makalah ekonomi kelembagaan.reedit. (b_sebastian)

17
EKONOMI KELEMBAGAAN BAB 11 Ekonomi Kelembagaan dan Strategi Pembangunan Ekonomi MAKALAH Oleh 1. Junaid i, S.Pd 1308 2020 1001 2. Revin da Yonit a Permat a Sari, SE 1308 2020 1002 PROGRAM S!"I MAGISER ILM! EKONOMI #!R!SAN ILM! EKONOMI !NI$ERSIAS #EMBER %&1'

Upload: junaidiikip

Post on 16-Oct-2015

557 views

Category:

Documents


130 download

DESCRIPTION

Makalah Ekonomi kelembagaan

TRANSCRIPT

EKONOMI KELEMBAGAAN

BAB 11

Ekonomi Kelembagaan dan Strategi Pembangunan EkonomiMAKALAH

Oleh1. Junaidi, S.Pd 130820201001

2. Revinda Yonita Permata Sari, SE 130820201002PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU EKONOMI

JURUSAN ILMU EKONOMI

UNIVERSITAS JEMBER

2014

PENDAHULUANPada level makro (institutional environment), fokus dari ekonomi kelembagaan adalah menyiapkan dasar produksi, pertukaran, dan distribusi dari berbagai macam aspek, baik hukum, ekonomi, politik, dan social. Pada titik inilah, setiap Negara perlu menyiapkan beragam strategi pembangunan ekonomi sebagai dasar penyusunan kelembagaan ekonomi. Tentu saja, strategi pembangunan ekonomi itu harus dipikirkan secara cermat karena akan berimplikasi kepada formulasi kesepakatan kelembagaan (institutional arrangement) pada level mikro. Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, strategi pembangunan ekonomi dianggap sebagai kunci yang akan menentukan kebijakan-kebijakan teknis untuk menggulirkan kegiatan ekonomi. Negara yang lebih mengedepankan tujuan pertumbuhan dibandingkan pemerataan, misalnya, tentu strategi pembangunan dan kelembagaan ekonominya diarahkan untuk mencapai tujuan pertumbuhan tersebut, demikian sebaliknya.1. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Strategi pembangunan ekonomi yang paling populer dijalani oleh semua Negara di dunia tidak lain adalah mencoba mengomparasikan antara strategi pembangunan ekonomi berbasis keunggulan komparatif dan kompetitif. Strategi ini secara lebih khusus dipersiapkan oleh Negara yang hendak menjalani proses industrialisasi. Industrialisasi (transformasi structural) sendiri dapat dipahami sebagai pergeseran pertumbuhan sektor produksi dari semula mengandalkan sektor primer (pertanian) menuju sektor sektor sekunder (industri) dan kemudian ke sektor jasa-jasa.Teori tentang keunggulan komparatif berkembang seiring dengan terjadinya perdagangan internasional, yakni melalui tokoh-tokohnya seperti John Stuart Mill dan David Ricardo. Dalam konsep tradisional, teori keunggulan komparatif ini didefiniskan sebagai bentuk keunggulan nilai produk suatu negara yang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan untuk memproduksi barang tersebut. Cara pandang ini lebih menekankan pada unsur produktivitas.Apabila dalam suatu negara produktivitas tenaga kerjanya tinggi dan dengan begitu biaya produksinya murah, maka negara tersebut bisa dikatakan memiliki keunggulan komparatif. Menurut Nicolini, ada dua sumber keunggulan komparatif, yaitu modal dan tenaga kerja terampil. Namun dalam perkembangannya, pengertian itu relatif ketinggalan jaman akibat tidak bisa mengakomodasi dinamika perubahan yang terjadi. Singkatnya, suatu negara memiliki keunggulan komparatif jika dalam kegiatan ekonominya banyak menggunakan faktor produksi yang relatif lebih tersedia atau murah di negara itu daripada negara-negara yang merupakan mitra perdagangannya.

Konsep tersebut banyak menimbulkan kritik karena dianggap tidak lagi relevan serta terlampau sempit ruang lingkupnya, sehingga kurang memadai untuk mencakup determinan-determinan pokok yang menentukan keberhasilan ekonomi. Oleh karenanya, konsep keunggulan komparatif harus diganti dengan keunggulan kompetitif yang memperhitungkan semua faktor pokok yang memengaruhi daya saing suatu perusahaan atau industri, sehingga lebih berguna bagi perumusan kebijakan ekonomi. Faktor daya saing itu antara lain adalah persaingan sehat antarindustri, adanya diferensiasi produk, dan kemampuan teknologi. Konsep keunggulan kompetitif juga sering dimaknai sebagai proses di mana perusahaan mampu menggunakan sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki dalam menciptakan keunikan dan derajat kesulitan bagi pelaku lain untuk mengikuti atau mengimitasi sehingga memberikan nilai tambah atau lebih bagai pelanggannya.Menurut Tangkilisan bahwa Keunggulan Kompetitif adalah merujuk pada kemampuan sebuah organisasi untuk memformulasikan strategi yang menempatkannya pada suatu posisi yang menguntungkan berkaitan dengan perusahaan lainnya. Keunggulan Kompetitif muncul bila pelanggan merasa bahwa mereka menerima nilai lebih dari transaksi yang dilakukan dengan sebuah organisasi pesaingnya.

Pertama, faktor teknologi oleh sebagian analis dianggap merupakan variabel penting yang membentuk keunggulan kompetitif suatu Negara.Menurut pandangan ini, pada era sekarang ini biarpun suatu Negara memiliki keunggulan komparatif dalam bentuk apapun (SDA, kurs mata uang, produktivitas, upah). Tetapi jika tidak memiliki kemampuan teknologi, maka keunggulan tersebut akan hilang.

Kedua, dalam pandangan makro, bukankah setelah suatu Negara mempunyai kemampuan teknologi dengan sendirinya ia merupakan keunggulam komparatif (bukan kompetitif). Dalam perspektif ini, keberadaan teknologi dianggap sama dengan faktor-faktor lain seperti upah, kurs mata uang, sumber daya alam, dan produktifitas tenaga kerja yang dapat menjadi keunggulan (advantage) ataupun kelemahan (disadvantage) suatu negara. Sehingga dari kedua pernyataan di atas keberadaan teknologi tetap merupakan suatu faktor yang bisa dikomparasikan dengan pihak lain atau antar negara.Tabel 1.1 Pandangan Neoklasik dan Strukturalis tentang Keunggulan Komparatif

JenisNeoklasikStrukturalis

Sumber-sumber keunggulan komparatifSDA, persediaan modal dan jumlah pendudukHasil pembelajaran pengalaman yang berbeda, infrastruktur teknologi yang berlainan, dan pasar lokal yang progresif.

Cara pelestraianDeplesi/SDA yang diperbarui, akumulasi modal fisik, pertumbuhan penduduuk alamiah dan migrasi dan kenaikan upah.Pengembangan kemampuan pembangunan dan industri pemula melalui investasi dalam infrastruktur teknologi yang spesifi dan pelatihan, dan penerapan kebijakan yang tepat.

Dasar kebijakan turunanTingkat tabungan sebagai sasaran, instrument makro ekonomiPenekanan pemilihan strategi yang bertumpu kepada pembangunan infrastruktur yang spesifik.

