makalah-fix.docx

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tak dapat disangkal para pakar komunikasi bukanlah kelompok yang bersatu pandangan dan wawasan mengenai konseptualisasi komnikasi sebagai disiplin ilmiah. Artinya para pakar mengakhiri adanya perbedaan wawasan dan perbedaan paradigma atau perspektif satu dengan yang lain. Para pakar komunikasi merupakan kelompok yang mempunyai ikatan yang sangat “longgar”, dan masalah di dalamnya terdapat fraksi dengan paradigma masing – masing. Para ahli teori sosial dan filsof ilmu umumnya sependapat bahwa ilmu sosial /perilaku amat banyak meminjam dari ilmu fisika pada saat disiplin baru ini menjalani perkembangan selama tahun – tahun pembentukannya. Teori dapat diartikan sebagai sejumlah gagasan yang status dan asalnya bervariasi dan dapat dipakai untuk menjelakan atau menafsirkan fenomena. Sehubungan dengan penjelasan ini, berdasarkan paradigma komunikasi politik yang telah dipaparkan, dapat diturunkan beberapa teori dasar dan beberapa model dasar yang telah dikenal. Teori – teori tersebut juga telah lama diaplikasikan dalam kegiatan komunikasi politik. Pada dasarnya teori – teori itu berbeda satu sama lainnya karena memang bersumber dari perspektif atau paradigma yang berbeda. Dalam mempelajari sebuah bidang studi ilmu diperlukan suatu pemahaman yang lebih mendalam. Hal ini diperlukan agar di dalam proses mempelajari tersebut tidak terjadi suatu permasalahan seperti misalnya ketidak sepahaman dalam mempersepsikan sebuah istilah atau pengertian. Beragamnya cara berpikir manusia, dan faktor latar belakang misal, tanah kelahiran membuat suatu ilmu yang baru dapat dipersepsikan ke dalam keragaman yang bahkan tidak jarang tidak ada batasan di dalamnya. Oleh karena itu, perlunya disusun sebuah karya tulis yang berjudul “ Persepsi dan Teori Komunikasi Politik” guna membantu untuk mempermudah dalam proses belajar tersebut.

Upload: indah-setyo

Post on 05-Jan-2016

220 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

Page 1: makalah-fix.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tak dapat disangkal para pakar komunikasi bukanlah kelompok yang bersatu pandangan

dan wawasan mengenai konseptualisasi komnikasi sebagai disiplin ilmiah. Artinya para pakar

mengakhiri adanya perbedaan wawasan dan perbedaan paradigma atau perspektif satu dengan

yang lain. Para pakar komunikasi merupakan kelompok yang mempunyai ikatan yang sangat

“longgar”, dan masalah di dalamnya terdapat fraksi dengan paradigma masing – masing. Para

ahli teori sosial dan filsof ilmu umumnya sependapat bahwa ilmu sosial /perilaku amat banyak

meminjam dari ilmu fisika pada saat disiplin baru ini menjalani perkembangan selama tahun –

tahun pembentukannya.

Teori dapat diartikan sebagai sejumlah gagasan yang status dan asalnya bervariasi dan

dapat dipakai untuk menjelakan atau menafsirkan fenomena. Sehubungan dengan penjelasan ini,

berdasarkan paradigma komunikasi politik yang telah dipaparkan, dapat diturunkan beberapa

teori dasar dan beberapa model dasar yang telah dikenal. Teori – teori tersebut juga telah lama

diaplikasikan dalam kegiatan komunikasi politik. Pada dasarnya teori – teori itu berbeda satu

sama lainnya karena memang bersumber dari perspektif atau paradigma yang berbeda.

Dalam mempelajari sebuah bidang studi ilmu diperlukan suatu pemahaman yang lebih

mendalam. Hal ini diperlukan agar di dalam proses mempelajari tersebut tidak terjadi suatu

permasalahan seperti misalnya ketidak sepahaman dalam mempersepsikan sebuah istilah atau

pengertian. Beragamnya cara berpikir manusia, dan faktor latar belakang misal, tanah kelahiran

membuat suatu ilmu yang baru dapat dipersepsikan ke dalam keragaman yang bahkan tidak

jarang tidak ada batasan di dalamnya. Oleh karena itu, perlunya disusun sebuah karya tulis yang

berjudul “ Persepsi dan Teori Komunikasi Politik” guna membantu untuk mempermudah dalam

proses belajar tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah adalah bagaimana perspektif dan apa saja teori dalam

komunikasi politik?

1.3 Tujuan

Untuk menjelaskan kajian mengenai perspektif, teori, dan model komunikasi politik.

BAB II

PEMBAHASAN

Page 2: makalah-fix.docx

A. Perspektif dan Model Komunikasi Politik

1. Dari Paradigma ke Perspektif

Para pakar ilmu komunikasi bukanlah kelompok yang bersatu pandangan dan wawasan

mengenai konseptualisasi komunikasi sebagai disiplin ilmiah, artinya para pakar mengakhiri

adanya perpedaan wawasan dan perbedaan paradigma atau perspektif satu dengan yang lain.

Para pakar komunikasi merupakan kelompok yang mempunyai ikatan yang sangat “longgar” di

dalamnya ada fraksi dengan paradigma masing-masing. Feyerabend (1975) menyebut

komunikasi sebagai ilmu yang di tandai oleh paradigma yang multi muka.

Istilah paradigma berasal dari Thomas Kuhn (1974), kunh melihat bahwa perkembangan

ilmu pengetahuan bukan terjadi secara kumulatif, tetapi terjadi secara revolusi. Dimana terjadi

pergantian dominasi paradigma, dari paradigma lama yang memudar ke paradigma baru. Namun

Robert Fredrich berhsil merumuskan paradigma itu secara disiplin ilmu tentang apa yang

menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajari. Semua paradigma akan

menjadi tidak layak dalam batas tertentu, selama keseimbangan dengan alam masih

dipersoalkan. Apabila ketidakseimbangan itu menjadi serius, keseluruhan paradigma dengan

yang lainnya akan menjadi esensial untuk kemajuan efektif suatu ilmu.

Sebagaimana tesis kunh bahwa ilmu tidak berkembang secara kumulatif malainkan secara

revolusi. Ilmu komunikasi juga mangalami hal yang demikian. Ilmu komunikasi sejak awal

hingga tahun 1970an sangat di dominasi oleh paradigma yang lain. Jadi dalam perkembangan

ilmu komunikasi kita bisa mencatat adanya dua paradigma yang dapaat disebut sebagai

paradigma lama dan paradigma baru.

B.Aubrea Fisher seorang pakar ilmu komunikasi yang terkenal berhasil mencatat adanya

beberapa paradigma berkembang pada beberapa dekade terakhir dalam ilmu komunikasi. Fisher

tidak menggunakan istilah paradigma melainkan istilah perspektif. Karena menurut pendapatnya

istilah paradigma mencegah penggunaan netral. Namun paradigma itu kurang lebih sama dengan

perspektif. Fisher (1990:85-86), mengakui bahwa perspektif dalam arti pandangan yang realistis.

Tidak mungkin lengkap, Sebab pasti sebagian dari fenomena yang sedang dilihat itu hilang dan

lainnya mengalami distorsi.

