makalah patofisiologi terbaru

35
MAKALAH PATOFISIOLOGI “EPILEPSI” Disusun Oleh : Anggia Paramita Kertadriani 1120171 Endah Wulandari 1120178 Denny Kuswanto 1120365 KP : G FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA 2013 1 Patofisiologi EPILEPSI

Upload: angga-pratama

Post on 24-Oct-2015

194 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

farmakalogi toksikologi

TRANSCRIPT

MAKALAH PATOFISIOLOGI

“EPILEPSI”

Disusun Oleh :

Anggia Paramita Kertadriani 1120171

Endah Wulandari 1120178

Denny Kuswanto 1120365

KP : G

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SURABAYA

2013

1 Patofisiologi EPILEPSI

DAFTAR ISI

1. BAB I Pendahuluan Latar belakang......................................................................... 3 Tinjauan masalah..................................................................... 4

2. BAB II Pembahasan Etiologi Epilepsi.................................................................... 5 Patogenesis Epilepsi.............................................................. 10 Diagnosa Epilepsi.................................................................. 12 Manifestasi serangan epilepsi................................................ 14 Penanganan........................................................................... 17 Penatalaksanaan..................................................................... 18 Terapi Serangan..................................................................... 19 Terapi pemeliharaan............................................................... 19 Obat-obat epilepsi................................................................... 20

3. BAB III Penutup Kesimpulan.............................................................................. 21 Saran........................................................................................ 22

4. BAB IV Daftar pustaka........................................................................ 23

2 Patofisiologi EPILEPSI

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar belakangEpilepsi dalam bahasa (Yunani Kuno=Serangan) atau

sawan(penyakit ayan) adalah suatu gangguan saraf yang timbul

secara tiba-tiba dan berkala, biasanya dengan perubahan kesadaran.

Penyebabnya adalah aksi serentak dan mendadak dari sekelompok

besar sel-sel di otak. Aksi ini disertai pelepasan muatan listrik yang

berlebihan dari neuron-neuron tersebut. Lazimnya pelepasan

muatan listrik ini terjadi secara teratur dan terbatas dalam

kelompok-kelompok kecil yang memberikan ritme normal pada

elektroencefalogram (EEG). Serangan ini kadang bergejala ringan

dan (hampir) tidak kentara,tetapi ada kalanya bersifat demikian

hebat sehingga perlu dirawat di rumah sakit. Pada serangan parsial,

hiperaktivitas terbatas pada hanya satu bagian dari kulit otak,

sedangan pada serangan luas (generalized) hiperaktivitas menjalar

ke seluruh otak. K.I.30% dari pasien epilepsi mempunyai keluarga

dekat yang juga menderita ganggan konvulsi. Penderita baru disebut

epilepsi bila mengindap minimal 2 serangan kejang (konvulsi)

dalam kurun waktu 2 tahun.

(Drs.Kirana Rahardja 2007)

Epilepsi adalah keadaan yang ditandai dengan tidak

terkontrolnya aktivitas yang berlebihan dari sebagian atau seluruh

sistem saraf pusat. Orang yang mempunyai faktor predisposisi

timbulnya epilepsi akan mendapat serangan epilepsi bila nilai basal

eksitabilitas sistem saraf (atau bagian-bagian yang peka terhadap

keadaan epileptik) akan meningkat di atas nilai kritisnya. Namun

selama besarnya eksitabilitas tetap dijaga dibawah nilai ambang ini

serangan epilepsi tidak akan terjadi lagi. (Guyton,2002)

3 Patofisiologi EPILEPSI

II. Tinjauan Masalah

a. Bagaimana yang dimaksud Etiologi dari epilepsi?

b. Apa yang dimaksud dengan Patogenesis dari epilepsi?

c. Bagaimana hasil Diagnosis pasien yang terkena epilepsi?

d. Bagaimana Penatalaksanaan seorang epilepsi?

e. Bagaimana Terapi Pengobatan Epilepsi ?

4 Patofisiologi EPILEPSI

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Etiologi Epilepsi

Separuh dari kasus epilepsi disebabkan oleh cedera otak seperti gegar

otak berat atau infeksi (meningitis/encefalitis). Juga infark otak dan

pendarahan otak (beroerte) kekurangan oksigen selama persalinan serta

asbes atau tumor dapat menimbulkan cacat dan epilepsi. Epilepsi ada

kalanya juga dapat dicetuskan oleh obat seperti petidin ,asam nalidiksat,

klorpromazin, impramin dan MAO-blocker. Begitu pula akibat penyalah

gunaan alkohol dan drugs.

