makalah an or.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikatan kimia tidak hanya terjadi dengan cara pembentukan persekutuan
pasangan elektron antara atom – atom yang bergabung seperti halnya pada ikatan
kovalen, melainkan dapat juga terjadi dengan cara perpindahan elektron yang
menghasilkan ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Gaya tarik elektrostatik antara
kedua ion yang berbeda muatan inilah yang memelihara kestabilan ikatan dalam spesies
yang terjadi. Ikatan demikian ini dikatakan sebagai ikatan ionik : kenyataannya, hanya
ada sedikit saja senyawa ionik murni.
Satu percobaan yang paling sederhana yaitu pemasangan alat uji hantaran jenis
(konduktivitas) di dalam air murni. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bohlam
tidak menyala, yang berarti air tidak menghantar listrik. Tetapi jika ke dalam air
dilarutkan garam NaCl, ternyata bohlam menyala. Pada tahun 1884, Svante Arrhenius
mengajukan teori disosiasi elektrolit untuk menjelaskan hasil percobaan tersebut, dan
pada waktu itu hampir tidak ada seorang pun menerima usulan teori tersebut. Namun
demikian, mulai tahun 1891 terdapat banyak dukungan terhadap usulan teori bahwa
partikel – partilel dalam larutan mengalami disosiasi menjadi ion – ion. Akhirnya pada
tahun 1903 setelah signifikasi hasil kerjanya disadari oleh banyak ahli, Arrhenius
diusulkan untuk mendapatkan hadiah nobel dalam bidang kimia dan fisika; namun,
karena para fisikawan menolaknya, ia memerima hadiah nobel tersebut hanya dalam
bidang kimia. Pada waktu itu, masyarakat ilmumuwan (saintis) terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu mereka yang percaya bahwa atom tak dapat terbagi dan mereka yang
tidak. Arrhenius melawan keduanya, dan ia menjelaskan bahwa garam dapur terpecah
menjadi ion – ion natrium dan ion klorida dalam larutan tetapi ion – ion ini tidak sama
dengan atom – atom natrium dan atom – atom klorin. Tak diragukan lagi bahwa ide
tersebut ditolak sehingga abad penemuan elektron (tahun 1895) oleh J. J Thomson
(yang mendapat hadiah nobel pada tahun 1906).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah proses terbentuknya ikatan ionik?
2. Bagaimanakah karakteristik senyawa ionik?
3. Bagaimanakah struktur kristal senyawa ionik?
4. Bagaimanakah kisi kristal senyawa ionik?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui bagaimanakah pross terbentuknya ikatan ionik.
2. Untuk mengetahui karakteristik senyawa ionik.
3. Untuk mengetahui struktur kristal senyawa ionik.
4. Untuk mengetahui kisi kristal senyawa ionik.
1.4. Manfaat Penulisan
Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak antara lain sebagai berikut.
1. Bagi penulis adalah untuk memperdalam disiplin ilmu kimia, khususnya tentang
proses pembentukan senyawa ionik, karakteristik senyawa ionik, polarisasi dan
kovalensi senyawa ionik, struktur kristal senyawa ionik serta kisi kristal
senyawa ionik.
2. Bagi pembaca adalah untuk menambah wawasan tentang senyawa ionik dan
memperoleh pengetahuan mengenai proses pembentukan senyawa ionik,
karakteristik senyawa ionik, polarisasi dan kovalensi senyawa ionik, struktur
kristal senyawa ionik serta kisi kristal senyawa ionik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PEMBENTUKAN IKATAN IONIK
Perkembangan munculnya teori ionisasi mendorong pemahaman adanya
senyawa ionik dan senyawa kovalen atau non ionik. Senyawa ionik sederhana terbentuk
hanya antara unsur – unsur metalik dan nonmetalik yang keduanya sangat aktif. Dua
persyaratan penting yaitu, energi ionisasi untuk membentuk kation dan afinitas elektron
untuk membentuk anion harus lebih unggul (favourable) ditinjau dari pertimbangan
energi. Ini bukan berarti kedua reaksi pemebentukan ion – ion tersebut harus
eksotermik, tetapi lebih berarti bahwa reaksi tidak membutuhkan energi yang terlalu
besar. Jadi, persyaratan untuk terjadi ikatan ionik yaitu pertama, salah satu atom unsur
harus mampu melepas satu atau dua elektron (jarang tiga elektron) tanpa memerlukan
banyak energi, dan kedua, atom unsur lain harus mampu menerima satu atau dua
elektron (hampir tidak pernah tiga elektron) tanpa memerlukan banyak energi. Oleh
karena itu, ikatan ionik banyak dijumpai pada senyawa dari logam golongan 1, 2,
sebagian tiga, dan beberapa logam transisi dengan bilangan oksidasi rendah, dan
nonlogam golongan halogen, oksigen, dan nitrogen. Semua energi ionisasi adalah
endotermik; afinitas elektron adalah eksotermik hanya bagi halogen, tetapi endotermik
tidak berlebihan bagi oksigen dan nitrogen.
2.2. KARAKTERISTIKA SENYAWA IONIK
Pada temperatur kamar, senyawa kovalen dapat berwujud padat, cair, dan gas,
tetapi senyawa ionik berwujud padat dan mempunyai sifat – sifat sebagai berikut.
1. Senyawa ionik cenderung mempunyai konduktivitas listrik sangat rendah seperti
padatan, tetapi manghantar listrik sangat baik pada keadaan leburannya. Daya hantar
listrik ini diasosiasikan dengan adanya ion – ion positif atau negatif yang bergerak
bebas karena pengaruh medan listrik. Dalam keadaan padat, ion – ion ini diikat kuat
dalam kisi, tidak mengalami migrasi atau perpindahan, dan juga tidak membawa
arus listrik. Sebagai catatan, sesungguhnya tidak ada bukti yang mutlak adanya
adanya ion – ion dalam padatan, misalnya NaCl,. Kenyataan bahwa ion – ion
didapat dalam larutan (air) bukan merupakan bukti bahwa ion – ion yang
bersangkutan juga ada dalam kristal padatannya. Keberadaan ion – ion dala padatan
hanyalah merupakan asumsi saja berdasarkan sifat – sifat yang diinterpretasikan
dengan gaya tarik – menarik elektrostasik.
2. Senyawa ionik cenderung mempunyai titik leleh tinggi; ikatan ionik biasanya sangat
kuat dan terarah ke segala arah. Ini bukan berarti bahwa ikatan ionik sangat lebih
kuat daripada ikatan kovalen, melainkan karena sebaran arah ikatan ke segala arah
inilah yang merupakan faktor penting kaitannya dengan tingginya titik leleh.
3. Senyawa ionik biasanya sangat keras tetapi rapuh. Kekerasan senyawa ionik
mengikuti konsekuensi argumen di atas sekalipum perlakuannya melalui pemisahan
secara mekanik daripada pemisahan secara termal terhadap gaya tarik – menarik
antar ion. Jika cukup gaya untuk menggeser sedikit ion – ion (misalnya dalam unit
sel NaCl, panjang ikatan menjadi memendek separohnya), maka gaya tarik –
menarik mula – mula akan berubah menjadi gaya tolak – menolak karena kontak
antar anion dan antar kation menjadi lebih signifikan..
4. Senyawa ionik biasanya larut dalam pelarut polar dengan permitivitas (tetapan
dielektrikum) tinggi.
a. Model Ionik Dan Ukuran Ion
Berdasarkan elektronegativitas Pauling, jika perbedaan elektronegativitas antara
dua atom yang berikatan kovalen membesar, sifat ikatan menjadi semakin polar.
Akhirnya, jika perbedaan tersebut sedemikian besarnya sehingga pasangan elektron
sekutu menjadi terabaikan karena lebih mendekat kepada salah satu pihak, maka ikatan
yang terjadi dapat dikatakan sebagai ikatan ionik. Dengan demikian, ikatan ionik secara
sederhana adalah gaya atraksi (tarik – menarik) elektrostatik antara ion positif dengan
ion negatif.
Pauling melukiskan bahwa kenaikan perubahan perbedaan elektronegativitas
akan mengakibatkan kenaikan sifat ionik secara kontinu, perlahan. Perbedaan
elektronegativitas nol merupakan titik ekstrim sifat kovalen murni, perbedaan berkisar
1,7 merupakan pertengahan sifat kovalen – ionik, dan perbedaan lebih besar 3,4
merupakan titik ekstrem sifat ionik murni. Jadi, sesungguhnya tidak ada garis pembatas
yang tegas antara karakter kovalen dan ionik, dan kenyataannya banyak ditemui
senyawa yang termasuk kategori “intermediate” (antara), yaitu kovalen polar artinya
bersifat ionik parsial, dan ionik yang bersifat kovalen parsial.
Karena logam umumnya mempunyai sifat elektronegatifitas rendah dan
nonlogam bersifat elektronegativitas tinggi, senyawa yang dibentuk dari keduanya
sering termasuk kategori ionik. Menurut model ionik murni, beberapa elektron valensi
telah berpindah dari atom berelektronegativitas rendah ke atom berelektronegativitas
tinggi.
Ukuran atom dalam periode semakin kecil dengan naiknya nomor atom (dari kiri
ke kanan) sebagai akibat naiknya muatan inti efektif, Zef. Tetapi, perubahan atom
menjadi ion mengakibatkan perubahan yang komparatif besar pada ukurannya.
Pembentukan ion logam (kation) dari atomnya biasanya melibatkan pelepasan semua
elektron valensi, sehingga ukuran kation akan menjadi jauh lebih kecil daripada ukuran
atom induknya. Sebagai contoh, jari – jari atom natrium yaitu 186 pm, tetapi jari – jari
ionnya, Na+, hanya 116 pm. Dengan demikian terjadi penyusutan ukuran yang sangat
dramatik. Volume bola (atom/ion), yaitu V = 4/3 π r3, maka penyusutan jari – jari kation
tersebut mengakibatkan penyusutan ukuran ion Na+ menjadi kira –kira hanya ¼ ukuran
atom induknya, Na.
Untuk anion berlaku sebaliknya; ukuran ion negatif lebih besar daripada atom
induknya. Sebagai contoh, jari – jari kovalen atom oksigen adalah 74 pm, tetapi jari –
jari ion oksidanya (O2-) adalah 124 pm; dalam hal ini terdapat kurang lebih lima kali
lipat kenaikan ukuran anion dari atom induknya. Kenaikan jari – jari anion ini dapat
dijelaskan bahwa, dengan penangkapan elektron (tambahan) mengakibatkan
mengecilnya muatan inti efektif, Zef, terhadap individu elektron terluar; akibatnya, gaya
tarik inti melemah sehingga ukuran anion menjadi lebih besar daripada atom induknya.
b. Kecenderungan Pada Jari – Jari Ionik
Jari – jari kation semakin lebih menyusut untuk sederet spesies isoelektronik
dalam satu periode dengan naiknya muatan ion. Sebagai contoh, 11Na+, 12Mg2+, dan
13Al3+, secara berurutan mempunyai jari – jari ionik 116, 86, dan 68 pm; ketiga – tiganya
isoelektronik, mempunyai 10 elektron dengan konfigurasi elektronik 1s2 2s2 2p6. Satu –
satunya perbedaan adalah jumlah proton didalam intinya; makin besar jumlah proton
atau muatan inti makin besar muatan inti efektifnya, Zef, dan oleh karena itu makin kuat
gaya tariknya terhadap elektron sehingga makin kecil ukuran dan jari – jari ionnya.
Sebaliknya, jari – jari anion menjadi lebih menyusut untuk sederet spesies isoelektronik
dalam satu periode dengan menyusutnya muatan ion. Sebagai contoh, 7N3-, 8O2-, dan 9F-,
secara berurutan mempunyai jari – jari ionik 132, 124, dan 117 pm. Ketiga spesies
anionik ini adalah isoelektronik (10 elektron) dan dengan argumentasi yang sama
seperti tersebut di atas dapat dijelaskan menyusutnya ukuran anion ini. Kedua contoh
seri kation (Na+, Mg2+, Al3+) dan anion (N3-, O2-, F-) tersebut juga isoelektronik, dan
dengan demikian menunjukkan begitu lebih besarnya ukuran anion daripada kation;
secara umum memang benar bahwa kation logam lebih kecil ukurannya daripada anion
nonlogam.
Dalam golongan, ukuran atom semakin besar dengan naiknya nomor atom (dari
atas ke bawah), demikian juga ukuran ionnya. Sebagai contoh, anion halogenida, F -, Cl-,
Br--, dan I, secara berurutan mampunyai jari – jari ionik 117, 167, 182, dan 206 pm.
c. Kecenderungan pada Titik Leleh
Ikatan ionik adalah hasil dari gaya tarik – menarik satu ion dengan ion – ion
lawan muatan disekelilingnya dalam kisi kristal. Proses pelelehen melibatkan
pemutusan parsial gaya tarik – menarik tersebut dan mengijinkan ion – ion bergerak
bebas ddalam fase cairnya. Titik leleh yang tinggi bagi senyawa ionik menandakan
bahwa ikatan ionik tentulah sangat kuat. Semakin kecil ukuran ion berarti semakin
terpusat muatannya sehingga semakin kuat pula ikatan ioniknya, dan dengan demikian
semakin tinggi titik lelehnya. Hal ini ditunjukkan oleh contoh sederet senyawa halida,
KF, KCl, KBr, dan KI, yang secara berurutan mempunyai titik leleh 857, 772, 735, dan
6850C.
Perbedaan titik leleh secara mencolok dapat terjadi oleh karena perbedaan
muatan, yaitu semakin tinggi muatan semakin tinggi pula titik lelehnya. Sebagai contoh
yaitu, NaCl (Na+ Cl-) meleleh pada 8010C, sedangkan MgO ( Mg2+ O2-) meleleh pada
temperatur sangat tinggi, 2800 0C.
2.3. POLARISASI DAN KOVALENSI
Walaupun sebagian besar penggabungan logam dan non-logam mempunyai
karakter senyawa ionik, terdapat beberapa kekecualian. Kekecualian ini terjadi apabila
elektron terluar dari anion tertarik begitu kuatnya ke arah kation sehingga
mengakibatkan terbentuknya ikatan kovalen hingga derajat kovalensi tertentu, artinya
rapatan anion terdistorsi ke arah kation. Distorsi (penyimpangan) dari bentuk ideal
anion yaitu speris (bola) ini disebut sebagai polarisasi. Semakin besar sifat polarisasi
anion semakin besar derajat ikatan kovalensinya. Aturan yang dikemukakan oleh
Kasimir Fajans perihal polarisasi yaitu sebagai berikut.
