makalah pbl blok 27

Upload: albert-santoso

Post on 19-Jul-2015

458 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Polimorfisme Genetik Asetilator Lambat pada Pasien TBC Pengguna INH Albert* Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana**

I PENDAHULUAN

Pengaruh obat yang terjadi dari pemberian obat pada manusia akan keranekaragam (bervariasi) dari orang ke orang. Keanekaragaman ini dipengaruhi oleh berbagai penyebab, baik yang berasal dari obat maupun dari individu yang bersangkutan. Farmakogenetik merupakan salah satu bidang dalam farmakologi klinik yang mempelajari keanekaragaman (respons) obat yang dipengaruhi atau disebabkan oleh karena faktor genetik. Atau dengan kata lain merupakan studi pengaruh genetik terhadap respons obat. Kepentingan dari studi farmakogenetik ini yang paling penting adalah untuk mengetahui atau mengenali individu individu tertentu dalam populasi, yang dikarenakan adanya ciri-ciri genetik tertentu, akan bereaksi atau mendapatkan pengaruh obat yang tidak sewajarnya dibandingkan anggota populasi lain pada umumnya. Sehingga dengan dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan agar pengaruh yang tidak dikehendaki tidak sampai terjadi, misalnya dengan menyesuaikan besar dosis atau dengan menghindari pemakaian obat tertentu pada individu tertentu.

*Albert, NIM 102008070, Kelompok C-3 ** Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no. 6 Jakarta Email: [email protected]

1

II PEMBAHASAN RUMUSAN MASALAH Pasien menderita TBC setelah diberi terapi Rifampisin-Isoniazid-Pirazinamid, kembali ke dokter dengan keluhan kesemutan pada kedua lengan. DEFINISI Neuropati perifer adalah gangguan neurologis umum akibat kerusakan pada saraf perifer yang bisa disebabkan oleh berbagai macam penyebab seperti penyakit, cedera fisik, keracunan, malnutrisi atau obat-obatan. 1. PEMERIKSAAN Rekam medis-status pasien terdiri dari :

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium / Rontgen) Diagnosis Kerja Diagnosis Banding Penatalaksanaan Prognosis

2.1 Anamnesa Anamnesa merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien. Anamnesis bisa dilakukan pada pasien itu sendiri maupun dari keluarga terdekat. Dengan dilakukanya anamnesis maka 70% diagnosis dapat ditegakkan. Sedangkan 30%nya lagi didapatkan dari pemeriksaan fisik, lab, dan radiologi (kalau diperlukan).1 Anamnesis bisa dilakukan pada pasien itu sendiri (autoanamnesis) maupun dari keluarga terdekat (alo anamnesis).2

Anamnesis sangat membantu kita dalam membuat suatu diagnosis yang tepat. Berikut beberapa pertanyaan,yang dapat kita tanyakan2: Apakah gejalanya: baal, paku dan jarum, lemah, kaki diseret, kerusakan karena ceroboh (misalnya luka bakar karena defisit sensoris), atau pengecilan otot?? Kapan gejala dimulai? Apakah progresif? Apa akibat fungsionalnya (misalnya sulit berjalan, memegang pisau, dan sebagainya)? Adakah gejala kondis terkait (misalnya diabetes mellitus, keganasan)?

Riwayat Penyakit Terdahulu-

Tanyakan kondisi medis yang signifikan, khususnya diabetes mellitus, keganasan, vaskulitis, atau kondisi neurologis lain.

Obat-obatan Apakah pasien sedang mengkonsumsi obat (misalnya vinkristin, INH)?

Riwayat Keluarga Adakah riwayat neuropati dalam keluarga (misalnya penyakit Charcot-MarieTooth)? Riwayat Sosial Pernahkah ada pajanan neurotoksin potensial yang tidak biasa di tempat kerja (misalnya timah)? Adakah adptasi di rumah atau menggunakan alat bantu untuk berjalan, dan sebagainya?

2.2 Pemeriksaan Lakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologis lengkap untuk mencari tanda-tanda diabetes mellitus, keganasan, dan sebagainya.3

Periksa cara berjalan, melangkah tinggi dan menjejak. Periksa area simptomatik.2.2.1 Pemeriksaan Fisik2

Lakukan Inspeksi: adakah pengecilan otot, postur abnormal, perubahan

kulit trofik, fasikulasi, atau parut? Periksa tonus: normal atau berkurang

Adakah penurunan kekuatan? Jika ya, pada kelompok otot mana? Apakah terbatas pada distribusi saraf perifer tertentu atau terdapat kelemahan perifer umum pada tangan dan kaki?

