makalah usul ,fiqh
DESCRIPTION
bahan kuliahTRANSCRIPT
MAKALAH USHUL FIQH
URF/ADAH,QAUL SHAHABAH DAN SYARA’UN MAN QABLANA
SEBAGAI DALIL HUKUM IJTIHAD
DI SUSUN OLEH : HERNIATI
NIM : 153 114 010
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI (FDK)
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) MATARAM
2012/2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,segala puji bagi Alllah yang telah memberikan Rahmat,taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga tulisan ini dapat terselesaikan.Shalawat seta salam semog atetap tercurahkan kepadam junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah membawa dan menyelamatkan umat manusia menuju jalan yang di ridhoi oleh Allah SWT yakni Addinul islam.
Seperti yang kita ketahui,ilmu usul fiqh merupakan suatu ilmu yang tidak bias kita pisahkan dari kehidupan sehyari-hari kareena di dalamnya terdapat hukum-hukum dalam agama islam mdan ilmu ini juga telah di sepakati oleh para ulam islam,bahwa segala tindakan manusia baik berupa ucapan maupun perbuatan di ambil dari nash-nash yang ada,dari dalil syariat islam bagi kasus yang tidak terdapat nashnya terbentuklah ilmu fiqh.Sedangkan usul fiqh adalah mpengetahuan tentang kaidah dan penjabaran yang di jadikan pedoman dalam menetapkan hukum syariat islam mengenai perbuatan manusia yang bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas.Adapun dalam makalah ini saya akan sedikit menguraikan Usul Fiqh khususnya tentang Al-Urf/Adah,Qaul Syahabah dan Syara’un man Qablan sebagai salah satu dalil hukum dan metode ijtihad.
Demikianlah beberapa masalah yang akan penulis uraikan dan dengan harapan makalah ini dapat di terima dengan baika dan di pergunakan dengan sebaik-baiknya.Apaabila ada kesalah dalam penulisan dan penyusunan makalh ini itu semata datangnya dari penulis karena kelebihan hanya milik Allah semata.Penulis juga menerima masukan dalam bentuk mkritikan yang bias di jadikan perbaikan dalam menyusun makalah-makalah berikutnya.
Mataram, 18 September 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
S. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat. Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1. ADAT ATAU UR’F
A. PENGERTIAN
Dalam disiplin/literatur ilmu Ushul Fiqh, pengertian adat (al-‘âdah) dan ‘urf mempunyai peranan yang cukup signifikan. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Kata ‘urf berasal dari kata ‘araf yang mempunyai derivasi kata al-ma‘rûf yang berarti sesuatu yang dikenal/diketahui.(1) Sedangkan kata adat berasal dari kata ‘âd yang mempunyai derivasi kata al-‘âdah yang berarti sesuatu yang diulang-ulang (kebiasaan). Dalam pengertian lain ‘urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat. Sedangkan menurut ahli Syara` ‘urf itu sendiri bermakna adat dengan kata lain ‘urf dan adat itu tidak ada perbedaan.‘Urf tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan sighat. Untuk ‘urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang lafaz tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan bukan anak wanita.(2)
Secara bahasa “Al-adatu” terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu” yang berarti “pengulangan”, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan. Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan antar manusia.
B. DALIL KAIDAH TENTANG ADAT DAN UR’F
Lafadl al-‘adah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun yang terdapat pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan hadits inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya ialah:
Dalil aI-Qur’an, Firman Allah Ta’ala :
(QS Al-Araaf[7]:199). Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Juga firman-Nya:
(QS.Al-Baqarah[2]: 180). diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf
Dan beberapa ayat lain yang menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku. Dalil dari as-Sunnah:
Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).
QAWAID FIQHIYAH YANG BERKAITAN
Berkaitan dengan ’Urf, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan:“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”
Qaidah yang lain:“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash”.
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai
dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyah memberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.
C. Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf DAN Urf dengan Ijma’
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah
para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
Tabel 1. Tabel perbandingan antara ’Urf dengan ’Adah’Urf ’AdahAdat memiliki makna yang lebih sempit Adat memiliki cakupan makna yang lebih
luasTerdiri dari ‘urf shahih dan fasid Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak Adat mencakup kebiasaan pribadi Adat juga muncul dari sebab alami Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan
kerusakan akhlak ’Urf lebih kuat dari qiyas karena ’urf adalah dalil yang berlaku umum dan bukti bahwa sesuatu memang dibutuhkan (Ibn Abidin). Contoh: sucinya kotoran merpati sesuai ’urf yang terjadi pada mesjid2 bahkan masjid al-haram. Ini tidak bisa diqiyaskan pada korotan ayam. Perbedaan ’Urf dengan ’Ijma Tabel 2. Tabel perbandingan antara ’Ijma dengan ’Urf’Ijma ’UrfDasarnya adalah kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum syar’i setelah Nabi SAW wafat
Tindakan mayoritas individu baik ’awam maupun ulama dan tidak harus dalam bentuk kesepakatan
Harus berdasarkan dalil Syara Tidak harus berdasarkan dalil Syara’Ijma ada yang sampai kepada kita dan ada yang tidak
Relatif sama dengan sejarah
Merupakan hujjah yang mesti dilakukan Tidak menjadi hujjah yang harus dilakukan karena ’urf ada yang shahih dan ada yang bathil
D. MACAM-MACAM ADAT
Penggolongan adat dan ur’f dapat di lihat dari beberapa segi :a. Di tinaju dari segi materi yang biasa di lakukan,ada 2 macam :
Ur’f Qauli nyaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.Misalnya :kata waladun secara etimologi artinya “anak” yang di gunakan untuk anak laki-laki dan anak perempuan.Berlakunya kat atersebut untuk perempuan karena tidask di temukannya kata khusus untuk perempuan dengan kata mua’annats.
Ur’f fi’li yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan.Umpamanya(1) K ebiasaan jual beli barang-barang yang enteng(murah dan kurang begitu bernilai) transaksi amtara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta seah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi(Akad)apa-apa.(2)kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesame teman tanpa adanya ucapan meminta dan member,tidak di anngap mencuri.b. Dari segi ruang lingkup penggunaanya u’rf terbagi kepada :
Adat/ur’f umum yaiti kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana hamper di seluruh penjuru dunia,tanpa mnemandang Negara,suku ,bangsa dan agama.Umpamanya (1)Menggunakan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau mentidakkan.Kalau ada orang yang berbuat kebalikan dari itu,maka dimanggap aneh atau ganjil.
Adat/Ur’f khusus yaitu kebiasaan yang di lakukan seseorang di tempatb tertentu atau di waktu tertentu,tidak berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu.Umpamanya :adat menarik keturunan dari garis ibu atau perempuan (matrelinial) di Minangkabau dan melauli bapak(patrelinial)di Batak.c. Dari segi penilaiaan baik atau buruk.terbagi sbb :
Adat yang shahih yaitu adat yang berulkang-ulang di lakukan,di terima oleh orang banyak,tidak bertentangan dengan agama,sopan santun dan budaya luhur.Umpamanya membeeri hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu tertentu.
Adat yang Fasid yaiti adat yang belaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya,namun bertentangan dengan agama,undang-undang Negara dan sopan santun.Umpamanya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa.
E. KLASIFIKASI TENTANG UR’F / ADAH
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
1. ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
2. Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar
untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah yang ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli; maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
1. ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.
Misalnya:a. Ada seseorang berkata: “Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.”
Ternyata kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar
sumpah, karena kata ”daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat seperti kambing, sapi, dan lainnya.
b. Ada seorang penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu.” Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.
2. ‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.
Misalnya:a. Dalam masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan mendapat
libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji tersebut.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
1. ‘Urf shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
Misalnya:a. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah,
dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
2. ‘Urf bathil ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
Misalnya:a. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat
yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
F. Kehujjahan al ‘urf
Para ulama sepakat bahwa urf fasid tidak dapat dijadikan hujjah di dalam hukum Islam.
Sedangkan urf yang shahih ada ikhtilaf/kontroversi ulama di dalamnya. Kebanyakan ulama
hanafiyyah dan malikiyyah serta beberapa dari hanbaliyyah bisa menerimanya. Adapun
alasan yang mereka jadikan hujjah dalam menerima dalil urf adalah :
1. Firman Allah:
ل�ين اه� ال�ج� ع�ن� �أ�ع�ر�ض و� ف� �ب�ال�ع&ر �ر م&�أ و� و� �ال�ع�ف ذ� خ&
Kata urf ( العرف ) dalam ayat tersebut dipahami oleh para ahli ushul fiqh sebagai sesuatu
yang baik dan menjadi kebiasaan masyarakat. Hal itu menunjukkan akan kebolehan berhujah
dengan al Urf jika suatu permasalahan tidak ditemukan dalilnya dalam nash.