1. Kation dengan ukuran semakin kecil dan muatan positif semakin tinggi akan
mempunyai daya mempolarisasi semakin tinggi.
2. Anion dengan ukuran semakin besar dan muatan negatir semakin besar akan
semakin mudah terpolarisasi.
3. Kation yang mempunyai konfigurasi elektronik bukan konfigurasi elektronik gas
mulia mempunyai daya mempolarisasi lebih kuat.
Salah satu cara yang paling mudah untuk membedakan sifat ionik dari sifat
kovalen suatu spesies yaitu dengan membandingkan titik lelehnya; senyawa ionik (dan
juga jaringan senyawa kovalen) cenderung mempunyai titik leleh tinggi, dan senyawa
kovalen sederhana mempunyai titk leleh rendah. Sebagai contoh, senyawa AlF3 dan
AlI3, masing – masing mempunyai titik leleh yang sangat berbeda yaitu secara berurutan
1290 dan 1900C. Ion fluorida mempunyai jari – jari ionik 117 pm, jauh lebih kecil
daripada jari – jari ionik iodida, 206. Data jari – jari ini menghasilkan ukuran volume
anion iodida sebesar kira – kira 5 ½ atau 2063/1173 kali volume ion fluorida. Tingginya
titik leleh aluminium fluorida menyarankan bahwa senyawa ini lebih bersifat ionik, dan
ini berarti bahwa ion fluorida karena kecilnya ukuran tidak atau sukar terpolarisasi oleh
ion Al3+, sehingga senyawa yang terbentuk, yaitu AlI3, lebih bersifat kovalen dengan
titik leleh yang jauh lebih rendah. Bandingkan dengan titik leleh senyawa KI (6850C),
demikian pula KF (8570C).
Karena jari – jari ionik dengan sendirinya bergantung pada muatan ionnya, maka
besarnya muatan kation yang sering merupakan petunjuk yang baik untuk menentukan
derajat kovalensi spesies (sederhana) yang bersangkutan. Kation dengan muatan +1 dan
+2, biasanya mendominasi sifat ionik, sedangkan kation dengan muatan +3 membentuk
senyawa ionik hanya dengan anion yang sangat sukar terpolarisasi seperti ion fluorida.
Kation dengan muatan teoritik +4 atau yang lebih tinggi sesungguhnya tidak dikenal
sebagai ion, dan senyawanya sering diperhitungkan sebagai senyawa yang didominasi
oleh sifat kovalen. Sebagai contoh, MnO mempunyai titik leleh 17850C tetapi Mn2O,
berupa cair pada temperatur kamar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mn(II)
membentuk kisi kristal ionik dalam MnO, tetapi Mn(VII) membentuk molekul kovalen
dalam Mn2O7. Perhitungan rapatan muatan menghasilkan harga 84 C mm-3 untuk ion
Mn2+ dan 1240 C mm-3 untuk ion Mn7+ (andaikata ion ini ada). Ion ini (Mn7+) sangat
tinggi (rapatan) muatan positifnya, demikian juga ukurannya tentu jauh lebih kecil
daripada ukuran ion Mn2+, sehingga mempunyai daya mempolarisasi yang sangat kuat
terhadap anion oksida; akibatnya, senyawaan yang terbentuk bersifat kovalen
sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya titik leleh.
Aturan Fajans yang ke tiga, berkaitan dengan kationn yang mempunyai
konfigurasi elektronik bukan gas mulia. Sebagai contoh yaitu kation Ag+ (dengan
konfigurasi [Ar] 4d10), demikian juga Cu+, Sn2+, dan Pb2+. Senyawaan perak halida, AgF,
AgCl, AgBr, dan AgI, masing – masing mempunyai titik leleh 435, 455, 430, dan
5580C, yang secara berurutan lebih rendah kira – kira 3000C dari pada titik leleh kalium
halida. Dengan demikian, kation perak mempunyai daya mempolarisasi yang lebih kuat
daripada kation K+, sehingga senyawaan perak halida lebih bersifat kovalen dari pada
senyawaan kalium halida. Petunjuk lain perihal sifat kovalensi halida perak yaitu
kenyataannya bahwa halida perak (kecuali fluorida) sukar larut dalam air. Proses
pelatutan dalam pelerut polar disebabkan adanya interaksi antara molekul air (polar)
dengan muatan ion; menurunnya sifat ionik atau naiknya sifat kovalen halida perak
mengakibatkan melemahnya interaksi tersebut hingga cenderung sukar larut. Untuk
perak fluorida, kecilnya ukuran ion fluorida menyebabkan kurangnya sifat terpolarisasi
oleh kation perak hingga senyawa ini paling bersifsat ionik daripada halida perak yang
lain, dan akibatnyad mudah larut dalam air.
