makalah unx an

89
KONKRITISASI SISTEM NORMA, NILAI DAN SISTEM PERILAKU DALAM ASAS-ASAS HUKUM SEBAGAI REFLEKSI KONSEP NEGARA HUKUM I. PENDAHULUAN Seiring dengan bergulirnya Era Reformasi yang telah mengubah secara radikal peta perpolitan nasional, yang ditandai dengan bergesernya bandul kekuasaan dari eksekutif ke legislatif. Semakin menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlihat jelas, khususnya dalam bidang pengawasan, budget dan produk legislasi. Terkesan posisi pemerintah yang selama pemerintahan Orde Baru (Orba) begitu dominan, semakin melemah sejalan dengan derasnya tuntutan reformasi dan demokratisasi. Menguatnya peran DPR dalam bidang legislasi telah mendapatkan legitimasi konstitusional, sebagaimana tercermin dalam Amandemen Pertama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang memindahkan bandul kekuasaan legislasi dari Presiden ke DPR. Dalam Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 sebelum

Upload: awaludinyuli

Post on 02-Aug-2015

61 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah UNX An

KONKRITISASI SISTEM NORMA, NILAI DAN SISTEM PERILAKU

DALAM ASAS-ASAS HUKUM

SEBAGAI REFLEKSI KONSEP NEGARA HUKUM

I. PENDAHULUAN

Seiring dengan bergulirnya Era Reformasi yang telah

mengubah secara radikal peta perpolitan nasional, yang ditandai

dengan bergesernya bandul kekuasaan dari eksekutif ke legislatif.

Semakin menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlihat

jelas, khususnya dalam bidang pengawasan, budget dan produk

legislasi. Terkesan posisi pemerintah yang selama pemerintahan Orde

Baru (Orba) begitu dominan, semakin melemah sejalan dengan

derasnya tuntutan reformasi dan demokratisasi.

Menguatnya peran DPR dalam bidang legislasi telah

mendapatkan legitimasi konstitusional, sebagaimana tercermin dalam

Amandemen Pertama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang

memindahkan bandul kekuasaan legislasi dari Presiden ke DPR.

Dalam Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, menyatakan

bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang

dengan persetujuan DPR, sedangkan dalam Pasal 5 Ayat (1)

Amandemen Pertama UUD 1945 menyatakan bahwa: “Presiden

berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan

Perwakilan Rakyat”. Demikian pula halnya dengan ketentuan Pasal 20

Page 2: Makalah UNX An

Ayat (1) Amanden Pertama UUD 1945 secara tegas menyatakan

bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Pada satu sisi, menguatnya kekuasaan DPR telah mendorong

produktivitas legislasi dalam bentuk perundang-undangan di bidang

administrasi. Sepanjang kurun waktu keberadaan DPR, sedikitnya

telah menghasilkan sekitar 1.213 undang-undang, 169 undang-undang

produk DPR periode 1999-2004, dan 77 undang-undang yang

dihasilkan DPR periode 2004-2009. Sementara untuk tahun 2011

tercatat DPR hanya mampu menyelesaikan 14 undang-undang dari

total 93 Rancangan Undang-Undang yang seharusnya diselesaikan.1

Banyaknya produk undang-undang tersebut merupakan suatu

fenomena negara hukum yang banyak dipengaruhi paham positivisme,

yang mengedepankan ketentuan tertulis sebagai dasar dan acuan

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terlebih

dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) dimana negara

bertanggungjawab terhadap kesejahteraan warganya, maka produk

perundang-undangan juga merambah dalam segenap aspek

kehidupan manusia, khususnya di bidang administrasi. Dalam

perkembangannya sebagaimana dikemukakan Mahfud MD, telah

terjadi pergeseran dari konsep negara hukum menjadi negara undang-

undang dan meletakannya sebagai ukuran kebenaran.2

1Waddi Armi, “Formappi: Kinerja DPR Periode 2009-2014 Paling Buruk”, http://rri.co.id/index.php, [28/8/2012].

2Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Kedua, 2011, hlm. 38.

2

Page 3: Makalah UNX An

Pada sisi lain, banyaknya produk legislasi dalam bentuk

undang-undang ternyata tidak dibarengi dengan pemahaman yang

utuh terhadap berbagai asas hukum dari para legislator. Padahal asas

hukum merupakan sarana perantara yang menjembatani antara nilai-

nilai kemanusiaan, yang akan diimplementasikan dalam bentuk norma

atau aturan tertulis. Kecenderungan itu nampak dari adanya berbagai

produk legislasi yang tidak lebih sebagai pembenaran atau alat

justifikasi, yang melegalkan berbagai penggunaan atribusi

kewenangan, sehingga hukum tidak lebih sebagai sarana

instrumentalistik semata. Hal itu antara lain tercermin dari banyaknya

perundang-undangan yang mengalami “krisis konstitusional”, setelah

melalui uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). Sepanjang tahun

2003 sampai bulan Nopember 2011 tercatat adanya 406 kali uji

materiil, dan 97 buah diantaranya dikabulkan oleh MK karena dianggap

bertentangan dengan konstitusi.

Menurut pengamatan penulis, setidaknya ada 3 (tiga) hal yang

menyebabkan banyaknya uji materiil terhadap undang-undang sebagai

produk legislasi. Pertama, banyaknya perundang-undangan yang

dihasilkan melebihi kebutuhannya. Misalnya saja dengan munculnya

berbagai peraturan perundangan yang semata-mata ditujukan untuk

mencetak mata anggaran baru, sehingga kehadiran sebuah undang-

undang tidak sesuai dengan konteks.

Kedua, banyaknya undang-undang yang merupakan pesan

pihak-pihak tertentu, baik perorangan, korporasi maupun untuk

3

Page 4: Makalah UNX An

memperkuat kewenangan suatu institusi. Hilangnya beberapa pasal

dalam Rancangan Undang-Undang Tembakau misalnya, merupakan

salah satu gambaran yang mempertegas adanya konsesi dan tawar-

menawar dalam meloloskan pasal-pasal yang menguntungkan

kepentingan pihak-pihak tertentu.

Ketiga, kurangnya pemahaman terhadap asas hukum dan

tidak jelasnya arah pembentukan undang-undang. Tidak adanya

adanya sinkronisasi dalam menyusun suatu perundang-undangan,

menyebabkan banyaknya ketentuan yang tumpang tindih bahkan

bertentangan antara satu dengan lainnya.

Carut marutnya penegakan hukum yang terjadi dalam

beberapa tahun terakhir ini, tidak terlepas dari ketiga persoalan pokok

dalam proses legislasi. Asas-asas hukum yang seharusnya menjadi

pondasi dari sebuah norma telah diterabas dan ditinggalkan, hanya

demi sebuah kepentingan pragmatik dan sesaat. Hal ini menjadikan

undang-undang tidak lebih sebagai produk politik yang miskin nilai dan

tidak memiliki landasan yang kokoh, yang pada gilirannya telah

menimbulkan problematik baik dalam tataran teori maupun praktik.

II. EKSISTENSI ASAS-ASAS HUKUM DALAM NEGARA HUKUM

A. Sejarah dan Perkembangan Negara Hukum

Dalam sejarah ketatanegaraan, konsep negara hukum

merupakan buah pemikiran Aristoteles (384-322 SM) yang pada

saat itu masih terbatas pada wilayah negara kota (Polis). Pada

4

Page 5: Makalah UNX An

negara kota tersebut setiap urusan negara dilakukan dengan

musyawarah (ecclesia), karena penduduknya sedikit dan

wilayahnya yang relatif kecil.3

Konsep negara hukum menurut Aristoteles merupakan

negara yang berdiri di atas hukum, yang menjamin keadilan

terhadap warganya. Keadilan merupakan prasyarat utama

tercapainya kebahagiaan, sehingga peraturan hukum yang dibuat

harus senantiasa mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup

antar warganya. Dalam pemikiran Aristoteles, yang memerintah

dalam negara yang sebenarnya adalah fikiran yang adil, sedangkan

manusia sebagai penguasa hanyalah pemegang hukum dan

keseimbangan saja. Oleh karenanya, yang terpenting adalah

mendidik manusia akan rasa susila dan melalui sikapnya akan

terjamin kebahagiaan hidup bagi warganya.4

Pemikiran Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “Politica”

dan “Ethica” menunjukkan akan sikapnya sebagai seorang realis,

agak berbeda dengan pemikiran Plato (429-347 SM) selaku

pendahulunya. Menurut Plato, Aristokrasi merupakan bentuk ideal

negara, yang diperintah oleh para cerdik pandai, berbakat dan

bijaksana.5 Kaum cerdik pandai tersebut adalah para filsuf,6 yang 3Negara kota (polis) merupakan suatu negara dengan luas wilayah yang sebesar kota, jumlah

penduduknya terbatas dan sifat urusan negara masih sangat sederhana. Bentuk pokok negara pada masa Yunani terdiri dari 3 (tiga) bentuk, yaitu: Monarchi, Oligarchi dan Demokrasi. Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: Bina Aksara, Cetakan Kedua, 1984, hlm. 18-19.

4Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cetakan Kelima, 1983, hlm. 153-154.

5Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, Cetakan Kedelapan, 2008, hlm. 18-20.6Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Generasi,

Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Ketiga, 2010, hlm. 40-41.

5

Page 6: Makalah UNX An

melalui penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dapat

menjalankan negara untuk mencapai kesejahteraan umum,

sehingga hanya filsuf yang pantas menjadi raja.7 Sementara itu,

Aristoteles berpendapat bahwa kekuasaan negara harus berada

pada rakyat, yang berkumpul dan merupakan suatu kesatuan

karena mereka telah memiliki kecerdasan dan kebajikan yang

cukup. Menurutnya, demokrasi merupakan wujud negara hukum

ideal dimana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan

dilaksanakan untuk kepentingan dan kebahagian rakyat.

Dalam realitasnya, konsep negara hukum yang digagas

Plato dan Aristoteles sulit diwujudkan, karena terlalu ideal dan tidak

dapat menemukan adanya penguasa yang mempunyai

pengetahuan dan moral yang baik, sebagaimana yang dicita-

citakan Plato dan Aristoteles. Pada perkembangannya, konsep

negara hukum kemudian muncul kembali pada sekitar abad XVII di

Eropa Barat, seiring dengan merebaknya kesewenang-wenangan

penguasa yang bersifat absolut. Konsep negara hukum yang

dikembangkan para ahli pikir saat itu, merupakan anti thesa dari

dominasi absolutisme yang kerapkali dipraktikan raja-raja di

dataran Eropa dan berbagai belahan dunia. Konsep negara hukum

di negara-negara Eropa Kontinental dikenal dengan istilah

rechtstaat dan di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan

istilah the rule of law.

7Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta: Erlangga, Cetakan Pertama, 2010, hlm. 13-14.

6

Page 7: Makalah UNX An

Terma rechtstaat kerapkali disepandankan dengan the rule

of law sebagai terjemahan dari istilah negara hukum, meskipun

sejatinya antara rechtstaat dan rule of law memiliki beberapa

perbedaan karakteristik. Dalam hal ini, Roscoe Pound8

mengindentifikasi terma rechtsaat lebih mencerminkan karakter

administrasi, sedangkan the rule of law menunjukkan karakter

yudisial. Sementara itu, Mahfud MD melihatnya perbedaan antara

rechtstaat dan rule of law terletak pada sudut operasionalisasi,

meskipun antara keduanya memiliki substansi yang sama terhadap

perlindungan hak asasi dan hak konstitusional warga negara.9

Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat 3 (tiga)

perspektif dalam membedakan antara konsep rechtsstaat dengan

the rule of law. Ketiga perspektif itu meliputi prosedur dan

pengaturan pembentukan serta penegakkan hukum, maupun

karakteristik dan perkembangannya dari kedua konsepsi tersebut.

Pertama, prosedur pengaturan dan penegakan hukum.

Dalam konsep rule of law tidak dikenal adanya peradilan

administrasi, karena dalam tradisi Anglo Saxon setiap orang

mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (equality

before the law), termasuk persamaan antara pejabat dengan

masyarakat. Persamaan di depan hukum antara pejabat dengan

rakyat harus tercermin juga dalam lapangan peradilan, sehingga

8Roscoe Pound, The Development of Constitutional Guarantees of Liberty, London: Yale University Press, 1957, hlm. 7.

9Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006, hlm. 25.

7

Page 8: Makalah UNX An

tidak perlu adanya peradilan administrasi yang secara khusus

menangani persoalan kewenangan diskresi dari pejabat negara.

Berbeda halnya di negara-negara Eropa Kontinental, yang

memasukkan peradilan administrasi10 sebagai salah satu unsur

rechtsstaat, khususnya untuk menangani kasus perbuatan

melanggar hukum oleh pejabat negara (onrechtmatige

overheidsdaad). Dimasukkannya unsur peradilan administrasi

dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga

masyarakat terhadap sikap maupun tindakan pemerintah yang

melanggar hak asasi, sekaligus menjaga agar pejabat administrasi

negara dapat bertindak benar sesuai dengan aturan hukum.

Adanya peradilan administrasi merupakan sarana perlindungan

hukum, agar tidak setiap kewenangan diskresioner yang dilakukan

oleh pejabat negara dapat diadukan dan diadili melalui peradilan

umum, sehingga mereka dapat melaksanakan tugasnya tanpa

takut dipersalahkan sebagai akibat tindakan yang dilakukannya.

Kedua, karakteristik dan perkembangan negara hukum.

Konsep rechtsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme,

sehingga perkembangannya bersifat revolusioner. Konsep

rechtsstaat yang bertumpu pada civil law atau Modern Roman Law 10Di Perancis dikenal adanya 2 (dua) jajaran badan kehakiman, yaitu: (a) badan kehakiman

biasa yang menangani perkara pidana, perdata dan perkara khusus yang berpuncak pada cour de cassation (Mahkamah Kasasi); (b) badan kehakiman administrasi yang menangani perkara-perkara administrasi dan berpuncak pada conseil d’etat (dewan negara). Pada awalnya conseil d’etat merupakan dewan raja (curin regis) yang bertugas sebagai penasehat raja, sehingga conseil d’etat selain berfungsi sebagai badan peradilan administrasi juga berfungsi sebagai penasehat pemerintah dan senat serta chambre des desputes mengenai masalah perundang-undangan dan pemerintahan umum. Koerniatmanto Soetoprawiro, “Latar Belakang Konsep Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945 (Sebelum Amandemen)”, dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Penyunting), Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Jakarta: Refika Aditama, Cetakan Pertama, 2008, hlm. 172.

8

Page 9: Makalah UNX An

mempunyai karakteristik administratif. Hal ini dikarenakan

kekuasaan yang menonjol pada zaman Romawi adalah raja yang

membuat peraturan melalui dekrit untuk kemudian didelegasikan

kepada pejabat-pejabat administratif, sehingga pejabat administratif

yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang

bagaimana memutus suatu sengketa. Kuatnya peranan

administrasi negara dalam sistem kontinental antara lain ditandai

juga dengan munculnya cabang hukum baru yang disebut “droit

administratif”,11 yaitu hubungan antara administrasi negara dengan

rakyat. Untuk itu maka para pemikir hukum di negara-negara Eropa

Kontinental berupaya untuk membatasi kekuasaan administrasi

melalui pembentukan Peradilan Administrasi, yang dapat

memeriksa dan mengadili para pejabat negara atas kebijakan yang

telah dikeluarkannya.

Sementara itu konsep rule of law berkembang secara

evolusioner, yang bertumpu atas sistem common law sehingga

mempunyai karakteristik judicial. Kuatnya pengaruh hakim dalam

pembentukan hukum tercermin dari doktrin precedent (stare

decisis), dimana keputusan dari pengadilan yang lebih tinggi

biasanya mengikat terhadap pengadilan yang lebih rendah serta

kekuasaan hakim sangat luas dalam memberikan penafsiran,

sehingga dapat membentuk hukum baru. Pada saat itu para hakim

11Sebagian besar negara Eropa Kontinental memberlakukan sistem hukum istimewa untuk melindungi pejabat negara dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya, apabila mereka bersalah atas tindakan yang jika dilakukan oleh orang awam dianggap tidak sah. Sistem ini lahir di Perancis dengan nama Droit Administratif. CF Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern; Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung: Nusa Media, Cetakan Kedua, 2008, hlm.103.

9

Page 10: Makalah UNX An

di Inggris tidak mengadili berdasarkan dekrit seperti halnya yang

terjadi di Romawi, tetapi mengadili suatu perkara berdasarkan ”the

common custom of England” sehingga telah meletakan pondasi

dalam membangun peradilan yang adil (fair trial).

Ketiga, konsep rechtstaat di negara-negara Eropa

Kontinental yang banyak dipengaruhi oleh ajaran hukum murni

(reine rechtslehre) dari Hans Kelsen, telah memisahkan antara

hukum dan politik sehingga teori negara hukum identik dengan

hukum positif. Rechtstaat bersandar pada paham legisme, yang

menganggap hukum sebagai peraturan perundang-undangan

tertulis, sehingga kebenaran hukum terletak pada ketentuan-

ketentuan formal. Menurut konsep rechtstaat, fungsi hakim tidak

lebih sebagai terompet undang-undang yang menerapkan dan

membuat putusan sesuai dengan bunyi undang-undang.

Konsep the rule of law telah mengembangkan common law,

dimana kebenaran hukum dan keadilan tidak semata-mata pada

hukum tertulis, melainkan pada kebebasan hakim untuk menggali

nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat. Konsep the rule of

law di negara-negara Anglo Saxon tidak memisahkan antara

hukum dengan doktrin supremasi parlemen, termasuk ketika

melakukan realisasi rule of law sebagaimana dikemukakan Albert

Venn Dicey:12

... that the souverignity of parliament furthers the rule of law of the land... prevent those inroads upon the law of the land

12Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Kedua, 2009, hlm. 9.

10

Page 11: Makalah UNX An

which a despotic monarch... might effects by ordinances or decrees...The monopoly of legislation by parliament, with the balance between the House of Commons, the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges... and finally, explains the absence of administrative law.

Lebih lanjut Albert Venn Dicey, menjabarkan terma the rule of law

dalam sistem hukum Amerika Serikat dalam 3 (tiga) prinsip utama.

Pertama, bahwa tidak ada seorangpun yang dapat dihukum atau

dibuat menderita, kecuali melalui putusan pengadilan yang

menyatakan bersalah atas pelanggaran hukum yang telah

dilakukannya. Dalam suatu sistem pemrintahan telah memberi

peluang akan otoritas yang besar terhadap pemerintah, namun

pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang dan otoriter

terhadap warganya. Kedua, bahwa tidak ada seorangpun yang

kebal akan hukum, melainkan mempunyai kedudukan yang sama

dan sejajar di mata hukum. Apapun kedudukan, posisi, kekayaan

ekonomi maupun status sosialnya, maka setiap orang harus tunduk

pada hukum dan konstitusi yang menjadi pedoman dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, bahwa konstitusi

harus menjamin akan hak-hak pribadi yang bersifat asasi, sekaligus

mengakomodir prinsip-prinsip dasar yang dapat dijadikan acuan

oleh pengadilan untuk dapat mengadili seandainya terdapat

pelanggaran terhadap hak-hak pribadi warga negara.

Bertolak dari pemikiran itu, maka A.V. Dicey menyarankan

agar ketiga prinsip dasar tersebut harus mengilhami konsitusi

11

Page 12: Makalah UNX An

negara yang menganut paham “the rule of law”. Dalam kalimat lain,

Albert Venn Dicey, mengatakan:13

That “rule of law,” then, which forms a fundamental principle of the constitution, has three meanings, or may be regarded from three different points of view.

Ketiga prinsip dasar sebagaimana yang dimaksudkan Albert Venn

Dicey, yaitu14:

a. Supremasi hukum (supremacy of law) harus menjadi prinsip

dominan, sebagai perlawanan terhadap kekuasaan yang

sewenang-wenang;

b. Persamaan di depan hukum (equality before the law);

c. Konstitusi senantiasa memperhatikan hak-hak individual warga

(the constitution based on individual rights).

Nampaknya A.V. Dicey ingin menegaskan bahwa prinsip

equality before the law tidak hanya terbatas pada persamaan

kedudukan setiap orang di depan hukum, tetapi juga kesamaan

ruang lingkup peradilan dalam hal terjadinya pelanggaran hukum.

Hal ini menunjukkan bahwa A.V. Dicey tidak menyetujui adanya

peradilan administrasi, yang khusus untuk menangani pelanggaran

administrasi dan tata usaha negara yang dilakukan oleh pejabat

administrasi negara. Pengakuan atas keberadaan peradilan

administrasi di negara-negara Eropa Kontinental sesungguhnya

13Roger E. Michener, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Indianapolis: Liberty Fund, 1982, hlm.

14A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition,

New Yor: MacMillan & Co., 2005, hlm. 179.

12

Page 13: Makalah UNX An

menunjukan karakteristisk rechtstaats, yang berbeda dengan

konsep the rule of law di negara-negara Anglo Saxon.

Bertolak dari pemikiran Immanuel Kant, Paul Laband,

Julius Stahl, dan Fichte, maka pengertian rechtsstaat setidaknya

memiliki 4 (empat) pondasi pokok, yaitu: (1) adanya perlindungan

terhadap hak asasi manusi (grondrechten); (2) adanya pembagian

kekuasaan (scheiding van machten); (3) pemerintahan yang

berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan (4)

adanya peradilan tata usaha negara (administratieve rechspraak)

Sementara itu konsep the rule of law sebagaimana digagas A.V.

Dicey di Inggris, memiliki 3 (tiga) karakteristik, yaitu: (1) tegaknya

supremasi hukum (supremacy of law); (2) persamaan di depan

hukum (equality before the law), dan (3) adanya jaminan serta

mekanisme perlindungan diri atas hah (due process of law). 

Lebih lanjut dikemukakan Dicey, bahwa The Rule of law

tidak mengenal adanya pengecualian bagi pejabat pemerintah atau

orang-orang tertentu terhadap hukum yang mengatur warganegara

secara keseluruhan, seperti halnya pada pengadilan administratif

(droit administratif). Kaitannya dengan due process of law, Dicey

menjelaskan bahwa jaminan atas hak-hak pribadi adalah hasil dari

keputusan pengadilan, dan parlemen sebagai simbolisasi raja dan

warga, khusus mengenai mekanisme pelaksanaan kekuasaan. Jadi

konstitusi yang berisikan jaminan hak-hak pribadi warganegara

merupakan hasil dari hukum umum negara

13

Page 14: Makalah UNX An

Menurut hemat penulis, pembedaan antara konsep rule of

law dan rechtstaat semata-mata untuk kajian akademis belaka dan

tidak tidak relevan untuk mempertentangkannya. Hal ini

dikerenakan antara keduanya memiliki gagasan universal tentang

cita sebuah negara, yang menjadikan hukum di atas segalanya,

Supremasi hukum berarti warganegara diatur oleh hukum, dan

dengan hukum itu sendiri seseorang dapat dihukum karena

melanggar hukum, bukan dihukum karena sesuatau alasan yang

lain. Kedua konsep negara hukum itu menolak kekuasaan tanpa

kendali dan melarang adanya kekuasaan yang dimonopoli oleh

suatu kelompok maupun orang-orang tertentu. Kedua konsep

tersebut juga memiliki satu maksud yang serupa, yaitu kehendak

untuk melindungi hak asasi manusia, dan penghormatan atas

martabat manusia (the dignity of man).

