majalah dia edisi ii tahun 2012

48
Kesaksian Kesaksian Kesaksian Kesaksian Kesaksian

Upload: yayasan-perkantas

Post on 11-Mar-2016

264 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Menggagas Generasi Antikorupsi

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Kesaksia

nKesaksia

nKesaksia

nKesaksia

nKesaksia

n

Page 2: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

22222

Menggagas Generasi Antikorupsi

Penerbit:

Yayasan Perkantas

Rekomendasi Depag:

FII/HM.02.2/619/2806/97

ISSN:

0215-9031

Ketua Yayasan:

Tony Antonio

Pemimpin Umum:

Triawan Wicaksono

Pemimpin Redaksi:Thomas Nelson Pattiradjawane

Redaksi Senior:

Polo Situmorang

Tadius Gunadi

Mangapul Sagala

Daltur Rendakasiang

Daniel Adipranata

Redaksi:Yoel M. Indrasmoro

Partogi Samosir

Ruth Yuni

Redaktur Pelaksana:

Philip Ayus

Alamat Redaksi/Administrasi/Distribusi:Kompleks Mitra Pintu Air,

Jl. Pintu Air Raya 7 Blok C-5 Jkt 10710

Telp./Fax.:021-3440305 / 021-3522170

E-mail:[email protected]

[email protected]

Rekening:

BCA Cab. Pasar Baru No. 1063003542

a.n. Yayasan Perkantas

*cantumkan keterangan

“Untuk Berlangganan DIA”

Harga Majalah DIA

Rp 6.000,00 (mahasiswa); Rp 10.000,00 (umum).

Bea berlangganan + bea kirim 1 tahun (3x terbit)

Rp 30.000,00 (mahasiswa); Rp 50.000,00 (umum).

Jika Anda mentransferkan biaya berlangganan

ataupun memberi dukungan untuk pelayanan

Majalah Dia, mohon mengirimkan bukti transfer

melalui fax atau e-mail dengan mencantumkan

nama dan alamat lengkap.

Redaksi menerima kiriman naskah berupa artikel,

kesaksian, resensi, cerpen, puisi, dsb.

Kirimkan tulisan melalui email ke

[email protected] dengan judul

“Untuk Majalah Dia”.

Da

ftar

IsiD

afta

r Isi

Da

ftar

IsiD

afta

r Isi

Da

ftar

Isi

Daftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar Isi

FOKUS

4 Menggagas Generasi Antikorupsi

EKSPOSISI

10 Integritas Belaka Tidak Cukup:

WAWANCARA

14 Pendidikan Itu Mewariskan Worldview

SUDUT PANDANG:

18 Jangan Hanya Menambah Pengetahuan

21 Penyadaran Antikorupsi Melalui Pendidikan

Perdamaian

24 Pendidikan Antikorupsi

27 Pendidikan Antikorupsi: Tanggung Jawab Kita

Bersama

30 Makan!

JELANG

32 Mengupayakan Transformasi Budaya Anti-

Korupsi

36 TILIKAN

DARI GRADUATE CENTER

37 Persiapan dan Pemilihan Kebutuhan Mendasar

di Komunitas

PERCIKAN

46 Si Mamon Takluk oleh Mahasiswa!

Majalah Dia

Edisi 2 | Tahun XXVI | 2012

Desain sampul: Philip Ayus

Tata letak: Philip Ayus

Page 3: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

33333

DatDatDatDatDatanglah Kanglah Kanglah Kanglah Kanglah Kerererererajaan-Muajaan-Muajaan-Muajaan-Muajaan-Mu

Setelah kejatuhan rezim Suharto, rakyat berharap banyak pada Orde Reformasi

yang diharapkan dapat membawa bangsa ini menuju kondisi yang adil,

makmur, dan sejahtera sebagaimana tersirat di dalam Pembukaan UUD 1945

yang menjadi dasar negara kita. “Penyakit” yang paling ingin dibasmi ketika

melengserkan The Smiling General pada waktu itu adalah KKN. Korupsi, Kolusi,

dan Nepotisme begitu merajalela dan memberatkan rakyat banyak. Itu sebabnya,

ketika Suharto lengser, segenap negeri riang bersorak.

Akan tetapi, kegembiraan itu tak bertahan lama. Bagaikan perumpamaan satu roh

jahat yang diusir dari tubuh namun kemudian kembali lagi dengan mengajak tujuh

roh lagi yang lebih jahat, Indonesia seolah-olah malah menjadi “bancakan” bagi

para oportunis. Bukannya makin berkurang, KKN justru bak jamur di musim

penghujan. Kepala Pusat Penerangan Kemdagri, Reydonnyzar Moenoek, dalam

sebuah acara baru-baru ini mengatakan, 70 persen dari 281 kepala daerah terjerat

pidana korupsi. Sungguh ironis!

Ironisnya lagi, kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa para pelaku korupsi

masih berusia muda. Sebut saja Gayus Tambunan yang masih berusia 32 tahun,

Nazaruddin (33), Neneng (istri Nazaruddin) dan Wa Ode Nurhayati (30), Dhana

Widyatmika (37), dan Angelina Sondakh (34), kesemuanya berusia di bawah empat

puluh tahun dengan nilai korupsi yang fantastis.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam beberapa kesempatan selalu berikrar

akan berada di barisan terdepan untuk memimpin pemberantasan korupsi. Lantas,

apa saja langkah yang telah ditempuh Pemerintah dalam upaya pemberantasan

korupsi di negeri ini? Salah satu yang hendak kita soroti dalam Majalah Dia edisi

kali ini adalah salah satu upaya yang diikhtiarkan oleh Pemerintah, terkhusus dalam

bidang pendidikan: penerapan kurikulum pendidikan antikorupsi. Tak hanya itu,

kita juga akan menelisik sejauh mana peranan kaum muda (Kristen) Indonesia

dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi di “tanah surga” ini.

Kiranya sajian yang ditawarkan ke hadapan Pembaca kali ini benar-benar menggugah

semangat untuk menjadi berkat bagi keluarga, gereja, masyarakat, negara, dan

bahkan dunia, khususnya dalam memerangi korupsi dan mewujudkan masyarakat

idaman yang gemah ripah loh jinawi, ayem tentrem karta raharja. Sama seperti yang

kita ucapkan dalam Doa Bapa Kami, “Datanglah kerajaan-Mu… Jadilah kehendak-

Mu di bumi, sama seperti di surga….”

Redaksi

Sa

lam

Sa

lam

Sa

lam

Sa

lam

Sa

lam

Page 4: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

44444

Menggagas Generasi Antikorupsi

Fo

ku

sF

ok

us

Fo

ku

sF

ok

us

Fo

ku

s

Dalam sebuah percakapan di meja

makan dengan pak Gideon Yung

beberapa waktu silam, penulis

tertarik dengan cerita beliau tentang sejarah

terbentuknya ICAC—semacam KPK di

Hongkong—karena beliau adalah saksi mata

(dan bahkan salah satu penggerak, kalau

penulis tidak salah ingat) gerakan mahasiswa

yang memulai demonstrasi damai yang

kemudian mengubah wajah Hongkong dari

wilayah yang “super korup” menjadi salah

satu kota paling bebas korupsi di Asia.

Waktu itu, tutur pak Yung, korupsi

begitu merajalela di Hongkong,

mempengaruhi hampir semua sektor dan

semua lapisan masyarakat. Kalau di sini kita

mengenal istilah “uang rokok”, maka di

Hongkong pada waktu itu, mereka

mempunyai istilah “uang teh”. Bahkan sopir

ambulanspun takkan mau berangkat

menjemput pasien gawat darurat sebelum

diberi uang teh tersebut. Demikianlah,

korupsi begitu membudaya dan

memberatkan rakyat, terutama yang tak

mampu mengakses layanan-layanan publik.

Dampak korupsi bukan tidak nyata,

melainkan belum dikomunikasikan secara

gamblang kepada masyarakat. Orang-orang

awam mungkin hanya tahu bahwa makin

bertambah tahun, harga-harga akan semakin

mahal, apalagi harga bahan kebutuhan

pokok menjelang hari-hari raya. Padahal,

mahal dan sulitnya mengakses kebutuhan

pokok itu acapkali bukan karena besarnya

kesenjangan antara permintaan dan

ketersediaan, melainkan kebijakan oknum

pejabat yang mengutamakan keuntungan

pribadi dan kroni-kroninya.

Selain itu, rasanya kondisi yang kita

alami sekarang di Indonesia hampir sama

dengan apa yang terjadi di Hongkong

sebelum ICAC terbentuk pada tahun 70-an.

Korupsi sudah membudaya, alias sudah

dianggap sebagai sebuah kewajaran. Seorang

teman mengisahkan, bagaimana ia dan

istrinya harus menyerahkan sejumlah uang

terlebih dahulu kepada seseorang yang

bertindak sebagai semacam makelar

pekerjaan, hanya untuk mendapatkan sebuah

pekerjaan di bagian produksi di sebuah

pabrik di Karawang, Jawa Barat. Itupun harus

melalui proses magang Tentunya, mereka

bukan “korban” pertama dan satu-satunya

dari budaya yang korup di situ. Hal itu sudah

terjadi bertahun-tahun hingga dianggap

sebagai sebuah kelaziman. Sungguh

menyesakkan dada.

Harga ketidakjujuran

No free lunch. Tak ada makan siang yang

gratis, begitu istilahnya. Dunia kita tak

mengenal istilah anugerah. Bahkan grasi yang

semestinya cuma-cuma diberikan Presiden

kepada narapidanapun ternyata harus

“dibeli” dengan harga yang sangat mahal—

entah sepengetahuan Presiden ataupun tidak.

KPK dan para penggiat antikorupsi sepertinya

juga melihat betapa dalamnya kita terpuruk

ke dalam pusaran korupsi, sampai-sampai

mereka memasyarakatkan istilah yang

sesungguhnya ironis sekali: “Berani jujur,

hebat!”

Menggagas Generasi AntikorupsiMenggagas Generasi AntikorupsiMenggagas Generasi AntikorupsiMenggagas Generasi AntikorupsiMenggagas Generasi Antikorupsi

“““““Dampak korupsi bukan tidaknyata, melainkan belumdikomunikasikan secaragamblang kepadamasyarakat.

Page 5: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

55555

Fo

ku

sF

ok

us

Fo

ku

sF

ok

us

Fo

ku

s

Ya, kejujuran menjadi begitu langka di

negeri ini, sampai-sampai untuk melakukan

hal yang seharusnya biasa itupun sudah

dikatakan sebagai “berani” dan “hebat”!

Dalam bukunya yang berjudul

“Kebenaran dan Transformasi: Sebuah

Manifesto Bagi Bangsa-bangsa yang Sedang

Sakit” (TCI & LINK, 2009), Vishal

Mangalwadi memberikan contoh yang

menarik tentang dampak kejujuran dan

kepercayaan terhadap harga barang dari

pengalamannya membeli susu sapi di sebuah

peternakan di Belanda:

Kami masuk ke dalam ruang susu

dan tak ada seorangpun di sana yang

menjual susu. Saya mengira Jan

(temannya di Belanda) akan

membunyikan bel, tetapi ia hanya

membuka keran, meletakkan buyung

di bawahnya dan mengisinya.

Kemudian ia menjangkau ke atas

jendela dan mengambil sebuah

mangkuk yang penuh berisi uang,

mengambil uang dari dompet,

meletakkan uang senilai 20 gulden ke

dalam mangkuk, menaruh

kembaliannya ke dalam sakunya,

mengembalikan mangkuk itu,

mengambil buyungnya dan kemudian

melangkah pergi. Saya terbengong-

bengong…

Vishal melihat betapa efisiennya sistem

jual-beli tersebut, dan itu berkat kejujuran

dan kepercayaan yang dijunjung tinggi. Jika

tak ada kepercayaan, tulis Vishal, maka

pemilik peternakan harus mempekerjakan

penunggu toko, yang upahnya tentu

dimasukkan ke dalam variabel ongkos

produksi, sehingga para pembeli susulah,

sebagai konsumen, yang harus membayarnya.

Belum lagi Pemerintah yang harus

mempekerjakan pengawas kualitas susu, yang

mungkin juga mau menerima suap dari

peternak sapi, yang mungkin juga tidak jujur

dengan menambahkan air pada susu yang

dijual. Dampaknya jelas, penurunan kualitas

susu dan kenaikan harga susu yang signifikan.

Susu yang seharusnya bisa dibeli oleh

siapapun kemudian menjadi sebuah barang

mewah karena mahalnya. Jika sudah

demikian, mana mungkin mengharapkan

generasi yang sehat dan pintar?

Kejujuran dan dunia pendidikan kita

Ungkapan “berani jujur, hebat!” bahkan

menjadi ironi di dunia pendidikan kita.

Seorang siswa yang bertobat lewat

persekutuan di sekolah dan bergabung dalam

kelompok kecil di Semarang pada suatu

ketika bercerita kepada penulis, bagaimana

ia dipanggil oleh guru BK

di sekolah

Page 6: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

66666

Menggagas Generasi Antikorupsi

Fo

ku

sF

ok

us

Fo

ku

sF

ok

us

Fo

ku

s

dan diberi “wejangan” tentang pentingnya

kesetiakawanan di dalam Ujian Nasional. Ia

dianjurkan untuk ikut mencontek saja.

Sekolah yang seharusnya menjadi “kawah

Candradimuka” untuk mencetak “Gatotkaca-

gatotkaca” yang akan menyelamatkan

bangsanya, justru berubah fungsi 180 derajat

menjadi seperti sarang penyamun, tempat

orang-orang belajar berbuat kejahatan.

Generasi seperti apakah yang hendak

dihasilkan oleh sekolah-sekolah seperti itu?

Dalam sebuah seminar mengenai

pendidikan yang diselenggarakan oleh

Kompas beberapa waktu lalu, Prof. Jalaludin

Rahmat dengan jeli meringkas penyakit

pendidikan di negara kita sebagai pendidikan

yang mempertuhankan angka-angka.

Institusi pendidikan kita terlalu sibuk

mengejar nilai pelajaran, namun lupa

menanamkan nilai-nilai kehidupan yang

jauh lebih bermakna dan lebih luas serta

lama dampaknya.

Memang, Pemerintah, dalam hal ini

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,

nampaknya memberikan perhatian besar

terhadap pengembangan karakter anak didik

lewat penerapan kurikulum pendidikan

antikorupsi. Akan tetapi, sungguhkah

demikian? Pada kenyataannya, meskipun MK

telah memutuskan bahwa UN yang ada saat

ini bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar dan mewajibkan evaluasi ulang

terhadap program tersebut, Pemerintah tetap

saja bersikukuh menyelenggarakannya dari

tahun ke tahun.

Jika Pemerintah saja “berani”

melangkahi keputusan MK, yang tentu saja

sebuah tindakan yang tidak etis dan bahkan

melanggar hukum, bagaimana mungkin kita

bisa percaya bahwa mereka sungguh-sungguh

memperhatikan masalah karakter, moral, atau

etika?

Atau mungkinkah Mendikbud tidak

tahu seberapa besar implikasi kebijakan UN

itu terhadap tata kehidupan dunia

pendidikan di negeri ini? Masakan tidak

tahu? Rasanya, Pemerintahlah yang lebih

memilih untuk menutup mata, terhadap

nilai-nilai yang “dikatrol” sedemikian rupa

sehingga tak mencerminkan tingkat

kecerdasan anak yang bersangkutan, atau

terhadap guru-guru “lugu” yang senantiasa

berada di dalam dilema antara memelihara

integritas dan nilai pendidikan ataukah

berkompromi demi kesuksesan anak didik

dan akreditasi sekolah.

Kecurangan yang tersistem

Ketika penulis menjadi pembicara di

sebuah sekolah menengah atas di Depok,

seorang murid mengangkat tangannya ketika

penulis bertanya, siapa saja yang pernah

dituding sebagai orang yang munafik. Ketika

diminta menceritakan pengalamannya

dituding sebagai orang yang munafik, dia

mengatakan bahwa hal itu dialaminya pada

waktu mengikuti Ujian Nasional SMP,

karena menolak terlibat dalam contek-

mencontek yang dilakukan oleh teman-

teman sekelasnya. Sungguh ironis. Yang

membuatnya lebih ironis adalah, kegiatan

contek-mencontek itu bukan lagi merupakan

kegiatan yang sembunyi-sembunyi dilakukan,

melainkan telah berkoordinasi dengan guru.

Kecurangan sudah tersistem dan

dianggap wajar, konon untuk mencapai

tujuan yang lebih mulia: nama baik sekolah

dan kebahagiaan orang tua. Dan tak hanya

berhenti sampai di situ, mereka yang menolak

bekerja sama justru dianggap sebagai

Page 7: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

77777

Fo

ku

sF

ok

us

Fo

ku

sF

ok

us

Fo

ku

s

pengkhianat. Kita tentu belum lupa dengan

kisah ibu Siami dan Alif putranya yang diusir

dari kampungnya karena dianggap

mempermalukan kampung dan

menyusahkan teman-teman Alif di SD,

karena laporan mereka mengenai adanya

kecurangan di sekolah ketika ujian nasional.

Bayangkan saja jika anak-anak tersebut,

biarpun mendapat berbagai teori tentang

antikorupsi, melihat berbagai kecurangan

yang ada dan dianggap biasa di sekitar

mereka. Bayangkan, jika anak-anak itu

beranjak dewasa dengan prinsip yang kacau

tentang kebenaran tersebut, yakni bahwa

kebersamaan lebih penting daripada

kebenaran. Bukankah action speaks louder than

words, tindakan itu lebih keras berbicara

dibandingkan dengan kata-kata? Bagaimana

mungkin prinsip-prinsip antikorupsi itu

terinternalisasi dalam diri anak-anak didik,

tanpa adanya keteladanan di sekitar mereka?

Bagaimana bisa guru menanamkan nilai

kejujuran, jika bahkan sejak masuk sekolah

sudah ada kecurangan dalam penerimaan

siswa baru, hingga untuk meluluskan siswa-

siswinya, sekolah mengupayakan berbagai

cara termasuk mendistribusikan kunci

jawaban UN?

Memang, mungkin tidak semua

sekolah dan guru akan melakukan

kecurangan-kecurangan seperti itu. Akan

tetapi, yang menjadi permasalahan di sini

adalah, jika di sebagian institusi pendidikan

didapati berbagai modus kecurangan tersebut,

maka hampir bisa dipastikan bahwa hal yang

sama bisa menular ke tempat-tempat lain.

Jika penanggung jawab lembaga pendidikan

dan staf pendidik tak memiliki pondasi yang

kuat untuk menyelenggarakan pendidikan

yang lurus, bisa-bisa yang terjadi adalah

rasionalisasi, alias mencari alasan-alasan

pendukung agar kecurangan-kecurangan

yang dilakukan bisa “dimengerti.”

“PR” Kemdikbud

Kemdikbud haruslah memastikan

bahwa mereka memang memiliki

kesungguhan untuk membangkitkan

generasi antikorupsi untuk memperbaiki

negara ini. Program pendidikan antikorupsi

jangan sampai sekedar menjadi proyek

katebelece yang ala kadarnya, sekedar untuk

memberikan kesan bahwa mereka peduli

dengan pemberantasan dan pencegahan

korupsi, atau malah hanya menjadi kegiatan

alias proyek baru untuk menambah pundi-

pundi pribadi oknum-oknum tertentu. Nilai-

nilai antikorupsi yang hendak ditanamkan

haruslah bukan sekedar pengetahuan secara

kognitif anak didik saja. Lingkungan dan

sistem pendidikan juga seharusnya dievaluasi

dan disesuaikan demi

mendukung internalisasi nilai

yang ingin ditanamkan.