2. Riwayat hadits dari aisyah mengenai kasus hindun binti ‘utbah; istri abu sufyan
“ مسيك“ رجل سفيان أبا إن الله رسول يا فقالت عتبة بنت هند جاءت
بالمعروف إال ال قال عيالنا له الذي من أطعم أن حرج علي فهل
Dari aisyah ra, bahwasanya hindun binti ‘utbah mengadu kepada rasulullah: “ ya
rasulullah ! sesungguhnya abu sufyan adalah lelaki yang bakhil, tidak memberi nafkah yang
cukup kepadaku dan anak-anakku kecuali apa yang telah aku ambil darinya dan dia tidak
mengetahuinya”. Maka rasulullah SAW bersabda: ”ambillah nafkah yang cukup untukmu
dan anak-anakmu sesuai dengan ma’ruf (kebiasaan) nafkah yang berlaku”.
Dari hadits ini kita ketahui bahwasanya rasul menyuruh Hindun untuk mengambil harta
sesuai dengan takaran yang telah berlaku/normal di dalam masyarakat arab sebagai nafkah
bagi dia dan anak-anaknya.
3. Rasulullah SAW membiarkan praktek bai’ al salam yang telah lama berlaku dan sudah
menjadi kebiasaan masyarakat madinah.
4. Hadits dari rasulullah mengenai pandangan baik muslim yang baik juga menurut Allah
حسن عندالله فهو حسنا المسلمون راه ما
“Apa-apa yang dilihat oleh orang Islam sebagai sesuatu yang baik, maka yang demikian
di sisi Allah juga baik.”
5.Qaidah ushul
بها العمل يجب حجة الثاس استعمال
“Kebiasaan umum adalah dasar yang harus dipatuhi”
شرطا كالمشرؤط عرفا المعرؤف
“Adanya apa yang dikehendaki oleh adat dianggap sebagai hal yang dikehendaki oleh
syara’”
محكمة العادة
“Adat adalah sebuah ketentuan hukum”
G. . Kedudukan ‘Urf sebagai metode istinbath
Syatibi menilai semua mazhab fiqh menerima dan menjadikan urf sebagai dalil syara’
dalam menetapkan hukum ketika tidak ada nash menjelaskan hukum yang muncul di
masyarakat. Misalnya, penggunaan jasa pemandian oleh seseorang dengan membayar harga
tertentu. Realitanya, lama waktu dan banyak air yang dipakai seseorang di jasa pemandian
tidak jelas. Padahal, dalam aturan transaksi hukum Islam keduanya harus jelas. Namun,
perbuatan seperti ini telah meluas di kalangan masyarakat Islam sehingga para ulama
memandang transaksi itu sah dengan didasarkan pada urf al-‘amali
Maka daripada itu, untuk para mujtahid yang ingin membuat hukum yang disandarkan pada
‘Adat, diharuskan mengenal ‘adat kebiasaan manusia atau kebiasaan masyarakat di suatu
daerah tertentu. Sehingga, ketika memutuskan hukum tersebut tidak akan ada kemafsadatan,
kemudharatan ataupun pelanggaran yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Dengan adanya Al-‘adat atau ‘Urf ini menampakkan bahwasanya Islam tidak kaku. Islam
dapat mempertimbangkan atau menerima, menghargai serta menghormati budaya lain
selama hal itu tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
H. Kaidah yang berlaku bagi ‘Urf
Hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah jika
‘urf itu berubah. واألمكنة األزمان بتغير األحكام تغير
Contoh yang disandarkan kepada ‘urf, QS. Al-Baqarah: 233
وف� ع�ر& ب�ال�م� ن_ ت&ه& و� �و�ك�س ن_ ه& ق& �ر�ز ل�ه& ل&ود� �و ال�م� و�ع�ل�ى
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf.”
Ayat tsb tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan seorang ayah
kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu merujuk kepada adat yang
berlaku dalam satu masyarakat dimana ia berada.
Jadi, tidak heran jika terjadi banyak perbedaan pendapat yang disandarkan pada ‘adat
yang shahih. Hal itu disebabkan perbedaan tempat atau waktu saja. Al-‘adat bukanlah dalil
yang mustaqil yang dapat memberikan hokum terhadapsuatu perkara, melainkan sebagai
washilah untuk memahami apa yang telah ada di nash guna mengkhususkan yang masih
umum, mentaqyidkan yang mutlak, memberikan kerukhshahan serta menghindari
kemudaratan.
