seperti halnya al-Qur’an, hadis pun demikian terdapat hadis yang qath’i dan zhanni.

Sedangkan ukuran ke qath’i dan ke zhannia tidak ditinjau dari lafadznya melainkan dari

sanad hadis tersebut.

Dari segi kedatangannya, maka sunnah mutawatiran merupakan sunnah yang pasti

kedatangannya dari Rasulullah SAW. Karena kemutawatiran periwayatan menunjukkan

8

Page 14: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

kepastian mengenai kebenaran beritanya. Sedangkan sunnah masyhurah merupakan sunnah

yang pasti datangnya dari shahabi atau sahabat yang menerimanya dari Rasulullah SAW.

Akan tetapi sunnah ini tidak pasti datang dari Rasulullah SAW, karena orang yang pertama

kali menerimanya dari beliau bukanlah kelompok perawi mutawatir. Oleh karena inilah,

maka ulama hanafiyyah menjadikan sunnah masyhurah ini dalam hukum sunnah mutawatir.

Jadi ia dapat mentakhsiskan keumuman al-Qur’an, membatasi kemutlakannya, karena sunnah

ini dipastikan kedatangannya dari sahabat.

Sunnah ahad adalah sunnah zhannniyah datangnya dari Rasulullah, karena tidak

menunjukkan kepastian di dalam sanadnya. Adapun dari segi dalalahnya (pengertiannya),

maka setiap maka setiap sunnah dari beberapa bagian ini, maka kadangkala ada yang

dalalahnya qath’i apabila nashnya tidak memungkinkan pentakwilan, dan ada kalanya

dalalahnya zhanni apabila nashnya mengandung kemungkinan akwil.

c. Perkataan dan Perbuatan Rasul Yang Tidak Termasuk Syari’at.

Sabda dan perbuatan yang keluar dari Rasulullah merupakan hujjah atas umat

Islam. Kewajiban terhadap segala perbuatan rasulullah hanyalah apabila ia keluar saat dalam

fungsinya sebagai Rasulullah dan hal itu dimaksudkan untuk membentuk hukum secara

umum dan sebagai tuntunan.

Beberapa hal yang datang dari Rasulullah tapi tidak termasuk syari’at:

1. Segala hal yang keluar dari Rasulullah yang bersifat naluri kemanusiaan, seperti berdiri,

duduk, berjalan, tidur, makan, minum adalah bukan syari’at. Karena hal ini bukanlah

bersumber dari risalahnya.

2. Apa-apa yang bersumber dari Rasulullah yang sifatnya pengetahuan manusia, misalnya

kepintaran, dan percobaan tentang masalah dunia. Misalnya: sewa menyewa, pertanian,

menagtur tentara, siasat perang atau cara pengobatan dan lain-lainnya.

3. Hal-hal yang keluar dari Rasulullah SAW dan ada dalil yang menunjukkan itu adalah

khusus bagi beliau dan bukan pula merupakan tuntunan, maka hal itu bukanlah hukum

syari’at Islam secara umum. Sebagaimana beliau menikah dengan lebih dari empat orang

istri.

9

Page 15: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

3. Ijma’

a. Pengertian ijma'

Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad)

terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu”.

(Qs.10:71)

Pengertian kedua, berarti kesepakatan.

Sebagaimana firman Allah SWT:

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur

(lalu mereka memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) Kami

wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan

mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” (QS. Yusuf:15)

Adapun perbedaan kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu

orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau

lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.

Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara'

dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah

setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau

yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk

mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA

sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui

pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya.

Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.

Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum

muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.

b. Dasar hukum ijma'

1) Al-Qur'an

Allah SWT berfirman:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan

ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)

Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang

10

Page 16: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah

raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para

mujtahid.

Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu

ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan

dipatuhi oleh kaum muslimin.

Firman AIlah SWT:

Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan

janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)

Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-

berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang

bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para

mujtahid.

Firman Allah SWT QS. An-Nisa ayat 115 yang berbunyi :

Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan

mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa

terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan

jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)

Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga

maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan

sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."

2) AI-Hadits

Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa

atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan

kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda

Rasulullah SAW:

Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu

Daud dan Tirmidzi)

3) Akal pikiran

Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas

asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah

11

Page 17: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam

berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad

itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang

mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu

nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh

melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil

yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah

melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan

jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan

berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di

atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak

yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

c. Rukun Ijma’

Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid

kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .

Kesepakatan itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:

1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya

hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu

orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.

2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu

masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas

hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid

ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut

Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid

di dunia Islam dalam suatu masa.

3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka

dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.

4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika

sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kesepakatan yang ‘banyak’ secara

ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka

tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.