Dalam pandangan Zippelius, seperti dikemukakan oleh

Hamid S. Attamimi, menyebutkan bahwa prinsip negara hukum

adalah untuk membatasi perluasan dan penggunaan kekuasaan

secara totaliter dan sewenang-wenang. Prinsip-prinsip yang harus

ditegakkan meliputi jaminan terhadap perlindungan hak asasi

manusia, adanya pembagian kekuasaan secara pasti dan jelas,

penyelenggaraan pemerintahan yang berdasar pada undang-

undang, dan adanya pengawasan judicial terhadap

penyelenggaraan pemerintahan

14

Page 15: Makalah UNX An

Sebagai suatu gagasan yang bersifat universal, maka

ketika gagasan itu masuk ke sebuah negara akan dengan

sendirinya menyesuaikan diri dengan konteks dan akar sosial

budayanya. Menurut Satjipto Rahardjo, konsep negara hukum

merupakan sebuah institusi sosial yang memiliki struktur

sosiologisnya sendiri, yakni berangkat dari akar sosial dan budaya

sekaligus merupakan sebuah reaksi dan koreksi terhadap praktik

negara yang ada pada masanya. Seperti halnya negara Inggris dan

Amerika Serikat yang banyak dipengaruhi oleh perjuangan untuk

menegakan hukum dan keadilan (just law), maka setiap orang yang

hidup dalam di Inggris akan merasakan begitu kuatnya

pemeliharaan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Begitu pula halnya dengan Belanda yang bertolak dari persoalan

untuk meminimalisir perbuatan melawan hukum yang dilakukan

instansi pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad atau

detournement de pouvoir).

B. Konsep Negara Hukum Indonesia

Menilik pada perbedaan karakteristik rechtstaat dan

karakteristik the rule of law, menunjukkan bahwa konsep negara

hukum yang dianut Indonesia tidak identik dengan kedua konsep

negara hukum yang berkembang di negara-negara Eropa

Kontinental dan Anglo Saxon tersebut. Meskipun pada awalnya

tidak dapat dipungkiri akan kuatnya pengaruh konsepsi rechtstaat

15

Page 16: Makalah UNX An

dalam perumusan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

tercermin pada Bagian Umum, Sub Bagian Sistem Pemerintahan

Negara, yaitu pada angka I dan angka I butir 1 penyebutan

“rechtstaat” diungkapkan sampai dua kali.

Tidak identiknya konsep Negara Hukum Indonesia dengan

konsep rechtstaat kemudian ditegaskan pasca Sidang Tahunan

MPR 2001, yang sekaligus menunjukkan sikap netral yang tidak

semata-mata mengacu pada konsep rechtstaat tetapi juga

mengakui konsep the rule of law. Bahkan dalam amandemen

ketiga UUD 1945 telah menghapus kata-kata rechtstaat, sehinga

ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan

bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Pada

amandemen ketiga tersebut sekaligus menghapus penjelasannya

yang menyatakan bahwa: “Negara Indonesia berdasar atas hukum

(rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”.

Amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, kembali

mencantumkan secara tegas konsepsi tentang negara hukum

Indonesia dalam materi muatan undang-undang dasar. Penegasan

tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3), “Negara

Indonesia adalah Negara Hukum.” Menurut Jimly Ashiddiqie dalam

naskah tersebut setidaknya mengandung pengertian sebagai

berikut:

Adanya pengakuan terhadap supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan hak asasi manusia dalam

16

Page 17: Makalah UNX An

Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warganegara dalam hukum, setrta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalah gunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. 

Dihapusnya kata-kata rechstaat dalam redaksi UUD 1945

menunjukkan bahwa konsep Negara Hukum Indonesia memiliki

kekhasan dan karakteristik tersendiri. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Padmo Wahyono, bahwa konsep Negara Hukum

Indonesia harus disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, yang

menggunakan ukuran, pandangan hidup dan pandangan bernegara

Indonesia. Oleh karenanya Oemar Seno Adjie berpendapat bahwa

Negara Hukum di Indonesia disebut Negara Hukum Pancasila yang

memiliki ciri-ciri khas Indonesia karena berdasarkan dan

menjadikan Pancasila sebagai patokan dasar dan sumber hukum.

Pandangan kedua pakar hukum tersebut menunjukkan

bahwa konsep negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep

rechtstaat maupun the rule of law, yang lahir dan berkembang pada

masa renaissance yang memandang manusia sebagai makhluk

bebas dan merdeka, terpisah satu sama lain dan sejajar (men are

created free and equal). Sementara itu, konsep negara hukum

Indonesia yang berdasarkan Pancasila, memandang manusia

dalam suasana kekeluargaan yang kesatuan dalam perbedaan dan

perbedaan dalam kesatuan.15

15Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan Kesepuluh, 1984, hlm. 39.

17

Page 18: Makalah UNX An

Agak berbeda dengan kedua pakar hukum di atas,

Sunaryati Hartono cenderung menginterpretasikan konsep negara

hukum ke arah konsep the rule of law.16 Namun demikian,

Sunaryati Hartono juga mengakui karakteristik khas negara hukum

Indonesia, yang hukumnya wajib mengupayakan agar

kesejahteraan umum dan kecerdasan bangsa semakin meningkat.

Di samping itu, faham religiusme dan kemanusiaan yang dianut

Indonesia berbeda dengan faham hukum alam yang dianut di

Eropa dan Amerika, karena dalam konteks negara hukum

Indonesia tidak memandang manusia sebagai individu yang berdiri

sendiri (atomistis), melainkan melihatnya sebagai manusia yang

tergantung atau berinteraksi dengan manusia lainnya.17

Dalam catatan sejarah, nampak bahwa wacana negara

hukum sebagai bentuk ideal dari tipe kenegaraan tidak menjadi

fokus perdebatan para founding fathers dalam forum Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Perdebatan pada saat itu lebih mengedepan tentang dasar negara,

bentuk negara, bentuk pemerintahan dan ide atau cita negara,

karena para pendiri negara terobsesi untuk mencari philofische

grondslag. Supomo dalam pidato pada Rapat BPUPKI tanggal 31

Mei 1945 mengungkapkan kata kunci “persatuan”, yang

16Sunarjati Hartono, Apakah Rule of Law Itu?17Sunaryati Hartono “Mencari Filsafah Hukum Indonesia Yang Melatarbelakangi Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945” dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof Dr. B. Arief Sidharta, SH., Jakarta: Refika Aditama, Cetakan Pertama, 2008, hlm. 151-154.

18

Page 19: Makalah UNX An

menunjukkan pola berpikir yang kuat dalam tradisi kultural di

Indonesia. Soepomo menuntut agar bentuk negara Indonesia harus

mengakomodir semangat kebatinan bangsa, yaitu hasrat rakyat

akan persatuan, baik persatuan hidup, persatuan antara dunia luar

dan bathin, maupun persatuan antara rakyat dan para

pemimpinnya. Semangat persatuan itulah yang kemudian disebut

Soepomo sebagai paham integralistik, yang sekaligus menolak

terhadap paham individualisme.18

Tidak jauh berbeda dengan pandangan Soepomo, maka

Muhammad Hatta juga telah secara tegas menolak paham

individualisme. Lebih lanjut Muhammad Hatta melengkapi bentuk

bangunan kenegaraan dengan demokrasi desa, yang bertolak dari

2 (dua) keyakinan yaitu: (1) cita-cita demokrasi telah memberikan

semangat kepada perjuangan kemerdekaan dalam pergerakan

nasional; dan (2) demokrasi tradisional di desa-desa Indonesia.

Meskipun Hatta sendiri mengakui bahwa cita-cita demokrasi sosial

di Indonesia bersumber pada paham sosialisme yang menjunjung

tinggi peri kemanusiaan, ajaran Islam, dan kolektivisme masyarakat

Indonesia sebagaimana kelihatan dalam desa.19

Sementara itu Moh. Yamin menyatakan bahwa Negara

Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan tidak

berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat), serta pemerintah

18Anonim, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992, hlm. 112-113.

19Franz Magnis Suseno SJ, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua, 1997, hlm. 18-19.

19

Page 20: Makalah UNX An

didasarkan pada sistem konstitusi dan tidak bersifat absolut, yang

kemudian ungkapan Moh. Yamin itu dimuat dalam penjelasan UUD

1945. Menurut Moh. Yamin, kekuasaan yang dilakukan pemerintah

itu hanya dan berasal dari undang-undang dan sekali-kali tidak

berdasarkan kekuatan senjata, kekuatan sewenang-wenang,

bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan segala

pertikaian dalam negara.20

Melalui perdebatan panjang di antara para founding

fathers, akhirnya diputuskan Pancasila sebagai dasar negara,

dimana setiap tindakan rakyat dan negara harus sesuai dengan

Pancasila. Konsekuensinya dalam bidang hukum, Pancasila

sebagai sumber hukum materiil dimana setiap isi peraturan

perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.21

Oleh karenanya konsep negara hukum Indonesia mengandung

asas ketuhanan, perikemanusiaan, kebangsaan, kedaulatan rakyat

dan asas keadilan sosial.

Berdasarkan penelusuran sejarah perjuangan

kemerdekaan tersebut, maka konsep negara hukum Indonesia

setidaknya mencerminkan 3 (tiga) substansi dasar, yaitu:

perlindungan HAM, peradilan yang fair, dan mengakui adanya asas

legalitas. Pengakuan dan perlindungan HAM mengandung

perlakuan yang sama di bidang hukum, ekonomi, sosial dan aspek

kehidupan lainnya. Peradilan yang fair, tentunya tidak memihak dan

20Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1986, hlm. 186.21Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi

Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Cetakan Kelima, 1983, hlm. 101-105.

20

Page 21: Makalah UNX An

bebas dari segala pengaruh kekuasaan lain. Sementara asas

legalitas menuntut agar tindakan dari setiap warga termasuk

aparatur negara, senantiasa didasarkan pada ketentuan hukum

yang jelas dan tegas. Kesemua substansi dasar konsep negara

hukum Indonesia itu memiliki karakteristik khas, karena dibungkus

dan dibingkai oleh Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

C. Eksistensi Asas Hukum dalam Negara Hukum Indonesia

Menyimak secara seksama pergulatan para founding

fathers dalam merumuskan bagunan negara Indonesia

sebagaimana yang telah diuraikan di atas, nampak bahwa konsep

negara hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari paradigma

yang berkembang pada saat itu. Paradigma hukum yang sangat

berpengaruh dan mendominasi para pemikir ketika itu, yaitu paham

positivisme yang kerapkali mengidentikan hukum dengan undang-

undang. Dalam paham positivisme tidak terdapat hubungan mutlak

antara hukum dengan moral,22 karena hukum merupakan closed

logical system, dimana tegaknya keadilan diimplementasikan

sebagai tegaknya prosedur peraturan perundang-undangan.

Terselenggaranya negara hukum dilakukan melalui pembuatan

sistem peraturan dan prosedur yang bersifat obyektif, otonom,

netral dan tidak memihak.

22Pemisahan antara hukum dan moral merupakan salah satu ciri utama dari aliran analytical jurisprudence, yang antara lain dianut oleh John Austin dan Hans Kelsen. Salah satu statement John Austin yang terkenal, yaitu: “Law is a command which obliges a person or persons,,, Law and orther commands are said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors”. John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, hlm.

21

Page 22: Makalah UNX An

Kuatnya dominasi mahzab positivisme hukum yang

mempengaruhi para pendiri bangsa, terlihat jelas dari ungkapan

Moh. Yamin. Lebih lanjut dikemukakan secara tegas oleh Moh.

Yamin:23

Kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Iitu hanya berdasarkan dan berasal dari pada undang-undang dan sekali-kali tidak berdasarkan kekuasaan senjata., kekuasaan sewenang-wenang atau kepercayaan, bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan segala pertiakain dalam negara. Republik Indonesia ialah suatau negara hukum (rechtsstaat/government of laws) tempat keadilan yang tertulis berlaku; bukanlah negara polisi atau negara militer, … bukanlah pula negara kekuasaan (machtsstaat)…. Republik Indonesia ialah negara yang melaksanakan keadilan yang dituliskan dalam undang-undang… . …warganegara diperintah dan diperlakukan oleh undang-undang keadilan yang dibuat oleh rakyat sendiri,….

Berdasarkan penjelasan Moh Yamin itu, maka

Simorangkir24 berpendapat bahwa Yamin sangat menekankan

pengertian istilah negara hukum dalam ruang lingkup yang formal.

Hal itu dapat dilihat dari persyaratan-persyaratan formal yang

diajukan oleh Yamin untuk terbentuknya suatu negara hukum.