Oleh karena itu, subjek dari

pendidikan antikorupsi

seyogyanya bukanlah peserta

didik (siswa/mahasiswa) saja,

melainkan para pendidik, para

pejabat di semua institusi

pendidikan, dan juga pejabat-

pejabat di Kemdikbud, terutama yang

posisinya rawan disalahgunakan. Sistem

harus pula direvitalisasi. Birokrasi haruslah

dibuat seefisien mungkin agar tak

menyisakan celah untuk penyalah gunaan.

Akan lebih baik jika langkah awalnya adalah

mengevaluasi kembali pelaksanaan UN

sebagaimana yang diputuskan oleh

Mahkamah Konstitusi. Lagipula, bukankah

perubahan itu paling baik dimulai dari diri

sendiri?

“““““Program pendidikan antikorupsi jangansampai sekedar menjadi proyekkatebelece yang ala kadarnya, sekedaruntuk memberikan kesan bahwamereka peduli dengan pemberantasandan pencegahan korupsi

Page 8: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

88888

Menggagas Generasi Antikorupsi

Fo

ku

sF

ok

us

Fo

ku

sF

ok

us

Fo

ku

s

Peran keluarga

Di sisi lain, kebanyakan keluarga (baca:

orang tua) di Indonesia sepertinya juga belum

memahami akan krusialnya peran mereka

bagi upaya pemberantasan korupsi. Padahal,

semua koruptor itu bertumbuh di dalam

keluarga-keluarga, sementara keteladanan

tentang tindak-pikir antikorupsi paling

efektif diberikan melalui keteladanan orang

tua. Masih banyak yang berpikir bahwa

fungsi orang tua sebatas mencukupi

kebutuhan jasmani anak, menyekolahkan,

hingga mencarikan jodoh bagi anak. Istilah

yang menyebut anak sebagai “titipan Tuhan”

secara sadar atau tidak ditafsirkan sebagai

tanggung jawab yang lebih berkonotasi

sebagai “beban,” bukannya sebagai anugerah

karena dipercaya sebagai mitra Allah untuk

“memenuhi bumi” dengan orang-orang baik,

jujur, dan takut akan Tuhan.

Tak banyak pula keluarga yang melihat

anak-anak dalam konteks kemasyarakatan

ataupun kebangsaan. Kebanyakan keluarga

di Indonesia masih menempatkan anak

sebagai “aset” keluarga yang harus

membahagiakan dan membanggakan orang

tua maupun keluarga besarnya. Jika sudah

begitu, maka bagaikan meletakkan mobil-

mobilan di lintasan balap, demikianlah

kebanyakan orang tua di negeri kita

meletakkan anak-anaknya dalam sebuah alur

kompetisi. Anak yang pintar akan sangat

dibanggakan, sedangkan yang biasa-biasa saja

akan terus dipacu supaya jenius.

Sekolah (dan tempat-tempat kursus)

menjadi semacam karantina untuk

menghasilkan output yang diinginkan

keluarga. Cita-cita anakpun bisa

“diintervensi” jika dianggap tidak “bonafit”

atau tak bisa mengharumkan nama keluarga.

Fenomena ini bahkan tak jarang terjadi di

keluarga-keluarga Kristen yang konon

dipanggil sebagai garam dan terang yang

memberkati sekelilingnya. Anak-anakpun

tumbuh dengan prioritas yang sempit:

membahagiakan dan membanggakan

keluarga. Bagaimana caranya? Menjadi

“orang”, alias berhasil dalam menumpuk

harta dan mendulang karir—tak peduli

bagaimanapun cara mencapainya.

Peran gereja dan lembaga pendamping

gereja

Di gereja, yang terjadi juga hampir sama.

Meskipun acapkali menyerukan pentingnya

kesatuan Tubuh Kristus, pada kenyataannya

masing-masing “merek” gereja menjadi

komunitas-komunitas yang eksklusif, yang

meski mungkin tak terucap, memandang

gereja lain sebagai kurang beriman, kurang

alkitabiah, dan sebagainya. “Segala

kemuliaan bagi Tuhan” sering diteriakkan,

namun seolah-olah itu sekedar slogan.

Karena pada kenyataannya, “segala

kemuliaan” itu “dibajak” oleh gereja atau

para pelayan Tuhan. Bukannya mencetak

garam dan terang bagi masyarakat, gereja

sering tergoda untuk menggarami dan

menerangi dirinya sendiri.

“Memperlebar Kerajaan Allah”

diartikan secara denotatif, yakni

menambah jumlah kawanan domba—yang

entah didapat dari mana—dan

memperluas wilayah “kerajaan” gereja—tak

peduli bagaimana cara melakukannya. Saling

rebut jemaatpun tak terelakkan, termasuk

menempuh jalan pintas untuk mengakali

aturan agar pembangunan gereja segera dapat

dilaksanakan. Sebuah gereja di Jakarta

Timur—entah bagaimana caranya—mendapat

izin dari Gubernur DKI sebelum ini untuk

memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau. Warga

“““““Kebanyakan keluarga diIndonesia masih menempatkananak sebagai “aset” keluargayang harus membahagiakan danmembanggakan orang tuamaupun keluarga besarnya

Page 9: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

99999

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

setempat membawa permasalahan ini ke

PTUN dan memenangkan kasus tersebut.

Bagaimana gereja bisa turut berperan serta

dalam pemberantasan korupsi, jika ia sendiri

masih suka berkompromi?

Di gereja-gereja yang “lurus,” berapakah

di antaranya yang memasukkan topik

kebangsaan, khususnya mengenai

pemberantasan korupsi, di dalam

“kurikulum” pembinaan jemaatnya?

Bagaimana pula dengan lembaga-lembaga

kerohanian kristen lainnya seperti Perkantas,

LPMI, PPA, PMK/PAK, dan lain sebagainya,

sudahkah nasib bangsa ini menjadi

pergumulan yang utama, terkhusus soal

korupsi yang merajalela? Berapa banyak buku

rohani bertemakan pemberantasan korupsi

yang telah diterbitkan? Baik gereja maupun

lembaga pendamping gereja, sudah adakah

jejaring bersama yang secara khusus

mengampanyekan gerakan antikorupsi di

gereja-gereja hingga ke jalan-jalan raya?

Seberapa intens diadakan seminar atau

diskusi mengenai “tips dan trik” agar bisa

terjun ke dalam dunia bisnis, politik, hukum,

dan pemerintahan tanpa harus tersandera

sistem yang korup? Ataukah kita enggan

meninggalkan nyamannya pola hidup

asketisme yang mengejar kesalehan dan

keselamatan pribadi semata?

Ayo menyeberang!

Ada sebuah ungkapan yang terkenal

dalam bahasa Inggris, “All that is necessary for

the triumph of evil is that good men

do nothing.” Kejahatan akan

berkuasa ketika orang-orang

baik tak berbuat apapun untuk

melawannya. Terang takkan

berguna jika diletakkan di

bawah gantang. Garam juga

takkan bermanfaat jika tak

pernah ditaburkan ke dalam

masakan. Firman Tuhan sendiri

memberikan jaminan kepada

orang percaya mengenai apa

yang akan terjadi jika anak-anak-Nya

bertindak proaktif dalam melawan tipu

muslihat iblis, “Karena itu tunduklah kepada

Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari

dari padamu!” (Yak. 4:7).

Dari ayat yang sama juga bisa kita lihat

bahwa ketundukan kepada Allah

disandingkan dengan tindakan aktif untuk

melawan iblis. Tindakan itu bukan pilihan,

melainkan keduanya harus dilakukan secara

simultan. Artinya, kita tidak bisa

memproklamirkan diri tunduk kepada Allah,

jikalau hanya sanggup berdiam diri ketika

melihat iblis merusak perikehidupan

masyarakat dan bangsa kita yang, seperti

mimpi rasul Paulus tentang penduduk

Makedonia (Kis. 16:9), seakan-akan berseru

kepada kita: “Menyeberanglah ke mari dan

tolonglah kami!”

Indonesia memerlukan bukan saja

kaum cerdik cendikia, melainkan juga kaum

tulus dan setia; dan bukankah kita semestinya

memenuhi kriteria itu? Jika para cendikia

Kristen sibuk membangun kerajaannya

sendiri, bagaimana mungkin bangsa ini

diberkati? Dengan selalu mengingat Kristus

yang telah “menyeberang” dari kekekalan

kepada kefanaan untuk menyelamatkan kita,

marilah kita juga meninggalkan menara-

menara gading kita dan merebut sekolah,

kampus, dan kantor kita dari bapa segala

pendusta. Ayo menyeberang! (ays)

Page 10: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

1010101010

Menggagas Generasi Antikorupsi

Ek

spo

sisiE

ksp

osisi

Ek

spo

sisiE

ksp

osisi

Ek

spo

sisi

Perkataan Mazmur 119:9 itu

sudah menjadi salah satu ayat

hafalan favorit bagi banyak

muda-mudi Kristen. Bagaimana

tidak? Berbagai pembinaan

rohani begitu sering

mengutipnya di depan mereka

sambil menegaskannya sebagai

obat mustajab bagi kekorupan.

Integritas (“kelakuan bersih”)

adalah lawan kekorupan, dan

integritas ini dapat dipertahankan

dan dijaga orang muda dengan cara

mengacukan hidup kepada firman

Allah.

Tetapi, anehnya, kekorupan tetap

merajalela di Indonesia. Bahkan pelakunya

termasuk kalangan muda (Kristen) pula.

Bukannya mengabdi kepada Indonesia,

seperti yang dianjurkan secara tersirat oleh

Sumpah Pemuda 1928, mereka malah ikut

merompak tanah air dan bangsanya sendiri.

Dan jika kita, umat Kristen, mau berkilah

bahwa kita adalah kaum minoritas yang tak

bisa berbuat banyak secara nasional, faktanya

kekorupan menonjol pula di kantong-

kantong Kristen.

Dari Tanah Batak sampai Tanah

Dayak, dari Nias di ujung barat sampai Papua

di ujung timur, dari Sulawesi Utara di batas

utara sampai NTT di batas selatan, kita

menyimak banyak berita korupsi. Sejumlah

pejabat setempat, yang notabene orang

Kristen, diciduk dan disidang dengan

dakwaan korupsi. Kalaupun dakwaan itu sulit

dibuktikan, pembangunan yang tersendat dan

ketertinggalan di bermacam sektor

bersaksi bahwa korupsi memang

nyata di kantong-kantong Kristen.

Jika sudah begitu, apalah

arti Mazmur 119:9 yang kerap

dihafal dan difavoritkan muda-

mudi Kristen? Apalah arti

penegasan mimbar-mimbar

Kristen bahwa integritas adalah

obat mustajab bagi kekorupan?

Tulisan ini akan

membahas bahwa integritas belaka

tidak cukup untuk menanggulangi

korupsi yang sudah akut di tengah

bangsa dan, khususnya, di kantong-kantong

Kristen. Alkitab sendiri, seperti akan kita

tinjau nanti, mengisyaratkan hal itu kepada

kita.

Secara Alami?

Integritas alias “kelakuan bersih” tentu saja

merupakan syarat mutlak penanggulangan

korupsi—tetapi jelas bukan satu-satunya

syarat. Sayangnya, kalangan Kristen saleh

sering dijangkiti pola pikir naif yang

memandang bahwa pertobatan pribadi atau

“lahir baru” (yakni titik pangkal untuk

berkelakuan bersih) dengan sendirinya akan

menghasilkan perubahan masyarakat ke arah

yang baik.

“Mereka,” tulis Robert Kyle,

“memandang pertobatan pribadi—bukan

program-program sosial—sebagai jawaban

untuk masalah-masalah sosial.”1 Mereka

“percaya bahwa pembaharuan sosial akan

tumbuh secara alami dari kelakuan pribadi-

Integritas Belaka Tidak Cukup:Integritas Belaka Tidak Cukup:Integritas Belaka Tidak Cukup:Integritas Belaka Tidak Cukup:Integritas Belaka Tidak Cukup:

PPPPPemuda Krisemuda Krisemuda Krisemuda Krisemuda Kristen dan Pten dan Pten dan Pten dan Pten dan Penanggulangan Kenanggulangan Kenanggulangan Kenanggulangan Kenanggulangan KorupsiorupsiorupsiorupsiorupsiSamuel Tumanggor*

“Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih?

Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.”

Page 11: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

1 11 11 11 11 1

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

pribadi yang bertobat.”2 Akibatnya mudah

ditebak: untuk menanggulangi persoalan

sosial seperti korupsi, mereka cenderung

mengejar pertobatan pribadi-pribadi sambil

mengesampingkan hal-hal seperti kajian

intelektual atau program sosial.

Ya, kelakuan bersih orang-orang

yang bertobat dari dosa tentunya bisa

berdampak kepada masyarakat, tetapi tidak

pasti “secara alami” akan mengubah

masyarakat jadi saleh. Buktinya, meski tak

pernah kekurangan orang “lahir baru,”

Amerika Serikat tetap dibelit kebejatan—yang

tak dilakukan, bahkan tak terpikirkan, oleh

bangsa-bangsa non-Kristen. Demikian pula

kantong-kantong Kristen dililit kemabukan,

pergaulan bebas, korupsi meski KKR gencar

digelar di sana dan tantangan bertobat sering

ditanggapi beratus-ratus orang.

Teranglah bahwa umat Kristen

harus celik akan faktor-faktor selain

“kelakuan bersih” ketika berbicara tentang

penanggulangan kekorupan. Gereja dan

lembaga pelayanan Kristen hendaknya tidak

mengajari kaum mudanya menyederhanakan

perkara dengan ide “tumbuh secara alami”

yang disebutkan Kyle di atas.

Apa lagi yang dibutuhkan pemuda

Kristen selain “kelakuan bersih”?

Idealisme dan Iklim Penggugahnya

Pemuda Kristen butuh idealisme dan iklim

penggugah idealisme itu. Idealisme yang

dimaksud di sini adalah idealisme untuk maju

menghadapi kekorupan “muka dengan

muka”—sesuai dengan panggilan atau

“penugasan” yang diterima dari Tuhan.

Tanpa idealisme yang demikian, integritas

bisa tertahan di area nyaman saja dan tak

pernah “dibenturkan” dengan kekorupan.

Dalam hal ini, muda-mudi Kristen

dapat meneladani Nehemia, yang rela

berkorban dan bersusah-susah meninggalkan

pekerjaan bergengsinya di istana Susan untuk

kembali ke negeri Yehuda dan membangun

tembok Kota Yerusalem. Idealisme

mengantarnya mendatangi—bukan

menghindari—kondisi yang sulit, sarat

tantangan, bahkan mengancam nyawa.

Idealisme mengajarinya memanfaatkan

peluang untuk masuk ke kancah

penanggulangan masalah di Yerusalem,

bukan sekadar berdoa atau berandai-andai

di Susan yang jauh.

Iklim penggugah idealisme

Nehemia terbentuk ketika beberapa orang

Yehuda menggambarkan keadaan Kota

Yerusalem yang mengenaskan.

Karena memang mencintai tanah

air dan bangsanya, hati Nehemia

remuk seketika itu juga dan

angannya dibanjiri idealisme untuk

pulang membangun Yerusalem.

Kalau kita membaca

riwayat para pemuda pencetus

Sumpah Pemuda 1928, kita akan mendapati

idealisme sejenis—dan juga iklim penggugah

idealisme itu. Bukan tanpa kesulitan dan

keberanian mereka mengikrarkan

keindonesiaan di zaman penjajahan Belanda!

Pada masa kini, gereja dan lembaga

pelayanan Kristen harus menggembleng

kaum muda Kristen untuk punya idealisme

macam itu. Bukan sekadar dicerahi tentang

integritas, mereka juga harus dicerahi tentang

adanya panggilan untuk berkorban dan

bersusah-susah demi kebaikan bangsa. Bukan

sekadar diajari ayat-ayat tentang integritas,

mereka juga harus diajari cara-cara melihat

dan mengambil peluang untuk turut

menanggulangi kekorupan di tengah negeri.

Dan iklim penggugah idealisme itu

harus dihidupkan di tempat-tempat

pembinaan pemuda Kristen. Jangan lagi

“““““Dan jika kita, umat Kristen, mau berkilahbahwa kita adalah kaum minoritasyang tak bisa berbuat banyak secaranasional, faktanya kekorupan menonjolpula di kantong-kantong Kristen.

Page 12: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

1212121212

Menggagas Generasi Antikorupsi

Ek

spo

sisiE

ksp

osisi

Ek

spo

sisiE

ksp

osisi

Ek

spo

sisi

gereja dan lembaga pelayanan Kristen hanya

pandai menantang muda-mudinya untuk

masuk ladang misi atau kependetaan tetapi

tidak pandai menantang mereka masuk

medan juang penanggulangan kekorupan di

berbagai sektor kehidupan bangsa.

Tekad Baja dan Penguasaan Keilmuan

Mendampingi idealisme, pemuda Kristen

butuh tekad baja dan penguasaan keilmuan.

Di hadapan kekorupan, integritas belaka

adalah rapuh tanpa tunjangan tekad kuat,

dan semangat berintegritas belaka adalah sia-

sia tanpa pengetahuan tentang berbagai hal.

“Tanpa pengetahuan,” kata Kitab Amsal,

“kerajinan pun tidak baik” (Ams. 19:2).

Dalam hal ini, muda-mudi Kristen

dapat meneladani Daniel, yang mashur

kebulatan tekadnya dan menonjol

keilmuannya. Apakah Daniel berintegritas?

Pasti. Tetapi apakah Daniel bisa sukses

bekerja dan dipercaya di Kerajaan Babel dan

Media-Persia semata-mata karena

berintegritas? Tidak!

Ia punya tekad baja untuk melawan

arus dalam hal yang diyakininya benar.

Sewaktu banyak orang Yahudi berkompromi

dengan jatah ransum yang sudah

dipersembahkan kepada berhala, ia menolak

secara baik-baik—bukan secara beringas—dan

meminta jenis makanan lain. Ketika banyak

orang Yahudi tunduk saja kepada peraturan

untuk tidak berdoa kepada sembahan

manapun, ia tetap menjalankan sembahyang

rutinnya dan mengingat bangsanya dalam

doa.

Ia juga giat belajar sehingga

menguasai baik ilmu keras, seperti

pengetahuan administrasi negara yang

ditekuninya di Babel selama tiga tahun (Dan.

1:4-5,17), maupun ilmu lunak, seperti

kemampuan berdiplomasi dengan pemimpin

pegawai istana dan pengawas (“penjenang”)

asrama (Dan. 1:9-16).

Tekad baja dan penguasaan

keilmuan serupa dimiliki pula oleh para

pemuda pengikrar Sumpah Pemuda 1928.

Kita semua tahu bahwa mereka adalah kaum

terpelajar (karena benar-benar banyak

belajar) yang berbulat tekad untuk

menegakkan jati diri keindonesiaan—apa pun

tantangannya.

Pada masa kini, gereja

dan lembaga pelayanan Kristen

harus menempa kaum muda

Kristen untuk jadi orang bertekad

baja demi membantu mewujudkan

Indonesia yang lebih baik dan

bersih. Bukan sekadar didorong

untuk menjaga integritas, mereka

juga harus didorong untuk

mantap menjunjung idealisme,

siap melawan arus bilamana

harus, dan berani

“membenturkan” integritas mereka dengan

kekorupan.

Gereja dan lembaga pelayanan

Kristen pun harus menyemangati mereka

untuk menguasai rupa-rupa pengetahuan dan

keterampilan—sesuai dengan panggilan

hidup masing-masing. Bukan sekadar didesak

untuk rajin mengkaji Alkitab, mereka juga

harus didesak untuk rajin mengkaji keilmuan

sehingga tahu menggubah dan menggunakan

cara atau sistem terbaik demi mengatasi

penyakit bangsa seperti korupsi.