12

Page 18: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

Syarat Mujtahid

Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat: Syarat pertama,

memiliki pengetahuan sebagai berikut:

1. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an

2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah

3. Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya

4. Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih

5. Menguasai ilmu bahasa

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki

pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid

dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat

mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal:

1. Harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna

2. Harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan

pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah

d. Kehujjahan Ijma’

Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung

seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin

walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya.

Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik

dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.

Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu

disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya.

Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah

disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum

syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).

e. Kemungkinan Terjadinya ijma'

Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai

sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas

tiga periode, yaitu:

1. Periode Rasulullah SAW;

2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan

13

Page 19: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

3. Periode sesudahnya.

Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa

atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan

hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam

kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah

adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah

SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang

menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat

bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-

Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka

berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada

ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit

kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada

masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara

kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan

para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.

Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-

gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman

mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam

pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum

muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah

bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan

perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan

sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti

Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga

dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.

Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan

sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia,

Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan

ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

14

Page 20: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;

2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin

Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua

pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan

rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak

bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.

Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau

suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau

minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya

minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat

Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang

beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam.

Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah

dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid

India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa

setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai

ijma' lokal.

Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil

oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat

umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat

59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam

untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-

kepentingan rakyat mereka.

Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan

seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang

mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum

muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha

yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh

orang seorang.

f. Macam-macam ijma'

Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-

kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat

15

Page 21: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.

Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:

1) ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan

tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau

ijma' haqiqi;

2) Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak

menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak

memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain

yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:

1) ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar

terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah

ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;

2) ljma' dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada

kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda

dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.

Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan

dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah:

1) Ijma' sahabat, yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;

2) Ijma' khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar,

Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa

ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar

meninggal dunia ijma' tersebut tidak dapat dilakukan lagi;

3) Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin

Khattab;

4) Ijma' ahli Madinah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah.

Ijma' ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki,

tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;

5) Ijma' ulama Kufah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab

Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

16

Page 22: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

4. Qiyas

a. Pengertian Qiyas

Secara etimologi, kata Qiyas ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau

penyamaan sesuatu dengan yang lainnya. Tentang arti qiyas menurut terminologi, terdapat

definisi yang berbeda menurut sebagaian ulama diantaranya:

Menurut Abu Hasan Al Bashri yang memberikan definisi qiyas “sebagai usaha

dalam menghasilkan (memenetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama

dalam Illat hukum menurut ijtihad”.

Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya

dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan

hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan

sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena

adanya persamaan illat hukum.

Dalam buku ushul Fiqh 1 karangan Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, menjelaskan

tentang hakikat Qiyas yaitu :

1. Ada dua kasus yang mempunyai Illat yang sama;

2. satu diantara dua kasus yang bersamaan Illatnya itu sudah ada hukumnya yang di

tetapkan berdasarkan nash, sedangkan kasusu satu lagi belum di ketahui hukumnya;

3. berdasarkan illat yang sama seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak

ada nashnya seperti hukum yang berlaku pada kasus pada hukum yang telah di tetapkan

berdasarkan nash.

Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa

karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.Umpamanya hukum

meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram.

Sebagaimana firman Allah Swt:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,

(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan

syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S

5:90)

Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap

minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka

minuman tersebut adalah haram.

17

Page 23: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham

dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-

hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma

ulama.

2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak

menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha

mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna

menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan

hukum hanya dari teks nash semata.

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai

hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini

menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.

b. Rukun Qiyas

Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:

1) Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan

tempat mengqiyaskan.

2) Far’u (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya.

3) Hukm Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash.

4) Illat, yaitu sifat yang yang terdapat pada Ashl. Dengan sifat itulah, ashl mempunyai

suatu hukum.

c. Qiyas sebagai dalil hukum Syara’

Memang, tidak ada nash yang menjelaskan tentang Qiyas sebagai Dalil Syara’ untuk

menetapkan hukum, juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan

hukum syara’ di luar yang di tetapkan oleh nash. Tetapi jumhur ulama telah menjadikan

Qiyas sebagai dalil syara’, mereka menggunakan Qiyas dalam hal yang tidak terdapat dalam

nash dan dalam ijma’ ulama. Mereka menggunakan Qiyas secara tidak berelbihan dan ti dak

melampui bats kewajaran.

Para jumhur ulama ini mengemukakan dalil-dalil sebagai dasar dalm menerima

kehujjahan qiyas yakni diantaranya:

Di dalam Q.S al Hasyr (59) ayat 2 :

18

Page 24: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

Artinya :“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari

kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka,

bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat

mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka

(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan

dalam hati mereka;”. (al-Hasyr 2)

Penjelasan itu diantaranya dapat dilihat dari keterangan yang di riwayatkan dari

tsalab. Ia berkata bahwa al-itibar dalam bahas arab berarti mengembalikan hukum sesuatu

kepada yang sebanding dengannya. Ia dinamai “ashal” yang kepadanya di kembalikan

bandingannya secara ibarat.dan inilah yang disebut dengan Qiyas.

