makalah fiqh

22
MUSAQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH Disusun oleh : Hikmatul Umami Miftahul Hasanah Siti Nur Rohmah PENDAHULUAN Ketika kita perhatikan kehidupan masyarakat Indonesia yang sebagian besar bermatapencahariaan sebagai petani (negara agraris). Praktik pemberian imbalan atas jasa seseorang yang telah menggarap tanah orang lain masih banyak dilaksanakan pemberian imbalan ada yang cenderung pada praktek muzara’ah dan ada yang cenderung pada praktik mukhabarah. Hal tersebut banyak dilaksanakan oleh para petani yang tidak memiliki lahan pertanian hanya sebagai petani penggarap. Muzara’ah dan mukhabarah ada Hadits yang melarang seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Bukhari) dan ada yang membolehkan seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Muslim). Berdasarkan pada dua Hadits tersebut mudah – mudahan kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan oleh salah satu pihak, baik itu pemilik tanah maupun penggarap tanah. Untuk itu, sangatlah penting mengetahui beberapa hal tentang permasalahan ini. Diantaranya adalah tentang pengertian, syarat, rukun, hukum, dan 1

Upload: dirisaya

Post on 17-Nov-2015

25 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

tentang mata kuliah fiqih

TRANSCRIPT

MUSAQAH, MUZARAAH, DAN MUKHABARAHDisusun oleh :Hikmatul UmamiMiftahul HasanahSiti Nur Rohmah

PENDAHULUANKetika kita perhatikan kehidupan masyarakat Indonesia yang sebagian besar bermatapencahariaan sebagai petani (negara agraris). Praktik pemberian imbalan atas jasa seseorang yang telah menggarap tanah orang lain masih banyak dilaksanakan pemberian imbalan ada yang cenderung pada praktek muzaraah dan ada yang cenderung pada praktik mukhabarah. Hal tersebut banyak dilaksanakan oleh para petani yang tidak memiliki lahan pertanian hanya sebagai petani penggarap.Muzaraah dan mukhabarah ada Hadits yang melarang seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Bukhari) dan ada yang membolehkan seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Muslim). Berdasarkan pada dua Hadits tersebut mudah mudahan kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan oleh salah satu pihak, baik itu pemilik tanah maupun penggarap tanah.Untuk itu, sangatlah penting mengetahui beberapa hal tentang permasalahan ini. Diantaranya adalah tentang pengertian, syarat, rukun, hukum, dan permasalah yang telah ada dalam masalah Musaqah, Muzaraah, dan Mukhabarah yang akan kami bahas dalam makalah ini.

PEMBAHASAN1. Musaqoh a. DevinisiMusaqoh secara etimologis diambil dari kata Saqyu yang berarti pengairan, sedangkan menurut terminologi adalah kontrak kerja sama antara pemilik pohon kurma atau anggur dengan pekerja untuk memberikan layanan irigasi dan perawatan dengan perjanjian hasil panen dibagi dua.[footnoteRef:1] [1: Abu Zakaria Muhyi al-Din Yahya, al-Majmu Syarkh al-Madzhab, (Bairut :Dar al-Fikr, 1994), XIV:132-133.]

b. Rukun Musaqoh itu ada enam: 1. Malik : pemilik lahan atau tanaman. 2. Amil : pekerja yang bertugas mengairi dan merawat tanaman . Malik dan Amil disyaratkan harus orang yang bisa mengadakan transaksi secara independen (ahli at-tasyaruf). Orang yang tidak memenuhi kriteria, seperti anak kecil dan orang gila tidak sah mengadakan akad musaqoh, jika dalam keadan terdesak maka yang mengadakan transaksi harus dari pihak walinya.[footnoteRef:2] [2: al-Mustafa al-Khinni, al-Fiqh al-Manhaji, (Damsyiq: Dar al-Qalam), III:189.]