Contoh lain yaitu perbandingan sifat oksida- dan sulfida- natrium dengan
tembaga (I). Kedua kation ini mempunyai jari – jari yang hampir sama. Oksida maupun
sulfida natrium bersifat ionik dan larut bereaksi dengan air, tetapi oksida dan sulfida
tembaga (I) tidak larut dalam air. Menurut aturan Fajans ke tiga, kation Cu)I) dengan
konfigurasi elektronik bukan gas mulia mempunyai daya daya mempolarisasi yang lebih
kuat hingga mempunyai kecenderungan lebih kovalen. Hal ini paralel dengan besarnya
perbedaan elektronegativitas yaitu ~2,5 untuk natrium oksida yang berarti lebih bersifat
ionik, dan ~1,5 untuk tembaga (I) oksida yang berarti lebih bersifat kovalen.
Hidrasi Ion
Apabila gaya tarik elektrostatik antara ion – ion merupakan gaya pengikat
senyawa ionik, pertanyaan yang muncul yaitu apa yang sesungguhnya menjadi gaya
penggerak yang melarutkan banyak senyawa ionik dalam air? Jawabnya yaitu
terbentuknya imteraksi ion-dipol antara senyawa ion dengan molekul air. Molekul air
bersifat polar (terkutub), dipol, dengan muatan negatif lebih terpusat pada atom oksigen
dan positif pada atom hidrogen. Pada proses pelarutan senyawa ionik, kutub negatif
oksigen dari molekul air akan mengepung dan menarik kation, dan kutub positif atom
hidrogen dari molekul air akan mengepung dan menarik anion. Jika interaksi ion-dipol
lebih kuat daripada jumlah dari gaya tarik antarion dan gaya antarmolekul air, maka
proses pelatutan akan berlangsung. Secara sederhana, proses pelarutansenyawa ionik
NaCl dalam air dapat dituliskan sebagai berikut:
Na+ Cl- + 2n H2O → Na+ (H2O)n + Cl- (H2O)n
atau Na+ Cl- + H2O → Na+(aq) + Cl-
(aq)
Hal ini sering dikatakan bahwa ion – ion tersolvasi (artinya terikat oleh pelarut –
solvent) atau terhidrasi dalam pelarut air. Apabila senyawa ionik mengkristal dari
pelarutnya (air), sangat sering molekul air terkorporasi ke dalam kristal, dan hasilnya
sering disebut hidrat.
2.4. STRUKTUR KRISTAL IONIK
Zat padat dapat diklasifikasi atas dasar tipe ikatan, yaitu ionik, kovalen, metalik,
dan vander waals dan atas dasar simetri kristal dalam hal hubungan antar panjang dan
sudut sumbu – sumbu kristal yaitu kubus, tetragonal, ortorombik, heksagonal,
rombohedral, monoklinik, dan triklinik. Klasfikasi kristal atas dasar tipe ikatan
berdasarkan pada amatan terhadap sifat – sifat hantaran listrik, kekerasan, titik leleh,
dan sebagainya dalam kombinasinya dengan pengetahuan kimiawi atom – atom yang
terlibat. Sedangkan, klasifikasi kristal atas dasar sifat simetrinya bergantung pada
penelitian kristal oleh refleksi sinar-X untuk menentukan sudut – sudut antar muka atau
oleh difraksi sinar-X untuk menemukan keteraturan internal.
Untuk melukiskan sifat simetri suatu kristal dipermudah dengan mengenalkan
konsep sumbu – sumbu kristalografi. Sumbu – sumbu ini biasanya menunjuk pada arah
yang penting dalam kristal sebagaimana didefnisikan oleh permukaan – permukaan
kristal yang bersangkutan. Tiga sumbu a,b, dan c dan sudut – sudut α, β, dan γ adalah
cukup untuk melukiskan klas suatu kristal. Dalam banyak hal sumbu c diarahkan sejajar
terhadap kenampakan arahan unik kristal yang bersangkutan, misalnya arah
pemanjangan atau pemendekan. Sumbu – sumbu a dan b yang keduanya tidak dapat
sebidang dengan sumbu c mewakili arahan terpilih kristal yang bersangkutan. Bidang –
bidang kristal dilukis menurut perpotongannya dengan sumbu – sumbu tersebut. Atas
dasar perbedaan ukuran ketiga sudut dan ulangan jarak ketiga sumbu tersebut terdapat
tujuh klas kristal sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut.
Kelas Kondisi sumbu dan sudut satuan sel
Kubus
Ortorombik
Tetragonal
Monoklinik
Triklinik
Heksagonal
Rombohedral (Trigonal)
a = b = c; α = β = γ= 900C
a ≠ b ≠ c; α = β= γ = 900C
a = b ≠ c; α = β = γ = 900C
a ≠ b ≠ c; α = γ = 900C ≠ β
a ≠ b ≠ c; α ≠ β ≠ γ ≠ 900C
a = b ≠ c; α = β = 900C; γ = 1200C
a = b = c; α = β = γ ≠ 900C
Tabel.1
Struktur kristal dapat dibedakan berdasarkan tipe kisi Bravais atau kisi ruang
yang dibangun berdasarkan pada sifat simetri unit sel dan translasi yang diperlukan
dalam memperoleh titik – titik ekivalen di dalam unit sel yang bersangkutan. Hasilnya
yaitu terdapat empat belas macam bangun geometri kisi Bravais.
