lp ckd
DESCRIPTION
chronic kidney disease (ckd) atau gagal ginjal kronik (ggk)TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
RUANG 7B RSSA MALANG
OLEH :
RISMAYA NOVITASARI
115070200111041
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
GAGAL GINJAL KRONIS
1. Definisi Gagal Ginjal Kronis
Gagal ginjal kronis adalah perubahan patologis ginjal pada fungsi maupun struktur ginjal
yang berlangsung progresif sehingga menurunkan fungsi ginjal dan berakhir dengan gagal
ginjal (Nicolas, 2012). Pada gagal ginjal kronis, ginjal gagal mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit secara irreversible sehingga
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Brunner&Suddarth, 2001). Kerusakan berlangsung selama 3 bulan atau lebih yang
ditandai dengan adanya albumin/protein dalam urin (proteinuria), hematuria, hipertensi,
dan edema (Tambunan, 2012)
Kriteria gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut:
a. Kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan berupa kelainan structural atau fungsional dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan manifestasi:
Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal terutama kelainan dalam komposisi darah atau urin
atau kelainan dalam tes pencitraan.
b. Laju filtrasi flomerulus (LFG) kurang dari 6o ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
(Nicolas, 2012)
2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis
Klasifikasi gagal ginjal kronis dibedakan menjadi dua yakni berdasarkan derajat atau stage
dan berdasarkan etiologi.
a. Berdasarkan derajatnya dibuat berdasarkan LFG yang dihitung dengan menggunakan
rumus Kockroft yakni:
LFG ( mlmnt
1,73 m2 )= (140−umur ) x berat badan
72 x kreatinin plasmamgdl
*) Pada perumpuan dikalikan 0,85
Derajat PenjelasanLaju filtrasi glomerulus
(ml/menit/1,73m2)
Stage 1Kerusakan ginjal dengan
LFG normal atau meningkat>90
Stage 2Kerusakan ginjal dengan
LFG menurun ringan60-89
Stage 3Kerusakan ginjal dengan
LFG menurun sedang30-59
Stage 4Kerusakan ginjal dengan
LFG menurun berat15-29
Stage 5 Gagal ginjal <15
Tabel 1. Klasifikasi GGK berdasarkan LFG (Faradilla, 2009)
Pada tahap 1 dan 2 penyakit ginjal kronis, GFR tidak dapat menegakkan diagnosis,
tanda lain dari kerusakan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin.
Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis stadium 1-3 umumnya asimtomatik,
manifestasi klinis biasanya muncul dalam stadium 4-5 (Jevuska, 2012).
b. Berdasarkan etiologi
Penyakit Contoh
Penyakit ginjal
diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal
non diabetes
Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin, takrolimus)
Penyakit reccurent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
Tabel 2. Klasifikasi GGK Berdasarkan Etiologi (Faradilla, 2009)
3. Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronis
Terdapat dua faktor risiko yaitu faktor traditional dan nontraditional.
Traditional Nontraditional
Gender laki-laki Status mikroinflamasi (CRP)
Hipertensi Anemia
Diabetes mellitus Hipertrofi ventrikel kiri
Kenaikan kolesterol LDL Kelebihan garam dan air
Penurunan kolesterol HDLMalnutrisi (hipoalbuminemia dan
BMI rendah)
Kenaikan lipoprotein Kenaikan stress oxidative
Riwayat keluarga premature
coronary heart disease
Penurunan vascular compliance
(arteriosklerosis)
Rokok Hiperparatiroidisme sekunder
Status pasca menopause Hiperfosfatemia
Hiperfibrinogenemia
Hiperhomosistenemia
Inaktifitas fisik
Obesitas
Tabel 3. Faktor Risiko GGK (Dewayani, 2007)
Faktor risiko ini meningkat sejalan dengan penurunan fungsi ginjal dan bertanggung jawab
atas onset dan progresifitas penyakit. Faktor risiko ini akan berakibat pada kegagalan
ventrikel kiri karena hipertrofi miokard dan atau iskemia menyebabkan dilatasi jantung
dan kegagalan pompa jantung (Dewayani, 2007).
4. Etiologi Gagal Ginjal Kronis
a. Radang ginjal menahun (glomerulonefritis kronik)
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkhim ginjal progresif dan difus,
seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Perbandingan antara laki-laki dan
perempuan, lebih sering ditemukan pada laki-laki. Glomerulonefritis mungkin
berhubungan dengan penyakit-penyakit sistem (glomerulonefritis sekunder) seperti
lupus eritomatosus sistemik. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan
dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir
dengan gagal ginjal kronik.
b. Sumbatan / batu dan infeksi
Sumbatan atau batu
Gambar 1. Letak batu pada saluran urinary (Tambunan, 2012)
Keterangan:
1. Pelvis ginjal-ureter
2. Ureter
3. Vesika urinaria-ureter
4. Vesika urinaria-uretra
5. Uretra
Infeksi
Infeksi bisa disebabkan adanya kuman yang mengani ginjal atau saluran kemih bagian
bawah (Tambunan, 2012). Setiap infeksi saluran kemih dan ginjal pielonefritis
(intrarenal) dan infeksi paru pneumonia (ekstra renal) terutama disertai septicemia
seringkali memperburuk faal ginjal kronik tingkat ringan atau sedang. Menurut
WARDENER (1986) setiap penurunan faal ginjal yang sulit diterangkan pada setiap
pasien gagal ginjal kronik harus dipertimbangkan infeksi saluran kemih dan ginjal
sebagai penyebabnya. Infeksi ginjal atau diluar ginjal dengan atau tanpa disertai
septikemia, mungkin menyebabkan vasokontriksi arteriol afferent glomerulus, diikuti
penurunan aliran darah ginjal dan tekanan filtrasi glomerulus. Penurunan tekanan
filtrasi glomerulus ini akan diikuti penurunan filtrasi glomerulus dan akhirnya terjadi
oliguria. Penyebab vasokontriksi arteriol afferent tidak diketahui, mungkin toksin
(endotoksin). Pada orang dewasa gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan infeksi
saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang dijumpai, kecuali
tuberkulosis, abses multipel, nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat pengobatan
yang adekuat.
c. Diabetes melitus
Diabetes merupakan penyakit metabolic yang dapat menyebabkan komplikasi
mikroangipati maupun makroangiopati. Mikroangiopati diabetic menimbulkan berbagai
perubahan pada pembuluh darah kecil (kapiler). Kerusakan atau penebalan membrane
basalis pada pembuluh darah kapiler dan arteri, penebalan selaput endothelial,
thrombosis merupakan karakteristik mikroangiopati diabetic. Hipoksia dan iskemia
jaringan tubuh dapat timbul terutama pada ginjal. Mikroangiopati timbul akibat kadar
glukosa yang tinggi menyebabkan glikosilasi protein pada membrane basalis sehingga
terjadi penebalan selaput membrane basalis dan terjadi penumpukan zat berupa
glikoprotein membrane basalis pada mesangium sehingga lama-kelamaan glomerulus
terdesak dan aliran darah terganggu yang dapat menyebabkan glomerulosklerosis dan
hipertrofi nefron. Manifestasi mikroangiopati pada ginjal adalah nefropati diabetic
(ND), dimana akan terjadi gangguan faal ginjal yang kemudian kegagalan faal ginjal
menahun pada penderita yang telah lama mengidap DM (Arsono, 2005).
d. Hipertensi
Hipertensi dapat menyebabkan perubahan dinding-dinding pembuluh darah arteriol.
Hipertensi merangsang rennin-angiotensin-aldosteron sehingga menyebabkan tekanan
arteriol afferent glomerulus meningkat dan berakhir dengan nekrosis dan obstruksi
lumen arteriol afferent glomerulus. Hal ini, dapat mengakibatkan manifestasi pasien
dengan gagal ginjal kronis yakni oliguria karena tekanan filtrasi glomerulus dan renal
blood flow menurun.
e. Ginjal polikistik
Deplesi air dan natrium yang kronik biasanya berhubungan dengan penyakit dasarnya
seperti ginjal polikistik. Hal ini diakibatkan oleh salt-wasting melalui urinyang
dinamakan natriuresis sehingga menyebabkan penurunan volume cairan ekstra
selulerdiikuti penurunan aliran darah ginjal (Renal Blood Flow). Iskemia ginjal akan
menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus (LFG), dan akhirnya terjadi oliguria.
Keluhan-keluhan gastrointestinal makin meningkat misal mual, muntah, dan tidak
jarang diare. Gejala-gejala gastrointestinal ini akan memperberat deplesi natrium dan
air. Bila hal ini tidak segera ditangani dengan tepat, gejala azotemia akan meningkat
dan tidak jarang pasien datang dengan sindrom azotemia yang kompleks.
f. Nefritis interstitial
Obat-obatan: analgetik, sulfonamid, penisilin, furosemid, tiazid, fenindion
difenilhidantoin.
Metabolisme kalsium: hiperparatiroidisme, sindrom milk alkali, sarkoidosis,
neoplasma, dan mieloma.
Asam urat : nefropati asam urat, kelainan hematologi.
Penimbunan oksalat herediter, obat anastesi (metoksifluran), etilin glikol.
Logam berat: timah hitam, tembaga, uranium, merkuri.
Nefritis interstitial menunjukkan kelainan histopatologis nerupa fibrosis dan reaksi
inflamasi atau radang dari jaringan interstitial. Kelainan mengenai glomerulus dan
pembuluh darah vaskuler terkadang dijumpai.
5. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis
Terlampir
6. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronis
a. Kardiovaskuler
Hipertensi
Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
Edema periorbital
Friction rub pericardial
Pembesaran vena leher
b. Integumen
Warna kulit abu-abu mengkilat
Kulit kering, bersisik
Pruritus
Ekimosis
Kuku tipis dan rapuh
Rambut tipis dan kasar
c. Pulmoner
Krekels
Sputum kental, liat
Napas dangkal
Pernapasan kussmaul
d. Gatrointestinal
Napas berbau ammonia
Ulserasi dan perdarahan pada mulut
Anoreksia, mual, muntah
Konstipasi dan diare
Perdarahan dari saluran GI
e. Neurologi
Kelemahan, keletihan
Konfusi
Disorientasi
Kejang
Kelemahan pada tungkai
Rasa panas pada telapak kaki
Perubahan perilaku
f. Muskuloskeletal
Kram otot
Kekuatan otot hilang
Fraktur tulang
Foot drop
g. Reproduktif
Amenore
Atrofi testikuler
(Brunner&Suddarth, 2001)
7. Pemeriksaan Diagnostik Gagal Ginjal Kronis
a. Gambaran klinis
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritematosus
Sistemik (LES).
Sindrom uremia terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis,
kejang-kejang sampai koma.
Gejala komplikasi antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida)
(Faradilla, 2009)
b. Gambaran laboratorium
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremoa, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia.
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria.
(Faradilla, 2009)
Contoh:
Pemeriksaan kreatinin serum untuk menghuting LFG.
Rasio protein atau albumin terhadap kreatinin dalam contoh urin pertama pada pagi
hari atau sewaktu.
Pemeriksaan sedimen urin atau dipstick untuk melihat adanya sel darah merah dan
sel darah putih
Kadar elektrolit serum (natrium, kalium, klorida, bikarbonat)
(Rindiastuti, 2008)
c. Gambaran radiologi
Foto polos abdomen, tampak batu radio-opak.
Ultrasonografi ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefritis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
(Faradilla, 2009)
d. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Kontraindikasi dilakukannya biopsi ginjal adalah pada keadaan dimana ukuran ginjal
yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
8. Penatalaksanaan Medis Gagal Ginjal Kronis
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
f. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang
masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.
Penatalaksanaan pasien dengan gagal ginjal kronis sesuai dengan stage adalah sebagai
berikut:
StageLFG
(ml/mnt/1,73m2)Penatalaksanaan
Stage 1 >90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil risiko kardiovaskuler.
Stage 2 60-89 Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal.
Stage 3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi.
Stage 4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal.
Stage 5 <15 Terapi pengganti ginjal.
Tabel 4. Penatalaksanaan GGK Berdasarkan Klasifikasi LFG (Faradilla, 2009)
Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid
Dapat dilakukan dengan mencatat penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal
ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
Menghambat Pemburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah
sebagai berikut:
Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas
nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-
0,8 kg.bb/hari, yang 0,35 – 0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi.
Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30 -35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan
yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori
dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan
protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan subtansi nitrogen
lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan subtansi
nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik
yang disebut uremia (Faradilla, 2009).
LFG (ml/mnt) Asupan Protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥0,35
gr/kg/hari nilai biologi tertinggi
≤ 10 gr
5-25 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥ 0,35
gr/kg/hari protein nilai biologi
tertinggi atau tambahan 0,3 gr asam
amino esensial atau asam keton
≤ 10 gr
<60 (sindrom
nefrotik)
0,8/kg/hari + 1 gr protein / g
proteinuria atau 0,3 gr/kg tambahan
asam amino
≤ 9 gr
Tabel 5. Asupan Protein Berdasarkan Klasifikasi LFG (Faradilla, 2009)
Dengan demikian pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya
sindrom uremik. Asupan protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan
progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan
dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber
yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia
(Faradilla. 2009).
Intervensi diet
Pembatasan protein karena urea, asam urat, dan asam organic hasil pemecahan
makanan dan protein jaringan akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat
gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi adala protein yang memiliki nilai
biologis tinggi yakni substansi protein lengkap dan menyuplai asam amino utama yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perbaikan sel (misalnya produk susu, telur, daging).
Kalori diperoleh dari karbohidrat dan lemak untuk mencegah kelemahan. Pemberian
vitamin karena diet rendah protein tidak cukup untuk memberikan komplemen vitamin.
Pasien dengan dialysis dimungkinkan kehilangan vitamin larut air melalui darah selama
penanganan dialysis. Cairan yang diperbolehkan adalah 500-600ml untuk 24 jam
(Brunner&Suddarth, 2001).
Terapi Farmakologis
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat anti hipertensi,
disamping bermanfaat untuk memperkeciil resiko kardiovaskular juga sangat penting
untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa
pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan
pembatasan asupan protein dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan
hipertrogi glomerulus. Terapi farmakologis terkait dengan derajat proteinuria.
Proteinuria merupakan faktor resiko terjadi pemburukan fungsi ginjal dengan kata lain
derajat proteinuria berkaitan dengan proses pemburukan fungsi ginjal pada penyakit
ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Enzim Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat
mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria (Faradilla, 2009).
Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-
45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.
Pencegahan dapat dilakukan dengan pengedalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dengan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait
dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara
keseluruhan (Faradilla, 2009). Hipertensi dapat ditangani dengan medikasi antihipertensi,
pembatasan cairan, diet rendah knatrium, diuretic, agens inotropik seperti digitalis atau
dobutamine (Brunner&Suddart, 2001).
