makalah unx an
TRANSCRIPT
KONKRITISASI SISTEM NORMA, NILAI DAN SISTEM PERILAKU
DALAM ASAS-ASAS HUKUM
SEBAGAI REFLEKSI KONSEP NEGARA HUKUM
I. PENDAHULUAN
Seiring dengan bergulirnya Era Reformasi yang telah
mengubah secara radikal peta perpolitan nasional, yang ditandai
dengan bergesernya bandul kekuasaan dari eksekutif ke legislatif.
Semakin menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlihat
jelas, khususnya dalam bidang pengawasan, budget dan produk
legislasi. Terkesan posisi pemerintah yang selama pemerintahan Orde
Baru (Orba) begitu dominan, semakin melemah sejalan dengan
derasnya tuntutan reformasi dan demokratisasi.
Menguatnya peran DPR dalam bidang legislasi telah
mendapatkan legitimasi konstitusional, sebagaimana tercermin dalam
Amandemen Pertama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang
memindahkan bandul kekuasaan legislasi dari Presiden ke DPR.
Dalam Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, menyatakan
bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang
dengan persetujuan DPR, sedangkan dalam Pasal 5 Ayat (1)
Amandemen Pertama UUD 1945 menyatakan bahwa: “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat”. Demikian pula halnya dengan ketentuan Pasal 20
Ayat (1) Amanden Pertama UUD 1945 secara tegas menyatakan
bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Pada satu sisi, menguatnya kekuasaan DPR telah mendorong
produktivitas legislasi dalam bentuk perundang-undangan di bidang
administrasi. Sepanjang kurun waktu keberadaan DPR, sedikitnya
telah menghasilkan sekitar 1.213 undang-undang, 169 undang-undang
produk DPR periode 1999-2004, dan 77 undang-undang yang
dihasilkan DPR periode 2004-2009. Sementara untuk tahun 2011
tercatat DPR hanya mampu menyelesaikan 14 undang-undang dari
total 93 Rancangan Undang-Undang yang seharusnya diselesaikan.1
Banyaknya produk undang-undang tersebut merupakan suatu
fenomena negara hukum yang banyak dipengaruhi paham positivisme,
yang mengedepankan ketentuan tertulis sebagai dasar dan acuan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terlebih
dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) dimana negara
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan warganya, maka produk
perundang-undangan juga merambah dalam segenap aspek
kehidupan manusia, khususnya di bidang administrasi. Dalam
perkembangannya sebagaimana dikemukakan Mahfud MD, telah
terjadi pergeseran dari konsep negara hukum menjadi negara undang-
undang dan meletakannya sebagai ukuran kebenaran.2
1Waddi Armi, “Formappi: Kinerja DPR Periode 2009-2014 Paling Buruk”, http://rri.co.id/index.php, [28/8/2012].
2Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Kedua, 2011, hlm. 38.
2
Pada sisi lain, banyaknya produk legislasi dalam bentuk
undang-undang ternyata tidak dibarengi dengan pemahaman yang
utuh terhadap berbagai asas hukum dari para legislator. Padahal asas
hukum merupakan sarana perantara yang menjembatani antara nilai-
nilai kemanusiaan, yang akan diimplementasikan dalam bentuk norma
atau aturan tertulis. Kecenderungan itu nampak dari adanya berbagai
produk legislasi yang tidak lebih sebagai pembenaran atau alat
justifikasi, yang melegalkan berbagai penggunaan atribusi
kewenangan, sehingga hukum tidak lebih sebagai sarana
instrumentalistik semata. Hal itu antara lain tercermin dari banyaknya
perundang-undangan yang mengalami “krisis konstitusional”, setelah
melalui uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). Sepanjang tahun
2003 sampai bulan Nopember 2011 tercatat adanya 406 kali uji
materiil, dan 97 buah diantaranya dikabulkan oleh MK karena dianggap
bertentangan dengan konstitusi.
Menurut pengamatan penulis, setidaknya ada 3 (tiga) hal yang
menyebabkan banyaknya uji materiil terhadap undang-undang sebagai
produk legislasi. Pertama, banyaknya perundang-undangan yang
dihasilkan melebihi kebutuhannya. Misalnya saja dengan munculnya
berbagai peraturan perundangan yang semata-mata ditujukan untuk
mencetak mata anggaran baru, sehingga kehadiran sebuah undang-
undang tidak sesuai dengan konteks.
Kedua, banyaknya undang-undang yang merupakan pesan
pihak-pihak tertentu, baik perorangan, korporasi maupun untuk
3
memperkuat kewenangan suatu institusi. Hilangnya beberapa pasal
dalam Rancangan Undang-Undang Tembakau misalnya, merupakan
salah satu gambaran yang mempertegas adanya konsesi dan tawar-
menawar dalam meloloskan pasal-pasal yang menguntungkan
kepentingan pihak-pihak tertentu.
Ketiga, kurangnya pemahaman terhadap asas hukum dan
tidak jelasnya arah pembentukan undang-undang. Tidak adanya
adanya sinkronisasi dalam menyusun suatu perundang-undangan,
menyebabkan banyaknya ketentuan yang tumpang tindih bahkan
bertentangan antara satu dengan lainnya.
Carut marutnya penegakan hukum yang terjadi dalam
beberapa tahun terakhir ini, tidak terlepas dari ketiga persoalan pokok
dalam proses legislasi. Asas-asas hukum yang seharusnya menjadi
pondasi dari sebuah norma telah diterabas dan ditinggalkan, hanya
demi sebuah kepentingan pragmatik dan sesaat. Hal ini menjadikan
undang-undang tidak lebih sebagai produk politik yang miskin nilai dan
tidak memiliki landasan yang kokoh, yang pada gilirannya telah
menimbulkan problematik baik dalam tataran teori maupun praktik.
II. EKSISTENSI ASAS-ASAS HUKUM DALAM NEGARA HUKUM
A. Sejarah dan Perkembangan Negara Hukum
Dalam sejarah ketatanegaraan, konsep negara hukum
merupakan buah pemikiran Aristoteles (384-322 SM) yang pada
saat itu masih terbatas pada wilayah negara kota (Polis). Pada
4
negara kota tersebut setiap urusan negara dilakukan dengan
musyawarah (ecclesia), karena penduduknya sedikit dan
wilayahnya yang relatif kecil.3
Konsep negara hukum menurut Aristoteles merupakan
negara yang berdiri di atas hukum, yang menjamin keadilan
terhadap warganya. Keadilan merupakan prasyarat utama
tercapainya kebahagiaan, sehingga peraturan hukum yang dibuat
harus senantiasa mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup
antar warganya. Dalam pemikiran Aristoteles, yang memerintah
dalam negara yang sebenarnya adalah fikiran yang adil, sedangkan
manusia sebagai penguasa hanyalah pemegang hukum dan
keseimbangan saja. Oleh karenanya, yang terpenting adalah
mendidik manusia akan rasa susila dan melalui sikapnya akan
terjamin kebahagiaan hidup bagi warganya.4
Pemikiran Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “Politica”
dan “Ethica” menunjukkan akan sikapnya sebagai seorang realis,
agak berbeda dengan pemikiran Plato (429-347 SM) selaku
pendahulunya. Menurut Plato, Aristokrasi merupakan bentuk ideal
negara, yang diperintah oleh para cerdik pandai, berbakat dan
bijaksana.5 Kaum cerdik pandai tersebut adalah para filsuf,6 yang 3Negara kota (polis) merupakan suatu negara dengan luas wilayah yang sebesar kota, jumlah
penduduknya terbatas dan sifat urusan negara masih sangat sederhana. Bentuk pokok negara pada masa Yunani terdiri dari 3 (tiga) bentuk, yaitu: Monarchi, Oligarchi dan Demokrasi. Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: Bina Aksara, Cetakan Kedua, 1984, hlm. 18-19.
4Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cetakan Kelima, 1983, hlm. 153-154.
5Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, Cetakan Kedelapan, 2008, hlm. 18-20.6Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Generasi,
Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Ketiga, 2010, hlm. 40-41.
5
melalui penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dapat
menjalankan negara untuk mencapai kesejahteraan umum,
sehingga hanya filsuf yang pantas menjadi raja.7 Sementara itu,
Aristoteles berpendapat bahwa kekuasaan negara harus berada
pada rakyat, yang berkumpul dan merupakan suatu kesatuan
karena mereka telah memiliki kecerdasan dan kebajikan yang
cukup. Menurutnya, demokrasi merupakan wujud negara hukum
ideal dimana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan
dilaksanakan untuk kepentingan dan kebahagian rakyat.
Dalam realitasnya, konsep negara hukum yang digagas
Plato dan Aristoteles sulit diwujudkan, karena terlalu ideal dan tidak
dapat menemukan adanya penguasa yang mempunyai
pengetahuan dan moral yang baik, sebagaimana yang dicita-
citakan Plato dan Aristoteles. Pada perkembangannya, konsep
negara hukum kemudian muncul kembali pada sekitar abad XVII di
Eropa Barat, seiring dengan merebaknya kesewenang-wenangan
penguasa yang bersifat absolut. Konsep negara hukum yang
dikembangkan para ahli pikir saat itu, merupakan anti thesa dari
dominasi absolutisme yang kerapkali dipraktikan raja-raja di
dataran Eropa dan berbagai belahan dunia. Konsep negara hukum
di negara-negara Eropa Kontinental dikenal dengan istilah
rechtstaat dan di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan
istilah the rule of law.
7Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta: Erlangga, Cetakan Pertama, 2010, hlm. 13-14.
6
Terma rechtstaat kerapkali disepandankan dengan the rule
of law sebagai terjemahan dari istilah negara hukum, meskipun
sejatinya antara rechtstaat dan rule of law memiliki beberapa
perbedaan karakteristik. Dalam hal ini, Roscoe Pound8
mengindentifikasi terma rechtsaat lebih mencerminkan karakter
administrasi, sedangkan the rule of law menunjukkan karakter
yudisial. Sementara itu, Mahfud MD melihatnya perbedaan antara
rechtstaat dan rule of law terletak pada sudut operasionalisasi,
meskipun antara keduanya memiliki substansi yang sama terhadap
perlindungan hak asasi dan hak konstitusional warga negara.9
Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat 3 (tiga)
perspektif dalam membedakan antara konsep rechtsstaat dengan
the rule of law. Ketiga perspektif itu meliputi prosedur dan
pengaturan pembentukan serta penegakkan hukum, maupun
karakteristik dan perkembangannya dari kedua konsepsi tersebut.
Pertama, prosedur pengaturan dan penegakan hukum.
Dalam konsep rule of law tidak dikenal adanya peradilan
administrasi, karena dalam tradisi Anglo Saxon setiap orang
mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (equality
before the law), termasuk persamaan antara pejabat dengan
masyarakat. Persamaan di depan hukum antara pejabat dengan
rakyat harus tercermin juga dalam lapangan peradilan, sehingga
8Roscoe Pound, The Development of Constitutional Guarantees of Liberty, London: Yale University Press, 1957, hlm. 7.
9Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006, hlm. 25.
7
tidak perlu adanya peradilan administrasi yang secara khusus
menangani persoalan kewenangan diskresi dari pejabat negara.
Berbeda halnya di negara-negara Eropa Kontinental, yang
memasukkan peradilan administrasi10 sebagai salah satu unsur
rechtsstaat, khususnya untuk menangani kasus perbuatan
melanggar hukum oleh pejabat negara (onrechtmatige
overheidsdaad). Dimasukkannya unsur peradilan administrasi
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga
masyarakat terhadap sikap maupun tindakan pemerintah yang
melanggar hak asasi, sekaligus menjaga agar pejabat administrasi
negara dapat bertindak benar sesuai dengan aturan hukum.
