limfoma
DESCRIPTION
limfomaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sel limfosit sangat berperan besar dalam sistem imunitas di dalam tubuh manusia.
Ia merupakan salah satu bagian dari pertahan tubuh secara humoral dan seluler. Sel
limfosit B berperan dalam produksi antibodi pada imunitas humoral dan limfosit T
berfungsi menghancurkan antigen yang masuk ke tahapan intraseluler.
Imunitas sebagai sistem pertahanan tubuh manusia berfungsi untuk mencegah
terjadinya infeksi oleh berbagai macam antigen yang dapat masuk dengan berbagai
cara baik itu melalui kontak langsung ataupun dari makanan yang dikonsumsi setiap
harinya. Masuknya antigen tidak langsung berefek karena secara otomatis akan dijaga
dan dihancurkan oleh limfosit B dan T.
Gangguan pada sel B dan sel T tentunya akan menyebabkan kelainan atau
menurunnya fungsi tubuh untuk bertahan dari serangan-serangan luar dari berbagai
macam antigen. Kelainan ini salah satunya dapat berupa keganasan sel darah putih
atau limfoma. Limfoma akan dibahas sedikit dalam laporan ini. Pentingnya fungsi
dari limfosit menyebabkan tubuh berada dalam kondisi yang berbahaya dan menjadi
sasaran empuk serangan antigen.
Oleh karena itu, peran limfosit sangat besar terhadap sistem pertahanan tubuh
manusia. Ketika ada kelainan berupa keganasan yang terjadi pada kedua sel ini, maka
peran mereka akan berubah dan mengalami gangguan fungsional.
Page 1 of 19
BAB II
PEMBAHASAN
A. Limfoma
Limfoma malignant merupakan terminologi yang digunakan untuk tumor-
tumor pada sistem limfoid, khususnya untuk limfosit dan sel-sel prekursor, baik sel-B,
sel-T atau sel Null. Biasanya melibatkan kelenjar limfe tapi dapat juga mengenai
jaringan limfoid ekstranodal seperti tonsil, traktus gastrointestinal dan limpa.3
Limfoma malignant secara umum dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu: (1).
Limfoma Hodgkin; dan (2). Limfoma non-Hodgkin. Terdapat beberapa klasifikasi
yang digunakan pada limfoma malignant. Untuk limfoma Hodgkin digunakan
klasifikasi WHO, sedangkan untuk limfoma non-Hodgkin terdapat beberapa
klasifikasi yaitu Rappaport, Lukes and Colins, Kiel, International Formulation dan
WHO. Etiologi limfoma non-Hodgkin berupa onkogen, infeksi virus Ebstein Barr,
Human T-leukemia Virus-I (HTLV-I), penyakit autoimun dan defesiensi imun.
Di negara maju limfoma maligna relatif jarang yaitu kira-kira 2 % dari kanker
yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor
ini merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara dan kulit.
Pada sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan
penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih
merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis
kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini angka harapan kehidupan 5 tahun
meningkat dan bahkan sembuh (kuratif) berkat manajemen tumor yang tepat dan
tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut
dan jelas tentang limfoma Hodgkin (LH) dan Non Hodgkin (LNH).1
B. Klasifikasi
Klasifikasi WHO membagi limfoma non-Hodgkin atas tipe sel-B dan sel-T.
Page 2 of 19
Page 3 of 19
C. PATOGENESIS
Asal-usul penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa
penyakit Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen
infeksi) yang berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa
penyakit Hodgkin merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg
merupakan sel transformasi. Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-
teki. Sel Reed-Sternberg tidak membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak
seperti monosit, tidak memiliki komplemen dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah
menentukan berdasarkan dari penderita dengan jalur sel penyakit Hodgkin, yang
agaknya berasal dari sel Reed-Sternberg.2
Page 4 of 19
Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan
antigen permukaan dengan sejumlah kecil sel “dendrit” pada daerah parafolikel
nodus limfatik. Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit positif, yang aktif
dalam pengenalan antigen oleh sel T. Berkurangnya kapasitas “memberitahukan”
antigen berkaitan dengan transformasi neoplasi sel “dendritik”, mungkin menjelaskan
adanya gangguan imunitas sel-T, yang begitu umum terjadi pada penyakit Hodgkin.
