lp hepatoma

27
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SUSP. HEPATOMA DI BANGSAL DAHLIA 1, RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA Tugas Mandiri Stase Praktek Keperawatan Medikal Bedah Disusun oleh : GABI CERIA 14/376798/KU/17539 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

Upload: gabi-ceria

Post on 04-Jan-2016

60 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

n

TRANSCRIPT

Page 1: Lp Hepatoma

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SUSP. HEPATOMA

DI BANGSAL DAHLIA 1, RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

Tugas Mandiri

Stase Praktek Keperawatan Medikal Bedah

Disusun oleh :

GABI CERIA

14/376798/KU/17539

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015

Page 2: Lp Hepatoma

LAPORAN PENDAHULUAN

HEPATOMA

A. PENGERTIAN

Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah salah satu jenis keganasan hati primer

yang paling sering ditemukan dan banyak menyebabkan kematian. Karsinoma hati primer

dibedakan atas karsinoma yang berasal dari sel-sel hati (KHS), karsinoma dari sel-sel

saluran empedu (karsinoma kolangioseluler), dan campuran dari keduanya. Karsinoma

juga dapat berasal dari jaringan ikat hati seperti misalnya fibrosarkoma hati. Secara

makroskopis karsinoma hati dapat dijumpai dalam bentuk (i) masif yang biasanya di lobus

kanan, berbatas tegas, dapat disertai nodul-nodul kecil di sekitar masa tumor dan bisa

dengan atau tanpa sirosis; (ii) noduler, dengan nodul di seluruh hati, (iii) difus, seluruh hati

terisi sel tumor. Secara mikroskopis, sel-sel tumor biasanya lebih kecil dari sel hati yang

normal, berbentuk poligonal dengan sitoplasma granuler. Sering ditemukan sel raksasa

yang atipik.

B. ETIOLOGI

a. Virus Hepatitis B

Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat,

baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang

hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan hepatoma yang tinggi. Umur saat

terjadinya infeksi merupakan faktor resiko penting karena infeksi HBV pada usia dini

berakibat akan terjadinya kronisitas. Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin

terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi

HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV

berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif

menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel

dapat diaktifkan secara tidak langsung akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau

beberapa gen yang berubah akibat HBV. Infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik

seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya hepatoma tanpa melalui sirosis hati.

b. Virus Hepatitis C

Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor resiko

penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi penyebab paling umum karsinoma

hepatoseluler di Jepang dan Eropa, dan juga bertanggung jawab atas meningkatnya

2

Page 3: Lp Hepatoma

insiden karsinoma hepatoseluler di Amerika Serikat, 30% dari kasus karsinoma

hepatoseluler dianggap terkait dengan infeksi HCV. Sekitar 5-30% orang dengan

infeksi HCV akan berkembang menjadi penyakit hati kronis. Dalam kelompok ini,

sekitar 30% berkembang menjadi sirosis, dan sekitar 1-2% per tahun berkembang

menjadi karsinoma hepatoseluler. Resiko karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan

HCV sekitar 5% dan muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan alkohol oleh pasien

dengan HCV kronis lebih beresiko terkena karsinoma hepatoseluler dibandingkan

dengan infeksi HCV saja. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan antivirus

pada infeksi HCV kronis dapat mengurangi risiko karsinoma hepatoseluler secara

signifikan. 

c. Sirosis Hati

Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di dunia dan

melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama sirosis di Amerika

Serikat dikaitkan dengan alkohol, infeksi hepatitis C, dan infeksi hepatitis B. Setiap

tahun, 3-5% dari pasien dengan sirosis hati akan menderita hepatoma. Hepatoma

merupakan penyebab utama kematian pada sirosis hati. Pada otopsi pada pasien dengan

sirosis hati, 20-80% di antaranya telah menderita hepatoma.

d. Aflatoksin

Aflatoksin B1 (AFB1) meruapakan mikotoksin yang diproduksi oleh

jamur Aspergillus. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa AFB1 bersifat

karsinogen. Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh dunia dan terutama banyak

berhubungan dengan makanan berjamur. Pertumbuhan jamur yang menghasilkan

aflatoksin berkembang subur pada suhu 13°C, terutama pada makanan yang

menghasilkan protein. Di Indonesia terlihat berbagai makanan yang tercemar dengan

aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-umbian (kentang rusak, umbi rambat rusak,

singkong, dan lain-lain), jamu, bihun, dan beras berjamur.

Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1

menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai penelitian dengan

menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi kuat antara pajanan aflatoksin

dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas hepatoma.

e. Obesitas

Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat diketahui

bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5x akibat kanker pada

kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40 kg/m2)  dibandingkan

3

Page 4: Lp Hepatoma

dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Obesitas merupakan faktor resiko

utama untuk non-alcoholic fatty liver disesease (NAFLD), khususnya non-alcoholic

steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian

berlanjut menjadi hepatoma.

f. Diabetes Mellitus

Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko baik untuk penyakit hati

kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis

non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan kadar

insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif

potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya aasosiasi antara DM dan hepatoma terlihat

dari banyak penelitian. Penelitian oleh El Serag dkk. yang melibatkan 173.643 pasien

DM dan 650.620 pasien bukan DM menunjukkan bahwa insidensi hepatoma pada

kelompok DM lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan insidensi hepatoma

kelompok bukan DM.

g. Alkohol

Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol

(>50-70 g/hari atau >6-7 botol per hari) selama lebih dari 10 tahun meningkatkan risiko

karsinoma hepatoseluler 5 kali lipat. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik

langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati

dan hepatoma pada pengidap infeksi HBV atau HVC. Sebaliknya, pada sirosis

alkoholik terjadinya HCC juga meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg positif

atau anti-HCV positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap

infeksi HBV maupun infeksi HCV.

C. PATOFISIOLOGI

Seperti halnya tumor yang menjadi kanker, beberapa jenis kanker berasal dari dalam

hati. Karsinoma hepatoseluler umumnya merupakan perkembangan dari hepatitis kronis

atau sirosis di mana ada mekanisme peradangan terus menerus dan regenerasi dari sel

hepatosit. Cedera hati kronis yang disebabkan oleh HBV, HCV, konsumsi alkohol yang

kronis, steatohepatitis alkohol, hemokromatosis genetik, sirosis bilaris primer dan adanya

defisiensi α-1 antitrypsin menyebabkan kerusakan hepatosit permanen yang diikuti dengan

kompensasi besar-besaran oleh sel proliferasi dan regenerasi dalam menanggapi stimulasi

sitokin. Akhirnya, fibrosis dan sirosis berkembang dalam pengaturan remodelling hati

secara permanen, terutama didorong oleh sintesis komponen matriks ekstraseluler dari sel-

4

Page 5: Lp Hepatoma

sel stellata hati. Diagnosa HCC sulit ditentukan, sebab tumor biasanya tidak diketahui

sampai penyebaran tumor yang luas, sehingga tidak dapat dilakukan reseksi lokal lagi.

Beberapa staging system yang dikenal saat ini adalah klasifikasi TNM, Okuda Staging,

The Chinese University Prognostic Index (CUPI), Cancer of the Liver Italian Program

(CLIP), French staging system, dan The Barcelona-Clinic Liver Cancer (BCLC) staging .

Sistem BCLC merupakan sistem yang banyak dianut saat ini. Sistem BCLC ini telah

disahkan oleh beberapa kelompok di Eropa dan Amerika Serikat, dan direkomendasikan

sebagai klasifikasi yang terbaik sebagai pedoman pengelolaan, khususnya untuk pasien

dengan stadium awal yang bisa mendapatkan terapi kuratif. Sistem ini menggunakan

variabel-variabel yang berhubungan dengan stadium tumor, status fungsional hati, status

fisik pasien, dan gejala-gejala yang berhubungan kanker. Hubungan antara keempat

variabel tersebut akan menggambarkan hubungannya dengan algoritma pengelolaan.

D. TANDA DAN GEJALA

a. Gangguan nutrisi

b. Penurunan berat badan yang baru saja terjadi

c. Kehilangan kekuatan

d. Anoreksia

e. Anemia

f. Nyeri abdomen dapat ditemukan, disertai dengan pembesaran hati yang cepat serta

permukaan yang teraba ireguler pada palpasi.

