makalah pendanaan kesehatan.docx
TRANSCRIPT
1
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah hak dan investasi. Setiap warga negara
berhak atas kesehatannya termasuk masyarakat miskin, untuk itu
diperlukan suatu sistem yang mengatur pelaksanaan bagi upaya
pemenuhan hak warga negara untuk tetap hidup sehat. Kualitas
kesehatan masyarakat Indonesia selama ini tergolong rendah, selama
ini masyarakat terutama masyarakat miskin cenderung kurang
memperhatikan kesehatan mereka. Hal ini dapat disebabkan karena
rendahnya tingkat pemahaman mereka akan pentingnya kesehatan
dalam kehidupan, padahal kesadaran rakyat tentang pemeliharaan
dan perlindungan kesehatan sangatlah penting untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. Disisi lain, rendahnya derajat
kesehatan masyarakat dapat pula disebabkan oleh ketidakmampuan
mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena mahalnya
biaya pelayanan yang harus dibayar.
Tingkat kemiskinan menyebabkan masyarakat miskin tidak
mampu memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang
tergolong mahal. Jika tidak segera diatasi, kondisi tersebut akan
memperparah kondisi kesehatan masyarakat Indonesia, karena krisis
ekonomi telah meningkatkan jumlah masyarakat miskin dan
mengakibatkan naiknya biaya pelayanan kesehatan, sehingga
semakin menekan akses mereka karena biaya yang semakin tak
terjangkau.
2
Mengingat kesehatan merupakan aspek penting dalam
kehidupan masyarakat, maka pemerintah harus menciptakan suatu
pembangunan kesehatan yang memadai sebagai upaya perbaikan
terhadap buruknya tingkat kesehatan selama ini. Dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
pada Pasal 28H, menetapkan bahwa kesehatan adalah hak dasar
setiap individu dan semua warga negara berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin, dalam
implementasinya dilaksanakan secara bertahap sesuai kemampuan
keuangan pemerintah dan pemerintah daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan disebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia
dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan UUD 1945, setiap hal yang menyebabkan terjadinya
gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan
kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi
pembangunan negara, dan upaya pembangunan harus dilandasi
dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus
memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab
semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28H dan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut mengisyaratkan bahwa
setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh
perlindungan terhadap kesehatannya, dan Negara bertanggung jawab
mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk
bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Upaya mewujudkan hak
tersebut pemerintah harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan
3
yang merata, adil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Untuk itu pemerintah perlu melakukan upaya-upaya untuk menjamin
akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan.
Sebagaimana amanat pada perubahan UUD 1945 Pasal 34 ayat
2 yang menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan dimasukkannya Sistem
Jaminan Sosial dalam perubahan UUD 1945, dan terbitnya UU Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),
menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah dan pemangku
kepentingan terkait harus memiliki komitmen yang besar untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Karena
melalui SJSN sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial pada
hakekatnya bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Berdasarkan konstitusi dan undang-undang tersebut, pemerintah
melakukan upaya-upaya pendanaan kesehatan untuk menjamin akses
penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, diantaranya adalah
Program Jaringan Pengaman Sosial Kesehatan (JPS-BK) tahun 1998-
2000, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDSE) tahun
2001, dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar
Minyak (PKPS-BBM) tahun 2002-2004. Pada awal tahun 2005, melalui
Keputusan Menteri Kesehatan 1241/Menkes/XI/04 pemerintah
menetapkan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Miskin (JPKMM) melalui pihak ketiga, yaitu, PT Askes (persero)
Program ini lebih dikenal sebagai program Asuransi Kesehatan
Masyarakat Miskin (Askeskin). Program Askeskin merupakan
kelanjutan dari PKPS-BBM yang telah dilaksanakan sebelumnya,
dimana pembiayaannya didanai dari subsidi BBM yang telah dikurangi
pemerintah untuk dialihkan menjadi subsidi di bidang kesehatan.