Peluang-peluang yang Dibukakan Tuhan

Di atas integritas, idealisme dan iklim

penggugahnya, tekad baja dan penguasaan

“““““Jangan lagi gereja dan lembagapelayanan Kristen hanya pandaimenantang muda-mudinya untukmasuk ladang misi atau kependetaantetapi tidak pandai menantang merekamasuk medan juang penanggulangankekorupan di berbagai sektorkehidupan bangsa

Page 13: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

1313131313

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

Ek

spo

sisi

keilmuan, sudah barang tentu pemuda

Kristen butuh peluang-peluang yang

dibukakan Tuhan. Semua hal lain itu tak

akan berarti banyak sekiranya Tuhan tidak

membukakan pintu kesempatan kepada

kedudukan yang lebih strategis atau

wewenang yang lebih besar untuk memerangi

kekorupan.

Nehemia, kita tahu, mendapat

peluang pulang ke Yerusalem—peluang

menerapkan idealismenya di kancah

permasalahan—ketika Tuhan “meramahkan”

hati Raja Artahsasta terhadap niat-niatnya.

Daniel pun mendapat peluang kepada

jabatan yang makin tinggi ketika Tuhan

mengatur peristiwa-peristiwa yang membuat

para penguasa Babel dan Media-Persia

berkenan dan percaya kepadanya. Para

pemuda penggubah Sumpah Pemuda 1928

juga mendapat peluang kepada kecerdasan

dan perjuangan bangsa ketika Tuhan

menggerakkan khalayak di Belanda untuk

mendesak pemerintah Belanda membuka

keran pendidikan bagi penduduk Nusantara.

Dan mereka semua sigap

memanfaatkan peluang-peluang itu, bukan

tertegun atau berlambat-lambat dalam

bimbang dan takut.

Demikianlah gereja dan lembaga

pelayanan Kristen harus melatih muda-mudi

Kristen untuk bekerja sama dengan Tuhan—

untuk mengandalkan, mengharapkan, dan

memohon Tuhan membukakan peluang-

peluang—dalam juang melawan korupsi.

Gereja dan lembaga pelayanan Kristen juga

harus melatih mereka untuk mengambil

peluang-peluang itu begitu terbukakan.

Dan semua ini menegaskan bahwa

pembinaan rohani Kristen bisa dan harus

berbuat lebih dari yang sudah-sudah untuk

turut menyokong upaya penanggulangan

korupsi di tengah bangsa. Pembinaan rohani

Kristen harus beranjak dari pemikiran naif

yang memandang bahwa integritas belaka

atau “lahir baru” belaka cukup untuk

membanteras wabah sosial seperti korupsi.

Ya, kita semua setuju bahwa

integritas atau “kelakuan bersih” adalah

penawar kekorupan yang tak dapat ditawar-

tawar, karena memang begitulah faktanya dan

begitulah yang dinyatakan Alkitab. Tetapi

sekarang kita juga paham bahwa integritas

bukanlah satu-satunya faktor, karena fakta

dan Alkitab sendiri menunjukkan kepada kita

faktor-faktor penting lain yang harus

dilibatkan.

Kiranya sejak sekarang kita bisa

melihat gereja dan lembaga pelayanan

Kristen giat menggugah kaum muda Kristen

berperan aktif, tanpa berpikiran naif, untuk

berkarya baik di tengah bangsa—termasuk

berkarya memerangi kekorupan. Kiranya kita

bisa menyaksikan kaum muda Kristen, dan

kaum muda umat lain, bahu-membahu dalam

menjunjung integritas, idealisme, tekad baja,

penguasaan ilmu, dan pemanfaatan

kesempatan yang dibukakan Tuhan—faktor-

faktor yang sebetulnya dikenali secara

universal—dan “membenturkan” semua itu

dengan kekorupan.

Dengan demikian, pemuda Kristen

akan turut mempertahankan kebersihan

tanah air dan bangsa Indonesia, yang telah

diperjuangkan dan dibentuk generasi muda

terdahulu dengan tunjangan faktor-faktor

yang sama pula.

*Penulis adalah pengarang buku dan

fasilitator pelatihan penulisan

Catatan1 Richard Kyle. Evangelicalism: An Americanized

Christianity. New Jersey: Transaction

Publishers, 2006, hal. 178.2 Richard Kyle, hal. 41.

Page 14: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

1414141414

Menggagas Generasi Antikorupsi

wa

wa

nc

ara

wa

wa

nc

ara

wa

wa

nc

ara

wa

wa

nc

ara

wa

wa

nc

ara

Terkait dengan penerapan kurikulum pendidikan antikorupsi yang merupakan hasil

kerjasama Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, Ketua KPK Abraham Samad menjelaskan bahwa pengajaran antikorupsi

sebagai sisipan dalam kurikulum karakter bangsa pada pendidikan dasar dan menengah,

serta pengintegrasian nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan tinggi sejalan dengan

program-program pendidikan yang selama ini dijalankan kedeputian pencegahan di KPK.

Mendikbud sendiri menyatakan bahwa ditandatanganinya nota kesepahaman tersebut untuk

menciptakan generasi baru yang tahan terhadap godaan-godaan korupsi. M Nuh juga

menambahkan, “Kita ingin dunia pendidikan dan kebudayaan menjadi motor untuk

membangun proses pembudayaan yang tahan terhadap korupsi” (Suara Merdeka, 09/03/

12).

Dalam wawancara kali ini, Majalah Dia berkesempatan untuk berbincang dengan Pdt. Em.

Dr. Aristarchus Sukarto, BA, M.Th. yang saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas

Krida Wacana (Ukrida). Berikut sebagian percakapan Majalah Dia (MD) dengan pak

Aristarchus Sukarto (AS):

MD: Bagaimana pendapat Bapak soal

pendidikan antikorupsi yang sedang

digencarkan oleh pemerintah?

AS: Sebetulnya mulainya sudah lama,

dicanangkan oleh PBB untuk seluruh dunia,

bukan hanya Indonesia. Di Indonesia

memang baru dimulai, karena adanya

tuntutan untuk good governance, transparansi,

dan sebagainya. Memang negara seperti

Swedia menyusun kurikulum (antikorupsi),

dan itu yang sekarang kita ikuti.

Cuma kalau saya lihat di masyarakat kita itu

kan harus mengikuti pola linier, di mana

orang membuat perencanaan sampai

pencapaian, lalu semua diukur dari situ,

kemudian bisa dilihat ada penyimpangan atau

tidak. Tapi kalau orang punya landasan

berpikir tidak linier atau cyclic, maka tidak

ada semacam akumulasi atau tujuan yang mau

dicapai, sehingga muter aja.

Misalnya kalau orang yang berpikir linier

melihat uang, ia akan berpikir untuk

kehidupan yang lebih baik ke depan. Tapi

kalau pola pikirnya cyclic, hidup ya begini

ini, sehingga uang yang ada digunakan untuk

kepentingan sekarang. Untuk masyarakat

kita, pendidikan antikorupsi ya harus dimulai

dari pembenahan budaya atau cara berpikir.

Bukan dengan hanya membuat hukum.

Orang itu jalannya kan dituntun oleh

worldview yang dimiliki. Jadi itu yang perlu

kita perhatikan dalam pendidikan

antikorupsi.

MD: Jadi, pendekatannya ke arah budaya?

AS: Iya. Orang-orang Jakarta saja tidak

semuanya berpikir linier sekali. Contohnya

kalau kita mau membuat sebuah perusahaan

atau sebuah kegiatan atau gereja mau maju

ternyata tidak bisa karena ini, model

pikirannya yang satu maunya linier, segala

sesuatu terawasi dan ada auditnya, yang

PPPPPendidikendidikendidikendidikendidikan Itu Man Itu Man Itu Man Itu Man Itu Meeeeewwwwwariskariskariskariskariskan an an an an WWWWWorldvieorldvieorldvieorldvieorldviewwwww

Page 15: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

1515151515

WWWW Waaaa a

wwww wa

nc

ara

an

ca

ra

an

ca

ra

an

ca

ra

an

ca

ra

satunya lagi berpikir, mengapa harus diaudit?

Inilah praktek-praktek yang menyuburkan

korupsi.

MD: Kalau di Ukrida bagaimana?

AS: Kami mulai masukkan, misalnya di mata

kuliah pembinaan kepribadian. Ini

pendidikan yang holistik, membentuk

kepribadian. Misalnya, mahasiswa mulai

diajarkan softskill-nya yang dilandasi dari

worldview-nya. Bagaimana mempertanggung

jawabkan tugas kalau menjadi panitia,

bagaimana memperhatikan orang lain,

bagaimana memandang uang itu mempunyai

fungsi sosial, jadi tidak hanya untuk pribadi,

ini diterapkan dalam softskill tadi. Makanya,

di dalam MPK pasti ada pakar yang datang

dari KPK memberikan kuliah tentang

pemberantasan korupsi, mulai dari undang-

undangnya sampai contoh-contoh perilaku

yang bisa dikatakan koruptif. Mahasiswa

diajak mulai bertanggung jawab, memikirkan

orang lain. Misalnya untuk masalah nilai,

orang tua harus tahu. Mengapa harus tahu?

Karena merekalah yang membiayai, sehingga

mereka berhak untuk tahu. Hal-hal itu yang

kami kemas dalam satu paket (pendidikan

antikorupsi).

Di Indonesia itu, apa-apa ditaruh ke

dalam kurikulum, menurut saya itu superficial.

Itu berat bagi anak-anak, dan fragmented,

artinya tidak ada kaitan antara menghafal

materi pelajaran antikorupsi dengan perilaku

antikorupsi di kehidupan sehari-hari, kecuali

kurikulum itu integrated. Makanya, di Ukrida

kan saya memasukkan itu ke dalam

pendidikan yang holistik itu tadi, mulai dari

belajar Pancasila, kewarganegaraan, ilmu

sosial dasar, lalu bagaimana keberagamaan

dalam interaksi sosial. Dulu saya sebut itu

metode isomeristik. Harusnya selain ada

pembelajaran tentang bagaimana berlaku

jujur dan tidak korup, juga diajarkan apa

dampaknya jika ada korupsi.

Orang hanya tahu korupsi itu

membahayakan, tapi tidak tahu kenapa,

bahkan justru senang-senang saja karena

mendapat bagian. Ini menjadi seperti cerita

Robin Hood, korupsi lalu bagi-bagi. Mereka

semua malah mendewa-dewakan yang

korupsi, karena mereka kesulitan hidup saat

ini. Jadi sebetulnya kalau mengajarkan

tentang antikorupsi kan seharusnya termasuk

bagaimana membentuk masyarakat masa

depan, bagaimana konsep tentang masyarakat

yang bahagia, sehingga tahu kenapa harus

tidak korupsi. Di dalam pendidikan yang

holistik itu, mahasiswa-mahasiswa yang masih

muda diajarkan untuk melihat kerangka

sosial yang besar tadi.

MD: Di Ukrida ada semacam KKN?

AS: Saya baru saja memulainya. Sebenarnya

(KKN) itu juga terkait dengan ini (pendidikan

antikorupsi). Supaya anak-anak Jakarta

memiliki kesadaran sosial, jadi lebih melihat

orang lain. Ternyata, di sini mahasiswa yang

dianggap selfish, setelah melihat orang yang

menderita di Paralangon (Garut, Jabar—red),

orangnya cacat, tak bisa memelihara ayam,

dia membuatkan kandang dan sebagainya.

Jadi, KKN bukan sekedar proyek pasang

papan nama, karena yang saya tekankan

Pdt. Em. Dr. Aristarchus Sukarto, BA, M.Th.

Page 16: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

1616161616

Menggagas Generasi Antikorupsi

wa

wa

nc

ara

wa

wa

nc

ara

wa

wa

nc

ara

wa

wa

nc

ara

wa

wa

nc

ara

adalah kesadaran sosial itu. Saya juga sedang

jajaki untuk KKN di daerah Jogja, bekerja

sama dengan UKDW. Di Lampung, kami ada

Puskesmas kecil, rencananya akan diperbesar

untuk pemberdayaan masyarakat. Itu cara saya

berpikir untuk mendidik anak-anak

(mahasiswa) saya untuk mengatasi korupsi.

Bagaimana masyarakat sejahtera dan saya

sejahtera.

Orang itu akan korupsi terus kalau dia

ketakutan dengan masa depan. Nah, justru

bagaimana kita membuat masa depan itu

gambaran yang memang aman. Misalnya

begini: kalau masa depan saya letakkan pada

akumulasi uang sebagai kekuatan, maka saya

pasti cenderung korupsi. Akan tetapi, kalau

masa depan itu masyarakat yang bahagia, mau

saling menunjang, lalu sistemnya bisa jalan,

orang itu akan membentuk sistem, sehingga

tidak kuatir.

Anak-anak muda kita itu kan sebetulnya

kuatir. Di Jakarta itu saya perhatikan, anak-

anak muda itu maunya kerja sehingga umur

40 tahun sudah mapan, usia 50 tinggal

berpikir, tidak bekerja pakai otot lagi,

sehingga memikirkan bagaimana

mendapatkan uang yang cukup. Ini pasti

mendorong orang untuk mengumpulkan

uang untuk pribadinya. Tapi kalau berpikir

untuk masa depan bersama yang lebih baik,

misalnya jaminan kesehatan masyarakat

hingga hari tua dan sebagainya, maka orang

itu akan lebih membangun sistem. Tabungan

hanya untuk menambah kegembiraan saja,

misalnya untuk rekreasi dan sebagainya,

karena kebutuhan mendasar terjamin. Kalau

tidak, biarpun hukumnya kita pertajam dan

kekuasaan hakimnya kita perkuat, kalau

situasi begini terus, tetap saja dorongan

untuk korupsi itu akan muncul.

MD: Mengapa muncul ide pendidikan

antikorupsi, padahal kita kan negara yang

religius?

AS: Pendidikan itu kan sebetulnya bukan

sekedar membuat seseorang itu menguasai

matematika atau ekonomi, tapi juga

mewariskan worldview tentang masyarakat,

tentang kehidupan. Ini yang kita kurang

tekankan. Sejak kecil, anak-anak kita

dicekoki pemahaman bahwa yang pintar

itu yang jago Matematika dan sebagainya.

Anak-anak ini tak pernah diajak berpikir

tentang masyarakat yang idaman itu

seperti apa. Kita punya Pancasila dan

Pembukaan UUD ’45, tapi penjabarannya

tidak diajarkan kepada anak-anak kita.

Sekarang kita sadar kok kondisi kita

makin porak-poranda, korupsi biarpun

dihantam sana-sini selalu muncul lagi.

Jalan pintasnya ya buat undang-undang,

diaplikasikan, lalu koruptornya dihukum.

Tapi sebetulnya, menurut saya, kalau mau ya

sejak dini. Dan itu tidak hanya sekedar

kurikulumnya dibuat, tapi bagaimana sejak

dini anak-anak itu diajarkan nilai-nilai sosial,

misalnya diajak makan bersama-sama, untuk

berbagi dengan yang lain.

Di gereja, kita juga mulai hilang. Gereja

seolah-olah hanya menekankan

pertumbuhan kuantitatif atau jumlah anggota.

Sadar atau tidak, itu yang menjadi

penekanan, sehingga tidak peduli

persekutuan temannya diambil. Sadar atau

tidak, kita sedang mengajarkan membangun

citra, bukan membangun masyarakat

kerajaan Allah. Dalam hal PI saja kita kadang-

kadang seperti itu (mengukur kuantitas).

Tujuan gereja itu kan sebenarnya bagaimana

sih masyarakat kerajaan Allah, anak-anak

“““““Pendidikan itu kan sebetulnyabukan sekedar membuatseseorang itu menguasaimatematika atau ekonomi, tapijuga mewariskan worldviewtentang masyarakat, tentangkehidupan.

Page 17: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

1717171717

WWWW Waaaa a

wwww wa

nc

ara

an

ca

ra

an

ca

ra

an

ca

ra

an

ca

ra

Tuhan yang mengenal Kristus itu menjadi

komunitas yang bisa betul-betul

mencerminkan Tuhan sendiri. Itu kan perlu

latihan. Kalau inginnya bagaimana supaya

terkenal, dihargai orang besar, dan

sebagainya, itu bisa jadi sumber korupsi.

MD: Tentang gereja, bagaimana pendidikan

antikorupsi di gereja selama ini?

AS: Saya kira gereja masih lemah sekali dalam

hal ini. Padahal, kalau melihat salah satu dari

Sepuluh Perintah tentang jangan mengingini

kepunyaan sesamamu, itu sebetulnya kan

pendidikan antikorupsi, bagaimana kita

menghargai hak orang lain dan hidup lurus.

Tapi kalau kita tekankan hanya berkat untuk

diri sendiri saja, kita takkan berkembang.

Makanya saya lihat banyak tulisan tentang

antikorupsi itu yang mengecam korupsi-

korupsi di luar gereja, tapi di gereja sendiri

tak pernah memikirkan, kira-kira gerak saya

mengandung unsur korupsi atau tidak.

MD: Sekarang, ada kecenderungan bahwa

tanggung jawab pendidikan diserahkan

kepada sekolah, bagaimana menurut Bapak?

AS: Ya tidak bisa, karena pendidikan

kepribadian itu kan dari lingkungan terdekat.

Keluarga ikut menentukan konsep hidup

anak-anak. Yang saya tekankan di keluarga,

misalnya, bukan karena saya sebagai

rohaniawan, maka anak-anak harus hidup

berpengorbanan, pelayanan, tidak hanya itu,

tapi juga bagaimana hidup sejahtera sebagai

orang yang sharing. Saya lihat dampaknya

waktu anak saya kerja di RS di bagian

pembelian obat, dia tidak pernah terbersit

untuk mengambil pungli atau korupsi.

MD: Lalu soal keteladanan, adakah yang

perlu diperbaiki di dunia pendidikan?

Selama ini kurikulum dari Pemerintah kan

sasarannya anak didik saja?

AS: Seorang pendidik harus bisa menjelaskan

konsep tentang guru/pendidik supaya

diterima anak didik, misalnya guru itu

membimbing, guru itu harus menerima

murid, sehingga kalau guru itu datangnya

terlambat, itu kan di bayangan anak-anak

itu akan ikut meniru. Di dunia mahasiswa

juga sama. Misalnya kalau dosennya hanya

mengajar bahan yang itu-itu saja selama

bertahun-tahun, tidak ada pembaruan.

Kemudian, dosen hanya mengajar,

kemudian pergi begitu saja, padahal tugas

dosen kan harusnya membimbing

mahasiswa, kalau dicari harus ada.

Setidaknya pasang jam berkantor yang jelas,

supaya mahasiswa tahu kapan bisa bertemu.

Kalau dosen disiplin seperti itu, itu sudah

memberikan keteladanan dalam hal

antikorupsi.

Sebetulnya seseorang menjadi korup itu

kan bukan karena pegang anggaran lalu tiba-

tiba korupsi, melainkan built up sejak dia

anak-anak, jadi siswa dan mahasiswa. Kalau

common sense-nya yang diterima secara sadar

ataupun tidak ternyata membolehkan

perilaku korup, maka ia bisa menjadi orang

yang korup. Pendidikan antikorupsi tidak

sekedar kurikulum tentang hukum dan

tindakan hukum saja, tetapi juga karena

worldview yang dihidupi. (ays)

“““““Sebetulnya seseorang menjadikorup itu kan bukan karenapegang anggaran lalu tiba-tibakorupsi, melainkan built up sejakdia anak-anak, jadi siswa danmahasiswa.