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Stage Penjelasan LFG Komplikasi
(ml/mnt)
Stage 1 Kerusakan ginjal
dengan LFG normal
≥ 90 -
Stage 2 Kerusakan ginjal
dengan LFG ringan
60-89 Tekanan darah mulai
meningkat
Stage 3 Kerusakan ginjal
dengan LFG sedang
30-59 Hiperfosfatemia
Hipokalemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistenemia
Stage 4 Kerusakan ginjal
dengan LFG berat
15-29 Malnutrisi
Asidosis metabolic
Hiperkalemis
Dislipidemia
Stage 5 Gagal ginjal ≤ 15 Gagal jantung
Uremia
Tabel 6. Komplikasi GGK Berdasarkan Klasifikasi LFG (Faradilla, 2009)
Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Hal – hal yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (missal:
pendarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh subtansi
uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat
kadar hemoglobin <10 g % atau hematokrit <30% meliputi evaluasi terhadap status besi
(kadar serum besi, total kapasitas ikat besi/Total Iron Binding Capacity, feritin serum),
mencari sumber pendarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan
lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya,
disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoipin (EPO) merupakan hal
yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini status besi harus selalu dipantau karena
EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tansfusi pada penyakit
ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal
sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl (Faradilla, 2009).
Pada pasien dengan anemia (Ht <30%) dengan gejala malaise, keletihan umum, dan
penurunan toleransi aktivitas maka diberikan Epogen (eritropoeitin manusia
rekombinan) secara IV atau subkutan tiga kali seminggu. Pemberian Epogen untuk
memperoleh peningkatan Ht sebesar 33%-38%. Efek samping Epogen mencakup
hipertensi (terutama selama tahap awal penanganan), peningkatan bekuan pada tempat
akses vaskuler, kejang, dan penipisan cadangan besi (Brunner&Suddart, 2001).
Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan
tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan
gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia (Faradilla, 2009).
Hiperfosfatemia dan hipokalemia
Hiperfosfatemia dapat ditangani dengan pemberian antasida mengandung alumunium
yang mengikat fosfat makanan di saluran gastrointestinal namun, perlu diperhatikan
adanya toksisitas pemberian alumunium dalam jangka panjang. Jika kadar alumunium
yang tinggi menimbulkan gejala neurologis dan osteomalasia maka, diberikan natrium
karbonat dosis tinggi sebagai gantinya. Natrium karbonat dapat mengikat fosfat diet di
saluran intestinal sehingga antasida yang diberikan dalam dosis kecil. Kalsium karbonat
dan antasida pengikat fosfat harus diberikan secara bersama dengan makanan agar efektif.
Antasida yang mengandung magnesium harus dihindari untuk mencegah toksisitas
magnesium (Brunner&Suddart, 2001).
Hipokalemia dicegah dengan penanganan dialysis yang adekuat disertai pengambilan
kalium dan pemantauan kandungan kalium pada medikasi oral maupun IV. Pasien
diharuskan diet kalium, terkadang Kayexelat diberikan secara per oral (Brunner&Suddart,
2001).
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)
Terapi pengganti ginjal pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari
15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau
transplantasi ginjal.
a. Hemodialisa
Indikasi Hemodialisa
Inisiasi terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksikazotemia, dan
malnutrisi, tetapi terapi dialisis terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir
akan memperburuk faal ginjal (LFG). Inisiasi terapi dialisis berdasarkan pertimbangan
klinis dan parameter biokimia, terkadang presentasi klinik retensi atau akumulasi toksin
azotemia tidak sejalan dengan gangguan biokimia. Keputusan untuk inisiasi terapi
dialisis berdasarkan parameter laboratorium bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2,
untuk kepentingan klinis, estimasi klirens kreatinin dapat digunakan formula Cockcroft
dan Gault.
Indikasi Absolut Indikasi Elektif
Pericarditis
Ensefalopati/neuropati azotemik
Bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsive
dengan diuretic
Hipertensi refrakter
Muntah persisten
BUN >120 mg% dan kreatinin
>10 mg%
LFG (Formula Cockroft dan
Gault) antara 5 dan 8
ml/m/1,73m2
Mual, anoreksia, muntah, dan
asthenia berat
Tabel 7. Indikasi Absolut dan Indikasi Elektif Hemodialisa (Faradilla, 2009)
Persiapan untuk Program Dialisis Regular
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus mendapat informasi
yang harus dipahami sendiri dan keluarganya. Beberapa persiapan (preparasi) dialisis
regular
Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
Psikoligis yang stabil
Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak terbatas
sebelum transplantasi ginjal
Pemeriksaan laboratorium sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Pemeriksaan
ini sangat penting untuk menjamin kualitas hidup optimal
Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi yaitu diet (perbatasan asupan
cairan dan buah-buahan), obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialysis
Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/%
terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.