Faktor provokasi lainnya adalah apabila penggunaan obat antikonvulsi

dan tranquillizaers dihentikan secara tiba-tiba. Kadang-kadang serangan

dapat dipicu oleh rangsangan-rangsangan sensoris khas seperti kilatan

cahaya dengan frekuensi tertentu (disco) atau juga oleh layar televisi yang

berkilat-kilat serta musik keras yang berdentum-dentum. Faktor-faktor lain

yang dapat memicu serangan adalah alkalosis, hipoglikemia, hipokalsemia,

haid dan kehamilan serta hormon kortison dan ACTH. Hanya sekitar 20%

dari kasus epilepsi tidak diketahui penyebabnya, tetapi keturunan (faktor

herediter) memegang peranan.

Konvulsi demam (kejang pada anak-anak). Tidak semua serangan

kejang-kejang singkat pad aanak-anak berusia 0,5-5tahun, yang dipicu oleh

demam tinggi diatas (39°C). Serangan khas ini biasanya timbul pada awal

infeksi virus, terutama dari saluran pernapasan. Risiko untuk residif

terletak antara 30-50%½ . (Holmes, 2002)

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab

utama, ialah epilepsi idopatik, remote symptomatic epilepsy (RSE), epilepsi

simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan

otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis

epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut

terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan

prognosis yang baik dan yang buruk. (Harsono.2007)

5 Patofisiologi EPILEPSI

Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang

tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI)

maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah

antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas. Sementara itu,

dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pada usia akil

balig. Definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat akil balig

mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:

Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam

waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan

ulang.

Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko

terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan

85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang

terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai

resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk

terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk

terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus

menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.

(Harsono.2007)

Epilepsi dapat dibagi dalam tiga golongan utama antara lain:

Epilepsi Grand Mal

Grand mal (Perancis = Penyakit besar) atau serangan tonis – kronis

‘generalized’ [Yun.Tonis = Kontraksi otot otonom yang bertahan lama,

Klonos= Gerakan liar hebat, Klonis = Kontraksi ritmis]. Bercirikan kejang

kaku bersamaan dengan kejutan-kejutan ritmis dari anggota badan dan

hilangnya untuk sementara kesadaran dan tonus. Pada umumnya serangan

demikian diawali oleh suatu perasaan alamat khusus (aura). Hilangnya

tonus menyebabkan penderita terjatuh, berkejang hebat dan otot-ototnya

menjadi kaku.

6 Patofisiologi EPILEPSI

Fase tonis ini berlangsung kira-kira 1menit untuk kemudian disusul

oleh fase klonis dengan kejang-kejang dari kaki-tangan, rahang dan muka.

Penderita kadang-kadang mengigit lidahnya sendiri dan juga dapat terjadi

inkontinensia urin atau feces selain itu timbul hentakan-hentakan klonis ,

yakni gerakan ritmis dari kaki-tangan secara tak sadar, sering kali dengan

jeritan mulut berbusa mata membelalak , dan gejala lainnya. Lama serangan

ini berkisar antara 1-2 menit yang disusul dengan keadaan pingsan selama

beberapa menit kemudian sadar kembali dengan perasaan kacau serta

depresi. Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik

yang berlebihan dari neuron diseluruh area otak-di korteks, di bagian dalam

serebrum, dan bahkan di batang otak dan talamus. Kejang grand mal

berlangsung selama 3 atau 4 menit. . (Guyton,2002)

Pemicu timbulnya serangan epilepsi Grand mal yaitu faktor

predisposisi herediter, yakni kira-kira 1 dari setiap 50 sampai 100 penderita.