Page 18: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

1818181818

Menggagas Generasi Antikorupsi

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngg ggg

Sepuluh tahun yang lalu,

saya pernah terhenyak

dengan perilaku korup

Pegawai Negeri Sipil (PNS)

kantor wilayah (kanwi)

Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan (Depdikbud) yang

meminta uang kepada saya

dan kakak saya untuk legalisir

ijazah SMA saya. Padahal, tugas

PNS tersebut hanyalah

mengantar ijazah saya untuk

ditandatangani. Anehnya, seorang

ibu yang berada dekat kami malah

mendorong kami untuk membayar uang

Rp 5000,00 untuk legalisir. Menurut Ibu

tersebut itu adalah hal yang “wajar”. Kami

yang awalnya menolak pun akhirnya

memberi uang itu dengan kesal dan malu.

Kejadian di atas adalah sebuah contoh

betapa bahayanya korupsi jika terus

dibiarkan. Memberi uang “terima kasih”,

memberi uang “damai”, membayar lebih

untuk mempermudah birokrasi menjadi

sebuah kewajaran. Padahal, tindakan itulah

yang membuat korupsi berkembang biak

dengan subur di negeri ini. Korupsi secara

sadar atau tidak telah diajarkan turun

temurun dalam kehidupan bermasyarakat.

Korupsi menjalar dengan cepatnya seperti

penyakit kanker.

Empat belas tahun telah berlalu sejak

tumbangnya rezim korup Suharto, akan

tetapi korupsi di Indonesia bukannya

berkurang, malahan bertambah parah.

Dalam kasus terbaru yang sedang diusut

Komisi Pemberantas Korupsi (KPK),

anggaran untuk pengadaan Al-Quran gratis

pun turut dikorupsi. Para koruptor di negeri

ini tidak lagi takut untuk mengorupsi

anggaran kitab suci. Sungguh mengerikan!

Transparency International (TI)

mencatat bahwa Indeks Persepsi

korupsi (IPK) Indonesia pada

tahun 2011 berada di angka 3,0

dari rentang nilai 0 – 10.

Indonesia berada di peringkat

100 dari 182 negara yang

diberikan nilai. Semakin

tinggi angka IPK sebuah

negara, semakin bersih sebuah

negara itu dari korupsi. Jika

dilihat dari data 2006 (IPK 2,4)

sampai 2011, IPK Indonesia hanya

meningkat sebesar 0,6. Sebuah

indikasi kurang seriusnya negara ini

memberantas korupsi.

Cegah korupsi sejak dini

Korupsi adalah dosa. Oleh karena itu

cara bekerjanya pun seperti dosa. Korupsi

besar tidak mungkin terjadi tanpa adanya

korupsi kecil-kecilan. Dengan kata lain

orang yang saat ini tertangkap karena kasus

korupsi pastilah orang yang sejak kecil

terbiasa hidup tidak benar. Oleh karena itu,

untuk melawan korupsi selain melakukan

pemberantasan dengan hukum kita juga

perlu melakukan pencegahan sejak dini.

Menyadari pentingnya pencegahan

korupsi sejak dini, KPK melakukan kerja

sama dengan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan (Kemendikbud) untuk

memasukkan pendidikan antikorupsi di

lembaga pendidikan mulai dari Sekolah

Dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi.

Pada tingkat SD sampai SMA, pendidikan

antikorupsi akan dimasukkan dalam mata

pelajaran Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan (PPKn). Sedangkan di

perguruan tinggi, akan dibuat mata kuliah

khusus antikorupsi (kompas, 20/06/2012).

Jangan HanyJangan HanyJangan HanyJangan HanyJangan Hanya Ma Ma Ma Ma Menambah Penambah Penambah Penambah Penambah PengetengetengetengetengetahuanahuanahuanahuanahuanOleh Palti Hutabarat*

Page 19: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

1919191919

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngggg g

Tindakan KPK untuk memasukkan

pendidikan antikorupsi dalam kurikulum

pendidikan adalah sebuah tindakan yang

brilian. Tindakan pencegahan melalui

pendidikan adalah cara pencegahan terbaik.

Karena pendidikan mampu mengubah cara

pandang dan pola pikir seseorang. Selain itu,

semakin dini seseorang diajarkan

pendidikan antikorupsi, semakin mudah

dirinya dibentuk untuk tidak melakukan

korupsi.

Amsal 22:6 berkata, “Didiklah orang

muda menurut jalan yang patut baginya, maka

pada masa tuanyapun ia tidak akan

menyimpang dari pada jalan itu”. Orang

muda yang dididik dengan benar akan

memiliki hidup yang benar pula. Sebaliknya,

jika dididik dengan tidak benar, pastinya

mereka akan memiliki hidup yang tidak

benar.

Pendidikan, menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, adalah proses

pengubahan sikap dan tata laku seseorang

atau kelompok orang dalam usaha

mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan pelatihan. Pendidikan bukan

hanya membuat orang dari tidak tahu

menjadi tahu, melainkan juga membuat

orang mampu melakukan apa yang

diketahuinya. Ketika pendidikan antikorupsi

diterapkan, maka anak didik harus mampu

untuk tidak melakukan korupsi.

Sebagai seorang pendidik Kristen, kita

punya peran besar untuk menanamkan nilai-

nilai antikorupsi kepada anak didik.

Memasukkan nilai-nilai kebenaran dalam

setiap proses belajar mengajar, mengapresiasi

setiap kejujuran anak didik dan menghukum

segala kecurangan yang terjadi di dalam

kelas. Ketika hal itu dilakukan, maka seorang

pendidik Kristen sedang melakukan

pendidikan antikorupsi di dalam kelasnya.

Rencananya pendidikan antikorupsi akan

diterapkan mulai tahun ajaran 2012/2013

di jenjang pendidikan SD sampai SMA.

Inspektur Jenderal Kemendikbud, Haryono

Umar, menjelaskan bahwa materi untuk guru

SD dan SMA telah selesai digodok. Materi

untuk perguruan tinggi saat ini juga telah

selesai dibahas oleh KPK dan Kemendikbud

dan rencana akan segera diterapkan dalam

kurikulum (kompas.com, 9 maret 2012).

Penerapan pendidikan antikorupsi dalam

kurikulum, menurut saya, sangat tepat untuk

segera diterapkan dalam lembaga

pendidikan. Namun, yang perlu diwaspadai

adalah jangan sampai pendidikan antikorupsi

ini hanya sekedar menambah pengetahuan.

Karena jika demikian, pendidikan

antikorupsi hanya sekedar ajang mencari

nilai sama seperti bidang ilmu yang lain.

Pendidikan antikorupsi harus menjadi sarana

pelatihan bagi para pelajar untuk bangga bisa

hidup jujur dan berintegritas.

Selain itu, lembaga pendidikan juga

harus mulai menerapkan budaya jujur dan

berintegritas di lingkungannya. Di mulai dari

menuntut budaya jujur dan berintegritas para

pengajar dan karyawannya. Mulai dari tidak

telat untuk masuk sampai kepada

pertanggungjawaban keuangan sekolah atau

perguruan tinggi yang transparan. Jangan

sampai pendidikan antikorupsi menjadi sia-

sia ketika para pelajar melihat hidup para

pengajarnya bertolak belakang dengan teori

yang diajarkan. Pendidikan yang paling

berdampak adalah pendidikan dari

keteladanan, bukan teori.

Lembaga pendidikan juga harus

melakukan terobosan memberikan penilaian

terhadap kejujuran dan integritas dalam rapor

siswa atau KHS mahasiswa. Setiap siswa dan

mahasiswa yang kedapatan curang dalam

ujian harus mendapat hukuman

pengurangan nilai. Sebaliknya, setiap siswa

“““““Sebagai seorang pendidikKristen, kita punya peran besaruntuk menanamkan nilai-nilaiantikorupsi kepada anak didik

Page 20: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

2020202020

Menggagas Generasi Antikorupsi

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngg ggg

dan mahasiswa yang mengerjakan ujian

dengan jujur akan mendapatkan

penambahan nilai. Bahkan mereka yang

dipilih menjadi siswa dan mahasiswa teladan

haruslah mereka yang jujur dan berintegritas

dalam studinya.

Peran kita

Lalu apakah peran kita sebagai

masyarakat, gereja, persekutuan, dan lembaga

pelayanan Kristen dalam mendukung

pendidikan antikorupsi? Cara

mendukungnya adalah dengan menerapkan

pendidikan antikorupsi dalam lingkungan

masyarakat, gereja, persekutuan, dan lembaga

pelayanan kristen. Keluarga yang adalah

kelompok terkecil dalam masyarakat, harus

membiasakan budaya jujur dalam

kehidupannya. Setiap kejujuran mengakui

kesalahan harus dipuji dan diapresiasi.

Orang tua pun jangan malu untuk mengakui

kesalahannya di depan anak-anak. Hal ini

bisa jadi awal untuk hidup jujur dan

berintegritas.

Gereja juga bisa melakukan pendidikan

antikorupsi dengan cara memberikan

pembinaan kepada anggotanya mengenai

korupsi. Jika perlu, undang KPK untuk

memberikan pendidikan antikorupsi kepada

setiap anggota. Selain itu penting juga bagi

gereja waspada supaya tidak dijadikan tempat

pencucian uang korupsi. Jangan sampai

lembaga kekristenan terseret masuk dalam

kasus korupsi karena menerima uang

korupsi.

Persekutuan dan lembaga pelayanan

Kristen juga bisa melakukan pendidikan

antikorupsi di dalam pembinaannya.

Perkantas saya pikir perlu juga memasukkan

pendidikan antikorupsi dalam

kurikulumnya. Kurikulum pelayanan siswa,

mahasiswa, dan alumni harus dimasukkan

pendidikan antikorupsi. Bukan hanya dalam

konteks mengetahui apa itu korupsi, tetapi

juga bagaimana caranya menghindari dan

melawan korupsi. Persekutuan-persekutuan

kampus juga harus memasukkan pendidikan

antikorupsi dalam pembinaan-pembinaan

yang dilakukan. Hal ini akan membuat

mahasiswa menjadi peka terhadap korupsi.

Mari kita berharap pendidikan antikorupsi

yang masuk dalam lembaga pendidikan di

Indonesia akan mengurangi angka korupsi

di negara ini. Mari kita juga melawan korupsi

dengan menerapkan pendidikan antikorupsi

dalam keluarga, gereja, persekutuan, dan

lembaga pelayanan Kristen kita. Karena

korupsi telah memiskinkan rakyat Indonesia.

Jangan sampai kejadian buruk terusirnya ibu

Siami dan putranya, Alif, karena

membongkar kasus contek massal pada

pelaksanaan Ujian Nasional terulang

kembali.

*Penulis adalah Staf Mahasiswa Perkantas Riau

Jangan sampai lembaga kekristenan terseret kasus karena menerima uang hasil korupsi

Page 21: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

2121212121

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngggg g A

pa kita kita sedang

berperang?” Demikian

celetuk teman saat saya

menyebut pendidikan

perdamaian. Teman saya ini

tidak sepenuhnya salah. Dulu,

saya pun punya anggapan

bahwa pendidikan perdamaian

itu hanya dibutuhkan jika ada

konflik senjata atau kekerasan

fisik.

Setelah saya pelajari,

ternyata pendidikan perdamaian

memiliki konteks yang lebih luas.

Pendidikan perdamaian adalah bagian dari

peace building. Yang dimaksud dengan peace

building adalah upaya untuk membangun

perdamaian yang lestari dengan mencari akar

persoalan konf lik. Untuk itu, mereka

menggunakan analisis struktural yang

mengkritik developmentalisme. Hampir semua

negara mengadopsi paham pembangunan

ini. Secara konsep, tujuan dari pembangunan

adalah untuk mewujudkan kesejahteraan

bagi semua warganegara. Mereka bermimpi,

bahwa setiap orang dapat memiliki baju,

rumah, makanan, pendidikan, dan pekerjaan

yang layak. Warga negara juga memiliki

pelayanan sosial, seperti kesehatan, sosial,

dan keamanan. Demokrasi dilaksanakan, lalu

kebudayaan bertumbuh, dan lingkungan

hidup dilestarikan serta dilindungi.

Akan tetapi dalam praktiknya,

developmentalisme ini telah menciptakan

berbagai masalah ketidakadilan. Di

Indonesia, pemerintah Orde Baru

menjalankan politik pembangunan ini

dengan bertumpu pada pertumbuhan

ekonomi dan stabilitas nasional. Pemerintah

memberi ruang yang bebas kepada para

pemodal untuk menanamkan modal di

Indonesia dengan berbagai tawaran

yang menggiurkan: Upah buruh

yang murah, hukum lingkungan

yang longgar, keringanan pajak,

dan yang utama adalah

dukungan stabilitas nasional.

Untuk menciptakan

stabilitas nasional, pemerintah

menerapkan sistem sentralisasi.

Pengambilan keputusan dibuat

oleh penguasa yang dipatuhi

oleh bawahan. Semua partai

politik, media massa, dan birokrasi

dimanfaatkan untuk kepentingan

rezim Orba ini. Partisipasi rakyat dinihilkan.

Namun agar tercipta kesan bahwa ada

demokrasi, maka suara-suara rakyat ini

ditampung oleh lembaga legislatif yang

sebenarnya tunduk pada penguasa.

Lembaga pendidikan juga tak luput dari

eksploitasi oleh negara ini. Sebagai bagian

dari birokrasi, departemen pendidikan

menjadi alat yang ampuh untuk

menjinakkan pikiran yang kritis dan

menanamkan ideologi negara pada nara

didik.

Dengan kekuasaan yang memusat dan

ketiadaan kontrol, maka pemerintah

berpeluang melakukan penyalahgunaan

kekuasaan. Salah satunya adalah kesempatan

melakukan korupsi. Lembaga yudikatif yang

mestinya mengemban fungsi penyidikan atas

praktik korupsi menjadi mandul karena

lembaga ini tidak mandiri. Demi alasan

“stabilitas nasional”, maka kasus korupsi

haram untuk dibongkar karena dapat

mengganggu iklim investasi dan

pertumbuhan ekonomi. Korupsi juga sengaja

dibiarkan terjadi karena pemerintah pusat

sendiri melakukan korupsi. Maka, praktik

PPPPPenyenyenyenyenyaaaaadardardardardaran Antikan Antikan Antikan Antikan Antikorupsi Morupsi Morupsi Morupsi Morupsi Melalui Pelalui Pelalui Pelalui Pelalui Pendidikendidikendidikendidikendidikan Pan Pan Pan Pan PerererererdamaiandamaiandamaiandamaiandamaianPurnawan Kristanto*

Page 22: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

2222222222

Menggagas Generasi Antikorupsi

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngg ggg

Sosialisasi Pendidikan Antikorupsi di Papua oleh KPK: di tengah konflik

ini “menetes” ke bawah sebagai sebuah

kelaziman.

Konflik

Maraknya korupsi tidak hanya menguras

pundi-pundi negara, tetapi juga berpotensi

menciptakan munculnya konf lik.

Contohnya, dalam penggusuran tanah.

Rakyat dipaksa meninggalkan tanah

miliknya karena akan digunakan untuk

pembangunan proyek pemerintah atau

pabrik. Ganti rugi yang diterima pemilik

tanah sangat rendah. Sisa pembayaran tanah

dikantongi oleh calo-calo tanah yang bekerja

sama dengan pemerintah. Namun demi

“pembangunan”, mereka harus pindah.

Rakyat yang tidak bisa menerima kondisi ini

akan melawan balik.

Contoh lainnya, penduduk di sekitar

aliran sungai di perkotaan mengalami

gangguan kesehatan karena mengkonsumsi

air yang tercemar buangan pabrik.

Pemerintah enggan menindak pabrik yang

tidak memiliki fasilitas pengolahan limbah

dengan dalih jika pabrik itu ditutup maka

timbul pengangguran. Pada kasus-kasus

tertentu, kasus pencemaran lingkungan

berakhir secara “damai,” sebagai

penghalusan ungkapan dari penyuapan. Di

sini tersimpan potensi konflik. Masih ada

lagi potensi konflik akibat praktik korupsi.

Akhir-akhir ini, kita cenderung

menyelesaikan konflik dengan menggunakan

kekerasan atau yang populer disebut aksi

anarkis. Sebagai contoh, sekelompok massa

di Lampung membakar pabrik karena tanah

mereka diserobot untuk perkebunan. Di

Bima, massa membakar rumah dinas bupati

untuk menuntut pencabutan izin tambang.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Kita didorong untuk menunjukkan

solidaritas, bukan kasihan. Jika Anda

memberikan sedekah pada pengamen anak

jalanan itu adalah karena kasihan. Begitu

uang yang Anda berikan itu habis, maka

mereka akan kembali ke jalanan. Hidup

mereka tidak berubah. Namun dengan

menunjukkan solidaritas, maka Anda

mendukung upaya mereka untuk

memperbaiki hidup mereka. Di sini Anda

dapat menggunakan pendidikan perdamaian.

Di dalam pendidikan perdamaian ini,

partisipan diajak untuk menganalisis akar

Page 23: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

2323232323

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngggg g

dari ketidakadilan yang mereka alami.

Setelah itu merumuskan tindakan yang

berbasis pada nilai-nilai berikut ini:

♦ Nir-kekerasan

♦ Menghormati HAM dan kebebasan

orang lain

♦ Toleransi dan solidaritas

♦ Komunikasi yang transparan dan terbika

♦ Partisipasi penuh dan kesetaraan bagi

perempuan

Pendidikan antikorupsi di sekolah

Pendidikan dan pembudayaan

antikorupsi akan masuk ke kurikulum

pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi

mulai tahun 2012. Pemerintah akan memulai

proyek percontohan pendidikan antikorupsi

di pendidikan tinggi. Materi antikorupsi ini

tidak akan menjadi mata kuliah tersendiri,

namun diselipkan di dalam mata kuliah di

perguruan tinggi atau mata pelajaran di

sekolah.

Di satu sisi, kabar ini menggembirakan.

Tapi di sisi lain, terselip pikiran skeptis

mengingat Kementerian Pendidikan masih

menjadi sarang bagi “tikus-tikus” koruptor.

Meski rezim Orde Baru sudah tumbang,

reformasi di bidang pendidikan masih belum

memuaskan. Perilaku para pendidik masih

mewarisi mentalitas birokrat zaman Orba.

Padahal, pendidikan antikorupsi itu bukan

sekadar hafalan pelajaran, melainkan sebuah

nilai yang dihayati dalam kehidupan. Hal ini

diakui sendiri oleh menteri Pendidikan dan

Kebudayaan, Muhammad Nuh. Dia

mengatakan bahwa budaya antikorupsi dan

“““““pendidikan antikorupsi itu bukansekadar hafalan pelajaran,melainkan sebuah nilai yangdihayati dalam kehidupan

kejujuran tidak cukup hanya diajarkan lewat

bangku sekolah, melainkan harus

dipraktikkan. “Membangun dan menegakkan

budaya kejujuran itu harus diuji, tidak cukup

hanya diajarkan, namun harus dipraktikkan

dan dibudayakan sejak dini,” kata pak

menteri.

Di dalam pendidikan antikorupsi

dibutuhkan keteladanan. Bagaimana

mungkin mengajarkan antikorupsi pada

murid-murid jika guru sendiri masih

membolos mengajar atau “mendiskon” jam

pelajaran? Bagaimana mungkin

menanamkan kejujuran jika pihak sekolah

sendiri tidak jujur dalam mengelola BOS

(Bantuan Operasional Sekolah)?

Karena itu, saya meletakkan harapan

pada lembaga-lembaga yang berada di luar

struktural pemerintah untuk

mengkampanyekan budaya antikorupsi. LSM

dan gereja dapat berperan melakukan

penyadaran pada masyarakat akar rumput

dan jemaat tentang penyebab dan akibat

dari korupsi dengan metode partisipatif.