Adakah gangguan koordinasi? Periksa refleks: normal atau menurun? Periksa sensasi: tangan dan kaus kaki, mengikuti dermatom, saraf perifer, atau distribusi radix saraf? o Tusuk jarum o Rasa getar o Rasa posisi sendi o Nyeri dalam o Panas/dingin o Benang halus (10G)

- Raba halus. Adakah gangguan? Jika ya, bagaimana distribusinya: sarung

2.2.2

Pemeriksaan Penunjang Kadar HbA1c3 mewakili kadar darah glukosa rata-rata selama 1-4 bulan. Kadar HbA1c merupakan indikator yang lebih baik untuk pengendalian pasien diabetes mellitus. Pada neuropati perifer yang disebabkan oleh pemakaian obat anti tuberkulosis, kadar HbA1c adalah pada batas normal.4

Untuk menyingkirkan diabetes mellitus. HbA1c (terglikosilasi) adalah

Terglikasi (glikosilasi) HEMOGLOBIN (HbA1c) (glycohemoglobin)

Kisaran normal: 4,0% -5,9% Meningkat pada: Diabetes mellitus yang tidak terkontrol (kadar

hemoglobinterglikasi mencerminkan tingkat kontrol glukosa selama 120 hari sebelumnya), toksisitas timbal, alkoholisme, kekurangan zat besi anemia, hipertrigliseridemia. Menurun pada: Anemia hemolitik, penurunan kelangsungan hidup sel darahmerah, kehamilan, kehilangan darah akut atau kronis, gagal ginjal kronis, insulinoma, sferositosis bawaan, hemoglobin S, C, dan penyakit D. 2.3 Diferensial Diagnosis2.3.1 Neuropati Perifer e.c. diabetes mellitus (Neuropati Diabetik)4

Etiologi Proses tejadinya Neuropati Diabetik (ND) berawal dari hipoglikemia yang berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivitas enzim aldose-reduktase. Yang merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalui mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinannya ialah akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edem saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stress osmotic yang akan merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivitas PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Na intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf.

5

Reaksi jalur polinol ini juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolism oksidatif. Karena NADPH merupakan kofaktor penting untuk glutathione dan Nitric Oxide Synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan Nitric Oxide (NO). Disamping meningkatkan aktivitas jalur polinol, hiperglikemia berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end products (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan merusak semua protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbtitol, maka sintesis dan fungsi NO akan menurun, yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya mioinositol ke sel saraf terjadilah ND. Kerusakan aksonal metabolic awal masih dapat kembali pulih dengan kendali glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan metabolic ini berlanjut menjadi kerusakan iskemik, maka kerusakan structural akson tersebuttidak dapat diperbaiki lagi. Manifestasi Klinis Manifestasi ND bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya dapat terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang semua bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi. Penatalaksanaan Perawatan Umum/Kaki Jaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Cegah trauma berulang pada neuropait kompresi. Pengendalian Glukosa Darah Langkah pertama yang harus dilakukan dengan monitor HbA1c secara berkala. Disamping itupengendalian faktor metabolic lain seperti hemoglobin, albumin, lipid sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan. Pada DCCT (Diabetic Control and Complication Trial), kelompok pasien dengan terapi intensif yang berhasil menurunkan HbA1c dari 9 ke 7%, telah menurunkan risiko timbulnya neuropati sebesar 60% selama 5 tahun.6

Terapi Medikamentosa Sejauh ini, selain kendali glikemikyang ketat, belum ada bukti kuat suatu terapi dapat memperbaiki atau mencegah neuropati diabetic. Namun demikian, untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik DM termasuk neuropati, saat ini sedang ditelitipenggunaan obat-obat yang berperan pada proses timbulnya komplikasi kronik diabetes, yaitu: Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat penimbunan sorbitol dan fruktosa Penghambat ACE Neurotropin

Nerve growth factor Brain-derivied neurotrophic factor

Alpha Lipoic Acid, suatu antioksidan kuat yang dapat dapat membersihkan radikal hidroksil, superoksida dan peroksil serta membentuk kembali glutation.