Berdasarkan sabda rasulullah SAW. Dalam membaiat Mua’adz bin jabal sebagai wali

kota yaman, dalam penjelasannya Rasulullah telah menerangkan bahwa telah di bolehkannya

berijtihad, bila tidak terdapat dalam nash dari Al-Qur’an dan As sunnah. Ijtihad ini tidak lain

adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai suatu ketetapan hukum.sedang usaha

itu dapat di juga di jalankan dengan menganalogikan peristiwa yang tidak ada nashnya

kepada peristiwa yang ada nashnya dengan memperhatikan persamaan illatnya (ini di sebut

dengan Qiyas).

Bila di pahami dengan logika, penetapan Qiyas sebagai salah satu dalil syara’ dapat

dilihat dari analisa-analisa logis diantaranya ialah keterbatasan pada nash-nash al qur’an dan

As Sunnah, sedang kejadian-kejadian pada manusia itu tidak terbatas dan tidak berakhir. Oleh

karena itu tidak mungkin nash-nash yang terbatas itu di jadikan sebagai sumber terhadap

kejadian-kejadian yang tidak terbatas. Dengan demikian Qiyas merupakan sumber

perundang-undangan yang dapat mengikuti kejadian-kejadian baru dan dapat menyesuaikan

dengan kemaslahatannya.

d. Kehujjahan Qiyas

Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan

termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat

hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan

hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan

selanjutnya menjadi hukum syar’i.

Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman

Allah:

19

Page 25: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-

kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka

akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan

mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah

yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;

mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-

orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang

mempunyai wawasan. (Qs.59:2)

Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk

‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan

sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari

pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini

mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan

melampaui.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di

antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah

ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada

Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

(Qs.4:59) Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali

kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya

menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan

Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.

Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn

Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah

Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah

satu macam ijtihad. Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya

para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa

seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’

menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.

Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia

berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya)

benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah

20

Page 26: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti

kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan

anak.

Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt

mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan

tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an

maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak

terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber

hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan

munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap

hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.

21

Page 27: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

BAB III

KESIMPULAN

Al-Qur’an ditinjau secara garis besar masih bersifat universal, sehingga

terjemahan al-Qur’an meskipun sempurna tidak dapat dikatakan sempurna, karena tidak ada

yang mampu menandingi kalam Allah. Dan satu-satunya yang mampu sempurna dalam

penerjemahannya adalah Nabi SAW.

Saat ini kita tidak mungkin untuk bertemu dengan Rasulullah, namun kita bisa

memahami maksud al-Qur’an melalui Sunnah Beliau. Seperti pesan beliau ketika haji Wada’,

bahwa beliau berpesan untuk selalu berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Pesan beliau

ini memberi inidikasi bahwa dua aspek ini yang paling penting diantara yang lain.

Terbukti sekali dengan hubungan yang tak terpisahkan antara keduanya, dimana

para ulama mengeluarkan pendapat berlandaskan dua sumber diatas.

Thuruq Maknawiyah atau cara pendekatan terhadap makna-makna yang telah

dipahami dari lafazhnya adalah peninjauan terhadap makna dengan metode atau cara-cara

dalam menggali hukum. Adapun disini kita membahas hanya dua cara saja yaitu ijma dan

qiyas.

Seluruh ulama sepakat bahwa ijma merupakan hujjah. Ijma memiliki

kedudukan pentign dalam sumber hukum islam setelah al-Quran dan sunah.

Berdasarkan pada penjalan diatas maka dapat di pahami dan ditetapkan bahwa

Qiyas ini merupakan salah satu usaha dari upaya untuk menetapkan suatu hukum atau dengan

kata lain Qiyas merupakan salah satu dari dalil-dalil syara’ yang menuntuk kehujjahan

atasnya. Dan penetapan itu telah didasarkan pada penjelasan Al-Qur’an, As Sunnah, dan

upaya logika dalam menjelaskan hal tersebut.

22

Page 28: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

BAB IV

PENUTUP

Demikianlah makalah ini kami buat, kami sadar dalam makalah ini masih banyak kesalahan

dalam penulisan maupun dalam penyampaiannya. Untuk itu, kritik dan saran yang

membangun sangat kami perlukan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga

makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

23

Page 29: Makalah Sumber-sumber Ilmu Fiqh

DAFTAR PUSTAKA

http://memey7894.blogspot.co.id/2014/02/makalah-sumber-sumber-ilmu-fiqh.html

Abu zahrah, Muhammad. 2007. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus