makalah-fix.docx
DESCRIPTION
tugasTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tak dapat disangkal para pakar komunikasi bukanlah kelompok yang bersatu pandangan
dan wawasan mengenai konseptualisasi komnikasi sebagai disiplin ilmiah. Artinya para pakar
mengakhiri adanya perbedaan wawasan dan perbedaan paradigma atau perspektif satu dengan
yang lain. Para pakar komunikasi merupakan kelompok yang mempunyai ikatan yang sangat
“longgar”, dan masalah di dalamnya terdapat fraksi dengan paradigma masing – masing. Para
ahli teori sosial dan filsof ilmu umumnya sependapat bahwa ilmu sosial /perilaku amat banyak
meminjam dari ilmu fisika pada saat disiplin baru ini menjalani perkembangan selama tahun –
tahun pembentukannya.
Teori dapat diartikan sebagai sejumlah gagasan yang status dan asalnya bervariasi dan
dapat dipakai untuk menjelakan atau menafsirkan fenomena. Sehubungan dengan penjelasan ini,
berdasarkan paradigma komunikasi politik yang telah dipaparkan, dapat diturunkan beberapa
teori dasar dan beberapa model dasar yang telah dikenal. Teori – teori tersebut juga telah lama
diaplikasikan dalam kegiatan komunikasi politik. Pada dasarnya teori – teori itu berbeda satu
sama lainnya karena memang bersumber dari perspektif atau paradigma yang berbeda.
Dalam mempelajari sebuah bidang studi ilmu diperlukan suatu pemahaman yang lebih
mendalam. Hal ini diperlukan agar di dalam proses mempelajari tersebut tidak terjadi suatu
permasalahan seperti misalnya ketidak sepahaman dalam mempersepsikan sebuah istilah atau
pengertian. Beragamnya cara berpikir manusia, dan faktor latar belakang misal, tanah kelahiran
membuat suatu ilmu yang baru dapat dipersepsikan ke dalam keragaman yang bahkan tidak
jarang tidak ada batasan di dalamnya. Oleh karena itu, perlunya disusun sebuah karya tulis yang
berjudul “ Persepsi dan Teori Komunikasi Politik” guna membantu untuk mempermudah dalam
proses belajar tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah adalah bagaimana perspektif dan apa saja teori dalam
komunikasi politik?
1.3 Tujuan
Untuk menjelaskan kajian mengenai perspektif, teori, dan model komunikasi politik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perspektif dan Model Komunikasi Politik
1. Dari Paradigma ke Perspektif
Para pakar ilmu komunikasi bukanlah kelompok yang bersatu pandangan dan wawasan
mengenai konseptualisasi komunikasi sebagai disiplin ilmiah, artinya para pakar mengakhiri
adanya perpedaan wawasan dan perbedaan paradigma atau perspektif satu dengan yang lain.
Para pakar komunikasi merupakan kelompok yang mempunyai ikatan yang sangat “longgar” di
dalamnya ada fraksi dengan paradigma masing-masing. Feyerabend (1975) menyebut
komunikasi sebagai ilmu yang di tandai oleh paradigma yang multi muka.
Istilah paradigma berasal dari Thomas Kuhn (1974), kunh melihat bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan bukan terjadi secara kumulatif, tetapi terjadi secara revolusi. Dimana terjadi
pergantian dominasi paradigma, dari paradigma lama yang memudar ke paradigma baru. Namun
Robert Fredrich berhsil merumuskan paradigma itu secara disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajari. Semua paradigma akan
menjadi tidak layak dalam batas tertentu, selama keseimbangan dengan alam masih
dipersoalkan. Apabila ketidakseimbangan itu menjadi serius, keseluruhan paradigma dengan
yang lainnya akan menjadi esensial untuk kemajuan efektif suatu ilmu.
Sebagaimana tesis kunh bahwa ilmu tidak berkembang secara kumulatif malainkan secara
revolusi. Ilmu komunikasi juga mangalami hal yang demikian. Ilmu komunikasi sejak awal
hingga tahun 1970an sangat di dominasi oleh paradigma yang lain. Jadi dalam perkembangan
ilmu komunikasi kita bisa mencatat adanya dua paradigma yang dapaat disebut sebagai
paradigma lama dan paradigma baru.
B.Aubrea Fisher seorang pakar ilmu komunikasi yang terkenal berhasil mencatat adanya
beberapa paradigma berkembang pada beberapa dekade terakhir dalam ilmu komunikasi. Fisher
tidak menggunakan istilah paradigma melainkan istilah perspektif. Karena menurut pendapatnya
istilah paradigma mencegah penggunaan netral. Namun paradigma itu kurang lebih sama dengan
perspektif. Fisher (1990:85-86), mengakui bahwa perspektif dalam arti pandangan yang realistis.
Tidak mungkin lengkap, Sebab pasti sebagian dari fenomena yang sedang dilihat itu hilang dan
lainnya mengalami distorsi.
Dari penjesan diatas, fenomena komunikasi politik tidak berbeda dengan fenomena
politik. Baik komunikasi maupun politik sebagai serbahadir (ubiquitous). Artinya, komunikasi
dan politik itu serba hadir dimanapun dan kapanpun. (Arifin, 2003:24). Komunikasi politik
mendapat sejumlah ke-untungan dan sekaligus mengalami banyak kesulitan karena fenomena
komunikasi politik itu menjadi luas, ganda, dan multi makna sehigga memiliki multi paradigma.
Kesulitan ini langsung terihat lahirnya sejumlah definisi mengenai komunikasi politik yang
bebeda dan sejalan satu dengan yang lainnya.
Ilmu politik dan ilmu komunikasi, masing-masing telah mengalami perkembangan yang
amat pesat. Krisis dan revolusi yang terjadi dalam ilmu komunikasi, terutama dalam bidang
komunikasi politik ( propaganda, agitasi, perang urat syaraf, dan kampanye) ditandai oleh
adanya kekecewaan terhadap hasil kajian yang bersumber dari paradigma lama yaitu paradigma
atau perspektif mekanistis (fisher 1990, 139-189).
Arifin ( 2003:26) menegaskan komunikasi politik dapat diterangkan berdasarkan empat
perspektif atau paradigma sebagaimana perspektif yang dikemukakan oleh B. Aubrey Fisher.
Keempat perpektif itu adalah meknisme, psikologis, interaksional, dan pragmatis, justru itu
perspektif boleh diartikan sebagai pendekatan strategi intelektual, kerangka konseptual
komunikasi selama ini ke dalam empat perspektif tersebut. Dengan demikian perspektif atau
paradigma yang ada di dalam komunikasi itu perlu dipahami dengan baik, keempat
perspektif/paradigma ini dipaparkan oleh Arifin ( 2003:23-24) secara jelas.
2. Perspektif dan Model Mekanistis
Perspektif model mekanistis muncul di awal perkembangan ilmu komunikasi yang
banyak mengadopsi teori dan prinsip dari ilmu fisika yang sudah mapan sebelumnya yang
merupakan perspektif mekanistis yang lebih dikenal dengan fisika klasik seperti yang
dikembangkan laplace dan Newton. Model mekanistis merupakan model yang paling lama dan
paling banyak dianut sampai sekarang. Model mekanistis yang dikembangkan telah memberikan
pengaruh yang kuat dan meluas tidak hanya di kalangan akademisi tetapi juga pada masyarakat
luas.
Komponen dalam model mekanistis sangat jelas yaitu sumber, saluran, pesan/umpan
balik/efek. Sesuai dengan doktrin mekanistik yang berdasarkan hubungan kausalitas dan cara
berfikir sebab akibat maka titik berat kajian komunikasi adalah efek. Hal ini tercermin pada
kajian mengenai persuasi, efek media massa, difusi (komunikasi pembangunan) dan jaringan
komunikasi yang menggunakan metode eksperimental dan kuantitatif. Berdasarkan prinsip
kausalitas inilah komunikasi dikonseptualisasikan sebagai proses mekanis. Artinya, dalam
komunikasi terdapat suatu pesan yang mengalir melintasi ruang dan waktu dari satu titik ke titik
yang lain (sumber/penerima) secara simultan.
Berdasarkan paparan diatas, komunikasi sebagai proses dipahami sebagai mekanisme
yang berjalan dari siapa ke siapa melintasi ruang dan waktu dari satu titik ke titik lainnya.
Sesuai dengan prinsip mekanisme yang berdasarkan cara berpikir sebab akibat, maka kajiannya
dititik beratkan pada efek. Dalam konteks komunikasi politik, Dan Nimmo (1998:8) dengan
mudah menjabarkan formuka Laswell, bahwa dalam komunikasi politik terdapat banyak unsur
yang dikenal yaitu komunikator politik, pesan politik, media politik, khalayak politik, dan efek
politik. Sedangkan Bell (1975:15-69) menyebutkan bahwa komunikasi politik itu pembicaraan
tentang kepentingan polutik yaitu pembicaraan kekuasaan,pembicaraan pengaruh, dan
pembicaraan otoritas. Pembicaraan mengenai politik itu kemudian dikaji dalam kerangka
mekanistis yaitu siapa berbicara kepada siapa, melalui saluran apa dan bagaimana efeknya.
Dalam konteks komunikasi politik kajian paradigma mekanistis terpusat pada efek
politik. Kajian tersebut semakin berkembang sejalan dengan kekhawatiran banyak orang tentang
akibat atau dampak media massa terhadap masyarakat. Teori yang termasuk dalam model
mekanistis antara lain :
• Mathematical theory of communication
Teori matematika komunikasi lebih dikenal sebagai teori Shannon & Weaver tahun 1949.
Shannon mengetengahkan teori matematik permesinan sedangkan Weaver menerapkannya pada
komunikasi manusia dengan sumber informasi dan pesan yang akan disampaikan. Ada beberapa
unsur dalam model Shannon dan Weaver yaitu:
• Pesan yang berupa kata lisan ataupun tulisan, gambar, musik, dll
• Pemancar yang mengubah pesan menjadi isyarat (signal) yang sesuai bagi saluran yang
digunakan
• Saluran (Channel) yaitu media yang menyalurkan isyarat dari pemancar ke penerima
(receiver).
Receiver signal
message
signal
message
Bagan Model Mekanistis Komunikasi Manusia (Model Arus dari Claude Shannon & Warren Weaver). Sumber : Arifin (1984).
• Cultivation theory
Cultivation theory atau teori penanaman menggambarkan kehebatan televisi dalam
menanamkan sesuatu dalam jiwa penonton yang kemudian terimplementasi dalam sikap dan
petilaku mereka. Misalnya kebiasaan televisi menyiarkan berita tentang kejahatan yang berefek
pada ketakutan seseorang akan ancaman kejahatan tersebut.
• Teori Jarum Suntik
Teori ini berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk
menolak informasi setelah ditembakkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena terlena
seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak memiliki alternatif untuk
menentukan piluhan lain kecuali apa yang disiarkan oleh media.
• Teori Agenda Setting
Teori ini mengakui bahwa media memberi pengaruh terhadap khalayak dalam pemilihan
presiden melalui penayangan berita,isu, citra, maupun penampilan kandidat itu sendiri. Becker &
Mc Leod (1976) mengakui bahwa meningkatnya penonjolan atas isu yang berbeda bisa
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap opini publik dalam konteks politik, partai dan
para aktor politik akan berusaha mempengaruhi agenda media untuk mengarahkan pendapat
umum.
Paradigma mekanistis yang sangat populer pun memudar seiring dengan kajian ahli-ahli
psikologi yang mengemukakan bahwa manusia bukanlah makhluk yang pasif melainkan
makhluk yang sangat aktif. Sedangkan prinsip mekanisme mengajarkan bahwa selain efek bisa
diprediksikan, juga bisa dicciptakan dengan menghilangkan kendala atau rintangan yang
mungkin terjadi melalui rencana pada awal. Karena ptonsip itulah kemudian muncul kritik
terhadap paradigma ini bahwa sistem sosial merupakan sistem yang terbuka dan sangat sulit di
prediksi. Dengan kata lain prinsip mekanisme itu sepenuhnya sangat sukar diterapkan dalam
komunikasi sosial dan komunikasi politik.
3. Perspektif dan model psikologi
Menurut paradigma perspektif psikologi, komunikasi di konseptualisasi sebagai
penerima informasi pada individu. perspektif yang dipengaruhi secara tidak mendalam,
sebangaimana pengaruh fisik terhadap perspektif mekanisme. Komunikasi dalam model
psikologis merupakan masukan dan dorongan yang ditambahkan dan diseleksi dari dorongan
yang terdapat dalam lingkungan informasi. Maka dari itu, komunikasi di tandai oleh tempat yg
terstruktur dan berbeda dari dorongan S-R (stimulus respon) yang tidak mengandung eksitensi
fenomena komunikasi.
Model psikologi komunikasi berbeda dari model psikologi yang menjlaskan perilaku
yang di anggap benar dan manusia dalam dorongan yang luas mengahasilakan banyak dorongan
yang di tangkap oleh ornag lain. Lebih jelasnya setiap usaha untuk melaksanakan komunikasi
dalam model psikologi di mulai dengan patokan yang di buwat sewenang-wenang. Setiap
komunikasi mampu menghasilkan dorongan dalam bentuk informasi, yaitu dalam bentuk tanda
dan simbol. Dan bagian terbesar dari lingkungan informasi, stimuli yang dihasilkan oleh
komunikator telah terstruktur dan terorganisasi dan lebih mudah didefinisikan sebagai kumpulan
dorongan informasi yang di kelurkan oleh si kominikator.