Meskipun demikian, saran-saran tentang asal-usul sel Reed-Sternberg ini kini
harus dianggap belum memadai, sampai ada bukti yang lebih meyakinkan.
Diketahui bahwa sel Reed-Sternberg
mewakili komponen maligna penyakit Hodgkin.
Apakah yang menyebabkan transformasi ini .
Selama bertahun-tahun etiologi infeksi penyakit
Hodgkin telah diduga. Beberapa laporan telah
menghubungkan infeksi virus Epstein-Barr
(EBV) dengan penyakit Hodgkin. Tetapi tidak
ada rangkaian asam nukleat EBV pada sel RS
yang dibiakkan, tidak mendukung peran EBV
sebagai penyebab penyakit Hodgkin. Perhatian terhadap etiologi infeksi penyakit
Hodgkin telah diperhatikan akibat laporan yang menunujukkan kemungkinan adanya
suatu “pengelompokan” penyakit Hodgkin diantara pelajar sekolah menengah
tertentu.3
Pada banyak pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah
limfonodus perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran didalam
system lmfatik. Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebuh kecil,
abnormal yang menyertai (sekarang diduga berasal dari histiosit) bersifat neoplastik
dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon
hipersensitivitas oleh hospes, manfaat yang menentukan pola evolusi. Pokok ini
dibicarakan lebih lanjut pada klasifikasi histologis. Setelah tersimpan dalam
limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini
adalah menyebar untuk mengikutsertakan jaringan non-limfatik.2
Page 5 of 19
Gambar 1, Sel Reed-Sternberg
D. Limfoma Sel-B
Diferensiasi sel-B dari sel stem ke sel plasma normal terjadi fetal lever,
sumsum tulang dan limfenode. Ini ditandai dengan sel-B membentuk
immunoglobulin, yang bekerja pada permukaan reseptor antigen. Pemahaman tentang
fase-fase pematangan sel-B sangat membantu dalam mengenal berbagai tipe dari
limfoma sel-B dan leukemia.
Lebih dari 90% limfoma non-Hodgkin adalah Mature B-cell neoplasma. Di
Amerika utara dan Eropa limfoma sel-B merupakan Limfoma Follicular. Sedangkan
di Asia 80-90% adalah bentuk limfoma difus dan limfoma sel-T lebih sering
dijumpai. Limfoma ini dibedakan berdasarkan tipe sel gambaran pertumbuhannya.
Tipe sel berukuran kecil, intermediate dan sel-besar, dan bentuk inti (cleaved and non
cleaved).
Ukuran sel dibandingkan dengan adanya sel histiosit atau sel endothelial dan
menunjukkan sel kecil atau besar. Ukuran inti menunjukkan apakah centroblast (non
cleaved) atau centrocyte (cleaved) pada fase siklus sel. Bentuk pertumbuhan bisa
noduler atau difus. Limfoma sel-B paling banyak berasal dari germinal center dari
folikel lymph node. Populasi normal dari germinal center terdapat sel kecil dan sel-
Page 6 of 19
Gambar 2, Perkembangan sel B
Besar, juga sel cleaved dan non-cleaved. Sehingga pada limfoma sel precursor variasi
sel limfoma ada yang high grade dan ada yang low grade. Pada folikel sel normal
adalah polyclonal, sedangkan pada sel limfoma monoclonal dengan bentuk morfologi
seragam dan mengekspresi sel imonoglobulin yang sama yaitu light chain. Limfoma
yang berasal dari sel-B dapat diidentifikasi dengan monoclonal antibody yang spesifik
untuk sel-B seperti CD19, CD20, CD22 dan CD79a. Sel-B limfoma juga mempunyai
komponen immmunophenotype tersendiri sehingga membutuhkan multiparameter
analisis. Small B-cell lymphoma terdiri dari B-CLL/SLL (B-cell chronic lymphocytic
leukemia/small lymphocytic lymphoma), LPL (Lymphoplasmacytic lymphoma),
MCL (Mantle cell lymphoma), FL (Follicular lymphoma), MZL (nodal marginal zone
B-cell lymphoma) diidentifikasi dengan monoclonal antibody CD5, CD10, CD23,
CD43, slg, cytolg, bcl-1 dan bcl-6. Tetapi tidak satu antigen spesifik untuk stu jenis
limfoma sehingga sangat dibutuhkan panel antibodi. Tipe dari sel-B limfoma penting
untuk prognosis dan pengobatan.