Selain memberikan komentar terhadap Yamin, Simorangkir juga

memberikan catatan, bahwa pengertian negara hukum Indonesia

yang berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila, adalah berbeda

dengan pengertian negara hukum dalam kerangka rechtsstaat,

seperti yang ada di Belanda.

Dalam sebuah negara hukum yang mengedepankan

undang-undang dan peraturan tertulis sebagai patokan dalam

23Simorangkir, Loc. Cit.24Simorangkir, Ibid, hlm. 156-170

22

Page 23: Makalah UNX An

kehidupan berbangsa dan bernegara, maka keberadaan asas

hukum menjadi bagian esensial yang menopang tetap tegaknya

negara an sich. Hal ini dikarenakan setiap perundang-undangan

yang dibuat selalu didasari sejumlah asas atau prinsip dasar, yang

merupakan fondasi bagi tegaknya bangunan perundang-undangan

dan segenap peraturan pelaksanaannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terma

“asas” mempunyai 3 (tiga) pengertian, yaitu: (1) makna dasar

(sesuatu yg menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat); (2) dasar

cita-cita (perkumpulan atau organisasi); (3) hukum dasar. Sejalan

dengan pengertian tersebut, Sudikno Mertokusumo berpendapat

bahwa asas hukum bukanlah merupakan hukum kongkrit,

melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau

merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang terdapat di

dalam setiap sistem hukum.

Menurut Sudikno Metrokusumo, asas hukum merupakan

obyek dari dogmatik hukum yang termasuk dalam disiplin hukum,25

selain filsafat hukum, politik hukum, dan teori hukum. Di samping

asas hukum, obyek dogmatik hukum itu sendiri meliputi peraturan

hukum konkrit, sistem hukum dan penemuan hukum.

Sementara itu, Theo Huijbers berpendapat bahwa asas

hukum merupakan prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau

fundamen hukum dan merupakan pengertian-pengertian yang

25Disiplin adalah ilmu yang menguraikan tentang arah atau pedoman disipliner, yaitu tentang bagaimana kita harus bertindak untuk mendapatkan manfaat tentang apa yang kita ketahui. Djojodigoeno, What is Recht?, Djakarta: Untag University Press, 1971, hlm. 62.

23

Page 24: Makalah UNX An

menjadi titik tolak berpikir tetang hukum, termasuk titik tolak bagi

pembentukan undang-undang dan intepretasi terhadap undang-

undang itu sendiri. Untuk itu, Theo Huijbers mengklasifikasikan 3

(tiga) macam asas hukum.26 Pertama, asas hukum objektif yang

bersifat moral. Asas moral hukum dipandang sebagai sesuatu yang

idiil, yang belum tentu dapat diwujudkan dalam tata hukum yang

direncanakan. Pada dasarnya undang-undang yang dibuat harus

berpedoman pada prinsip-prinsip moral yang terkadang prinsip itu

hanya bersifat regulatif, dalam arti ketika undang-undang itu

bertentangan dengan prinsip-prinsip moral tetapi undang-undang

itu tetap sebagai produk hukum.

Kedua, asas hukum objektif yang bersifat rasional. Asas

rasional hukum merupakan prinsip-prinsip yang termasuk

pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional. Asas

rasional hukum tersebut bertalian dengan suatu aturan hidup

bersama yang masuk akal dan karenanya diterima sebagai titik

tolak bagi pembentukan tata hukum yang baik.

Ketiga, asas subjektif yang bersifat moral dan rasional.

Pada hakikatnya asas ini merupakan hak-hak yang ada pada

manusia dan menjadi titik tolak bagi pembentukan hukum. Dalam

asas hukum ini, melingkupi pengertian dan aturan hidup yang

bersifat idiil dan rasional.

Sejalan dengan itu, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa

tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas

26Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 79-88.

24

Page 25: Makalah UNX An

hukum yang ada di dalamnya, karena asas hukum ini memberi

makna etis kepada peraturan-peraturan hukum dan tata hukum.

Dalam hal ini Satjipto Rahardjo mengibaratkan asas hukum

sebagai jantung peraturan hukum, atas dasar 2 (dua) alasan:

a. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi

lahirnya sebuah peraturan hukum, yang berarti penerapan

peraturan-peraturan hukum itu bisa dikembalikan kepada asas

hukum.

b. Asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum

diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan

hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis

masyarakatnya.

Bertolak dari kedua pemikiran pakar hukum tersebut, maka

asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang

bersifat umum yang merupakan latar belakang dan mendasari

peraturan konkrit. Oleh karenanya tidak semua asas hukum

tertuang atau diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal konkrit,

melainkan menjiwai dan meletakan dasar-dasar pada keberlakukan

suatu peraturan perundang-undangan.

Asas-asas hukum digunakan untuk menilai ada tidaknya

suatu sistem hukum, sehingga Lon L. Fuller27 merumuskan asas-

asas hukum (principles of legality) dalam beberapa point penting.

Pertama, suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-

27Lon L. Fuller, The Morality of Law, New Haven: Yale University Press, Revised Edition, 1964

25

Page 26: Makalah UNX An

peraturan, yang tidak hanya mengandung sekedar keputusan-

keputusan yang bersifat ad hoc. Kedua, peraturan-peraturan yang

telah dibuat itu harus diumumkan. Ketiga, tidak boleh ada

peraturan yang berlaku surut. Keempat, peraturan-peraturan harus

disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. Kelima, suatu

sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang

bertentangan satu sama lain. Keenam, peraturan-peraturan tidak

boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat

dilakukan. Ketujuh, tidak boleh ada kebiasaan untuk sering

mengubah peraturan, sehingga menyebabkan orang akan

kehilangan orientasi. Kedelapan, harus ada kecocokan antara

peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.

Dalam pandangan Bellefroid, asas hukum sebagai norma

dasar yang dijabarkan dari bentuk positif dan yang oleh ilmu hukum

tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang bersifat umum.

Asas Hukum Umum itu, merupakan hukum positif dalam suatu

masyarakat. Sementara itu, menurut Eikima Hommes asas hukum

itu tidak boleh menganggap sebagai norma-norma hukum yang

konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum

atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum

praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. The

Liang Gie berpendapat bahwa asas adalah suatu dalil umum yang

dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyertakan cara-cara

khusus mengenai pelaksanaanya, yang diterapkan pada

26

Page 27: Makalah UNX An

serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi

perbuatan itu. Sementara itu, Paul Scholten mendefinisikan asas

hukum sebagai kecenderungan-kecenderungan yang diisyaratkan

oleh pandangan kesusilaan pada hukum, yang merupakan sifat-

sifat umum dengan segala keterbatasanya.

Bertolak dari pengertian asas hukum sebagaimana

dikemukakan para pakar di atas, maka keberadaan asas hukum

dalam konsep negara hukum Indonesia sebagai pancaran nilai-nilai

luhur Pancasila untuk kemudian menjiwai norma hukum. Aturan

hukum konkrit yang merupakan pengejewantahan norma-norma

hukum, merupakan patokan perilaku yang seharusnya dilakukan

manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara.

III. ASAS HUKUM SEBAGAI SARANA PEMBAHARUAN

MASYARAKAT DAN BIROKRASI

Pada dasarnya hukum berfungsi sebagai pelindung

kepentingan manusia, menciptakan ketertiban dalam tatanan

masyarakat dan mewujudkan keadilan dalam setiap aspek kehidupan

manusia. Fungsi dan tujuan hukum itu akan dapat dipahami oleh

manusia, apabila ungkapan kaidah tersebut diwujudkan menjadi

kenyataan konkrit dan dikomunikasikan dalam bahasa yang dapat

dimengerti oleh manusia. Dalam hal ini, hukum membutuhkan bahasa

sebagai alat komunikasi baik dalam bentuk lisan maupun tertulis,

27

Page 28: Makalah UNX An

sehingga bahasa merupakan alat untuk mewujudkan isi, makna atau

tujuan hukum an sich.

Undang-undang merupakan salah satu bentuk perwujudkan

hukum, yang menggunakan bahasa tertulis sebagai alat

komunikasinya. Rumusan pasal-pasal dalam suatu ketentuan undang-

undang, sesungguhnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai hukum

yang konkrit. Untuk itu, Sudikno Metrokusumo menyarankan agar

sarjana hukum harus mendalaminya ke lapisan yang lebih mendalam,

yaitu asas hukum. Terlebih lagi para sarjana hukum yang bekerja di

bidang profesinya, mengharuskan untuk menguasai tentang asas

hukum, peraturan hukum konkrit, sistem hukum dan penemuan

hukum.28

Menurut Sudikno Metrokusumo, terjadinya asas hukum

berlansung melalui pikiran yang bersifat abstrak, umum dan mendasar.

Asas hukum itu dikonkritisasi menjadi norma atau kaidah hukum dan

selanjutnya dikonkritisasi menjadi peraturan hukum konkrit. Asas

hukum sebagai unsur kreatif dan dinamis yang penting dalam tata

hukum, maka keberadaannya harus tetap memberikan nilai tambah

dengan selalu dalam situasi yang baru dan dapat diharapkan.29

Keberadaan asas hukum sebagai unsur kreatif menusia yang

dinamis, sesungguhnya juga mencerminkan peran hukum dalam

pembangunan yang senantiasa dituntut untuk dapat merespon

berbagai dinamika masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang.

28Sudikno Metrokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, Cetakan Keenam, 2012, hlm. 44-46.

29Ibid.

28

Page 29: Makalah UNX An

Pentingnya peran hukum dalam pembangunan sesungguhnya

merupakan implementasi dari Teori Hukum Pembangunan yang

digagas Mochtar Kusumaatmadja pada sekitar tahun 1970, yang

dimaksudkan untuk merespons perkembangan masyarakat yang

sedang membangun menuju masyarakat modern.

Kelahiran dan tumbuhnya Teori Hukum Pembangunan

bermula dari keprihatinan Mochtar Kusumaatmadja, yang melihat

adanya kelesuan (melaise) dan kekurangpercayaan akan fungsi

hukum dalam masyarakat. Kelesuan itu seakan menjadi paradoksal,

apabila dihadapkan dengan banyaknya harapan masyarakat akan

peranan hukum sebagai bentuk pengakuan dan spirit the rule of law,

untuk mewujudkan masyarakat yang tata tentrem kerta raharja.30

Atas dasar kedua anggapan yang tidak tepat itu, maka

Mochtar mulai meneliti akan arti dan fungsi hukum secara rasional,

khususnya dalam pembangunan nasional. Lahirnya Teori Hukum

Pembangunan didasarkan pada 2 (dua) aspek penting, yang di satu

sisi terdapat suatu asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan dan

dianggap menghambat perubahan masyarakat dan pembangunan

nasional. Sementara pada sisi yang lain, bahwa kondisi masyarakat

Indonesia telah mengalami perubahan pemikiran ke arah hukum

modern.

Atas dasar kedua aspek tersebut, selanjutnya Mochtar

Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok hukum

sesungguhnya dijadikan sebagai sarana perubahan masyarakat

30Otje Salman dan Eddy Danian (Eds), Op. Cit., hlm. 1.

29

Page 30: Makalah UNX An

secara tertib dan teratur. Untuk mencapai ketertiban itu diperlukan

adanya kepastian hukum dan keadilan, sehingga antara manusia,

masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat

dipisah-pisahkan.

Konsep hukum yang digagas oleh Mochtar tidak hanya

menyangkut fungsi hukum dalam pembangunan, melainkan juga

menegaskan hubungan antara kekuasaan politik dengan hukum

sebagaimana yang tercermin dalam ungkapannya: “Hukum tanpa

kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah

kelaliman”.31 Meskipun kekuasaan merupakan unsur mutlak dalam

suatu masyarakat yang diatur oleh dan berdasarkan hukum, akan

tetapi Mochtar menyarankan agar pemegang kekuasaan maupun

rakyat harus memiliki kesadaran akan kepentingan umum (public spirit)

dan mengabdi kepada kepentingan umum (sense of public service).