Mereka dapat mengadopsi metode-

metode yang disediakan di dalam “Peace

Building.” Di dalam Peace Building ini,

partisipan diajak melakukan analisis

kritis tentang sebab-akibat dari korupsi

berdasarkan kondisi nyata dalam

kehidupan mereka. Jika mereka tahu bahwa

perilaku korupsi itu banyak merugikan, maka

timbul kesadaran untuk hidup yang jujur dan

transparan.

Untuk inilah kita dipanggil sebagai

“peace maker”, sebagaimana dikatakan oleh

Yesus, “Blessed are the peacemakers: for they shall

be called the children of God.”

*Penulis adalah penulis buku, aktivis LSM, dan

relawan tanggap bencana. Pernah ikut pelatihan

Peace Building oleh Mindanao Peacebuilding

Institute, Filipina

Page 24: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

2424242424

Menggagas Generasi Antikorupsi

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngg ggg

PPPPPendidikendidikendidikendidikendidikan Antikan Antikan Antikan Antikan AntikorupsiorupsiorupsiorupsiorupsiVictor Silaen*

Pentingkah Pendidikan

Antikorupsi dilaksanakan

di lembaga-lembaga

pendidikan? Jelas penting. Kalau

begitu, sebaiknya Pendidikan

Antikorupsi ini dimulai dari

jenjang pendidikan mana? Di

pendidikan dasar, khususnya di

SMA (Sekolah Menengah Atas),

ataukah di pendidikan tinggi,

dalam arti di universitas, sekolah

tinggi maupun akademi? Menurut

hemat saya, karena kurikulum

pendidikan di SMA sudah sedemikian

padatnya, mungkin lebih baik dimulai dari

jenjang pendidikan tinggi saja.

Nah, di perguruan tinggi, berdasarkan

pengalaman saya sebagai dosen selama ini,

kurikulumnya agak fleksibel, jadi Pendidikan

Antikorupsi masih bisa disisipkan di sana-

sini sebagai mata kuliah pilihan, atau boleh

juga ditambahkan sebagai mata kuliah wajib.

Yang penting, bobotnya jangan terlalu berat.

Maksimal dua SKS saja.

Sebelum membahas mata kuliah

Pendidikan Antikorupsi ini lebih mendalam,

tentu kita perlu membicarakan terlebih dulu

apa dan bagaimana itu korupsi. Dengan

demikian, niscaya kita bersepakat nanti

bahwa korupsi itu memang harus diperangi.

Korupsi dan dampaknya

Dewasa ini, korupsi telah digolongkan

sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

crime). Mengapa? Jelas, karena dampak

negatif yang ditimbulkannya juga luar biasa.

Korupsi itu merugikan dan merusak, baik

negara maupun rakyat, dan tak hanya secara

materil tapi juga non-materil. Karena

korupsilah, maka Indonesia sulit maju dan

lambat membangun. Sebab, kekayaan negeri

ini telah banyak dicuri oleh para

“perampok berdasi” itu selama ini.

Karena korupsi pulalah, In-

donesia kerap dipermalukan di

forum-forum regional maupun

internasional. Bayangkan,

menurut survei terbaru World

Justice Project yang dirilis 13

Juni 2011, praktik korupsi di

Indonesia menempati posisi ke-

47 dari 66 negara yang disurvei

di seluruh dunia. Sementara di

kawasan Asia Timur dan Pasifik,

peringkat ketiadaan korupsi di Indone-

sia masuk di urutan ke-2 dari paling buncit

sebelum Kamboja. Sementara menurut hasil

survei Persepsi Korupsi 2011 terhadap pelaku

bisnis yang dilakukan oleh Political & Eco-

nomic Risk Consultancy (PERC) yang

berbasis di Hongkong, Indonesia merupakan

negara paling korup dari 16 negara di

kawasan Asia Pasifik.

Tidakkah hasil-hasil survei tersebut

membuat kita malu? Terkait Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono (SBY), yang katanya

dulu akan berdiri di garda depan dan bekerja

siang-malam dalam rangka memimpin upaya

pemberantasan korupsi, ternyata akhir

Februari lalu malah disoroti secara negatif

oleh sebuah majalah ekonomi terkemuka di

dunia, The Economist.

Dalam tajuknya, majalah itu menyebut

Presiden SBY tidak termasuk dalam kelompok

orang Indonesia yang sukses mengelola

negara dan partainya. Selain itu, The Econo-

mist secara terang-terangan menyebut SBY

kini tampak seperti lame duck alias bebek

lumpuh. “Barely half-way through his second

term, Mr Yudhoyono already looks like a lame

duck,” tulis majalah itu (dikutip dari

www.inilah.com, 29/2/2012). Apa alasannya?

Page 25: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

2525252525

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngggg g

Karena ia begitu lamban bertindak dan kerap

takut mengambil keputusan terkait kasus-

kasus korupsi.

Baik di jajaran kabinet maupun di

partainya, sejumlah orang yang terlibat

korupsi dibiarkannya saja (tidak dipecat atau

setidaknya dinonaktifkan), dengan alasan

menunggu putusan pengadilan. Tapi

herannya, di sisi lain, SBY malah pernah

memberikan grasi kepada seorang terpidana

koruptor dengan alasan sakit parah. Itulah

Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kutai

Kartanegara, Kalimantan Timur, yang tahun

2010 dibebaskan dari tahanan karena

menerima “pengampunan” dari SBY sebagai

kepala negara. Setelah bebas, Syaukani

langsung diterbangkan ke vila pribadinya di

sebuah perbukitan di Kalimantan Timur,

untuk beristirahat di sebuah rumah asri seluas

30 hektar yang dilengkapi dengan istal kuda,

area berkuda, landasan helikopter, dan kebun

kelapa sawit. Tidakkah ini melukai rasa

keadilan kita? Sudah mencuri uang negara,

kok malah diampuni, dan ternyata masih

kaya-raya pula.

Korupsi, secara sederhana, adalah

tindakan perseorangan maupun kelompok

untuk memperkaya diri sendiri dengan cara

yang melanggar hukum. Apakah ia hanya

terkait dengan orang-orang yang bekerja di

lembaga-lembaga negara? Tidak. Di lembaga-

lembaga non-negara pun korupsi bisa terjadi.

Apakah ia hanya terkait dengan tindakan

mencuri atau mengambil uang? Tidak,

karena memberi uang pun (bahkan sesuatu

yang bukan-uang), jika bertujuan

mempengaruhi pihak lain dengan maksud

agar pihak lain itu lalu melayani

kepentingannya, juga termasuk korupsi.

Itulah yang disebut suap—atau yang dalam

bahasa sehari-hari sering disebut “setoran/

menyetor”, “sogokan/menyogok”, dan yang

sejenisnya.

Begitulah, cukup banyak jenis tindakan

yang terkategori sebagai korupsi. Kalau mau

memahaminya lebih dalam, silakan kunjungi

situs korupedia.org. Kita patut bersyukur ada

aktivis-aktivis antikorupsi yang selama ini

telah berjerih-lelah dalam rangka

berpartisipasi memerangi korupsi di negara

ini. Salah satu karya mereka adalah sejenis

ensiklopedia korupsi Indonesia itu. Kita bisa

berkontribusi di dalamnya, misalnya dengan

cara memberikan data-data korupsi atau foto-

foto koruptor, dan lain sebagainya. Ayo, mari

kita manfaatkan wahana yang tersedia ini.

Jangan pasif, kalau betul-betul kita ingin

menjadi berkat bagi Indonesia.

Jangan hormati koruptor

Kembali pada korupsi, yang

adalah sebentuk kejahatan luar

biasa, maka upaya

memeranginya pun harus

dilakukan dengan cara-cara yang

luar biasa. Tentu ada banyak

alternatif strategi yang bisa kita

pikirkan. Namun yang pasti, jangan sekali-

kali memberi hormat kepada koruptor. Tak

peduli mereka banyak uang dan kerap

menyumbang bagi kegiatan-kegiatan sosial

bahkan keagamaan. Kita tak boleh iba

kepada mereka. Sebab, penghormatan dan

iba membuat korupsi cenderung menjadi

banal: sebuah proses (banalisasi) yang

membuat tindakan kejahatan itu akhirnya

dianggap “jamak”, sehingga tak lagi

dipandang sebagai sesuatu yang harus

diperangi.

Kalau perlu bahkan para koruptor itu

dipermalukan, agar efeknya membuat orang-

orang lain menjadi takut untuk melakukan

“““““jangan sekali-kali memberi hormatkepada koruptor. Tak peduli merekabanyak uang dan kerap menyumbangbagi kegiatan-kegiatan sosial bahkankeagamaan

Page 26: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

2626262626

Menggagas Generasi Antikorupsi

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngg ggg

korupsi. Misalnya saja, menjatuhkan

hukuman dalam bentuk berbagai jenis kerja

sosial yang harus mereka lakukan di ruang-

ruang publik seraya memakai busana khusus

yang didesain untuk para koruptor. Atau,

boleh juga seperti idenya Ketua Mahkamah

Konstitusi, Mahfud MD, menempatkan

mereka di “kebun koruptor” yang dapat

disaksikan publik kapan saja.

Pendeknya, ingatlah apa yang pernah

dikatakan Mallam Nuhu Ribadu, Ketua

Eksekutif Economic and Financial Crimes

Commission (EFCC) Nigeria: “Kita punya

masalah sama: kita cenderung memberi

hormat kepada orang yang justru tidak layak

dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu

melecehkan kebijakanmu. Kamu punya

kesempatan baik, tapi kamu membuat para

pencuri itu tetap jadi pencuri karena

kecenderungan itu. Ini masalah tentang

manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para

koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum.

Di Nigeria, kami menangkap para koruptor

kakap dan ini membuat ’trickle down effect”

(Tempo, 16/9/2007).

Pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi

Upaya lainnya, ya itu tadi: melaksanakan

Pendidikan Antikorupsi di perguruan tinggi.

Di sini, persekutuan mahasiswa maupun

alumni Kristen boleh juga melakukan upaya

yang paralel, dalam arti memasukkan

beberapa topik terkait korupsi di dalam

kurikulum pembinaan kerohaniannya.

Untuk itu kita bisa merancangnya dari

sekarang.

Pendidikan Antikorupsi tentu saja

memerlukan waktu lama untuk dapat

menghasilkan perubahan-perubahan positif.

Namun, kita boleh optimis bahwa para

mahasiswa maupun alumni kelak dapat

menjadi motor gerakan anti-korupsi di mana-

mana. Apalagi di sisi lain, pemerintah cq

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(Kemendikbud) bekerja sama dengan dengan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah

mencanangkan untuk melaksanakan

Pendidikan Antikorupsi mulai tahun ajaran

baru 2012-2013. Oleh pemerintah,

Pendidikan Antikorupsi ini akan diajarkan

sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi.

Pendidikan itu tak hanya diberlakukan bagi

siswa, tetapi juga guru dan kepala sekolah.

Hanya saja pelajarannya diintegrasikan

dengan pendidikan karakter.

Di sinilah bedanya dengan usulan saya

di atas, bahwa Pendidikan Antikorupsi ini

sebaiknya mandiri sebagai mata kuliah (atau

mata pelajaran, kalau di sekolah). Tapi tak

menjadi masalah jika ada sedikit perbedaan.

Yang penting tujuannya adalah: memberi

pemahaman kepada generasi muda peserta

didik tentang apa dan bagaimana korupsi,

mengapa korupsi harus diperangi, dan

bagaimana cara-cara memeranginya.

Hal lain yang juga penting adalah metode

pendidikannya. Pendidikan Antikorupsi ini

harus dirancang sedemikian rupa sehingga

menjadi kombinasi antara teori (perspektif

sosiologis, hukum, dan lainnya), kunjungan

lapangan, diskusi, simulasi, pemutaran film,

dan lain sebagainya. Dengan demikian,

diharapkan Pendidikan Antikorupsi tidak

menjadi sebentuk pelajaran yang

menjemukan. Khususnya melalui diskusi,

peserta didik haruslah didorong untuk

mengelaborasi perihal tindakan-tindakan

(kebiasaan-kebiasaan) apa saja yang

sebenarnya identik dengan korupsi, seperti

sering terlambat dalam mengikuti sebuah

kegiatan, terlambat masuk sekolah,

menggunakan fasilitas sekolah untuk

kepentingan pribadi, dan yang sejenisnya.

* Penulis adalah Dosen FISIP

Universitas Pelita Harapan

Page 27: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

2727272727

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngggg g K

orupsi berasal dari bahasa

latin Corruptio yang artinya

suatu perbuatan yang

busuk, buruk, bejat, tidak jujur,

dapat disuap, tidak bermoral

menyimpang dari kesucian,

kata-kata atau ucapan yang

menghina atau memfitnah.

Menurut UU No. 31/1999 jo

UU No. 20/2001, pelaku

korupsi (baca: koruptor)

didefinisikan sebagai setiap orang

yang secara sadar melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri/orang lain/suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian Negara. Tindakan korupsi

hadir dalam bentuk yang beragam, mulai dari

menyalah gunakan sarana yang ada padanya

karena jabatan/kedudukan, menggelapkan

uang, sampai menerima hadiah atau janji

karena kewenangan/kekuasaan jabatannya.

Pelakunya pun tak hanya penyelenggara

negara, bisa juga orang per orang, pegawai

negeri kelas “teri,” ahli bangunan, hakim,

dan lain-lain. Dampaknya tidak hanya

mengganggu efektivitas program

pemerintah, tetapi lebih dari itu, merusak

moral suatu bangsa dengan menggerogoti

nilai-nilai tanggung jawab, kejujuran,

disiplin, sederhana, kerja keras dan

sebagainya.

Peraturan Perundang-undangan

pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia telah muncul sejak 54 tahun silam

melalui Peraturan Pemberantasan Korupsi

Penguasa Perang Pusat No.PRT/Peperpu/

013/1958. Berbagai tim bentukan

Pemerintah dalam upaya pemberantasan

korupsi pun terus bermetamorfosa, mulai

dari Tim Gabungan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (2000-2001), Komisi

Pemberantasan Korupsi (2002-

2003), hingga Tim Koordinasi

Pemberantasan Tipikor (2005),

Satuan Tugas Pemberantasan

Mafia Hukum (2009). Namun

hingga saat ini, korupsi masih

tumbuh subur di negeri ini.

Data dari Transparency

International Corruption Perception

Index 2011 menunjukkan bahwa

Indonesia berada pada posisi ke-

100 dengan Indeks Persepsi Korupsi

(IPK) 3 (skala dari 1 sampai 10).

Bandingkan dengan Singapura, negara

tetangga yang memiliki IPK 9,3. Semakin

besar nilai IPK suatu negara, maka semakin

bersih negara tersebut dari tindakan korupsi.

Angka ini tidak berubah signifikan selama

10 tahun terakhir, hampir tidak berbanding

lurus dengan berbagai upaya yang telah

dilakukan pemerintah dalam rangka

menekan angka korupsi.

Apa yang menyebabkan jalan buntu

pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia? Izinkan saya memberikan analisa

dari sudut pandang sebagai pendidik.

Pertama, kita gagal menciptakan lingkungan

anti-korupsi bagi generasi muda. Keluarga

sebenarnya memberi peran strategis dalam

menciptakan nilai-nilai anti-korupsi kepada

anak seperti rasa tanggung jawab. Di

dalamnya terkandung nilai-nilai kewajiban,

amanah, berani menghadapi, tidak

mengelak, ada konsekuensi, berbuat yang

terbaik. Namun faktanya, jarang sekali orang

tua yang melatih anaknya untuk memiliki

nilai tanggung jawab. Setiap hari, orang tua

yang memasukkan buku-buku ke dalam tas,

anak-anak tidak dibiasakan untuk bangun

pagi sendiri dan merapikan tempat tidur,

PPPPPendidikendidikendidikendidikendidikan Antikan Antikan Antikan Antikan Antikorupsi: Torupsi: Torupsi: Torupsi: Torupsi: Tanggung Jaanggung Jaanggung Jaanggung Jaanggung Jawwwwwab Kitab Kitab Kitab Kitab Kita Bera Bera Bera Bera BersamasamasamasamasamaJose Bonatua Hasibuan, S.Pd*

Page 28: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

2828282828

Menggagas Generasi Antikorupsi

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngg ggg

makan disuapin, belajar disiapkan guru privat,

PR dikerjakan dan banyak lagi kebiasaan

yang tanpa sadar mencetak nilai-nilai

korupsi. Termasuk gaya hidup sederhana yang

jarang saya lihat dipraktekkan di keluarga-

keluarga Indonesia.

Kedua, gagalnya pendidikan agama dan

etika. Sebagai salah seorang pendidik, saya

merasakan sistem pendidikan saat ini belum

berhasil menanamkan nilai-nilai anti-

korupsi. Pendidikan agama seolah-olah

terpisah dari kehidupan sekuler.

Keberhasilannya hanya diukur sampai tingkat

pengertian dan kemampuan anak didik

dalam melaksanakan praktek-praktek

agamawi, bukan pada apresiasi pada

penampakan nilai-nilai kebaikan. Sekolah

secara rutin menyelenggarakan doa bersama

menjelang UN, namun praktek-praktek

kecurangan terorganisir dianggap hal yang

wajar. Pendidikan moral tidak lagi

dimasukkan ke dalam kurikulum, penekanan

lebih ditekankan pada pendidikan

kewarganegaraan, tanpa keteladanan dari

pemangku kepentingan negara. Jika hal ini

terus menerus dibiarkan, akan sulit berharap

lahirnya generasi tanpa korupsi sehingga

dimasa yang akan datang mimpi tercipta

Indonesia yang bebas dari korupsi hanya

sebatas retorika. Dalam hal inilah

membangun suatu sistem pendidikan anti-

korupsi menjadi relevan, melawan korupsi

dengan menanamkan nilai-nilai anti-korupsi

pada generasi muda sejak dini.

Membangun pendidikan antikorupsi

Kementerian Pendidikan Nasional

(Kemdiknas) menargetkan Pendidikan Anti-

korupsi yang merupakan bagian dari

Pendidikan Karakter akan diterapkan mulai

tahun ajaran 2012/2013. Pendidikan Anti-

korupsi substansinya bukan merupakan mata

pelajaran baru yang akan menambah beban

peserta didik, ia bisa masuk ke setiap mata

pelajaran, ke setiap pokok bahasan apa saja

dan dapat diterapkan di semua jenjang

pendidikan mulai dari pendidikan dasar

hingga perguruan tinggi. Tujuan utama

Pendidikan Anti-korupsi adalah perubahan

sikap dan perilaku terhadap tindakan

koruptif. Pendidikan Anti-korupsi

membentuk kesadaran akan bahaya korupsi,

kemudian bangkit melawannya.

Pendidikan perlu dielaborasi dan

diinternalisasikan dengan nilai-nilai anti-

korupsi sejak dini. Pendidikan anti-korupsi

yang diberikan di sekolah diharapkan dapat

menyelamatkan generasi muda agar tidak

menjadi penerus tindakan-tindakan korup

generasi sebelumnya. Tentu tak mudah

mengimplementasikan rencana Pendidikan

Anti-korupsi di sekolah. Perlu dipersiapkan

guru-guru yang akan menyampaikan agar

konten-konten pendidikan anti-korupsi yang

dicanangkan dapat diintegrasikan ke dalam

proses pembelajaran. Hal ini tidak hanya

mencakup metode penyampaiannya, tetapi

juga bagaimana mengevaluasinya.

Ini berarti, pendidik dan bahkan tenaga

kependidikan harus mampu menjadi teladan

dalam menunjukkan nilai-nilai anti-korupsi

agar Pendidikan Anti-korupsi yang

ditanamkan kepada peserta didik dapat

berbuah. Dalam hal ini, panggilan pendidik

Kristen sebagai garam dan terang semakin

jelas yakni menyatakan natur dosa sebagai

dosa yang harus diperangi dan menjadi

teladan bagi peserta didik dalam

menerapkan nilai-nilai anti-korupsi dalam

kehidupan sehari-hari.