Gambar 2. Hemodialisa (Tambunan, 2012)
b. Peritoneal dialysis
Peritoneal dialisis adalah pemasukan cairan dialisat ke dalam peritoneum. Secara
normal, peritonium berfungsi sebagai penyaring darah dalam tubuh kita. Sisa-sisa
metabolisme dan kelebihan air akan bergerak melewati lubang-lubang yang sangat
kecil pada membran peritoneal masuk kedalam dialysat. Cairan dialysat yang sudah
digunakan akan dikeluarkan dari rongga peritonium dan selanjut nya digantikan dengan
cairan dialysat yang baru (Hardianto, 2013).
Keuntungan program CAPD
Eleminasi toksin azotemia kontinu setiap hari, tidak fluktuasi seperti hemodialisis
Jarang mendapat tranfusi darah sehingga terhindar infeksi hepatitis B atau non-A
non-B
Menghadapi kedaruratan olec dapat mengatasi sendiri berdasarkan panduan yang
telah ditetapkan yaitu overhydration dengan bendungan paru akut, hiperkalemia,
gejala dini peritonitis
Pembatasan konsumsi air dan makanan tidak ketat
Terhindar dari komplikasi toksin middle olecules dan angiotensin-H
Pasien lebih bebas dalam tugas sehari-hari, tidak terikat jadwal hemodialisis di
Rumah Sakit
Kendala program CAPD di Indonesia
Biaya CAPD per bulan masih lebih mahal dari HD.
Sanitasi lingkungan dan tingkat pendidikan untuk sebagian besar pasien merupakan
faktor yang tidak menunjang program CAPD.
Indikasi Medis CAPD Indikasi Non-Medis CAPD
Pasien anak-anak dan orang tua,
umur >65 tahun
Keinginan pasien sendiri
Pasien telah menderita penyakit
system kardiovaskuler missal infark
miokard, iskemi koroner
Tingkat intelektual tinggi untuk
melaksanakan secara mandiri
Pasien cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan
hemodialisa
Tinggal di daerah yang jauh dari
rumah sakit yang menyediakan
pelayanan hemodialisa
Kesulitan pembuatan AV shunting
Pasien dengan stroke
Pasien dengan GGT dengan residual
urin masih cukup
Pasien neuropati diabetic disertai co-
morbiditi dan co-mortality
Tabel 8. Indikasi Medis dan Non-Medis CAPD (Faradilla, 2009)
Gambar 3. Peritonial Dialisis (Tambunan, 2012)
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal dilakukan dengan menanamkan ginjal dari donor hidup ke resipien
yang mengalami penyakit gagal ginjal tahap akhir. Ginjal transplant dari donor hidup
yang sesuai dan cocok bagi pasien mempunyai antigen ABO & HLA yang cocok.
Nefroktomi terhadap ginjal asli pasien dilakukan untuk transplantasi. Ginjal transplant
diletakkan di fosa iliaka anterior sampai Krista iliaka pasien. Ureter dari ginjal
transplant ditanamkan ke kandung kemih atau dianastomosiskan ke ureter resipien
(Brunner&Suddarth, 2001).
Gambar 4. Transplantasi Ginjal (Brunner&Suddarth, 2001)
Pertimbangan program transplantasi ginjal
Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 - 80% faal ginjal alamiah.
Kualitas hidup normal kembali
Masa hidup (survival rate) lebih lama
Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
Persiapan program transplantasi ginjal
Pemeriksaan imunologi : golongan darah ABO, tipe jaringan HLA (human leucocyte
antigen)
Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga
Pemeriksaan imunologi merupakan kunci keberhasilan program transplantasi ginjal
Golongan darah ABO : ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan
donor menyebabkan reaksi penolakan hiperakut (hyperacute immediate rejection),
antigen Rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan.