Selain dari limfoma yang homogen, ditemukan juga pada limfoma sel-B
dengan adanya sel-T yang reaktif. Karena pada folikel limfoid normal dijumpai helper
T cell dan sel dentritik. T-cell yang dominan CD4+ helper cell yang mensekresi
sitokin yang mengaktifasi sel-B. Sehingga pada limfoma sel-B dapat dijumpai sel-T
dalam jumlah yang besar yang disebut T-cell rich B cell Lymphoma. Ini juga akan
menyebabkan misinterpretasi dari immunophenotype.
Pada klasifikasi WHO dibedakan 2 kategori besar dari limfoma sel-B dan sel-
T yaitu precursor dan mature. Precursor B dan T –cell lymphoma, termasuk
limfoblastik limfoma dan leukemia berasal dari sel progenitor yang belum diaktifasi
oleh antigen dan masih dalam stadium yang belum berdiferensiasi, limfoma lainnya
termasuk mature B cell lymphoma. Berbagai tipe yang mature dinamai tergantung
asal lokasi selnya (mantle cell lymphoma), fungsi sistem imun (MALT lymphoma),
lokasinya (mediastinal large B cell Lymphoma), dari nama klinik (Burkitt
Lymphoma, Mycosis fungoides). Limfoma berasal dari sel germinal center adalah
Follicular center cell lymphoma bisa berkembang menjadi nodular dan difus. Jenis
follicular lymphoma dan follicular center cell lymphoma berbeda tapi sering
dikelirukan. Follicular lymphoma adalah limfoma sel-B terdiri dari cleaved dan non-
cleaved sel-B dengan pertumbuhan nodular.2
Sedangkan follicular center cell lymphoma berasal dari folikel baik sel-B
cleaved maupun non-cleaved dengan gambaran noduler maupun difus. Pada
Page 7 of 19
klasifikasi WHO terminologi follicular lymphoma merupakan suatu diagnosis bukan
hanya karena bentuk (nodular) tapi tipe selnya. Seperti bagian suatu diagnosis
follicular lymphoma dengan bentuk yang spesifik, nodular, dengan atau tanpa bagian
difus.
Limfoma sel-B sangat bervariasi terdiri dari sel kecil dan sel besar, sehingga
bersifat low-grade sampai high-grade. Terminologi grade berdasarkan pada bentuk
dan ukuran sel, inti sel, densitas kromatin, jumlah mitosis (index proliferasi), yang
dapat menggambarkan agresifitas tumor, dan sifat biologis klinis. Walau
bagaimanapun agresifitas tumor dan grade tumor tidak selalu sama. Beberapa
limfoma mempunyai sifat agresifitas tinggi seperti limfoma sel mantle dapat muncul
secara histologi sebagai low-grade. Limfoma yang mengandung sel kecil, tidak
teraktifasi dengan gambaran bentuk dan ukuran limfosit yang matur paling banyak
dijumpai di daerah Barat dan paling banyak pada orang yang lebih tua. Sebagian
limfoma sel-B dikenali dengan gambaran histologi follicular pada follicular
lymphoma merupakan limfoma sel-B, merupakan limfoma dengan patogenitas
tertentu misalnya sering dengan imunodefisiensi. Keterlibatan bone marrow dan darah
perifer yang muncul dengan klinis limfoma/leukemia berhubungan dengan proporsi
yang bervariasi tergantung tipe sel dan stadium penyakitnya.4
E. Stadium Penyakit.
Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging :
Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.
Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada jaringan yang
abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi organ, yaitu : hepar,
paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit.
Page 8 of 19
Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi sesuai
konferensi Cotswald.
F. Gambaran Klinis
Penyakit Hodgkin biasanya timbul sebagai penyakit local dan kemudian
menyebar ke struktur limfoid didekatnya dan akhirnya meluas ke jaringan non limfoid
dengan kemungkinan kematian pasien. Pasien penyakit Hodgkin umumnya datang
dengan adanya massa atau kelompok kelenjar limfe yang padat, mudah digerakkan
dan biasanya tidak nyeri tekan. Sekitar separuh pasien datang dengan adenopati di
leher atau daerah supraklavikula dan lebih dari 70 persen pasien datang dengan
pembesaran kelenjar getah bening superfisial. Karena kelenjar tersebut umumnya
tidak nyeri, maka deteksi oleh pasien mungkin terlambat sampai kelenjar limfe cukup
besar. Sekitar 60 persen pasien datang dengan adenopati mediastinum. Hal ini
kadang-kadang pertama kali dideteksi pada pemeriksaan sinar-x toraks rutin. Kelenjar
limfe yang terkena pada penyakit Hodgkin cenderung sentripetal atau aksial dan
berlainan dengan yang terkena pada limfoma non Hodgkin yang memperlihatkan
Page 9 of 19
Tabel 2, Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald.
kecenderungan sentrifugal mengenai kelenjar limfe epitroklear, cincin waldeyer dan
abdomen.
Pada 2-5 persen pasien, kelenjar limfe atau jaringan lain yang terkena penyakit
Hodgkin dapat tersa nyeri setelah minum minuman beralkohol. Pertumbuhan kelenjar
limfe cukup bervariasi, beberapa lesi dapat menetap dalam jangka lama, sedangkan
pada kelenjar yang lain terjadi regresi spontan dan temporer.
Sebagian besar pasien penyakit Hodgkin tidak atau sedikit mengalami gejla
yang berkaitan dengan penyakitnya. Gejala terssering adalah demam ringan yang
mungkin disertai keringat malam. Untuk sebagian pasien, keringat malam mungkin
merupakan satu-satunya keluhan. Beberapa pasien mungkin mengalami demam naik
turun disertai banyak keringat malam (demam Pel-Epstein). Demam ini dapat
menetap selama beberapa minggu, diikuti oleh interval afebris. Demam dan keringat
malam lebih sering ditemukan pada pasien tua dan pada pasien dengan penyakit
stadium lanjut.
Gejala awal penting lainnya adalah penurunan berat badan lebih dari 10 persen
dalam 6 bulan atau kurang tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang sering ditemukan
adalah rasa lemah, malaise dan cepat lelah. Pruritus terdapat pada sekitar 10n persen
pasien pada saat diagnosis, gejala ini biasanya generalisata dan mungkin berkaitan
dengan ruam kulit atau walaupun jarang merupakan satu-satunya gejala penyakit.
Kelainan mediastinum, paru, pleura atau pericardium mungkin disertai batuk,
nyeri dada, sesak napas atau osteoartropi hipertrofik, keterlibatan tulang mungkin
disertai nyeri tulang. Kadang-kadng pasien datang dengan gejala sumbatan vena kava
superior sebagai gejala awal. Kompresi mendadak korda spinalis dapat merupakan
gejala awal tetapi biasanya merupakan penyulit penyakit progresif stadium lanjut.
Nyeri kepala atau gangguan penglihatan dapat ditemukan pada pasien dengan
penyakit Hodgkin intrakranium dan ketrlibatan abdomen menimbulkan nyeri
abdomen, gangguan usus dan bahkan asites.