3. Amal : Pekerjaan dalam akad musaqoh. Pekerjaan itu ada dua yakni pekerjaan Amil dan pekerjaan malik. Pekerjaan Amil yaitu sesuatu yang berhubungan dengan pekembangan dan kualitas buah, sedangkan pekerjaan malik yaitu sesuatu yang berhubungan dengan pohon, seperti membuat saluran irigasi, sumur, dan pagar.[footnoteRef:3] [3: Abu Bakr bin Muhammad, Kifayat al-Akhyar, (Damsyiq :Dar al-Khair, 1994), I:308.]

4. Tsamroh : Buah dari pohon atau tanaman yang menjadi obyek kerja dalam akad musaqoh dan menjadi upah dari kerja amil. Buah disini mempunyai tiga syarat: Buah itu khusus dimiliki oleh kedua pihak saja ( malik dan amil ), jika memasukkan pihak ketiga maka akad musaqoh tidak sah. Buah dimiliki secara syirkah antara malik dan amil. Buah ditentukan secara prosentase (juziyah), jika ditentukan dengan nominal maka akad musaqoh batal.5. Shighoh : Bahasa yang digunakan dalam transaksi (ijab dan qobul) yang berisi perjanjian kerja sama, shighohnya adalah seperti ucapan malik kepada amil Kemudian amil menjawab: atau saya terima6. Maurid Al- amal : Obyek kerja dalam akad musaqoh. c. Konsekuensi Hukum Akad MusaqohSetelah rukun dan syarat-syarat dalam akad musaqoh terpenuhi maka konsekuensi hukum yang ditetapkan dalam akad musaqoh antara lain: 1. Status AkadStatus akad musaqoh adalah lazim dari keduanya (malik danamil), maksudnya, ketika syarat dan rukun dalam akad musaqoh terpenuhi kedunya menjadi terikat dengan kontrak dan tidak bisa dibatalkan tanpa kesepakatan pihak lain. Status ini ditetapkan untuk kemaslahatan kontrak yang dilakukan kedua belah pihak. Sebab apabila berlaku jaiz ( amil tidak terikat dan bebas membatalkan kontrak sewaktu- waktu secara sepihak) maka malik akan dirugikan, karena malik kemungkinan tidak bisa menggarap atau menyelesaikan pekerjaannya, begitu juga sebaliknya, maka akan merugikan pihak amil sebab jatah buah yang telah ditentukan dalam kontrak akan hilang, dimana nilainya secara umum lebih besar dibandingkan dengan upah standar. Selain itu, akad musaqoh berstatus lazim supaya akad musaqoh itu tidak menjadi batal disebabkan: Kematian dari salah satu kedua pihak (malik dan amil), misalnya: jika amil mati ditengah masa kontrak musaqoh, akad tidak batal, dan ahli waris yang mengambil alih posisi amil untuk melanjutkan kontrak, baik dilakukan sendiri atau menyewa orang lain, begitu juga sebaliknya, jika malik mati, kontrak amil tetap berlanjut dan tetap berhak mendapat bagiannya. Pegkhianatan yang dilakukan pihak amil. Kaburnya amil karena sakit atau dipenjara.Jika malik tidak mungkin mempekerjakan amil lagi karena sebab-sebab tersebut, maka malik boleh menyewa orang untuk menggantikan posisi amil dengan upah yang diatasnamakan oleh aamil. 2. Otoritas amilKekuasan amil atas obyek akad musaqoh yang ia garap itu bersifat amanah, maksudnya, amil memiliki kekuasaan untuk mengggarap obyek akad tersebut didasarkan pada kepercayaan, sehingga tidak harus bertanggung jawab atas kerusakan obyek musaqoh. Terkecuali jika terdapat motif kecerobohan.[footnoteRef:4] [4: al-Mustafa al-Khinni, al-Fiqh al-Manhaji, (Damsyiq: Dar al-Qalam), III:195-196.]