Tissue typing HLA (human leucocyte antigen).
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene complex) : Kelas (I)
antigen (HLA – A, HLA – B, HLA-C), Kelas (II) antigen (HLA - D (DR))
Kriteria untuk dipertimbangkan program transplantasi
Umur ideal resipien antara 12-55 tahun dan tersedia donor hidup keluarga (living
related donor): saudara kembar (idential twin), saudara kandung (sibling) dengan
HLA identik. Morbiditas dan mortalitas meningkat bila umur resipien > 55 tahun.
Tidak dianjurkan program transplantasi ginjal bila menderita ateroma berat, sepsis
kronik, keganasan.
Diabetes mellitus dan penyakit amiloid tidak merupakan indikasi kontra mutlak
program transplantasi ginjal asal kondisi jantung normal
Program transplantasi ginjal ditangguhkan bila resipien menderita infeksi saluran
kemih akut, tuberkulosis paru, dan herpes simpleks.
Mempunyai kemampuan finansial cukup untuk mendapat terapi imunosupresif
jangka lama
Kontra indikasi mutlak
Golongan darah ABO tidak serasi
Reaksi silang (crossmatch) positif kecuali untuk B-cell atau D-locus
Sitotoksik antibodi pada resipien terhadap HLA antigen donor
Infeksi aktif : disseminated histoplasmosis / coccidioidomycosis, Tuberkulosis paru,
ISK akut/kronik, Hepatitis B
Ulkus peptikum masih aktif
Kontra indikasi relative
Untuk transplantasi ulang masih mengandung HLA donor sebagai penyebab reaksi
penolakan.
Antiglomerular basement membrane antibody
Keganasan pada resipien dalam 2 tahun terakhir
Keadaan umum resipien buruk : malnutrisi, debilitas
Antibodi sitotoksik > 50%
Kelainan yang sulit dikoreksi dari kandung kencing dan atau uretra
Divertikulosis
Penyakit ulkus peptikum (rekuren)
Donor mengandung antibodi CMV (cytomegalovirus)
Sumber ginjal (donor)
Sumber ginjal sangat penting karena menentukan graft survival dan biaya obat
imunosupresif (prednison, azathioprin, siklosforin atau OKT3 dan lain-lain). Sumber
ginjal:
Cadaver (mayat)
Berlaku di semua negara, kecuali negara islam atau mayoritas penduduknya islam
seperti Indonesia.
Donor hidup: saudara kandung / sibling berlaku di semua negara termasuk
Indonesia, orang tua ( ayah & ibu ) berlaku di semua negara termasuk Indonesia,
bukan keluarga (living non related donor) tidak berlaku di semua negara.
Abnormalitas neurologi dapat terjadi pada penderita GGK dan memrlukan observasi dini
terhadap tanda-tanda seperti kedutan, sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang.
Penanganan pasien dengan kondisi abnormalitas neurologi adalah untuk menghindari
cedera, tempat tidur pasien diberikan pembatas. Awitan kejang dicatat dalam hal tipe,
durasi, dan efek umumnya terhadap pasien. Medikasi kejang adalah diberikan Diazepam
intravena (Valium) atau Fenitoin (Dilantin) (Brunner&Suddarth, 2001).
9. Komplikasi Gagal Ginjal Kronis
a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme, dan
masukan diet berlebih
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensin-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, kehilangan darah selama
hemodialisa
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolism vitamin D, dan peningkatan kadar alumunium.
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif, eritropoetin,
suplemen besi, agen pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Selain itu, penanganan
dialysis yang adekuat untuk menurunkan produk sampah uremik dalam darah
(Brunner&Suddart, 2001).