Adanya peradilan administrasi merupakan sarana perlindungan
hukum, agar tidak setiap kewenangan diskresioner yang dilakukan
oleh pejabat negara dapat diadukan dan diadili melalui peradilan
umum, sehingga mereka dapat melaksanakan tugasnya tanpa
takut dipersalahkan sebagai akibat tindakan yang dilakukannya.
Kedua, karakteristik dan perkembangan negara hukum.
Konsep rechtsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme,
sehingga perkembangannya bersifat revolusioner. Konsep
rechtsstaat yang bertumpu pada civil law atau Modern Roman Law 10Di Perancis dikenal adanya 2 (dua) jajaran badan kehakiman, yaitu: (a) badan kehakiman
biasa yang menangani perkara pidana, perdata dan perkara khusus yang berpuncak pada cour de cassation (Mahkamah Kasasi); (b) badan kehakiman administrasi yang menangani perkara-perkara administrasi dan berpuncak pada conseil d’etat (dewan negara). Pada awalnya conseil d’etat merupakan dewan raja (curin regis) yang bertugas sebagai penasehat raja, sehingga conseil d’etat selain berfungsi sebagai badan peradilan administrasi juga berfungsi sebagai penasehat pemerintah dan senat serta chambre des desputes mengenai masalah perundang-undangan dan pemerintahan umum. Koerniatmanto Soetoprawiro, “Latar Belakang Konsep Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945 (Sebelum Amandemen)”, dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Penyunting), Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Jakarta: Refika Aditama, Cetakan Pertama, 2008, hlm. 172.
8
mempunyai karakteristik administratif. Hal ini dikarenakan
kekuasaan yang menonjol pada zaman Romawi adalah raja yang
membuat peraturan melalui dekrit untuk kemudian didelegasikan
kepada pejabat-pejabat administratif, sehingga pejabat administratif
yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang
bagaimana memutus suatu sengketa. Kuatnya peranan
administrasi negara dalam sistem kontinental antara lain ditandai
juga dengan munculnya cabang hukum baru yang disebut “droit
administratif”,11 yaitu hubungan antara administrasi negara dengan
rakyat. Untuk itu maka para pemikir hukum di negara-negara Eropa
Kontinental berupaya untuk membatasi kekuasaan administrasi
melalui pembentukan Peradilan Administrasi, yang dapat
memeriksa dan mengadili para pejabat negara atas kebijakan yang
telah dikeluarkannya.
Sementara itu konsep rule of law berkembang secara
evolusioner, yang bertumpu atas sistem common law sehingga
mempunyai karakteristik judicial. Kuatnya pengaruh hakim dalam
pembentukan hukum tercermin dari doktrin precedent (stare
decisis), dimana keputusan dari pengadilan yang lebih tinggi
biasanya mengikat terhadap pengadilan yang lebih rendah serta
kekuasaan hakim sangat luas dalam memberikan penafsiran,
sehingga dapat membentuk hukum baru. Pada saat itu para hakim
11Sebagian besar negara Eropa Kontinental memberlakukan sistem hukum istimewa untuk melindungi pejabat negara dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya, apabila mereka bersalah atas tindakan yang jika dilakukan oleh orang awam dianggap tidak sah. Sistem ini lahir di Perancis dengan nama Droit Administratif. CF Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern; Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung: Nusa Media, Cetakan Kedua, 2008, hlm.103.
9
di Inggris tidak mengadili berdasarkan dekrit seperti halnya yang
terjadi di Romawi, tetapi mengadili suatu perkara berdasarkan ”the
common custom of England” sehingga telah meletakan pondasi
dalam membangun peradilan yang adil (fair trial).
Ketiga, konsep rechtstaat di negara-negara Eropa
Kontinental yang banyak dipengaruhi oleh ajaran hukum murni
(reine rechtslehre) dari Hans Kelsen, telah memisahkan antara
hukum dan politik sehingga teori negara hukum identik dengan
hukum positif. Rechtstaat bersandar pada paham legisme, yang
menganggap hukum sebagai peraturan perundang-undangan
tertulis, sehingga kebenaran hukum terletak pada ketentuan-
ketentuan formal. Menurut konsep rechtstaat, fungsi hakim tidak
lebih sebagai terompet undang-undang yang menerapkan dan
membuat putusan sesuai dengan bunyi undang-undang.
Konsep the rule of law telah mengembangkan common law,
dimana kebenaran hukum dan keadilan tidak semata-mata pada
hukum tertulis, melainkan pada kebebasan hakim untuk menggali
nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat. Konsep the rule of
law di negara-negara Anglo Saxon tidak memisahkan antara
hukum dengan doktrin supremasi parlemen, termasuk ketika
melakukan realisasi rule of law sebagaimana dikemukakan Albert
Venn Dicey:12
... that the souverignity of parliament furthers the rule of law of the land... prevent those inroads upon the law of the land
12Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Kedua, 2009, hlm. 9.
10
which a despotic monarch... might effects by ordinances or decrees...The monopoly of legislation by parliament, with the balance between the House of Commons, the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges... and finally, explains the absence of administrative law.
Lebih lanjut Albert Venn Dicey, menjabarkan terma the rule of law
dalam sistem hukum Amerika Serikat dalam 3 (tiga) prinsip utama.
Pertama, bahwa tidak ada seorangpun yang dapat dihukum atau
dibuat menderita, kecuali melalui putusan pengadilan yang
menyatakan bersalah atas pelanggaran hukum yang telah
dilakukannya. Dalam suatu sistem pemrintahan telah memberi
peluang akan otoritas yang besar terhadap pemerintah, namun
pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang dan otoriter
terhadap warganya. Kedua, bahwa tidak ada seorangpun yang
kebal akan hukum, melainkan mempunyai kedudukan yang sama
dan sejajar di mata hukum. Apapun kedudukan, posisi, kekayaan
ekonomi maupun status sosialnya, maka setiap orang harus tunduk
pada hukum dan konstitusi yang menjadi pedoman dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, bahwa konstitusi
harus menjamin akan hak-hak pribadi yang bersifat asasi, sekaligus
mengakomodir prinsip-prinsip dasar yang dapat dijadikan acuan
oleh pengadilan untuk dapat mengadili seandainya terdapat
pelanggaran terhadap hak-hak pribadi warga negara.
Bertolak dari pemikiran itu, maka A.V. Dicey menyarankan
agar ketiga prinsip dasar tersebut harus mengilhami konsitusi
11
negara yang menganut paham “the rule of law”. Dalam kalimat lain,
Albert Venn Dicey, mengatakan:13
That “rule of law,” then, which forms a fundamental principle of the constitution, has three meanings, or may be regarded from three different points of view.
Ketiga prinsip dasar sebagaimana yang dimaksudkan Albert Venn
Dicey, yaitu14:
a. Supremasi hukum (supremacy of law) harus menjadi prinsip
dominan, sebagai perlawanan terhadap kekuasaan yang
sewenang-wenang;
b. Persamaan di depan hukum (equality before the law);
c. Konstitusi senantiasa memperhatikan hak-hak individual warga
(the constitution based on individual rights).
Nampaknya A.V. Dicey ingin menegaskan bahwa prinsip
equality before the law tidak hanya terbatas pada persamaan
kedudukan setiap orang di depan hukum, tetapi juga kesamaan
ruang lingkup peradilan dalam hal terjadinya pelanggaran hukum.
Hal ini menunjukkan bahwa A.V. Dicey tidak menyetujui adanya
peradilan administrasi, yang khusus untuk menangani pelanggaran
administrasi dan tata usaha negara yang dilakukan oleh pejabat
administrasi negara. Pengakuan atas keberadaan peradilan
administrasi di negara-negara Eropa Kontinental sesungguhnya
13Roger E. Michener, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Indianapolis: Liberty Fund, 1982, hlm.
14A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition,
New Yor: MacMillan & Co., 2005, hlm. 179.
12
menunjukan karakteristisk rechtstaats, yang berbeda dengan
konsep the rule of law di negara-negara Anglo Saxon.
Bertolak dari pemikiran Immanuel Kant, Paul Laband,
Julius Stahl, dan Fichte, maka pengertian rechtsstaat setidaknya
memiliki 4 (empat) pondasi pokok, yaitu: (1) adanya perlindungan
terhadap hak asasi manusi (grondrechten); (2) adanya pembagian
kekuasaan (scheiding van machten); (3) pemerintahan yang
berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan (4)
adanya peradilan tata usaha negara (administratieve rechspraak)
Sementara itu konsep the rule of law sebagaimana digagas A.V.
Dicey di Inggris, memiliki 3 (tiga) karakteristik, yaitu: (1) tegaknya
supremasi hukum (supremacy of law); (2) persamaan di depan
hukum (equality before the law), dan (3) adanya jaminan serta
mekanisme perlindungan diri atas hah (due process of law).
Lebih lanjut dikemukakan Dicey, bahwa The Rule of law
tidak mengenal adanya pengecualian bagi pejabat pemerintah atau
orang-orang tertentu terhadap hukum yang mengatur warganegara
secara keseluruhan, seperti halnya pada pengadilan administratif
(droit administratif). Kaitannya dengan due process of law, Dicey
menjelaskan bahwa jaminan atas hak-hak pribadi adalah hasil dari
keputusan pengadilan, dan parlemen sebagai simbolisasi raja dan
warga, khusus mengenai mekanisme pelaksanaan kekuasaan. Jadi
konstitusi yang berisikan jaminan hak-hak pribadi warganegara
merupakan hasil dari hukum umum negara
13
Menurut hemat penulis, pembedaan antara konsep rule of
law dan rechtstaat semata-mata untuk kajian akademis belaka dan
tidak tidak relevan untuk mempertentangkannya. Hal ini
dikerenakan antara keduanya memiliki gagasan universal tentang
cita sebuah negara, yang menjadikan hukum di atas segalanya,
Supremasi hukum berarti warganegara diatur oleh hukum, dan
dengan hukum itu sendiri seseorang dapat dihukum karena
melanggar hukum, bukan dihukum karena sesuatau alasan yang
lain. Kedua konsep negara hukum itu menolak kekuasaan tanpa
kendali dan melarang adanya kekuasaan yang dimonopoli oleh
suatu kelompok maupun orang-orang tertentu. Kedua konsep
tersebut juga memiliki satu maksud yang serupa, yaitu kehendak
untuk melindungi hak asasi manusia, dan penghormatan atas
martabat manusia (the dignity of man).
Dalam pandangan Zippelius, seperti dikemukakan oleh
Hamid S. Attamimi, menyebutkan bahwa prinsip negara hukum
adalah untuk membatasi perluasan dan penggunaan kekuasaan
secara totaliter dan sewenang-wenang. Prinsip-prinsip yang harus
ditegakkan meliputi jaminan terhadap perlindungan hak asasi
manusia, adanya pembagian kekuasaan secara pasti dan jelas,
penyelenggaraan pemerintahan yang berdasar pada undang-
undang, dan adanya pengawasan judicial terhadap
penyelenggaraan pemerintahan
14
Sebagai suatu gagasan yang bersifat universal, maka
ketika gagasan itu masuk ke sebuah negara akan dengan
sendirinya menyesuaikan diri dengan konteks dan akar sosial
budayanya. Menurut Satjipto Rahardjo, konsep negara hukum
merupakan sebuah institusi sosial yang memiliki struktur
sosiologisnya sendiri, yakni berangkat dari akar sosial dan budaya
sekaligus merupakan sebuah reaksi dan koreksi terhadap praktik
negara yang ada pada masanya. Seperti halnya negara Inggris dan
Amerika Serikat yang banyak dipengaruhi oleh perjuangan untuk
menegakan hukum dan keadilan (just law), maka setiap orang yang
hidup dalam di Inggris akan merasakan begitu kuatnya
pemeliharaan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Begitu pula halnya dengan Belanda yang bertolak dari persoalan
untuk meminimalisir perbuatan melawan hukum yang dilakukan
instansi pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad atau
detournement de pouvoir).
B. Konsep Negara Hukum Indonesia
Menilik pada perbedaan karakteristik rechtstaat dan
karakteristik the rule of law, menunjukkan bahwa konsep negara
hukum yang dianut Indonesia tidak identik dengan kedua konsep
negara hukum yang berkembang di negara-negara Eropa
Kontinental dan Anglo Saxon tersebut. Meskipun pada awalnya
tidak dapat dipungkiri akan kuatnya pengaruh konsepsi rechtstaat
15
dalam perumusan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
tercermin pada Bagian Umum, Sub Bagian Sistem Pemerintahan
Negara, yaitu pada angka I dan angka I butir 1 penyebutan
“rechtstaat” diungkapkan sampai dua kali.
Tidak identiknya konsep Negara Hukum Indonesia dengan
konsep rechtstaat kemudian ditegaskan pasca Sidang Tahunan
MPR 2001, yang sekaligus menunjukkan sikap netral yang tidak
semata-mata mengacu pada konsep rechtstaat tetapi juga
mengakui konsep the rule of law. Bahkan dalam amandemen
ketiga UUD 1945 telah menghapus kata-kata rechtstaat, sehinga
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan
bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Pada
amandemen ketiga tersebut sekaligus menghapus penjelasannya
yang menyatakan bahwa: “Negara Indonesia berdasar atas hukum
(rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”.
Amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, kembali
mencantumkan secara tegas konsepsi tentang negara hukum
Indonesia dalam materi muatan undang-undang dasar. Penegasan
tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3), “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.” Menurut Jimly Ashiddiqie dalam
naskah tersebut setidaknya mengandung pengertian sebagai
berikut:
Adanya pengakuan terhadap supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan hak asasi manusia dalam
16
Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warganegara dalam hukum, setrta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalah gunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.
Dihapusnya kata-kata rechstaat dalam redaksi UUD 1945
menunjukkan bahwa konsep Negara Hukum Indonesia memiliki
kekhasan dan karakteristik tersendiri. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Padmo Wahyono, bahwa konsep Negara Hukum
Indonesia harus disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, yang
menggunakan ukuran, pandangan hidup dan pandangan bernegara
Indonesia. Oleh karenanya Oemar Seno Adjie berpendapat bahwa
Negara Hukum di Indonesia disebut Negara Hukum Pancasila yang
memiliki ciri-ciri khas Indonesia karena berdasarkan dan
menjadikan Pancasila sebagai patokan dasar dan sumber hukum.
Pandangan kedua pakar hukum tersebut menunjukkan
bahwa konsep negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep
rechtstaat maupun the rule of law, yang lahir dan berkembang pada
masa renaissance yang memandang manusia sebagai makhluk
bebas dan merdeka, terpisah satu sama lain dan sejajar (men are
created free and equal). Sementara itu, konsep negara hukum
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, memandang manusia
dalam suasana kekeluargaan yang kesatuan dalam perbedaan dan
perbedaan dalam kesatuan.15
15Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan Kesepuluh, 1984, hlm. 39.
17
Agak berbeda dengan kedua pakar hukum di atas,
Sunaryati Hartono cenderung menginterpretasikan konsep negara
hukum ke arah konsep the rule of law.16 Namun demikian,
Sunaryati Hartono juga mengakui karakteristik khas negara hukum
Indonesia, yang hukumnya wajib mengupayakan agar
kesejahteraan umum dan kecerdasan bangsa semakin meningkat.
Di samping itu, faham religiusme dan kemanusiaan yang dianut
Indonesia berbeda dengan faham hukum alam yang dianut di
Eropa dan Amerika, karena dalam konteks negara hukum
Indonesia tidak memandang manusia sebagai individu yang berdiri
sendiri (atomistis), melainkan melihatnya sebagai manusia yang
tergantung atau berinteraksi dengan manusia lainnya.17
Dalam catatan sejarah, nampak bahwa wacana negara
hukum sebagai bentuk ideal dari tipe kenegaraan tidak menjadi
fokus perdebatan para founding fathers dalam forum Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Perdebatan pada saat itu lebih mengedepan tentang dasar negara,
bentuk negara, bentuk pemerintahan dan ide atau cita negara,
karena para pendiri negara terobsesi untuk mencari philofische
grondslag. Supomo dalam pidato pada Rapat BPUPKI tanggal 31
Mei 1945 mengungkapkan kata kunci “persatuan”, yang
16Sunarjati Hartono, Apakah Rule of Law Itu?17Sunaryati Hartono “Mencari Filsafah Hukum Indonesia Yang Melatarbelakangi Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945” dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof Dr. B. Arief Sidharta, SH., Jakarta: Refika Aditama, Cetakan Pertama, 2008, hlm. 151-154.
18
menunjukkan pola berpikir yang kuat dalam tradisi kultural di
Indonesia. Soepomo menuntut agar bentuk negara Indonesia harus
mengakomodir semangat kebatinan bangsa, yaitu hasrat rakyat
akan persatuan, baik persatuan hidup, persatuan antara dunia luar
dan bathin, maupun persatuan antara rakyat dan para
pemimpinnya. Semangat persatuan itulah yang kemudian disebut
Soepomo sebagai paham integralistik, yang sekaligus menolak
terhadap paham individualisme.18
Tidak jauh berbeda dengan pandangan Soepomo, maka
Muhammad Hatta juga telah secara tegas menolak paham
individualisme. Lebih lanjut Muhammad Hatta melengkapi bentuk
bangunan kenegaraan dengan demokrasi desa, yang bertolak dari
2 (dua) keyakinan yaitu: (1) cita-cita demokrasi telah memberikan
semangat kepada perjuangan kemerdekaan dalam pergerakan
nasional; dan (2) demokrasi tradisional di desa-desa Indonesia.
Meskipun Hatta sendiri mengakui bahwa cita-cita demokrasi sosial
di Indonesia bersumber pada paham sosialisme yang menjunjung
tinggi peri kemanusiaan, ajaran Islam, dan kolektivisme masyarakat
Indonesia sebagaimana kelihatan dalam desa.19
Sementara itu Moh. Yamin menyatakan bahwa Negara
Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat), serta pemerintah
18Anonim, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992, hlm. 112-113.
19Franz Magnis Suseno SJ, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua, 1997, hlm. 18-19.
19
didasarkan pada sistem konstitusi dan tidak bersifat absolut, yang
kemudian ungkapan Moh. Yamin itu dimuat dalam penjelasan UUD
1945. Menurut Moh. Yamin, kekuasaan yang dilakukan pemerintah
itu hanya dan berasal dari undang-undang dan sekali-kali tidak
berdasarkan kekuatan senjata, kekuatan sewenang-wenang,
bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan segala
pertikaian dalam negara.20
Melalui perdebatan panjang di antara para founding
fathers, akhirnya diputuskan Pancasila sebagai dasar negara,
dimana setiap tindakan rakyat dan negara harus sesuai dengan
Pancasila. Konsekuensinya dalam bidang hukum, Pancasila
sebagai sumber hukum materiil dimana setiap isi peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.21
Oleh karenanya konsep negara hukum Indonesia mengandung
asas ketuhanan, perikemanusiaan, kebangsaan, kedaulatan rakyat
dan asas keadilan sosial.
Berdasarkan penelusuran sejarah perjuangan
kemerdekaan tersebut, maka konsep negara hukum Indonesia
setidaknya mencerminkan 3 (tiga) substansi dasar, yaitu:
perlindungan HAM, peradilan yang fair, dan mengakui adanya asas
legalitas. Pengakuan dan perlindungan HAM mengandung
perlakuan yang sama di bidang hukum, ekonomi, sosial dan aspek
kehidupan lainnya. Peradilan yang fair, tentunya tidak memihak dan
20Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1986, hlm. 186.21Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Cetakan Kelima, 1983, hlm. 101-105.
20
bebas dari segala pengaruh kekuasaan lain. Sementara asas
legalitas menuntut agar tindakan dari setiap warga termasuk
aparatur negara, senantiasa didasarkan pada ketentuan hukum
yang jelas dan tegas. Kesemua substansi dasar konsep negara
hukum Indonesia itu memiliki karakteristik khas, karena dibungkus
dan dibingkai oleh Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.
C. Eksistensi Asas Hukum dalam Negara Hukum Indonesia
Menyimak secara seksama pergulatan para founding
fathers dalam merumuskan bagunan negara Indonesia
sebagaimana yang telah diuraikan di atas, nampak bahwa konsep
negara hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari paradigma
yang berkembang pada saat itu. Paradigma hukum yang sangat
berpengaruh dan mendominasi para pemikir ketika itu, yaitu paham
positivisme yang kerapkali mengidentikan hukum dengan undang-
undang. Dalam paham positivisme tidak terdapat hubungan mutlak
antara hukum dengan moral,22 karena hukum merupakan closed
logical system, dimana tegaknya keadilan diimplementasikan
sebagai tegaknya prosedur peraturan perundang-undangan.
Terselenggaranya negara hukum dilakukan melalui pembuatan
sistem peraturan dan prosedur yang bersifat obyektif, otonom,
netral dan tidak memihak.
22Pemisahan antara hukum dan moral merupakan salah satu ciri utama dari aliran analytical jurisprudence, yang antara lain dianut oleh John Austin dan Hans Kelsen. Salah satu statement John Austin yang terkenal, yaitu: “Law is a command which obliges a person or persons,,, Law and orther commands are said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors”. John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, hlm.
21
Kuatnya dominasi mahzab positivisme hukum yang
mempengaruhi para pendiri bangsa, terlihat jelas dari ungkapan
Moh. Yamin. Lebih lanjut dikemukakan secara tegas oleh Moh.
Yamin:23
Kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Iitu hanya berdasarkan dan berasal dari pada undang-undang dan sekali-kali tidak berdasarkan kekuasaan senjata., kekuasaan sewenang-wenang atau kepercayaan, bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan segala pertiakain dalam negara. Republik Indonesia ialah suatau negara hukum (rechtsstaat/government of laws) tempat keadilan yang tertulis berlaku; bukanlah negara polisi atau negara militer, … bukanlah pula negara kekuasaan (machtsstaat)…. Republik Indonesia ialah negara yang melaksanakan keadilan yang dituliskan dalam undang-undang… . …warganegara diperintah dan diperlakukan oleh undang-undang keadilan yang dibuat oleh rakyat sendiri,….
Berdasarkan penjelasan Moh Yamin itu, maka
Simorangkir24 berpendapat bahwa Yamin sangat menekankan
pengertian istilah negara hukum dalam ruang lingkup yang formal.
Hal itu dapat dilihat dari persyaratan-persyaratan formal yang
diajukan oleh Yamin untuk terbentuknya suatu negara hukum.
Selain memberikan komentar terhadap Yamin, Simorangkir juga
memberikan catatan, bahwa pengertian negara hukum Indonesia
yang berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila, adalah berbeda
dengan pengertian negara hukum dalam kerangka rechtsstaat,
seperti yang ada di Belanda.