3. Masa KontrakMenurut qoul adhhar akad musaqoh sah diadakan baik ketika pohon atau tanaman telah berbuah atau belum. Bahkan ketika pohon atau tanaman telah berbuah itu lebih baik, sebab tingkat keuntungan semakin besar. Hanya saja, ketika pohon atau tanaman telah berbuah disyaratkan buah belum mencapai kondisi siap konsumsi, karena akan menghilangkan sebagian besar kerja amil, dan akad musaqoh tidak sah jika diadakan ketika pohon atau tanaman sudah mencapai kondisi siap konsumsi.Akad musaqoh disyaratkan harus ada batas waktu karena akad musaqoh merupakan akad lazim seperti akad ijaroh yang harus ada batas waktu, tanpa ada batas waktu amil akan memiliki kekuasaan terhadap obyek akad musaqoh layaknya malik. Batas waktu kontrak akad musaqoh ditentukan dengan masa umumnya pohon atau tanaman telah berbuah dalam rentang waktu tersebut.4. Bagi hasilApabila akad musaqoh diadakan sebelum pohon atau tanaman berbuah maka amil sudah bisa memiliki bagiannya sejak pohon atau tanaman sudah berbuah. Jika akad musaqoh diadakan setelah pohon atau tanaman berbuah maka amil bisa memiliki bagiannya sejak dilakukan akad musaqoh. 2. Muzaraaha. DevinisiAl-Muzaraah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. [footnoteRef:5] [5: Imron Abu Amar, Fathul al-Qorib, (Kudus: Menara Kudus, 1949), II:304.]

b. Rukun MuzaraahRukun Muzaraah terdiri dari 3 unsur yaitu:a. Pemilik lahan.b. Petani penggarap.c. Objek akadd. Ijab dan Kabulc. Berakhirnya akad Muzaraaha. Jangka wakatu yang disepakati berakhir.b. Apabila salah seorang yang berakad wafat.c. Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pihak pemilik lahan maupum dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan akad muzaraah tersebut.Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: Diantara hukum-hukum muzaraah adalah sebagai berikut:1. Masa muzaraah harus ditentukan misalnya satu tahun.2. Bagian yang disepakati dari ukurannya harus diketahui, misalnya setengah, sepertiga atau seperempatnya, dan harus mencakup apa saja yang dihasilkan tanah tersebut. Jika pemilik tanah berkata kepada penggarapnya: Engkau berhak atas apa yang tumbuh ditempat ini dan tidak ditempat yang lainnya. Maka hal ini tidak sah.3. Jika pemilik tanah mensyaratkan mengambil bibit sebelum dibagi hasilnya kemudian sisanya dibagi antara pemilik tanah dan penggarap tanah sesuai dengan syarat pembaginnya maka muzaraah tidak sah. [footnoteRef:6] [6: Imron Abu Amar, Fath al-Qorib, (Kudus: Menara Kudus, 1949), II:306.]

Seorang muslim yang mempunyai kelebihan tanah, disunnahkan memberikan kepada saudaranya tanpa konpensasi apapun, karena Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.3. Mukhabaraha. DevinisiDalam bahasa Indonesia arti dari muzaraah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzaraah dan mukhabarah mempunyai satu pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah tersebut mempunyai dua arti yang pertama tharh al-zurah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar ).[footnoteRef:7] [7: al-Mustafa al-Khinni, al-Fiqh al-Manhaji, (Damsyiq: Dar al-Qalam), III:197.]

Muzaraah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi. Sedangkan menurut istilah definisi para ulama yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). Sedangkan Imam SyafiI mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah 2 atau lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa arti dari Muzaraah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola. Seperti yang telah disebutkan bahwa munculnya pengertian muzaraah dan mukhabarah dengan tarif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzaraah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafii berdasar dhahir nash Imam Syafii. Sedangkan ulama yang menyamakan tarif muzaraah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketentuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi. Mukhabarah ialah kerjasama antara pemilik sawah/ladang dengan penggarap (petani), dan benih tanamannya dari pihak penggarap.[footnoteRef:8] Pembagian hasilnya menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Perbedaan antara muzaraah dengan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman. Jika muzaraah benih tanaman berasal dari pemilik tanah, maka dalam mukhabarah benih tanaman berasal dari penggarap (petani). Pada umumnya kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, separti padi, gandum, kacang, dll. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah pun dilakukan kerjasama muzaraah. Setelah di ketahui definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa mukhabarah dan muzaraah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzaraah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk di kelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah, disebut muzaraah. [8: Abu Bakr bin Muhammad, Kifayat al-Akhyar, (Damsyiq :Dar al-Khair, 1994), I:314.]