4
Program Askeskin (2005-2007) kemudian berubah nama menjadi
program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sejak tahun
2008 sampai dengan sekarang. JPKMM/Askeskin, maupun Jamkesmas
kesemuanya memiliki tujuan yang sama yaitu melaksanakan
penjaminan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan
tidak mampu dengan menggunakan prinsip asuransi kesehatan sosial.
Pelaksanaan program Jamkesmas mengikuti prinsip-prinsip
penyelenggaraan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/Menkes/Per/V/2011 tentang
Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, yaitu
dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata
peningkatan derajat kesehatan masyarakat miskin, menyeluruh
(komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang cost
effective dan rasional, pelayanan terstruktur, berjenjang dengan
portabilitas dan ekuitas, serta efisien, transparan dan akuntabel. Pada
Jamkesmas sebagai identitas warga miskin, puskesmas mengeluarkan
kartu sehat agar warga miskin dapat mendapatkan pelayanan
kesehatan gratis di puskesmas dan jajarannya, serta RSUD.
Status kesehatan penduduk Indonesia setelah pembangunan
kesehatan selama tiga dekade yang lalu mengalami kemajuan yang
cukup pesat. Namun, masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan
status Kesehatan Dunia. Menurut World Health Organization tahun
2010 kinerja system kesehatan Indonesia menduduki peringkat ke-92
yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan system kesehatan
Negara tetangga seperti Malaysia pada urutan ke-49, Thailand urutan
ke-47, dan Filipina urutan ke-60. Secara kasar laporan tersebut
menunjukkan bahwa pendanaan kesehatan di Indonesia menurut nilai
tukar yang berlaku tahun 2010 mencapai US$19 per kapita per tahun.
5
Sementara Negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, dan
Thailand menghabiskan dana berturut-turut sebesar US$ 41, US$ 111,
dan US$ 134 per kapita per tahun.
Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu hanya
rata-rata 2,2% dari (GDP), masih jauh dari anjuran WHO yakni paling
sedikit 5% dari GDP per tahun. Sementara dari total pembiayaan yang
dibutuhkan pemerintah hanya mampu membiayai 30% saja selebihnya
berasal dari swasta. Pengalokasian anggaran kesehatan dari pusat ke
daerah, dengan adanya kebijakan desentralisasi melalui Dana Alokasi
Umum (DAU) yang berbasis pada formula yang ditetapkan berdasarkan
pada potensi penerimaan dan kebutuhan fiscal oleh suatu daerah.
Dalam formula ini pembagian alokasi anggaran tidak hanya ke provinsi
tetapi sampai ke sekitar 400-an kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini
merupakan perkembangan baru untuk fungsi pemerintahan daerah di
sektor kesehatan, yaitu harus merencanakan dan menganggarkan
program kesehatan dan bersaing dengan sektor lain untuk
mendapatkannya.
Kecilnya alokasi dana untuk sektor kesehatan menunjukkan
kecilnya perhatian pemerintah terhadap kesehatan masyarakat
termasuk kesehatan masyarakat miskin. Sistem pembiayaan program
pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin di era desentralisasi,
dapat mendorong peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat
kearah positif dan negative sekaligus. Mengapa demikian? Karena
dalam kerangka desentralisasi, pemerintah pusat telah memberikan
kewenangan pada pemerintah daerah tingkat I dan II untuk
menjabarkan kebijakan tersebut. Termasuk mendapat kewenangan
untuk mengalokasikan anggaran, merencanakan dan melaksanakan
6
program pembangunan kesehatan. Pemerintah Pusat hanya sebagai
regulator penentu arah kebijakan. Permasalahnya adalah kemampuan
pemerintah daerah tidak sama antara satu daerah dengan daerah
lainya. Sehingga dalam mengalokasikan anggaran kesehatan
bervariasi antar propinsi/kabupaten/kota tergantung kekuatan
pembiayaan daerahnya masing-masing. Dampaknya daerah yang
sumber PAD-nya
kecil, kesulitan untuk membiayai pelayanan kesehatan untuk
masyarakat miskin di daerahnya. Pada akhirnya akan mempengaruhi
peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Pendanaan kesehatan di Indonesia untuk tahun 2013 menurut
Dewan Perwakilan Rakyat hanya Rp 25 triliun untuk 96,4 juta rakyat
miskin, dimana DPR sangat menyesalkan kecilnya pendanaan untuk
kesehatan. Dana tersebut juga sebagai dana awal yang disiapkan
pemerintah untuk program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) kesehatan. Anggota Komisi XI DPR, Okky Asokawati,
menyatakan bahwa dana tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan nilai
subsidi yang Rp163 triliun. Padahal, tidak semua orang miskin bisa
menikmati subsidi. Dana tersebut masih sangat kurang untuk
kesehatan rakyat miskin ketika aturan BPJS mulai diimplementasikan.