Oleh karena adanya translasi titik – titik kisi (translasi nonprimitif) inilah yang
mengakibatkan beberapa kemungkinan kisi ruang menjadi tidak perlu ada karena hal ini
dapat diperoleh dari salah satu dari ke -14 kisi Bravais tersebut. Sebagai contoh, kisi
tetragonal pusat muka (BIJK-FLMN) tidak diperlukan, karena kisi ini dapat diperoleh
dari translasi titik – titik kisi tetragonal pusat badan (ABCD-EFGH) yang mempunyai
sifat simetri lebih tinggi.
2.5. KISI KRISTAL SENYAWA IONIK
Senyawa ionik berupa padatan, oleh karena itu tataan ion – ion dalam kisi
kristalnya dapat diberlakukan seperti halnya kemasan pada logam. Pada umumnya
anion mempunyai ukuran lebih besar daripada kation, sehingga anion – anion akan
membentuk suatu kemasan, sedangkan kation terselip dalam rongga – rongga di
antaranya yang disebut intertisi. Sebelum pembicaraan kemasan lebih lanjut, prinsip
umum bagi kisi ionik diuraikan sebagai berikut.
1. Ion – ion diasumsikan sebagai bola – bola bermuatan yang tak terkompresi dan tak-
terpolarisasi. Sesungguhnya semua senyawa ionik juga mengandung sifat kovalensi
meskipun hanya dalam persentase kecil, dan kenyataannya model bola keras berlaku
baik bagi hampir semua senyawa ionik.
2. Ion – ion mengatur dirinya sedemikian sehingga dikelilingi oleh ion lawan muatan
sebanyak – banyaknya dan sedekat – dekatnya. Khususnya, hal ini terjadi bagi
kation, dan kemas rapat yang diadopsi ternyata tidak mengakibatkan anion – anion
pengeliling saling bersentuhan.
3. Rasio kation terhadap anion harus menggambarkan komposisi kimiawi senyawa
yang bersangkutan. Misalnya, struktur kristal CaCl2 harus tersusun oleh tataan ion –
ion klorida dan kation kalsium yang banyaknya hanya setengah jumlah ion klorida
dalam kisi kristal.
Beberapa sifat yang membedakan senyawa ionik dari senyawa kovalen, secara
sederhana dapat dilihat dari struktur kristalnya. Kristal ionik dibangun oleh kisi – kisi
yang tersusun oleh ion – ion positif dan ion – ion negatif sedemikian sehingga gaya –
gaya tarik – menarik antara ion – ion yang berlawanan muatan mencapai maksimum
dan gaya tolak – menolak antara ion – ion senama muatan mencapai minimum.
Kemas rapat bola – bola dengan ukuran sama menyisakan dua tipe celah,
lubang, ruan terbuka, atau rongga antara lapis – lapisnya. Satu metode pendekatan untuk
visualisasi struktur kristal senyawa ionik yaitu menggambarkan rakitan (array) kemas
rapat ion – ion, dengan ion – ion yang lebih kecil ukurannya menempati rongga.
Biasanya, anion – anion yang umumnya lebih besar ukurannya membentuk kemas rapat,
dan kation yang lebih kecil ukurannya menempati rongga yaitu rongga tetrahedral dan
atau rongga oktahedral; tetapi dalam beberapa kasus situasi ini dapat terbalik. Suatu
rakitan anion – anion mungkin terbuka total dan agaknya memulai dari kemas rapat
untuk mengakomodasi kation di dalam rongga. Misalnya dalam kristal natrium klorida,
kation Na+ menempati rongga oktahedral dalam rakitan kemas rapat kubus pusat muka
Cl- yang sedikit mengembang. Ada satu rongga oktahedral tiap ion Cl -, dan semua
rongga ditempati oleh ion Na+ sehingga mencapai stoikiometri NaCl = 1:1. Setiap ion
Na+ dalam rongga oktahedron dikelilingi oleh enam ion Cl-, demikian juga
sesungguhnya tiap ion Cl- dikelilingi oleh enam ion Na+ sehingga masing – masing
mempunyai bilangan koordinasi enam.
Apabila ukuran kation relatif terlalu besar, mungkin kation ini tidak cocok baik
ke dalam rongga tetrahedron ataupun rongga oktahedron dalam kemas rapat anion yang
bersangkutan. Dalam kasus demikian anion – anion membangun rakitan kubus
sederhana yang menyisakan rongga kubus yang menyediakan ruang/celah cukup untuk
kation yang lebih besar. Satu kation di dalam rongga kubus mempunyai bilangan
koordinasi delapan; contoh untuk ini yaitu CsCl.