Dalam kaitannya dengan fungsi hukum, Mochtar

Kusumaatmadja memberikan pengertian tentang hukum merupakan

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan

manusia dalam masyarakat, yang meliputi pula lembaga-lembaga

(institution) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan

berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Pengertian hukum

yang dikemukakan Mochtar itu meliputi dimensi yang lebih luas, tidak

hanya dari aspek normatif melainkan juga dari aspek proses

bekerjanya hukum dalam konteks sosial secara menyeluruh. Hal itu

menunjukkan bahwa untuk memahami hukum secara holistik tidak

31Ibid.

30

Page 31: Makalah UNX An

hanya terdiri dari asas dan kaidah, tetapi juga meliputi lembaga dan

proses.

Keempat komponen hukum itu bekerja sama secara integral

untuk mewujudkan kaidah dalam kenyataannya dalam arti pembinaan

hukum yang pertama dilakukan melalui hukum tertulis berupa

peraturan perundang-undangan. Keempat komponen hukum yang

diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan, berarti 

pembinaan hukum setelah melalui pembaharuan hukum tertulis

dilanjutkan pada hukum yang tidak tertulis, utamanya melalui

mekanisme yurisprudensi.

Pada sisi lain, Mochtar juga mengakui akan kesulitan-kesulitan

dalam mengaplikasikan peranan hukum sebagai sarana pembaharuan

masyarakat. Oleh karenanya, Mochtar mengemukakan: 32

Kesulitan-kesulitan dalam menggunakan hukum sebagai suatu alat untuk mengadakan perubahan-perubahan kemasyarakatan adalah bahwa kita harus sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian pada masyarakat.Tindakan demikian tidak semata-mata merupakan tindakan yudikatif atau peradilan (yudikatif) yang secara formal harus tepat karena eratnya hukum dengan segi sosiologi, antropologi dan kebudayaan daripada persoalan.

 

Mencermati pemikiran Mochtar tersebut, maka setidaknya ada 2 (dua)

ciri khas dari Teori Hukum Pembangunan.

Pertama, peranan hukum sebagai sarana pembaharuan

masyarakat sebagaimana yang digagas Mochtar berbeda dengan

konsep Roscoe Pound sebagai pelopor sociological jurisprudence di

Amerika, dimana hukum berfungsi sebagai “law as a tool of social

32Mochtar Kusumaatmadja, ibid, hlm. 15.

31

Page 32: Makalah UNX An

engeneering”. Menurut Lili Rasjidi, perbedaan itu dikarenakan

sociological jurisprudence lebih tertuju pada peranan pembaharuan

yang dilakukan melalui keputusan pengadilan khususnya Supreme

Court sebagai mahkamah tertinggi, sedangkan ciri khas Teori Hukum

Pembangunan terletak pada menonjolnya perundang-undangan dalam

proses pembaharuan hukum di Indonesia.33

Teori  Hukum  Pembangunan memakai kerangka acuan pada

pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia

berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan, sehingga

norma, asas, lembaga dan kaidah yang tercakup di dalamnya meliputi

pula dimensi structure (struktur), culture (budaya) dan substance

(substansi). Terminologi struktur yang dimaksudkan Mochtar tidak

identik dengan legal structure yang dimaksudkan Lawrence Friedman,

karena Friedman hanya tertuju pada institusi pengadilan sebagaimana

dalam tradisi Anglo Saxon. Akar teori Friedman yang berasal dari

kultur Anglo Saxon terlihat jelas dalam kata pengantar bukunya:34

“The book is about the law in general, but since each society has its own legal system, the text best fits the legal system of the United States...... I’m most familiar with that system, and the law of the United States”.

Fokus perhatian Friedman terhadap institusi pengadilan,

banyak dipengaruhi oleh pemikiran Oliver Wendel Holmes. Dalam

tradisi hukum Common Law System dan Anglo American, yang

33Lili Rasjidi, “Dinamika Situasi dan Kondisi Hukum Dewasa Ini; Dari Perspektif Teori dan Filosofikal”, dalam Sinta Dewi (Penyunting), Kapita Selekta Tinjauan Kritis Atas Situasi dan Kondisi Hukum di Indonesia, Seiring Perkembangan Masyarakat Nasional dan Internasional, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009, hlm. 5.

34Lawrence Friedman, The Legal System: A Social Perspective, Russel Sage Foundation, 1975, hlm. 14-15.

32

Page 33: Makalah UNX An

bertolak dari doktrin precedent (stare decisis), dimana keputusan dari

pengadilan yang lebih tinggi biasanya mengikat terhadap pengadilan

yang lebih rendah serta kekuasaan hakim sangat luas dalam

memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum

dalam undang-undang, sehingga dapat membentuk hukum baru.35

Tidak identiknya antara hukum sebagai sarana pembaharuan

masyarakat dengan law as a tool social engeneering dari Roscoe

Pound diakui pula oleh Sjahran Basah, dengan 3 (tiga) alasan.

Pertama, sistem hukum di Amerika Serikat jauh berlainan dengan

sistem hukum di Indonesia, yang pada hakikatnya berakar dari

kelainan antara kedua masyarakat tersebut. Kedua, teori ini ditujukan

terutama kepada badan-badan peradilan khususnya Supreme Court

sebagai Mahkamah Tertinggi, hal ini membuktikan sistem hukum yang

dianut di negara-negara Anglo Saxon yang bersifat kasuistis dan

sebaliknya di Indonesia tidak demikian. Ketiga, “tool” menjelaskan

dirinya sebagai sikap mekanistis dalam penerapan hukum, sedangkan

di Indonesia hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup

dalam masyarakat. 36

Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat

dimaksudkan Mochtar untuk mendukung pembangunan di Indonesia,

sehingga pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai

35Kekuasaan hakim di negara-negara common law yang begitu luas, bahkan dapat mengenyampingkan undang-undang apabila hakim tersebut menyakini bahwa ketentuan suatu undang-undang tidak dapat diterapkan terhadap kasus yang ditanganinya. Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kotemporer, Jakarta: Fikahati Aneska, Cetakan Pertama, 2009, hlm. 47.

36Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentan Hukum, Bandung: Armico, 1986, hlm. 23

33

Page 34: Makalah UNX An

sarana (instrument) untuk membangun masyarakat. Konsep hukum

sebagai sarana pembaharuan sosial meyakini bahwa hukum

merupakan suatu sistem yang memiliki esensi nilai, bertujuan untuk

mempengaruhi dan menimbulkan perubahan sosial secara terarah dan

terencana. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tujuan hukum tidak bisa

dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat, nilai-nilai dan

falsafah hidup yang menjadi dasar hidup bermasyarakat.37

Dalam sisi rekayasa dan transformasi sosial yang dimotori

oleh aparatur negara telah menempatkan hanya negara sebagai satu-

satunya sumber hukum, sehingga pembinaan dilakukan agar

masyarakat sadar akan adanya hukum terutama hukum negara,

sehingga pembinaan hukum ditujukan untuk mewujudkan kesadaran

hukum masyarakat. Oleh karenanya, fungsi hukum dalam masyarakat

Indonesia yang sedang membangun ditujukan untuk menjamin

kepastian dan ketertiban, sekaligus dapat membantu proses

perubahan masyarakat.

Kedua, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan

merupakan elaborasi dari konsep pembinaan hukum dalam

masyarakat Indonesia yang dimodifikasi dan diadaptasi dari teori

Roscoe Pound, yang juga dipengaruhi oleh pendekatan filsafat

budaya dari F.S.G. Northrop serta pendekatan policy oriented dari

Herold D. Laswell dan Myres S. Mc Dougal untuk kemudian diolah dan

37Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum; Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Hukum, Bandung: Almuni, 2000, hlm. 3.

34

Page 35: Makalah UNX An

disesuaikan dengan kondisi Indonesia.38 Pokok-pokok pikiran yang

melandasi konsep hukum pembangunan adalah bahwa ketertiban dan

keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan diharapkan

dapat mengarahkan kegiatan manusia sesuai dengan tujuan

pembangunan. Dalam rangka itu, maka diperlukan sarana berupa

hukum tidak tertulis sesuai dengan hukum yang hidup dalam

masyarakat (the living law).

Dalam menempatkan fungsi hukum sebagai sarana

pembaharuan sosial, Mochtar Kusumaatmadja menganggap

pentingnya peranan perundang-undangan di Indonesia dalam proses

pembaharuan hukum lebih menonjol, jika dibandingkan dengan peran

yurisprudensi dan hakim sebagai pembaharu hukum. Konsep hukum

sebagai “alat” hanya akan memperkuat pengaruh paham legisme,

yang menyebabkan hukum bersifat stagnan dan cenderung tertinggal

dari dinamika perkembangan masyarakat. Pemikiran Mochtar itu

tercermin dari pernyataannya:39

Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu.

38Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesepuluh, 2007, hlm. 79.

39Otje Salman dan Eddy Danian (Eds), Op. Cit., hlm. 14.

35

Page 36: Makalah UNX An

Pemikiran Mochtar Kusumaatmadja yang menganggap

pentingnya peranan perundang-undangan, sekaligus menunjukkan

bahwa proses perubahan dan pembaharuan yang terjadi dalam rangka

pembangunan nasional harus senantiasa bertumpu pada norma-norma

hukum. Demikian pula halnya dengan pesatnya dinamika

pembangunan nasional yang membutuhkan semakin meningkatnya

penerimaan negara khususnya dari sektor perpajakan, harus pula

dibarengi dengan tersedianya produk perundang-undangan yang

memadai baik dari aspek tatacara dan mekanisme pemungutan

maupun penetapan sanksi terhadap pelanggarnya.

Menurut Romli Atmasasmita, konsep Hukum Pembangunan

Mochtar Kusumaatmadja yang digagas sekitar tahun 1970-an belum

mempertimbangkan faktor-faktor, seperti: sistem politik, sistem

birokrasi dan prinsip-prinsip “good governance” maupun pengaruh

globalisasi yang tidak hanya sekedar proses atau sebagai suatu

sistem, melainkan telah menjadi suatu ideologi masyarakat

internasional. Demikian pula halnya dengan berbagai fenomena

perubahan politik dan kehidupan ketatanegaraan yang terjadi pasca

reformasi, belum diakomodir dalam konsep Hukum Pembangunan

Mochtar Kusumaatmadja. Berbagai fenomena tersebut, yaitu:40

a. Kecenderungan kuat bahwa secara permanen, sistem ekonomi dan

politik ekonomi Indonesia menganut sistem liberalisme global yang

mengutamakan kekuatan pasar atau konglomerasi;

40Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm. 14.

36

Page 37: Makalah UNX An

b. Sistem pemusatan pemerintahan dalam satu negara kesatuan

telah bergeser kepada sistem otonomi pemerintahan sekalipun

bersifat terbatas;

c. Fenomena keberadaan sistem multi partai yang berdampak

terhadap sistem presidensial yang dianut dalam UUD 1945;

d. Ada petunjuk kuat bahwa saat ini tidak tampak jelas pemisahan

sistem kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif sehingga

sangat mempengaruhi proses pembentukan perundang-undangan

dan proses penegakan hukum;

e. Semakin kuatnya peranan dan pengaruh masyarakat sipil (civil

society organization) termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) disertai kebebasan kekuasaan pers sebagai pilar keempat

sistem kekuasaan.

Bertolak dari berbagai fenomena dan perubahan yang terjadi

pasca reformasi maupun dampak globalisasi tersebut, maka Romli

menyempurnakan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja melalui Teori

Hukum Pembangunan Generasi II. Ini dikarenakan adanya perbedaan

yang signifikan antara pelaksanaan pembangunan pada era tahun

1970-an dengan pembangunan naional pasca reformasi yang tidak

hanya menuntut adanya penataan hukum yang bersifat komprehensif,

melainkan juga sebagai respon atas sistem demokrasi yang menuntut

adanya dinamika dari pelaksanaan hak asasi manusia, akuntabilitas

dan transparansi yang memberikan akses informasi publik ke dalam

37

Page 38: Makalah UNX An

birokrasi. Sementara itu, konsep Hukum Pembangunan yang digagas

Mochtar Kusumaatmadja juga masih menghadapi hambatan-hambatan

dalam implementasinya, dikarenakan:41

(1) sukarnya menentukan tujuan dari pada perkembangan hukum

(pembaruan);

(2) sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan

suatu analisis deskriptif dan prediktif dan

(3) sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur

berhasil atau tidaknya usaha pembaruan hukum.