Dana Rp 25 triliun ini hanya sekitar 2 persen dari APBN. Sedangkan
kebutuhan mencapai 5 persen dari APBN.
Mengingat pentingnya kesehatan bagi masyarakat dan
kurangnya pendanaan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah untuk
masyarakat pada Jamkesmas, oleh karena itu perlu dilakukan studi
kasus dan analisa mengenai pendanaan kesehatan di Indonesia pada
Jamkesmas dan cara mobilisasi dana tersebut.
7
1.2 Tujuan Penulisan
1. Menganalisa pendanaan kesehatan bagi masyarakat Indonesia
pada Jamkesmas.
2. Mengembangkan berbagai alternative pendanaan kesehatan
yang dapat diterapkan di Indonesia dalam rangka meningkatkat
keadilan pendanaan kesehatan.
3. Mengidentifikasi berbagai sumber dana yang dapat dimobilisasi,
baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.
4. Menganalisis berbagai alternatif sistem pendanaan kesehatan
yang menjamin efisiensi, termasuk kekuatan, kelemahan dan
system pelayanan.
8
Bab II
Permasalahan
1. Pelayanan kesehatan saat ini khususnya pada jamkesmas
menghadapi masalah rendahnya sumber pendanaan dari
masyarakat maupun pemerintah.
2. Mobilisai sumber pendanaan kesehatan dari masyarakat masih
terbatas. Hasil Susenas melaporkan jumlah masyarakat yang
tercakup Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) masih rendah
(20%)
3. Sumber pendanaan kesehatan dari pemerintah relatife kecil (30%)
masih ditandai oleh subsidi ke semua lini sehingga kurang terarah
untuk menopang pengembangan jaringan kesehatan bagi penduduk
daerah terpencil dan penduduk miskin.
4. Adanya ketidaktepatan pemberian kartu jamkesmas, dimana banyak
masyarakat mampu yang menerima hjamkesmas dan banyak pula
masyarakat miskin yang tidak menerima jamkesmas.
9
Bab III
Tinjauan Pustaka
4.1 Prinsip dasar Pendanaan Kesehatan
Pendanaan kesehatan merupakan kunci utama dalam suatu
system kesehatan. Pendanaan kesehatan yang adil dan merata adalah
pendanaan kesehatan dimana seseorang mampu mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan
membayar pelayanan tersebut sesuai dengan kemampuannya
membayar (Handbook of Health Economies, VolII).
Dalam http://www.jpkm-online.net, penyelenggaraan
Subsistem Pembiayaan Kesehatan mengacu pada prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1.Jumlah dana untuk kesehatan harus cukup tersedia dan dikelola
secara berdaya-guna, adil dan berkelanjutan yang didukung oleh
transparansi dan akuntabilitas.
2.Dana pemerintah diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perorangan bagi masyarakat
rentan dan keluarga miskin.
3.Dana masyarakat diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan
perorangan yang terorganisir, adil, berhasilguna dan berdaya-guna
melalui jaminan pemeliharaan kesehatan baik berdasarkan prinsip
solidaritas sosial yang wajib maupun sukarela, yang
dilaksanakan secara bertahap.
4.Pemberdayaan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan
diupayakan melalui penghimpunan secara aktif dana sosial untuk
10
kesehatan (misal: dana sehat) atau memanfaatkan dana
masyarakat yang telah terhimpun (misal: dana sosial keagamaan)
untuk kepentingan kesehatan.