Dalam sebuah negara hukum yang mengedepankan
undang-undang dan peraturan tertulis sebagai patokan dalam
23Simorangkir, Loc. Cit.24Simorangkir, Ibid, hlm. 156-170
22
kehidupan berbangsa dan bernegara, maka keberadaan asas
hukum menjadi bagian esensial yang menopang tetap tegaknya
negara an sich. Hal ini dikarenakan setiap perundang-undangan
yang dibuat selalu didasari sejumlah asas atau prinsip dasar, yang
merupakan fondasi bagi tegaknya bangunan perundang-undangan
dan segenap peraturan pelaksanaannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terma
“asas” mempunyai 3 (tiga) pengertian, yaitu: (1) makna dasar
(sesuatu yg menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat); (2) dasar
cita-cita (perkumpulan atau organisasi); (3) hukum dasar. Sejalan
dengan pengertian tersebut, Sudikno Mertokusumo berpendapat
bahwa asas hukum bukanlah merupakan hukum kongkrit,
melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau
merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang terdapat di
dalam setiap sistem hukum.
Menurut Sudikno Metrokusumo, asas hukum merupakan
obyek dari dogmatik hukum yang termasuk dalam disiplin hukum,25
selain filsafat hukum, politik hukum, dan teori hukum. Di samping
asas hukum, obyek dogmatik hukum itu sendiri meliputi peraturan
hukum konkrit, sistem hukum dan penemuan hukum.
Sementara itu, Theo Huijbers berpendapat bahwa asas
hukum merupakan prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau
fundamen hukum dan merupakan pengertian-pengertian yang
25Disiplin adalah ilmu yang menguraikan tentang arah atau pedoman disipliner, yaitu tentang bagaimana kita harus bertindak untuk mendapatkan manfaat tentang apa yang kita ketahui. Djojodigoeno, What is Recht?, Djakarta: Untag University Press, 1971, hlm. 62.
23
menjadi titik tolak berpikir tetang hukum, termasuk titik tolak bagi
pembentukan undang-undang dan intepretasi terhadap undang-
undang itu sendiri. Untuk itu, Theo Huijbers mengklasifikasikan 3
(tiga) macam asas hukum.26 Pertama, asas hukum objektif yang
bersifat moral. Asas moral hukum dipandang sebagai sesuatu yang
idiil, yang belum tentu dapat diwujudkan dalam tata hukum yang
direncanakan. Pada dasarnya undang-undang yang dibuat harus
berpedoman pada prinsip-prinsip moral yang terkadang prinsip itu
hanya bersifat regulatif, dalam arti ketika undang-undang itu
bertentangan dengan prinsip-prinsip moral tetapi undang-undang
itu tetap sebagai produk hukum.
Kedua, asas hukum objektif yang bersifat rasional. Asas
rasional hukum merupakan prinsip-prinsip yang termasuk
pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional. Asas
rasional hukum tersebut bertalian dengan suatu aturan hidup
bersama yang masuk akal dan karenanya diterima sebagai titik
tolak bagi pembentukan tata hukum yang baik.
Ketiga, asas subjektif yang bersifat moral dan rasional.
Pada hakikatnya asas ini merupakan hak-hak yang ada pada
manusia dan menjadi titik tolak bagi pembentukan hukum. Dalam
asas hukum ini, melingkupi pengertian dan aturan hidup yang
bersifat idiil dan rasional.
Sejalan dengan itu, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa
tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas
26Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 79-88.
24
hukum yang ada di dalamnya, karena asas hukum ini memberi
makna etis kepada peraturan-peraturan hukum dan tata hukum.
Dalam hal ini Satjipto Rahardjo mengibaratkan asas hukum
sebagai jantung peraturan hukum, atas dasar 2 (dua) alasan:
a. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya sebuah peraturan hukum, yang berarti penerapan
peraturan-peraturan hukum itu bisa dikembalikan kepada asas
hukum.
b. Asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum
diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan
hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis
masyarakatnya.
Bertolak dari kedua pemikiran pakar hukum tersebut, maka
asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang
bersifat umum yang merupakan latar belakang dan mendasari
peraturan konkrit. Oleh karenanya tidak semua asas hukum
tertuang atau diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal konkrit,
melainkan menjiwai dan meletakan dasar-dasar pada keberlakukan
suatu peraturan perundang-undangan.
Asas-asas hukum digunakan untuk menilai ada tidaknya
suatu sistem hukum, sehingga Lon L. Fuller27 merumuskan asas-
asas hukum (principles of legality) dalam beberapa point penting.
Pertama, suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-
27Lon L. Fuller, The Morality of Law, New Haven: Yale University Press, Revised Edition, 1964
25
peraturan, yang tidak hanya mengandung sekedar keputusan-
keputusan yang bersifat ad hoc. Kedua, peraturan-peraturan yang
telah dibuat itu harus diumumkan. Ketiga, tidak boleh ada
peraturan yang berlaku surut. Keempat, peraturan-peraturan harus
disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. Kelima, suatu
sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain. Keenam, peraturan-peraturan tidak
boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan. Ketujuh, tidak boleh ada kebiasaan untuk sering
mengubah peraturan, sehingga menyebabkan orang akan
kehilangan orientasi. Kedelapan, harus ada kecocokan antara
peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.
Dalam pandangan Bellefroid, asas hukum sebagai norma
dasar yang dijabarkan dari bentuk positif dan yang oleh ilmu hukum
tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang bersifat umum.
Asas Hukum Umum itu, merupakan hukum positif dalam suatu
masyarakat. Sementara itu, menurut Eikima Hommes asas hukum
itu tidak boleh menganggap sebagai norma-norma hukum yang
konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum
atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum
praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. The
Liang Gie berpendapat bahwa asas adalah suatu dalil umum yang
dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyertakan cara-cara
khusus mengenai pelaksanaanya, yang diterapkan pada
26
serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi
perbuatan itu. Sementara itu, Paul Scholten mendefinisikan asas
hukum sebagai kecenderungan-kecenderungan yang diisyaratkan
oleh pandangan kesusilaan pada hukum, yang merupakan sifat-
sifat umum dengan segala keterbatasanya.
Bertolak dari pengertian asas hukum sebagaimana
dikemukakan para pakar di atas, maka keberadaan asas hukum
dalam konsep negara hukum Indonesia sebagai pancaran nilai-nilai
luhur Pancasila untuk kemudian menjiwai norma hukum. Aturan
hukum konkrit yang merupakan pengejewantahan norma-norma
hukum, merupakan patokan perilaku yang seharusnya dilakukan
manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
III. ASAS HUKUM SEBAGAI SARANA PEMBAHARUAN
MASYARAKAT DAN BIROKRASI
Pada dasarnya hukum berfungsi sebagai pelindung
kepentingan manusia, menciptakan ketertiban dalam tatanan
masyarakat dan mewujudkan keadilan dalam setiap aspek kehidupan
manusia. Fungsi dan tujuan hukum itu akan dapat dipahami oleh
manusia, apabila ungkapan kaidah tersebut diwujudkan menjadi
kenyataan konkrit dan dikomunikasikan dalam bahasa yang dapat
dimengerti oleh manusia. Dalam hal ini, hukum membutuhkan bahasa
sebagai alat komunikasi baik dalam bentuk lisan maupun tertulis,
27
sehingga bahasa merupakan alat untuk mewujudkan isi, makna atau
tujuan hukum an sich.
Undang-undang merupakan salah satu bentuk perwujudkan
hukum, yang menggunakan bahasa tertulis sebagai alat
komunikasinya. Rumusan pasal-pasal dalam suatu ketentuan undang-
undang, sesungguhnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai hukum
yang konkrit. Untuk itu, Sudikno Metrokusumo menyarankan agar
sarjana hukum harus mendalaminya ke lapisan yang lebih mendalam,
yaitu asas hukum. Terlebih lagi para sarjana hukum yang bekerja di
bidang profesinya, mengharuskan untuk menguasai tentang asas
hukum, peraturan hukum konkrit, sistem hukum dan penemuan
hukum.28
Menurut Sudikno Metrokusumo, terjadinya asas hukum
berlansung melalui pikiran yang bersifat abstrak, umum dan mendasar.
Asas hukum itu dikonkritisasi menjadi norma atau kaidah hukum dan
selanjutnya dikonkritisasi menjadi peraturan hukum konkrit. Asas
hukum sebagai unsur kreatif dan dinamis yang penting dalam tata
hukum, maka keberadaannya harus tetap memberikan nilai tambah
dengan selalu dalam situasi yang baru dan dapat diharapkan.29
Keberadaan asas hukum sebagai unsur kreatif menusia yang
dinamis, sesungguhnya juga mencerminkan peran hukum dalam
pembangunan yang senantiasa dituntut untuk dapat merespon
berbagai dinamika masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang.
28Sudikno Metrokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, Cetakan Keenam, 2012, hlm. 44-46.
29Ibid.
28
Pentingnya peran hukum dalam pembangunan sesungguhnya
merupakan implementasi dari Teori Hukum Pembangunan yang
digagas Mochtar Kusumaatmadja pada sekitar tahun 1970, yang
dimaksudkan untuk merespons perkembangan masyarakat yang
sedang membangun menuju masyarakat modern.
Kelahiran dan tumbuhnya Teori Hukum Pembangunan
bermula dari keprihatinan Mochtar Kusumaatmadja, yang melihat
adanya kelesuan (melaise) dan kekurangpercayaan akan fungsi
hukum dalam masyarakat. Kelesuan itu seakan menjadi paradoksal,
apabila dihadapkan dengan banyaknya harapan masyarakat akan
peranan hukum sebagai bentuk pengakuan dan spirit the rule of law,
untuk mewujudkan masyarakat yang tata tentrem kerta raharja.30
Atas dasar kedua anggapan yang tidak tepat itu, maka
Mochtar mulai meneliti akan arti dan fungsi hukum secara rasional,
khususnya dalam pembangunan nasional. Lahirnya Teori Hukum
Pembangunan didasarkan pada 2 (dua) aspek penting, yang di satu
sisi terdapat suatu asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan dan
dianggap menghambat perubahan masyarakat dan pembangunan
nasional. Sementara pada sisi yang lain, bahwa kondisi masyarakat
Indonesia telah mengalami perubahan pemikiran ke arah hukum
modern.
Atas dasar kedua aspek tersebut, selanjutnya Mochtar
Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok hukum
sesungguhnya dijadikan sebagai sarana perubahan masyarakat
30Otje Salman dan Eddy Danian (Eds), Op. Cit., hlm. 1.
29
secara tertib dan teratur. Untuk mencapai ketertiban itu diperlukan
adanya kepastian hukum dan keadilan, sehingga antara manusia,
masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Konsep hukum yang digagas oleh Mochtar tidak hanya
menyangkut fungsi hukum dalam pembangunan, melainkan juga
menegaskan hubungan antara kekuasaan politik dengan hukum
sebagaimana yang tercermin dalam ungkapannya: “Hukum tanpa
kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah
kelaliman”.31 Meskipun kekuasaan merupakan unsur mutlak dalam
suatu masyarakat yang diatur oleh dan berdasarkan hukum, akan
tetapi Mochtar menyarankan agar pemegang kekuasaan maupun
rakyat harus memiliki kesadaran akan kepentingan umum (public spirit)
dan mengabdi kepada kepentingan umum (sense of public service).
Dalam kaitannya dengan fungsi hukum, Mochtar
Kusumaatmadja memberikan pengertian tentang hukum merupakan
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat, yang meliputi pula lembaga-lembaga
(institution) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan
berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Pengertian hukum
yang dikemukakan Mochtar itu meliputi dimensi yang lebih luas, tidak
hanya dari aspek normatif melainkan juga dari aspek proses
bekerjanya hukum dalam konteks sosial secara menyeluruh. Hal itu
menunjukkan bahwa untuk memahami hukum secara holistik tidak
31Ibid.