Penghambat protein kinase C Gangliosides, merupakan komponen utam membrane sel Gamma Linoleic Acid (GLA), suatu precursor membran fosfolipid Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologic maupun non neurologic akibat penyakit autoimun.

Sedangkan pedoman pengelolaan ND dengan nyeri, yang dianjurkan ialah: NSAID (ibuprofen 600mg 4x/hari, sulindac 200mg 2x/hari) Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150mg malam hari, mipramin

100ng/hari, nortriptilin 50-1150mg malam hari, paroxetine 40mg/hari) Antikonvulsan (gabapetin 900mg 3x/hari, karbamazepin 200mg 4x/hari)7

Antiaritmia (mexilletin 150-450mg/hari) Topical: capsain 0,075% 4x/hari, fluphenazine 1mg 3x/hari,

transcutaneus electrical nerve stimulation

2.3.2 Neuropati et causa Trauma Fisik5

Kecelakaan terjatuh dan kecelakaan saat berolahraga ataupun aktivitas rekreasi adalah penyebab umum trauma fisik yang dapat menyebabkan neuropati perifer. Tipe umum dari cedera ini terjadi karena meletakkan tekanan berlebihan pada saraf, melebihi kemampuan saraf untuk meregang dan merobek saraf. Nyeri mungkin tidak selalu diketahui segera, dan tanda kerusakan yang jelas butuh waktu untuk timbul. Cedera ini biasanya mempengaruhi satu saraf atau sekelompok saraf yang berkaitan erat. Contohnya cedera umum yang terjadi pada olahraga dengan kontak fisik seperti futball adalah sindrom perasaan terbakar atau tertusuk-tusuk. Biasanya sindrom seperti ditusuk-tusuk disebabkan oleh peregangan berlebihan saraf utama yang terbentang dari leher menuju lengan. Gejala-gejala awal yang timbul adalah kebas, kesemutan dan nyeri yang menjalar menelusuri lengan, yang berlangsung satu atau dua menit. Suatu insiden tunggal tidak berbahaya namun kejadian berulang dapat menyebabkan kehilangan sensorius dan motorius permanen.

2.4 Working Diagnosis Dari anamnesis diketahui bahwa pasien seorang laki-laki dengan riwayat penyakit tuberkulosis kembali ke dokter dengan keluhan kesemutan pada kedua lengan.8

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan gejala klinik yang ditunjukkan, diagnosis kerja bagi kasus ini adalah neuropati perifer et causa obat anti tuberkulosis.

2.5 Etiologi Penyebab tersering terjadinya neuropati adalah : (a) Diabetes mellitus.(b) Pasca herpes neuralgia.

(c) Trauma (d) Defisiensi vitamin B12 bersama dengan konsumsi alkohol yang berlebihan. (e) Keganasan yang menekan saraf. (f) Penyakit metabolik, misalnya gagal ginjal kronik. (g) Infeksi virus (M. leprae, Varicella zooster) (h) Neurotoksin (talium, emas, plumbum, arsen, timah, merkuri, pestisida organofosfat). (i) Penyakit autoimun (Lupus, Rheumatoid arthritis, Gullain-Barre syndrome). (j) Terapi kanser (vincristine) (k) Pemakaian obat-obatan (Metronidazol, Isoniazid, Hidralazin, Fenitoin).(l) Faktor genetic

Polimorfisme genetik adalah ilmu tentang bagaimana faktor penentu genetik mempengaruhi kerja obat. Respons berbagai obat bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya karena variasi ini biasanya mempunyai distribusi Gaussian. Dalam keadaan normal, variasi dalam respon terhadap obat yang paling sering ditemukan dalam observasi ialah yang mempunyai distribusi normal atau distribusi Gaussian, atau normal error curve. Variasi respon obat sering diobservasi pada orang Caucasia. Hasil observasi menunjukkan bahwa dalam satu populasi, respon terhadap obat-obat tersebut memperlihatkan distribusi kontinu, dan populasi tersebut terbagi 2 atau lebih kelompok (dengan variasi kontinu pada tiap kelompok) yang menunjukkan adanya suatu gen tunggal yang sangat menentukan.6

9

Gambar 1. Distribusi berbagai respons terhadap efek obat. Gambar 1-A adalah distribusi efek (respons terhadap obat) berupa distribusi kontinu atau unimodal yang merupakan distribusi umum pada sebagian besar obat-obatan. Gambar 1-B adalah distribusi kontinu atau polimodalyang terdapat pada respons obatobat tertentu saja yang dipengaruhi oleh faktor genetik.