Menurut Goyer (1970: 4-16) mengembangkan model psikologi komunitas dengan
memasukakan tanggapan diskriminasi yang di proses pengetahuannya secara terstruktur oleh
para ahlih sebagai sine quq non komunikasi manusia. Ketika para ahli menyerap stimuli, ia
secara otomatis mengolahnya melalui berbagai filter konseptual. Filter ini merupakan keadaan
internal dari organisme manusia dan secara esensial merupakan konsep “kontak hitam”. Filter itu
dapat digambarkan sebagai sikap, keyakinan, motif, dorongan, cita, konsep diri, tanggapan,
orientasi, atau sejumalah konstruk pendapat lainya.
Dilihat dari identitas maupun fungsionalisasi secara langsung tidak berkaitan
dalam menggambarkan berbagai perseptif yang di pergunakan dalam pengkajian komunikasi
manusia. Yang lebuh penting bagi manusia adalah pengamatan bahwa filter konseptual itu secara
melekat atau bersifat internal didalam diri masing masing komunikator, dan seperti konsep ‘’
kotak hitam”. setalah menyaring stimuli komunikasi, komunikator merespons stimuli itu dengan
menghasilkan stimuli tambahan. R, juga merupakan seperangkat stimuli informasi yang
terstruktur yang dikenala sebagai isyarat dan simbol yang dihasilkan oleh kominikator R di
tempatkan [ada tepi lingkaran yang dicerminkan komunikator. R yang di cetak besar terletak
diluar lingkaran, dan yangn lebih penting lainya tetap berada di dalam kominikator.
Komponen kominikasi dalam persektif ini bukan lagi sumber penerimaan, pesan,
seluran,dan efek Melainkan dorongan dan respon. dalam batas tertentu orientasi para penerima
dari model ini merupakan reaksi terhadapa model mekanisme yang bersifat satu arah dari seluruh
yang terkandung didalamnya. Menurut Arifin (2003:32) eksistensi empiris bukan lagi terletak
pada saluran sebagaimana dalam perseptif mekanistis, melaikan terletak pada bagian individu
yangdinamakan filter konseptual. Filter ini merupakan keadaan internal diri organisasi manusia
secaraesensial merupakan konsep kontak hitam.
Filter konseptual menurut fisher (1990:206) dapat disamakan sebagai kesadaran orang
yang lahir dari pola fikir dan pengalaman seseorang. Apa bila lokus komunikasi tersdapat
pada diri individu atau komunikasi yang berjalan dalam diri individu. Sebenernya menjadi yang
berkuasa. Maka dari itu, perseptif spikologi telah memberikan penekanan yang lebih besar pada
kominikasi interpersonal dibandingkan dengan perseptif lainya.
Arifin (2003:33) mengakui bahwa sebagian permasalahan yang diajuhkan dalam
pespektif spikolongi ini memang sangat rumit dan belum terpecahkan secara tuntas. Demikian
dengan studi perseptif politik, penolakan konsep politik dan perubahan pola pikir, semuanya
dapat dikaji dala paradigma spikolongi.
4. Perspektif Interaksional
Paradigma atau perspektif interaksional betul-betul agak baru dan bahkan merupakan
reaksi dari kedua model sebelumnya (mekanistis dan psikologi). Dalam perspektif ini, menurut
Fisher (1990;228-226) komunikasi dikonseptualisasi sebagai interaksi manusiawi pada masing-
masing individu. Walaupun interaksi itu sering juga disamakan dengan komunikasi terutama
komunikasi dua-arah, namun dalam paradigma ini, konsep itu tidak berlaku. Model interaksional
mengemukakan adanya pemishan diri, orang lain, objek, yang dalam realitasnya, orientasi
terhadap ketiganya tidak terpisahkan. Model ini lebih merupakan orientasi gestalt, masing-
masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lainnya.
Menurut Arifin (2003:34), karakteristik utama paradigma interaksional, ialah penonjolan
nilai individu di atas segala pengaruh yang lainnya. Hal ini disebabkan manusia dalam dirinya
memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, serta masyarakat dan buah pikiran. Justru itu,
setiap bentuk interaksi sosial dimulai dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia.
Itulah sebabnya perspektif ini, dipandang paling manusiawi di antara semua perspektif
komunikasi yang ada.
Paradigma interaksional dalam komunikasi amat sering dinyatakan sebagai komunikasi
dialogis atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog. Hal ini merupakan reaksi humanistis
terhadap model direndahkan yang monolog, individu yang berkomunikasi direndahkan harkatnya
menjadi pemberi dan penerima pesan, baik aktif maupun pasif karena mereka telah ditentukan
nasibnya sebagai yang memerlukan. Sebaliknya, dalam dialog, manusia yang berkomunikasi
diangkat derajatnya ke posisi yang mulia karena dialog mengandung arti pengungkapan diri dan
saling pengertian bersama-sama dengan pengembangan diri melalui interaksi sosial.
Eksistensi empirik (lokus) komunikasi dalam paradigma ini ialah pengambilan peran
individu. Paradigma interaksional yang memberikan penekanan pada faktor manusiawi, sangat
relevan diterapkan dalam komunikasi politik yang demokratis. Konsep demokrasi yang
memandang manusia sebagai makhluk rasional dan menunjang hak-hak asasi manusia serta
mengembangkan prinsip-prinsip egaliter dan populis sangat sesuai dengan paradigma
interaksional. Komunikasi politik dalam praktiknya seharusnya bersifat musyawarah mufakat
menghendaki komunikasi dialogis. Berarti setiap individu tidak seenaknya melakukan intimidasi
dan dominasi terhadap yang lain. Sebaliknya, setiap orang harus berusaha mengangkat harkat
dirinya dan harkat orang lain dalam suasana komunikasi.
Paradigma interaksional ini telah berhasil mengubah wawasan dan citra terhadap
komunikasi. Konsep dan metodologinya sedang tumbuh dan berkembang. Dalam arti sebagai
revolusi yang belum selesai, yakni setiap penemuan penelitian yang relatif baru akan
mengarahkan ke dimensi yang baru.
5. Perspektif Pragmatis
Paradigma atau perspektif pragmatis menurut Arifin (2003:37), merupakan revolusi yang
belum selesai dan merupakan perspektif yang relatif paling baru dan masih sedang dalam proses
perkembangan. Sesuai dengan namanya, perspektif ini memusatkan perhatian pada pragma atau
tindakan. Berbeda dengan model interaksi yang mengamati tindakan sosial dalam konteks
budaya, model pragmatis menurut Fisher (1990:270-320) mengamati tindakan atau perilaku yang
berurutan dalam konteks waktu dalam sistem sosial. Tindakan atau pengamatan tersebut dapat
berupa ucapan, tindakan, atau perilaku.