Bahkan Al Qarafy dalam kitab Qawaid-nya mengatakan: “Bila dating kepada anda
seseorang dari luar benuamu, maka janganlah anda berlakukan terhadap mereka ‘urf negeri
anda dan ketetapan yang terdapat dalam buku anda.”[2]
I. Hokum Al-‘adat atau ‘Urf
Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembetukan hukum syara’ dan putusan
perkara. Seorang Mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan
bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa yang
sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati
dan ada kemaslahatannya. Selama ini tidak bertentangan dengan syara’ maka harus harus
dijaga. Syari’ telah menjaga adat yang benar di antara adat orang Arab dalam pembentukan
hukumnya. Seperti menetapkan kewajiban denda atas orang perempuan berakal,
mensyaratkan adanya keseimbangan (kufu’) dalam perkawinan dan memperhitungkan ahli
waris yang tidak mendapat bagian pasti dalam perwalian dan pembagian ahli waris.
Oleh karena itu para ulama berkata: Adat adalah syariat yang dikuatkan sebagai hukum,
sedangkan adat juga dianggap oleh syara’. Imam Malik membentuk banyak hukum
berdasarkan perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para muridnya berbeda dalam
menetapkan hukum, tergantung pada adat mereka. Imam Syafi’I ketika berada di Mesir,
mengubah sebagian hukum yang ditetapkan ketika beliau berada di Baghdad karena
perbedaan adat. Oleh karena itu ia memiliki dua pendapat, pendapat baru dan pendapat lama.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat,
karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam hal
perbedaan pendapat ini para ulama fikih berkata: Perbedaan itu adalah pada waktu dan masa,
bukan pada dalil dan alasan.
Kebiasaan secara hakiki bukanlah merupakan dalil syara’ yang tersendiri. Pada umumnya,
ia termasuk memperhatikan kemaslahatan umum. Yakni, sebagaimana adat diperhatikan juga
dalam memberikan penafsiran nash, mentakhsis yang umum, dan membatasi yang mutlak.
Dan kadang-kadang kias ditinggalkan demi adat. Maka hukumnya sah akad meminta
pekerjaan karena berlaku menurut adat, bila menurut kias hukumnya tidak sah karena akad
pada sesuatu yang tidak wujud.
J. Kedudukan ‘urf dalam menetapkan hukum
Dalam proses pengambilan hukum ‘urf/adat hampir selalu dibicarakan secara umum.
Namun telah dijelaskan di atas bahwa ‘urf dan adat yang sudah diterima dan diambil oleh
syara` atau yang secara tegas telah ditolak oleh syara` tidak perlu diperbincangkan lagi
tentang alasannya.(6)
Secara umum ‘urf/adat diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan madzhab
Hanafiyyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsân (salah satu
metode ijtihad yang mengambil sesuatu yang lebih baik yang tidak diatur dalam syara`)
dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsân itu adalah istihsân al-‘urf (istihsân yang
menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama Hanafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî
(qiyâs yang ringan) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf itu men-
takhshîs nash yang umum. Ulama Malikiyyah menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan
penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan
ketentuan batasan dalam syara` maupun dalam penggunaan bahasa.(7) Dalam
menanggapi adanya penggunaan ‘urf dalam fiqh, al-Suyûthî mengulasnya dengan
mengembalikannya.
K. SYARAT-SYARAT ‘URF
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
Misalnya:‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Alloh Azza wa Jalla berfirman: (QS. athTholaq [65]:6).
ARTINYA :Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
3. ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
Misalnya:
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi; lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.
4. Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.
5. ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma) maka ’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ’urf nya bertentangan dengan dalil syar’i.
L. Pembenturan dalam Ur’fBentuk-bentuk pembenturan dalam ur’f di uraikan Al-Sayuti( dalam bahasan tentang kaidah
al –adah muhakkamah),sbb :
a) Perbenturan Urf dengan Syara’
Yang dimaksud perbenturan (pertentangan) antara ‘Urf dengan syara’ di sini adalah
perbedaan dalam hal penggunaan suatu ucapan ditinjau dari segi urf dan dari segi syara’. Hal
inipun dipisahkan pada perbenturan yang berkaitan dengan hukum.
1. Bila perbenturan urf dengan syara’ itu tidak berkaitan dengan materi hukum, maka
didahulukan urf.
Contohnya Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, tetapi ternyata kemudian
ia memakan ikan, maka ditetapkanlah bahwa ia tidak melanggar sumpah. Menurut urf, ikan
itu tidak termasuk daging, sedangkan dalam arti syara’ ikan itu termasuk daging seperti
tercantum dalam ayat Al Qur’an.
