lp laparotomi

25
Laparotomy A. Latar Belakang Laparatomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga abdomen yang dilakuakan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen,infeksi pada rongga abdomen, perdarahan saluran cerna, sumbatan pada usushalus dan usus besar serta masa pada abdomen. Tindakan laparotomi dapat menimbulkan berbagai komplikasi pasca bedah antara lain gangguan perfusi jaringan, infeksi pada luka yang menyebabkan buruknya integritas kulit serta terjadinya dehisensi luka operasi. B. Definisi Laparatomi merupakan suatu prosedur tindakan pembedahan dengan melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen. Kata Laparatomi terbentuk dari dua kata Yunani, “lapara” dan “tome”. Kata “lapara” berarti bagian lunak dari tubuh yg terletak di antara tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan “tome” berarti pemotongan (Sjamsudidajat, 2005). Laparatomy merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsurihidayat dan Jong, 1997). Ditambahkan pula bahwa laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan obgyn. Adapun tindakan bedah digestif

Upload: dhyira

Post on 28-Dec-2015

451 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BEDAH

TRANSCRIPT

Page 1: LP Laparotomi

LaparotomyA. Latar Belakang

Laparatomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga abdomen yang

dilakuakan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen,infeksi pada rongga

abdomen, perdarahan saluran cerna, sumbatan pada usushalus dan usus besar serta masa

pada abdomen.

Tindakan laparotomi dapat menimbulkan berbagai komplikasi pasca bedah antara

lain gangguan perfusi jaringan, infeksi pada luka yang menyebabkan buruknya integritas

kulit serta terjadinya dehisensi luka operasi.

B. Definisi

Laparatomi merupakan suatu prosedur tindakan pembedahan dengan melibatkan

suatu insisi pada dinding abdomen. Kata Laparatomi terbentuk dari dua kata Yunani,

“lapara” dan “tome”. Kata “lapara” berarti bagian lunak dari tubuh yg terletak di antara

tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan “tome” berarti pemotongan (Sjamsudidajat, 2005).

Laparatomy merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi pada

dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsurihidayat dan Jong, 1997).

Ditambahkan pula bahwa laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada

daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan obgyn. Adapun tindakan

bedah digestif yang sering dilakukan dengan tenik insisi laparatomi ini adalah

herniotomi, gasterektomi, kolesistoduodenostomi, hepatorektomi, splenoktomi,

apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dfan fistuloktomi. Sedangkan tindakan bedah

obgyn yang sering dilakukan dengan tindakan laoparatomi adalah berbagai jenis operasi

pada uterus, operasi pada tuba fallopi, dan operasi ovarium, yang meliputi hissterektomi,

baik histerektomi total, radikal, eksenterasi pelvic, salpingooferektomi bilateral.

Laparatomi dilakukan dengan berbagai macam sayatan, yaitu :

1. Midline incision

Metode ini merupakan insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit

perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup, serta tidak

memotong ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insisi ini adalah

Page 2: LP Laparotomi

terjadinya hernia sikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi gaster, pankreas, hepar, dan

lien serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi ginekologis, rektosigmoid, dan organ

dalam pelvis (Anita, 2009).

2. Paramedian incision

Insisi paramedian yaitu insisi abdomen dengan sedikit ke tepi dari garis tengah (±

2,5 cm), dengan panjang insisi ± 12,5 cm. Terbagi atas 2 yaitu paramedian kanan dan

kiri, dengan indikasi pada jenis operasi lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis,

usus bagian bagian bawah, serta plenoktomi. Insisi paramedian memiliki keuntungan

antara lain : merupakan bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong

ligament dan saraf, dan insisi mudah diperluas ke arah atas dan bawah (Anita, 2009).

3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya

pembedahan colesistotomy dan splenektomy.

4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah ±4cm di

atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendectomy (Anonim, 2009).

C. Etiologi

Bedah laparatomi dilakuakan atas berbagai indikasi, terutama indikasi dalam

bidang digestif dan kandungan, antara lain : Trauma abdomen baik tumpul maupun

tajam, peritonitis, appendicitis, perdarahan saluran cerna, obstruksi usus, kehamilan

ektopik, mioma uteri, adhesi atau perlengketan jaringan abdomen, pancreatitis dan

sebagainya (Kate, 2009; Wain,2009).

D. Patofisiologis

Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional

(Dorland, 2002). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis

akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).

Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang

dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada

Page 3: LP Laparotomi

trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer,

2001). Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan

tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).

Trauma abdomen merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau

tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat

kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi. Tusukan/tembakan , pukulan,

benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt)-dapat

mengakibatkan terjadinya trauma abdomen sehingga harus di lakukan laparatomy.

Trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan individu dapat kehilangan darah,

memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ-organ, nyeri, iritasi cairan usus.