5

Page 6: Lp Hepatoma

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Biopsi

Untuk pemastian diagnosis karsinoma hati, diperlukan biopsi dan pemeriksaan

histopatologi. Biopasi dilakukan terhadap massa yang terlihat pada ultrasonografi,

CTscan atau melalui angiografi. Biopsi aspirasi jarum halus dapat dilakukan secara

buta (blind). Ada kalanya dibutuhkan tindakan laparoskopi atau laparatomi untuk

melakukan biopsi.

b. Ultrasonografi

Dengan ultrasonografi, gambaran khas dari KHS adalah pola mosaik, sonolusensi

perifer, bayangan lateral yang disebabkan pseudokapsul fibrotik, dan peningkatan

akustik posterior. KHS yang masih berupa nodul kecil cenderung bersifat homogen dan

hipoekoik, sedangkan nodul yang besar biasanya heterogen. Ultrasonografi

memberikan sensitivitas sebesar 45% dan spesifisitas 98%.

c. CT scan

KHS dapat bermanifestasi sebagai massa yang soliter, massa yang dominan dengan

lesi satelit di sekelilingnya, massa multifokal, atau suatu infltrasi neoplasma yang

sifatnya difus. CT-scan telah banyak digunakan untuk melakukan karakterisasi lebih

lanjut dari tumor hati yang dideteksi melalui ultrasonografi. CT-scan dan angiografi

dapat mendeteksi tumor hati yang berdiameter 2 cm. Walaupun ultrasonografi lebih

sensitif dari angiografi dalam mendeteksi karsinoma hati, tetapi angiografi dapat lebih

memberikan kepastian diagnostik oleh karena adanya hipervaskularisasi tumor yang

tampak pada angiografi. Dengan media kontras lipoidol yang disuntikkan ke dalam

arteria hepatika, zat kontras ini dapat masuk ke dalam nodul tumor hati. Dengan

melakukan arteriografi yang dilanjutkan dengan CT-scan, ketepatan diagnostik tumor

akan menjadi lebih tinggi.

d. Magnetic resonance (MR) imaging

MRI umum digunakan secara rutin untuk screening penderita-penderita dengan

sirosis.

e. Tes Faal Hati

Karsinoma hati dapat menyebabkan terjadinya obstruksi saluran empedu atau

merusak sel-sel hati oleh karena penekanan massa tumor atau karena invasi sel tumor

hingga terjadi gangguan hati yang tampak pada kelainan SGOT, SGPT, alkali

fosfatase,

6

Page 7: Lp Hepatoma

laktat dehidrogenase. Gangguan faal hati ini tidak spesifik sebagai petanda tumor.

Alfafetoprotein (AFP) adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul sebesar 70,000.

AFP disintesis oleh hati, usus dan yolk sac janin. Pada manusia, AFP mulai terdeteksi

pada fetus umur 6-7 minggu kehamilan dan mencapai puncaknya pada minggu ke-13.

Pada bayi yang baru lahir, kadarnya adalah sebesar 10,000 - 100,000 ng/ml, kemudian

menurun dan pada usia 250-300 hari kelahiran kadarnya sama dengan kadar pada orang

dewasa. Adanya peningkatan kadar AFP diduga karena sel-sel hati mengalami

diferensiasi menyerupai sel hati pada janin. AFP merupakan petanda karsinoma hati.

f. PET (Positron Emission Tomography)

Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat pendiagnosis kanker

menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine atau

Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam

stadium dini.

Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel

kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan

memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker.

PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan lanjut

penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga

dapat melihat metastase (penyebaran).

F. PENATALAKSANAAN MEDIS

Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan radiologi

dan biopsi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan besarnya ukuran

kanker,lokasi kanker di bagian hati yang mana, apakah lesinya tunggal (soliter) atau

banyak (multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul, atau kanker

sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke tempat lain

di dalam tubuh penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam vena porta dan

apakah sudah ada sirrhosis hati. Tahap penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu tindakan

non-bedah dan tindakan bedah.

1. Tindakan bedah hati digabung dengan tindakan radiologi

Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan bedah

yaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan juga reseksi daerah

sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang seluruh kanker dan

tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa tentu

7

Page 8: Lp Hepatoma

kankernya akan tumbuh lagi jadi besar, untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini

harus tahu pasti batas antara kanker dan jaringan yang sehat.

Radiologilah satu-satunya cara untuk menentukan perkiraan pasti batas itu yaitu

dengan pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan

jaringan sehat sehingga ahli bedah tahu menentukan di mana harus dibuat sayatan.

Maka harus dilakukan CT angiography terlebih dahulu sebelum dioperasi.

Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker

sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab memberikan

makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur. Sesudah

itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu

tindakan memasukkan suatu zat yang dapat menyumbat pembuluh darah (feeding

artery) itu sehingga menyetop suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian

kemampua hidup (viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai

menghilang.

Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial Chemotherapy

(TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih dahulu kanker-nya disirami

racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker yang sudah kena racun dan ditutup lagi

suplai makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan tak dapat

berkembang lagi dan bila sel-sel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu

dikhawatirkan, karena sudah tak mampu lagi bertumbuh. Tindakan TAE digabung

dengan tindakan TAC yang dilakukan olehdokter spesialis radiologi disebut tindakan

Trans Arterial Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk tujuan

supportif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan

ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah.

Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan pada dokter

ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan yang dapat

menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir sayatan sudah bebas

kanker. Bila benar pinggir sayatan bebas kanker artinya sudahlah pasti tidak ada lagi

jaringan kanker yang masih tertinggal di dalam hati penderita. Kemudian diberikan

chemotherapy (kemoterapi) yang bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu

lagi tumbuh berkembang biak.

Pemberian Kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam bahagian

onkologi (medical oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan melalui pmbuluh

darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung dengan mitomycine C 10

8

Page 9: Lp Hepatoma

mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia harapan hidup penderita per lima tahun

90% dan per 10 tahun 80%.

2. Tindakan Transplantasi Hati

Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis hati dan

ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hampir seluruh hati terkena

kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta (thrombus vena porta)

maka tidak ada jalan terapi yang lebih baik lagi dari transplantasi hati. Transplantasi hati

adalah tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang.

Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan radiologi seperti

yang disebut di atas tidak mampu lagi menolong pasien.

Akan tetapi, langkah menuju transplantasi hati tidak mudah, pasalnya ketersediaan

hati untuk di-transplantasikan sangat sulit diperoleh seiring kesepakatan global yang

melarang jual beli organ tubuh. Selain itu, biaya transplantasi tergolong sangat mahal.

Dan pula sebelum proses transplantasi harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti

tes jaringan tubuh dan darah yang tujuannya memastikan adanya kesamaan/kecocokan

tipe jaringan tubuh pendonor dan pasien agar tidak terjadi penolakan terhadap hati baru.

Penolakan bisa berupa penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang akan

menimbulkan kerusakan permanen dan mempercepat kematian penderita. Seiring

keberhasilan tindakan transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih panjang lima

tahun.

3. Tindakan Non-bedah Hati

Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada stadium

lanjut. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah:

a. Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)

Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang

datangnyabersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker

timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen,

dengan demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (neo-vascularisasi) yang

merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah ada disebut

pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery) Tindakan TAE ini

menyumbat feeding artery.

Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (arteri

femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta

abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery

9

Page 10: Lp Hepatoma

hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding artery ini

disumbat (di-embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga aliran

darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen

ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Apalagi

sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan trans arterial chemotherapy

yaitu memberikan obat kemoterapi melalui feeding artery itu maka sel-sel

kanker jadi diracuni dengan obat yang mematikan.

Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar terjamin mati

dan tak berkembang lagi. Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi

kemoterapi intra-arterial dikembangkan dan nampaknya memberi harapan yang

lebih cerah pada penderita yang terancam maut ini.

b. Infus Sitostatika Intra-arterial

Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal

berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas

mendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sistem arteri hepatika. Bila vena

porta tertutup oleh tumor maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal

akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati. Dapatlah dimengerti kenapa pasien

cepat meninggal bila sudah ada penyumbatan vena porta ini.

Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang

besar tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat

dilakukan tindakan transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena

pasien menolak atau karena ketidakmampuan pasien. Sitostatika yang dipakai

adalah mitomycin C 10 – 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg

dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan 5FU

(5 Fluoro Uracil).

Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus

sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen

balloncatheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika. Setelah

ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan

dalam keadaan ballon mengembang selama 10 – 30 menit, tujuannya adalah

memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan

hidup pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunnya 30%

dibandingkan dengan tanpa pengobatan adalah20% dan 10%.

c. Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)

10

Page 11: Lp Hepatoma

Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak semua

tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tak mampu

membiayai tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang menjadi pilihan satu-

satunya.

Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman, efek samping

ringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan harapan. PEI hanya

dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium lanjut.