Perspektif pragmatis berorientasi pada perilaku komunikator dalam sistem sosial. Dalam
perspektif pragmatis, tindakan atau perilaku bukanlah hasil atau efek dari proses komunikasi,
melainkan tindakan atau perilaku itu sendiri sama dengan komunikasi. Prinsip paradigma
pragmatis, teori sistem sosial dan teori informasi diterapkan secara bersama-sama dalam
komunikasi. Informasi dalam teori informasi bukan berarti pesan, melainkan hanya ada dalam
bentuk jumlah atau kemungkinan. Informasi diukur dalam artian berapa banyak ketidakpastian
dapat dihilangkan sehingga dalam teori informasi dikenal unsur pokok, seperti peristiwa, pola,
prediksi, dan kejutan.
Perspektif pragmatis menempatkan eksistensi empiriknya (lokusnya) pada tindakan atau
perilaku yang berurutan. Titik berat pengkajian pada perilaku atau tindak yang dilakukan dengan
ucapan maupun bukan ucapan oleh seseorang dalam peristiwa komunikasi. Tindakan itu terjadi
dalam rangkaian peristiwa, berurutan, dan berkesinambungan sehimgga dapat membentuk pola
tertentu sehingga dapat melahirkan penamaan atau julukan. Pola perilaku atau tindakan dapat
saja tiba-tiba berubah sehingga terjadi perilaku diluar pola. Itulah yang dinamakan sebagai
kejutan.
Jika perilaku atau tindakan sama dengan komunikasi dalam perspektif pragmatis, maka
dapat dikatakan, setiap orang tidak mungkin berkomunikasi karena setiap orang tidak pernah
berhenti berperilaku atau bertindak. Jika hal ini diterapkan dalam komunikasi politik, maka
komunikasi politik dapat mencakupi perilaku atau tindakan yang memiliki kepentingan politik,
yaitu tindakan yang menyangkut kekuasaan, pengaruh, otoritas, dan konflik.
Paradigma pragmatis yang relatif baru ini, hanya berbicara tentang ucapan-ucapan yang
terpola dan perilaku atau tindakan dalam waktu tertentu. Jadi paradigma ini tidak membicarakan
tentang pesan, umpan balik, komunikator, komunikan dan media, sebagaimana yang dikenal
dalam perspektif mekanistis yang hingga hari ini masih mendominasi kajian komunikasi dan
komunikasi politik di Indonesia.
B. Teori Komunikasi Politik
1. Teori Jarum Hipodermik
Model ini mempunyai asumsi bahwa komponen – komponen komunikasi (komunikator,
pesan, media) amat perkasa dalam mempengaruhi komunikasi. Model atau teori ini disebut
jarum hipodermik karena dalam model ini dikesankan seakan – akan komunikasi “disuntik”
langsung ke dalam tubuh komunikan. Model ini sering disebut “bullet theory” (teori peluru)
karena komunikan dianggap secara pasif menerima berondongan pesan – pesan komunikasi. Bila
kita menggunakan komunikator yang tepat, pesan yang baik, atau media yang benar, komunikan
dapat diarahkan sekehendak kita. Karena behaviorisme amat mempengaruhi model ini. De Fleur
(1975) menyebutnya sebagai “the mechanistic SR theory”.
Pada umumnya teori ini bersifat linier dan satu arah, serta sering diterapkan dalam
penelitian yang eksperimental. Peneliti memanipulasi variabel – variabel komunikasi. Kemudian
mengukur variabel – variabel antara efek. Variabel komunikator ditunjukkan dengan kredibilitas,
daya tarik, dan kekuasaan. Kredibilitas terdiri dari dua unsur : keahlian dan kejujuran. Keahlian
diukur dengan batas komunikan menganggap komunikator mengetahui jawaban yang “benar”,
sedangkan kejujuran dioperasionalisasikan sebagai persepsi komunikan tentang sejauh mana
komunikator bersikap tidak memuhak dalam menyampaikan pesannya. Daya tarik diukur dengan
kesamaan, familiaritas dankesukaan. Kekuasaan (power) dioperasionalisasikan dengan
tanggapan komunikan tentang kemampuan komunikator untuk menghukum atau memberi
ganjaran (perceived control), kemampuan untuk memperhatikan apakah komunikan tunduk atau
tidak (perceived concern), dan kemampuan untuk meneliti apakah komunikan tunduk atau tidak
(perceived security).
Variabel pesan terdiri dari struktur pesan, gaya pesan,appeals pesan. Struktur pesan
ditunjukkan dengan pola penyimpulan (tersirat atau tersurat), pola urutan argumentasi (mana
yang dahulu, argumentasi yang disenangi dan yang tidak disenangi), pola objektivitas (satu sisi
atau dua sisi). Gaya pesan menunjukkan variasi linguistik dalam penyampaian pesan
(perulangan, kemudahan dimengerti, perbendaharaan kata). Appeals pesan mengacu pada motif –
motif psikologi yang dikandung pessan (rational-emotional, fear appeals, reward appeals).
Variabel media boleh berupa media elektronik (radio, televisi, vidio, tape recorder),
media cetak (majalah, surat kabat, buletin), ata saluran interpersonal (ceramah, diskusi, kontak,
dan sebagainya). Variabel antara ditunjukkan dengan perhatian dan pengertian serta penerimaan.
Pengertian diukur dengan sejauhmana komunikan menyadari adanya pesan, pengertian diukutr
dengan sejauhmana komunikan memahami pesan, penerimaan dibatasi pada sejauhmana
komunikan menyetujui gagasan yang dikemukakan komunikator.
Variabel efek diukur dari segi kognisi (perubahan pendapat, penambahan pengetahuaan,
perubahan kepercayaan), segi afektif (sikap, perasaan,kesukaan), dan segi behavioral (perilaku
atau kecenderungan perilaku).Variabel tak bebas yang diukuradalah pendapat dan respon –
respon kognisi. Pendapat diukur dengan skala respon 15 butir. Respon kognisi diukur dengan
memberikan subyek 12 paragraf pendek, yang diambil dari pesan yang disampaikan.
Teori ini menyatakan, komunikasi massa memiliki kekuatan yang besar (great power, all-
powerful) atas mass audience. Meskipun model ini telah muncul selama dan setelah PD 1, teori
jarum hipodermik atau teori peluru, tidak runtuh sama sekali karena tetap dapat diaplikasikan
atau digunakan untuk menciptakan efektivitas komunikasi politik. Hal ini tergantung pada sistem
politik, sistem organisasi dan situasi, terutama yang dapat diterapkan ke dalam sistem politik
yang otorite, dengan bentuk kegiatan seperti indoktrinasi, perintah, intruksi, penugasan, dan
birokrasi, penerapan teori ini tetap relevan dan mampu menciptakan komunikasi yang efektif.