Tabel 3, Tanda dan Gejala limfoma7
Gejala PenyebabKemungkinan timbulnya gejala
Gangguan pernafasanPembengkakan wajah
Pembesaran kelenjar getah bening di dada
20-30%
Hilang nafsu makanSembelit beratNyeri perut atau perut
Pembesaran kelenjar getah bening di perut
30-40%
Page 10 of 19
kembung
Pembengkakan tungkaiPenyumbatan pembuluh getah bening di selangkangan atau perut
10%
Penurunan berat badanDiareMalabsorbsi
Penyebaran limfoma ke usus halus 10%>
Pengumpulan cairan di sekitar paru-paru(efusi pleura)
Penyumbatan pembuluh getah bening di dalam dada
20-30%
Daerah kehitaman dan menebal di kulit yang terasa gatal
Penyebaran limfoma ke kulit 10-20%
Penurunan berat badanDemamKeringat di malam hari
Penyebaran limfoma ke seluruh tubuh 50-60%
Anemia(berkurangnya jumlah sel darah merah)
Perdarahan ke dalam saluran pencernaanPenghancuran sel darah merah oleh limpa yang membesar & terlalu aktifPenghancuran sel darah merah oleh antibodi abnormal (anemia hemolitik)Penghancuran sumsum tulang karena penyebaran limfomaKetidakmampuan sumsum tulang untuk menghasilkan sejumlah sel darah merah karena obat atau terapi penyinaran
30%, pada akhirnya bisa mencapai 100%
Mudah terinfeksi oleh bakteri
Penyebaran ke sumsum tulang dan kelenjar getah bening, menyebabkan berkurangnya pembentukan antibodi
20-30%
G. PENATALAKSANAAN
Terapi dapat dilihat dari beberapa aspek:
a. Penyakit yang sudah atau belum pernah diobati.
b. Penyakit yang dini (st I+II) atau yang sudah lanjut (st III+IV)
c. Akan memakai sarana-terapi-tunggal (radioterapi atau kemoterapi saja) atau
sarana terapi kombinasi (sarana terapi kombinasi bukan kemoterapi-
kombinasi).
Kemoterapi penyakit ini dapat kemoterapi tunggal (memakai satu obat),
kemoterapi kombinasi (memakai banyak obat) dan akhir-akhir ini dikembangkan
kemoterapi dosis tinggi plus pencangkokan Stem Cell Autologus untuk rescue
Page 11 of 19
(penyelamatan) aplasi system darah yang diakibatkan oleh kemoterapi dosis tinggi
tadi. (KDT + rPSC autologus).
I. Kasus-kasus yang sebelumnya belum pernah diobati (terapi awal)
I.1 Radioterapi saja.
Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin dini (st
I+II) A. kurabilitasnya menurun bila ada penyakit dibawah diafragma, karena itu
untuk stadium IA dan IIA yang direncanakan akan diberi terapi radiasi kuratif saja
perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan ada tidaknya lesi dibawah
diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja tidak cukupperlu
ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda prognosis yang buruk
seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi radioterapi + kemoterapi
(kombinasi sarana pengobatan = combined modality therapy) karena radioterapi saja
tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya MOPP 6x dianggap cukup sebagai
adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila tidak ada lesi dibawah diafragma
(dibuktikan dengan staging-laparotomy) untuk stadium IA diberikan radioterapi
extended field, untuk stadium IIA diberikan total nodal irradiation (TNI),dianggap
cukup kuratif.
I.2. Kombinasi radioterapi + kemoterapi.
Untuk semua keadaan dimana ada penyakit dibawah diafragma radioterapi
harus ditambah dengan kemoterapi adjuvant, baru dianggap kuratif. Terapi dengan
kombinasi modalitas ini juga diindikasikan bila penyakitnya stadium IIA tetapi pasien
menolak laparotomi atau memang tidak akan dilakukan laparotomi karena ada
kontraindikasi.