Distribusi variasi respon yang berbentuk diskontinu

ini disebut polimodal

(bimodal dan trimodal) dan karena dipengaruhi oleh faktor genetik, maka disebut polimorfisme genetik yang menunjukkan adanya polimorfisme gen tunggal. Sifat tersebut dipengaruhi oleh satu gen tunggal (monogenik) dalam satu lokus kromosom. Dalam hal ini, individu dalam suatu populasi terbagi menjadi 2 atau lebih golongan fenotip yang berlainan, seperti yang ditunjukkan oleh respon obat Isoniazid dengan terdapatnya fenotip asetilator cepat dan fenotip asetilator lambat.6 Keragaman genetik umumnya, dan khususnya polimorfisme genetik dalam pengaruh atau respons individu terhadap obat terjadi melalui 2 proses utama dalam tubuh, yaitu6:(a) Proses farmakodinamik, yaitu dengan terjadinya proses interaksi antara molekul obat

dengan reseptornya, dan terdapat kepekaan yang abnormal dari reseptor obat terhadap molekul obat. Proses farmakokinetik, yaitu proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat. Proses ini paling banyak ditemukan pada polimorfisme klinik dalam proses metabolisme obat, sedangkan polimorfisme genetik yang ditemukan pada proses absorbsi, distribusi, dan ekskresi obat tidak banyak dijumpai dan diketahui.

2.6 Epidemiologi6

Respon manusia terhadap obat akan bervariasi dari satu individu ke individu yang lain yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Perbedaan distribusi obat serta kecepatan metabolisme obat dan eliminasi obat dipengaruhi oleh faktor genetik dan10

variabel non-genetik seperti umur, jenis kelamin, ukuran hati, fungsi hati, ritme carcadian, suhu tubuh, faktor-faktor lingkungan dan nutrisi Fenotip asetilator lambat terjadi kira-kira 50% dari penduduk kulit hitam dan kulit putih di Amerika Serikat, 4070% pada orang Caucasian, lebih sering pada orang Eropa serta jauh lebih sedikit orang Asia (10-20%) dan Eskimo. Distribusi INH pada asetilator lambat dan cepat (kira-kira 50% pada tiap kelompok etnik) nilainya sama pada kebanyakan kelompok (etnik) manusia, namun pada orang-orang Jepang, lebih 90% populasi Jepang adalah asetilasi (inaktivator) cepat.

2.7 Patofisiologi7

Pada beberapa kasus, perbedaan yang ditentukan secara genetis dalam aktivitas enzim tertentu dapat mengakibatkan perbedaan menyolok antar individu dalam sifatnya untuk memetabolisis obat tertentu, meskipun hal ini mungkin tidak dihubungkan dengan akibat klinis akut manapun. Ilustrasi mengenai hai ini diberikan oleh perbedaan dalam asetilasi obat isoniazid yang diberikan secara luas dalam pengobatan tuberculosis. Dalam bentuk terasetilasi, isoniazid untuk pengobatan jauh kurang aktif dan kurang toksik, sehingga obat tersebut secara efektif ditidakaktifkan dengan asetilasi. Individu dapat mudah digologkan ke dalam 2 macam kelompok; penidakaktif cepat yang menunjukkan kadarnya dalam darah relative rendah beberapa jam setelah minum obat, dan penidakaktif lambat yang menunjukkan kadarnya dalam darah relative tinggi. Pada penidakaktif cepat, obat dengan proporsi yang jauh lebih besar dikeluarkan dalam bentuk terasetilasi lewat air seni dibandingkan pada penidakaktif lambat yang terutama mengeluarkan obat tak terasetilasi. Kajian keluarga menunjukkan bahwa perbedaan ini ditentukan secara genetis, dan hasilnya sebagian besar dapat diterangkan berkenaan dengan 2 alel umum. Dengan 2 alel ini, penidakaktif lambat menggambarkan homozigot untuk 1 alel, dan penidakatif cepat menggambarkan baik heterozigot maupun homozigot untuk alel lainnya. Mungkin saja bahwa laju penidakatifan obat agak lebih cepat pada penidakaktif cepat homozigot daripada heterozigot. Asetilasi isoniazid dihasilkan dengan enzim asetiltransferase yang terdapat dalam hati yang terlibat dalam suatu reaksi pemindahan gugus asetil dari asetil-koenzim11