Pada beberapa penderita, beberapa faktor yang dapat meningkatkan

eksitabilitas lingkaran “epileptogenik” abnormal yang cukup untuk

mendahului serangan yakni :

1. Rangsangan emosi yang hebat

2. Alkalois yang disebabkan pernapasan yang berlebihan

3. Obat-obatan

4. Demam

5. Suara bising

6. Cahaya yang menyilaukan

(Guyton,2002)

7 Patofisiologi EPILEPSI

Gambar 1. Perbedaan fase Tonik dan Klonik

Bahkan pada beberapa orang yang tidak mempunyai faktor predisposisi

genetik, adanya lesi traumatik hampir di setiap bagian otak dapat

menyebabkan timbulnya kelebihan eksitabilitas area otak setempat. Hal ini

yang menyebabkan timbulnya epilepsi Grand mal. . (Guyton,2002)

Jenis serangan yang terdapat pada epilepsi Grand mal adalah :

a. Serangan myoclonis : (Yun. Myo = Otot) adalah bentuk grand

mal lainnya dan bercirikan kontraksi otot simetris dan sikron yang

tak ritmis dari terutama bahu dan tangan (tidak dari muka). Ada

kalanya berlangsung berurutan dengan jangka waktu singkat

sekali, kurang dari 1 detik.

b. Status epilepticus adalah serangan yang bertahan lebih dari 30

menit dan berlangsung beruntun dengan cepat tanpa diselingi

keadaan sadar. Sesudah 30menit ini mumai terjadi kerusakan pada

SSP. Situasi gawat ini bisa fatal (mortalitas 10-15%), karena

kesulitan pernapasan dan kekurangan oksigen di otak. Pada

umumnya disebabkan oleh ketidak patuhan penderita minum obat,

menghentikan pengobatan secara tiba-tiba atau timbulnya demam.

8 Patofisiologi EPILEPSI

Penghentian serangan Grand mal salah satu faktor utama disebabkan

oleh kekelahan (fatique) dari neuron setelah beberapa menit dari kejang

Grand mal , faktor kedua adalah penghambat aktif yang dilakukan oleh

struktur-struktur tertentu otak. Atau dengan kata lain keadaan stupor dan

kelelahan tubuh total yang timbul sesudah serangan grand mal berkahir

dianggap merupakan akibat dari kelelahan yang hebat pada neuron sesudah

neuron mengalami aktivitas yang hebat selama serangan grand mal.

Epilepsi Petit Mal

Pelit mal (Perancis = Penyakit kecil) atau abscence

(Perancis=Tak hadir). Bercirikan serangan yang hanya singkat sekali,

antara beberapa detik sampai setengah menit dengan penurunan

kesadaran singkat sekali, antara beberapa detik sampai setengah menit

dengan penurunan kesadaran ringan tanpa kejang-kejang. Seperti

serangan grand mal , petit mal juga bersifat serangan luas diseluruh

otak. Gejalaya berupa keadaan termangu-mangu (pikiran kosong;

kehilangan kesadaran dan respons sesaat) muka pucat, pembicaraan

terpotong-potong atau mendadak berhenti bergerak,terutama pada

anak-anak. Setelah serangan, anak kemudian melanjutkan aktivitasnya

seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bila serangan singkat tersebut

berlangsung berturut-turut dengan cepat, maka dapat pula timbul suatu

status epilepticus. Serangan petit mal pada anak-anak dapat

berkembang menjadi grand mal pada usia pubertas. Epilepsi ini

biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar atau

penurunan kesadaran selama 3 sampai 30 detik, di mana selama waktu

serangan ini penderita merasakan beberapa kontraksi otot seperti

sentakan (twitch- like),biasanya di daerah kepala, terutama pengedipan

mata. Selanjutnya akan diikuti dengan kembalinya kesadaran dan

timbulnya kembali aktivitas sebelumnya, biasanya serangan petit mal

terjadi pada anak-anak akil balig dan sepenuhnya menghilang pada

umur 30tahun.

9 Patofisiologi EPILEPSI

Epilepsi Fokal

Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik

regional setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih

dalam pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal disebabkan oleh lesi

organik setempat atau adanya kelainan fungsional seperti adanya jaringan

neuron,adanya tumor yang menekan daerah otak, rusaknya suatu daerah

otak atau kelainan sirkuit setempat yang herediter. Bila ada suatu

gelombang eksitasi yang menyebar ke korteks motorik, maka gelombang

ini akan menyebabkan “barisan” kontraksi otot secara progresif di seluruh

sisi lain tubuh dimulai dari regio mulut dan secara beruntun menjalar turun

ke regio tungkai, namun pada saat lain dapat menjalar ke arah yang

berlawanan. Keadaan ini disebut epilepsi jackson.