Sebagian besar peneliti melakukan pengobatan dengan cara ini untuk kanker

bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun pengobatan paling optimal dikerjakan

pada garis tengah kurang dari 3 cm. Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan

membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang lengkap.

Sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol perkutan pada kasus kanker ini

dengan jumlah lesi tidak lebih dari 3 buah nodule, meskipun dilaporkan bahwa

lesi tunggal merupakan kasus yang paling optimal dalam pengobatan.

Walaupun kelihatannya cara ini mungkin dapat menolong tetapi tidak banyak

penelitian yang memadai dilakukan sehingga hanya dikatakan membawa

tindakan ini memberi hasil yang cukup baik.

d. Terapi Non-bedah lainnya

Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya dilakukan

bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun Trans

Arterial Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotherapy tak mungkin

dilakukan lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation Therapy

(RFA), Proton Beam Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy

(3DCRT), Cryosurgery yang kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu)

bukan kuratif (menyembuhkan) keseluruhannya.

G. KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna

bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah

suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal,

yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan sirkulasi darah Sindrom ini mempunyai

risiko kematianyangtinggi. Terjadinya gangguan ginjal pada pasien dengan sirosis hati ini

baru dikenal pada akhir abad 19 dan pertamakali dideskripsikan oleh Flint dan Frerichs.

Penatalaksanaan sindrom hepatorenal masih belum memuaskan; masih banyak kegagalan

sehingga menimbulkan kematian. Prognosis pasien dengan penyakit ini buruk.

11

Page 12: Lp Hepatoma

12

Page 13: Lp Hepatoma

AsitesAnoreksia, mual

Dinding perut menegang

Gangguan rasa nyaman nyeri

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan

Diafragma tertekan

Gangguan ventilasi

Pembedahan

Hepatoma

Virus hepatitis B Virus hepatitis C Alkohol, steroid anabolic, androgen yang berlebihan, Bahan kontrasepsi oral, Penimbunan zat besi yang berlebihan dalam hati

Inflamasi kronik

Integrasi DNA virus ke DNA sel hati

Peningkatan poliferasi hepatosit

Infeksi sel hati

Aflatoksin

Mutasi gen

Pathway

13

Sirosis hepatik

Resiko infeksi Gangguan rasa nyaman nyeri

Insisi bedah

Luka post operasi

Diskontinuitas jaringan

Page 14: Lp Hepatoma

F. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA NOC NIC1. Risk for

Bleeding

Risk for ineffective gastrointestinal perfusion

Blood Loss SeverityKeparahan tanda dan gejala perdarahan internal maupun eksternalIndikator:

Tidak ada perdarahan Tidak ada distensi abdomen Tidak ada penurunan TD Tidak ada kecemasan TTV dalam batas normal Tidak ada penurunan kesadaran Tidaka ada penurunan Hemoglobin dan

hematocrit

Tissue Perfusion : Abdominal organKeadekuatan aliran darah melalui pembuluh darah viseral untuk mempertahankan fungsi organ

Tekanan darah diastolik Tekanan darah sistolik MBP Urine output Keseimbangan asam/basa Suara bowel BUN Plasma kreatinin Hasil tes fungsi hati Nyeri perut Varises GI

Bleeding PrecautionAktivitas:

Catat hasil lab HB dan Htc Monitor tanda dan gejala perdarahan Monitor hasil lab terkait koagulasi darah (PTT, APTT, INR) Monitor TTV Hindari konsumsi antikoagulan Edukasi tanda-tanda perdarahan

14

Page 15: Lp Hepatoma

2. Fatigue r.t. Physiological condition

Fatigue LevelTingkat kelelahan yang nampak atau dilaporkanIndikator :

- Kelesuan- Hematokrit- Nyeri otot- Tingkat stress

Energy Managementa. Kaji status fisiologis pasien yang mengakibatkan kelelahanb. Kaji persepsi pasien mengenai penyebab kelelahanc. Perbaiki kondisi fisiologis pasiend. Pilih intervensi farmako dan nonfarmakologie. Monitor pola tidur dan jumlah jam tidurf. Kurang ketidaknyamanan fisik yang berhubungan dengan fungsi

kognitifg. Bantu pasien menentukan kegiatanyang disukainyah. Dukung tidur siang dan minimalkan stimulasi eksternal