Sedangkan trauma tembus abdomen dapat mengakibatkan hilangnya seluruh atau

sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah,

kontaminasi bakteri, kematian sel. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ dan

respon stress dari saraf simpatis akan menyebabkan terjadinya kerusakan integritas kulit,

syok dan perdarahan, kerusakan pertukaran gas, resiko tinggi terhadap infeksi, nyeri akut.

E. Jenis

Laparotomi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya: adrenalektomi, appendiktomi,

gastrektomi, histerektomi, kolektomi, nefrektomi, pankreatektomi, prostatektomi, seksio

sesarea, sistektomi, salpingo oofarektomi dan vagotomi. (Wain, 2009).

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ;

kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya

darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.

2. Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.

3. Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.

4. IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran

kencing.

5. Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan

adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan

Page 4: LP Laparotomi

trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau

20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris

tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.

6. Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan

cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium.

Post LaparotomiA. Defenisi

Post op atau Post operatif Laparatomi merupakan tahapan setelah proses

pembedahan pada area abdomen (laparatomi) dilakukan. Dalam Perry dan Potter (2005)

dipaparkan bahwa tindakan post operatif dilakukan dalam 2 tahap yaitu periode

pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase post operatif. Proses

pemulihan tersebut membutuhkan perawatan post laparatomi. Perawatan post laparatomi

adalah bentuk pelayanan perawatan yang di berikan kepada klien yang telah menjalani

operasi pembedahan abdomen.

B. Tujuan perawatan post laparatomi

1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.

2. Mempercepat penyembuhan.

3. Mengembalikan fungsi klien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.

4. Mempertahankan konsep diri klien.

5. Mempersiapkan klien pulang.

C. Manifestasi Klinis

Manifestasi yang biasa timbul pada pasien post laparatomy diantaranya :

1. Nyeri tekan pada area sekitar insisi pembedahan

2. Dapat terjadi peningkatan respirasi, tekanan darah, dan nadi.

3. Kelemahan

4. Mual, muntah, anoreksia

5. Konstipasi

Page 5: LP Laparotomi

D. Komplikasi

Seperti halnya jenis pembedahan yang lain, laparatomi juga dapat menimbulkan

beberapa komplikasi pasca pembedahan, antara lain :

1. Syok

Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang disertai dengan

ketidakmampuan tubuh untuk mengekspresikan produk metabolisme. Manifestasi

klinisnya antara lain : anemis, akral dingin, takipnea, sianosis pada bibir, gusi dan

lidah, takikardi dengan penurunan tekanan nadi serta tekanan darah rendah dan urine

pekat (Anita, 2009).

2. Hemorhagi

Hemoragi post laparotomi bisa terjadi primer, intermidiet maupun sekunder.

Hemoragi primer terjadi pada waktu pembedahan, hemoragi intermediet terjadi

beberapa jam setelah pembedahan, sedangkan hemoragi sekunder terjadi beberapa

waktu setelah pembedahan karena pembuluh darah tidak terikat dengan baik atau

menjadi terinfeksi atau mengalami erosi oleh selang drainase.

3. Tromboplebitis

Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya

besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah

vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan

tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi dan ambulatif dini (Kate, 2009).

4. Infeksi

Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang

paling sering menimbulkan infeksi adalah Staphylokokus aureus yang merupakan

organisme gram positif. Bakteri ini mengakibatkan pernanahan atau abses (Kate,

2009).

Page 6: LP Laparotomi

5. Dehisensi luka dan Eviserasi

Dehisensi luka merupakan terbukanya kembali tepi-tepi luka, sedangkan eviserasi

luka adalah keluarnya organ-organ dalam tubuh melalui insisi yang terbuka kembali.

Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup luka

saat pembedahan, dan peningkatan tekanan intraabdominal akibat dari batuk atau

muntah (Kate, 2009).

E. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi

1. Syok

Pencegahan :

a. Terapi penggantian cairan

b. Menjaga trauma bedah pda tingkat minimum

c. Pengatasan nyeri dengan membuat pasien senyaman mungkin dan dengan

menggunakan narkotik secara bijaksana

d. Pemakaian linen yang ringan dan tidak panas (mencegah vasodilatasi)

e. Ruangan tenang untuk mencegah stress

f. Posisi supinasi dianjurkan untuk memfasilitasi sirkulasi

g. Pemantauan tanda vital

Pengobatan :

a. Pasien dijaga tetap hangat tapi tidak sampai kepanasan

b. Dibaringkan datar di tempat tidur dengan tungkai dinaikkan

c. Pemantauan status pernafasan dan CV

d. Penentuan gas darah dan terapi oksigen melalui intubasi atau nasal kanul jika

diindikasikan

e. Penggantian cairan dan darah kristaloid (ex : RL) atau koloid (ex : komponen

darah, albumin, plasma atau pengganti plasma)

f. Terapi obat : kardiotonik (meningkatkan efisiensi jantung) atau diuretik

(mengurangi retensi cairan dan edema)

Page 7: LP Laparotomi

2. Hemorrhagi

Penatalaksanaan :

a. Pasien dibaringkan seperti pada posisi pasien syok

b. Sedatif atau analgetik diberikan sesuai indikasi

c. Inspeksi luka bedah

d. Balut kuat jika terjadi perdarahan pada luka operasi

e. Transfusi darah atau produk darah lainnya

f. Observasi Vital Signs.