Berdasarkan tabel 1.1 diperlihatkan secara detail tentang perbedaan pandangan antara mazhab neoklasik dan strukturalis dalam memahami keunggulan komparatif. Pertama, perbedaan cara pandang terhadap sumber-sumber keunggulan komparatif. Selama ini paradigma neoklasik melihat bahwa letak keunggulan komparatif suatu negara dikarenakan kekayaan sumber daya alam, persediaan modal fisik, dan jumlah penduduk. Sementara paradigma strukturalis melihat bahwa keunggulan komparatif suatu negara itu banyak bersumber dari hasil pembelajaran, infrastruktur teknologi yang berlainan dan pasar lokal yang progresif. Sehingga terlihat bahwa aliran neoklasik melihat faktor keunggulan itu dari apa yang ada (positif), sementara paham strukturalis melihatnya dari apa yang seharusnya ada (normatif).Kedua, perbedaan dalam cara pelestarian atas sumber-sumber keunggulan komparatif, selanjutnya berimplikasi kepada penganan pelestariannya.Paradigm neoklasik cenderung berupaya menajaga dan memperbarui sumber daya alam yang dimiliki, mengakumulasi modal secara berkesinambungan, mengelola pertumbuhan penduduk dan migrasi, dan melakukan penyesuaian upah. Sebaliknya paradigama strukturalis lebih focus menata dan memperkuat pembangunan industri pemulanya (infant industri) melalui investasi infrastruktur teknologi dan pelatihan.Ketiga, perbedaan dalam menciptakan dasar (pondasi) kebijakan.Dalam hal ini, paradigma neoklasik memilih memakai peranti-peranti tingkat tabungan dan instrument makro lainnya untuk memaksimalkan pencapaian tujuan.Sementara paradigm strukturalis memberikan penekanan kepada kebijakan yang bisa mengarahkan kepada penciptaan infrastruktur yang lebih spesifik sesuai dengna kondisi di masing-masing Negara. Disini dapat dijelaskan, bahwa kebijakan strukturalis hendak menciptakan keunggulan komparatif dengan cara menciptakan kebijakan yang secara langsung mendukung pilihan tersebut.

Perbedaan sudut pandang antara neoklasik dan strukturalis dalam memahami keunggulan komparatif berdampak cukup fundamental dalam pemilihan kebijakan industrialisasi, khususnya menyangkut sektor yang hendak di kembangkan.2. Subtitusi Impor dan Promosi Ekspor

Dari pemahaman terhadap pandangan keunggulan komperatif, biasanya juga memengaruhi pilihan pengambilan kebijakan ekonomi di suatu Negara. Pilihan kebijakan tersebut di pilah dalam dua kategori yakni kebijakan industrialisasi yang bertumpu kepada orientasi ekspor atau promosi ekspor dan kebijakan yang menekankan orientasi ke dalam subtitusi impor. Kedua pilihan ini nyata-nyata diterapkan secara luas oleh seluruh Negara, khususnya Negara berkembang, dengan derajat yang lerlainan antara satu dengan lainnya. Khusus Negara berkembang, pola yang biasa digunakan adalah terlebih dulu memakai orientasi substitusi impor dan baru kemudian merembet ke orientasi promosi ekspor setelah perekonomian dianggap cukup kuat.Terdapat dua alasan posisi neraca pambayaran negara berkembang yang selalu defisit terhadap negara maju, yaitu:a. Ekspor negara berkembang kebanyakan berbentuk produk primer dengan ciri elastisitas permintaan rendah dan sering mengalami gejolak harga, sebaliknya sebagian besar impor Negara berkembang justru berupa produk manufaktur dengan ciri elastisitas permintaan tinggi dan harga yang selalu stabil;b. Negara maju (akibat teknologi dan sumberdaya manusia yang lebih baik) bisa menghasilkan produksi yang lebih efisien dan kompetitif, sehingga relatif lebih mampu menembus pasar Negara berkembang.

Kondisi inilah yang terus-menerus menggerogoti neraca pembayaran negara berkembang dalam kaitannya dengan perdagangan luar negeri, sehingga menimbulkan kemerosotan surplus ekonomi secara permanen. Alasan inilah yang kemudian mendasari negara-negara berkembang membatasi impor produk manufaktur dari negara maju dengan jalan menciptakan industri manufaktur sendiri. Namun karena industri manufaktur domestik yang masih rapuh, demi mencegah persaingan dengan industri luar negeri, pemerintah mengambil kebijakan melindungi industri domestik dengan memberikan proteksi, seperti subsidi, hak monopoli, lisensi, kuota dan lain-lain. Selain itu seperangkat kebijakan proteksi lain seperti perlindungan tarif untuk industri dalam negeri, pengaturan kurs mata uang untuk memperoleh hasil yang sama, dan serangkaian kebijakan untuk memperluas pasar dalam neger di mana kebijakan ini sering dipahami dengan strategi subtitusi impor (SI).Pada kenyataannya strategi SI tidak bisa bertahan lama karena perekonomian negara berkembang mengalami siklus kelesuan. Penyebabnya antara lain, sebagai berikut:

a. kebijakan SI tidak bisa membuat perekonomian (perusahaan) bekerja dalam skala efisiensi yang memadai (economic of scale), karena terbatasnya ukuran pasar domestik dan tiadanya kompetesi secara adil antar industri dalam negeri;b. pandangan rezim proteksionis bahwa perusahaan akan belajar dari apa yang telah dikerjakannya ternyata tidak menemui pembuktiannya yang pada awalnya mendapatkan perlindungan istimewa itu pada akhirnya akan bisa bekerja secara efisien dan kompetitif ternyata tidak berjalan. Perusahaan yang mendapat proteksi ternyata tidak pernah menjadi besar, bahkan justru memanfaatkan fasilitas tersebut untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan mengandalkan hak monopoli yang dimiliki.

Setelah menyadari tujuan yang hendak dicapai lewat strategi SI tidak berhasil, Negara-negara berkembang mulai mereformulasi kebijakannya dengan lebih mengedepankan kepada kepentingan ekspor (promosi ekspor), kebijakan ini pada dasarnya lebih memberikan penekanan kepada pemberian insentif ekonomi yang bisa memacu ekspor relatif terhadap kecenderungan kebijakan yang memberikan insentif terhadap impor. Dalam bahasa ekonomi, kebijakan ini diformulasikan dengan rumus nilai tukar efektif atas ekspor dibuat lebih besar daripada nilai tukar efektif atas impor. Strategi ini, dengan begitu, menjadi alternative baru untuk menggeliatkan perekonomian domestik setelah strategi SI terbukti gagal menunaikan tugasnya. Secara spesifik, setidaknya terdapat beberapa alasan pokok mengapa Negara-negara berkembang perlu menerapkan kebijakan promosi ekspor, yaitu :a. pilihan negara berkembang untuk memperkuat posisi eksternalnya, baik untuk memperkuat penerimaan devisa atau meredam gegolak perekonomian internasional;b. memacu akselerasi pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri untuk tujuan ekspor dengan pencarian peluang pasar yang luas di berbagai negara;c. memperkuat dan memperluas kedudukan ekspor komoditas tradisional yang telah dikembangkan sejak lama dalam bentuk yang telah terproses sebagai barang jadi;d. mengingkatkan pernerimaan produsen (petani, pedagang, industriawan) maupun eksportir dalam kegiatan ekspor;e. mempertinggi tingkat kepastian usaha bagi produsen eksportir melalui pencarian pasar yang tidak terbatas di luar negeri;f. mempertinggi tingkat penyerapan tenaga kerja lewat berbagai kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk ekspor, baik untuk ekspor komoditas tradisional maupun komoditas industri manufaktur;g. pengembangan industri untuk tujuan ekspor secara tidak langsung merupakan proses untuk mensubtitusi barang-barang manufaktur.

Negara-negara yang menganut orientasi keluar ini menjalankan kebijakan secara selektif dalam memilih sektor-sektor ekonomi yang akan diberikan insentif sehingga bisa menembus pasar internasional. Pada titik inilah kejelian mengidentifikasi sektor-sektor apa saja yang layak diunggulkan menempati posisi yang sangat penting dalam penyusunan prioritas insentif. dari sini pula, pemahaman terhadap komponen keunggulan komperatif yang dimiliki dari masing-masing Negara akan menuntun pengambilan kebijakan dalam menyusun kebijakan yang tepat, dimana nantinya akan terlihat bahwa perbedaan cara pandang terhadap konsep keunggulan komparatif akan menuntun pada pengambilan kebijakan yang berlainan pula.

Selama ini terdapat kepercayaan, bahwa salah satu endowment terpenting yang bisa membawa perekonomian suatu Negara maju secara pesat adalah ketersediaan sumber daya alam yang mencukupi.Fakta ini membuktikan bahwa sumber daya alam bukanlah segalanya. Justru yang harus lebih diperkuat adalah memformulasikan strategi pembangunan yang tepat dan ditopang oleh kelembagaan ekonomi yang akurat, kasus empat Negara Asia (Korea Selatan, Hongkong, dan Singapura) yang tidak memiliki keunggulan SDA dan jumlah penduduk, sekarang ini malah mempunyai pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi yang sagat tinggi dan dikenal sebagai empat macan Asia, sehingga dari keempat Negara tersebut bisa dijadikan sample dari pemilihan strategi dan kelembagaan ekonomi yang tepat.