Tabel 2. Beberapa senyawa dengan struktur kristal khusus
Struktur Kristal Contoh Senyawa
Rock-salt NaCl, LiCl, KBr, RbI, AgCl, AgBr, MgO,
CaO, TiO, FeO, NiO, SnAs, UC, ScN
Sesium klorida CsCl, CaS, CuZn, TlSb
Sfalerit (zink blende) ZnS, CuCl, CdS, HgS, GaP, InAs
Wurtzit ZnS, ZnO, BeO, MnS, AgI, AlN, SiC,
Fluorit CaF2, HgF2, BaCl2, PbO2, UO2
Antifluorit K2O, Na2O, Li2O, K2S, Na2S, Na2Se
Rutil TiO2, MnO2, SnO2, WO2, MgF2, NiF2
Perovskit CaTiO3, BaTiO3, SrTiO3
Nikel arsenida NiAs, NiS, FeS, CoS, PtSn
*) Senyawa yang dicetak tebal memberi nama struktur kristal kelompoknya
Struktur kristal ion dipengaruhi oleh muatan relatif dan ukuran relatif ion – ion
yang bersangkutan. Suatu kristal ion bersifat stabil apabila setiap kation tepat
menyinggung anion – anion disekelilingnya demikian pula sebaliknya. Kation yang
lebih kecil membuat singgungan terbaik apabila dengan empat anion tetangga terdekat
membentuk bilangan koordinasi empat, dan menempati rongga tetrahedron yang lebih
kecil daripada rongga oktahedron. Ada dua rongga tetrahedron tiap anion dalam satu
rakitan kemas rapat anion. Dalam senyawa dengan stoikiometri 2:1 seperti Li2O dan
Na2S misalnya, setiap rongga tetrahedron ditempati oleh suatu kation.
Senyawa – senyawa yang mempunyai struktur kristal sama dikatakan isomorfis.
Beberapa senyawa ini dapat mengkristal secara bersamaan menghasilkan campuran
kristal. Misalnya, campuran NaNO3 dan CaCO3 membentuk kristal campuran, walaupun
sifat – sifat fisik dan semua sifat kimiawi keduanya berbeda satu sama lain.
Semua struktur kristal ion dapat dikenali menurut sistem kristal yang telah
dibicarakan sebelumnya, dan kerakteristika padatan ionik ditunjukkan Tabel 2.2. Untuk
mempermudah visualisasi, bangun kisi kristal sering dilukiskan menurut model kemas
rapat stick and ball, sehingga baik bangun geometri, jumlah atom atau ion maupun
bilangan koordinasi dapat ditentukan dengan mudah. Senyawa sederhana dengan rasio
formula kation /anion 1:1, 1:2, 2:1, dan 2:2 akan dijelaskan secara ringkas seperti
berikut ini.
a. Struktur natrium klorida
Natrium klorida mengkristal dalam bentuk kubus pusat muka (face centered
cube, fcc). Untuk membayangkan bentuk ini perhatikan saja posisi salah satu ion –
ion yang sama, ion – ion Na+ saja atau ion – ion Cl- saja pada sistem satu unit sel
kristal. Delapan ion Cl- (lingkaran terang-besar) menempati kedelapan sudut suatu
kubus, enam ion Cl- yang lain (lingkaran berbintik-besar) menempati keenam pusat
muka kubus ini. Jika kubus tersebtu diperluas/diperpanjang dengan tambahan
masing – masing satu muka lagi ke arah horizontal (kiri-kanan, muka-belakang) dan
vertikal (atas-bawah), maka akan terlihat bahwa tiap ion Na+ sesungguhnya
menempati pusat setiap bangun oktahedron ion Cl-. Dengan demikian kristal NaCl
dapat dikatakan mempunyai bangun kemas rapat kubus pusat muka ion Cl - dengan
ion Na+ yang lebih kecil menempati rongga oktahedral. Selain itu, perluasan bangun
ini juag akan memperlihatkan adanya bentuk kubus pusat muak yang dibangun oleh
ion – ion Cl-. Oleh karena itu, kisi kristal natrium klorida merupakan dua kisi kubus
pusat muka yang saling tertanam di dalamnya (interpenetrasi).
Maka, masing – masing ion mempunyai bilangan koordinasi enam. Dalam
satu unit sel, jumlah masing – masing ion/atom dengan mudah dapat ditentukan
yaitu empat, sehingga memenuhi stoikiometri 1:1 dengan formula NaCl.
b. Struktur sesium klorida
Berbeda dari NaCl, sesium klorida, CsCl, mengkristal dalam bentuk kubus
sederhana atau kubus primitif , jadi bukan termasuk kemas rapat. Hal ini berkaitan
dengan ukuran Cs+ yang relatif lebih besar sehingga memerlukan rongga yang lebih
besar daripada rongga oktahedron. Di dalam kisi kristalnya ion – ion Cl- menempati
kedelapan titik sudut kubus dan ion-pasangannya, Cs+ menempati pusat badan kubus
ini. Dengan demikian, bilangan koordinasi ion Cs+ dapat ditentukan dengan mudah,
yaitu delapan karena dihubungkan dengan delapan ion Cl-. Kedelapan ion Cl-
masing – masing menempati posisi yang ekivalen dengan nilai yang sama dalam
satu unit sel-nya yaitu 1/8, dan mempunyai “satu stick” penghubung sebagai
bilangan koordinasi. Dengan kata lain tiap ion Cl- tentu mempunyai “delapan stick”
penghubung atau bilangan koordinasi delapan.
c. Struktur zink blende dan wurtzit
Zink sulfida, ZnS, merupakan satu contoh senyawa polimorf, mengkristal
dalam dua macam bentuk kisi yang sangat berbeda yaitu zink blende dan wurtzit.