Dari penjesan diatas, fenomena komunikasi politik tidak berbeda dengan fenomena

politik. Baik komunikasi maupun politik sebagai serbahadir (ubiquitous). Artinya, komunikasi

dan politik itu serba hadir dimanapun dan kapanpun. (Arifin, 2003:24). Komunikasi politik

mendapat sejumlah ke-untungan dan sekaligus mengalami banyak kesulitan karena fenomena

komunikasi politik itu menjadi luas, ganda, dan multi makna sehigga memiliki multi paradigma.

Kesulitan ini langsung terihat lahirnya sejumlah definisi mengenai komunikasi politik yang

Page 3: makalah-fix.docx

bebeda dan sejalan satu dengan yang lainnya.

Ilmu politik dan ilmu komunikasi, masing-masing telah mengalami perkembangan yang

amat pesat. Krisis dan revolusi yang terjadi dalam ilmu komunikasi, terutama dalam bidang

komunikasi politik ( propaganda, agitasi, perang urat syaraf, dan kampanye) ditandai oleh

adanya kekecewaan terhadap hasil kajian yang bersumber dari paradigma lama yaitu paradigma

atau perspektif mekanistis (fisher 1990, 139-189).

Arifin ( 2003:26) menegaskan komunikasi politik dapat diterangkan berdasarkan empat

perspektif atau paradigma sebagaimana perspektif yang dikemukakan oleh B. Aubrey Fisher.

Keempat perpektif itu adalah meknisme, psikologis, interaksional, dan pragmatis, justru itu

perspektif boleh diartikan sebagai pendekatan strategi intelektual, kerangka konseptual

komunikasi selama ini ke dalam empat perspektif tersebut. Dengan demikian perspektif atau

paradigma yang ada di dalam komunikasi itu perlu dipahami dengan baik, keempat

perspektif/paradigma ini dipaparkan oleh Arifin ( 2003:23-24) secara jelas.

2. Perspektif dan Model Mekanistis

Perspektif model mekanistis muncul di awal perkembangan ilmu komunikasi yang

banyak mengadopsi teori dan prinsip dari ilmu fisika yang sudah mapan sebelumnya yang

merupakan perspektif mekanistis yang lebih dikenal dengan fisika klasik seperti yang

dikembangkan laplace dan Newton. Model mekanistis merupakan model yang paling lama dan

paling banyak dianut sampai sekarang. Model mekanistis yang dikembangkan telah memberikan

pengaruh yang kuat dan meluas tidak hanya di kalangan akademisi tetapi juga pada masyarakat

luas.

Komponen dalam model mekanistis sangat jelas yaitu sumber, saluran, pesan/umpan

balik/efek. Sesuai dengan doktrin mekanistik yang berdasarkan hubungan kausalitas dan cara

berfikir sebab akibat maka titik berat kajian komunikasi adalah efek. Hal ini tercermin pada

kajian mengenai persuasi, efek media massa, difusi (komunikasi pembangunan) dan jaringan

komunikasi yang menggunakan metode eksperimental dan kuantitatif. Berdasarkan prinsip

kausalitas inilah komunikasi dikonseptualisasikan sebagai proses mekanis. Artinya, dalam

komunikasi terdapat suatu pesan yang mengalir melintasi ruang dan waktu dari satu titik ke titik

yang lain (sumber/penerima) secara simultan.

Berdasarkan paparan diatas, komunikasi sebagai proses dipahami sebagai mekanisme

yang berjalan dari siapa ke siapa melintasi ruang dan waktu dari satu titik ke titik lainnya.

Sesuai dengan prinsip mekanisme yang berdasarkan cara berpikir sebab akibat, maka kajiannya

dititik beratkan pada efek. Dalam konteks komunikasi politik, Dan Nimmo (1998:8) dengan

mudah menjabarkan formuka Laswell, bahwa dalam komunikasi politik terdapat banyak unsur

yang dikenal yaitu komunikator politik, pesan politik, media politik, khalayak politik, dan efek

Page 4: makalah-fix.docx

politik. Sedangkan Bell (1975:15-69) menyebutkan bahwa komunikasi politik itu pembicaraan

tentang kepentingan polutik yaitu pembicaraan kekuasaan,pembicaraan pengaruh, dan

pembicaraan otoritas. Pembicaraan mengenai politik itu kemudian dikaji dalam kerangka

mekanistis yaitu siapa berbicara kepada siapa, melalui saluran apa dan bagaimana efeknya.

Dalam konteks komunikasi politik kajian paradigma mekanistis terpusat pada efek

politik. Kajian tersebut semakin berkembang sejalan dengan kekhawatiran banyak orang tentang

akibat atau dampak media massa terhadap masyarakat. Teori yang termasuk dalam model

mekanistis antara lain :

• Mathematical theory of communication

Teori matematika komunikasi lebih dikenal sebagai teori Shannon & Weaver tahun 1949.

Shannon mengetengahkan teori matematik permesinan sedangkan Weaver menerapkannya pada

komunikasi manusia dengan sumber informasi dan pesan yang akan disampaikan. Ada beberapa

unsur dalam model Shannon dan Weaver yaitu:

• Pesan yang berupa kata lisan ataupun tulisan, gambar, musik, dll

• Pemancar yang mengubah pesan menjadi isyarat (signal) yang sesuai bagi saluran yang

digunakan

• Saluran (Channel) yaitu media yang menyalurkan isyarat dari pemancar ke penerima

(receiver).

Receiver signal

message

signal

message

Bagan Model Mekanistis Komunikasi Manusia (Model Arus dari Claude Shannon & Warren Weaver). Sumber : Arifin (1984).

• Cultivation theory

Cultivation theory atau teori penanaman menggambarkan kehebatan televisi dalam

menanamkan sesuatu dalam jiwa penonton yang kemudian terimplementasi dalam sikap dan

petilaku mereka. Misalnya kebiasaan televisi menyiarkan berita tentang kejahatan yang berefek

pada ketakutan seseorang akan ancaman kejahatan tersebut.

• Teori Jarum Suntik

Teori ini berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk

menolak informasi setelah ditembakkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena terlena

seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak memiliki alternatif untuk

menentukan piluhan lain kecuali apa yang disiarkan oleh media.

• Teori Agenda Setting

Page 5: makalah-fix.docx

Teori ini mengakui bahwa media memberi pengaruh terhadap khalayak dalam pemilihan

presiden melalui penayangan berita,isu, citra, maupun penampilan kandidat itu sendiri. Becker &

Mc Leod (1976) mengakui bahwa meningkatnya penonjolan atas isu yang berbeda bisa

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap opini publik dalam konteks politik, partai dan

para aktor politik akan berusaha mempengaruhi agenda media untuk mengarahkan pendapat

umum.

Paradigma mekanistis yang sangat populer pun memudar seiring dengan kajian ahli-ahli

psikologi yang mengemukakan bahwa manusia bukanlah makhluk yang pasif melainkan

makhluk yang sangat aktif. Sedangkan prinsip mekanisme mengajarkan bahwa selain efek bisa

diprediksikan, juga bisa dicciptakan dengan menghilangkan kendala atau rintangan yang

mungkin terjadi melalui rencana pada awal. Karena ptonsip itulah kemudian muncul kritik

terhadap paradigma ini bahwa sistem sosial merupakan sistem yang terbuka dan sangat sulit di

prediksi. Dengan kata lain prinsip mekanisme itu sepenuhnya sangat sukar diterapkan dalam

komunikasi sosial dan komunikasi politik.