Melibatkan semua pihak

Penerapan Pendidikan Anti-korupsi

harus melibatkan semua pihak di lingkungan

sekolah, perlu duduk bersama merancang

implementasinya di dalam kurikulum untuk

memetakan nilai-nilai anti-korupsi yang

harus dicapai di setiap satuan pendidikan,

siapa dan kapan disampaikan, termasuk

mekanisme evaluasinya. Sekolah harus

memiliki modul Pendidikan Anti-korupsi dan

mencantumkannya dalam program tahunan

Page 29: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

2929292929

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngggg g

Contoh materi Pendidikan Anti-korupsi di

SD (Sumber : KPK)

sekolah. Tanggung jawab ini tidak hanya

menjadi beban guru agama, setiap guru harus

mengambil peran dalam menebarkan nilai-

nilai anti-korupsi. Seorang guru Bahasa

Indonesia misalnya, perlu memilih wacana

yang mengandung pesan-pesan anti-korupsi

di dalamnya dan kemudian memfasilitasi

diskusi sehingga setiap peserta didik

dilibatkan masuk ke dalam implementasi

praktisnya. Jika buku paket yang digunakan

tidak mengakomodir kepentingan tersebut,

guru dituntut mendesain sendiri artikel

bacaan yang akan dipakai dalam proses

pembelajaran. Seorang guru sejarah harus

mampu mendaratkan nilai keberanian pada

peserta didik ketika materi perjuangan

kemerdekaan Indonesia sedang dipelajari di

kelas. Siswa didorong meneladani sikap

berani yang ditunjukkan para pejuang

kemerdekaan dengan cara sederhana seperti

berani menolak ajakan seorang teman yang

tidak baik meskipun berisiko untuk dijauhi.

Seorang guru matematika harus memberikan

penekanan pentingnya mengikuti kaidah

dan aturan matematika dengan benar agar

peserta didik bisa mempertanggungjawabkan

hasil pekerjaannya.

Gagasan besar mencegah praktik

korupsi dengan menerapkan pendidikan

Anti-korupsi akan berhasil jika didukung

oleh semua pihak di luar lingkungan

sekolah. Apalah gunanya jika di sekolah nilai-

nilai anti-korupsi telah diajarkan namun di

rumah anak-anak tidak pernah diberikan

tanggung jawab walau hanya membersihkan

kamar tidur dan mencuci piringnya setelah

makan.

Masyarakat berkontribusi dengan

menegur anak-anak yang berkeliaran di luar

sekolah pada jam pelajaran, memberikan

sanksi sosial kepada para koruptor agar anak-

anak merasakan bahwa korupsi merupakan

hal yang sedang diperangi bersama. Lembaga

pelayanan harus mulai memikirkan program-

program aplikatif seperti sekolah alam.

Persekutuan Kristen harus menjadi

model komunitas orang-orang yang peduli

dan bergaya hidup sederhana, menanamkan

budaya disiplin waktu ketika melakukan

kegiatan. Kepada gereja Allah

mengamanatkan supaya “apa yang

kuperintahkan kepadamu pada hari ini

haruslah engkau perhatikan, haruslah

engkau mengajarkannya berulang-ulang

kepada anak-anakmu dan membicarakannya

apabila engkau duduk di rumahmu, apabila

engkau sedang dalam perjalanan, apabila

engkau berbaring dan apabila engkau

bangun” (Ulangan 6 : 6-7). Untuk korupsi

yang sudah membudaya dan mendarah

daging, dibutuhkan pendidikan berbasis anti-

korupsi yang disampaikan berulang-ulang

dan keroyokan. Setiap kita, baik sebagai guru,

karyawan atau ibu rumah tangga Tuhan

berikan tanggung jawab untuk mendidik

generasi muda negeri ini bermental anti-

korupsi, menjadi agen pendidikan anti-

korupsi, agen perubahan bangsa.

*Penulis adalah PNS di Dinas Pendidikan

Riau, Guru di SMKN Pertanian Terpadu Riau,

Saat ini sedang studi S2 Matematika di SPs IPB

Page 30: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

3030303030

Menggagas Generasi Antikorupsi

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngg ggg

Barangkali korupsi itu suatu

hal yang tak terelakkan.

Ibaratnya seperti makan.

Ya, makan yang sudah jadi

rutinitas keseharian kita. Justru

karena sifatnya yang cenderung

teratur dan tidak berubah-

ubah, kita sering melupakan

“paras” lain dalam perihal

santap-menyantap.

Misalnya saja, kita kerap abai

dan menganggap remeh para

petani, nelayan, penjual di pasar,

koki, pengantar makanan, dan beragam

wajah lainnya yang sebetulnya sudah berjerih

menghadirkan sepiring nasi lengkap dengan

lauk dan sayurnya di hadapan kita. Kasarnya,

kita hanya menghargai mereka karena mereka

telah memenuhi kebutuhan kita.

Nah, bukankah mengabaikan orang-

orang tersebut merupakan hal yang tak

terelakkan? Apalagi kita hidup di zaman yang

selalu tergesa-gesa dan terlalu banyak pilihan,

rasanya tak sempat bercengkerama dengan

mereka—bila tak mau mengatakannya sebagai

hal yang absurd. Kalaupun ingat, sesekali kita

mengucapkannya dalam doa sebelum

makan. Semua polah ini terhisap dalam

suatu sistem yang menampilkan wajah

semangat zaman kini: ketergesaan.

Jadi, kalau boleh disamakan dengan

makan, korupsi pun tumbuh subur dalam

suatu sistem yang berkanjang pada

ketidakadilan dan keserakahan sejak masa

karuhun1. Suka tak suka, kenyataan itu

merupakan kebiasaan yang tak dapat kita

sangkal di saat ini.

Ah, tapi apatah tepat menyamakan

tindakan korupsi dengan makan? Bukankah

MakanMakanMakanMakanMakanYulius Tandyanto*

keduanya jelas-jelas berbeda?

Korupsi adalah tindak-tanduk

yang jahat dan merupakan

pilihan hidup, sedangkan

makan adalah tabiat yang baik

dan merupakan keharusan.

Justru persis di situlah letak

krisisnya: intisari keburukan

korupsi terjelmakan secara

halus seiras2 apa-apa yang baik

dan apa-apa yang harus dalam

keseharian kita. Bahkan, dalam

perikeimanan kita!

MUNGKIN kegelisahan macam itulah yang

dirasakan oleh ahli matematika Inggris,

Bertrand Russell (1872-1970). Ia mulai

mengunyah dan mencerna geliat

Kristianisme di masanya, awal abad ke-20.

Tampaknya Russell menengarai ketakpaduan

antara apa yang dinyatakan oleh iman orang

Kristen dan perilaku sehari-hari. Faktor

emosional pada Kristianisme kala itu—yang

memberikan rasa takut pada umat—

membuat Russell mual.

Syahdan, Russell mencurahkan

pemikirannya akan situasi religius yang

menurutnya korup itu pada pertemuan

Perkumpulan Sekular Nasional (National

Secular Society) cabang London Selatan.

Kuliahnya dipaparkan pada hari Minggu, 6

Maret 1927 di balai kota Battersea, dengan

judul yang kontroversial “Mengapa Saya

Bukan Seorang Kristen” (Why I am not a

Christian).

Argumen Russell yang blak-Vblakan dan

terkenal itu mendapat sambutan pedas dari

salah satu pendebat seriusnya, Thomas

Stearns Eliot (1888-1965). Di bulan Agustus

Page 31: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

3131313131

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

nS

ud

ut

Pa

nd

an

Su

du

t P

an

da

ngggg g

tahun yang sama, Eliot menyiapkan beberapa

argumentasi balasannya. Jika boleh diringkas,

argumentasi Eliot seperti ini: pertama,

bukankah alasan Russell tidak menjadi

seorang Kristen sebetulnya juga merupakan

faktor emosional? Eliot pun menjelaskan dua

macam rasa takut: yang baik dan buruk.

Baginya, rasa takut yang sepantasnya pada

Tuhan jelas berbeda dengan rasa takut

terhadap perampok.

Dan yang kedua, Eliot menyatakan

dengan nada mencela bahwa jika perbuatan

dianggap paling penting ketimbang

pernyataan iman, Russell tentu akan

menyetujui kesimpulan argumennya.

“Dengan demikian, ateisme hanyalah

merupakan roman lain dari kekristenan,”

sindir Eliot.

Semenjak itu perdebatan pun terus

berlanjut kian cadas. Namun, memasuki usia

senjanya, Russell tampak menyetujui

kesimpulan Eliot dalam pengertian tertentu.

Ateisme merupakan suatu bentuk kelaparan

dirinya akan kebenaran dalam sistem

Kristianisme yang korup. Dalam

permenungannya, Russell meratapi jarak

antara suara yang berkata-kata pada rasionya

dan keinginan emosionalnya untuk meyakini

sesuatu:

“Aku selalu sangat bergairah untuk

menemukan dasar kebenaran dari

berbagai emosi. Emosi yang

diilhamkan oleh banyak hal yang

tampaknya berdiri jauh dari

kehidupan manusia dan yang layak

mendapatkan rasa kagum. Naluriku

memilih bersama para humanis,

tapi emosiku memberontak

dengan hebat. Dalam hal ini

‘penghiburan filsafat’ bukanlah

untukku.”

BOLEH JADI kita perlu rahang yang kuat

dan usus yang baik untuk mencerna banyak

hal, termasuk perihal korupsi. Bertindak

korup itu nikmat, seolah-olah tampak baik,

dan menjadi keharusan dalam sistem yang

telanjur rusak. Karena itu, kita perlu

“melumatkan” berbagai kenyataan hidup

yang menampilkan diri sebelum

memutuskan untuk menelan atau

memuntahkannya demi kesehatan tubuh.

Demikian pula dalam menilai kisah Russell,

pengalaman sahabat, ataupun cerita diri, kita

perlu mengunyahnya baik-baik.

Kebiasaan dan bertindak korupsi

memanglah buruk, tapi jangan-jangan tidak

seburuk pikiran korup dan pembenarannya

yang bersifat dogmatis dan halus. Kita bisa

saja berpikir untuk mendalami kitab suci

sampai-sampai kita lupa diri dan telah

menjadikannya berhala baru (bibliolatreia).

Kita telah menggeser Tuhan dan membatasi

keleluasaan-Nya.

Pikiran korup adalah suatu hal yang tak

tergelicikkan3, lebih-lebih kita bernapas dan

tenggelam di dalamnya. Namun, dalam

ketiadaberdayaan tersebut, alangkah bestari

bila kita mau bertelut di hadapan Salib

Kristus dengan sejujur-jujurnya dan

sehormat-hormatnya. Bukan sebagai berhala,

melainkan semacam simbol pengharapan.

Kita yang terbatas mencoba meletakkan

kembali bahwa korupsi adalah suatu yang

buruk dan merupakan pilihan. Suatu pilihan

di mana kita bila kita tidak melampauinya,

kita adalah bagian dari korupsi.

Korupsi di sana-sini. Harapan telah

disemai. Dan, kita lapar .... Mari makan!

*Penulis adalah alumnus Unpad, saat ini sedang

menjalani matrikulasi untuk studi S-2 di STF Driyarkara

Catatan kaki:1Nenek moyang2Serupa, semacam3Terelakkan

Page 32: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

3232323232

Menggagas Generasi Antikorupsi

Jela

nJe

lan

Jela

nJe

lan

Jela

ngg ggg

Pada hari-hari ini, kehidupan

berbangsa di Indonesia

menghadapi musuh

bersama, yaitu korupsi. Media

dipenuhi dengan berita

tentang penangkapan para

koruptor oleh lembaga yang

rasanya paling populer saat

ini, KPK. Tetapi apakah

korupsi hanya dapat

disembuhkan oleh kehadiran

lembaga KPK? Politisi PDI

Perjuangan di DPR, Dewi Aryani,

menyatakan bahwa dari sekian banyak

teori korupsi yang dipelajarinya, maka yang

paling mudah dipahami sebagai penyebab

korupsi adalah: niat, sistem yang

memberikan celah, kebutuhan dan

terakhir, tekanan dari pihak lain, termasuk

parpol. Yang menarik, pengakuan

legislator itu membahas korupsi yang

sudah membudaya, yang berarti lebih

tinggi dari kebutuhan maupun akibat dari

sistem.

Jika korupsi sudah menjadi budaya,

maka korupsi sudah dianggap “benar” dan

dibutuhkan; bukan karena korupsi itu

benar, tetapi karena dianggap sebagai

“jawaban” atas kebutuhan yang didasari

nilai konsumerisme dan hedonisme. Di

jaman ini, gaya hidup seperti itu sangat

populer. Namun kenyataannya, masyarakat

marah dan gelisah dengan kondisi ini,

sehingga mengharapkan adanya perubahan.

Budaya korupsi sesungguhnya menyimpan

nilai kejahatan berupa perampasan hak

orang lain. Korupsi memiliki dampak

moral yang merusak seluruh sendi

kehidupan, di mana tidak ada lagi rasa

nyaman untuk hidup dan

bertumbuh bersama sebagai

suatu bangsa. Kemarahan

masyarakat terjadi ketika akses

vital seperti kesehatan dan

pendidikan menjadi begitu

mahal. Padahal, negara sudah

mengambil uang rakyat yang

merupakan jerih payah

mereka—yang seharusnya

kembali dinikmati sebagai

fasilitas publik.

Banyak ahli mengatakan bahwa

kondisi seperti saat ini adalah karena

“salah urus negara” di mana permasalahan

terletak pada pengelolaan maupun

pengelolanya. Kemampuan mengelola yang

baik tidak bisa lepas dari isu manusia

sebagai isu sentral. Hal ini berkaca pada

apa yang Kristus lakukan, di mana Ia

menyentuh manusia, sebagai strategi

gerakan reformasi paradigma dan budaya

yang telah korup (penerapan taurat dan isu

keselamatan bergeser dari makna

seharusnya).

Akhir-akhir ini kita mengenal istilah

good governance, yang dimaknai sebagai

pemerintahan yang bersih dari KKN. Pada

prinsipnya, good governance merujuk pada

suatu proses pemeliharaan dan pemulihan

rasa saling percaya di dalam masyarakat

(political trust). Kepercayaan di dalam

konteks kemasyarakatan (bangsa) terdiri

dari macro-level atau organizational trust dan

micro-level atau individual political trust.

Kehadiran lembaga KPK lahir sebagai

suatu terobosan untuk memecah

kebuntuan proses pemulihan kepercayaan

di masyarakat. Jika pemberantasan korupsi

MMMMMengupaengupaengupaengupaengupayyyyyakakakakakan Tan Tan Tan Tan Trrrrransansansansansffffformasi Budaormasi Budaormasi Budaormasi Budaormasi Budayyyyya Anti-Ka Anti-Ka Anti-Ka Anti-Ka Anti-KorupsiorupsiorupsiorupsiorupsiRuth Yuni T. Imanti*

Page 33: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

3333333333

Jela

nJe

lan

Jela

nJe

lan

Jela

ngggg g

tidak berakar pada pemulihan kepercayaan

politik, maka KPK suatu saat juga akan

kehabisan energi. Ketua KPK mengatakan

bahwa banyaknya kasus korupsi tidak

sebanding dengan SDM yang tersedia. Jika

hanya mengandalkan upaya kuratif seperti

yang dilakukan KPK, maka masyarakat

hanya akan menjadi masyarakat yang reaktif

atau tidak dewasa dalam bernegara.

Kedewasaan bernegara sangat penting, yang

dibangun di atas moralitas bernegara, di

mana asas kepercayaan dijunjung tinggi.

Kepercayaan politis hanya terjadi jika

setiap warga negara menghargai

pemerintah dan institusi pendukungnya,

di mana para pembuat kebijakan, yaitu

para pemimpin politis menjalankan

kebijakan sesuai janji/sumpah, efisen, adil

dan jujur. Dengan kata lain, kepercayaan

politis adalah penilaian warga negara

bahwa sistem dan para pejabat politik

bertindak responsif, dan memiliki

kemauan untuk melakukan yang benar

walaupun tidak ada penyelidikan yang terus

menerus (Miller and Listhaug 1990, 358).

Hal ini bisa terjadi ketika masyarakat puas

dengan alternatif kebijakan yang ada

(Miller 1974, 951) dan didukung oleh

kekuatan institusi di tingkat legislatif dan

yudikatif. Individual political trust dapat

terjadi jika para pemimpin politik secara

individu dapat dipercaya. Masyarakat akan

percaya jika para pemimpin yang

memegang jabatan benar-benar diyakini

baik. Selain itu, kepercayaan politis di

tingkat organisasi maupun individu

tergantung pada pembuatan kebijakan

yang kredibel. Artinya, aturan yang dibuat

harus memenuhi persyaratan standar

kebijakan yang baik, yaitu berorientasi

kepada kepentingan jangka panjang yang

menguntungkan rakyat.

Penerapan good governance, yang

mengedepankan tranpsaransi maupun

akuntabilitas, harus didukung oleh

manajemen pemerintahan yang terbuka

dan terkontrol dengan baik oleh

masyarakat, baik melalui lembaga

perwakilannya di DPRD, kelompok-

kelompok kritis, maupun melalui media.

Dengan demikian, peluang terjadinya

korupsi menjadi semakin sempit. Secara

ringkas, Good Governance diartikan sebagai

pengelolaan pemerintahan

yang mengikuti kaidah-

kaidah tertentu sesuai

prinsip-prinsip dasarnya.

Kunci utama memahami

good governance adalah

pemahaman atas prinsip-

prinsip di dalamnya, yaitu

(Anung Karyadi, 2012):

1. Partisipasi semua

warga masyarakat dalam pengambilan

keputusan, baik secara langsung

maupun melalui lembaga-lembaga

perwakilan sah, yang mewakili

kepentingan mereka secara

konstruktif.

2. Tegaknya supremasi hukum tanpa

pandang bulu.

3. Transparansi, yaitu pengelolaan arus

informasi yang bebas di mana seluruh

proses pemerintahan dan lembaga-

lembaga informasi dapat diakses oleh

pihak-pihak yang berkepentingan agar

terjadi pengawasan serta akuntabilitas

“““““Jika korupsi sudah menjadi budaya, makakorupsi sudah dianggap “benar” dandibutuhkan; bukan karena korupsi itubenar, tetapi karena dianggap sebagai“jawaban” atas kebutuhan yang didasarinilai konsumerisme dan hedonisme

Page 34: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

3434343434

Menggagas Generasi Antikorupsi

Jela

nJe

lan

Jela

nJe

lan

Jela

ngg ggg

para pengambil keputusan di

pemerintah.

4. Lembaga dan seluruh proses

pemerintahan harus berusaha

melayani semua pihak yang

berkepentingan. Dengan demikian

berorientasi pada konsensus tata

pemerintahan yang menjembatani

kepentingan-kepentingan yang

berbeda.

5. Kesetaraan semua warga masyarakat

agar berkesempatan memperbaiki atau

mempertahankan kesejahteraan.

6. Efektivitas dan efisiensi proses

pemerintahan dan lembaga-lembaga

sesuai kebutuhan warga masyarakat

dengan mengelola sumber-sumber

daya seoptimal mungkin.

7. Visi strategis para pemimpin dan

masyarakat yang memiliki perspektif

yang luas dan jauh ke depan atas tata

pemerintahan yang baik dan

pembangunan manusia, dengan

pemahaman atas kompleksitas

kesejarahan, budaya dan sosial.