30
hanya terdiri dari asas dan kaidah, tetapi juga meliputi lembaga dan
proses.
Keempat komponen hukum itu bekerja sama secara integral
untuk mewujudkan kaidah dalam kenyataannya dalam arti pembinaan
hukum yang pertama dilakukan melalui hukum tertulis berupa
peraturan perundang-undangan. Keempat komponen hukum yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan, berarti
pembinaan hukum setelah melalui pembaharuan hukum tertulis
dilanjutkan pada hukum yang tidak tertulis, utamanya melalui
mekanisme yurisprudensi.
Pada sisi lain, Mochtar juga mengakui akan kesulitan-kesulitan
dalam mengaplikasikan peranan hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Oleh karenanya, Mochtar mengemukakan: 32
Kesulitan-kesulitan dalam menggunakan hukum sebagai suatu alat untuk mengadakan perubahan-perubahan kemasyarakatan adalah bahwa kita harus sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian pada masyarakat.Tindakan demikian tidak semata-mata merupakan tindakan yudikatif atau peradilan (yudikatif) yang secara formal harus tepat karena eratnya hukum dengan segi sosiologi, antropologi dan kebudayaan daripada persoalan.
Mencermati pemikiran Mochtar tersebut, maka setidaknya ada 2 (dua)
ciri khas dari Teori Hukum Pembangunan.
Pertama, peranan hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat sebagaimana yang digagas Mochtar berbeda dengan
konsep Roscoe Pound sebagai pelopor sociological jurisprudence di
Amerika, dimana hukum berfungsi sebagai “law as a tool of social
32Mochtar Kusumaatmadja, ibid, hlm. 15.
31
engeneering”. Menurut Lili Rasjidi, perbedaan itu dikarenakan
sociological jurisprudence lebih tertuju pada peranan pembaharuan
yang dilakukan melalui keputusan pengadilan khususnya Supreme
Court sebagai mahkamah tertinggi, sedangkan ciri khas Teori Hukum
Pembangunan terletak pada menonjolnya perundang-undangan dalam
proses pembaharuan hukum di Indonesia.33
Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada
pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia
berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan, sehingga
norma, asas, lembaga dan kaidah yang tercakup di dalamnya meliputi
pula dimensi structure (struktur), culture (budaya) dan substance
(substansi). Terminologi struktur yang dimaksudkan Mochtar tidak
identik dengan legal structure yang dimaksudkan Lawrence Friedman,
karena Friedman hanya tertuju pada institusi pengadilan sebagaimana
dalam tradisi Anglo Saxon. Akar teori Friedman yang berasal dari
kultur Anglo Saxon terlihat jelas dalam kata pengantar bukunya:34
“The book is about the law in general, but since each society has its own legal system, the text best fits the legal system of the United States...... I’m most familiar with that system, and the law of the United States”.
Fokus perhatian Friedman terhadap institusi pengadilan,
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Oliver Wendel Holmes. Dalam
tradisi hukum Common Law System dan Anglo American, yang
33Lili Rasjidi, “Dinamika Situasi dan Kondisi Hukum Dewasa Ini; Dari Perspektif Teori dan Filosofikal”, dalam Sinta Dewi (Penyunting), Kapita Selekta Tinjauan Kritis Atas Situasi dan Kondisi Hukum di Indonesia, Seiring Perkembangan Masyarakat Nasional dan Internasional, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009, hlm. 5.
34Lawrence Friedman, The Legal System: A Social Perspective, Russel Sage Foundation, 1975, hlm. 14-15.
32
bertolak dari doktrin precedent (stare decisis), dimana keputusan dari
pengadilan yang lebih tinggi biasanya mengikat terhadap pengadilan
yang lebih rendah serta kekuasaan hakim sangat luas dalam
memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum
dalam undang-undang, sehingga dapat membentuk hukum baru.35
Tidak identiknya antara hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat dengan law as a tool social engeneering dari Roscoe
Pound diakui pula oleh Sjahran Basah, dengan 3 (tiga) alasan.
Pertama, sistem hukum di Amerika Serikat jauh berlainan dengan
sistem hukum di Indonesia, yang pada hakikatnya berakar dari
kelainan antara kedua masyarakat tersebut. Kedua, teori ini ditujukan
terutama kepada badan-badan peradilan khususnya Supreme Court
sebagai Mahkamah Tertinggi, hal ini membuktikan sistem hukum yang
dianut di negara-negara Anglo Saxon yang bersifat kasuistis dan
sebaliknya di Indonesia tidak demikian. Ketiga, “tool” menjelaskan
dirinya sebagai sikap mekanistis dalam penerapan hukum, sedangkan
di Indonesia hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat. 36
Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
dimaksudkan Mochtar untuk mendukung pembangunan di Indonesia,
sehingga pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai
35Kekuasaan hakim di negara-negara common law yang begitu luas, bahkan dapat mengenyampingkan undang-undang apabila hakim tersebut menyakini bahwa ketentuan suatu undang-undang tidak dapat diterapkan terhadap kasus yang ditanganinya. Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kotemporer, Jakarta: Fikahati Aneska, Cetakan Pertama, 2009, hlm. 47.
36Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentan Hukum, Bandung: Armico, 1986, hlm. 23
33
sarana (instrument) untuk membangun masyarakat. Konsep hukum
sebagai sarana pembaharuan sosial meyakini bahwa hukum
merupakan suatu sistem yang memiliki esensi nilai, bertujuan untuk
mempengaruhi dan menimbulkan perubahan sosial secara terarah dan
terencana. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tujuan hukum tidak bisa
dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat, nilai-nilai dan
falsafah hidup yang menjadi dasar hidup bermasyarakat.37
Dalam sisi rekayasa dan transformasi sosial yang dimotori
oleh aparatur negara telah menempatkan hanya negara sebagai satu-
satunya sumber hukum, sehingga pembinaan dilakukan agar
masyarakat sadar akan adanya hukum terutama hukum negara,
sehingga pembinaan hukum ditujukan untuk mewujudkan kesadaran
hukum masyarakat. Oleh karenanya, fungsi hukum dalam masyarakat
Indonesia yang sedang membangun ditujukan untuk menjamin
kepastian dan ketertiban, sekaligus dapat membantu proses
perubahan masyarakat.
Kedua, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan
merupakan elaborasi dari konsep pembinaan hukum dalam
masyarakat Indonesia yang dimodifikasi dan diadaptasi dari teori
Roscoe Pound, yang juga dipengaruhi oleh pendekatan filsafat
budaya dari F.S.G. Northrop serta pendekatan policy oriented dari
Herold D. Laswell dan Myres S. Mc Dougal untuk kemudian diolah dan
37Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum; Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Hukum, Bandung: Almuni, 2000, hlm. 3.
34
disesuaikan dengan kondisi Indonesia.38 Pokok-pokok pikiran yang
melandasi konsep hukum pembangunan adalah bahwa ketertiban dan
keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan diharapkan
dapat mengarahkan kegiatan manusia sesuai dengan tujuan
pembangunan. Dalam rangka itu, maka diperlukan sarana berupa
hukum tidak tertulis sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat (the living law).
Dalam menempatkan fungsi hukum sebagai sarana
pembaharuan sosial, Mochtar Kusumaatmadja menganggap
pentingnya peranan perundang-undangan di Indonesia dalam proses
pembaharuan hukum lebih menonjol, jika dibandingkan dengan peran
yurisprudensi dan hakim sebagai pembaharu hukum. Konsep hukum
sebagai “alat” hanya akan memperkuat pengaruh paham legisme,
yang menyebabkan hukum bersifat stagnan dan cenderung tertinggal
dari dinamika perkembangan masyarakat. Pemikiran Mochtar itu
tercermin dari pernyataannya:39
Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu.
38Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesepuluh, 2007, hlm. 79.
39Otje Salman dan Eddy Danian (Eds), Op. Cit., hlm. 14.
35
Pemikiran Mochtar Kusumaatmadja yang menganggap
pentingnya peranan perundang-undangan, sekaligus menunjukkan
bahwa proses perubahan dan pembaharuan yang terjadi dalam rangka
pembangunan nasional harus senantiasa bertumpu pada norma-norma
hukum. Demikian pula halnya dengan pesatnya dinamika
pembangunan nasional yang membutuhkan semakin meningkatnya
penerimaan negara khususnya dari sektor perpajakan, harus pula
dibarengi dengan tersedianya produk perundang-undangan yang
memadai baik dari aspek tatacara dan mekanisme pemungutan
maupun penetapan sanksi terhadap pelanggarnya.
Menurut Romli Atmasasmita, konsep Hukum Pembangunan
Mochtar Kusumaatmadja yang digagas sekitar tahun 1970-an belum
mempertimbangkan faktor-faktor, seperti: sistem politik, sistem
birokrasi dan prinsip-prinsip “good governance” maupun pengaruh
globalisasi yang tidak hanya sekedar proses atau sebagai suatu
sistem, melainkan telah menjadi suatu ideologi masyarakat
internasional. Demikian pula halnya dengan berbagai fenomena
perubahan politik dan kehidupan ketatanegaraan yang terjadi pasca
reformasi, belum diakomodir dalam konsep Hukum Pembangunan
Mochtar Kusumaatmadja. Berbagai fenomena tersebut, yaitu:40
a. Kecenderungan kuat bahwa secara permanen, sistem ekonomi dan
politik ekonomi Indonesia menganut sistem liberalisme global yang
mengutamakan kekuatan pasar atau konglomerasi;
40Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm. 14.
36
b. Sistem pemusatan pemerintahan dalam satu negara kesatuan
telah bergeser kepada sistem otonomi pemerintahan sekalipun
bersifat terbatas;
c. Fenomena keberadaan sistem multi partai yang berdampak
terhadap sistem presidensial yang dianut dalam UUD 1945;
d. Ada petunjuk kuat bahwa saat ini tidak tampak jelas pemisahan
sistem kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif sehingga
sangat mempengaruhi proses pembentukan perundang-undangan
dan proses penegakan hukum;
e. Semakin kuatnya peranan dan pengaruh masyarakat sipil (civil
society organization) termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) disertai kebebasan kekuasaan pers sebagai pilar keempat
sistem kekuasaan.
Bertolak dari berbagai fenomena dan perubahan yang terjadi
pasca reformasi maupun dampak globalisasi tersebut, maka Romli
menyempurnakan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja melalui Teori
Hukum Pembangunan Generasi II. Ini dikarenakan adanya perbedaan
yang signifikan antara pelaksanaan pembangunan pada era tahun
1970-an dengan pembangunan naional pasca reformasi yang tidak
hanya menuntut adanya penataan hukum yang bersifat komprehensif,
melainkan juga sebagai respon atas sistem demokrasi yang menuntut
adanya dinamika dari pelaksanaan hak asasi manusia, akuntabilitas
dan transparansi yang memberikan akses informasi publik ke dalam
37
birokrasi. Sementara itu, konsep Hukum Pembangunan yang digagas
Mochtar Kusumaatmadja juga masih menghadapi hambatan-hambatan
dalam implementasinya, dikarenakan:41
(1) sukarnya menentukan tujuan dari pada perkembangan hukum
(pembaruan);
(2) sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan
suatu analisis deskriptif dan prediktif dan
(3) sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur
berhasil atau tidaknya usaha pembaruan hukum.
Salah satu elemen penting dari Teori Hukum Pembangunan
Generasi II, yaitu adanya perhatian terhadap pemberdayaan birokrasi
atau ”bureucratic engineering” (BE) dalam konteks fungsi dan peranan
hukum dalam pembangunan. Pendekatan bureucratic engineering
yang mengutamakan konsep panutan dan kepemimpinan, serta
bureucratic and social engineering yang merupakan harmonisasi
antara elemen birokrasi dan elemen masyarakat.