3. Perspektif dan model psikologi

Menurut paradigma perspektif psikologi, komunikasi di konseptualisasi sebagai

penerima informasi pada individu. perspektif yang dipengaruhi secara tidak mendalam,

sebangaimana pengaruh fisik terhadap perspektif mekanisme. Komunikasi dalam model

psikologis merupakan masukan dan dorongan yang ditambahkan dan diseleksi dari dorongan

yang terdapat dalam lingkungan informasi. Maka dari itu, komunikasi di tandai oleh tempat yg

terstruktur dan berbeda dari dorongan S-R (stimulus respon) yang tidak mengandung eksitensi

fenomena komunikasi.

Model psikologi komunikasi berbeda dari model psikologi yang menjlaskan perilaku

yang di anggap benar dan manusia dalam dorongan yang luas mengahasilakan banyak dorongan

yang di tangkap oleh ornag lain. Lebih jelasnya setiap usaha untuk melaksanakan komunikasi

dalam model psikologi di mulai dengan patokan yang di buwat sewenang-wenang. Setiap

komunikasi mampu menghasilkan dorongan dalam bentuk informasi, yaitu dalam bentuk tanda

dan simbol. Dan bagian terbesar dari lingkungan informasi, stimuli yang dihasilkan oleh

komunikator telah terstruktur dan terorganisasi dan lebih mudah didefinisikan sebagai kumpulan

dorongan informasi yang di kelurkan oleh si kominikator.

Menurut Goyer (1970: 4-16) mengembangkan model psikologi komunitas dengan

memasukakan tanggapan diskriminasi yang di proses pengetahuannya secara terstruktur oleh

para ahlih sebagai sine quq non komunikasi manusia. Ketika para ahli menyerap stimuli, ia

secara otomatis mengolahnya melalui berbagai filter konseptual. Filter ini merupakan keadaan

internal dari organisme manusia dan secara esensial merupakan konsep “kontak hitam”. Filter itu

dapat digambarkan sebagai sikap, keyakinan, motif, dorongan, cita, konsep diri, tanggapan,

Page 6: makalah-fix.docx

orientasi, atau sejumalah konstruk pendapat lainya.

Dilihat dari identitas maupun fungsionalisasi secara langsung tidak berkaitan

dalam menggambarkan berbagai perseptif yang di pergunakan dalam pengkajian komunikasi

manusia. Yang lebuh penting bagi manusia adalah pengamatan bahwa filter konseptual itu secara

melekat atau bersifat internal didalam diri masing masing komunikator, dan seperti konsep ‘’

kotak hitam”. setalah menyaring stimuli komunikasi, komunikator merespons stimuli itu dengan

menghasilkan stimuli tambahan. R, juga merupakan seperangkat stimuli informasi yang

terstruktur yang dikenala sebagai isyarat dan simbol yang dihasilkan oleh kominikator R di

tempatkan [ada tepi lingkaran yang dicerminkan komunikator. R yang di cetak besar terletak

diluar lingkaran, dan yangn lebih penting lainya tetap berada di dalam kominikator.

Komponen kominikasi dalam persektif ini bukan lagi sumber penerimaan, pesan,

seluran,dan efek Melainkan dorongan dan respon. dalam batas tertentu orientasi para penerima

dari model ini merupakan reaksi terhadapa model mekanisme yang bersifat satu arah dari seluruh

yang terkandung didalamnya. Menurut Arifin (2003:32) eksistensi empiris bukan lagi terletak

pada saluran sebagaimana dalam perseptif mekanistis, melaikan terletak pada bagian individu

yangdinamakan filter konseptual. Filter ini merupakan keadaan internal diri organisasi manusia

secaraesensial merupakan konsep kontak hitam.

Filter konseptual menurut fisher (1990:206) dapat disamakan sebagai kesadaran orang

yang lahir dari pola fikir dan pengalaman seseorang. Apa bila lokus komunikasi tersdapat

pada diri individu atau komunikasi yang berjalan dalam diri individu. Sebenernya menjadi yang

berkuasa. Maka dari itu, perseptif spikologi telah memberikan penekanan yang lebih besar pada

kominikasi interpersonal dibandingkan dengan perseptif lainya.

Arifin (2003:33) mengakui bahwa sebagian permasalahan yang diajuhkan dalam

pespektif spikolongi ini memang sangat rumit dan belum terpecahkan secara tuntas. Demikian

dengan studi perseptif politik, penolakan konsep politik dan perubahan pola pikir, semuanya

dapat dikaji dala paradigma spikolongi.

4. Perspektif Interaksional

Paradigma atau perspektif interaksional betul-betul agak baru dan bahkan merupakan

reaksi dari kedua model sebelumnya (mekanistis dan psikologi). Dalam perspektif ini, menurut

Fisher (1990;228-226) komunikasi dikonseptualisasi sebagai interaksi manusiawi pada masing-

masing individu. Walaupun interaksi itu sering juga disamakan dengan komunikasi terutama

komunikasi dua-arah, namun dalam paradigma ini, konsep itu tidak berlaku. Model interaksional

mengemukakan adanya pemishan diri, orang lain, objek, yang dalam realitasnya, orientasi

terhadap ketiganya tidak terpisahkan. Model ini lebih merupakan orientasi gestalt, masing-

masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lainnya.

Menurut Arifin (2003:34), karakteristik utama paradigma interaksional, ialah penonjolan

Page 7: makalah-fix.docx

nilai individu di atas segala pengaruh yang lainnya. Hal ini disebabkan manusia dalam dirinya

memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, serta masyarakat dan buah pikiran. Justru itu,

setiap bentuk interaksi sosial dimulai dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia.

Itulah sebabnya perspektif ini, dipandang paling manusiawi di antara semua perspektif

komunikasi yang ada.

Paradigma interaksional dalam komunikasi amat sering dinyatakan sebagai komunikasi

dialogis atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog. Hal ini merupakan reaksi humanistis

terhadap model direndahkan yang monolog, individu yang berkomunikasi direndahkan harkatnya

menjadi pemberi dan penerima pesan, baik aktif maupun pasif karena mereka telah ditentukan

nasibnya sebagai yang memerlukan. Sebaliknya, dalam dialog, manusia yang berkomunikasi

diangkat derajatnya ke posisi yang mulia karena dialog mengandung arti pengungkapan diri dan

saling pengertian bersama-sama dengan pengembangan diri melalui interaksi sosial.

Eksistensi empirik (lokus) komunikasi dalam paradigma ini ialah pengambilan peran

individu. Paradigma interaksional yang memberikan penekanan pada faktor manusiawi, sangat

relevan diterapkan dalam komunikasi politik yang demokratis. Konsep demokrasi yang

memandang manusia sebagai makhluk rasional dan menunjang hak-hak asasi manusia serta

mengembangkan prinsip-prinsip egaliter dan populis sangat sesuai dengan paradigma

interaksional. Komunikasi politik dalam praktiknya seharusnya bersifat musyawarah mufakat

menghendaki komunikasi dialogis. Berarti setiap individu tidak seenaknya melakukan intimidasi

dan dominasi terhadap yang lain. Sebaliknya, setiap orang harus berusaha mengangkat harkat

dirinya dan harkat orang lain dalam suasana komunikasi.