Ada tipe lain dari epilepsi fokal yang disebut sebagai kejang

psikomotor, yang mungkin menyebabkan timbulnya :

1. Periode amnesia singkat

2. Serangan amarah yang abnormal

3. Ansietas yang timbul mendadak, rasa taktakut atau rasa takut.

4. Bicara inkoheren yang singkat atau bergumam dari ungkapan

basa-basi (trite phrase) atau

5. Gerakan motorik seperti mau menyerang seseorang atau

menghapus wajah dengan tangannya dan sebagiannya.

Serangan kejang tipe ini khusus melibatkan bagian limbik otak,seperti

hipokampus,amigdala, septum atau korteks temporalis.

II.2 Patogenesis Epilepsi

a. Pada keadaan patologik, tumor, infeksi dan gangguan otak seperti

lesi pada mesensefalon, thalamus,korteks serebral kemungkinan

besar neuron bersifat epiltogenik (neuron membrannya tidak

stabil, rangsangan sedikit sudah terksitasi dan menuju

neuronselanjutnya). Sistem saraf merupakan communication

10 Patofisiologi EPILEPSI

network (jaringan komunikasi). Otak berkomunikasi dengan

organ-organ tubuh yang lain melalui sel-sel saraf (neuron). Pada

kondisi normal, impuls saraf dari otak secara elektrik akan dibawa

neurotransmitter seperti GABA (gamma- aminobutiric acid) dan

glutamat melalui sel-sel saraf (neuron) ke organ-organ tubuh yang

lain. Faktor-faktor penyebab epilepsi di atas menggangu sistem

ini, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan aliran listrik pada

sel saraf dan menimbulkan kejang yang merupakan salah satu ciri

epilepsi.

Pada tingkat membran sel, neuron epileptogenik mengalami

perubahan antara lain:

1. Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah

diaktifkan

2. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun sehingga

mudah terkativasi secara berlebihan

3. Terjadi polarisasi yang abnormal

4. Ketidak seimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia

neuron

b. Pada epileptik idiopatik : jumlah GABA(GABA menginhibisi

potensial aksi) tidak emadai sehingga neuron kortikalnya mudah

sekali terganggu dan bereaksi dengan melepaskan muatan

listriknya secara menyeluruh

Faktor mencetus epilepsi :

· Tekanan,

· Kurang tidur atau rehat,

· Sensitif pada cahaya yang terang (photo sensitive),dan

· Minum minuman keras

11 Patofisiologi EPILEPSI

II.3 Diagnosa Epilepsi

Elektroencefalogram (EEG). Tes paling teroercaya untuk mendiagnosa

jenis epilepsi adalah melalui pemeriksaan EEG. Pertama kali dikemukakan

pada abad ke-19 dengan menyalurkan listrik ke-otak, digunakan sebagai

alat yang apat mencatat variasi-variasi potensial dari aktivitas listrik di otak.

Pencatatan ini berguna untuk antara lain melokalisasi dan mendiagnosa

proses-proses patologis di otak. Misalnya luka di cortex menimbulkan

gelombang khusus yang dapat dideteksi dalam EEG. Evaluasi penderita

dengan gejala yang bersifat paroksismal, terutama dengan faktor penyebab

yang tidak diketahui, memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus

untuk dapat menggali dan menemukan data yang relevan. Ada beberapa

serangan yang perlu didiagnosa adalah sebagai berikut :

a. Serangan Grand mal yang diawali oleh aura dan kemudian disusul oleh

konvuli umum dengan kontraksi otot dan gerakan klonis, mempunyai

pola EEG yang khusus.

b. Serangan petit mal memiliki EEG yang khas

Dengan demikian EEG dapat mendiagnosis epilepsi didasarkan atas

anamnesis dan pemeriksaan klinik dikombinasikan dengan hasil

pemeriksaan EEG dan radiologis,sehingga berdasarkan analisa ini dapat

dipilih obat antikonvulsi yang tepat bagi penderita. Penentuan jenis

epilepsi dan pilihan obat serta dosisnya secara individual adalah penting

sekali,karena obat yang efektif terhadap petit mal bbisa bekerja

berlawanan pada grand mal dan sebaliknya . Penderita atau orang

tuanya perlu diminta keterangannya tentang riwayat adanya epilepsi

dikeluarganya. Kemudian dilanjutkan dengan beberapa pemeriksaan

antara lain:

12 Patofisiologi EPILEPSI

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan ini menapis sebab-sebab terjadinya bangkitan dengan

menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada usia

lanjut auskultasi didaerah leher penting untuk menditeksi penyakit vaskular.