A ke isoniazid. Pengujian aktivitas asetil transferase dalam sampel hati yang diperolehdengan biopsy menunjukkan perbedaan menyolok antara tingkat aktivitasnya pada penidakatif cepat dan lambat. Rata-rata, aktivitasnya jauh lebih tinggi pada kelompok cepat daripada kelompok lambat. Hasil serupa juga telah diperoleh dengan contoh otopsi. Sediaan enzim setengah murni diperoleh dari penidakaktif cepat dan lambat tampaknya sangat serupa dalam sejumlah sifat seperti tetapan Michaelis dan kekhususan substrat, yang member kesan bahwa perbedaan antara kedua jenis mungkin tergantung pada jumlah protein enzim yang sesungguhnya ada dalam sel hati, dan bukan pada perbedaan aktivitas khususnya. Adanya masing-masing perbedaan menyolok dalam penidakaktifan isoniazid ini menimbulkan pertanyaan tentang maknanya dalam penggunaan obat tersebut untuk pengobatan Tuberkulosis. Dalam membandingkan kelompok besarpenderita pada pengobatan antituberkulosis terbaku termasuk isoniazid, biasanya tidak dijumpai perbedaan nyata antara hasil pengobatan pada penidakaktif cepat dan lambat. Tetapi, sementara mungkin ada perbedaan sedikit atau tidak ada perbedaan bila skema dosis obatnya optimal, rupanya dosis ini suboptimal, misalnya bila isoniazid diberikan terlalu sering, maka mungkin terjadi perbedaan dalam tanggapan. Dibandingkan penidakaktif cepat, penidakaktif isoniazid lambat

tampaknya agak lebih mudah mengalami neuropati tepi yang merupakan salah satu penyulit utama yang mungkin terjadi pada pengobatan isoniazid jangka panjang, dan yang jelas disebabkan karen apengaruh samping toksik obat tersebut. Tetapi, timbulnya neuritis tepi sebagai penyulit pengobatan isoniazid sekarang jarang, karena dapat dicegah dengan pemberian piridoksin bersama-sama.

2.8 Manifestasi Klinik Defisiensi/kekurangan vitamin B6 menimbulkan keluhan dan gejala seperti, gangguan neurologis/system saraf, seperti kesemutan atau rasa baal pada ektremitas atas ataupun bawah. 6

12

Pada tingkat yang lebih parah dapat menyebabkan koordinasi tubuh terganggu, gugup, gelisah, cemas, emosi-marah, lekas marah, insomnia, depresi, kelelahan, tekanan darah rendah, pusing, gangguan kulit seperti jerawat, rambut rontok, cheilosis (retak di sudut mulut), lidah sakit, anoreksia dan mual, anemia, gangguan penyembuhan luka, arithitis.8

2.9 Penatalaksanaan Medika Mentosa Asetilator (inaktivator) lambat dapat menyebabkan obat lebih banyak terakumulasi dan lebih jelas memperlihatkan efek toksisitas dibanding dengan asetilator cepat dalam regimen dosis yang sama. Untuk pengobatan dengan INH, asetilator lambat akan lebih mudah menderita efek samping INH berupa neuropati perifer karena defisiensi vitamin B-6. INH akan menghambat pemakaian vitamin B-6 oleh jaringan dan akan memperbesar ekskresi vitamin B-6.9 Asetilator cepat umumnya lebih resisten terhadap pengobatan. Asetilator cepat akan memerlukan dosis obat yang lebih tinggi dan pemberian yang lebih sering untuk mempertahankan suatu level terapi yang efektif dan adekuat.9 Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 5mg/kgBB/hari. Bila pasien tidak diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%. Bila diberikan dosis lebih tinggi, pada sekitar 10 sampai 20% pasien dapat terjadi neuritis perifer.10 Pemberian vitamin B-6 pada pasien dengan pengobatan INH. Vitamin B-6 disarankan lebih baik diberikan juga sebagai profilaksis. Atau saat ini juga telah tersedia sediaan obat INH yang telah disertai dengan Vitamin B6. 11

13

Gambar 1. Contoh sediaan obat INH yang dikombinasikan dengan Vitamin B6. 4

2.10 Komplikasi9

Efek samping obat lebih sering ditemukan pada :1)

Asetilator lambat : (a) Bila obat induk toksik misalnya, Polineuritis yang diinduksi oleh INH. Sindrom mirip SLE yang diinduksi oleh prokainamid. (b) Bila suatu metabolit non-asetilasi merupakan zat toksik dan dibentuk dalam jumlah besar dan bila jalur asetilasi penuh dengan konsentrasi obat yang tinggi, misalnya sindrom mirip SLE yang diinduksi oleh hidralazin.