2. Teori Khalayak Kepala Batu
Dengan gugurnya asumsi khalayak tidak berdaya dan media perkasa maka
berkembanglah asumsi baru, bahwa khalayak justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif
dalam proses komunikasi politik. Bahkan, khalayak memiliki daya tangkap atau daya serap
terhadap semua rangsangan yang menyentuhnya. Dalam hal ini para pakarWilbur Schramm dan
Roberts (dalam Arifin, 2003: 46) mengoreksi teorinya dan mengakui teori baru yang dikenal
dengan teori khalayak kepala batu (the obstinate audience theory).
Dengan teori khalayak kepala batu itu, fokus penelitian bergeser dari komunikator ke
komunikan atau khalayak. Para pakar, terutama pakar psikologi maupun sosiologi mencurahkan
perhatian ke factor individu. Mereka mengkaji faktor-faktor yang membuat individu itu mau
menerima pesan komunikasi. Salah satu diantaranya adalah lahirnya teori atau model uses and
grativications (kegunaan dan kepuasan).
Uses and grativications dikembangkan oleh Elihukatz, Jay G. Blumler, dan Michael
Gurevitch (dalam Arifin, 2003: 46). Model ini dibangun dengan asumsi dasar bahwa manusia
adalah makhluk yang rasional dan sangat aktif, dinamis, dan selektif, terhadap semua pengaruh
dari luar dirinya. Khalayak yang selektif itu akan memilih berdasarkan kegunaan dan pemenuhan
kepuasan pribadinya.
Uses and grativications model (model kegunaan dan kepuasan) merupakan
pengembangan dari model jarum hipodermik. Model ini tidak tertarik pada apa yang dilakukan
media pada diri seseorang tetapi ia tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media.
Khalayak dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Studi
dalam bidang ini memusatkan perhatian pada penggunaan (uses) media untuk mendapatkan
kepuasan (grativications) atas kebutuhan seseorang. Oleh karena itu, sebagian besar perilaku
khalayak akan dijelaskan melalui berbagai kebutuhan (needs) dan kepentingan individu
(Ardianto dan Erdinaya, 2004: 70).
Pada dasarnya teori khalayak kepala batu dan teori uses and grativications serta teori
lainnya dan model yang disebutkan dimuka dapat dimasukkan kedalam kelompok besar
perspektif atau paradigma psikologis komunikasi politik. Meskipun individu menerima pesan
karena kegunaan atau untuk memenuhi kepuasan dirinya berdasarkan perbedaan individu,
kategori sosial atau hubungan sosial, namun yang terpenting dalam perspektif psikologi inilah
semua pesan politik itu diolah secara internal dalam diri individu.
Dengan demikian komunikasi politik dalam perspektif ini berlangsung secara internal
dalam diri individu, yang juga dikenal dengan nama komunikasi intrapersonal. Artinya,
komunikasi berjalan hanya pada satu orang. Hal ini berbeda dengan komunikasi politik yang
berjalan antara dua orang yang dikenal dengan nama komunikasi antarpersonal.
Semua unsur psikologis tersebut bersumber dari kerangka berpikir (frame of reference)
dan lapangan pengalaman (field of experience) dari setiap individu. Hal ini tentu sangat berkaitan
dengan usia, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman empirik seseorang, dan hubungan sosial.
Dimensi-dimensi itu dapat menjadi kekuatan penangkal atau sebaliknya kekuatan penyerap
terhadap semua pengaruh yang berasal dari luar dirinya.
Agar daya penangkal individu itu dapat dilunakkan agar dapat ditembus berkembanglah
studi tentang metode komunikasi, terutama metode persuatif (membujuk atau merayu). Persuasi
adalah sesuatu yang memotivasi seorang politisi dalam berkomunikasi untuk membangun citra
politik dan memperluas pengaruhnya serta membentuk pendapat umum.
Persuasi politik diwujudkan dalam bentuk komunikasi politik seperti retorika,
propaganda, agitasi, public relation politik. Selain persuasi dan persuasi positif, Doob
menambahkan adanya persuasi yang disengaja (intentional) dan persuasi yang tidak sengaja
(unintentional). Demikian juga dapat dibedakan antara persuasi yang bersifat purposif (bertujuan
atau berkepentingan) dengan persuasi yang bersifat dialektikal (pengaruh dan hubungan timbal
balik). Dalam semua bentuk komunikasi politik seperti retorika, propaganda, agitasi, dan public
relation politik memiliki persamaan yaitu disengaja, bertujuan, dan dialektika.
Teori khalayak kepala batu ini sangat penting menjadi kerangka acuan dalam
melaksanakan komunikasi politik di negara demokrasi. Itulah sebabnya negara-negara demokrasi
kegiatan public relation itu tumbuh dan berkembangbiak, dan sebaliknya kegiatan agitasi dan
propaganda politik itu sangat berbeda dan bahkan ditolak.
3. Teori Empati dan Homofili
Persuasi yang positif berkaitan dengan teori empati dan teori homofili yang di
kembangkan oleh para pakar ilmu komunikasi, psikologi dan sosiologi. Teori empati seperti di
kutip oleh Arifin, (2003:52) di kembangkan oleh Berlo dan Daniel Marner, sedangkan teori
homofili di perkenalkan oleh Everet M. Rogers dan F. Shomaker. Secara sederhana, empati
merupakan kemampuan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain. Empati
merupakan kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kedalam peranan orang lain.
Apabila sumber dan penerima atau kedua nya berada dalam situasi heterophilous atau mampu
mengantisipasi satu terhadap yang lain, maka kemungkinan komunikasi yang lebih efektif lebih
besar terjadi. Jika seseorang dapat melihat bagaimana orang lain merasa dan menyampaikan
perasaannya, ada pula kemungkinan yang lebih baik baginya untuk menyesuaikan peran-
perannya besar kepada penerima.
Dalam hal ini Berlo (1960) memperkenalkan teori yang di kenal dengan Influent theory
of empathy (teori penurunan dan penempatan diri kedalam diri orang lain), artinta, komunikator
mengandalkan diri di saat ia berbeda dengan posisi komunikan. Dalam hal ini individu memiliki
pribadi khalayak sehingga individu yang berinteraksi dapat menemukan dan mengidentifikasikan
persamaan dan perbedaan masing – masing yang kemudian menjadi besar dalam melakukan
penyesuaian.
Daniel Larner (1978:34), mengartikan empati sebagai kesanggupan seseorang melihat diri
sendiri ke dalam situasi orang lain, dan kemudian melakukan penyusuaian. Dalam hal ini,
individu harus memiliki kepribadian mobil, yaitu kepribadian yang mudah menyesuaikan diri
dengan situasi dan kondisi orang lain. Selain itu, dalam Arifin (2003:4) menyebutkan bahwa
empati adlah kemampuan orang lain, yang tidak mempunyai arti emosional, bagi kita. Menurut
Scotland (1978), empati adalah keadaan ketika pengamat beraksi secara emosional karena ia
menanggapi orang lain yang mengalami atau siap mengalami emosi tertentu. Bennet (1979)
memberi contoh empati, kami memperlakukan orang lain itu berbeda dengan cara kami
memperlakukan diri sendiri.