2. Bila berbenturan urf dengan syara’ dalam hal yang berhubungan dengan materi hukum,
maka didahulukan syara’ atas urf.
Contohnya, bila seseorang berwasiat untuk kerabatnya, apakah termasuk dalam pengertian
kerabat itu ahli waris atau tidak. Berdasarkan pandangan syara’ ahli waris itu termasuk
kepada ahli yang boleh menerima wasiat oleh karenanya ia tidak lagi termasuk dalam
pengertian kerabat yang dimaksud di sini. Dalam pengertian urf kerabat itu adalah orang yang
berhubungan darah, baik ia ahli waris atau tidak.
b) Perbenturan antara urf (urf qauli) dengan penggunaan kata dalam pengertian
bahasa.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
1. Menurut Qadhi Husein, hakikat penggunaan bahasa adalah beramal dengan bahasa. Bila
berbenturan pengalaman bahasa itu dengan urf, maka didahulukan pengertian bahasa
2. Menurut Al-Baghawi, pengertian urf lah yang didahulukan, karena urf itu diperhitungkan
dalam segala tindakan, apalagi dalam sumpah
3. Menurut al-Rafi’i, sebagian sahabat cenderung menguatkan pengertian bahasa, namun
sebagian lain menguatkan pengertian urf.
c) . Perbenturan urf dengan umum nash yang perbenturannya tidak menyeluruh.
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Menurut ulama Hanafiyah, urf dikuatkan untuk mentakhsis umum nash. Contohnya,
dalam ayat Al Qur’an dijelaskan bahwa masa menyusukan anak, yang sempurna adalah
selama 2 tahun penuh. Namun menurut adat bangsawan Arab, anak-anak disusukan orang
lain dengan mengupahnya. Adat ini digunakan untuk mentakhsis umum ayat tersebut. Jadi,
bangsawan yang biasa mengupahkan untuk penyusuan anaknya, tidak perlu menyusukan
anaknya itu selama 2 tahun.
2. Menurut ulama Syafi’iyah, yang dikuatkan untuk mentakhsis nash yang umum itu
hanyalah urf qauli bukan urf fi’li.
4. Perbenturan urf dengan qiyas
Hampir semua ulama berpendapat untuk mendahulukan urf atas qiyas, karena dalil untuk
menggunakan urf itu adalah kebutuhan dan hajat orang banyak, sehingga ia harus
didahulukan atas qiyas.
M. PANDANGAN ULAMA
Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:
1. Fiqh Hanafy
a. Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun tidak disebutkan.
b. Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf.c. Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut
ada kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta bagian.
d. Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan para pedagang.
e. Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya
1. Fiqh Maliki
a. Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sampleb. Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika
terjadi perselisihan
1. Fiqh Syafi’i
a. Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b. Akad sewa atas alat transportasic. Akad sewa atas ternakd. Akad istishna
1. Fiqh Hanbali
a. Jual beli mu’thahPara ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah
terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian
tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf
akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”. Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi
beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”. Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan
sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya akan mengikuti ‘urf tersebut. CONTOH PRAKTEK ‘URF
Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf, yaitu1. Konsep Aqilah dalam asuransi2. Jual beli barang elektronik dengan akad garansi3. Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang
seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik rumah, menjadi tanggung jawab penyewa.
BAB IIPENUTUP
a. KESIMPULANKarakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah (kontekstual)
karena dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat.
Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat
dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.
Tujuan utama syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia – sebagaimana di kemukakan as-Syatibi– akan teralisir dengan konsep tersebut. Pada gilirannya syari’at (hukum) Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
Sehingga dengan metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam problematika
kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushl fiqh salah satunya al-’urf, yang mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Quran dan as-Sunnah.
Daftar Pustaka
1. Abdullah, DR. H. Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta; Sinar GrafikaAen. M. A., Dr. I. Nurol dan Prof. Drs. H. A. Djazuli. 2000. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada2. Haroen, M. A., DR. H. Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta; Logos Wacana Ilmu.3. Khallaf, Prof. Dr. Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam. Jakarta;
Pustaka Amani4. Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005. Ilmu Usul Fiqh. Jakarta; Rineka CiptaKhallaf, Prof. Dr. Abdul Wahhab. 1994. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh). Jakarta; PT Raja Grafindo5. Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir. 2008. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta; Kencana Prenada
Media Group6. Syarifuddin, Prof. DR. Amir. 2004. Ushul Fiqh Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum
Islam Secara Komprehensif. Jakarta Timur; Penerbit Zikrul Hakim