b. RukunAdapun Rukun Mukhabarah Menurut jumhur ulama ada empat, diantaranya adalah:1.Pemilik tanah, 2.Petani/Penggarap,3.Obyek mukhabarah,4.Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.c. SyaratAda beberapa syarat dalam mukhabarah, diantaranya adalah sebagai berikut:1.Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal. 2.Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.3.Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.4.Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.5.Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.e. Hikmah MukhabarahSeseorang dengan orang lain dapat saling membantu dengan bekerja sama yang saling meringankan dan menguntungkan, contohnya; seseorang memiliki binatang ternak (sapi, kerbau dll) dia sanggup untuk berladang dan bertani akan tetapi dia tidak memiliki sawah. Sebaliknya ada seseorang yang memiliki tanah yang dapat digunakan sebagai sawah, ladang akan tetapi tidak memiliki hewan yang dapat digunakan untuk mengelola sawah dan ladangnya tersebut. Disini manfaat dari muzaraah dan mukhabarah adalah dapat memanfaatkan sesuatu yang tidak dimiliki orang lain sehingga tanah dan binatang dapat digunakan dan dapat menghasilkan pemasukan yang dapat membiayai kebutuhan sehari-hari. Yang mana pembagian hasilnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.4. Hukum Muzaraah dan MukhabarahAda tiga pendapat tentang legalitas hukum akad Muzaraah dan Mukhabarah, yaitu:1. Batal, baik Muzaraah maupun MukhabarahPendapat ini diikuti dari kalangan sahabat, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah dan Rafi Ibn Khudaij, dari kalangan tabiin, Said bin Jubair dan Ikrimah, dari kalangan fuqaha, Asy-SyafiI, Malik dan Abu Hanifah.2. Sah, baik muzaraah maupun mukhabarahPendapat ini diikuti dari kalangan sahabat, Ali bin Abi Thalib, Anr bin Yasir dan dari kalangan fuqaha, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad, Ibn Mundzir, An-Nawawi,[footnoteRef:9] As-Subki.[footnoteRef:10] [9: Sulaiman bin Umar, Hasyiyah Ianah al-Thalibin, (Bairut: Dar al-Fikr), III:149.] [10: Zainudin Ahmad, Fath al-Muin, (Dar Bin Hazm), III:149.]

3. Batal jika Mukhabarah, dan sah jika MuzaraahPendapat ini diikuti oleh Ahmad Bin Hanbal dan Ishaq bin Rawahaih.[footnoteRef:11] [11: Abu Zakaria Muhyi al-Din Yahya, al-Majmu Syarkh al-Madzhab, (Bairut :Dar al-Fikr, 1994), XVI:123.]

Dalil diberbolehkannya muzaraah adalah: Dari Ibnu Umar rahuma bahwasanya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam pernah memperkerjakan penduduk khoibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah dan tanaman.Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: Diantara hukum-hukum muzaraah adalah sebagai berikut:1. Masa muzaraah harus ditentukan misalnya satu tahun.2.Bagian yang disepakati dari ukurannya harus diketahui, misalnya setengah, sepertiga atau seperempatnya, dan harus mencakup apa saja yang dihasilkan tanah tersebut. Jika pemilik tanah berkata kepada penggarapnya: Engkau berhak atas apa yang tumbuh ditempat ini dan tidak ditempat yang lainnya. Maka hal ini tidak sah.3.Jika pemilik tanah mensyaratkan mengambil bibit sebelum dibagi hasilnya kemudian sisanya dibagi antara pemilik tanah dan penggarap tanah sesuai dengan syarat pembaginnya maka muzaraah tidak sah. [footnoteRef:12] [12: Imron Abu Amar, Fath al-Qorib, (Kudus: Menara Kudus, 1949), II:306.]