5.Pada dasarnya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan
pembiayaan kesehatan di daerah merupakan tanggung jawab
pemerintah daerah. Namun untuk pemerataan pelayanan
kesehatan, Pemerintah menyediakan dana perimbangan
(maching grant) bagi daerah yang kurang mampu.
3.2 Sumber Pendanaan Kesehatan
Secara umum sumber biaya kesehatan dibedakan atas dua
macam, yaitu:
1. Seluruhnya bersumber dari anggaran pemerintah Tergantung dari
bentuk pemerintahan yang dianut, ada negara yang bersumber
biaya kesehatannya sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah.
Maka negara seperti ini tidak temukan pelayanan kesehatan
swasta, sehingga seluruh pelayanan kesehatan diselenggarakan
oleh pemerintah dan pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan
secara cuma-cuma. Sistem pendanaan kesehatan pemerintah
dapat dibagi menjadi dua menurut sumber datanya. Pertama,
sumber pendanaan pemerintah pusat sumber datanya adalah
Undang-Undang Perhitungan Anggaran Negara (PAN) dan
Undang-Undang APBN. Kedua, pendanaan pemerintah daerah
provinsi maupun kabupaten dan kota sumber datanya adalah
laporan perhitungan APBD yang disampaikan daerah kepada
Direktorat Jenderal Pertimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Departemen Keuangan.
11
2. Sebagian ditanggung oleh masyarakat Suatu negara yang
melibatkan masyarakat sebagai sumber dari pembiayaan
kesehatan di mana masyarakat diajak untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan ataupun pada waktu
memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan, maka akan ditemukan
pelayanan kesehatan swasta dan tentunya pelayanan kesehatan
tersebut tidaklah cuma-cuma, karena masyarakat diharuskan
membayar pelayanan kesehatan yang memanfaatkannya.
3.3 Unsur-Unsur Sistem Pendanaan Kesehatan
Menurut Kebijakan Menteri Kesehatan Republik Indonesia yang
terdapat dalam http://perpustakaan.depkes.go.id, subsistem
pembiayaan kesehatan terdiri dari tiga unsur utama, yakni penggalian
dana, alokasi dana, dan pembelanjaan.
1. Penggalian dana adalah kegiatan menghimpuna dana yang
diperlukan untuk penyelenggaraan upaya kesehatan dan atau
pemeliharaan kesehatan. Terdapat dua jenis penggalian dana,
yaitu:
a. Penggalian dana untuk UKM
Sumber dana untuk UKM (Unit Kesehatan masyarakat) terutama
berasal dari pemerintah baik pusat maupun daerah, melalui
pajak umum, pajak khusus, bantuan dan pinjaman, serta
berbagai sumber lainnya. Sumber dana lain untuk upaya
kesehatan masyarakat adalah swasta serta masyarakat. Sumber
dari swasta dihimpun dengan menerapkan prinsip publik-private
partnership yang didukung dengan pemberian sentif, misalnya
keringanan pajak untuk setiap dana yang disumbangkan.
Sumber dana dari masyarakat dihimpun secara aktif oleh
masyarakat sendiri guna membiayai upaya kesehatan
12
masyarakat misalnya dalam bentuk dana sehat, atau dilakukan
secara pasif, yakni menambahkan aspek kesehatan dalam
rencana pengeluaran dari dana yang sudah terkumpul
dimasyarakam, misalnya dana sosial keagamaan.
b. Penggalian dana untuk UKP
Sumber dana untuk UKP (Unit Kesehatan Perorangan) berasal
dari masing-masing individu dalam satu kesatuan keluarga. Bagi
masyarakat rentan dan keluarga miskin, sumber dananya
berasal dari pemerintah melalui mekanisme jaminan
pemeliharaan kesehatan wajib.