Untuk membentuk good governance,

dibutuhkan pembentukan karakter para

pemimpin yang layak dipercaya. Dengan

demikian, ranah pendidikan menjadi

sangat krusial sebagai wadah utama

mencetak para pemimpin yang dapat

memulihkan kepercayaan masyarakat.

Budaya merupakan produk kristalisasi

nilai-nilai selama kurun waktu tertentu.

Ketika korupsi sudah menjadi budaya,

maka terjadilah kristalisasi nilai

ketidakadilan. Untuk mengubahnya, perlu

upaya pembudayaan kembali nilai-nilai

yang menjunjung keadilan sebagai langkah

membangun kembali kepercayaan yang

kokoh. Pendidikan yang baik harus

mencapai kristalisasi nilai-nilai yang

menjamin terbentuknya kepercayaan hidup

bersama. Untuk itu dibutuhan pendidikan

yang bersifat transformatif, yang ketika

berperan di tingkat sistem atau organisasi,

para pemimpin yang dihasilkan memiliki

pula kompetensi manajemen perubahan.

Transformasi adalah perubahan yang

mendasar, meliputi paradigma dan arah

hidup. Perubahan tersebut tidak hanya

bersifat fisik di permukaan, melainkan juga

perubahan yang fungsional. Transformasi

adalah hasil belajar yang bersifat permanen,

bukan perubahan sementara untuk

kepentingan tertentu demi memenuhi

kepuasan jangka pendek semata.

Transformasi mengubah struktur watak

manusia, sehingga memiliki sistem nilai

hidup yang baik menurut

ukuran nilai moral dan

spiritual.

Memberantas korupsi di

Indonesia untuk menciptakan

pemerintahan yang bersih dan

berwibawa tidak bisa

dilakukan hanya dengan

mengubah tampilan luar dan

dilakukan oleh dan pada

sebagian dari sistem sosial saja.

Perlu proses perubahan yang

disebut sebagai transformasi

total. Nilai-nilai yangSiswa dan komitmen antikorupsi: butuh keteladanan

Page 35: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

3535353535

Jela

nJe

lan

Jela

nJe

lan

Jela

ngggg g

mengutamakan pemenuhan kepentingan

sendiri yang melahirkan ketamakan dan

korupsi tidak bisa diubah hanya dengan

menciptakan aturan baru. Perlu proses

penyadaran akan kepedulian bersama dan

dilanjutkan dengan memberlakukan sistem

yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

Pendidikan yang bersifat kristalisasi

nilai-nilai anti-korupsi secara ideal

dilakukan sejak masa kanak-kanak. Lima

tahun pertama individu adalah

pembentukan super ego dan kepribadian.

Super ego berperan sebagai “penjaga” atau

dikenal sebagai hati nurani untuk

mengarahkan baik dan buruknya suatu

tindakan. Sedangkan kepribadian adalah

dasar bangunan dari individu untuk

menghadapi situasi sosial di sekitarnya.

Pada masa 5 tahun pertama, skema

di dalam otak dan pola respon manusia

masih f leksibel untuk dibentuk.

Kristalisasi nilai yang dibangun sejak dini

pada periode tersebut akan sangat sulit

diubah. Menurut teori pendidikan moral,

“usia emas” kesiapan pendidikan moralitas

berkisar antara usia 8-9 tahun, di mana

seorang anak secara kemampuan kognitif

sudah mulai mampu menyerap hal-hal

yang bersifat abstrak. Oleh sebab itu

pembiasaan sejak kecil, misalnya dengan

perilaku anti-korupsi di usia 5 tahun

pertama harus dilanjutkan dengan

pendidikan etika, yaitu penjelasan di balik

kebiasaan peri laku anti korupsi, pada saat

anak berusia 8-9 tahun.

Masyarakat Kristen, khususnya kaum

intelektual, dapat berperan sangat banyak

dalam proses pendidikan atau transformasi

anti-korupsi. Secara singkat, yang dapat

dilakukan adalah:

1. Menguatkan peran pendidikan

keluarga sebagai pembentuk nilai-nilai

iman Kristen dengan pembiasaan

perilaku anti korupsi sejak dini,

terutama orang tua yang berperan

sebagai teladan.

2. Menguatkan pemuridan di lingkungan

anak Tuhan (gereja) mulai sejak masa

dini, dengan pembinaan iman yang

komprehensif meliputi penciptaan

lingkungan yang bersih dari KKN.

3. Menguatkan institusi gereja dengan

sistem manajemen

yang menganut

prinsip good

governance.

4. Terlibat di dalam

m a n a j e m e n

perubahan di

l i n g k u n g a n

profesional dan

masyarakat, misalnya

dengan mendukung asas transparansi

dan akuntabilitas. Selain keteladanan,

pemanfaatan media juga penting

untuk mendorong aktualisasi kedua

asas ini.

5. Mendorong pendidikan karakter pada

kurikulum sekolah.

*Pernulis bekerja sebagai konsultan lepas di

bidang SDM, saat ini melayani sebagai

Majelis Jemaat GPIB Petra Bogor

“““““Pembiasaan sejak kecil, misalnya denganperilaku anti-korupsi di usia 5 tahun pertamaharus dilanjutkan dengan pendidikan etika,yaitu penjelasan di balik kebiasaan peri laku antikorupsi, pada saat anak berusia 8-9 tahun

Page 36: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

3636363636

Menggagas Generasi Antikorupsi

Tilik

an

Tilik

an

Tilik

an

Tilik

an

Tilik

an

Arianto BataraTomohon, Sulawesi Utara

Yanti RomauliLampung

Resita LubisMedan, Sumatera Utara

Pendidikan harus dipandang secara holistik, artinya

pendidikan tidak hanya melulu memerhatikan ranah

kognitif peserta didik, tetapi juga memerhatikan skill dan

terutama karakter. Jika pendidikan seperti ini, yang

diwujudkan di sekolah-sekolah, maka menurut saya

tidak perlu ada kurikulum (mata pelajaran/topik, dll.) yang

secara khusus membahas antikorupsi.

Hal yang tepat menurut saya adalah pembelajaran

antikorupsi itu terintegrasi dalam seluruh pembelajaran,

tercermin dari kehidupan keseharian antara guru dan

peserta didik. Perwujudan lain adalah melalui penerapan

peraturan-peraturan di sekolah. Contohnya adalah guru

hadir di sekolah sebelum peserta didik hadir (teladan),

memberikan konsekuensi bagi peserta didik yang

terlambat, menerapkan konsekuensi bagi peserta didik

yang menyontek, tidak membuat kunci jawaban UN

(Ujian Nasional), guru tidak menerima uang terima kasih

dari siswa, dan lain sebagainya.

Weilin HanJakarta

Menurut saya, kurikulum Pendidikan Antikorupsi tidak

perlu, karena apabila sekolah sudah

menyelenggarakan kurikulum yang telah ada dengan

baik, otomatis di dalamnya ada muatan pembentukan

karakter "antikorupsi", misalnya muatan pendidikan

karakter atau muatan pembelajaran afektif. Mengapa

korupsi tak kunjung berkurang di Indonesia?

Jawabannya sangat kompleks dan tidak bisa dijawab

hanya dengan penambahan kurikulum antikorupsi.

Situs resmi KPK menyebutkan bahwa kurikulum anti

korupsi diterapkan di tahun 2011, sementara

Mendikbud menyatakan kurikulum tersebut akan

diterapkan di tahun 2012. Dua informasi membingungkan

ini bertolak belakang dengan indikator transparency dan

accountability panduan Good Governance UN-ESCAP.

Padahal, transparency dan accountability sangat erat

hubungannya dengan anti-korupsi. Saya juga sangat

berharap bahwa yang nanti diluncurkan memang adalah

sebuah kurikulum. Bukan modul lepasan.

Brain-based learning menyatakan bahwa sebuah

informasi akan masuk ke dalam long term memory dan

synapses di otak bertumbuh dengan baik ketika informasi

itu disampaikan secara konstruktif, melalui experiential

learning, dengan materi yang relevan & kontekstual bagi

si pembelajar. Kita perlu banyak sekali teladan pelaku

anti-korupsi yang bisa menjadi rujukan bagi anak-anak.

Dengan demikian, pendidikan anti-korupsi menjadi

sebuah pelajaran yang sangat “gue banget”.

Menurut hemat saya, pendidikan antikorupsi

bukanlah solusi terbaik untuk mengatasi budaya

korupsi. Mari lihat Singapura, yang mendapat predikat

"negara paling bersih di kawasan Asia Tenggara".

Googling saja kurikulum pendidikan yang diterapkan di

Singapura mulai dari TK-PT, tidak ada yang berkaitan

dengan politik. Tapi kenapa Singapura dapat bebas dari

korupsi? Rahasianya mungkin keteladanan, teladan

bicara lebih kuat daripada perkataan. Yang dibutuhkan

generasi muda Indonesia adalah keteladanan yang baik

(anti korupsi) dari para pemimpin dan orang tua, bukan

menyisipkan teori tanpa aplikasi.

Page 37: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

3737373737

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

1) Pelatihan Training of Fasilitator

Peran fasilitator sangat besar atau vital

dalam menentukan keberhasilan

kegiatan pengembangan masyarakat

(community development/comdev). Sebab,

seorang fasilitator menjadi kunci di tengah

komunitas sejak lembaga comdev masuk,

komunitas menyuarakan kebutuhan

mendasar mereka, sampai tahap awal

kegiatan sebagai salah satu solusi bersama

untuk mengatasi permasalahan yang ada di

masyarakat. Oleh karena itu, kapasitas dan

kemampuan dari seorang fasilitator harus

dipastikan keandalannya sebelum terjun ke

lapangan.

Beberapa lembaga comdev melakukan

pelatihan mendasar kepada fasilitator di

lapangan. Pemerintah Indonesia pada awal

tahun 2007 mencanangkan Program

Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

melalui kegiatan yang digabungkan, yaitu

Program Pembangunan Kecamatan (PPK)

dan Program Penanggulangan Kemiskinan

di Perkotaan (P2KP). Pemerintah

berkomitmen hendak menyusun suatu

standarisasi dari kapasitas kompetensi

fasilitator comdev.

Graduate Center dalam rangka

peningkatan kapasitas fasilitator comdev ini

sejak tahun 2010 sudah melakukan

pelatihan-pelatihan tenaga fasilitator melalui

kegiatan rutin setiap bulan yang diadakan

di Pintu Air. Adapun materi yang

disampaikan, yaitu:

1. Filosofi dan pengertian comdev

2. Peran Pemerintah dalam

Pengembangan Masyarakat

3. Metodologi comdev : need

assessment

4. Analisa Prioritas dan Program:

Mengetahui Kebutuhan Mendasar

5. Proposal Writing

6. Budgetting

Materi-materi tersebut disampaikan

dengan metode seminar, diskusi maupun

terjun ke lapangan, khususnya saat

melakukan analisa prioritas kebutuhan

mendasar masyarakat. Materi-materi lainnya

yang direncanakan akan diberikan untuk

jangka waktu ke depan sebagai alternatif

tambahan yaitu terkait dengan metode-

metode untuk memaksimalkan penentuan

kebutuhan mendasar dari komunitas, antara

lain:

1. Participatory Rural Appraisal (PRA)

2. Rapid Rural Appraisal (RRA)

3. Social Approach

2) Need Assessment Survey

Pada Bab 1 sudah diutarakan bahwa tim

comdev pada percontohan pelayanan

comdev Paksu Jakarta menggunakan need

assessment approach. Pendekatan ini didukung

dengan melakukan metode curah pendapat

berkelompok (kelompok laki-laki dan

kelompok perempuan) maupun per individu

dengan menggunakan alat kuesioner yang

telah dipelajari dan dilatihkan kepada

masing-masing fasilitator. Kegiatan curah

pendapat berkelompok dilakukan 1-2 kali

setelah disepakati waktu pertemuan

sebelumnya.

Kuesioner yang disiapkan dijadikan

pedoman awal bagi fasilitator tetapi tidak

dapat dikembangkan sesuai dengan situasi

dan kondisi. Kuesioner yang disiapkan dapat

dilihat pada boks berikut:

PPPPPererererersiapan dan Psiapan dan Psiapan dan Psiapan dan Psiapan dan Pemilihanemilihanemilihanemilihanemilihan

KKKKKebutuhan Mebutuhan Mebutuhan Mebutuhan Mebutuhan Mendasar di Kendasar di Kendasar di Kendasar di Kendasar di Komunitomunitomunitomunitomunitasasasasas

Page 38: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

3838383838

Menggagas Generasi Antikorupsi

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

KUESIONER COMMUNITY DEVELOPMENT

I. Data Pewawancara

Nama : ................................................................................................

Alamat : ................................................................................................

Nomor Telepon : ................................................................................................

Tanggal Wawancara : ................................................................................................

Lokasi Wawancara : ................................................................................................

Waktu Wawancara : ................................................................................................

II. Data Responden

Nama : ................................................................................................

Alamat : ................................................................................................

Tempat/Tgl Lahir : ................................................................................................

Pendidikan terakhir : ................................................................................................

Status : ................................................................................................

Jabatan di Masyarakat : ...............................................................................................

III. Substansi

3.1 Pendidikan Anak

1. Berapa jumlah anak Bapak/Ibu sekarang ini? Laki-laki : ........., Perempuan: ..........

2. Apakah anak Bapak/Ibu masih sekolah saat ini?

a. TK : ..............

b. SD : ..............

c. SMP : ............

d. SLTA: ............

e. D1/D2/D3/S1 : .................

3. Apakah anak-anak Bapak/Ibu setiap hari masuk sekolah? .......................................

4. Apakah sering bolos? .............................

5. Apakah bisa mengerjakan tugas yang diberikan guru? ....................................

6. Bagaimana cara anak-anak mengerjakan PR? ....................................................

7. Pelajaran apa saja yang sulit pahami anak-anak untuk diikuti? ...................................

8. Apakah anak-anak ikut teman sekolah untuk belajar bersama? .............................

9. Apakah Bapak/Ibu ingin ada yang mengajari anak-anak pelajaran tersebut selain

guru? .........................

10. Apakah Bapak/Ibu punya buku-buku pelajaran sekolah anak-anak di rumah?

.........................

11. Buku pelajaran apa saja yang tidak dipunyai? ....................................................

Page 39: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

3939393939

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

12. Apakah sekolah mengijinkan untuk meminjam buku pelajaran dari perpustakaan?

...

13. Apabila sudah tidak bersekolah,

a. Apakah alasan Bapak/Ibu tidak menyekolahkan mereka lagi? .........................

b. Apakah Bapak/Ibu ingin mereka meneruskan sekolahnya? ..............................

c. Apakah anak-anak Bapak/Ibu dapat mengikuti pelajaran sekolah? .................

d. Pelajaran apa saja yang sulit dipahami anak-anak Bapak/Ibu? ..........................

e. Apakah Bapak/Ibu menginginkan ada yang mengajari pelajaran tersebut selain

guru? .......................................................................................................................

f. Mengapa? .....................................................................................................................

3.2 Hubungan Keluarga dan Tempat Tinggal

1. Apakah semua anak-anak Bapak/Ibu masih hidup? .....................................................

2. Apabila masih, dimana mereka tinggal sekarang ini? ..................................................

3. Apakah mereka tinggal bersama Bapak/Ibu sekarang ini? ..........................................

4. Apabila mereka tidak tinggal dengan orang tua sekarang ini, dengan siapa mereka

tinggal sekarang ini? ........................................................................

5. Siapa saja yang tinggal satu atap rumah dengan Bapak/ibu saat ini selain anak-

anak Bapak/Ibu? ..................... Berapa KK? ....................................................

6. Apakah alasan anak-anak tidak tinggal dengan Bapak/Ibu? ......................................

7. Bagaimana hubungan Bapak/Ibu dengan anak-anak? .................................................

8. Apakah Bapak/Ibu sering memukul anak-anak? ..........................................................

9. Apa alasan Bapak/Ibumemukul mereka? .......................................................................

10. Saat memukul anak-anak, apa yang digunakan Bapak/Ibu? .....................................

11. Bagian tubuh mana yang Bapak/Ibu pukul? ................................................................

12. Berapa kali sehari Bapak/Ibu memukul mereka? .......................................................

13. Apakah pasangan Bapak/Ibusaat ini masih tetap yang lama (orang tua kandung)

dari anak-anak Bapak/Ibu saat ini?

a. Ya, masih sama,

b. Tidak, sudah bercerai 1x,

c. Tidak sudah bercerai lebih dari 1x.

14. Apa yang menyebabkan perceraian Bapak/Ibu tersebut? ..........................................

15. Apakah Bapak/Ibu mempunyai kakak/abang atau Bapak/Ibu? ..............................

a. Berapa jumlah kakak/abang? ...............................................................

b. Berapa jumlah adik? ...............................................................................

16. Apakah kakak/abang dari Bapak/Ibu, tinggal bersama Bapak/Ibu saat ini ?

..........................

a. Apabila Ya, apakah mempunyai kamar masing-masing? ..................................

b. Apabila tidak, siapa saja yang tinggal sekamar dengan Bapak/Ibu? .............

Page 40: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

4040404040

Menggagas Generasi Antikorupsi

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

17. Berapa orang yang tidur satu kamar dengan Bapak/Ibu? ................................

18. Berapa ukuran kamar tidur Bapak/Ibu tersebut? .................................................

19. Apa alas Bapak/Ibu tidur?

a. Kasur

b. Busa

c. Tikar/ambal/karton tebal dilapis

d. Koran/kertas biasa saja

e. Lainnya ....................................

20. Berapa ukuran luas rumah Bapak/Ibu? .......................................................................

21. Apakah milik Bapak/Ibu sendiri? ..................................................................................

22. Apabila kontrak/sewa, berapa biaya sewa per tahun? ...............................................

23. Apa bahan dasar bangunan rumah Bapak/Ibu yang tinggali saat ini?

a. Beton/cor/bata/plester

b. Setengah beton/bata, setengah papan/triplek/gedeg

c. Bahan Papan/triplek/gedeg

24. Apa bahan dasar lantai?

a. Porselen/tegel

b. Semen/bata

c. Tanah

25. Apakah kamar mandi terletak menyatu dengan bagian rumah tinggal Bapak/Ibu

saat ini? ..............................................................

3.3 Mata Pencaharian dan Ekonomi keluarga

1. Apa pekerjaan Bapak/Ibu? ..............................................................................................

2. Apa pasangan Bapak/Ibu juga bekerja saat ini? .........................................................

3. Apa pekerjaan pasangan Bapak/Ibu saat ini? ...............................................................

4. Apakah Bapak/Ibu mengetahui berapa jumlah pendapatan per bulan? ....................

Berapa jumlahnya? .............................................

5. Apakah Bapak/Ibu mengetahui jumlah pendapatan pasangan Bapak/ibu saat ini?

...............

6. Apabila mengetahui, sebutkan berapa per bulannya atau per hari nya?

................................

7. Siapa saja di keluarga Bapak/Ibu yang sudah bisa mendapatkan uang?

...................................

8. Apa saja pekerjaan mereka? ..............................................................................................

9. Apakah anak-anak Bapak/Ibu juga sudah dapat mendapatkan uang?

......................................

10. Berapa yang anak-anak Bapak/Ibu dapat kumpulkan satu hari nya?

........................................

Page 41: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

4141414141

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

11. Apa pekerjaan anak-anak Bapak/Ibu? ..........................................................................

12. Apabila jenis pekerjaan Bapak/Ibu atau pasangan Bapak/Ibu atau anak-anak

adalah bisnis/dagang, dari siapa sumber modalnya?

a. Bapak/Ibu langsung

b. Arisan bersama

c. Pinjam dari keluarga dan tidak berbunga

d. Pinjam dari koperasi, berapa bunganya per hari/bulan..........................

e. Pinjam dari tengkulak, berapa bunganya per hari/bulan .......................

f. Pinjam dari lainnya, bunganya per hari/bulan ...............................