Seorang muslim yang mempunyai kelebihan tanah, disunnahkan memberikan kepada saudaranya tanpa konpensasi apapun, karena Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.Ulama yang mengesahkan aqad Muzaraah dan Mukhabarah bertendensi pada amaliah sahabat Umar dan penduduk Madinah, serta sejumlah hadist, diantaranya: ) )Artinya: Dari Ibnu Umar: Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah buahan maupun dari hasil pertahun (palawija) (H.R Muslim). ( )Artinya: Berkata Rafi bin Khadij: Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari).Dan ulama yang membatalkan akad Muzaraah dan Mukhabarah bertendensi dengan sejumlah hadist, diantaranya: : : . ( )Artinya : Yala Bin Hakim meriwayatkan dari Sulaiman bin Yasir, bahwa Rafi bin Khudaij mengatakan, kami mengadakan kontrak mukhabarah. Nabi Muhammad SAW bersabda,: barang siapa memiliki tanah, maka tanamilah (sendiri) atau biarlah ditanami oleh saudaranya, dan janganlah menyewakannya dengan upah sepertiga, seperempat, atau berupa makanan yang disepakati. (HR. Ahmad)Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzaraah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzaraah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas. Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Alasan filosofis (mana) dari larangan akad Muzaraah dan Mukhabarah dalam hadist-hadist di atas adalah karena dalam kerja sama dengan kedua akad tersebut terdapat muatan spekulatif (gharar), yakni nominal keuntungan yang tidak jelas, sementara spekulasi demikian masih bisa dihindari dengan kerja sam ijarah. Berbeda dengan akad Musaqah, kendati nominal keuntungan juga bersifat spekulatif namun tetap dilegalkan, karena desakan hajah dan tidak memungkinkan dihindari melalui akad ijarah.Konsekwensi dari akad Muzaraah yang batal, maka seluruh hasil panen menjadi hak pemilik tanah (malik), sebab merupakan perkembangan atau hasil produktivitas (nama) dari benih yang secara hukum kepemilikan mengikuti pemiliknya, dan pekerjanya berhak mendapatkan upah standar atas kinerjanya dari pihak malik, sebab motivasi kerjanya adalah komersial. Sedangkan konsekuensi akad Mukhabarah yang batal, maka seluruh hasil panen menjadi hak amil, sebab merupakan perkembangan atau hasil produktivitas dari benih yang menjadi miliknya, dan pihak malik berhak mendapatkan ujrah mitsli dari pihak amil atas manfaat tanahnya.[footnoteRef:13] [13: Sulaiman bin Umar, al-Bajirami ala al-khatib, (Bairut: Dar al-Fikr), III:229.]

5. Muzaraah Paket MusaqahApabila aqad Muzaraah dilakukan bersamaan dengan aqad musaqah, maka hukumnya sah dengan syarat :1. Pekerja (amil) harus tunggal. Artinya pihak yang menjadi ;amil dalam akad muzaraah adalah pihak yang sama menjadi amil dalam akad musaqah.2. Pekerjaan aqad musaqah sulit dipisahkan dengan pekerjaan muzaraah.3. Aqad muzaraah diadakan tidak lebih dulu dari aqad musaqah, melainkan bersamaan atau musaqah lebih dulu.[footnoteRef:14] [14: Ibid.228.]