Dalam komunikasi politik, kemampuan memproyeksikan diri sendiri ke dalam titik
pandang dan empati orang lain memberi peluang ke politikus untuk berhasil dalam pembicaraan
politiknya. Akan tetapi, menempatkan diri sendiri sebagai orang lain itu memang sangat tidak
mudah. Justru itu, empati dapat di tingkatkan dan dikembangkan oleh politikus melalui
komunikasi sosial dan komunikasi politik yang sering dilakukan. Dengan demikian, empati
dalam komunikasi politik adalah sifat yang sangat dekat dengan citra politikus tentang diri dan
tentang orang lain. Itulah sebabnya empati dapat dinosiasikan atau di mantapkan melalui
komunikasi antarpersonal.
Dalam usaha melakukan empati dalam peristiwa komunikasi itu, rogers dan shoemeker
(1978) memperkenalkan homifili. Konsep ini diartikan sebagai kemampuan individu untuk
mencipkan kebersamaan, baik fisik maupun mental. Dengan homofili dapt tercipta hubungan –
hubungan sosial dan komunikasi yang intensif dan efektif. Salah satu berbagai prinsip yang
paling jelas dan mendasar tentang Human Communication adalah penerusan gagasan akan paling
sering terjadi antara sumber dan penerima yang memiliki kesamaan tertentu. Ia adalah istilah
yang dipakai untuk menerangkan tingkat ketika pasangan individu yang berkomunikasi memiliki
kesamaan dlaam atribut tertentu, seperti keyakina. Istilah homophily ini berasal dari perkataan
yunani Homoios, yang mempunyai arti sama (alike) atau serupa (equal). Secara etimologis
homophily berarti atiliasi atau komunikasi dengan pribadi yang sama atau yang memiliki atribut
tertentu yang sama atau serupa.
Heterophily adalah cermin kebalikan daripada homophily. Konsep itu di definisikan
ketika pasangan individu yang berkomunikasi berbeda pada atribut tertentu. Seperti pendidikan,
status sosial dan konteks sosial. Dlam sitiuasi ini pilihan bebas, bilamana seorang sumber
kesempatan berinteraksi dengan setiap orang dari sejumlah penerima yang berbeda-beda, maka
terdapat kecendurungan yang kuat bagi untuk memilih penerima yang paling menyerupai
dirinya, kesukaannya, keyakinannya, nilai-nilai, status sosial dan tingkat pendidikannya. Homans
menyatakan, semakin dekat kesamaan orang – orang dalam tingkat sosialnya, maka semakin
sering mereka akan berinteraksi satu sama lain.
Homifili dalam komunikasi politi, dapat dilihat dapapara politikus atau kader partai di
indonesia yaitu kostum seragam jas memerka miliki. Bahkan sejumlah politukus yang memiliki
agama yang sama, berkumpul membentuk partai yang sma. Demikian juga mereka yang
memiliki jenis kelamin yang sama, membentuk koalisi untuk memperjungankan kepentingan
politik bagi mereka. Menurut Arifin (2003:557) kedua teori tersebut sangat berguna dalam
komunikasi antarpersonal (interpersonal communication), baik dalam komunikasi sosial, maupun
dlaam komunikasi politik. Justru itu, teori empati maupun teori homofili paling relevan di
tempatkan pada paradigma kelompok besar atau prespektif interaksional komunikasi politik.
Dalam hal ini penonjolan nilai – nilai dan harkat manusia di atas segala pengaruh yang lainnya
sangat dominan karena manusia adalah mahluk yang relatif sempurna.
Setiap bentuk komunikasi sosial dan komunikasi politi, harus dimulai dan berakhir
dengan pertimbangan harkat manusia. Itulah sebabnya prespektif interaksional ini dipandang
paling manusiawi diantara semua perspektif yang ada dan sangat tepat diaplikasikan di negara-
negara yang menganut filsafat politik dan sistem politik yang demokratis. Dengan demikian,
komunikasi politik yang menggunakan paradigma ini dapat di sebut sebagai komunikasi politik
yang manusiawi, terutama karena aplikasi dilakukan secara dialogis. Hal ini merupakan reaksi
humanistis terhadap model mekanistis yang menolong.
Berarti empati dan homofili dapat menyiptakan suasana yang akrab dan intim sehingga
komunikasi politik dapat berjalan secara interaksional. Dalam hal ini interaksi yang berlangsung
adalah interaksi antara dua subjek (bukan antara subjek dan objek) yang selevel dan sederajat
(misalnya interaksi antara dua orang yang bersahabat, suami-istri, atau dua orang yang
berpacaran). Dalam komunikasi politik yang bersifat dialogis, tidak dikembangkan, sebagai
contoh: aku atau kamu, melainkan yang menonjol adalah kita (misalnya sebangsa dan setanah
air).
Dalam komunikasi politik, proses dialogis akan berjalansecara horizontal dalam arti tidak
ada politikus yang memberi dan menerima perintah melainkan para politikus itu berinteraksi atau
bermusyawara itu memiliki pikiranm perasaan, penampilan, dan tindakan politik yang sama
dimulai dengan menciptakan rasa memiliki (sense of belonging). Hal ini akan melahirkan
partisipasi politik atau peran politik secara sukarela. Komunikasi politik yang bersifat dialog itu,
pada umumnya di terapkan ke dalam forum rapat politik, musrawarah politik, dan pembicaran
politik yang santau di loby atau lobbying (berdialog di lobby). Dalam mengembangkan
dialog,socrates memperkenalkan metode berpura-pura bodoh (berlagak bodoh). Dan sebaliknya,
tidak boleh berlagak pintar (sok pintar).
Selanjutnya empati dan homofili dalam komunikasi politik diapikasikan kedalam bentuk
ideologi politik yang sama, visi, dan missi politi yang sama doktrin politik yang sama, simbol
yang sama , pakaian yang sama dan keputusan politik bersama. Dengan kebersamaan itu di
harapkan setiap kade partai merasa dihargai dan diangkat harkatnya sebagai manusia di sebut
sebagai hubungan manusia (human relation).
4. Teori Informasi dan Nonverbal
Para komunikator secara aktif mengendalikan informasi yang mereka olah. Taktik
pengontrolan yang paling penting yang mereka miliki rupanya adalah selektivitas, di mana
individu dapat memilih bagi dirinya informasi apa yang ingin diterimanya, informasi yang
diingatnya, dan informasi apa yang akan disalurkan pada orang lain. Biasanya, selektivitas
dijelaskan sebagai alat pertahan ego, dimana individu mencari informasi yang konsisten dengan
keyakinan sebelumnya dan menyimpan (mengingat) informasi yang juga konsisten dengan
keyakinan semula, sehingga dengan cara itu melupakan informasi yang berbeda. Produk dari
prinsip terpaan dan ingatan yang selektif ini adalah penghindaran selektif, yaitu menyatakan
bahwa seseorang akan cenderung menghindari atau mengabaikan informasi yang ada di
lingkungannya yang tidak konsisten dengan keyakinan yang ada.