Teori Hukum Pembangunan yang digagas oleh Mochtar
Kusumaatmadja yang kemudian disempurnakan Romli Atmasasmita
tersebut, pada intinya menekankan fungsi hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat khususnya dalam sebuah negara yang
sedang melaksanakan pembangunan. Hukum sebagai sarana
pembaharuan mempunyai peran untuk mengarahkan agar setiap
kegiatan pembangunan dapat terus berlanjut dalam suasana aman
dan tertib, sekaligus juga membantu setiap proses perubahan sesuai
41Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hlm. 4-5
38
dengan tujuan dan cita-cita pembangunan itu sendiri. Berbagai
pembaharuan yang terjadi dalam masyarakat, baik dalam tataran
substansi, kultur maupun struktur termasuk di dalamnya aparatur
penegak hukum, harus senantiasa diletakkan pada staatsidee dan
rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai landasan idiil dan konstitusional bangsa
Indonesia.42
Demikian pula halnya dengan pemahaman aparat penegak
hukum terhadap asas-asas hukum, menjadi relevan dikedepankan di
tengah-tengah pesatnya dinamika perkembangan berbagai produk
perundang-undangan yang mengatur hampir segenap aspek
kehidupan manusia. Mengacu pada Teori Hukum Pembangunan
Generasi II sebagaimana yang dicetuskan oleh Romli Atmasasmita,
maka penguatan sikap mental dan profesional aparatur penegak
hukum merupakan bagian penting dari pemberdayaan birokrasi
(bureucratic engineering). Penguatan sikap mental dan peningkatan
profesionalitas aparatur penegak hukum, khususnya dalam memahami
asas-asas hukum menjadi batu ujian untuk tegaknya hukum
berdasarkan prinsip-prinsip kepastian, kemanfaatan dan keadilan.
Di tengah-tengah pesatnya dinamika perkembangan
perundang-undangan dan derasnya tuntutan masyarakat terhadap
penegakan hukum, menjadikan gagasan ideal Mochtar
42Menurut Roeslan Abdul Gani, Pancasila merupakan filsafat negara yang lahir sebagai collective-ideologie dari seluruh bangsa Indonesia, yang merupakan realiteit sekaligus noodzakelijkheid bagi keutuhan persatuan bangsa Indonesia. Di dalam Pancasila tercapai keseimbangan nilai rohaniah dan jasmaniah dari manusia Indonesia. Roeslan Abdul Gani, Ideologi dan Negara, Jakarta: Kementerian Penerangan, 1954, hlm. 37.
39
Kusumaatmadja dalam Teori Hukum Pembangunan menjadi sulit
untuk diimpelemtasikan. Hal ini dikarenakan Mochtar Kusumaatmadja
telah mengidentifikasi bahwa praktik pembentukan hukum dan
penegakan hukum masih mengalami hambatan-hambatan dalam
mengimpelemnatasikan Teori Hukum Pembangunan.
Berbagai hambatan sebagaimana yang dimaksudkan Mochtar
Kusumaatmadja antara lain dikarenakan sukarnya menentukan tujuan
dari perkembangan hukum (pembaruan), sedikitnya data empiris yang
dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan
prediktif, dan sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk
mengukur berhasil/tidaknya usaha pembaharuan hukum. Terlebih lagi
dengan adanya upaya destruktif pengambil kebijakan dan aparatur
penegak hukum yang kerapkali memanfaatkan celah untuk
menggunakan hukum sekedar sebagai alat dengan tujuan
memperkuat dan mendahulukan kepentingan kekuasaan daripada
kepentingan dan manfaat bagi masyarakat.
IV. KRISTALISASI SISTEM NORMA, NILAI DAN SISTEM PERILAKU
DALAM ASAS-ASAS HUKUM
Pada hakikatnya, semua bangunan teoritis memuat dimensi
nilai, norma dan perilaku, karena setiap teori yang dibangun
dimaksudkan untuk kemanfaatan manusia dalam segenap aspek
kehidupannya. Berbagai teori hukum yang merupakan hasil pemikiran
para ilmuwan hukum, tidak terlepas dari ketiga aspek tersebut.
40
Nampaknya Teori Hukum Integratif yang digagas Romli
Atmasasmita juga bertolak dari keterkaitan antara sistem norma
(system of norm), sistem nilai (system of value) dan sistem perilaku
(system of behavior), bahkan secara tegas Romli Atmasasmita
mengakui ketiga aspek tersebut merupakan inti dari teori yang
dibangunnya. Lebih lanjut dijelaskan Romli:43
Hukum sebagai sistem norma yang mengutamakan “norms and logics” (Austin dan Kelsen) kehilangan arti dan makna dalam kenyataan kehidupan masyarakat jika tidak berhasil diwujudkan dalam sistem perilaku masyarakat dan birokrasi yang sama-sama taat hukum. Sebaliknya, hukum yang hanya dipandang sebagai sistem norma dan sistem perilaku saja, dan digunakan sebagai “mesin birokrasi”, akan kehilangan Roh-nya jika mengabaikan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai puncak nilai kesusilaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kuatnya sistem norma, sistem nilai dan sistem perilaku sebagai
pondasi dasar bangunan Teori Hukum Integratif, digambarkan Romli
dalam skema berikut:44
43Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Pertama, 2012, hlm. 103-104.44Ibid, hlm. 123.
41
Tidak terlepasnya aspek norma, nilai dan perilaku dalam Teori
Hukum Integratif, dikarenakan norma hukum an sich sebagaimana
dikemukakan Zevenbergen mengandung 2 (dua) hal.45 Pertama,
patokan penilaian yang menilai kehidupan masyarakat dan
menyatakan apa yang dianggap baik dan tidak baik. Kedua, patokan
tingkah laku, yaitu berdasarkan suatu penilaian tertentu maka
dibuatlah petunjuk-petunjuk tentang tingkah laku atau perbuatan-
perbuatan mana yang harus dijalankan dan yang harus ditinggalkan.
Pada satu sisi norma hukum sebagai patokan yang memuat penilaian
mengenai perbuatan-perbuatan tertentu, sedangkan di lain pihak
merupakan patokan, ukuran ataupun pedoman untuk berperilaku atau
bersikap tindak dalam hidup.
Norma sebagai konkritisasi dari nilai yang diharapkan dapat
menuntun sikap dan perilaku manusia, menjadikan norma tidak hanya
45Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000, hlm. 30.
TEORI HUKUM
INTEGRATIF
REKAYASA BIROKRASI
REKAYASA MASYARAKAT
SISTEM NORMA
SISTEM PERILAKU
SISTEM NILAI
42
berwujud perilaku tetapi juga predisposisi dari perilaku itu sendiri yaitu
dalam bentuk sikap. Perkembangan norma yang semakin banyak dan
demikian kompleks, maka keberadaannya perlu disunsun berdasarkan
prinsip-prinsip tertentu secara taat asas. Oleh karenanya, asas lebih
konkrit dari nilai tetapi berada di atas norma sehingga berfungsi
menjembatani hubungan antara nilai dengan norma-norma konkrit.46
Begitu pula halnya dengan pemikiran Roscoe Pound (1870-
1964) yang banyak mempengaruhi Teori Hukum Pembangunan dan
memandang hukum sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of
social engineering), sesungguhnya masih berkutat pada ketiga
persoalan pokok menyangkut nilai, norma dan perilaku manusia.
Dalam pandangan Roscoe Pound, eksistensi dan fungsi hukum dapat
dilihat dari 3 (tiga) perspektif. Pertama, pada masa lalu hukum
dipandang sebagai produk atau hasil dari kebudayaan (as to the past
as a product of civilization). Kedua, pada masa kini hukum dipandang
sebagai pemelihara kebudayaan (as to the present as a means of
maintaining civilization). Ketiga, pada masa yang akan datang hukum
dipandang sebagai alat untuk memperkaya kebudayaan (as to the
future as a means of furthering civilization)47
Pandangan Roscoe Pound tersebut juga menjadi perhatian
Romli Atmasasmita, sebelum menguraikan gagasannya mengenai
Teori Hukum Integratif. Menurut Romli, pandangan Roscoe Pound
46Sidharta, Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Jakarta: Refika Aditama, Cetakan Pertama, 2006, hlm. 37-38.
47Roscoe Pound, Interpretation of Legal History, Florida-USA: Holmes Beach, 1986, hlm. 143.
43
mengenai social engineering dilandaskan pada pendekatan
instrumentalisme hukum yang selalu berkutat pada proposisi, bahwa:48
a. Hukum memuat sumber doktrinal yang berupa nilai dan asas-asas,
yang memberikan isi dan bentuk pada perkembangan hukum;
b. Hukum selalu bersifat dinamis, tidak statis, dan secara alamiah
selalu dalam keadaan berkembang;
c. Hukum senantiasa berkembang secara teratur dalam suatu sistem
hukum untuk menghadapi tuntutan manusia;
d. Tugas hukum untuk memelihara dan menjaga agar proses
perkembangan hukum dapat teratur dan bekerja secara bebas.
Pada satu sisi patut diakui bahwa Teori Rekayasa Sosial
tersebut telah banyak mempengaruhi Teori Hukum Pembangunan
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Hal ini dikarenakan kedua
teori tersebut bertolak dari mazhab hukum anthro-sociological
jurisprudence. Mazhab ini berkembang di Amerika Serikat sebagai
reaksi atas mazhab positivisme hukum yang diprakarsai oleh John
Austin (1790-1859) dan Hans Kelsen (1881-1973) pada abad ke-19.
Pada sisi yang lain, menunjukkan perbedaan pandangan
antara Roscoe Pound dengan Mochtar Kusumaatmadja. Salah satu
perbedaannya terletak pada penggunaan kata “tools” yang
diterjemahkan Mochtar sebagai sarana, bukan sebagai alat
sebagaimana dikemukakan Roscoe Pound. Sebagai akibat pengaruh
perkembangan industri dan teknologi, maka alat pengubah masyarakat
yang dimaksudkan Roscoe Pound merupakan suatu proses mekanis
48Romli Atmasasmita (Teori Hukum Integratif), Op. Cit, hlm. 71.
44
dimana peran pengubah itu dipegang oleh hakim.49 Oleh karenanya
perbedaan antara Roscoe Pound dan Mochtar Kusumaatmadja
terletak koteks sosialnya, dimana Roscoe Pound menganggap
putusan hakim sebagai titik tolak dari pembaharuan masyarakat
sebagaimana yang terjadi di negara-negara Anglo Saxon, sedangkan
Mochtar Kusumaatmadja mempercayai juga adanya peranan
perundang-undangan sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Sebelum sampai pada inti Teori Hukum Integratif, terlebih
dahulu Romli Atmasasmita menganalisis 2 (dua) teori hukum dari para
ahli hukum pendahulunya, yaitu: Teori Hukum Pembangunan Generasi
I dan Teori Hukum Progresif. Kedua teori hukum yang dibangun oleh
begawan hukum Mochtar Kusumaatmadja dan Satjipto Rahardjo
itulah, yang kemudian banyak mempengaruhi dan menjadi pijakan
bangunan Teori Hukum Integratif.