Menurut qaul ashah, tidak disyaratkan lahan yang diakadi musaqah lebih duas dari lahan yang diakadi muzaraah. Sebab legalitas akad muzaraah yang diikutsertakan pada musaqah adalah karena faktor sulitnya pemisahan kedua pekerjaan tersebut, dimana hal tersebut tidak berpengaruh oleh luas atau semptnya lahan. Demikian juga keuntungan masing-masing pihak dari akad musaqah tidak harus sama dengan keuntungan dari akad muzaraah.Legalitas akad dengan sistem paket musaqah ini hanya berlaku untuk akad muzaraah, sebab terdapat berkas sejarah amaliah Nabi SAW. Dan tidak berlaku untuk akad mukhabarah, sebab tidak terdapat dalam sejarah amaliah Nabi SAW. Lebih dari itu, karakteristik akad muzaraah juga memiliki kedekatan dengan akad musaqah, yakni pihak amil sama-sama hanya bermodal tenaga.6. Zakat Muzaraah dan MukhabarahZakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzaraah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya, sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.[footnoteRef:15] [15: Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid terjemahan, (Jakarta, Pustaka Azzam,2007)I: 483.]

7. ProblematikaSoal: Bagaimana hukumnya jika si malik dan amil melakukanaqad musaqoh pada pohon kurma yang masih kecil(dederan), supaya amil menanamnya??Jawab: tidak boleh, alasannya adalah :1. jika ada 2 orang(malik dan amil) kemudian si malik memberikan pohon kurma yang masih kecil(dederan) supaya si amil menanamnya, termasuk aqad musaqah, mukhabarah, muzaraah.2. tidak termasuk aqad musaqah karena pemberian dederan untuk malik kepada amil itu seperti halnya membayar biji oleh malik kepada amil. Sedangkan aqad musaqah itu si amil hanya bertanggung jawab kepada perawatan saja. dan tidak termasuk aqad mukhabarah karena aqad mukhabarah itu bijinya harus dari amil.3. Jadi, permasalahan di atas termasuk aqad muzaraah karena dalam aqad muzaraah biji harus dari malik.KESIMPULAN1. Muzaraah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah2.Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.3.Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu4.Dasar hukum yang dijadikan landasan Muzaraah, mukhabarah dan musaqah adalah hadits dari Ibnu Umar: Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah buahan maupun dari hasil pertahun (palawija) (H.R Muslim).5.Disyaratkan dalam muzaraah dan mukhabarah maupun musaqah ini ditentukan kadar bagian pekerja atau bagian pemilik tanah /buah dan hendaknya bagian tersebut adalah hasil yang diperoleh dari tanah/buah tersebut seperti sepertiga, seperempat atau lebih dari hasilnya.6.Ada perbedaan pendapat mengenai hukum dari muzaraah dan mukhabarah di kalangan ulama salaf, ada yang mengatakan muamalah ini haram dan ada yang membolehkannya dikarenakan perbedaan pemahaman hadits Nabi Muhammad SAW.7.Hukum dari muzaraah, mukhabarah dan musaqah ada yang bersifat sahih yaitu akad dari muamalah tersebut sesuai dengan ketentuan syara dan ada yang bersifat fasid (rusak) yaitu akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara.DAFTAR PUSTAKAAmar, Imron Abu. Fath al-Qarib. Kudus: Menara Kudus, 1949.Ahmad, Zainudin. Fath al-Muin. Damsyik: Dar Bin Hazm, 1994.Sulaiman. Khasyiyah Ianah at-Thalibin. Bairut: Dar al-Fikr, 1955.Muhyi, Abu Zakaria. Al-Majmu Syarkh al-Mahdzab. Bairut: Dar al-Fikr, 1994.Mustafa. al-Fiqh al-Manhaji. Damsyik: Dar al-Qalam, 1950.Bakr, Abu. Kifayah al-Akhyar. Damsyik: Dar al-Khair, 1994.Sulaiman. al-Bajirami Ala al-Khatib. Bairut: Dar al-Fikr, 1995.Al-Jarjawi, Syekh Ali Ahmad. Indahnya Syariat Islam. Jakarta: Gema Insani, 2006.Tim Laskar Pelangi. Metodologi Fiqih Muamalah. Kediri: Lirboyo Press, 2013.

12