Paradigma interaksional ini telah berhasil mengubah wawasan dan citra terhadap

komunikasi. Konsep dan metodologinya sedang tumbuh dan berkembang. Dalam arti sebagai

revolusi yang belum selesai, yakni setiap penemuan penelitian yang relatif baru akan

mengarahkan ke dimensi yang baru.

5. Perspektif Pragmatis

Paradigma atau perspektif pragmatis menurut Arifin (2003:37), merupakan revolusi yang

belum selesai dan merupakan perspektif yang relatif paling baru dan masih sedang dalam proses

perkembangan. Sesuai dengan namanya, perspektif ini memusatkan perhatian pada pragma atau

tindakan. Berbeda dengan model interaksi yang mengamati tindakan sosial dalam konteks

budaya, model pragmatis menurut Fisher (1990:270-320) mengamati tindakan atau perilaku yang

berurutan dalam konteks waktu dalam sistem sosial. Tindakan atau pengamatan tersebut dapat

berupa ucapan, tindakan, atau perilaku.

Perspektif pragmatis berorientasi pada perilaku komunikator dalam sistem sosial. Dalam

perspektif pragmatis, tindakan atau perilaku bukanlah hasil atau efek dari proses komunikasi,

melainkan tindakan atau perilaku itu sendiri sama dengan komunikasi. Prinsip paradigma

Page 8: makalah-fix.docx

pragmatis, teori sistem sosial dan teori informasi diterapkan secara bersama-sama dalam

komunikasi. Informasi dalam teori informasi bukan berarti pesan, melainkan hanya ada dalam

bentuk jumlah atau kemungkinan. Informasi diukur dalam artian berapa banyak ketidakpastian

dapat dihilangkan sehingga dalam teori informasi dikenal unsur pokok, seperti peristiwa, pola,

prediksi, dan kejutan.

Perspektif pragmatis menempatkan eksistensi empiriknya (lokusnya) pada tindakan atau

perilaku yang berurutan. Titik berat pengkajian pada perilaku atau tindak yang dilakukan dengan

ucapan maupun bukan ucapan oleh seseorang dalam peristiwa komunikasi. Tindakan itu terjadi

dalam rangkaian peristiwa, berurutan, dan berkesinambungan sehimgga dapat membentuk pola

tertentu sehingga dapat melahirkan penamaan atau julukan. Pola perilaku atau tindakan dapat

saja tiba-tiba berubah sehingga terjadi perilaku diluar pola. Itulah yang dinamakan sebagai

kejutan.

Jika perilaku atau tindakan sama dengan komunikasi dalam perspektif pragmatis, maka

dapat dikatakan, setiap orang tidak mungkin berkomunikasi karena setiap orang tidak pernah

berhenti berperilaku atau bertindak. Jika hal ini diterapkan dalam komunikasi politik, maka

komunikasi politik dapat mencakupi perilaku atau tindakan yang memiliki kepentingan politik,

yaitu tindakan yang menyangkut kekuasaan, pengaruh, otoritas, dan konflik.

Paradigma pragmatis yang relatif baru ini, hanya berbicara tentang ucapan-ucapan yang

terpola dan perilaku atau tindakan dalam waktu tertentu. Jadi paradigma ini tidak membicarakan

tentang pesan, umpan balik, komunikator, komunikan dan media, sebagaimana yang dikenal

dalam perspektif mekanistis yang hingga hari ini masih mendominasi kajian komunikasi dan

komunikasi politik di Indonesia.

B. Teori Komunikasi Politik

1. Teori Jarum Hipodermik

Model ini mempunyai asumsi bahwa komponen – komponen komunikasi (komunikator,

pesan, media) amat perkasa dalam mempengaruhi komunikasi. Model atau teori ini disebut

jarum hipodermik karena dalam model ini dikesankan seakan – akan komunikasi “disuntik”

langsung ke dalam tubuh komunikan. Model ini sering disebut “bullet theory” (teori peluru)

karena komunikan dianggap secara pasif menerima berondongan pesan – pesan komunikasi. Bila

kita menggunakan komunikator yang tepat, pesan yang baik, atau media yang benar, komunikan

dapat diarahkan sekehendak kita. Karena behaviorisme amat mempengaruhi model ini. De Fleur

(1975) menyebutnya sebagai “the mechanistic SR theory”.

Pada umumnya teori ini bersifat linier dan satu arah, serta sering diterapkan dalam

penelitian yang eksperimental. Peneliti memanipulasi variabel – variabel komunikasi. Kemudian

mengukur variabel – variabel antara efek. Variabel komunikator ditunjukkan dengan kredibilitas,

Page 9: makalah-fix.docx

daya tarik, dan kekuasaan. Kredibilitas terdiri dari dua unsur : keahlian dan kejujuran. Keahlian

diukur dengan batas komunikan menganggap komunikator mengetahui jawaban yang “benar”,

sedangkan kejujuran dioperasionalisasikan sebagai persepsi komunikan tentang sejauh mana

komunikator bersikap tidak memuhak dalam menyampaikan pesannya. Daya tarik diukur dengan

kesamaan, familiaritas dankesukaan. Kekuasaan (power) dioperasionalisasikan dengan

tanggapan komunikan tentang kemampuan komunikator untuk menghukum atau memberi

ganjaran (perceived control), kemampuan untuk memperhatikan apakah komunikan tunduk atau

tidak (perceived concern), dan kemampuan untuk meneliti apakah komunikan tunduk atau tidak

(perceived security).

Variabel pesan terdiri dari struktur pesan, gaya pesan,appeals pesan. Struktur pesan

ditunjukkan dengan pola penyimpulan (tersirat atau tersurat), pola urutan argumentasi (mana

yang dahulu, argumentasi yang disenangi dan yang tidak disenangi), pola objektivitas (satu sisi

atau dua sisi). Gaya pesan menunjukkan variasi linguistik dalam penyampaian pesan

(perulangan, kemudahan dimengerti, perbendaharaan kata). Appeals pesan mengacu pada motif –

motif psikologi yang dikandung pessan (rational-emotional, fear appeals, reward appeals).

Variabel media boleh berupa media elektronik (radio, televisi, vidio, tape recorder),

media cetak (majalah, surat kabat, buletin), ata saluran interpersonal (ceramah, diskusi, kontak,

dan sebagainya). Variabel antara ditunjukkan dengan perhatian dan pengertian serta penerimaan.

Pengertian diukur dengan sejauhmana komunikan menyadari adanya pesan, pengertian diukutr

dengan sejauhmana komunikan memahami pesan, penerimaan dibatasi pada sejauhmana

komunikan menyetujui gagasan yang dikemukakan komunikator.

Variabel efek diukur dari segi kognisi (perubahan pendapat, penambahan pengetahuaan,

perubahan kepercayaan), segi afektif (sikap, perasaan,kesukaan), dan segi behavioral (perilaku

atau kecenderungan perilaku).Variabel tak bebas yang diukuradalah pendapat dan respon –

respon kognisi. Pendapat diukur dengan skala respon 15 butir. Respon kognisi diukur dengan

memberikan subyek 12 paragraf pendek, yang diambil dari pesan yang disampaikan.