Dalam perkembangannya, Teori Hukum Pembangunan yang
digagas Mochtar Kusumaatmadja tidak sepenuhnya dapat
diimplemtasikan, sehingga perlu dikaji ulang dan diuji kembali
kesahihannya dalam kerangka perkembangan dinamika sosial
masyarakat Indonesia. Hal tersebut nampak dari tidak dijadikannya
Teori Hukum Pembangunan sebagai acuan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2009-2014, bahkan dalam
masa pasca reformasi sekarang ini. Padahal Mochtar Kusumaatmadja
melalui Teori Hukum Pembangunan telah menelaah pada upaya
49Zainudddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Keempat, 2008, hlm. 24-25.
45
penyeimbangan antara hukum positif (law in the books) dan hukum
yang hidup (living law). Fungsi hukum dengan demikian mengarah
pada sarana sebagai social order (sebagai fungsi paling konservatif
dari hukum) sekaligus sebagai sarana social engineering. Ini berarti,
pada tahap yang paling awal, hukum wajib mengarah pada
pencapaian ketertiban sebagai syarat menuju kepada kepastian dan
keadilan. Dalam hal ini, Mochtar Kusumaatmadja tetap menempatkan
keadilan sebagai tujuan paling ideal, sekalipun Mochtar
Kusumaatmadja meyakini makna keadilan itu sendiri bisa sangat
beragam.
Menurut Romli Atmasasmita, ada banyak faktor yang
menjadikan Teori Hukum Pembangunan tidak dijadikan acuan dalam
praktik pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pertama,
kebiasaan kurang terpuji selama 50 tahun Indonesia merdeka, yakni
bahwa pembuat kebijakan sering memanfaatkan celah untuk
menggunakan hukum sebagai alat dengan tujuan mendahulukan
kepentingan kekuasaan ketimbang kepentingan rakyat. Kedua,
sukarnya menentukan tujuan pembaruan hukum. Ketiga, sedikitnya
data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis
deskriptif dan prediktif. Keempat, sukarnya mengadakan ukuran yang
objektif untuk mengukur berhasil atau tidaknya usaha pembaruan
hukum. Kelima, para ahli hukum Indonesia menderita kebingungan
soal corak hukum yang dipandang cocok untuk dianut dan dipraktikkan
dalam kehidupan masyarakat di era globalisasi seperti saat ini.
46
Bertolak dari faktor-faktor itulah yang mendorong Romli
Atmasasmita mengajukan evaluasi mendasar yang disebutnya
reorientasi pembangunan hukum nasional. Adapun reorientasi yang
dilakukan Romli Atmasasmita meliputi 4 (empat) hal:
1. Reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan lokal (hukum
adat) ke dalam sistem hukum nasional.
2. Penataan ulang kelembagaan aparatur hukum yang masih
mengedepankan egoisme sektoral.
3. Masalah pemberdayaan masyarakat secara khusus yang
menitikberatkan pada partisipasi publik terhadap kinerja birokrasi.
4. masalah pemberdayaan birokrasi (bureaucratic engineering) dalam
konteks fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan.
Menurut Romli Atmasasmita, pemberdayaan birokrasi diharapkan
dapat mengisi kelemahan Teori Hukum Pembangunan sekaligus
merupakan komponen penting dari sistem hukum, selain substansi,
struktur, dan budaya hukum.
Meskipun telah melakukan penyempurnaan terhadap Teori
Hukum Pembangunan versi Mochtar Kusumaatmadja melalui Teori
Hukum Pembangunan Generasi II, nampaknya Romli Atmasasmita
menganggap hal itu belum dapat menjawab berbagai persoalan hukum
dan dinamika sosial yang terjadi di Indonesia. Menurut Romli
Atmasasmita, pada saat ini terdapat sikap skeptis masyarakat
terhadap penanganan perkara hukum di Indonesia dan banyaknya
praktisi hukum di Indonesia yang telah melupakan dan mengabaikan
47
nilai-nilai luhur Pancasila sebagai ideologi bangsa dan terjebak pada
‘kotak normatif’ yang telah diwariskan oleh aliran Kelsenian.
Pada sisi lain, Romli Atmasasmita juga memahami Teori
Hukum Progresif sebagai salah satu bentuk kegelisahan Satjipto
Rahardjo terhadap cara berhukum dan praktik penegakan hukum di
Indonesia. Keprihatinan Satjipto Rahardjo tersebut, sebagaimana
pernyataanya dalam sebuah artikelnya di media cetak Kompas
sebagai berikut:50
Saya merasakan suatu kegelisahan sesudah merenungkan lebih dari enam puluh tahun usia Negara Hukum Republik Indonesia. Berbagai rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini, tetapi tidak juga memberikan hasil yang memuaskan, bahkan grafik menunjukkan tren yang menurun. Orang tidak berbicara tentang kehidupan hukum yang makin bersinar, melainkan sebaliknya, kehidupan hukum yang makin suram.
Meskipun kegelisahan itu tertuju pada cara berhukum dan praktik
penagakan hukum, namun sesungguhnya pemikiran Satjipto Rahadjo
juga menyoroti tentang asas hukum yang disebutnya sebagai
kekeliruan dalam memahami fundamental hukum.
Teori Hukum Progresif sebagai salah satu bentuk
kegamangan Satjipto Rahardjo, memiliki karakter khas yang
menempatkan hukum untuk manusia dan bukan manusia untuk
hukum. Lebih lanjut dikatakan Satjipto Rahardjo bahwa hukum
seharusnya ditempatkan pada suatu kepentingan yang lebih besar,
yaitu mensejahterakan dan memberikan keadilan kepada rakyat
50Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 87.
48
(bringing justice to the people).51 Pemikiran hukum Satjipto Rahardjo
tersebut banyak dipengaruhi oleh aliran Critical Legal Studies (CLS)
yang dipelopori oleh Roberto Margarita Unger dan Duncan Kenedy.
Hal ini tidak terlepas dari keberadaan dan studi yang dilakukan Satjipto
Rahardjo di Amerika Serikat, bersamaan dengan berkembangnya
pergerakan studi hukum kritis. Salah satu ciri khas aliran CLS terletak
pada pandangannya tentang “superliberalism” yang mendesak fondasi
pikiran liberal tentang negara dan masyarakat, tentang kemerdekaan
dari ketergantungan dan penguasaan hubungan sosial oleh kemauan,
sampai ke titik ketika semuanya melebur jadi suatu ambisi besar
pembentukan suatu dunia sosial yang tidak begitu asing bagi suatu
kepribadian yang dapat senantiasa melanggar peraturan generatif dari
bangunan mental atau sosialnya sendiri serta menempatkan peraturan
dan bangunan lain sebagai penggantinya.52
Bertolak dari kegamangan tersebut, selanjutnya Romli
Atmasasmita menggagas lahirnya Teori Hukum Integratif yang tidak
lain merupakan rekonstruksi Teori Hukum Pembangunan Mochtar
Kusumaatmadja dan Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo.
Rekonstruksi teori hukum yang dilakukan Romli Atmasasmita itu
mencoba untuk menggunakan disiplin ilmu lain selain disiplin ilmu
hukum, sehingga tidak semata-mata berfokus pada masalah hukum
praktis. Menurut Romli Atmasasmita, pendekatan multi disiplin
51Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Kedua, 2009, hlm. 9.
52Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1999, hlm. 52.
49
sebagaimana juga dilakukan Richard A. Posner, dimaksudkan pada 2
(dua) hal. Pertama, untuk mengungkapkan ruang gelap (dark corners)
dari suatu sistem hukum dan menunjuk jalan arah perubahan
konstruktif yang sangat bernilai tentang unsur-unsur dari konsep
hukum. Kedua, untuk membantu menjawab pertanyaan mendasar
tentang sistem hukum yang intinya adalah pengetahuan tentang
sistem, yang berbeda maknanya dari sekadar mengetahui bagaimana
menjalankannya dalam suatu sistem di mana praktisi hukum telah
biasa melakukannya.
Pengaruh pemikiran Posner dalam Teori Hukum Integratif
tersebut, nampak jelas dari bagian pertama buku yang ditulis Romli
Atmasasmita dalam menjelaskan latar belakang pemikirannya.
Menurut Posner:53
It is in recognition of this limitation, of some conspicuous failures of lawyer-engineered legal reform, and of the progress of the social sciences that legal education, and legal thought more generally, have become more interdisciplinary in recent years and as a result (law being an undertheorized field relative to most of the academic field that might be thought to adjoin or intersect it) more “theoretical.” This is not entirely a good thing; a lot of legal theory is vacuous. But not all. Other disciplines have much to contribute to the understanding and improvement of law. In this book I examine contributions from economics, history, psychology, epistemology, and statistical inference.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Romli Atmasasmita sangat sepakat
untuk menggunakan perspektif eksternal disiplin ilmu hukum,
khususnya disiplin ilmu ekonomi dalam menyelesaikan persoalan-
persoalan hukum.
53Richard A. Posner, Frontiers of Legal Theory, 2001, hlm. 1-2.
50
Dalam Teori Hukum Integratif, secara tegas Romli
Atmasasmita ingin merekonstruksi Teori Hukum Pembangunan
Mochtar Kusumaatmadja dan Teori Hukum Progresif Satjipto
Rahardjo. Penggunaan terma rekonstruksi yang digunakan Romli
Atmasasmita dalam membangun teorinya, setidaknya dapat ditelusuri
dari 2 (dua) hal.
Pertama, terma rekonstruksi (reconstruction) dipergunakan
untuk menunjukkan suatu proses pemulihan keadaan yang tidak lagi
berjalan normal. Dalam pengertian tersebut, maka hasil rekonstruksi
hukum yang dilakukan Romli Atmasasmita mungkin akan berbeda
dengan kedua teori awal yang digagas Mochtar Kusumaatmadja dan
Satjipto Rahardjo.
Kedua, terma rekonstruksi dapat berarti sebagai
pengembalian seperti semula. Dalam pengertian ini, maka rekonstruksi
pemikiran yang dilakukan oleh Romli Atmasasmita ditujukan untuk
mengembalikan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dan Satjipto
Rahardjo kepada tujuan semula dibangunnya kedua teori tersebut.
Dalam pada itu, Romli Atmasasmita melihat adanya
persamaan antara pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dan Satjipto
Rahardjo. Titik persamaannya terletak pada keinginan kedua
punggawa hukum tersebut, yang menghendaki agar hukum memiliki
peranan hukum yang jauh ke depan untuk memberikan arah dan
dorongan perkembangan masyarakat yang tertib, adil dan sejahtera.
Kedua pakar hukum juga sama-sama menyoroti akan hukum sebagai
51
sarana dinamis untuk kemajuan peradaban masyarakat, sehingga
perhatian keduanya tidak berhenti pada hukum sebagai sistem norma
(system of norms) tetapi juga menyoroti hukum sebagai sistem
perilaku (system of behavior).
Mencermati lebih jauh pemikiran Teori Hukum Integratif,
nampakanya Romli Atmasasmita tidak bermaksud untuk memulihkan
Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif dari
ketidakmampuannya berjalan normal dalam pembangunan dan praktik
penegakan hukum di Indonesia. Dalam hal ini Romli Atmasasmita
justru menempatkan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dan Satjipto
Rahardjo sebagai dua pilar teori yang sepadan. Sikap Romli
Atmasasmita itu nampak jelas dari berbagai uraiannya yang
menyadingkan Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum
Progresif, baik dari sudut pandang persamaan dan perbedaan antara
keduanya.