10. Pencegahan Gagal Ginjal Kronis
Stadium dini penyakit ginjal dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium yakni
dengan pengukuran kadar kreatinin serum, penghitungan laju filtrasi glomerulus, dan
pemeriksaan ekskresi albumin yang mengidentifikasi pasien mengalami penurunan
fungsi ginjal. Pemerisaan skrining seperti pengukuran kadar kreatinin serum dan ekskresi
albumin dianjurkan untuk pasien yang memiliki faktor risiko seperti:
a. Pasien diabetes mellitus atau hipertensi
b. Individu obesitas atau perokok
c. Individu dengan umur >50 tahun
d. Individu dengan riwayat penyakit dalam keluarga diabetes mellitus, hipertensi, dan
penyakit ginjal.
Pencegahan
a. Pengobatan hipertensi
b. Pengendalian gula darah, lemak darah, anemia
c. Penghentian merokok
d. Peningkatan aktifitas fisik
e. Pengendalian berat badan
f. Obat penghambat rennin angiotensin seperti penghambat ACE (angiotensin
converting enzyme) dan penyekat angiotensin yang dapat mencegah dan menghambat
proteinuria dan penurunan fungsi ginjal.
(Rindiastuti, 2008)
Pencegahan dapat dibagi menjadi dua yakni primer dan sekunder. Pencegahan primer
adalah pencegahan untuk individu yang belum terkena gagal ginjal, sedangkan
pencegahan sekunder adalah pencegahan untuk individu yang sudah mengalami gagal
ginjal sehingga pengobatannya ditujukan untuk pengobatan secara dini dan mengurangi
komplikasi.
a. Pencegahan primer
Minum cukup 1,5-2 L/hari
Hindari obat yang merusak ginjal
Mengenali faktor risiko penyakit ginjal: Hipertensi, DM, infeksi, dan batu.
Kenali gejala dini penyakit ginjal.
b. Pencegahan sekunder
Diagnosa dini
Pengobatan cepat
Perubahan urin: merah, keruh, berbusa
Pemeriksaan urin, kreatinin, pengontrolan tekanan darah
(Tambunan, 2012)
DAFTAR PUSTAKA
Rindiastuti, Yuyun. 2008. Deteksi Dini dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronis.
http://yuyunrindi.files.wordpress.com/2008/05/deteksi-dini-dan-pencegahan-penyakit-
gagal-ginjal-kronik.pdf Diakses 7 Juli 2014 pukul 8.31 WIB
Tambunan, Marihot. 2012. Penyakit Ginjal Kronik, Gagal Ginjal: Pencegahan dan
Pengobatannya. http://www.simassehat.com/Info_sehat/Seminar/Gagal%20Ginjal
%20Kronik.pdf Diakses 7 Juli pukul 8.27 WIB
Nicolas, Gede Andry. 2012. Terapi Hemodialisis Sustained Low Efficiency Daily Dialysis
pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Ruang Terapi Intensif. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana: Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Jevuska. 2012. Gagal Ginjal Kronik atau CKD: Pengertian dan Klasifikasi.
http://www.jevuska.com/2012/10/27/gagal-ginjal-kronik-atau-ckd/ Diakses 7 Juli 2014
pukul 8.30 WIB
Faradilla, Nova. 2009. Gagal Ginjal Kronik (GGK). Riau: Fakultas Kedokteran Universitas
Riau
Dewayani, Retna. 2007. Penyakit Jantung Koroner pada “Chronic Kidney Disease” . Jurnal
Kardiologi Indonesia 28: 387-395
Perkumpulan Nefrologi Indonesia. 2011. Program Indonesian Renal Registry. 4th Report of
Indonesian Renal Registry
Smeltzer, Suzane C. dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Volume 2 Edisi 8. Terjemahan Kuncara, dkk. EGC: Jakarta
Hardianto, Tjutjuk. 2013. Ginjal Peritoneal Dyalisis dan Bagaimana Cara Kerjanya.
Disajikan pada Kuliah Blok Urinary System Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Brawijaya, Malang 2013