2. Alokasi dana adalah penetapan peruntukan pemakaian dana yang
telah berhasil dihimpun, baik yang bersumber dari pemerintah,
masyarakat, maupun swasta. Terdapat dua jenis pengalokasian
dana:
a. Alokasi dana dari pemerintah
Alokasi dana yang berasal dari pemerintah untuk UKM dan UKP
dilakukan melalui penyusunan anggaran pendapatan dan
belanja, baik pusat maupun daerah, sekurang-kurangnya 5%
dari PDB atau 15% dari total anggaran pendapatan dan belanja
setiap tahunnya.
b. Alokasi dana dari masyarakat
Alokasi dana yang berasal dari masyarakat untuk UKM
dilaksanakan berdasarkan asas gotong royong sesuai dengan
kemampuan. Sedangkan untuk UKP dilakukan melalui
kepesertaan dalam program jaminan pemeliharaan kesehatan
wajib dan atau sukarela.
3. Pembelanjaan adalah pemakaian dana yang telah dialokasikan
dalam anggaran pendapatan dan belanja sesuai dengan
peruntukannya dana atau dilakukan melalui jaminan pemeliharaan
13
kesehatan wajib atau sukarela. Pembiayaan kesehatan dari
pemerintah dan publik-private partnership digunakan untuk
membiayai UKM. Pembiayaan kesehatan yang terkumpul dari
Dana Sehat dan Dana Sosial Keagamaan digunakan untuk
membiayai UKM dan UKP.Pembelanjaan untuk pemeliharaan
kesehatan masyarakat rentan dan kesehatan keluarga miskin
dilaksanakan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan wajib.
Sedangkan pembelanjaan untuk pemeliharaan kesehatan keluarga
mampu dilaksanakan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
wajib dan atau sukarela. Di masa mendatang, biaya kesehatan dari
pemerintah secara bertahap digunakan seluruhnya untuk
pembiayaan UKM dan jaminan pemeliharaan kesehatan
masyarakat rentan dan keluarga miskin.
3.4 Sistem Pendanaan Kesehatan pada Jamkesmas
Pendanaan Jamkesmas merupakan jenis belanja bantuan sosial
bersumber dari APBN Kementerian Kesehatan. Dana belanja bantuan
sosial adalah dana yang dimaksudkan untuk mendorong pencapaian
program dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta
Jamkesmas serta bukan bagian dari dana yang ditransfer ke
Pemerintah Kabupaten/Kota sehingga pengaturannya tidak melalui
mekanisme APBD, dan dengan demikian tidak langsung menjadi
pendapatan daerah. Dana Jamkesmas dan Jampersal terintegrasi
secara utuh menjadi satu kesatuan. Dana Jamkesmas dan Jampersal
untuk pelayanan kesehatan dasar disalurkan langsung dari rekening
kas negara ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui bank. Dana
Jamkesmas dan Jampersal untuk pelayanan kesehatan lanjutan
disalurkan langsung dari rekening kas negara ke rumah
sakit/balkesmas melalui bank. Pembayaran biaya pelayanan kesehatan
14
dasar dan jaminan persalinan di Faskes tingkat pertama dibayar
dengan pola klaim. Pertanggungjawaban untuk seluruh Faskes lanjutan
menggunakan pola pembayaran dengan INA-CBGs. Peserta tidak
boleh dikenakan urun biaya dengan alasan apapun.
Dana Pelayanan Jamkesmas bersumber dari APBN sektor
Kesehatan dan APBD. Pemerintah daerah melalui APBD berkontribusi
dalam menunjang dan melengkapi pembiayaan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin dan tidak mampu di daerah masing- masing
meliputi antara lain:
1) masyarakat miskin dan tidak mampu yang tidak masuk dalam
pertanggungan kepesertaan Jamkesmas.
2) biaya transportasi rujukan dari rumah sakit yang merujuk ke
pelayanan kesehatan lanjutan serta biaya pemulangan pasien
menjadi tanggung jawab Pemda asal pasien.
3) biaya transportasi petugas pendamping pasien yang dirujuk.
4) dukungan biaya operasional manajemen Tim Koordinasi dan Tim
Pengelola Jamkesmas Provinsi/Kabupaten/Kota.