Walaupun prinsip ini diterima secara agak meluas sebagai penunjang empiris bagi teori
keseimbangan kognisi, hasil dari penelitian empiris tidak semuanya menunjang penjelasan
pertahanan ego bagi selektivitas informasi. Tampaknya, faktor lain (kepercayaan pada keyakinan
yang dimiliki, rasa keterbukaan, relevansi, atau pentingnya keyakinan, daya guna informasi, dan
kompromi pada tekanan sosial) juga ikut berintegrasi dengan proses seleksi individu.
Kapasitas individu untuk mengolah informasi tidaklah memadai dan hanya menangani
sebagian kecil saja dari informasi yang terdapat dalam medan stimulus. Barangkali juga,
selektivitas itu merupakan fungsi pertahanan ego. Selektivitas itu akibat asimilasi dengan
pengalaman informasi di masa lampau. Barangkali, ia merupakan fungsi mengatasi tekanan
lingkungan. Apapun dasar penjelasan itu, semata-mata diterimanya informasi tidak menjamin
apapun dalam meramalkan respons. Kemampuan selektif individu, melalui penggunaan filter
konseptual perantara dan set psikologis, merupakan variabel penting dalam penelitian
komunikasi dari psikologi.
Informasi memiliki beberapa pengertian. (Schramm, 1977:13) Pertama, informasi dapat
dipahami sama dengan pesan sebagaimana dianut dalam proses komunikasi mekanistis. Kedua,
informasi adalah data yang sudah diolah, sebagaimana yang dipahami dalam SIM (Sistem
Informasi Manajemen). Ketiga, informasi adalah segala sesuatu yang mempunyai ketidakpastian
atau mempunyai jumlah kemungkinan alternatif.
Dalam teori informasi B. Abrey Fisher, informasi diartikan sebagai pengelompokan
peristiwa dengan fungsi untuk menghilangkan ketidakpastian. Informasi dapat disebut sebagai
konsep yang absolut dan relatif karena informasi diartikan bukan sebagai pesan, melainkan
jumlah, benda, dan energi. Jika dikaitkan dengan teori relativitas, bertindak pun merupakan
informasi dalam arti kemungkinan alternatif yang dapat diprediksi berdasarkan pola (peristiwa
dari waktu ke waktu).
Lawrance dan Scramm (1977) merumuskan, informasi adalah setiap hal yang
membantu kita menyusun atau menukar pandangan tentang kehidupan. Dengan singkat dapat
dikatakan, informasi adalah semua hal yang dapat dipakai dalam bertukar pengalaman. Jadi,
informasi dalam komunikasi politik dapat berarti: sikap politik, pemdapat politik, kostum partai
politik, dan tamu kader partai politik. Menurut teori informasi, komunikasi politik adalah semua
hal harus dianalisa sebagai tindakan politk (bukan pesan) yang mengandung tindakan
kemungkinan alternatif. Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik) sama dengan
berkomunikasi (melakukan komunikasi politik).
Dengan demikian, dapat disebut bahwa informasi politik dalam teori informasi pada
hakekatnya adalah komunikasi politik yang bersifat nonverbal (tidak terucapkan). Menurut
Mehrabian (penulis The Silent Message), memperkirakan bahwa sekitar 93% dampak
komunikasi diakibatkan oleh pesan yang nonverbal. Sedangkan Birdwhistel mengatakan bahwa
hanya sekitar 30-35% makna sosial percakapan yang terucapkan, sedangkan sisanya dilakukan
dengan pesan nonverbal.
Komunikasi nonverbal, menurut Mark L. Knapp (1972) adalah:
• Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disampaikan secara verbal, misalnya
memuji sambil mengangkat jempol;
• Subtitusi, yaitu tanpa ucapan dengan menggelengkan kepala;
• Kontradiksi, yakni memberi makna yang lain terhadap pesan verbal, misalnya bersalaman,
tetapi melihat ke tempat lain,
• Komplemen, yakni melengkapi atau memperkaya pesan verbal, bersorak sambil meloncat-
meloncat
• Aksentuasi, yaitu lebih menegaskan kesan verbal, misalnya menegaskan tekad dengan
mengepalkan tinju.
Sesungguhnya komunikasi politik nonverbal merupakan tindakan dalam peristiwa
komunikasi politik yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh khalayak. Jika pesan
nonverbal itu berlangsung berulang-ulang, terbentuklah pola tindakan (misalnya setiap hari
politikus di Senayan berpakaian sipil lengkap, atau rapat selalu dimulai terlambat). Pola itu
kemudian menjadi pedoman untuk melakukan prediksi pada masa depan. Artinya prediksi
dilakukan berdasarkan pola. Jika suatu saat terjadi tindakan di luar pola (misalnya politikus di
Senayan semuanya tidak berpakaian sipil lengkap), maka terjadilah kejutan.
Telah dijelaskan bahwa dalam paradigma atau perspektif pragmatis komunikasi,
kajiannya terpusat kepada tindakan politik atau perilaku yang berurutan (terpola). Titik berat
studinya adalah pada perilaku politik atau tindakan politik dalam bentuk ucapan (verbal) dan
bukan ucapan (nonverbal) oleh politikus atau kader partai dalam peristiwa komunikasi politik.
Tindakan itu terjadi dalam rangkaian peristiwa, berurutan, dan berkesinambungan sehingga dapat
terbentuk pola tertentu. Dengan demikian, unsur-unsur komunkasi politik dalam perspektif ini
adalah pola, fase, siklus, sistem, struktur, dan fungsi. Hal inilah yang membedakannya dengan
perspektif mekanistis yang memiliki unsur-unsur seperti komunikator politik, komunikan politik,
media politik, dan efek politik (semua unsur ini tidak dikenal dalam paradigma pragmatis).
Dengan demikian, menurut teori informasi, tidak ada satu pun tindakan politik para
politikus atau kader partai bukan komunikasi politik, tetapi dapat juga dipandang sebagai
komunikasi politik nonverbal. Namun, harus dipahami betul bahwa tindakan atau ucapan itu
sesungguhnya tidak boleh dianalisis sebagai pesan, melainkan kemungkinan atau alternatif
(misalnya ada seseorang memakai jaket warna kuning, yang bersangkutan kemungkinan adalah
aktivis partai tertentu atau aktivis dari lembaga kemahasiswaan tertentu).