Aspek kelembagaan yang paling penting untuk memerkuat orientasi ekspor itu sekurangnya tiga variabel, yaitu korupsi, kualitas birokrasi, dan hak kepemilikan. Riset yang dilakukan Faruq (2011) menunjukkan lingkungan kelembagaan yang baik, seperti korupsi yang redah, birokrasi yang lebih efisien dan jaminan hak kepemilikan yang bagus akan memerbaiki kualitas ekspor suatu Negara. Ketiga kelembagan tadi berkonstribusi terhadap pengurangan biaya produksi maupun transaksi sehingga daya saing komoditas menjadi meningkat.Sebaliknya, apabila suatu Negara dihinggapai penyakit korupsi, inefisiensi birokrasi, dan ketiadaan jaminan hak milik menyebabkan daya saing menjadi rendah dan produk yang dihasilkan tidak mampu bersaing di pasar internasional. Tentu saja kenaikan mutu dan kuantitas ekspor tidak hanya disumbangkan oleh ketiga aspek kelembagaan tadi, tapi juga disokong oleh faktor-faktor lain yang telah teruji dalam banyak studi empiris, missal, peningkatan pendapatan perkapita,pendidikan,riset, pengembangan &keberadaan penanaman modal asing.3. Sentralisasi dan DesentralisasiSejak dasawarsa 1990-an Negara-negara di seluruh dunia, tidak terkecuali di Negara maju, disibukkan dengan proyek penataan kembali pengelolaan ekonomi di dalam negeri. Di Negara maju, restrukturisasi perekonomian tersebut difokuskan kepada upaya membangun hubungan keuangan intrapemerintahan agar bisa mengimbangi perkembangan kegiatan ekonomi yang semakin kompleks. Sementara itu, di Negara yang sedang melakoni proses transisi ekonomi, seperti Eropa Timur dan Tengah, saat ini sedang giat-giatnya membenahi system keuangan pemerintah daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain daripada itu, banyak Negara berkembang lainnya juga berpikir keras melakukan desentralisasi fiscal sebagai salah satu jalan meloloskan diri dari berbagai jebakan ketidakefisienan pemerintah, ketidakstabilan makro ekonomi, dan ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi yang telah menyebabkan Negara-negara itu jauh terperosok akhir-akhir ini. Pada titik ini desentralisasi politik maupun administrative dipandang lebih menggaransi stabilitas ketimbang sentralisasi, disamping membuat pasar lebih efisien di Indonesia, ketika pada 2001 telah memaklimatkan pemberlakuan otonomi daerah (desentralisasi).Secara teoritis, desentralisasi bisa didefinisiskan sebagai proses penyerahan kekuasaan kepada wilayah atau pemerintah lokal dengan menggeser struktur akuntabilitas dari level nasional ke subnasional. Definisisi desentralisasi berikutnya adalah penciptaan badan yang terpisah (bodies separated) oleh aturan hukum dari pemerintah pusat, di mana pemerintah (perwakilan) lokal diberi kekuasaan formal untuk memutuskan ruang lingkup persoalan publik. Jadi, disini basis politiknya ada di tingkat lokal, bukan nasional.Dengan desentralisasi diharapkan kemampuan pemerintah daerah untuk memanajemeni pembangunan menjadi lebih lincah, akurat, dan cepat. Dalam literatur ekonomi, percepatan dan intensitas desentralisasi bisa dikerjakan dengan merujuk dua model, yaitu:a. mengubah secara drastis watak sentralisasi pengelolaan negara dan mengimplementasikannya dalam tempo singkat (shock therapy approach). Model ini dipercaya ampuh untuk mewujudkan tujuan tetapi diiringi dengan banyak jebakan, misalnya banyak aturan yang tumpang tindih akibat kemampuan yang berbeda dalam memahami desentralisasi. Juga yang sering terjadi, negara-negara yang memilih jalur ini banyak yang tergelincir karena kapasitas administrasi/birokrasi yang tak mampu mengiringi percepatan proses desentralisasi.b. pemerintah menjalankan program terpadu dalam rentang waktu tertentu dengan cakupan yang terukur dan terjadwal (gradual approach). Model ini memilih kelemahan dalam hal jangka waktu yang agak lama, tetapi kelebihannya memberikan kepastian dalam jangka panjang.Parameter paling sederhana bagi keberhasilan desentralisasi adalah dengan melihat sejauh mana kualitas pelayanan sektor publik dari pemerintah lokal. Kinerja dari keberhasilan dari pelayanan sektor publik tersebut bisa dilihat dari dua indicator, yakni efisiensi dan efektivitas. Efisiensi mendeskripsikan seberapa baik pengorganisasian pemanfaatan suber daya dalam memproduksi pelayanan yakni sebuah hubungan antara kombinasi actual dan optimal dari input yang digunakan untuk memproduksi sejumlah output yang sudah ditetapkan (given bundle of outputs). Sedangkan efektivitas adalah derajat kesanggupan sebuah system untuk mencapai tujuan program melalui kebijakan yang telah ditentukan.Dalam praktiknya, efektivitas berkaitan dengan sejumlah aspek preferensi yang berbeda dari keterkaitan pelayanan dengan tujuan hasil program. Tujuan-tujuan dari program itu, antara lain: a. aksesibilitas/keterjangkauan (aspek-aspek prioritas dan keterjangkauan fisik); b. kesesuaian (mencocokkan pelayanan dengan kebutuhan masyarakat); c. kualitas (proses bertemunya standar yang dibutuhkan atau timbulnya kegagalan pelayanan).Optimisme terhadap pilihan otonomi daerah, sejatinya dipicu oleh harapan bahwa starategi tersebut akan membuat daerah lebih memiliki ruang menciptakan kebijakan (ekonomi) yang lebih sesuai dengan situasi wilayah masing-masing. Sentralisasi manajemen pembangunan yang diterapkan sebelum ini terbukti menimbulkan banyak penyimpangan akibat panjangnya rantai birokrasi yang harus dilewati, disamping realitas bahwa sentralisasi selalu berhadapan dengan keterbatasan informasi yang akurat.Tentu saja, dengan otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu yang paling mungkin bagi setiap wilayah untuk mendinamisir kegiatan pembangunan daerah melalui alokasi anggaran yang tepat. Dengan asumsi kepala wilayah tahu persis tentang kondisi wilayahnya, maka setiap detail pengeluaran anggaran daerah dipastikan akan mengalir menuju kepada sektor atau masyrakat yang memang sangat membutuhkan.Namun ternyata harapan tersebut tidak mesti sejajar dengan kenyataan di lapangan.Tabel 1.2 Perbedaan besarnya biaya transaksi berdasarkan tiga faktor