Teori ini menyatakan, komunikasi massa memiliki kekuatan yang besar (great power, all-

powerful) atas mass audience. Meskipun model ini telah muncul selama dan setelah PD 1, teori

jarum hipodermik atau teori peluru, tidak runtuh sama sekali karena tetap dapat diaplikasikan

atau digunakan untuk menciptakan efektivitas komunikasi politik. Hal ini tergantung pada sistem

politik, sistem organisasi dan situasi, terutama yang dapat diterapkan ke dalam sistem politik

yang otorite, dengan bentuk kegiatan seperti indoktrinasi, perintah, intruksi, penugasan, dan

birokrasi, penerapan teori ini tetap relevan dan mampu menciptakan komunikasi yang efektif.

2. Teori Khalayak Kepala Batu

Dengan gugurnya asumsi khalayak tidak berdaya dan media perkasa maka

berkembanglah asumsi baru, bahwa khalayak justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif

Page 10: makalah-fix.docx

dalam proses komunikasi politik. Bahkan, khalayak memiliki daya tangkap atau daya serap

terhadap semua rangsangan yang menyentuhnya. Dalam hal ini para pakarWilbur Schramm dan

Roberts (dalam Arifin, 2003: 46) mengoreksi teorinya dan mengakui teori baru yang dikenal

dengan teori khalayak kepala batu (the obstinate audience theory).

Dengan teori khalayak kepala batu itu, fokus penelitian bergeser dari komunikator ke

komunikan atau khalayak. Para pakar, terutama pakar psikologi maupun sosiologi mencurahkan

perhatian ke factor individu. Mereka mengkaji faktor-faktor yang membuat individu itu mau

menerima pesan komunikasi. Salah satu diantaranya adalah lahirnya teori atau model uses and

grativications (kegunaan dan kepuasan).

Uses and grativications dikembangkan oleh Elihukatz, Jay G. Blumler, dan Michael

Gurevitch (dalam Arifin, 2003: 46). Model ini dibangun dengan asumsi dasar bahwa manusia

adalah makhluk yang rasional dan sangat aktif, dinamis, dan selektif, terhadap semua pengaruh

dari luar dirinya. Khalayak yang selektif itu akan memilih berdasarkan kegunaan dan pemenuhan

kepuasan pribadinya.

Uses and grativications model (model kegunaan dan kepuasan) merupakan

pengembangan dari model jarum hipodermik. Model ini tidak tertarik pada apa yang dilakukan

media pada diri seseorang tetapi ia tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media.

Khalayak dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Studi

dalam bidang ini memusatkan perhatian pada penggunaan (uses) media untuk mendapatkan

kepuasan (grativications) atas kebutuhan seseorang. Oleh karena itu, sebagian besar perilaku

khalayak akan dijelaskan melalui berbagai kebutuhan (needs) dan kepentingan individu

(Ardianto dan Erdinaya, 2004: 70).

Pada dasarnya teori khalayak kepala batu dan teori uses and grativications serta teori

lainnya dan model yang disebutkan dimuka dapat dimasukkan kedalam kelompok besar

perspektif atau paradigma psikologis komunikasi politik. Meskipun individu menerima pesan

karena kegunaan atau untuk memenuhi kepuasan dirinya berdasarkan perbedaan individu,

kategori sosial atau hubungan sosial, namun yang terpenting dalam perspektif psikologi inilah

semua pesan politik itu diolah secara internal dalam diri individu.

Dengan demikian komunikasi politik dalam perspektif ini berlangsung secara internal

dalam diri individu, yang juga dikenal dengan nama komunikasi intrapersonal. Artinya,

komunikasi berjalan hanya pada satu orang. Hal ini berbeda dengan komunikasi politik yang

berjalan antara dua orang yang dikenal dengan nama komunikasi antarpersonal.

Semua unsur psikologis tersebut bersumber dari kerangka berpikir (frame of reference)

dan lapangan pengalaman (field of experience) dari setiap individu. Hal ini tentu sangat berkaitan

dengan usia, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman empirik seseorang, dan hubungan sosial.

Dimensi-dimensi itu dapat menjadi kekuatan penangkal atau sebaliknya kekuatan penyerap

Page 11: makalah-fix.docx

terhadap semua pengaruh yang berasal dari luar dirinya.

Agar daya penangkal individu itu dapat dilunakkan agar dapat ditembus berkembanglah

studi tentang metode komunikasi, terutama metode persuatif (membujuk atau merayu). Persuasi

adalah sesuatu yang memotivasi seorang politisi dalam berkomunikasi untuk membangun citra

politik dan memperluas pengaruhnya serta membentuk pendapat umum.

Persuasi politik diwujudkan dalam bentuk komunikasi politik seperti retorika,

propaganda, agitasi, public relation politik. Selain persuasi dan persuasi positif, Doob

menambahkan adanya persuasi yang disengaja (intentional) dan persuasi yang tidak sengaja

(unintentional). Demikian juga dapat dibedakan antara persuasi yang bersifat purposif (bertujuan

atau berkepentingan) dengan persuasi yang bersifat dialektikal (pengaruh dan hubungan timbal

balik). Dalam semua bentuk komunikasi politik seperti retorika, propaganda, agitasi, dan public

relation politik memiliki persamaan yaitu disengaja, bertujuan, dan dialektika.

Teori khalayak kepala batu ini sangat penting menjadi kerangka acuan dalam

melaksanakan komunikasi politik di negara demokrasi. Itulah sebabnya negara-negara demokrasi

kegiatan public relation itu tumbuh dan berkembangbiak, dan sebaliknya kegiatan agitasi dan

propaganda politik itu sangat berbeda dan bahkan ditolak.

3. Teori Empati dan Homofili

Persuasi yang positif berkaitan dengan teori empati dan teori homofili yang di

kembangkan oleh para pakar ilmu komunikasi, psikologi dan sosiologi. Teori empati seperti di

kutip oleh Arifin, (2003:52) di kembangkan oleh Berlo dan Daniel Marner, sedangkan teori

homofili di perkenalkan oleh Everet M. Rogers dan F. Shomaker. Secara sederhana, empati

merupakan kemampuan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain. Empati

merupakan kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kedalam peranan orang lain.

Apabila sumber dan penerima atau kedua nya berada dalam situasi heterophilous atau mampu

mengantisipasi satu terhadap yang lain, maka kemungkinan komunikasi yang lebih efektif lebih

besar terjadi. Jika seseorang dapat melihat bagaimana orang lain merasa dan menyampaikan

perasaannya, ada pula kemungkinan yang lebih baik baginya untuk menyesuaikan peran-

perannya besar kepada penerima.

Dalam hal ini Berlo (1960) memperkenalkan teori yang di kenal dengan Influent theory

of empathy (teori penurunan dan penempatan diri kedalam diri orang lain), artinta, komunikator

mengandalkan diri di saat ia berbeda dengan posisi komunikan. Dalam hal ini individu memiliki

pribadi khalayak sehingga individu yang berinteraksi dapat menemukan dan mengidentifikasikan

persamaan dan perbedaan masing – masing yang kemudian menjadi besar dalam melakukan

penyesuaian.