Menurut teori ini setiap tindakan dipelajari pola-polanya (kebiasaan). Berdasarkan
kebiasaan atau pola yang dimiliki oleh seseorang, masyarakat akan memberi gelar, misalnya
pendiam (selalu diam), penjilat (kebiasaannya menjilat untuk memperoleh jabatan politik) dan
seterusnya. Teori informasi ini dapat diterapkan ke dalam komunikasi politik dalam banyak
bentuk seperti:
• Memasang bendera, umbul-umbul, spanduk dan memperdengarkan musik karena akan ada
pertemuan kader partai, dan pakaian seragam karena ada pertemuan partai politik
• Memakai pakaian seragam karena ada pertemuan kader partai
• Mempromosikan anggota yang memiliki prestasi.
Teori ini sangat berguna dalam menentukan pilihan penempatan kader untuk menduduki jabatan
politik. Misalnya kader yang ramah ditempatkan di bagian pelayanan, kader yang pemarah
ditempatkan di bagian perlengkapan, dan kader yang pemberani ditempatkan di bagian
keamanan. Akhirnya, tindakan politik atau perilaku politik, tidak saja dapat dianalisis sebagai
studi yang dikenal dengan nama perilaku politik. Hal ini disebabkan studi tentang perilaku
politik ini terus berkembang.
5. Teori Media Kritis
Berkembang juga teori dalam komunikasi yang dinamakan teori media kritis yang biasa
juga disebut teori komunikasi kritis. Teori ini berkembang di Eropa khususnya di Jerman. Teori
media kritis menurut Hollander adalah teori media yang menempatkan konteks kemasyarakatan
sebagai titik tolak dalam mempelajari fungsi media massa. Dalam hal ini dapat diketahui fungsi
media massa dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan dan sejarah. Jadi fokus kajiannya
adalah fungsi-fungsi apa yang harus dilakukan oleh media massa di dalam masyarakat.
Dengan demikian, selain bagaimana berfungsi permasalahan yang sentral dalam teori
media kritis, juga fungsi-fungsi apa yang seharusnya dilakukan oleh media dalam masyarakat.
Dengan kata lain, kajian tentang peranan media massa dalam mempengaruhi masyarakat tidaklah
begitu penting sehingga teori jarum suntik hipodermik atau teori peluru tidak berlaku.
Bertolak dari aspek kemasyarakatan, para pendukung teori media kritis seperti Ardono
dan Horkheimer, memandang bahwa media massa merupakan produsen utama dari kebudayaan
massa. Dalam hal ini media massa berusaha agar bukan lagi individu yang menentukan apa saja
yang termasuk ke dalam kebudayaan itu untuk dikonsumsi. Hal itulah yang berkembang menjadi
pandangan media massa merupakan industri kebudayaan.
Penganut teori komunikasi kritis sama sekali tidak lagi memberikan tekanan pada efek
komunikasi massa terhadap khalayak, melainkan memusatkan perhatian pada pengertian kontrol
terhadap sistem komunikasi. Pertanyaan sentral pada pengikut aliran ini ialah: “siapa yang
mengontrol komunikasi massa?” Hal ini diusahakan dengan menaruh minat pada penguasa dan
pemilikan serta kontrol media massa.
Mempelajari komunikasi masa dalam konteks kemasyarakatan, menurut simpulan
Siebert (1986), pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik dimana
ia beroperasi. Siebert mengartikan pers sama dengan media massa.
Teori media kritis bertolak belakang dengan teori media massa yang lain, seperti teori
perseptual dan teori fungsional, kedua teori itu memberikan tekanan pada akibat apa yang
dilakukan oleh media terhadap orang. Teori fungsional mengalami sedikit pergeseran,
memusatkan kajiannya ke pertanyaan tentang apa yang diperoleh khalayak dari media massa,
dan mengapa hal itu dapat diperoleh.
Teori permainan yang dikembangkan oleh Willian Stephenson menjelaskan bahwa
mengikuti pesan melalui pesan melalui media hanyalah demi kesenangan. Teori kesenangan
diturunkan dari gagasan kesenangan berkomunikasi, dan kegembiraan yang diperoleh orang dari
mengobrol tanpa tujuan, atau kepuasan dalam menonton film. Sebaliknya, teori informasi
menurut Stephenson tidak lain dari berita berkomunikasi, misalnya berkomunikasi agar lebih
berpengetahuan, dan berpendidikan untuk memecahkan masalah.
Teori permainan sangat berkaitan dengan komunikasi politik karena menurut Stephenson,
pandangan publik, politik itu permainan. Dengan kata lain, politik merupakan permainan,
membangun citra dan menggairahkan pikiran. Selain dapat menyenangkan, politik juga dapat
membuat kejutan. Menurut Edelman, sebagian besar komunikasi politik adalah estetika,
terutama komunikasi politik massa (retorika, musik, lagu dan film).
Selain itu, sejumlah pakar mengembangkan juga teori parasosial. Penggagas teori ini ini
berpandangan bahwa media massa berfungsi dalam memenuhi kebutuhan manusia akan interaksi
sosial. Hal ini tercapai jika media massa memberi peluang hubungan parasosial yang akrab. Teori
ini berkaitan dengan komunikator poltik karena banyak format ini digunakan oleh pakar
komunikator politik dalam membangun hubungan dengan tokoh politik di dalam media massa itu
seolah-olah tokoh tersebut hadir di dalam lingkungan sosial mereka.
Kemudian teori kegunaan dan kepuasan (sue dan gratification), menjelaskan bahwa
semua orang yang menanggapi pesan melalui media massa menunjuk ke kegunaan dan
kebutuhan tertentu yang dipenuhi oleh media massa, seperti informasi, hiburan, dan pendidikan.
Dalam hal ini media memiliki kegunaan dan memenuhi kepentingan hiburan, hubungan pribadi,
dan identitas pribadi.
Akhirnya, Malvin L. DeFleur memperkenalkan beberapa macam teori dalam mengukur
efek komunikasi massa terhadap masyarakat. Teori-teori itu adalah:
• Teori perbedaan-perbedaan individu’
• Teori penggolongan sosial
• Teori hubungan sosial
• Teori norma-norma budaya
Sebelum itu sosiolog Kanada, Mc Luhan menerbitkan Understanding Media (1964) dengan
pandangan yang menggemparkan bahwa saluran itu sendiri dapat berpengaruh pada efek yang
diamati dengan slogan medium adalah pesan (the medium on the message). Demikian pula
gagasannya mengenai perbedaan antara media panas dengan media dingin
PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI POLITIK
Paper
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Komunikasi Politik dan Media Massa yang diampu oleh
Bpk. Romulo Adiono, Drs., MAP.
Nama Kelompok :
• Franklin Asido R. 105030103111001
• Yuanita Anggraini 115030100111029
• Gita Ayu H. 115030100111031
• Fitriana Rahmawati 115030100111065
• Sekar Ayu Candra 115030100111127
• Rifki Nur Aulia S 115030101111042
• Tri Mukti Eka Susanti 115030107111059
• Ummul Qori’ah 11503011311100
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013