Pada anak-anak, dilihat dari pertumbuhan yang lambat, adenoma sebasea

(tuberous sclerosis), dan organomegali (srorage disease).

Elektro-ensefalograf

Pada epilepsi pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan

lokasi bangkitan. Gelombang epileptiform berasal dari cetusan paroksismal

yang bersumber pada sekelompok neuron yang mengalami depolarisasi

secara sinkron. Gambaran epileptiform anatarcetusan yang terekam EEG

muncul dan berhenti secara mendadak, sering kali dengan morfologi yang

khas.

Pemeriksaan pencitraan otak

MRI bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG.

Yang bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.

Disamping itu juga dapat mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak,

tumor yang berukuran kecil, malformasi vaskular tertentu, dan penyakit

demielinisasi.

Diagnosis Banding

a. Kejadian paroksismal

Diagnosis banding untuk kejadian yang bersifat paroksismal meliputi

sinkrop, migren, TIA (TransientIschaemic Attack),paralisis

periodik,gangguan gastrointestinal, gangguan gerak dan breath holding

spells. Diagnosis ini bersifat mendasar.

b. Epilepsi parsial sederhana

Diagnosis ini meliputi TIA, migren, hiperventilasi, tics, mioklonus,

dan spasmus hemifasialis. TIA dapat muncul dengan gejala sensorik yang

dibedakan dengan epilepsi parsial sederhana. Keduanya paroksimal,

13 Patofisiologi EPILEPSI

bangkitan dapat berupa kehilangan pandangan sejenak, dan mengalami

penderita lanjut usia.

c. Epilepsi parsial kompleks

Diagnosis banding ini berkaitan dengan tingkat kehilangan kesadaran,

mulai dari drop attacks sampai dengan pola prilaku yang rumit.secara

umum diagnosis ini meliputi sinkrop, migren, gangguan tidur, bangkitan

non epileptik, narkolepsi, gangguan metabolik dan transient global

amnesia.( Goodman and Gilman, 2007)

II.4 Manifestasi serangan epilepsi

1. Serangan epilepsi parsial

Epilepsi parsial hanya area tertentu yang mengalami gangguan.

Epilepsi parsial dibagi menjadi tiga :

a. Serangan parsial sederhana

Epilepsi sederhana, tidak disertai gangguan dan penurunan kesadaran,

artinya penderita masih dalam keadaan sadar. Umumnya berlangsung

selama 30 detik atau kurang. Manifestasi klinis : area otot tertentu yang

terlibat.

Manivestasi bervariasi yaitu :

Manifestasi motorik : adalah gerakan tonik-klonik. Gerakan

tonik :kaku leher, mata melotot. Sedangkan gerakan klonik :

menyentak-nyentak

Manifesasi sensorik : halusinasi atau serangan aura melibatkan

panca indra.

Mata : melihat bentuk yang tidak dilihat orang lain

Telinga: mendengar hal-hal yang tidak didengar oleh orang lain

Penciuman/hidung : mencium bau aneh

14 Patofisiologi EPILEPSI

Manifestasi otonomik : denyut jantung, pernapasan meningkat,

berkeringat, bulu kuduk berdiri, perut merasa aneh (ada

binatang di perut)

Manifestasi psikis : perasaan takut, cemas dan depresi.

b. Serangan parsial kompleks

Terjadi penurunan kesadaran, tampak sadar namun apabila didekati

penderita tak sadar akan lingkungannya. 50% penderita akan mengalami

aura terlebih dahulu (halusinasi atau kedutan otot) bias di wajah atau jari-

jari terjadi perasaan takut dan perasaan aneh. Manifestasi dari serangan

parsial kompleks adalah :

Gerakan mengunyah/menelan berulang-ulang kali

Berkecap-kecap/ berkomat-kamit

Menarik-narik baju

Tingkah laku aneh/ susah dipahami

c. Serangan parsial yang berkembang menjadi serangan

umum.

2. Serangan epilepsi umum

a. Tonik-klonik atau grand mal

Kejang-kejang, lidah terjulur, mengeluarkan busa.

Penderita didahului oleh aura (halusinasi panca indra)

Jatuh ke lantai/tanah

Gerakan tonik (otot-otot kaku tapi berkontraksi).

Menarik tangan dan kakinya lurus, mata kearah atas, dan

lidah dapat tergigit, serta mengeluarkan busa. Setelah

tonik dapat memberikan gerakan klonik/ menyentak-

nyentak(melibatkan tangan,wajah,kaki)selama 5menit.