2)

Asetilator cepat, bila metabolit asetilasinya merupakan zat toksik,

misalnya hepatitis yang dapat diinduksi oleh asetilhidrazin yang dibentuk dari isoniazid.

2.11 Prognosis

Prognosis penyakit ini baik apabila mendapat penanganan yang segera sebelum terjadi komplikasi kronik dari penggunaan INH jangka panjang.

14

KESIMPULAN

Pengetahuan mengenai farmakogenetika diperlukan untuk mengetahui adanya keanekaragaman pengaruh obat yang ditentukan oleh faktor genetik, sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya pengaruh buruk obat dengan menghindari pemakaian obat tertentu pada orang-orang dengan ciri-ciri genetik tertentu. Sayangnya, tidak semua bentuk keanekaragaman genetik yang sudah umum diketahui dan relatif mudah didiagnosis tidak selalu mempunyai makna klinik secara langsung dalam praktek. Di luar ini semua masih banyak bentuk keanekaragaman yang belum diketahui secara jelas, baik mekanisme terjadinya, cara pewarisannya serta makna kliniknya. Pada pasien dengan asetilator lambat, pemberian INH dapat menyebabkan gangguan penyerapan Vitamin B6 dan peningkatan ekresi vitamin B6. Hal ini menyebabkan defisiensi Vitamin B6 pada tubuh pasien. Pada akhirnya defisiensi vitamin B6 pada tingkat ringan ini menyebabkan manifestasi rasa baal atau kesemutan pada pasien. Dapat dilakukan profilaksis pada pasien dengan asetilator lambat yang mendapat terapi INH dengan pemberian vitamin B6. Atau saat ini juga telah tersedia sediaan obat INH yang telah disertai dengan Vitamin B6.

DAFTAR PUSTAKA15

1. Santoso M. Pemeriksaan fisik diagnostik. Anamesa. Jakarta: bidang penerbitan yayasan

diabetes indonesia; 2004.h.2-3.2.

G. Jonathan, At A Glance Anamnesis, Neuropati Perifer, dr. R. Annisa ed., Erlangga Medical Series, 2007 h182

3. Fischbach FT, Dunning MB. A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests. 8th

Edition. Wisconsin: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.p.3504. Subekti I.Neuropati Diabetik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.p.1947-51.5. Nyeri Neuropati. Trauma Fisik [website] 2009 Okt (diunduh 25 September 2011).

Tersedia dari: http://dokmud.wordpress.com.6. Prinsip Farmakogenetik, Syamsuir Munaf, Staf pengajar departemen farmakologi FK

universitas sriwijaya, Kumpulan kuliah Farmakologi, Rio Rahardjo ed, edisi 2, cetakan 1, 2009, jakarta, penerbit buku kedokteran (EGC), h305-6.7. Harris H. 1995. Kesalahan Bawaan Metabolisme Obat. Dasar-Dasar Genetika Biokemis

Manusia Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.8. Katzung, Bertram G. 1998. Farmokologi Dasar dan Klinik Edisi IV. Jakarta: EGC. 9. Prinsip Farmakogenetik, Syamsuir Munaf, Staf pengajar departemen farmakologi FK

universitas sriwijaya, Kumpulan kuliah Farmakologi, Rio Rahardjo ed, edisi 2, cetakan 1, 2009, jakarta, penerbit buku kedokteran (EGC), h311-3.10. Farmakologi dan Terapi. Tuberkulostatik dan Leprostatik. Departemen Farmakologi

dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Indonesia ; h 613-5.11. Phee, Stephen J. Mc, Maxine A. P. 2007. Current Medical Diagnosis & Treatment 46th

ed. Sanfrancisco: McGrawhill. 209-211.

16