Untuk stadium yang lanjut (st III dan IV) terapi kuratif utama adalah
kemoterapi. Kalau ada lesi yang besar (bulky mass) dengan tambahan huruf X pada
Page 12 of 19
stadiumnya, maka pada tempat ini ditambahkan radioterapi adjuvant dosis kuratif,
sesudah kemoterapi.
Kombinasi radio + kemoterapi ini juga dianjurkan pada mereka yang
menunjukkan tanda-tanda prognosis yang buruk, yaitu : 1. Massa mediastinum yang
besar. 2. B-symtoms. 3. kelainan dihilus paru. 4. histologinya bukan Lymphocytic
predominant dan 5. Stadium ≥ III.
I.3. Kemoterapi
Semula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium III dan IV
saja, namun sering terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass karena itu untuk
tempat-tempat yang lesinya bulky sesudah kemoterapi perlu radioterapi adjuvant pada
tempat yang semula ada bulky mass tadi. Dengan cara ini angka kesembuhan nya
cukup tinggi. Banyak ahli Onkologi Medis memberi kemoterapi sebagai terapi utama
sejak stadium II ditambah dengan radioterapi adjuvant pada bulky mass, dengan
demikian keperluan staging laparotomy makin sedikit, bahkan tidak diperlukan lagi
karena tindakan ini terlalu invasif, sedangkan hasilnya sama saja, namun masih ada
silang pendapat terutama antara ahli radioterapi dengan ahli onkologi medis.
Banyak regimen kemoterapi yang dibuat untuk penyakit Hodgkin. Ada yang
mengunakan alkylating agent, ada yang tidak. Alkylating agent dicurigai sebagai
penyebab timbulnya kanker sekunder dan sterilitas. Adrianisin menyebabkan kelainan
jantung; Bleomisin kelainan paru; terutama bila dikombinasikan dengan radioterapi
mediastinum.
Regimen-regimen yang kuratif selalu menggunakan kombinasi obat. Regimen yang
menggunakan alkylating agent, misalnya :
MOPP : -M = Mustard nitrogen 6mg/sqm i.v. hari ke 1,8
- O = Onkovin = Vinkristin 1,2 mg/sqm i.v. hari ke 1,8
- P = Prokarbazin 100 mg/sqm p.o hari ke 1-14
Page 13 of 19
- P = Prednison 40 mg/sqm p.o. hari ke 1-14 diulang selang 28 hari bila memenuhi
syarat.
Modifikasi regimen MOPP ini juga ada yaitu COPP dan LOPP.
Pada COPP M diganti dengan C + Cyclophosphamide 800 mg/sqm i.v. hari
ke 1,8 atau 3x50 mg/sqm p.o. dd hari ke 1-14. sedangkan pada LOPP M diganti
dengan L + Leukeren = Chlorambucil 8 mg/sm dd p.o. hari ke1-14.
Regimen yang tanpa alkylating agent misalnya ABVD atau ABV saja.
A = Adriamisin 25 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
B = Bleomisin 10 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
(D)= DTIC 150 mg/sqm i.v. hari ke 1-5 diulang selang 4 minggu
Jadi kedua regimen itu dipakai sebagai terapi awal. Kedua regimen itu tidak
cross resistant. Sesuai dengan hipotesis dari Goldie dan Coldman dapat dipakai
MOPP dulu, atau ABV(D) dulu atau begantian MOPP-ABVD-MOPP-ABVD dst atau
regimen hibrida MOPP-ABV(D), hasilnya sama baik, namun masih ada silang
pendapat.