Setelah itu penderita berangsur-angsur sadar namun

masih belum 100%,yaitu dalam keadaan seperti orang

linglung. (Vidia, M., 2009)

15 Patofisiologi EPILEPSI

b. Absence atau Petit mal

Dapat terjadi dalam dua fase, dengan ciri-ciri :

Pertama

Mata terbelalak (singkat), gangguan kesadaran(hilang

kesadaran)

Tidak didahului aura dan berhenti secara mendadak

Kesadaran pulih segera

Kedua

Melamun sejenak, pandangan mata kosong

Mata berkedip-kedip

Kepala tertunduk

Gerakan mengunyah (Vidia, M., 2009)

c. Absence tidak khas

Manifestasinya sama dengan petit mal, penurunan kesadaran tidak

parah / mendalam. Berhubungan dengan keterbelakangan.

(Vidia, M., 2009)

d. Serangan atonik

Manifestasi klinik : hilangnya tonus otot secara total dan mendadak,

disertai hilangan postur tubuh, penderita tidak hilang kesadaran

berlangsung 10-60detik. (Vidia, M., 2009)

e. Serangan mioklonik

Serangan bersifat mendadak, singkat, berupa kedutan otot, sering

muncul pada saat penderita tidur, seperti sentakan-sentakan pada

leher,bahu,kaki dan lengan (Vidia, M., 2009)

f. Serangan tonik

Ciri manifestasi : kaku ada tubuh, lengan,kaki,tungkai atas atau

bawah. Terjadi pada saat tidur 10-60detik. (Vidia, M., 2009)

16 Patofisiologi EPILEPSI

II.5 Penanganan

Tindakan utama. Selalu diusahakan untuk meniadakan

penyebab penyakit (misalnya tumor otak) dan menjauhkan faktor yang

dapat memicu serangan (alkohol,stress,keletihan, demam, imunisasi,

gejolak emosi)

Tindakan darurat. Pada waktu serangan hendaknya

diusahakan jangan sampai pendrita melukai dirinya sendiri, misalnya

mengigit lidah. Perlu diperhatikan pula bahwa saluran pernapasannya

bebas dan tidak tersumbat. Bila ada kecurigaan mengenai hipoglikemia,

yang juga dapat memacu konvulsi, kadar gula darahnya harus

ditentukan dan bila perlu harus diberikan glukosa secra intravena.

Tujuan. Karna epilepsi dapat merusak sel-se otak, terutama

serangan grand mal dan menjadi suatu beban sosial dan psikologis bagi

penderita, maka tujuan utamanya adalah mencegah timbulnya kejang

atau mengurangi sebanyak mungkin jumlah serangan tanpa menganggu

fungsi normal tubuh. Oleh karena itu pada saat serangan terjadi pasien

harus diberikan obat antieliptika secara terus-menerus. Namun pada

umunya penyembuhan tuntas sukar dicapai. (Goodman and Gilman,

2007)

17 Patofisiologi EPILEPSI

II.6 Penatalaksanaan

Setelah diagnosa ditetapkan maka tindakan terapeutik diselenggarakan.

Semua orang yang menderita epilepsi, baik yang idiopatik maupun yang

non-idiopatik, namun proses patologik yang mendasarinya tidak bersifat

progresif aktif seperti tumor serebri, harus mendapat terapi medisinal. Obat

pilihan utama untuk pemberantasan serangan epileptik jenis apapun, selain

petit mal, adalah luminal atau phenytoin. Untuk menentukan dosis luminal

harus diketahui umur penderita, jenis epilepsinya, frekuensi serangan dan

bila sudah diobati dokter lain.

Dosis obat yang sedang digunakan. Untuk anak-anak dosis luminal

ialah 3-5 mg/kg/BB/hari. Orang dewasa memerlukan 60 sampai 120

mg/hari. Dosis phenytoin (Dilatin, Parke Davis) untuk anak-anak ialah 5

mg/kg/BB/hari dan untuk orang dewasa 5-15 mg/kg/BB/hari. Efek

phenytoin 5 mg/kg/BB/hari (kira-kira 300 mg sehari) baru terlihat dalam

lima hari. Maka bila efek langsung hendak dicapai dosis 15 mg/kg/BB/hari

(kira-kira 800 mg/hari) harus dipergunakan.