Daniel Larner (1978:34), mengartikan empati sebagai kesanggupan seseorang melihat diri

sendiri ke dalam situasi orang lain, dan kemudian melakukan penyusuaian. Dalam hal ini,

Page 12: makalah-fix.docx

individu harus memiliki kepribadian mobil, yaitu kepribadian yang mudah menyesuaikan diri

dengan situasi dan kondisi orang lain. Selain itu, dalam Arifin (2003:4) menyebutkan bahwa

empati adlah kemampuan orang lain, yang tidak mempunyai arti emosional, bagi kita. Menurut

Scotland (1978), empati adalah keadaan ketika pengamat beraksi secara emosional karena ia

menanggapi orang lain yang mengalami atau siap mengalami emosi tertentu. Bennet (1979)

memberi contoh empati, kami memperlakukan orang lain itu berbeda dengan cara kami

memperlakukan diri sendiri.

Dalam komunikasi politik, kemampuan memproyeksikan diri sendiri ke dalam titik

pandang dan empati orang lain memberi peluang ke politikus untuk berhasil dalam pembicaraan

politiknya. Akan tetapi, menempatkan diri sendiri sebagai orang lain itu memang sangat tidak

mudah. Justru itu, empati dapat di tingkatkan dan dikembangkan oleh politikus melalui

komunikasi sosial dan komunikasi politik yang sering dilakukan. Dengan demikian, empati

dalam komunikasi politik adalah sifat yang sangat dekat dengan citra politikus tentang diri dan

tentang orang lain. Itulah sebabnya empati dapat dinosiasikan atau di mantapkan melalui

komunikasi antarpersonal.

Dalam usaha melakukan empati dalam peristiwa komunikasi itu, rogers dan shoemeker

(1978) memperkenalkan homifili. Konsep ini diartikan sebagai kemampuan individu untuk

mencipkan kebersamaan, baik fisik maupun mental. Dengan homofili dapt tercipta hubungan –

hubungan sosial dan komunikasi yang intensif dan efektif. Salah satu berbagai prinsip yang

paling jelas dan mendasar tentang Human Communication adalah penerusan gagasan akan paling

sering terjadi antara sumber dan penerima yang memiliki kesamaan tertentu. Ia adalah istilah

yang dipakai untuk menerangkan tingkat ketika pasangan individu yang berkomunikasi memiliki

kesamaan dlaam atribut tertentu, seperti keyakina. Istilah homophily ini berasal dari perkataan

yunani Homoios, yang mempunyai arti sama (alike) atau serupa (equal). Secara etimologis

homophily berarti atiliasi atau komunikasi dengan pribadi yang sama atau yang memiliki atribut

tertentu yang sama atau serupa.

Heterophily adalah cermin kebalikan daripada homophily. Konsep itu di definisikan

ketika pasangan individu yang berkomunikasi berbeda pada atribut tertentu. Seperti pendidikan,

status sosial dan konteks sosial. Dlam sitiuasi ini pilihan bebas, bilamana seorang sumber

kesempatan berinteraksi dengan setiap orang dari sejumlah penerima yang berbeda-beda, maka

terdapat kecendurungan yang kuat bagi untuk memilih penerima yang paling menyerupai

dirinya, kesukaannya, keyakinannya, nilai-nilai, status sosial dan tingkat pendidikannya. Homans

menyatakan, semakin dekat kesamaan orang – orang dalam tingkat sosialnya, maka semakin

sering mereka akan berinteraksi satu sama lain.

Homifili dalam komunikasi politi, dapat dilihat dapapara politikus atau kader partai di

indonesia yaitu kostum seragam jas memerka miliki. Bahkan sejumlah politukus yang memiliki

Page 13: makalah-fix.docx

agama yang sama, berkumpul membentuk partai yang sma. Demikian juga mereka yang

memiliki jenis kelamin yang sama, membentuk koalisi untuk memperjungankan kepentingan

politik bagi mereka. Menurut Arifin (2003:557) kedua teori tersebut sangat berguna dalam

komunikasi antarpersonal (interpersonal communication), baik dalam komunikasi sosial, maupun

dlaam komunikasi politik. Justru itu, teori empati maupun teori homofili paling relevan di

tempatkan pada paradigma kelompok besar atau prespektif interaksional komunikasi politik.

Dalam hal ini penonjolan nilai – nilai dan harkat manusia di atas segala pengaruh yang lainnya

sangat dominan karena manusia adalah mahluk yang relatif sempurna.

Setiap bentuk komunikasi sosial dan komunikasi politi, harus dimulai dan berakhir

dengan pertimbangan harkat manusia. Itulah sebabnya prespektif interaksional ini dipandang

paling manusiawi diantara semua perspektif yang ada dan sangat tepat diaplikasikan di negara-

negara yang menganut filsafat politik dan sistem politik yang demokratis. Dengan demikian,

komunikasi politik yang menggunakan paradigma ini dapat di sebut sebagai komunikasi politik

yang manusiawi, terutama karena aplikasi dilakukan secara dialogis. Hal ini merupakan reaksi

humanistis terhadap model mekanistis yang menolong.

Berarti empati dan homofili dapat menyiptakan suasana yang akrab dan intim sehingga

komunikasi politik dapat berjalan secara interaksional. Dalam hal ini interaksi yang berlangsung

adalah interaksi antara dua subjek (bukan antara subjek dan objek) yang selevel dan sederajat

(misalnya interaksi antara dua orang yang bersahabat, suami-istri, atau dua orang yang

berpacaran). Dalam komunikasi politik yang bersifat dialogis, tidak dikembangkan, sebagai

contoh: aku atau kamu, melainkan yang menonjol adalah kita (misalnya sebangsa dan setanah

air).

Dalam komunikasi politik, proses dialogis akan berjalansecara horizontal dalam arti tidak

ada politikus yang memberi dan menerima perintah melainkan para politikus itu berinteraksi atau

bermusyawara itu memiliki pikiranm perasaan, penampilan, dan tindakan politik yang sama

dimulai dengan menciptakan rasa memiliki (sense of belonging). Hal ini akan melahirkan

partisipasi politik atau peran politik secara sukarela. Komunikasi politik yang bersifat dialog itu,

pada umumnya di terapkan ke dalam forum rapat politik, musrawarah politik, dan pembicaran

politik yang santau di loby atau lobbying (berdialog di lobby). Dalam mengembangkan

dialog,socrates memperkenalkan metode berpura-pura bodoh (berlagak bodoh). Dan sebaliknya,

tidak boleh berlagak pintar (sok pintar).

Selanjutnya empati dan homofili dalam komunikasi politik diapikasikan kedalam bentuk

ideologi politik yang sama, visi, dan missi politi yang sama doktrin politik yang sama, simbol

yang sama , pakaian yang sama dan keputusan politik bersama. Dengan kebersamaan itu di

harapkan setiap kade partai merasa dihargai dan diangkat harkatnya sebagai manusia di sebut

sebagai hubungan manusia (human relation).