3. Imbalance nutrition: less than body requrements

Nutritional StatusNutrisi yang dimakan dan diabsorbsi cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolismeIndikator:

Intake nutrisi Intake makanan dan cairan Energi Rasio BB/TB Hidrasi

Nutritional Status: Nutrient IntakeInfant Nutritional Status

Nutrition ManagementMemberikan dan mendukung keseimbangan intake nutrisiAktivitas:

1. Tentukan status nutrisi pasien2. Identifikasi alergi makanan dan pantangan3. Tentukan makanan kesukaan pasien4. Kaji kebutuhan kalori dan tipe nutrisi yang dibutuhkan untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi5. Berikan pilihan menu6. Berikan diit khusus bagi yang membutuhkan7. Sediakan lingkungan yang optimal8. Dukung oral care9. Berikan snack10. Bantu membuka, memotong makanan11. Monitor kalori dan intake diit12. Monitor berat badan13. Dukung persiapan makanan yang bersih14. Libatkan keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien

15

Page 16: Lp Hepatoma

4. Chronic Pain·

Pain ControlAktivitas personal untuk mengontrol nyeriIndikator

Onset nyeri diketahui Faktor penyebab terdeskripsikan Penggunaan pereda nyeri nonanalgesik

terukur Melaporkan perubahan tingkat nyeri

pada tenaga medis Melaporkan gejala tidak terkontrol pada

tenaga medis

Pain LevelTingkat keparahan nyeri terobservasi dan terlaporkanIndikator : Klien mampu melapornakan atau

mengekspresikan rasa nyeri, lama episode nyeri

Klien tidak gelisah, agitasi, iritabilitas, menangi, berkeringat, terlalu fokus

Nafsu makan pasien meningkat

Pain Management- Lakukan penilaian nyeri secara komprehensif dimulai dari lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas dan penyebab- Kaji ketidaknyamanan secara nonverbal- Pastikan pasien mendapatkan perawatan dengan analgetik- Pertimbangkan pengaruh budaya terhadap respon nyeri- Tentukan dampak nyeri terhadap kehidupan sehari-hari- Ajarkan untuk menggunakan cara mengontrol nyeri sebelum

menjadi menyakitkan- Ajarkan terapi non analgesik dengan relaksasi, guided imagery atau

distraksi- Modifikasi metode kontrol nyeri sesuai dengan respon pasien- Anjurkan untuk istirahat yang adekuat untuk mengurangi nyeri- Dorong pasien untuk mendiskusikan pengalaman terhadap nyeri- Kontrol faktor lingkungan yang dapat menimbulkan

ketidaknyamanan pada pasien- Pilih variasi dari ukuran pengobatan

Analgesic Administration- Tentukan lokasi,karakteristik,kualitas,dan hebatnya nyeri sebelum

mengobati pasien- Cek order mengenai obat,dosis dan frekuensi analgesik yang

diberikan- Pilih analgesik yang tepat dan tentukan analgesik yang disukai,rute

pemberian dan dosis untuk mencapai analgesik yang optimal- Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian obat- Berikan analgesik adjuvan dan atau pengobatan ketika dibutuhkan

analgesia yang potensial- Pertimbangkan penggunaan infus yang berkelanjutan- Pencegahan keamanan untuk pasien yang menerima analgesik- Instruksikan untuk meminta pengobatan nyeri PRN sebelum nyeri

menjadi hebat

16

Page 17: Lp Hepatoma

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Volume 2. Jakarta: EGC.

American Cancer Society. 2015. Liver Cancer. Atlanta: American Cancer Society

Cicalese, L. 2015. Hepatocellular Carcinoma: Background, Anatomy, Pathophysiology.

Retrieved from http://emedicine.medscape.com/article/197319overview

Dochterman, JM., Butcher, H.K., & Bullechek, GM. (Eds.). 2013. Nursing Interventions

Classification (NIC) Edisi Keenam. St. Louis: Mosby.

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds.). 2014. NANDA International Nursing Diagnoses :

Definition & Classification, 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.

Morhead, S., Jhonson, M., Maas. ML., Swanson, E (Eds.). 2008. Nursing Outcomes

Classification (NOC) Edisi Kelima. St. Louis: Mosby.

Siregar, G.A. 2000. Penatalaksanaan non bedah dari karsinoma hati. Universa Medicina

Vol.24 No.1.

17