Efek antikonvulsan dapat dinilai pada ‘follow up’. Penderita dengan

frekuensi serangan umum 3 kali seminggu jauh lebih mudah diobati

dibanding dengan penderita yang mempunyai frekuensi 3 kali setahun. Pada

kunjungan ‘follow up’ dapat dilaporkan hasil yang baik, yang buruk atau

yang tidak dapat dinilai baik atau buruk oleh karena frekuensi serangan

sebelum dan sewaktu menjalani terapi baru masih kira-kira sama. Bila

frekuensinya berkurang secara banding, dosis yang sedang dipergunakan

perlu dinaikan sedikit. Bila frekuensinya tetap, tetapi serangan epileptik

dinilai oleh orangtua penderita atau penderita epileptik Jackson

motorik/sensorik/’march’ sebagai ‘enteng’ atau ‘jauh lebih ringan’, maka

dosis yang digunakan dapat dilanjutkan atau ditambah sedikit. Jika hasilnya

buruk, dosis harus dinaikan atau ditambah dengan antikonvulsan lain.

(McNemara J.O 2008)

18 Patofisiologi EPILEPSI

II.7 Terapi Serangan

Kebanyakan lamanya serangan kurang dari 5menit dan berhenti

dengan sendirinya tanpa pengobatan. Bila berlangsung lebih lama, barulah

harus diberi obat sebagai berikut :

Diazepam rektal, sebagai larutan dalam rictiole. Jika belum

menghasilkan efek sesudah 5-10menit, pemberian dapat

diulang atau diberi midazolam/klonazepam secara oromucosal.

Lihat selanjutnya dibawah penggunaan.

Diazepam intravena untuk efek cepat atau klonazepam i.v

atau midzolam i.m. umumnya serangan berhenti dalam5-

15menit dosis tidak boleh terlalu tinggi karena risiko depresi

pernapasan. Bila penanganan ini belum berhasil juga dan

terjadi status epilepticus, maka terapi mutlak segera

dilanjutkan di rumah sakit.

Benzodiazepin atau fenitoin, sebagai infus kontinu dngan

monitoring pernapasan dan sirkulasi. Pasien biasanya dibri

diazepam 10mg i.v disusul dnegan infus i,v dari 200mg per liter

selama 24jam.

(McNemara,J.O 2008)

II.8 Terapi pemeliharaan

a. Epilepsi luas (generalized) pilihan pertama pada grand mal

adalah valproat. Pada grand mal serangan myoclonis dapat

digunakan kombinasi dengan klonazepam.

b. Epilepsi parsial biasanya ditanggulangi dengan pilihan

pertama karbamazepin, valproat atau feniton

c. Kortikosterroida berangsur-angsur sangat efektif.

19 Patofisiologi EPILEPSI

II.9 Obat-obat epilepsi

Antieliptika adalah obat yang dapat menanggulangi serangan epilepsi

berkat khasiat antikulvusinya, yakni meredakan konvulsi(kejang klonus

hebat). Obat untuk epilepsi ini digologkan dalam beberapa golongan yaitu:

1. Obat generasi pertama

Barbital : Fenobarbital dan mefobarbital memiliki sifat

antikonvulsif khusus yang terlepas dari sifat hipnotiknya.

Fenitoin K: Senyawa hidantoin ini terutama digunakan pada

grand mal

Suksinimida : Etosuksimida dan mesuksimida. Senyawa ini

sering digunakan pada epilepsi petit mal

Lainnya : Asa, valproat, diazepam,dan klonazepam,

karbamazepin dan okskarbazepin

2. Obat generasi kedua

Vigabatrin, lamotrigin dan gabapentin (neurontin) juga

felbamat,topiramat dan pregabaline. Umunya obat-obat ini tidak

diberikan tunggal sebagai monoterapi melainkan sebagai tambahan

dalam kombinasi dengan obt-obat klasik (obat generasi 1).

(Wibowo, S dan Gofir, A 2006)

20 Patofisiologi EPILEPSI

BAB III

PENUTUP

III.1 kesimpulan.

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang

dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang

bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat

diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan

sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat

singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses

eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi.

Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat

epilepsi. Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko

lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat seizurepertama

karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus

mendapat seizure walaupun sudah lepas dari narkotik. Umumnya

epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam process

kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang epilepsi

mungkin juga karena genetik, tapi epilepsi bukan penyakit

keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap belum diketahui.