13. Apakah Bapak/Ibu tidak mencoba meminjam dari perbankan? .............................

14. Apa alasan Bapak/Ibu tidak meminjam dari perbankan? .........................................

15. Apa jenis bisnis/dagangan yang dilakukan? .................................................................

16. Berapa modal usaha bisnis/dagang tersebut? ..............................................................

17. Berapa keuntungan bersih yang didapati per hari? .....................................................

18. Apakah Bapak/Ibu mempunyai catatan pengeluaran/pemasukan dari bisnis

tersebut? ........................................................

19. Apabila ya, apakah catatan tersebut berupa laporan debet/kredit? .......................

Kalau bukan apa bentuknya .................................

20. Apakah Bapak/Ibu membutuhkan pemahaman tentang pengaturan pengeluaran/

pemasukan anggaran bisnis/dagang Bapak/Ibu sehingga usaha Bapak/ibu dapat

lebih dikembangkan? ...............................................................

21. Sejak dari jam berapa Bapak/Ibu melakukan pekerjaan setiap hari dan sampai

jam berapa? ...............................................................

22. Sejak dari jam berapa anak-anak Bapak/Ibu melakukan pekerjaan setiap hari dan

sampai jam berapa? ...............................................................

23. Siapa yang menyuruh anak-anak Bapak/Ibu bekerja? .........................................................

24. Apabila Bapak/Ibu yang menyuruh anak-anak bekerja, apa alasannya?

.............................................................................................................................................

25. Kepada siapa anak-anak menyerahkan uang yang didapatkan setiap hari?

...........................................................................................................................................

26. Apakah ada uang yang Bapak/Ibu simpan setiap hari? ........................................................

27. Apa tujuan Bapak/Ibu menyimpan uang? ..........................................................................

28. Siapa yang mengajarkan cara pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan saat ini?

......................................................................................................................................

29. Apakah Bapak/Ibu diminta untuk membayar kepada orang yang mengajarkan

pekerjaan tersebut? ...........

30. Berapa yang Bapak/Ibu bayarkan (apabila berbentuk uang)? .............................................

31. Apa yang Bapak/Ibu berikan (apabila berbentuk bukan uang)? .......................................

Page 42: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

4242424242

Menggagas Generasi Antikorupsi

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

3.4 Kebutuhan Dasar

1. Berapa kali sehari Bapak/Ibu dan keluarga makan? .............................................................

2. Siapa yang memberi anak-anak Bapak/Ibu makan?

a. Pagi? ........................................

b. Siang ? ......................................

c. Malam? .....................................

4. Menu apa saja yang Bapak/Ibu dan keluarga makan setiap hari?

a. Pagi? .............................................

b. Siang? ............................................

c. Malam? .........................................

5. Apakah Bapak/Ibu dan anak-anak minum susu setiap hari? ..........................................

a. Apabila Ya, siapa yang memberikan? ................................

b. Apabila Tidak, apa alasannya? ....................................................

6. Apakah Bapak/Ibu dan anak-anak suka minum susu? ..................................................

7. Susu jenis apa yang Bapak/Ibu dan anak-anak sukai?

a. Bubuk,

b. Kental Manis,

c. Murni,

d. Lainnya .....................

8. Apakah Bapak/Ibu dan anak-anak pernah jatuh sakit? ........................................................

9. Sakit apa saja? ................................................................................................................

10. Apakah penyakit-penyakit Bapak/Ibu dan anak-anak tersebut sembuh sekarang

ini (tidak kambuh lagi)? .......................................................................................................

11. Apakah cara yang dilakukan menyembuhkan sakit Bapak/Ibu dan anak-anak?

a. Dibawa ke puskesmas, dokter, bidan dsb nya

b. Dibawa ke dukun

c. Minum obat yang dijual bebas

d. Minum tanaman obat-obatan

e. Dibiarkan saja

f. Lainnya .............................................................

12. Siapa yang menolong Bapak/Ibu dan anak-anak saat sakit? ..............................................

13. Apabila Bapak/Ibu dan anak-anak dibawa ke dokter, puskesmas, bidan etc, siapa

yang membayar pengobatannya? .........................................................................................

14. Apakah Bapak/Ibu mendapatkan Gakin? .............. Berapa banyak per bulan? ...............

15. Apakah Bapak/Ibu mendapatkan biaya gratis pengobatan di puskesmas? .....................

16. Apakah Bapak/Ibu mengeluarkan uang kepada RT setempat untuk memperoleh

pengobatan gratis di puskesmas? ........................ Untuk apa uang tersebut?

.........................

Page 43: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

4343434343

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

3.5 Kebersihan Diri dan Lingkungan

1. Berapa kali Bapak/Ibu dan anak-anak mandi dalam satu hari? ...........................................

2. Dimana Bapak/Ibu dan anak-anak mandi? ............................................................................

3. Apakah Bapak/Ibu selalu pakai sabun mandi saat mandi? ..................................................

4. Apakah Bapak/Ibu selalu berganti pakaian setiap hari? ........................................................

5. Apakah Bapak/Ibu selalu sikat gigi setiap hari? .....................................................................

6. Apakah Bapak/Ibu selalu cuci tangan terlebih dahulu sebelum makan? ........................

7. Apakah Bapak/Ibu sering gatal-gatal di kulit Bapak/Ibu? .....................................................

8. Apakah Bapak/Ibu selalu pakai alas kaki kemana saja? .......................................................

9. Dari mana sumber air yang Bapak/Ibu gunakan untuk memasak? ....................................

10. Berapa biaya yang Bapak/Ibu keluarkan untuk air bersih ini? ...........................................

11. Apakah lingkungan Bapak/Ibu tinggal sering terjadi banjir? .............................................

12. Apa yang menyebabkan banjir di sekitar tempat Bapak/Ibu? ...........................................

13. Apakah pihak RT/RW/Kelurahan sudah mengetahui tentang banjir di sekitar

Bapak/Ibu tinggal? ...............................................

14. Apakah ada tindakan RT/RW/kelurahan untuk mengatasi banjir tersebut? ...............

15. Apa tindakan nya? ...........................................................................................................

16. Apakah di Rumah Bapak/Ibu terdapat jaringan listrik? .......................................................

17. Berapa daya (voltase) di tempat tinggal Bapak/Ibu saat ini? ...............................................

3.6 Perlindungan, Masalah Sosial

1. Apakah daerah tempat tinggal Bapak/Ibu pernah bekelahi dengan kelompok lain?

............................................

2. Kelompok siapa? ...................................................................................................................

3. Apa penyebabnya? ................................................................................................

4. Apakah ada korban jiwa? ...................................................................................................

5. Bagaimana penyelesaiannya? .........................................................................................

6. Siapa yang membela Bapak/Ibu? ...............................................................................................

7. Apakah Bapak/Ibu tidak takut bertemu kelompok lain tersebut lagi? ...............................

8. Apakah memberikan uang kepada orang yang membela Bapak/Ibu? ...............................

9. Apakah Bapak/Ibu pernah dipalak orang di lingkungan Bapak/Ibu tinggal? ................

10. Apa yang dimintakan orang tersebut dari Bapak/Ibu? ................................................

11. Apakah Bapak/Ibu pernah dilecehkan secara seksual oleh orang lain di daerah

sini? ..................................................................

12. Apakah yang dilakukan orang lain tersebut? ......................................................................

13. Apakah Bapak/Ibu tidak melaporkan kepada RT/RW/kelurahan atau polisi? .....

14. Apa yang Bapak/Ibu lakukan saat orang lain akan melecehkan Bapak/Ibu atau

anak-anak secara seksual? .........................

Page 44: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

4444444444

Menggagas Generasi Antikorupsi

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

Da

ri Gra

du

ate

Cen

ter

15. Apakah daerah tinggal Bapak/Ibu sering mengalami kemalingan? ................................

16. Apakah bentuk penjagaan yang lingkungan atau masyarakat lakukan? ............................

17. Apakah Bapak/ibu mengikuti arisan lingkungan? ..............................................................

18. Berapa banyak jenis arisan yang Bapak/Ibu ikuti? .................................................................

19. Siapa nama RT Bapak/Ibu? .......................................

20. Siapa nama RW Bapak/Ibu? .......................................

21. Siapa nama Lurah/kades Bapak/ibu? ........................................

22. Siapakah tokoh masyarakat yang dikagumi Bapak/Ibu di sekitar rumah Bapak/

Ibu? ..............

23. Siapakah tokoh agama yang dikagumi Bapak/Ibu di sekitar rumah Bapak/Ibu?

..............

24. Siapakah tokoh adat yang dikagumi Bapak/Ibu di sekitar rumah Bapak/Ibu?

..............

25. Apakah peran tokoh-tokoh tersebut efektif membantu, menolong, melindungi

Bapak/Ibu dan masyarakat? ...........................................................

26. Apakah Bapak/Ibu mengikuti perkumpulan suku Bapak/Ibu? ................. Suku

apa? ...........

27. Ada berapa banyak perkumpulam suku di sekitar Bapak/Ibu tinggal? .............................

28. Apakah pernah di daerah Bapak/Ibu tinggal, terjadi keributan antar suku?

..................... tahun berapa? ................................... Suku apa saja yang berselisih?

....................................

29. Apakah perselisihan tersebut sudah selesai tuntas? ...............................................

30. Siapa yang menyelesaikan? ............................................................................................

3.7 Harapan dan Cita-cita

1. Apakah cita-cita Bapak/Ibu di masa depan? .............................................................

2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui cara untuk mencapai mimpi tersebut? .................

3. Apakah Bapak/Ibu suka membaca? .................................................................................

4. Apakah Bapak/Ibu bisa membaca dan menulis dengan lancar? ...............................

5. Apakah Bapak/Ibu ingin lancar membaca dan menulis? ............................................

6. Apakah harapan Bapak/Ibu lainnya? .................................................................................

3.8 Penggunaan Lahan dan Mayoritas Pekerjaan

1. Apakah rata-rata penggunaan lahan di sekitar Bapak/Ibu tinggal? ..........................

2. Apakah rata-rata jenis pekerjaan di sekitar Bapak/Ibu tinggal? .................................

3. Berapa banyak KK di tempat Bapak/Ibu tinggal mendapat bantuan GAKIN

maupunKartu Miskin? ........................................................................................

Page 45: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

4545454545

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Da

ri G

rad

ua

te C

en

ter

Sementara itu, curah pendapat secara

individu dilakukan beberapa kali oleh

fasilitator secara santai, menyesuaikan

dengan waktu yang dimiliki oleh individu

masyarakat. Individu yang disurvey dan digali

kebutuhan mendasarnya adalah champion di

tengah komunitas. Maksud dari champion ini

adalah individu yang dianggap berpotensi

untuk menjadi contoh awal di tengah

komunitas. Hal ini dilakukan karena

komunitas masih enggan dan menunggu

bukti keseriusan lembaga pendukung dari

fasilitator. Pemilihan individu sebagai

champion didasarkan atas pengamatan

mendalam oleh fasilitator dan yang

didiskusikan dengan kelompok lembaga

pendukungnya.

3) Prioritas Kebutuhan dalam

Komunitas

Penentuan prioritas kebutuhan komunitas

dilakukan secara partisipatif oleh komunitas

itu sendiri yang di fasilitasi oleh fasilitator

yang disepakati. Proses penentuan tersebut

dilakukan melalui analisa sebab-akibat yang

diajukan oleh fasilitator dalam bentuk

pertanyaan kepada komunitas sampai

akhirnya ditemukan hal-hal mendasar

penyebab permasalahan komunitas itu.

Fasilitator akan membagi ke dalam 6 bagian

utama kebutuhan yaitu;

1. Pendidikan

2. Kebutuhan mendasar (pangan)

3. Kesehatan individu dan lingkungan

4. Perlindungan diri dan sosial

5. Keuangan dan akses

6. Kerohanian

Berikut di dalam boks hasil tahapan

penentuan prioritas kebutuhan mendasar

komunitas TPU Pondok Kelapa yang

dilakukan Paksu Jakarta:

Hasil survey kelompok;

1. Kemampuan akademisi anak-anak komunitas rendah.

2. Kemampuan kewirausahan masyarakat rendah.

3. Akses modal untuk mengembangkan usaha yang ada (ikan asin, barang bekas,

bengkel) susah didapat dengan bunga rendah.

4. Akses pemasaran susah didapatkan.

5. Air bersih susah diperoleh, harus antre.

6. Kebersihan lingkungan sangat rendah.

Hasil survey individu (3-4 orang);

1. Tidak mengetahui teknik perbengkelan

2. Pengembangan usaha perbengkelan

Page 46: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA

majalah

4646464646

Menggagas Generasi Antikorupsi

Pe

rc

ika

nP

erc

ika

nP

erc

ika

nP

erc

ika

nP

erc

ika

n

Si Mamon itu memang amat

digdaya. Pesonanya

menaklukkan siapa saja;

tua-muda, pria-wanita, agama

apa saja, semua ras manusia! Ia

kaya pengaruh, ia limpah

kuasa. Begitu tipis bedanya,

entah kita sangat

membutuhkannya atau sangat

menyembahnya. Tak heran

Allah mencemburuinya, serius

meminta jawab kita: “Pilih AKU

atau dia?!” Tapi hal paling berbahaya

tentang si Mamon ini adalah: tak ada

kata puas memilikinya. Ia membuat orang

tak sudi berbagi rata. Ia membuat orang nekat

mengambil resiko kehilangan segalanya

dengan mencurinya, merampoknya,

mengkorupsinya. Maka wajar jika kita

pesimis bisa mengalahkannya. Memang tak

ada yang bisa, tak ada caranya!

Tapi, benarkah demikian, kawan? Tidak!

Karena saat kuliah aku punya cara dan

pernah bisa mengalahkan kuasanya.

Berempat kami, kebetulan sekelas, satu rumah

kost, sama-sama kristen. Uang bulanan dari

orang tua tergolong kecil, namun kami kerap

saling mentraktir. Stok mie instan di

kamarku seolah milik mereka juga, dan bila

milikku habis, aku mencarinya ke kamar

mereka. Salah satu dari kami kerap dikirimi

paket makanan oleh orang tuanya, bersama-

sama kami menghabiskannya. Jika ada diktat

kuliah yang mahal, kami iuran, cukup beli

satu saja untuk digunakan bersama.

Dengan pemilik kost terbangun

hubungan yang sama. Di jumpa pertama

mereka tegas: “Tidak boleh ada salib-gambar

kristen- lagu kristen di kamar!” Seiring waktu

semua berubah. Kami biasakan tak hanya

membersihkan kamar, tapi juga ruang tamu

Menaklukkan MamonMenaklukkan MamonMenaklukkan MamonMenaklukkan MamonMenaklukkan MamonIwan Wibowo*

dan halaman rumah. Ketika anak

mereka diopname, bergiliran kami

menjaganya. Selama rumah

direnovasi, kami jadi tukang,

membantu sebisanya. Apa yang

terjadi? Alkitab kami tergeletak

di luar kamar atau lagu kristen

terdengar nyaring dari kamar

tak jadi masalah. Wesel dari

orang tua tak kunjung tiba, bayar

kost telat sedikit, telat lama, tak

pernah ditagih. Bahkan satu dua

kali uang kos kami mereka

kembalikan!

Apa penjelasannya? Bukan, itu bukan

hubungan timbal balik biasa. Itu terjadi

karena lambat laun tumbuh kasih diantara

kami semua, lambat laun kami bisa

menganggap satu sama lain sebagai keluarga.

Dalam keluarga, hubungan timbal balik

terjadi bukan karena kepentingan atau

kewajiban. Itu terjadi begitu saja, secara alami

belaka. Saling berbagi, menganggap sesuatu

sebagai milik bersama itu menjadi naluri,

menjadi pola pikir dan gaya hidup bersama!

Dalam kondisi dan situasi seperti inilah

sesungguhnya kami telah menaklukkan si

Mamon. Ya, karena dalam relasi kasih di

antara kami dan antara kami dengan

pemilik kost itu uang menjadi hal yang tak

terlalu utama, sehingga bisa dibilang si

Mamon kehilangan relevansinya,

kehilangan kuasanya!

Belakangan ini, baru kusadari bahwa

cara kami menaklukkan si Mamon itu sudah

ditunjukkan oleh kitab suci. Itu adalah

sesuatu yang Yesus maksudkan ketika

menantang seorang muda kaya menjual

seluruh hartanya, membagi-bagikannya

kepada orang miskin, dan mengikut Yesus

(Markus 10:17-27). Itu juga poin yang Yesus

Page 47: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012

Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012

4747474747

Pe

rc

ika

nP

erc

ika

nP

erc

ika

nP

erc

ika

nP

erc

ika

n

tekankan saat menjawab pertanyaan para

murid: “Kami telah meninggalkan segala

sesuatu dan mengikut Engkau (apa yang

kami dapat?)” (Markus 10:28-31). Itu juga gaya

hidup gereja mula-mula di mana jemaat

berbagi segala sesuatu karena merasa apa

yang mereka miliki adalah milik bersama (Kis

2:44-45). Ini terkait dengan sistem ekonomi

Allah, dengan natur ekonomi dalam kerajaan

Allah.

Seperti ini runtutannya: kelahiran baru

kita (harusnya) berdampak pada cara

pandang kita terhadap sesama, membuat kita

memandang orang lain sebagai saudara dari

keluarga yang sama. Dalam sebuah keluarga,

akan merupakan sebuah skandal bila sang

kakak berlimpah harta sementara adiknya

miskin papa. Sebuah aib yang dikutuk

bersama bila sang adik berhasrat menguasai

sebanyak mungkin harta keluarga, karena

otomatis itu memperkecil porsi yang menjadi

hak kakaknya.

Dalam keluarga baru Allah yang

menembus batas biologis bahkan batas

bangsa-bangsa ini, distribusi-ulang

kepemilikan (saling berbagi) menjadi gaya

hidup semua anggotanya. Yang ditumbuhkan

di dalamnya adalah sikap inter-dependent,

saling bergantung, saling mengandalkan,

bukan sikap independent yang egois dan

individualis. Dalam konteks

hidup bersama dalam

dimensi ekonomi Allah

seperti ini mamon tetap

memiliki fungsinya, tapi ia

tak akan menjadi si Mamon

yang digdaya, dan tak mudah

kita jatuh menyembahnya,

melainkan mamon sebatas

menjadi pelayan kita. Indah

bukan? Dan tak terasa

mustahil lagi, bukan?

Kebangkitan Kristus

menjadi garansi, bahwa si

Mamon bisa kita buat miskin

pengaruhnya, bisa kita buat

sekarat kuasanya. Dengan kasih kita pada

sesama anak bangsa, dengan natur berbagi

yang Roh Kudus berdayakan dalam dan

melalui hidup kita, kita bisa kalahkan si

Mamon. Apalagi, di tengah keluarga besar

bangsa kita yang sampai hari ini pembagian

kue kesejahteraan hasil pembangunan belum

dinikmati semua kalang secara merata. Ayo

mahasiswa, ayo alumni, kita bergerak

bersama, menjadi solusi menular atas

parahnya budaya korup bangsa!

Salam Optimisme Perubahan Indonesia!

“Dan semua orang yang telah menjadi

percaya tetap bersatu, dan segala

kepunyaan mereka adalah kepunyaan

bersama, dan selalu ada dari mereka yang

menjual harta miliknya, lalu membagi-

bagikannya kepada semua orang sesuai

dengan keperluan masing-masing.”

(Kis 2:44-45)

*Penulis adalah staf Literatur Perkantas

Kebersamaan: Kunci Menaklukkan Mamon

Page 48: Majalah Dia Edisi II Tahun 2012