5) biaya lain-lain di luar pelayanan kesehatan, sesuai dengan
spesifik daerah dapat dilakukan oleh daerahnya.
Adapun dana Operasional Manajemen Tim Pengelola di Provinsi
bersumber dari APBN melalui dana dekonsentrasi, sedangkan untuk
Tim Pengelola Kabupaten/Kota bersumber dari APBN melalui dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Besaran alokasi dana pelayanan
Jamkesmas di pelayanan dasar untuk setiap kabupaten/kota dan
pelayanan rujukan untuk rumah sakit/balkesmas ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan.
Lingkup Pendanaan Pendanaan Jamkesmas terdiri dari:
1) Dana Pelayanan Kesehatan, adalah dana yang langsung
diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan di Faskes Tingkat
15
Pertama dan Faskes Tingkat Lanjutan. Dana Pelayanan
Kesehatan bagi peserta Jamkesmas meliputi seluruh pelayanan
kesehatan di:
(a) puskesmas dan jaringannya untuk pelayanan kesehatan
dasar.
(b) rumah sakit pemerintah/swasta termasuk RS khusus,
TNI/POLRI, balkesmas untuk pelayanan kesehatan rujukan.
2) Dana Operasional Manajemen, adalah dana yang diperuntukkan
untuk operasional manajemen Tim Pengelola dan Tim Koordinasi
Jamkesmas dan BOK Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dalam
menunjang program Jamkesmas.
3.5 Masyarakat yang berhak mendapatkan Jamkesmas
16
Bab IV
Pembahasan
4.1 Masalah Pendanaan Kesehatan Masyarakat Pada Jamkesmas
1. Rendahnya Dana untuk Pelayanan kesehatan pada jamkesmas
Kecilnya alokasi dana untuk sektor kesehatan menunjukkan
kecilnya perhatian pemerintah terhadap kesehatan masyarakat
termasuk kesehatan masyarakat miskin. Sistem pembiayaan program
pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin di era desentralisasi,
dapat mendorong peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat
kearah positif dan negative sekaligus. Mengapa demikian? Karena
dalam kerangka desentralisasi, pemerintah pusat telah memberikan
kewenangan pada pemerintah daerah tingkat I dan II untuk
menjabarkan kebijakan tersebut. Termasuk mendapat kewenangan
untuk mengalokasikan anggaran, merencanakan dan melaksanakan
program pembangunan kesehatan. Pemerintah Pusat hanya sebagai
regulator penentu arah kebijakan. Permasalahnya adalah
kemampuan pemerintah daerah tidak sama antara satu daerah
dengan daerah lainya. Sehingga dalam mengalokasikan anggaran
kesehatan bervariasi antar propinsi/kabupaten/kota tergantung
kekuatan pembiayaan daerahnya masing-masing. Dampaknya daerah
yang sumber PAD-nya kecil, kesulitan untuk membiayai pelayanan
kesehatan untuk masyarakat miskin di daerahnya. Pada akhirnya
akan mempengaruhi peningkatan derajat kesehatan masyarakat
secara keseluruhan.
17
2. Ketidaktepatan Sasaran Jamkesmas
Prediksi membengkaknya jumlah penduduk miskin setiap tahunnya mudah
dipahami karena ketidakpastian ekonomi, seperti kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) dan bahan pangan yang akan membuat masyarakat yang berada
dalam kelompok miskin terpuruk dalam katogeri kemiskinan absolut, yakni kelompok
masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Program JPKMM, dalam
penetapan sasarannya menggunakan definisi kemiskinan BPS, dimana BPS spesifik
untuk melihat miskin dari sudut pandang ekonomi. Sedangkan Depkes sendiri
mempunyai definisi yang berbeda untuk melihat kemiskinan, dengan lebih melihat
miskin dari sudut pandang kemampuan akses terhadap pelayanan kesehatan.
Perbedaan ini sangat berpengaruh pada perbedaan besaran penduduk miskin.
Perbedaan yang cukup besar ini akan berakibat fatal dalam kebijakan dan
pendanaan penduduk miskin jika pemerintah salah menafsirkan data tersebut.