21 Patofisiologi EPILEPSI

III.2 Saran

Hingga kini belum diketahui obat yang sungguh-sungguh mujarab untuk

menyembuhkan penyakit ayan. Usaha terpenting adalah

menghilangkan dulu sebab-sebab yang dapat mengakibatkan serangan

ayan, misalnya sisa-sisa penyakit raja singa, urat darah mengeras,

penyakit-penyakit otak, racun alkohol, cacing-cacing dalam perut dan

lain-lain. Untuk usaha dalam mengurangi timbul serangan ayan dan

memperkecil bahaya-bahaya bagi penderita ayan adalah antara lain:

1. Hendaknya si penderita menjaga dalam kehidupan sehari-hari, badan

dan fikirannya jangan terlampau berat dalam bekerja agar tidak

menjadi penat. Jangan diperbolehkan si penderita minum minuman

keras, kopi atau teh yang pekat dan jangan terlalu banyak makan

daging. Si penderita seharusnya harus banyak memakan sayur-sayuran

dan cukup istirahat serta usahakan dapat buang air besar dengan teratur.

2. Si penderita jangan di perbolehkan melakukan sesuatu perbuatan yang

sekiranya dapat membahayakan dirinya seperti memanjat pohon atau

tangga, meniti jembatan sempit, berdiri dipinggir sungai atau kolam

ataupun api, berenang, bersepeda, berjalan sendiri di jalan besar dan

berdiri di dekat mesin yang sedang berputar dan lain sebagainya.

Karena itu semua, membahayakan si penderita apabila ayan sedang

kambuh.

3. Jika tampak tanda-tanda bahwa si penderita akan terserang ayan, maka

suruhlah ia menelan 1 atau 2 sendok teh garam dan menghirup bau

bawang putih yang sudah ditumbuk halus. Dan juga kaki dan

tangannya bisa juga diikat dengan erat, boleh pakai kain atau tali yang

besar. Dengan cara demikian, biasanya serangan ayan dapat

dihindarkan.

4. Apabila si penderita sudah jatuh pingsan, hendaklah dibaringkan

terlentang dan pakaiannya agak dilonggarkan, jika perlu disela-sela gigi

atas dan bawah dimasuki kain bersih yang sudah dilipat atau sendok,

untuk menghindari lidah tergigit dan biarkan sampai ia sadar kembali.

22 Patofisiologi EPILEPSI

Daftar Pustaka

1. Browne TR., Holmes GL., 2000, Epilepsy: Definitions and Background. In: Handbook of Epilepsy, 2nd edition, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, P., 1-18.

2. Goodman and Gilman, 2007, Dasar Farmakologi Terapi, vol. 1, EGC, Jakarta, 506-531.

3. Irani, Vidia, M., 2009, Gambaran Efektivitas Antiepilepsi Pada Pasien Epilepsi Yang Menjalani  Rawat Inap Di Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 41-70.

4. Nordli, D.R., Pedley, De Vivo, 2006, Buku Ajar Pediatri Rudolph volume 3, EGC, Jakarta, 1023, 1034, 2135-2138.

5. Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta, 85.

6. Gidal, B.E., and Garnett, W.R., 2005, Epilepsy, in Pharmacotherapy: A Phathophisiology Approach, Dipiro, J.T., et al (eds) McGraw Hill, New York, 1023-1048.

7. Lacy, Charles F., 2009,  Drug Information Handbook, American Pharmacists Association.

8. Dillon and Sander, 2003, Clinical Pharmacy and Therapeutics, Third edition, Churchill livingstone, New York, 465-468, 472-477.

9. Rainer Surges, Kirill E., Volynski and Matthew C., Walker, 2008, Is Levetiracetam Different from Other Antiepileptic Drugs? Levetiracetam and its Cellular Mechanism of Action in Epilepsy Revisited Rainer Surges, Therapeutic Advances in Neurological Disorders, 1(1) 13-24.

10. Weiner WJ., 1999, The Intial Treatment of Parkinson’s Disease Should Begin With Levodopa, Mov Disord, 14: 716–724.

11. McNemara, J.O., 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, vol 1, diterjemahkan oleh alih bahasa sekolah farmasi ITB, EGC, Jakarta,  1517, 522, 524.

12. Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 7-8, 65-66, 144.

13. Mijasaki JM., Martin W., Suchowersky O., et al., 2002, Practice parameter: Initiation of treatment for Parkinson’s disease: An evidence based review, Neurology, 58; 11–17

23 Patofisiologi EPILEPSI