Salah satu elemen penting dari Teori Hukum Pembangunan

Generasi II, yaitu adanya perhatian terhadap pemberdayaan birokrasi

atau ”bureucratic engineering” (BE) dalam konteks fungsi dan peranan

hukum dalam pembangunan. Pendekatan bureucratic engineering

yang mengutamakan konsep panutan dan kepemimpinan, serta

bureucratic and social engineering yang merupakan harmonisasi

antara elemen birokrasi dan elemen masyarakat.

Teori Hukum Pembangunan yang digagas oleh Mochtar

Kusumaatmadja yang kemudian disempurnakan Romli Atmasasmita

tersebut, pada intinya menekankan fungsi hukum sebagai sarana

pembaharuan masyarakat khususnya dalam sebuah negara yang

sedang melaksanakan pembangunan. Hukum sebagai sarana

pembaharuan mempunyai peran untuk mengarahkan agar setiap

kegiatan pembangunan dapat terus berlanjut dalam suasana aman

dan tertib, sekaligus juga membantu setiap proses perubahan sesuai

41Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hlm. 4-5

38

Page 39: Makalah UNX An

dengan tujuan dan cita-cita pembangunan itu sendiri. Berbagai

pembaharuan yang terjadi dalam masyarakat, baik dalam tataran

substansi, kultur maupun struktur termasuk di dalamnya aparatur

penegak hukum, harus senantiasa diletakkan pada staatsidee dan

rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945 sebagai landasan idiil dan konstitusional bangsa

Indonesia.42

Demikian pula halnya dengan pemahaman aparat penegak

hukum terhadap asas-asas hukum, menjadi relevan dikedepankan di

tengah-tengah pesatnya dinamika perkembangan berbagai produk

perundang-undangan yang mengatur hampir segenap aspek

kehidupan manusia. Mengacu pada Teori Hukum Pembangunan

Generasi II sebagaimana yang dicetuskan oleh Romli Atmasasmita,

maka penguatan sikap mental dan profesional aparatur penegak

hukum merupakan bagian penting dari pemberdayaan birokrasi

(bureucratic engineering). Penguatan sikap mental dan peningkatan

profesionalitas aparatur penegak hukum, khususnya dalam memahami

asas-asas hukum menjadi batu ujian untuk tegaknya hukum

berdasarkan prinsip-prinsip kepastian, kemanfaatan dan keadilan.

Di tengah-tengah pesatnya dinamika perkembangan

perundang-undangan dan derasnya tuntutan masyarakat terhadap

penegakan hukum, menjadikan gagasan ideal Mochtar

42Menurut Roeslan Abdul Gani, Pancasila merupakan filsafat negara yang lahir sebagai collective-ideologie dari seluruh bangsa Indonesia, yang merupakan realiteit sekaligus noodzakelijkheid bagi keutuhan persatuan bangsa Indonesia. Di dalam Pancasila tercapai keseimbangan nilai rohaniah dan jasmaniah dari manusia Indonesia. Roeslan Abdul Gani, Ideologi dan Negara, Jakarta: Kementerian Penerangan, 1954, hlm. 37.

39

Page 40: Makalah UNX An

Kusumaatmadja dalam Teori Hukum Pembangunan menjadi sulit

untuk diimpelemtasikan. Hal ini dikarenakan Mochtar Kusumaatmadja

telah mengidentifikasi bahwa praktik pembentukan hukum dan

penegakan hukum masih mengalami hambatan-hambatan dalam

mengimpelemnatasikan Teori Hukum Pembangunan.

Berbagai hambatan sebagaimana yang dimaksudkan Mochtar

Kusumaatmadja antara lain dikarenakan sukarnya menentukan tujuan

dari perkembangan hukum (pembaruan), sedikitnya data empiris yang

dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan

prediktif, dan sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk

mengukur berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum. Terlebih lagi

dengan adanya upaya destruktif pengambil kebijakan dan aparatur

penegak hukum yang kerapkali memanfaatkan celah untuk

menggunakan hukum sekedar sebagai alat dengan tujuan

memperkuat dan mendahulukan kepentingan kekuasaan daripada

kepentingan dan manfaat bagi masyarakat.

IV. KRISTALISASI SISTEM NORMA, NILAI DAN SISTEM PERILAKU

DALAM ASAS-ASAS HUKUM

Pada hakikatnya, semua bangunan teoritis memuat dimensi

nilai, norma dan perilaku, karena setiap teori yang dibangun

dimaksudkan untuk kemanfaatan manusia dalam segenap aspek

kehidupannya. Berbagai teori hukum yang merupakan hasil pemikiran

para ilmuwan hukum, tidak terlepas dari ketiga aspek tersebut.

40

Page 41: Makalah UNX An

Nampaknya Teori Hukum Integratif yang digagas Romli

Atmasasmita juga bertolak dari keterkaitan antara sistem norma

(system of norm), sistem nilai (system of value) dan sistem perilaku

(system of behavior), bahkan secara tegas Romli Atmasasmita

mengakui ketiga aspek tersebut merupakan inti dari teori yang

dibangunnya. Lebih lanjut dijelaskan Romli:43

Hukum sebagai sistem norma yang mengutamakan “norms and logics” (Austin dan Kelsen) kehilangan arti dan makna dalam kenyataan kehidupan masyarakat jika tidak berhasil diwujudkan dalam sistem perilaku masyarakat dan birokrasi yang sama-sama taat hukum. Sebaliknya, hukum yang hanya dipandang sebagai sistem norma dan sistem perilaku saja, dan digunakan sebagai “mesin birokrasi”, akan kehilangan Roh-nya jika mengabaikan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai puncak nilai kesusilaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kuatnya sistem norma, sistem nilai dan sistem perilaku sebagai

pondasi dasar bangunan Teori Hukum Integratif, digambarkan Romli

dalam skema berikut:44

43Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Pertama, 2012, hlm. 103-104.44Ibid, hlm. 123.

41

Page 42: Makalah UNX An

Tidak terlepasnya aspek norma, nilai dan perilaku dalam Teori

Hukum Integratif, dikarenakan norma hukum an sich sebagaimana

dikemukakan Zevenbergen mengandung 2 (dua) hal.45 Pertama,

patokan penilaian yang menilai kehidupan masyarakat dan

menyatakan apa yang dianggap baik dan tidak baik. Kedua, patokan

tingkah laku, yaitu berdasarkan suatu penilaian tertentu maka

dibuatlah petunjuk-petunjuk tentang tingkah laku atau perbuatan-

perbuatan mana yang harus dijalankan dan yang harus ditinggalkan.

Pada satu sisi norma hukum sebagai patokan yang memuat penilaian

mengenai perbuatan-perbuatan tertentu, sedangkan di lain pihak

merupakan patokan, ukuran ataupun pedoman untuk berperilaku atau

bersikap tindak dalam hidup.

Norma sebagai konkritisasi dari nilai yang diharapkan dapat

menuntun sikap dan perilaku manusia, menjadikan norma tidak hanya

45Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000, hlm. 30.

TEORI HUKUM

INTEGRATIF

REKAYASA BIROKRASI

REKAYASA MASYARAKAT

SISTEM NORMA

SISTEM PERILAKU

SISTEM NILAI

42

Page 43: Makalah UNX An

berwujud perilaku tetapi juga predisposisi dari perilaku itu sendiri yaitu

dalam bentuk sikap. Perkembangan norma yang semakin banyak dan

demikian kompleks, maka keberadaannya perlu disunsun berdasarkan

prinsip-prinsip tertentu secara taat asas. Oleh karenanya, asas lebih

konkrit dari nilai tetapi berada di atas norma sehingga berfungsi

menjembatani hubungan antara nilai dengan norma-norma konkrit.46

Begitu pula halnya dengan pemikiran Roscoe Pound (1870-

1964) yang banyak mempengaruhi Teori Hukum Pembangunan dan

memandang hukum sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of

social engineering), sesungguhnya masih berkutat pada ketiga

persoalan pokok menyangkut nilai, norma dan perilaku manusia.

Dalam pandangan Roscoe Pound, eksistensi dan fungsi hukum dapat

dilihat dari 3 (tiga) perspektif. Pertama, pada masa lalu hukum

dipandang sebagai produk atau hasil dari kebudayaan (as to the past

as a product of civilization). Kedua, pada masa kini hukum dipandang

sebagai pemelihara kebudayaan (as to the present as a means of

maintaining civilization). Ketiga, pada masa yang akan datang hukum

dipandang sebagai alat untuk memperkaya kebudayaan (as to the

future as a means of furthering civilization)47

Pandangan Roscoe Pound tersebut juga menjadi perhatian

Romli Atmasasmita, sebelum menguraikan gagasannya mengenai

Teori Hukum Integratif. Menurut Romli, pandangan Roscoe Pound

46Sidharta, Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Jakarta: Refika Aditama, Cetakan Pertama, 2006, hlm. 37-38.

47Roscoe Pound, Interpretation of Legal History, Florida-USA: Holmes Beach, 1986, hlm. 143.

43

Page 44: Makalah UNX An

mengenai social engineering dilandaskan pada pendekatan

instrumentalisme hukum yang selalu berkutat pada proposisi, bahwa:48

a. Hukum memuat sumber doktrinal yang berupa nilai dan asas-asas,

yang memberikan isi dan bentuk pada perkembangan hukum;

b. Hukum selalu bersifat dinamis, tidak statis, dan secara alamiah

selalu dalam keadaan berkembang;

c. Hukum senantiasa berkembang secara teratur dalam suatu sistem

hukum untuk menghadapi tuntutan manusia;

d. Tugas hukum untuk memelihara dan menjaga agar proses

perkembangan hukum dapat teratur dan bekerja secara bebas.

Pada satu sisi patut diakui bahwa Teori Rekayasa Sosial

tersebut telah banyak mempengaruhi Teori Hukum Pembangunan

sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Hal ini dikarenakan kedua

teori tersebut bertolak dari mazhab hukum anthro-sociological

jurisprudence. Mazhab ini berkembang di Amerika Serikat sebagai

reaksi atas mazhab positivisme hukum yang diprakarsai oleh John

Austin (1790-1859) dan Hans Kelsen (1881-1973) pada abad ke-19.

Pada sisi yang lain, menunjukkan perbedaan pandangan

antara Roscoe Pound dengan Mochtar Kusumaatmadja. Salah satu

perbedaannya terletak pada penggunaan kata “tools” yang

diterjemahkan Mochtar sebagai sarana, bukan sebagai alat

sebagaimana dikemukakan Roscoe Pound. Sebagai akibat pengaruh

perkembangan industri dan teknologi, maka alat pengubah masyarakat

yang dimaksudkan Roscoe Pound merupakan suatu proses mekanis

48Romli Atmasasmita (Teori Hukum Integratif), Op. Cit, hlm. 71.

44

Page 45: Makalah UNX An

dimana peran pengubah itu dipegang oleh hakim.49 Oleh karenanya

perbedaan antara Roscoe Pound dan Mochtar Kusumaatmadja

terletak koteks sosialnya, dimana Roscoe Pound menganggap

putusan hakim sebagai titik tolak dari pembaharuan masyarakat

sebagaimana yang terjadi di negara-negara Anglo Saxon, sedangkan

Mochtar Kusumaatmadja mempercayai juga adanya peranan

perundang-undangan sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Sebelum sampai pada inti Teori Hukum Integratif, terlebih

dahulu Romli Atmasasmita menganalisis 2 (dua) teori hukum dari para

ahli hukum pendahulunya, yaitu: Teori Hukum Pembangunan Generasi

I dan Teori Hukum Progresif. Kedua teori hukum yang dibangun oleh

begawan hukum Mochtar Kusumaatmadja dan Satjipto Rahardjo

itulah, yang kemudian banyak mempengaruhi dan menjadi pijakan

bangunan Teori Hukum Integratif.