PelayananRasional TerbatasOportunismeSpesifisitas Aset

Pemungutan iuranRendah Sedang Sedang

Pembersihan jalanRendah Sedang Rendah

Pembersihan gedungRendah Sedang Rendah

Jasa makananSedangTinggi Sedang

Perawatan kendaraanSedangTinggiSedang

Perawatan lahanRendah SedangRendah

Pelayanan leisure timeTinggi SedangTinggi

Dalam konteks ekonomi kelembagaan, alat analisis untuk menilai seberapa efisien kelembagaan yang disusun adalah dengan mengidentifikasi besaran (magnitude) dari biaya transaksi (transaction costs). Dalam kasus pelayanan pemerintah lokal, bisa pula diukur besarnya biaya transaksi yang muncul dalam proses pelayanan publik. Biaya transaksi muncul karena adanya tiga faktor, yakni; rasionalitas terbatas, oportunisme dan spesifisitas aset. Dalam penelitian yang dilakukan pada pemerintah lokal di Inggris, Stewart dan Stoker, menemukan beberapa hal penting menyangkut sumber biaya transaksi dalam pelayanan publik.Dalam Tabel diatas bisa dilihat, bahwa jasa pelayanna publik tertentu diduga memicu biaya transaksi yang besar, yang bersumber dari ketiga faktor tersebut, diantara pelayanan jasa makanan (catering), perawatan kendaraan, dan jasa waktu luang (leisure). Dari ketiga pelayanan publik tersebut, kemungkinan munculnya biaya transaksi sangat besar, baik dari faktor rasionalitas terbatas, oportunisme, maupun spesifitas asset.Dengan mengetahui sumber dari biaya transaksi tersebut dapat dirumuskan solusi yang lebih tepat, misalnya penataan ulang kelembagaan ataupun menyerahkan kepada sektor swasta untuk menangani pelayanan sektor publik.