Page 14: makalah-fix.docx

4. Teori Informasi dan Nonverbal

Para komunikator secara aktif mengendalikan informasi yang mereka olah. Taktik

pengontrolan yang paling penting yang mereka miliki rupanya adalah selektivitas, di mana

individu dapat memilih bagi dirinya informasi apa yang ingin diterimanya, informasi yang

diingatnya, dan informasi apa yang akan disalurkan pada orang lain. Biasanya, selektivitas

dijelaskan sebagai alat pertahan ego, dimana individu mencari informasi yang konsisten dengan

keyakinan sebelumnya dan menyimpan (mengingat) informasi yang juga konsisten dengan

keyakinan semula, sehingga dengan cara itu melupakan informasi yang berbeda. Produk dari

prinsip terpaan dan ingatan yang selektif ini adalah penghindaran selektif, yaitu menyatakan

bahwa seseorang akan cenderung menghindari atau mengabaikan informasi yang ada di

lingkungannya yang tidak konsisten dengan keyakinan yang ada.

Walaupun prinsip ini diterima secara agak meluas sebagai penunjang empiris bagi teori

keseimbangan kognisi, hasil dari penelitian empiris tidak semuanya menunjang penjelasan

pertahanan ego bagi selektivitas informasi. Tampaknya, faktor lain (kepercayaan pada keyakinan

yang dimiliki, rasa keterbukaan, relevansi, atau pentingnya keyakinan, daya guna informasi, dan

kompromi pada tekanan sosial) juga ikut berintegrasi dengan proses seleksi individu.

Kapasitas individu untuk mengolah informasi tidaklah memadai dan hanya menangani

sebagian kecil saja dari informasi yang terdapat dalam medan stimulus. Barangkali juga,

selektivitas itu merupakan fungsi pertahanan ego. Selektivitas itu akibat asimilasi dengan

pengalaman informasi di masa lampau. Barangkali, ia merupakan fungsi mengatasi tekanan

lingkungan. Apapun dasar penjelasan itu, semata-mata diterimanya informasi tidak menjamin

apapun dalam meramalkan respons. Kemampuan selektif individu, melalui penggunaan filter

konseptual perantara dan set psikologis, merupakan variabel penting dalam penelitian

komunikasi dari psikologi.

Informasi memiliki beberapa pengertian. (Schramm, 1977:13) Pertama, informasi dapat

dipahami sama dengan pesan sebagaimana dianut dalam proses komunikasi mekanistis. Kedua,

informasi adalah data yang sudah diolah, sebagaimana yang dipahami dalam SIM (Sistem

Informasi Manajemen). Ketiga, informasi adalah segala sesuatu yang mempunyai ketidakpastian

atau mempunyai jumlah kemungkinan alternatif.

Dalam teori informasi B. Abrey Fisher, informasi diartikan sebagai pengelompokan

peristiwa dengan fungsi untuk menghilangkan ketidakpastian. Informasi dapat disebut sebagai

konsep yang absolut dan relatif karena informasi diartikan bukan sebagai pesan, melainkan

jumlah, benda, dan energi. Jika dikaitkan dengan teori relativitas, bertindak pun merupakan

informasi dalam arti kemungkinan alternatif yang dapat diprediksi berdasarkan pola (peristiwa

dari waktu ke waktu).

Lawrance dan Scramm (1977) merumuskan, informasi adalah setiap hal yang

Page 15: makalah-fix.docx

membantu kita menyusun atau menukar pandangan tentang kehidupan. Dengan singkat dapat

dikatakan, informasi adalah semua hal yang dapat dipakai dalam bertukar pengalaman. Jadi,

informasi dalam komunikasi politik dapat berarti: sikap politik, pemdapat politik, kostum partai

politik, dan tamu kader partai politik. Menurut teori informasi, komunikasi politik adalah semua

hal harus dianalisa sebagai tindakan politk (bukan pesan) yang mengandung tindakan

kemungkinan alternatif. Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik) sama dengan

berkomunikasi (melakukan komunikasi politik).

Dengan demikian, dapat disebut bahwa informasi politik dalam teori informasi pada

hakekatnya adalah komunikasi politik yang bersifat nonverbal (tidak terucapkan). Menurut

Mehrabian (penulis The Silent Message), memperkirakan bahwa sekitar 93% dampak

komunikasi diakibatkan oleh pesan yang nonverbal. Sedangkan Birdwhistel mengatakan bahwa

hanya sekitar 30-35% makna sosial percakapan yang terucapkan, sedangkan sisanya dilakukan

dengan pesan nonverbal.

Komunikasi nonverbal, menurut Mark L. Knapp (1972) adalah:

• Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disampaikan secara verbal, misalnya

memuji sambil mengangkat jempol;

• Subtitusi, yaitu tanpa ucapan dengan menggelengkan kepala;

• Kontradiksi, yakni memberi makna yang lain terhadap pesan verbal, misalnya bersalaman,

tetapi melihat ke tempat lain,

• Komplemen, yakni melengkapi atau memperkaya pesan verbal, bersorak sambil meloncat-

meloncat

• Aksentuasi, yaitu lebih menegaskan kesan verbal, misalnya menegaskan tekad dengan

mengepalkan tinju.

Sesungguhnya komunikasi politik nonverbal merupakan tindakan dalam peristiwa

komunikasi politik yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh khalayak. Jika pesan

nonverbal itu berlangsung berulang-ulang, terbentuklah pola tindakan (misalnya setiap hari

politikus di Senayan berpakaian sipil lengkap, atau rapat selalu dimulai terlambat). Pola itu

kemudian menjadi pedoman untuk melakukan prediksi pada masa depan. Artinya prediksi

dilakukan berdasarkan pola. Jika suatu saat terjadi tindakan di luar pola (misalnya politikus di

Senayan semuanya tidak berpakaian sipil lengkap), maka terjadilah kejutan.

Telah dijelaskan bahwa dalam paradigma atau perspektif pragmatis komunikasi,

kajiannya terpusat kepada tindakan politik atau perilaku yang berurutan (terpola). Titik berat

studinya adalah pada perilaku politik atau tindakan politik dalam bentuk ucapan (verbal) dan

bukan ucapan (nonverbal) oleh politikus atau kader partai dalam peristiwa komunikasi politik.

Tindakan itu terjadi dalam rangkaian peristiwa, berurutan, dan berkesinambungan sehingga dapat

terbentuk pola tertentu. Dengan demikian, unsur-unsur komunkasi politik dalam perspektif ini

Page 16: makalah-fix.docx

adalah pola, fase, siklus, sistem, struktur, dan fungsi. Hal inilah yang membedakannya dengan

perspektif mekanistis yang memiliki unsur-unsur seperti komunikator politik, komunikan politik,

media politik, dan efek politik (semua unsur ini tidak dikenal dalam paradigma pragmatis).

Dengan demikian, menurut teori informasi, tidak ada satu pun tindakan politik para

politikus atau kader partai bukan komunikasi politik, tetapi dapat juga dipandang sebagai

komunikasi politik nonverbal. Namun, harus dipahami betul bahwa tindakan atau ucapan itu

sesungguhnya tidak boleh dianalisis sebagai pesan, melainkan kemungkinan atau alternatif

(misalnya ada seseorang memakai jaket warna kuning, yang bersangkutan kemungkinan adalah

aktivis partai tertentu atau aktivis dari lembaga kemahasiswaan tertentu).