Dalam perkembangannya, Teori Hukum Pembangunan yang

digagas Mochtar Kusumaatmadja tidak sepenuhnya dapat

diimplemtasikan, sehingga perlu dikaji ulang dan diuji kembali

kesahihannya dalam kerangka perkembangan dinamika sosial

masyarakat Indonesia. Hal tersebut nampak dari tidak dijadikannya

Teori Hukum Pembangunan sebagai acuan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2009-2014, bahkan dalam

masa pasca reformasi sekarang ini. Padahal Mochtar Kusumaatmadja

melalui Teori Hukum Pembangunan telah menelaah pada upaya

49Zainudddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Keempat, 2008, hlm. 24-25.

45

Page 46: Makalah UNX An

penyeimbangan antara hukum positif (law in the books) dan hukum

yang hidup (living law). Fungsi hukum dengan demikian mengarah

pada sarana sebagai social order (sebagai fungsi paling konservatif

dari hukum) sekaligus sebagai sarana social engineering. Ini berarti,

pada tahap yang paling awal, hukum wajib mengarah pada

pencapaian ketertiban sebagai syarat menuju kepada kepastian dan

keadilan. Dalam hal ini, Mochtar Kusumaatmadja tetap menempatkan

keadilan sebagai tujuan paling ideal, sekalipun Mochtar

Kusumaatmadja meyakini makna keadilan itu sendiri bisa sangat

beragam.

Menurut Romli Atmasasmita, ada banyak faktor yang

menjadikan Teori Hukum Pembangunan tidak dijadikan acuan dalam

praktik pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pertama,

kebiasaan kurang terpuji selama 50 tahun Indonesia merdeka, yakni

bahwa pembuat kebijakan sering memanfaatkan celah untuk

menggunakan hukum sebagai alat dengan tujuan mendahulukan

kepentingan kekuasaan ketimbang kepentingan rakyat. Kedua,

sukarnya menentukan tujuan pembaruan hukum. Ketiga, sedikitnya

data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis

deskriptif dan prediktif. Keempat, sukarnya mengadakan ukuran yang

objektif untuk mengukur berhasil atau tidaknya usaha pembaruan

hukum. Kelima, para ahli hukum Indonesia menderita kebingungan

soal corak hukum yang dipandang cocok untuk dianut dan dipraktikkan

dalam kehidupan masyarakat di era globalisasi seperti saat ini.

46

Page 47: Makalah UNX An

Bertolak dari faktor-faktor itulah yang mendorong Romli

Atmasasmita mengajukan evaluasi mendasar yang disebutnya

reorientasi pembangunan hukum nasional. Adapun reorientasi yang

dilakukan Romli Atmasasmita meliputi 4 (empat) hal:

1. Reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan lokal (hukum

adat) ke dalam sistem hukum nasional.

2. Penataan ulang kelembagaan aparatur hukum yang masih

mengedepankan egoisme sektoral.

3. Masalah pemberdayaan masyarakat secara khusus yang

menitikberatkan pada partisipasi publik terhadap kinerja birokrasi.

4. masalah pemberdayaan birokrasi (bureaucratic engineering) dalam

konteks fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan.

Menurut Romli Atmasasmita, pemberdayaan birokrasi diharapkan

dapat mengisi kelemahan Teori Hukum Pembangunan sekaligus

merupakan komponen penting dari sistem hukum, selain substansi,

struktur, dan budaya hukum.

Meskipun telah melakukan penyempurnaan terhadap Teori

Hukum Pembangunan versi Mochtar Kusumaatmadja melalui Teori

Hukum Pembangunan Generasi II, nampaknya Romli Atmasasmita

menganggap hal itu belum dapat menjawab berbagai persoalan hukum

dan dinamika sosial yang terjadi di Indonesia. Menurut Romli

Atmasasmita, pada saat ini terdapat sikap skeptis masyarakat

terhadap penanganan perkara hukum di Indonesia dan banyaknya

praktisi hukum di Indonesia yang telah melupakan dan mengabaikan

47

Page 48: Makalah UNX An

nilai-nilai luhur Pancasila sebagai ideologi bangsa dan terjebak pada

‘kotak normatif’ yang telah diwariskan oleh aliran Kelsenian.

Pada sisi lain, Romli Atmasasmita juga memahami Teori

Hukum Progresif sebagai salah satu bentuk kegelisahan Satjipto

Rahardjo terhadap cara berhukum dan praktik penegakan hukum di

Indonesia. Keprihatinan Satjipto Rahardjo tersebut, sebagaimana

pernyataanya dalam sebuah artikelnya di media cetak Kompas

sebagai berikut:50

Saya merasakan suatu kegelisahan sesudah merenungkan lebih dari enam puluh tahun usia Negara Hukum Republik Indonesia. Berbagai rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini, tetapi tidak juga memberikan hasil yang memuaskan, bahkan grafik menunjukkan tren yang menurun. Orang tidak berbicara tentang kehidupan hukum yang makin bersinar, melainkan sebaliknya, kehidupan hukum yang makin suram.

Meskipun kegelisahan itu tertuju pada cara berhukum dan praktik

penagakan hukum, namun sesungguhnya pemikiran Satjipto Rahadjo

juga menyoroti tentang asas hukum yang disebutnya sebagai

kekeliruan dalam memahami fundamental hukum.

Teori Hukum Progresif sebagai salah satu bentuk

kegamangan Satjipto Rahardjo, memiliki karakter khas yang

menempatkan hukum untuk manusia dan bukan manusia untuk

hukum. Lebih lanjut dikatakan Satjipto Rahardjo bahwa hukum

seharusnya ditempatkan pada suatu kepentingan yang lebih besar,

yaitu mensejahterakan dan memberikan keadilan kepada rakyat

50Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 87.

48

Page 49: Makalah UNX An

(bringing justice to the people).51 Pemikiran hukum Satjipto Rahardjo

tersebut banyak dipengaruhi oleh aliran Critical Legal Studies (CLS)

yang dipelopori oleh Roberto Margarita Unger dan Duncan Kenedy.

Hal ini tidak terlepas dari keberadaan dan studi yang dilakukan Satjipto

Rahardjo di Amerika Serikat, bersamaan dengan berkembangnya

pergerakan studi hukum kritis. Salah satu ciri khas aliran CLS terletak

pada pandangannya tentang “superliberalism” yang mendesak fondasi

pikiran liberal tentang negara dan masyarakat, tentang kemerdekaan

dari ketergantungan dan penguasaan hubungan sosial oleh kemauan,

sampai ke titik ketika semuanya melebur jadi suatu ambisi besar

pembentukan suatu dunia sosial yang tidak begitu asing bagi suatu

kepribadian yang dapat senantiasa melanggar peraturan generatif dari

bangunan mental atau sosialnya sendiri serta menempatkan peraturan

dan bangunan lain sebagai penggantinya.52

Bertolak dari kegamangan tersebut, selanjutnya Romli

Atmasasmita menggagas lahirnya Teori Hukum Integratif yang tidak

lain merupakan rekonstruksi Teori Hukum Pembangunan Mochtar

Kusumaatmadja dan Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo.

Rekonstruksi teori hukum yang dilakukan Romli Atmasasmita itu

mencoba untuk menggunakan disiplin ilmu lain selain disiplin ilmu

hukum, sehingga tidak semata-mata berfokus pada masalah hukum

praktis. Menurut Romli Atmasasmita, pendekatan multi disiplin

51Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Kedua, 2009, hlm. 9.

52Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1999, hlm. 52.

49

Page 50: Makalah UNX An

sebagaimana juga dilakukan Richard A. Posner, dimaksudkan pada 2

(dua) hal. Pertama, untuk mengungkapkan ruang gelap (dark corners)

dari suatu sistem hukum dan menunjuk jalan arah perubahan

konstruktif yang sangat bernilai tentang unsur-unsur dari konsep

hukum. Kedua, untuk membantu menjawab pertanyaan mendasar

tentang sistem hukum yang intinya adalah pengetahuan tentang

sistem, yang berbeda maknanya dari sekadar mengetahui bagaimana

menjalankannya dalam suatu sistem di mana praktisi hukum telah

biasa melakukannya.

Pengaruh pemikiran Posner dalam Teori Hukum Integratif

tersebut, nampak jelas dari bagian pertama buku yang ditulis Romli

Atmasasmita dalam menjelaskan latar belakang pemikirannya.

Menurut Posner:53

It is in recognition of this limitation, of some conspicuous failures of lawyer-engineered legal reform, and of the progress of the social sciences that legal education, and legal thought more generally, have become more interdisciplinary in recent years and as a result (law being an undertheorized field relative to most of the academic field that might be thought to adjoin or intersect it) more “theoretical.” This is not entirely a good thing; a lot of legal theory is vacuous. But not all. Other disciplines have much to contribute to the understanding and improvement of law. In this book I examine contributions from economics, history, psychology, epistemology, and statistical inference.

Hal tersebut menunjukkan bahwa Romli Atmasasmita sangat sepakat

untuk menggunakan perspektif eksternal disiplin ilmu hukum,

khususnya disiplin ilmu ekonomi dalam menyelesaikan persoalan-

persoalan hukum.

53Richard A. Posner, Frontiers of Legal Theory, 2001, hlm. 1-2.

50

Page 51: Makalah UNX An

Dalam Teori Hukum Integratif, secara tegas Romli

Atmasasmita ingin merekonstruksi Teori Hukum Pembangunan

Mochtar Kusumaatmadja dan Teori Hukum Progresif Satjipto

Rahardjo. Penggunaan terma rekonstruksi yang digunakan Romli

Atmasasmita dalam membangun teorinya, setidaknya dapat ditelusuri

dari 2 (dua) hal.

Pertama, terma rekonstruksi (reconstruction) dipergunakan

untuk menunjukkan suatu proses pemulihan keadaan yang tidak lagi

berjalan normal. Dalam pengertian tersebut, maka hasil rekonstruksi

hukum yang dilakukan Romli Atmasasmita mungkin akan berbeda

dengan kedua teori awal yang digagas Mochtar Kusumaatmadja dan

Satjipto Rahardjo.

Kedua, terma rekonstruksi dapat berarti sebagai

pengembalian seperti semula. Dalam pengertian ini, maka rekonstruksi

pemikiran yang dilakukan oleh Romli Atmasasmita ditujukan untuk

mengembalikan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dan Satjipto

Rahardjo kepada tujuan semula dibangunnya kedua teori tersebut.

Dalam pada itu, Romli Atmasasmita melihat adanya

persamaan antara pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dan Satjipto

Rahardjo. Titik persamaannya terletak pada keinginan kedua

punggawa hukum tersebut, yang menghendaki agar hukum memiliki

peranan hukum yang jauh ke depan untuk memberikan arah dan

dorongan perkembangan masyarakat yang tertib, adil dan sejahtera.

Kedua pakar hukum juga sama-sama menyoroti akan hukum sebagai

51

Page 52: Makalah UNX An

sarana dinamis untuk kemajuan peradaban masyarakat, sehingga

perhatian keduanya tidak berhenti pada hukum sebagai sistem norma

(system of norms) tetapi juga menyoroti hukum sebagai sistem

perilaku (system of behavior).

Mencermati lebih jauh pemikiran Teori Hukum Integratif,

nampakanya Romli Atmasasmita tidak bermaksud untuk memulihkan

Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif dari

ketidakmampuannya berjalan normal dalam pembangunan dan praktik

penegakan hukum di Indonesia. Dalam hal ini Romli Atmasasmita

justru menempatkan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dan Satjipto

Rahardjo sebagai dua pilar teori yang sepadan. Sikap Romli

Atmasasmita itu nampak jelas dari berbagai uraiannya yang

menyadingkan Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum

Progresif, baik dari sudut pandang persamaan dan perbedaan antara

keduanya.