Paparan tersebut kemudian dipahami sebagai desentralisasi sebagai suatu strategi ekonomi akan berjalan bila faktor kelembagaannya diurus dengan baik. Pada sebuah negara yang sedang melakukan proses reformasi, desentralisasi ekonomi bisa dianggap sebagai kelembagaan itu sendiri (institutional environment) artinya, desentralisasi dimaknai sebagai rules of the game pemerintah lokal untuk menangani perekonomian daerah. Dalam perspektif ini, berhasil tidaknya desentralisasi amat tergantung dari desain kelembagaan makro dan mikro yang dibuat.Jika tujuan makro ekonomi dari desentralisasi diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja di daerah, maka pemerintah lokal harus menyusun kelembagaan ekonomi yang efisien agar investasi terjadi, misalnya dengan penciptaan regulasi perijinan yang sederhana dan murah. Sementara itu, apabila tujuan mikro eknomi dari desentralisasi difokuskan kepada hubungan yang adil antarpelaku ekonomi, maka pemerintah lokal berkontrasii kepada desain kebijakan yang membatasi proses ekspolitasi satu pelaku ekonomi kepada pelaku ekonomi lainnya, misalnya jaminan upah yang layak dan system bagi hasil (share cropping) yang setara di sektor pertanian.\4. Statisasi dan PrivatisasiSejak dekade 1980-an, privatisasi merupakan agenda reformasi ekonomi penting yang dijalankan oleh banyak negara, khususnya di negara-negara berkembang. Tercatat pada pertengahan tahun 1970-an sampai akhir dekade tahun 1980-an, nilai privatisasi dunia mencapai 185 miliar dollar. Pada tahun 1990 pemerintah di seluruh dunia berhasil menual perusaan publiknya senilai 25 miliar dollar. Springer menyatakan privatisasi merupakan agenda paling penting dan kontroversial dari transisi Negara-negara sosialis menuju ekonomi pasar. Tentu saja privatisasi tersebut juga tidak lepas dari dorongan dari lembaga donor, seperti World Bank dan IMF, yang sejak decade 1980-an mempromosikan kebijakan penyesuaian struktural bagi negara berkembang, di mana tujuan dari kebijakan tersebut salah satunya adalah merangsang pengalihan kegiatan ekonomi dari semula dikelola negara menjadi dimiliki swasta. Terdapat lima tujuan yang bisa diidentifikasi dari proses privatisasi, yaitu:a. Sebagai instrument meningkatkan pendapatan negara/pemerintah;b. Menyebar bagian kepemilikan (aset) di sebuah negara;c. Diharapkan dapat berimplikasi pada perbaikan distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat;d. Mengurangi masalah yang timbul dalam hal pembayaran di sektor publik;e. Mengatasi kinerja yang buruk pada industri (perusahaan) nasional.Tujuan dari privatisasi membentang mulai dari sebagai alat meningkatkan pendapatan Negara sampai pada tujuan perbaikan distribusi pendapatan. Tetapi dari seluruh tujuan tersebut, semangat inti yang hendak diraih dari proses privatisasi adalah meningkatkan kinerja perekonomian nasional secara keseluruhan. Dalam pengertian yang sempit, privatisasi sering dianggap sebagai penjualan aset (perusahaan) Negara kepada swasta dan ini banyak dianut oleh Negara-negara Eropa Timur, seperti Plandia, Hongaria, dan Rusia.Sementara dalam pengertian yang lebih luas, privatisasi dimaknai sebagai pemindahan pengelolaan (manajemen) perusahaan publik kepada swasta tanpa harus terjadi penjualan kepemilikan dan ini banyak dikerjakan di Negara-negara Asia, seperti China, Laos, Vietnam, Myanmar, dan Mongolia.Tabel 1.3 Metode Privatisasi dan Jumlah Transaksi di Afrika sampai 1996Metode PrivatisasiJumlah Transaksi