Menurut teori ini setiap tindakan dipelajari pola-polanya (kebiasaan). Berdasarkan

kebiasaan atau pola yang dimiliki oleh seseorang, masyarakat akan memberi gelar, misalnya

pendiam (selalu diam), penjilat (kebiasaannya menjilat untuk memperoleh jabatan politik) dan

seterusnya. Teori informasi ini dapat diterapkan ke dalam komunikasi politik dalam banyak

bentuk seperti:

• Memasang bendera, umbul-umbul, spanduk dan memperdengarkan musik karena akan ada

pertemuan kader partai, dan pakaian seragam karena ada pertemuan partai politik

• Memakai pakaian seragam karena ada pertemuan kader partai

• Mempromosikan anggota yang memiliki prestasi.

Teori ini sangat berguna dalam menentukan pilihan penempatan kader untuk menduduki jabatan

politik. Misalnya kader yang ramah ditempatkan di bagian pelayanan, kader yang pemarah

ditempatkan di bagian perlengkapan, dan kader yang pemberani ditempatkan di bagian

keamanan. Akhirnya, tindakan politik atau perilaku politik, tidak saja dapat dianalisis sebagai

studi yang dikenal dengan nama perilaku politik. Hal ini disebabkan studi tentang perilaku

politik ini terus berkembang.

5. Teori Media Kritis

Berkembang juga teori dalam komunikasi yang dinamakan teori media kritis yang biasa

juga disebut teori komunikasi kritis. Teori ini berkembang di Eropa khususnya di Jerman. Teori

media kritis menurut Hollander adalah teori media yang menempatkan konteks kemasyarakatan

sebagai titik tolak dalam mempelajari fungsi media massa. Dalam hal ini dapat diketahui fungsi

media massa dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan dan sejarah. Jadi fokus kajiannya

adalah fungsi-fungsi apa yang harus dilakukan oleh media massa di dalam masyarakat.

Dengan demikian, selain bagaimana berfungsi permasalahan yang sentral dalam teori

media kritis, juga fungsi-fungsi apa yang seharusnya dilakukan oleh media dalam masyarakat.

Dengan kata lain, kajian tentang peranan media massa dalam mempengaruhi masyarakat tidaklah

begitu penting sehingga teori jarum suntik hipodermik atau teori peluru tidak berlaku.

Page 17: makalah-fix.docx

Bertolak dari aspek kemasyarakatan, para pendukung teori media kritis seperti Ardono

dan Horkheimer, memandang bahwa media massa merupakan produsen utama dari kebudayaan

massa. Dalam hal ini media massa berusaha agar bukan lagi individu yang menentukan apa saja

yang termasuk ke dalam kebudayaan itu untuk dikonsumsi. Hal itulah yang berkembang menjadi

pandangan media massa merupakan industri kebudayaan.

Penganut teori komunikasi kritis sama sekali tidak lagi memberikan tekanan pada efek

komunikasi massa terhadap khalayak, melainkan memusatkan perhatian pada pengertian kontrol

terhadap sistem komunikasi. Pertanyaan sentral pada pengikut aliran ini ialah: “siapa yang

mengontrol komunikasi massa?” Hal ini diusahakan dengan menaruh minat pada penguasa dan

pemilikan serta kontrol media massa.

Mempelajari komunikasi masa dalam konteks kemasyarakatan, menurut simpulan

Siebert (1986), pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik dimana

ia beroperasi. Siebert mengartikan pers sama dengan media massa.

Teori media kritis bertolak belakang dengan teori media massa yang lain, seperti teori

perseptual dan teori fungsional, kedua teori itu memberikan tekanan pada akibat apa yang

dilakukan oleh media terhadap orang. Teori fungsional mengalami sedikit pergeseran,

memusatkan kajiannya ke pertanyaan tentang apa yang diperoleh khalayak dari media massa,

dan mengapa hal itu dapat diperoleh.

Teori permainan yang dikembangkan oleh Willian Stephenson menjelaskan bahwa

mengikuti pesan melalui pesan melalui media hanyalah demi kesenangan. Teori kesenangan

diturunkan dari gagasan kesenangan berkomunikasi, dan kegembiraan yang diperoleh orang dari

mengobrol tanpa tujuan, atau kepuasan dalam menonton film. Sebaliknya, teori informasi

menurut Stephenson tidak lain dari berita berkomunikasi, misalnya berkomunikasi agar lebih

berpengetahuan, dan berpendidikan untuk memecahkan masalah.

Teori permainan sangat berkaitan dengan komunikasi politik karena menurut Stephenson,

pandangan publik, politik itu permainan. Dengan kata lain, politik merupakan permainan,

membangun citra dan menggairahkan pikiran. Selain dapat menyenangkan, politik juga dapat

membuat kejutan. Menurut Edelman, sebagian besar komunikasi politik adalah estetika,

terutama komunikasi politik massa (retorika, musik, lagu dan film).

Selain itu, sejumlah pakar mengembangkan juga teori parasosial. Penggagas teori ini ini

berpandangan bahwa media massa berfungsi dalam memenuhi kebutuhan manusia akan interaksi

sosial. Hal ini tercapai jika media massa memberi peluang hubungan parasosial yang akrab. Teori

ini berkaitan dengan komunikator poltik karena banyak format ini digunakan oleh pakar

komunikator politik dalam membangun hubungan dengan tokoh politik di dalam media massa itu

seolah-olah tokoh tersebut hadir di dalam lingkungan sosial mereka.

Kemudian teori kegunaan dan kepuasan (sue dan gratification), menjelaskan bahwa

Page 18: makalah-fix.docx

semua orang yang menanggapi pesan melalui media massa menunjuk ke kegunaan dan

kebutuhan tertentu yang dipenuhi oleh media massa, seperti informasi, hiburan, dan pendidikan.

Dalam hal ini media memiliki kegunaan dan memenuhi kepentingan hiburan, hubungan pribadi,

dan identitas pribadi.

Akhirnya, Malvin L. DeFleur memperkenalkan beberapa macam teori dalam mengukur

efek komunikasi massa terhadap masyarakat. Teori-teori itu adalah:

• Teori perbedaan-perbedaan individu’

• Teori penggolongan sosial

• Teori hubungan sosial

• Teori norma-norma budaya

Sebelum itu sosiolog Kanada, Mc Luhan menerbitkan Understanding Media (1964) dengan

pandangan yang menggemparkan bahwa saluran itu sendiri dapat berpengaruh pada efek yang

diamati dengan slogan medium adalah pesan (the medium on the message). Demikian pula

gagasannya mengenai perbedaan antara media panas dengan media dingin

PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI POLITIK

Paper

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Komunikasi Politik dan Media Massa yang diampu oleh

Bpk. Romulo Adiono, Drs., MAP.

Nama Kelompok :

• Franklin Asido R. 105030103111001

• Yuanita Anggraini 115030100111029

• Gita Ayu H. 115030100111031

• Fitriana Rahmawati 115030100111065

• Sekar Ayu Candra 115030100111127

• Rifki Nur Aulia S 115030101111042

Page 19: makalah-fix.docx

• Tri Mukti Eka Susanti 115030107111059

• Ummul Qori’ah 11503011311100

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013