Dalam kedua macam bentuk ini kedua ion masing – masing mempunyai bilangan
koordinasi empat. Zink blende mempunyai struktur kemas rapat kubus pusat muka
anion dengan kation mengisi setengah rongga tetrahedron. Dalam satu unt sel,
masing – masing atom/ion dapat dihitung dengan mudah yaitu empat untuk kubus
pusat muka atom S dan empat untuk atom Zn interior sehingga dipenuhi rasio
stoikiometri 1:1.
Wurtzit mempunyai struktur kemas rapat heksagonal anion dengan kation
mengisi setengah rongga tetrahedron yang menunjukkan lapis A-B-A untuk atom s.
Dalam satu unit sel, terdapat enam atom Zn yang terdiri dari empat atom interior,
dan 1/3 x 6 atom sudut heksagonal “tengah”; demikian juga terdapat enam atom S
yang terdiri atas tiga atom interior 2 x 1/6 x 6 atom muka, dan ½ x 2 atom “pusat”
muka. Dengan demikian, bangun ini memenuhi rasio stoikiometri 1:1. Pada kedua
bentuk ini, masing – masing kation dan anion mempunyai bilangan koordinasi
empat.
d. Struktur fluorit
Kalsium fluorida, CaF2, mengkristal dalam bentuk struktur fluorit. Struktur
ini merupakan kemas rapat kubus pusat muka kation (Ca2+) dan anion (F-)
menempati semua (delapan) rongga tetrahedral. Dengan demikian, dalam satu unit
sel terdapat empat atom Ca dan delapan atom F sehingga dipenuhi rasio stoikiometri
1:2. Bilangan koordinasi anion F- dengan mudah dapat dikenali yaitu empat, sesuai
dengan posisinya sebagai atom interior yang menempati rongga tetrahedral dengan
empat “stick” penghubung. Bola kation menempati dua macam posisi yaitu posisi
sudut kubus dan pusat muka kubus. Untuk posisi sudut kubus (1/8 atom)
dihubungkan dengan satu “stick” penghubung dan ini ekivalen dengan posisi pusat
muka kubus (1/2 atom) yang dihubungkan dengan empat “stick” penghubung.
Kedua posisi ini menghasilkan bilangan koordinasi delapan untuk kation. Jika baik
posisi maupun jumlah kation dan anion dibalik, hasilnya yaitu struktur antifluorit,
misalnya Li2O dan Na2O.
e. Struktur rutil
Titanium dioksida, TiO2 bersifat polimorf, mengkristal dalam dua macam
bentuk, yaitu rutil dan anatase. Rutil merupakan bangun kemas rapat heksagon
anion (O2-) dan kation (Ti4+) menempati hanya setengah rongga oktahedral. Susunan
demikian ini menghasilkan struktur tetragon dengan kation menempati pusat badan
dan kedelapan sudutnya, sehingga memberikan nilai dua kation dalam satu unit
selnya. Sedangkan keenam anion oksida yang mengakomodasi rongga oktahedral-
isi, dua menempati posisi interior dan empat yang lain dua-dua menempati posisi
dua bidang muka tetragon sehingga memberikan total nilai empat anion. Dengan
demikian, struktur ini menghasilkan rasio stoikiometri kation/anion 1:2. Bilangan
koordinasi kation adalah enam yaitu enam anion oksida yang tertata secara
oktahedral dan bilangan koordinasi anionnya adalah tiga, yaitu tiga kation Ti4+ yang
tertata secara trigonal.
Dalam anatase, TiO2, anion – anion oksida membentuk rakitan kemas rapat
kubus dan kation Ti4+ menempati hanya setengah rongga oktahedral tetapi dengan
pola yang berbeda dari pola dalam rutil.
f. Struktur β – kristobalit
Silikon dioksida, SiO2 mengkristal dalam bermacam – macam bentuk;
beberapa di antaranya distabilkan oleh kehadiran atom – atom asing. Salah satunya
adalah β – kristobalit yang mirip dengan struktur zink blende; atom – atom silikon
menempati semua posisi atom Zn dan S di dalam struktur zink blende, dan atom –
atom oksigen menempati posisi di antara atom – atom silikon. Bentuk lain yaitu
tridimit yang mirip dengan struktur wurtzit. Dalam kedua macam struktur ini
bilangan koordinasinya yaitu empat untuk silikon dan dua untuk oksigen.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah diatas, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu:
1.
DAFTAR PUSTAKA