Penjualan sebagian lewat tender kompetitif854

Likuidasi458

Penjualan aset lewat tender kompetitif421

Penjulan sebagian lewat cara non-kompetisi291

Leasing/konsesi187

Pre-emptive rights share sales75

Public flotations69

Management/employee buyouts48

Usaha patungan (joint ventures)47

Kontrak manajemen39

Restitusi terhadap pemilik lama36

Transfers to trustees27

Penjualan aset secara non-kompetisi25

utang ditukar dengan kepemilikan (debt/equity swaps)7

Metode yang tidak spesifik100

Total2.718

Dalam hal mendesain perbaikan kinerja perusahaan, khususnya perlakuan terhadap usaha milik Negara, pendekatan Asia lebih banyak menempuh kepada upaya-upaya perluasan otonomi dan akuntabilitas.Sedangkan di Negara-negara Eropa Timur lebih menyukai privatisasi dalam pengertian yang sempit untuk mereformasi kinerja BUMN-nya. Strategi ini sering juga disebut dengan big-approach, mengingat terjadinya perubahan yang cukup radikal.

Sehingga bisa disimpulkan, bahwa negara-negara di Asia menganggap yang diperlukan oleh sebuah perusahaan untuk mengembangkan diri adalah adanya otonomi dan akuntabilitas, bukan terletak pada masalah kepemilikannya; apakah dimiliki oleh Negara swasta. Sebaliknya, negara-negara Eropa Timur menganggap bahwa pasar (swasta) akan lebih mampu secara efisien mamajukan sebuah perusahaan dibandingkan apabila dikelola oleh negara.

Kasus privatisasi di beberapa negara berkembang (termasuk Indonesia) yang dijalankan secara massif akhir-akhir ini menyembulkan beberapa persoalan, bukan saja sevara teknis tetapi juga ideologis. Pengalaman Portugal barangkali bisa menjadi pertimbangan, di mana privatisasi yang dikerjakan harus berada dalam kerangka hukum yang diciptakan sebelumnya dengan beberapa tujuan pokok. Terdapat beberapa rekomendasi yang bisa disarankan kepada pemerintah dalam soal privatisasi, yaitu:

a. dalam jangka pendek pemerintah harus segera menyediakan informasi dan transparasi yang luas dalam proses privatisasi sehingga setiap pelaku ekonomi memiliki kesempatan yang sama;b. dalam jangka menengah pemerintah harus membuat institusi formal dalam bentuk regulasi yang secara teknis mengatur kemudahan proses privatisasi. Regulasi ini disusun dengan bersandarkan kepada kepentingan ekonomi secara luas, dan bukan kepentingan politis yang justru akan semakin menjauhkan tujuan utama dari privatisasi;c. dalam jangka panjang pemerintah harus menyusun strategi ekonomi nasional untuk memerbaiki struktur pasar yang masih oligopolis. Struktur pasar semacam itu secara implisit mengandaikan kesempatan yang tidak sejajar antarpelaku ekonomi, sehingga setiap upaya privatisasi akan selalu jatuh pada praktik monopoli baru. Bahkan idealnya, langkah privatisasi baru bisa dijalankan apabila struktur pasar sudah tidak oligopoli.

Menurut studi Huang dan Wang (2011) juga memberikan informasi yang bermanfaat bahwa privatisasi memberikan efek yang berbeda dalam hal keberhasilan, tergantung dari tipe kepemilikan yang diberikan kepada pengelola baru. Menurut mereka, privatisasi yang diberikan kepada pihak luar akan lebih berhasil ketimbang privatisasi yang diberikan kepada orang dalam. Jadi, dengan pemahaman seperti ini diharapkan privatisasi di masa depan benar-benar dilakukan secara matang sehingga bisa membantu tercapainya efisiensi perusahaan (dari sisi internal) dan memerbaiki struktur pasar/persaingan usaha (dari sisi eksternal).

DAFTAR PUSTAKAYustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan, Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Malang : PT. Gelora Aksara Pratama.

Tangkilisan.2003. Strategi Keunggulan Pelayanan Publik Manajemen SDM.