Sebagai contoh adalah bila suatu keluarga diindikasikan tidak miskin menurut versi
BPS (karena penghasilannya sedikit diatas ketentuan kriteria miskin BPS), maka bila
keluarga tersebut sakit dan harus dirawat inap di rumah sakit, pasien tersebut sudah
dipastikan tidak akan sanggup membayar biaya pengobatan dan membatalkan
perawatannnya karena tidak ada jaminan bebas biaya. Kondisi seperti ini tentunya
akan menghambat realisasi pencapaian target pemerintah dalam mewujudkan
peningkatan derajat kesehatan masyarakat miskin. Setelah ditetapkan sasaran
masyarakat miskin, permasalahan lain adalah keterlambatan distribusi, pengawasan
distribusi yang lemah, adanya non-gakin yang meminta kartu sehat/askeskin,
penyalahgunaan kartu sehat pada saat berobat oleh non-gakin. Menurut penelitian
Litbangkes dan Bappenas (2001), 20 % kartu sehat yang salah sasaran. Semua
permasalahan di atas akan berdampak pada inefisiensi penggunaan dana, untuk
menanggulanginya perlu ditingkatkan kualitas koordinasi dari pihak-pihak yang
terkait, perlu adanya sanksi-sanksi tegas bagi nongakin yang meminta kartu
sehat/askeskin, serta perlu dibuat kebijakan yang mengatur besarnya kewajiban
daerah (kabupaten/kota) dalam mengalokasikan biaya untuk rakyat miskin di
daerahnya, dan perlu dibuat kepastian yang jelas mengenai definisi miskin agar tidak
berbeda definisi miskin yang diberikan pusat dan daerah.
18
3. Keterlambatan Penyaluran Dana
Penyaluran dana kesehatan jamkesmas dari pusat ke puskesmas sering
terlambat sehingga mempengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan. Hal tersebut
juga disebabkan oleh lemahnya pengawasan penyaluran dana.
4.2 Alternatif Pendanaan Kesehatan Jamkesmas dan cara
Mobilisasinya
Bab V
Penutup
5.1 Kesimpulan
Pemerintah menyadari bahwa masyarakat, terutama masyarakat
miskin, sulit untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Kondisi
tersebut semakin memburuk karena mahalnya biaya kesehatan,
akibatnya pada kelompok masyarakat tertentu sulit mendapatkan akses
19
pelayanan kesehatan. Untuk memenuhi hak rakyat atas kesehatan,
pemerintah mengalokasikan dana bantuan sosial sektor kesehatan
yang digunakan sebagai pembiayaan bagi masyarakat, khususnya
masyarakat miskin, bantuan sosial tersebut direalisasikan dalam bentuk
Jamkesmas yang penyelengaraannya dalam skema asuransi sosial.
Namun pelaksanaan Jamkesmas banyak mengalami masalah pada
pendanaannya.
5.2 Solusi Mengatasi Masalah Pendanaan Kesehatan Bagi
Masyarakat pada Jamkesmas
1. Perlunya kebijakan yang mengatur tentang besarnya kewajiban
daerah (kabupaten/kota) dalam mengalokasikan biaya kesehatan
untuk rakyat miskin di daerahnya. Besarnya alokasi biaya akan
berbeda tiap daerah. Mekanisme ini perlu diatur agar daerah kaya
tidak mendapat porsi yang besar dari pusat.
2. Perlu dibentuknya suatu badan khusus yang mengelola pendanaan
kesehatan masyarakat miskin secara professional. Badan terse
3. Perlu pengecekan ulang mengenai status warga apakah
tergolong warga miskin yang berhak mendapat jamkesmas atau
tidak.
4. Perlunya pendevinisian warga miskin yang jelas agar tidak terjadi
salah sasaran pemberian jamkesmas.
20
Pustaka
Mahlil. 2000. Analisis Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat.
Tesis, FKMUI, Depok.
Thabrany, H. dan Pujianto. 2008. Asuransi Kesehatan dan Akses
Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta : UGM.
WHO. World Health Report. 2012