Satu point penting dari pemikiran Satjipto Rahardjo dalam
bangunan Teori Hukum Integratif, yang memandang hukum sebagai
sistem perilaku (system of behavior). Demikian pula halnya dengan
pemikiran Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan hukum tidak
hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur, tetapi juga meliputi
lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan
berlakunya hukum itu dalam kenyataan. Terma kaidah atau asas di sini
menunjuk kepada unsur idiil dalam sistem hukum, sedangkan terma
lembaga merujuk ke unsur operasional, dan terma proses merujuk ke
52
unsur faktual. Point penting itulah yang menjadi pijakan Romli
Atmasasmita dalam membangun Teori Hukum Integratif, sebagai
sebuah rekonstruksi terhadap pembangunan dan praktik penegakan
hukum di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, maka sikap dan posisi
keberpihakan Romli Atmasasmita dalam membangun Teori Hukum
Integratif tidak serta merta dapat dipisahkan dari pemikiran begawan
hukum Mochtar Kusumaatmadja dan Satjipto Raharjo. Pemikiran
Mochtar Kusumuatmadja yang menarik untuk dikedepankan sekaligus
sebagai basis teori dalam disertasi ini, menyangkut 2 (dua) hal:
1. Hukum adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah
moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain),
yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup (living law).
2. Hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur,
tetapi juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan
untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan.
Sementara itu, buah pikiran Satjipto Rahardjo yang relevan untuk
diperhatikan dan menjadi pijakan dalam penyusunan disertasi ini,
yaitu:
1. Hukum bertugas untuk manusia dan bukan sebaliknya, dimana
manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum.
53
2. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada
kesejahteraan manusia, sehingga tujuan hakiki dari hukum harus
pro-keadilan dan pro-rakyat.
Memahami titik pangkal Teori Hukum Integratif, maka
kedudukan asas hukum dalam pembangunan dan praktik penegakan
hukum menjadi bagian yang amat penting. Hal ini dikarenakan hukum
tidak semata-mata ditempatkan sebagai sistem norma (norm system)
yang merupakan produk legislasi semata, melainkan juga merupakan
sistem nilai (value system) yang mempengaruhi perilaku (behaviour)
aparat penegak hukum dan masyarakat dalam memaknai
implementasi hukum an sich. Mengacu pada Teori Hukum Integratif,
maka tiga hakikat utama hukum (sistem norma, perilaku, dan nilai)
yang disebut oleh Romli Atmasasmita dengan “tripartite character of
the Indonesian legal theory of social and bureaucratic engineering”,
merupakan rujukan penting dalam menelaah dan mengkaji lebih lanjut
dari implementasi Asas Kekhususan Sistematis (Systematiche
Specialeit) dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Mencermati lebih lanjut pemikiran Romli Atmasasmita, maka
setidaknya ada (tiga) substansi dasar dari Teori Hukum Integratif.
Pertama, bahwa Teori Hukum Integratif beruapaya untuk
menempatkan sistem nilai, sistem norma, dan sistem perilaku sebagai
sebuah rangkaian mulai dari tataran konsep yang sifatnya abstrak
sampai pada konkritisasi dalam tataran implementasi.
54
Kedua, sistem norma yang dimaksudkan oleh Romli
Atmasasmita tidak semata-mata tertuju pada peraturan perundang-
undangan, melainkan juga di dalamnya termasuk yurisprudensi yang
dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Meskipun
Mochtar Kusumaatmadja memandang pentingnya peran yurisprudensi
dalam rekayasa sosial, namun Mochtar Kusumaatmadja tidak pernah
memposisikan yurisprudensi sebagai peraturan perundang-undangan.
Perhatian Romli Atmasasmita terhadap peran yurisprudensi
sangat kental dari gagasannya untuk memasukan yurisprudensi dalam
hierarki peraturan perundang-undangan, melalui ungkapannya:54
Seharusnya sistem hukum Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menegaskan yurisprudensi termasuk ke dalam hirarki perundang-undangan.
Penegasan Romli Atmasasmita yang memasukkan yurisprudensi
dalam hierarki peraturan perundang-undangan bukan saja merupakan
bentuk akomodasi dari adanya unsur norma dan perilaku dalam sistem
hukum, melainkan juga telah mendobrak tradisi pemikiran yang
melarang hakim untuk membuat undang-undang, sebagaimana dianut
dalam Pasal 21 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesië) yang menegaskan: “Geen rechter mag, bij wege van
algemeene verordening, dispotitie of reglement, uitspraak doen in
zaken, welke aan zijne beslissing zijn onderworpen”.55 Gagasan Romli
tersebut menunjukkan bentuk akomodasi dari tradisi common law 54Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 68.55Terjemahan bebas dari ketentuan Pasal 21 AB, bahwa hakim dilarang membuat putusan
yang bisa mengikat umum.
55
system, yang mengakui eksistensi dan peran hakum dan pembentukan
hukum sebagaimana yang terjadi di negara-negara Anglo Saxon.
Ketiga, pembaharuan sosial tidak hanya menyakut
pembaharuan masyarakat, melainkan juga mencakup pembaharuan
birokrasi sebagai sentral pelaksana penegakan hukum. Dalam hal ini
Romli Atmasasmita meyakini bahwa birokrasi merupakan titik utama
dari praktik penegakan hukum dan pembangunan nasional pada
umumnya. Pada titik ini Romli berkeyakinan bahwa struktur hukum
sebagaimana yang dimaksudkan Lawrence Friedmann hanya tertuju
pada hakim dan pengadilan, tidak cukup mampu untuk menggerakkan
lokomotif pembaharuan hukum yang lebih baik dan lebih adil.
Pemikiran tentang pentingnya Bureaucratic Social Engineering (BSE)
ini yang juga pernah ditawarkan Romli untuk menyempurnakan Teori
Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja, yang dinamakannya
sebagai Teori Hukum Pembangunan Generasi Kedua.
Ketiga substansi dasar dari Teori Hukum Integratif yang
digagas Romli Atmasasmita tersebut, maka fungsi birokrasi termasuk
di dalamnya aparat penegak hukum sangat memegang peran yang
sangat penting dalam pembangunan hukum dan pembaharuan
masyarakat. Apabila paham Sociological Jurisprudence dan Realisme
Hukum memandang hakim sebagai motor penggeraknya dan
positivisme maupun Teori Hukum Pembangunan I mengharapkan
peran legislator serta mazhab sejarah menekankan pada peran
akademisi, maka Teori Hukum Integratif menjadikan birokrasi
56
khususnya birokrasi aparatur penegak hukum sebagai motor
utamanya.
Melalui Teori Hukum Integratif, Romli Atmasasmita tidak
hanya mengintegrasikan antara sistem norma, nilai dan sistem
perilaku, tetapi juga menjadikan birokrasi sebagai eprisentrum
terhadap implementasi teorinya. Pemahaman terhadap “bureaucratic
and social engineering” yang kerapkali dikemukakannya,
mengharapkan adanya peran birokrasi sebagai pelopor
pembahaharuan masyarakat melalui konsep “panutan” dan
“kepemimpinan” dari aparatur birokarsi.
Romli Atmasasmita menyadari bahwa antara nilai, norma sdan
perilaku tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem hukum, akan tetapi
antara ketiganya merupakan suatu rangkaian yang saling
berhubungan. Untuk itu birokrasi sebagai lokomotif dari sistem norma
dan perilaku diharapkan dapat menghasilkan sistem nilai yang ideal
sebagai tuntunan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.Tentu saja rekayasa nilai-nilai itu tetap berada dalam
bingkai Pancasila sebagai ideologi bangsa dan landasan idiil dari
berbagai produk hukum yang ada di Indonesia. Dengan mendasarkan
pada mazhab sejarah, Romli mengidentikan Pancasila sebagai
Volksgeist yang dipandangnya sebagai sistem nilai yang bisa
dipenetrasi secara langsung oleh masyarakat internasional tanpa
melalui proses empirik dan tempaan sejarah yang panjang. Menurut
Romli Atmasasmita:56
56Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 96-97.
57
Rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku, dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, itulah yang saya namakan Teori Hukum Integratif.
Dalam hal ini, Romli Atmasasmita menempatkan Pancasila sebagai
ideologi bangsa sekaligus sebagai alat pemersatu dalam konteks
heterogenitas sosial, kultural dan geografis di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Statemen ini menunjukkan bahwa Teori Hukum
Integratif yang ditawarkan Romli Atmasasmita tidak bebas nilai,
bahkan dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum, seperti politik,
ekonomi maupun sosial budaya.
Substansi dasar Teori Hukum Integratif yang ditawarkan Romli,
sesungguhnya merupakan penelaahan mendalam tentang keberadaan
asas hukum sebagai pengejewantahan dari nilai-nilai luhur Pancasila.
Melalui asas hukum ini pula, yang kemudian mengantarkan nilai-nilai
luhur Pancasila dalam norma hukum sebagai aturan tingkah laku
secara konkrit. Hububungan interaksional antara nilai-nilai luhur
Pancasila, asas-asas hukum dan norma-norma yang menentukan
sistem perilaku, menjadikan antara ketiganya merupakan suatu
kesatuan yang terintegratif dalam rangka tegaknya hukum dan
keadilan.
V. PENUTUP
58
Berdasarkan pengembaraan dan penelaahan terhadap konsep
negara hukum, teori hukum pembangunan dan teori hukum integratif,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Asas hukum merupakan pondasi dasar dari bangunan negara
hukum Indonesia, yang berfungsi sebagai pengejewantahan nilai-
nilai luhur Pancasila.
2. Asas hukum yang berlangsung melalui pikiran dan bersifat abstrak,
umum dan mendasar, selanjutnya akan dikonkritisasi menjadi
norma dan peraturan hukum positif sebagai pedoman tingkah laku
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
59
DAFTAR PUSTAKA
A.V. Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition, New Yor: MacMillan & Co., 2005.
Anonim, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992.
Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Ketiga, 2010.
CF Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern; Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung: Nusa Media, Cetakan Kedua, 2008.
Djojodigoeno, What is Recht?, Djakarta: Untag University Press, 1971.
Franz Magnis Suseno SJ, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua, 1997.
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta: Erlangga, Cetakan Pertama, 2010.
Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: Bina Aksara, Cetakan Kedua, 1984.
60
Lawrence Friedman, The Legal System: A Social Perspective, Russel Sage Foundation, 1975.
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesepuluh, 2007.
Lon L. Fuller, The Morality of Law, New Haven: Yale University Press, Revised Edition, 1964
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006.
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum; Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Hukum, Bandung: Almuni, 2000.
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cetakan Kelima, 1983.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Kedua, 2011.
Richard A. Posner, Frontiers of Legal Theory, 2001.
Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1999.
Roeslan Abdul Gani, Ideologi dan Negara, Jakarta: Kementerian Penerangan, 1954.
Roger E. Michener, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Indianapolis: Liberty Fund, 1982.
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kotemporer, Jakarta: Fikahati Aneska, Cetakan Pertama, 2009.
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Pertama, 2012.
Roscoe Pound, Interpretation of Legal History, Florida-USA: Holmes Beach, 1986.
----------, The Development of Constitutional Guarantees of Liberty, London: Yale University Press, 1957.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000.
61
----------, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan Kedua, 2009.
Sidharta, Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Jakarta: Refika Aditama, Cetakan Pertama, 2006.
Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1986.
Sinta Dewi (Penyunting), Kapita Selekta Tinjauan Kritis Atas Situasi dan Kondisi Hukum di Indonesia, Seiring Perkembangan Masyarakat Nasional dan Internasional, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentan Hukum, Bandung: Armico, 1986.
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan Kesepuluh, 1984.
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, Cetakan Kedelapan, 2008.
Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Penyunting), Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Jakarta: Refika Aditama, Cetakan Pertama, 2008.
Sudikno Metrokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, Cetakan Keenam, 2012.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Waddi Armi, “Formappi: Kinerja DPR Periode 2009-2014 Paling Buruk”, http://rri.co.id/index.php, [28/8/2012].
Zainudddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Keempat, 2008.
62