Satu point penting dari pemikiran Satjipto Rahardjo dalam

bangunan Teori Hukum Integratif, yang memandang hukum sebagai

sistem perilaku (system of behavior). Demikian pula halnya dengan

pemikiran Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan hukum tidak

hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur, tetapi juga meliputi

lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan

berlakunya hukum itu dalam kenyataan. Terma kaidah atau asas di sini

menunjuk kepada unsur idiil dalam sistem hukum, sedangkan terma

lembaga merujuk ke unsur operasional, dan terma proses merujuk ke

52

Page 53: Makalah UNX An

unsur faktual. Point penting itulah yang menjadi pijakan Romli

Atmasasmita dalam membangun Teori Hukum Integratif, sebagai

sebuah rekonstruksi terhadap pembangunan dan praktik penegakan

hukum di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, maka sikap dan posisi

keberpihakan Romli Atmasasmita dalam membangun Teori Hukum

Integratif tidak serta merta dapat dipisahkan dari pemikiran begawan

hukum Mochtar Kusumaatmadja dan Satjipto Raharjo. Pemikiran

Mochtar Kusumuatmadja yang menarik untuk dikedepankan sekaligus

sebagai basis teori dalam disertasi ini, menyangkut 2 (dua) hal:

1. Hukum adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah

moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain),

yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang sesuai

dengan hukum yang hidup (living law).

2. Hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur,

tetapi juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan

untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan.

Sementara itu, buah pikiran Satjipto Rahardjo yang relevan untuk

diperhatikan dan menjadi pijakan dalam penyusunan disertasi ini,

yaitu:

1. Hukum bertugas untuk manusia dan bukan sebaliknya, dimana

manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum.

53

Page 54: Makalah UNX An

2. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada

kesejahteraan manusia, sehingga tujuan hakiki dari hukum harus

pro-keadilan dan pro-rakyat.

Memahami titik pangkal Teori Hukum Integratif, maka

kedudukan asas hukum dalam pembangunan dan praktik penegakan

hukum menjadi bagian yang amat penting. Hal ini dikarenakan hukum

tidak semata-mata ditempatkan sebagai sistem norma (norm system)

yang merupakan produk legislasi semata, melainkan juga merupakan

sistem nilai (value system) yang mempengaruhi perilaku (behaviour)

aparat penegak hukum dan masyarakat dalam memaknai

implementasi hukum an sich. Mengacu pada Teori Hukum Integratif,

maka tiga hakikat utama hukum (sistem norma, perilaku, dan nilai)

yang disebut oleh Romli Atmasasmita dengan “tripartite character of

the Indonesian legal theory of social and bureaucratic engineering”,

merupakan rujukan penting dalam menelaah dan mengkaji lebih lanjut

dari implementasi Asas Kekhususan Sistematis (Systematiche

Specialeit) dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Mencermati lebih lanjut pemikiran Romli Atmasasmita, maka

setidaknya ada (tiga) substansi dasar dari Teori Hukum Integratif.

Pertama, bahwa Teori Hukum Integratif beruapaya untuk

menempatkan sistem nilai, sistem norma, dan sistem perilaku sebagai

sebuah rangkaian mulai dari tataran konsep yang sifatnya abstrak

sampai pada konkritisasi dalam tataran implementasi.

54

Page 55: Makalah UNX An

Kedua, sistem norma yang dimaksudkan oleh Romli

Atmasasmita tidak semata-mata tertuju pada peraturan perundang-

undangan, melainkan juga di dalamnya termasuk yurisprudensi yang

dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Meskipun

Mochtar Kusumaatmadja memandang pentingnya peran yurisprudensi

dalam rekayasa sosial, namun Mochtar Kusumaatmadja tidak pernah

memposisikan yurisprudensi sebagai peraturan perundang-undangan.

Perhatian Romli Atmasasmita terhadap peran yurisprudensi

sangat kental dari gagasannya untuk memasukan yurisprudensi dalam

hierarki peraturan perundang-undangan, melalui ungkapannya:54

Seharusnya sistem hukum Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menegaskan yurisprudensi termasuk ke dalam hirarki perundang-undangan.

Penegasan Romli Atmasasmita yang memasukkan yurisprudensi

dalam hierarki peraturan perundang-undangan bukan saja merupakan

bentuk akomodasi dari adanya unsur norma dan perilaku dalam sistem

hukum, melainkan juga telah mendobrak tradisi pemikiran yang

melarang hakim untuk membuat undang-undang, sebagaimana dianut

dalam Pasal 21 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor

Indonesië) yang menegaskan: “Geen rechter mag, bij wege van

algemeene verordening, dispotitie of reglement, uitspraak doen in

zaken, welke aan zijne beslissing zijn onderworpen”.55 Gagasan Romli

tersebut menunjukkan bentuk akomodasi dari tradisi common law 54Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 68.55Terjemahan bebas dari ketentuan Pasal 21 AB, bahwa hakim dilarang membuat putusan

yang bisa mengikat umum.

55

Page 56: Makalah UNX An

system, yang mengakui eksistensi dan peran hakum dan pembentukan

hukum sebagaimana yang terjadi di negara-negara Anglo Saxon.

Ketiga, pembaharuan sosial tidak hanya menyakut

pembaharuan masyarakat, melainkan juga mencakup pembaharuan

birokrasi sebagai sentral pelaksana penegakan hukum. Dalam hal ini

Romli Atmasasmita meyakini bahwa birokrasi merupakan titik utama

dari praktik penegakan hukum dan pembangunan nasional pada

umumnya. Pada titik ini Romli berkeyakinan bahwa struktur hukum

sebagaimana yang dimaksudkan Lawrence Friedmann hanya tertuju

pada hakim dan pengadilan, tidak cukup mampu untuk menggerakkan

lokomotif pembaharuan hukum yang lebih baik dan lebih adil.

Pemikiran tentang pentingnya Bureaucratic Social Engineering (BSE)

ini yang juga pernah ditawarkan Romli untuk menyempurnakan Teori

Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja, yang dinamakannya

sebagai Teori Hukum Pembangunan Generasi Kedua.

Ketiga substansi dasar dari Teori Hukum Integratif yang

digagas Romli Atmasasmita tersebut, maka fungsi birokrasi termasuk

di dalamnya aparat penegak hukum sangat memegang peran yang

sangat penting dalam pembangunan hukum dan pembaharuan

masyarakat. Apabila paham Sociological Jurisprudence dan Realisme

Hukum memandang hakim sebagai motor penggeraknya dan

positivisme maupun Teori Hukum Pembangunan I mengharapkan

peran legislator serta mazhab sejarah menekankan pada peran

akademisi, maka Teori Hukum Integratif menjadikan birokrasi

56

Page 57: Makalah UNX An

khususnya birokrasi aparatur penegak hukum sebagai motor

utamanya.

Melalui Teori Hukum Integratif, Romli Atmasasmita tidak

hanya mengintegrasikan antara sistem norma, nilai dan sistem

perilaku, tetapi juga menjadikan birokrasi sebagai eprisentrum

terhadap implementasi teorinya. Pemahaman terhadap “bureaucratic

and social engineering” yang kerapkali dikemukakannya,

mengharapkan adanya peran birokrasi sebagai pelopor

pembahaharuan masyarakat melalui konsep “panutan” dan

“kepemimpinan” dari aparatur birokarsi.

Romli Atmasasmita menyadari bahwa antara nilai, norma sdan

perilaku tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem hukum, akan tetapi

antara ketiganya merupakan suatu rangkaian yang saling

berhubungan. Untuk itu birokrasi sebagai lokomotif dari sistem norma

dan perilaku diharapkan dapat menghasilkan sistem nilai yang ideal

sebagai tuntunan dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.Tentu saja rekayasa nilai-nilai itu tetap berada dalam

bingkai Pancasila sebagai ideologi bangsa dan landasan idiil dari

berbagai produk hukum yang ada di Indonesia. Dengan mendasarkan

pada mazhab sejarah, Romli mengidentikan Pancasila sebagai

Volksgeist yang dipandangnya sebagai sistem nilai yang bisa

dipenetrasi secara langsung oleh masyarakat internasional tanpa

melalui proses empirik dan tempaan sejarah yang panjang. Menurut

Romli Atmasasmita:56

56Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 96-97.

57

Page 58: Makalah UNX An

Rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku, dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, itulah yang saya namakan Teori Hukum Integratif.

Dalam hal ini, Romli Atmasasmita menempatkan Pancasila sebagai

ideologi bangsa sekaligus sebagai alat pemersatu dalam konteks

heterogenitas sosial, kultural dan geografis di Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Statemen ini menunjukkan bahwa Teori Hukum

Integratif yang ditawarkan Romli Atmasasmita tidak bebas nilai,

bahkan dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum, seperti politik,

ekonomi maupun sosial budaya.

Substansi dasar Teori Hukum Integratif yang ditawarkan Romli,

sesungguhnya merupakan penelaahan mendalam tentang keberadaan

asas hukum sebagai pengejewantahan dari nilai-nilai luhur Pancasila.

Melalui asas hukum ini pula, yang kemudian mengantarkan nilai-nilai

luhur Pancasila dalam norma hukum sebagai aturan tingkah laku

secara konkrit. Hububungan interaksional antara nilai-nilai luhur

Pancasila, asas-asas hukum dan norma-norma yang menentukan

sistem perilaku, menjadikan antara ketiganya merupakan suatu

kesatuan yang terintegratif dalam rangka tegaknya hukum dan

keadilan.

V. PENUTUP

58

Page 59: Makalah UNX An

Berdasarkan pengembaraan dan penelaahan terhadap konsep

negara hukum, teori hukum pembangunan dan teori hukum integratif,

maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Asas hukum merupakan pondasi dasar dari bangunan negara

hukum Indonesia, yang berfungsi sebagai pengejewantahan nilai-

nilai luhur Pancasila.

2. Asas hukum yang berlangsung melalui pikiran dan bersifat abstrak,

umum dan mendasar, selanjutnya akan dikonkritisasi menjadi

norma dan peraturan hukum positif sebagai pedoman tingkah laku

manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara.

59

Page 60: Makalah UNX An

DAFTAR PUSTAKA

A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition, New Yor: MacMillan & Co., 2005.

Anonim, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992.

Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Ketiga, 2010.

CF Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern; Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung: Nusa Media, Cetakan Kedua, 2008.

Djojodigoeno, What is Recht?, Djakarta: Untag University Press, 1971.

Franz Magnis Suseno SJ, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua, 1997.

Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta: Erlangga, Cetakan Pertama, 2010.

Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: Bina Aksara, Cetakan Kedua, 1984.

60

Page 61: Makalah UNX An

Lawrence Friedman, The Legal System: A Social Perspective, Russel Sage Foundation, 1975.

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesepuluh, 2007.

Lon L. Fuller, The Morality of Law, New Haven: Yale University Press, Revised Edition, 1964

Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006.

Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum; Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Hukum, Bandung: Almuni, 2000.

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cetakan Kelima, 1983.

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Kedua, 2011.

Richard A. Posner, Frontiers of Legal Theory, 2001.

Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1999.

Roeslan Abdul Gani, Ideologi dan Negara, Jakarta: Kementerian Penerangan, 1954.

Roger E. Michener, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Indianapolis: Liberty Fund, 1982.

Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kotemporer, Jakarta: Fikahati Aneska, Cetakan Pertama, 2009.

Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Pertama, 2012.

Roscoe Pound, Interpretation of Legal History, Florida-USA: Holmes Beach, 1986.

----------, The Development of Constitutional Guarantees of Liberty, London: Yale University Press, 1957.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000.

61

Page 62: Makalah UNX An

----------, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Kedua, 2009.

Sidharta, Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Jakarta: Refika Aditama, Cetakan Pertama, 2006.

Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1986.

Sinta Dewi (Penyunting), Kapita Selekta Tinjauan Kritis Atas Situasi dan Kondisi Hukum di Indonesia, Seiring Perkembangan Masyarakat Nasional dan Internasional, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.

Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentan Hukum, Bandung: Armico, 1986.

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan Kesepuluh, 1984.

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, Cetakan Kedelapan, 2008.

Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Penyunting), Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Jakarta: Refika Aditama, Cetakan Pertama, 2008.

Sudikno Metrokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, Cetakan Keenam, 2012.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Waddi Armi, “Formappi: Kinerja DPR Periode 2009-2014 Paling Buruk”, http://rri.co.id/index.php, [28/8/2012].

Zainudddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Keempat, 2008.

62