Dehisensi LukaA. Definisi

Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi dari proses penyembuhan luka

yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya kembali sebagian atau seluruhnya

luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi

(Baxter, 2003; Spiolitis, 2009).

B. Klasifikasi

Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua:

1. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang biasanya

disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak baik.

2. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari

paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya infeksi,

status gizi dan faktor lainnya (Anonim, 2008; Sjamsudidajat R,2005).

C. Manifestasi Klinik

Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering

merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai keluarnya

cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan

didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti

adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula

terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Anonim, 2008; Sjamsudidajat

R,2005).

Page 8: LP Laparotomi

Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi

pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis febris,

hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi dan

pemeriksaan jaringan di sekitar luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan,

hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).

D. Etiologi

Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme kerjanya

dibedakan atas tiga yaitu:

1. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan semakin

meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor mekanik tersebut

antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta teknik

operasi yang kurang.

2. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan

keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi proses

penyembuhan luka.

E. Faktor infeksi

Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi akan

meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis biasanya terjadi pada hari

ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala suhu badan yang meningkat disertai tanda

peradangan disekitar luka.

Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System, luka operasi

dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan kotor. Infeksi

luka jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan temperature dan terjadinya

selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera

terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh streptococcus B

haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai peningkatan

temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus.

(Webster et al, 2003; Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).

Page 9: LP Laparotomi

F. Faktor Resiko

Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas factor preoperasi yang

berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik penderita, faktor operasi yang

berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik penjahitan, serta faktor pascaoperasi

(Webster et al, 2003).

Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih rentan

dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi, obesitas, diabetes

mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi dan kemoterapi, keganasan,

sepsis, penyakit paru obstruktif serta pemakaian preparat kortikosteroid jangka panjang

(Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela, 2005; Singh, 2009).

Faktor risiko operasi antara lain :

1. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripada transversal

dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik, sehingga arah kontraksi otot-otot

dinding perut berlawanan dengan arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan

operasi.

2. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis juga berperan

dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki keuntungan yaitu

mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan, namun di sisi lain mengurangi

efektifitas dan kekuatannya (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).

3. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman daripada tekhnik

penjaitan kontinyu.

4. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi suatu perhatian

khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh sering kali tidak dapat

diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).

Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan terjadinya

dehisensi luka antara lain:

1. Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan retensio urin.

Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-otot dinding abdomen

sehingga akan teregang. Regangan otot dinding abdomen iniah yang akan

Page 10: LP Laparotomi

menyebabkan berkurangnya kekuatan jahitan bahkan pada kasus yang berat akan

menyebabkan putusnya benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan

dalam rongga abdomen.

2. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal. Perawatan luka pasca operasi yang tidak

optimal memudahkan terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula

terjadinya dehisensi luka operasi.

3. Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak adekuat terutama

protein salah satunya akan menyebabkan hipoalbuminemia, keadaan ini akan

mengurangi sintesa kolagen yang merupakan bahan dasar penyembuhan luka.

Defisiensi tersebut akan mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang

merupakan proses awal penyembuhan luka.

4. Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi dapat

menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan

mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).

G. Penatalaksanaan Keperawatan

1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.

2. Mempercepat penyembuhan.

3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.

4. Mempertahankan konsep diri pasien.

5. Mempersiapkan pasien pulang.

H. Perawatan pasca pembedahan

1. Tindakan keperawatan post operasi

a. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output

b. Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage.

c. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati, jangan sampai

drain tercabut.

d. Perawatan luka operasi secara steril.

Page 11: LP Laparotomi

2. Makanan

Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan menelan makanan

sesudah pembedahan. makanan yang dianjurkan pada pasien post operasi adalah

makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses

penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung antioksidan membantu

meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi. Pembatasan diit yang

dilakukan adalah NPO (nothing peroral). Biasanya makanan baru diberikan jika:

a. Perut tidak kembung

b. Peristaltik usus normal

c. Flatus positif

d. Bowel movement positif

3. Mobilisasi

Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya stabil.

Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan perubahan

posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang menjalani pembedahan abdomen

dianjurkan untuk melakukan ambulasi dini.

4. Pemenuhan kebutuhan eliminasi

Sistem Perkemihan.

- Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia

inhalasi, IV, spinal.

Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi retensio urine.

- Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusi abdomen bawah (distensi buli-buli).

- Dower catheter : kaji warna, jumlah urine, out put urine < 30 ml / jam komplikasi

ginjal.

Page 12: LP Laparotomi

Sistem Gastrointestinal.

- Mual muntah 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan

stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher

serta TIO meningkat.

- Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.

- Kaji paralitic ileus suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.

- jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.

- Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan

decompresi dan drainase lambung.

I. Proses penyembuhan luka

1. Fase pertama

Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-sel

darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening

digunakan sebagai kerangka.

2. Fase kedua

Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel

timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.

3. Fase ketiga

Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-

jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.

4. Fase keempat

Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.

Upaya untuk mempercepat penyembuhan luka:

1. Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin C.

2. Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid.

3. Pencegahan infeksi.

4. Pengembalian Fungsi fisik.

Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas

dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini.

Page 13: LP Laparotomi

J. Kriteria Evaluasi

Hasil yang diharapkan setelah perawatan pasien post operasi, meliputi;

1. Tidak timbul nyeri luka selama penyembuhan.

2. Luka insisi normal tanpa infeksi.

3. Tidak timbul komplikasi.

4. Pola eliminasi lancar.

5. Pasien tetap dalam tingkat optimal tanpa cacat.

6. Kehilangan berat badan minimal atau tetap normal.

7. Sebelum pulang, pasien mengetahui tentang :

a. Pengobatan lanjutan.

b. Jenis obat yang diberikan.

c. Diet.

d. Batas kegiatan dan rencana kegiatan di rumah.

K. Pengkajian

1. Primary Survey

a. Airway

1) Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah

dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi. Potency jalan nafas,

meletakan tangan di atas mulut atau hidung, auscultasi paru, keadekuatan

expansi paru, kesimetrisan.

2) Breathing. Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan

irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,

frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia

breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana

karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada

jalan napas. Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR <

10 X / menit, depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal, gangguan

cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang meningkat.

Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan

diafragma, retraksi sternal efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.

Page 14: LP Laparotomi

3) Circulating:

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.

Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan

parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi

lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan

frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan

bradikardia, disritmia).

Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.

4) Disability : berfokus pada status neurologi

Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata, respon motorik

dan tanda-tanda vital.

Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan menelan,

kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual dan gelisah.

5) Exposure. Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan

2. Secondary Survey : Pemeriksaan fisik

a. Abdomen. Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati teraba 2 jari bawah iga,dan limpa

tidak membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit. Distensi abdominal

dan peristaltic usus adalah pengkajian yang harus dilakukan pada gastrointestinal.

b. Ekstremitas. Mampu mengangkat tangan dan kaki. Kekuatan otot ekstremitas atas

4-4 dan ekstremitas bawah 4-4., akral dingin dan pucat.

c. Integumen. Kulit keriput, pucat. Turgor sedang

d. Pemeriksaan neurologis.Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak

akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :

1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,

pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).

Page 15: LP Laparotomi

2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan

sebagian lapang pandang, foto fobia.

3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.

4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.

5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus

menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.

6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu

sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

3. Tersiery Survey

a. Kardiovaskuler

b. Brain

c. Blader

L. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan luka insisi.

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan higiene luka yang buruk.

4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan post operasi.

5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah.

6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan.

Page 16: LP Laparotomi

Daftar Pustaka

1. Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal Surgery in

Public Sector Hospital. Department of Community Medicine, King Edward Medical

University Lahore .Annals 14:3

2. Anonim. 2008. Penyembuhan Luka dan Dehisensi. Diakses Desember 2011 dari:

http://www.scribd.com/doc/56192741/DEHISENSI2

3. Anonim. 2009. Laparotomi. Diakses Desember 2011 dari:

4. http://www.scribd.com/doc/74673683/LP-Laparatomi

5. Baxter, H. 2003. Management of surgical wound. Nur Time 99(13) ;1-9

6. Brunner and suddart. (1988). Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. J.B.

Lippincott Campany, Philadelpia. 

7. Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC, Jakarta.

8. Kate, Vikram. 2011. Exploratory Laparotomy. Diakses Desember 2011 dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1829835-overview

9. Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound dehiscence

after midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4): 387-390

10. Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired bladder

rupture in a 5 yr old girl – a case study. Resident Medical Officer, Max Heart and

Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal 1:363

11. Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.

Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

12. Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a problem in

the 21th century: a retrospective study. World Journal of Emergency Surgery 4:12

13. Wain, Yohana. 2009. Asuhan Keperawatan Laparotomi atas indikasi Kista Ovari.

Akademi Keperawatan UPN: Jakarta

14. Webster C, Neumayer L, Smout R, et al. 2003. Prognostic models of abdominal wound

dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2): 130-137