II. Terapi kasus yang telah diobati sebelumnya
Disini dimaksudkan terapi untuk kasus yang relaps, refrakter sejak terapi awal,
atau setelah diobati beberapa kali. Kadang-kadang MOPP atau ABVD masih dapat
dipakai untuk mendapatkan remisi karena dua regimen ini non-cross-resistant, namun
angka remisinya kecil dan cepat kambuh lagi. Kalau kedua regimen baku itu tidak
dapat menolong lagi dipakai regimen-regimen lain yang digolongkan dalam salvage-
therapy (= terapi penyelamatan). Jadi salvage kemoterapi diberikan untuk mereka
yang :
1. mengalami relaps sesudah remisi lengkap
2. resistant terhadap terapi
Page 14 of 19
Tabel beberapa regimen untuk salvage therapy (second line therapy pada Limfoma
Hodgkin dan Non-Hodgkin yang Relaps atau Resistant)
V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu
A = Adrianmisin 40 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu
B = Bleomisin 15 U 1-v- tiap minggu sekali
C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. tiap 6 minggu
D = Dakarbasin 800 mg/sqm i-v- tiap 3 minggu
C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. hari ke 1
E = Etoposid 100 mg/sqm p.o. hari ke 1
P = Prednimustin 60 mg/sqm i.v.hari ke 1, diberi selang 3-6minggu
E = Etoposid 200 mg/sqm p.o. hari ke 1-5
V = Vinkristin 2 mg/sqm i.v. hari ke 1
A = Adriamisin 20 mg/sqm i.v. hari ke 1, diberi selang 3 minggu
M = Metil-GAG 500 mg/sqm i.v. hari ke 1-14
I = Ifosfamid 1 gram/sqm i.v. hari ke 1-5
M = Metotreksat 30 mg/sqm i.v. hari ke 3
E = Etoposid 100 mg/sqm i.v. hari ke 1-4, diberi selang 3 minggu
C = Lomustin 100 mg/sqm p.o. hari ke 1
E = Etoposid 100 mg/sqm h. ke 1-3 dan 21-23
M = Metotreksat 30 mg/sqm p.o. hari ke 1,8,21,28, diberi selang 6 minggu
Page 15 of 19
M = Metotreksat 30 mg/sqm i.v. tiap 6 jam selama 4 hari mulai hari ke1 dan 8 dengan
rescue
C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v.h. ke 15
H = Doksorubisin 50 mg/sqm i.v.h ke 15
O = Vinkristin 1 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22
P = Prednison 100 mg/sqm p.o. hari ke 22-26, diberi selang 4 minggu
E = Etoposid 120 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15
V = Vinblastin 4 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15
A = Ara-C 30 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15
P = Platinum 40 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15, diulang selang 4 minggu
M = Metotreksat 120 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22 plus rescue
O = Vinkristin 2 mg i.v.h. 15 dan 22
P = Prednison 60 mg/sqm p.o. hari ke 1-14
L = Leukovorin rescue
A = Ara-C 300 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22
C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v. hari ke 1
E = Etoposid 80 mg/sqm i.v. hari ke 1-3, diberi selang 4 minggu
Regimen-regimen salvage therapy antara lain adalah : VABCD, ABDIC,
CBVD, CEP, EVA, LVB, MIME, M-CHOP, CEM, EVAP, MOPLACE dll. (lihat
table IV). Kemajuan dibidang pencangkokan sumsum tulang atau selbakal (stem-
cell)-autologous memberikan dampak pula pada terapi limfoma yang resisten.
Pada kondisi ini diberikan kemoterapi yang dosisnya sangat tinggi hingga
timbul aplasi sumsum tulang (myeloablative chemotherapy), kemudian dilakukan
Page 16 of 19
penyelamatan dengan pencangkokan sel bakal autologus yang diambil dari darah tepi
setelah sebelumnya diberi Hemopoetic Growth Factors.
Populasi yang memerlukan kemoterapi dosis sangat tinggi plus stem-cell
rescue (KDTrPSC) adalah penyakit Hodgkin yang sudah lanjut dengan disertai factor-
faktor prognosis buruk yaitu antara lain :
1. Mereka yang gagal mendapatkan complete remission (CR) atau partial (PR)
yang baik (stabil) (yang didefinisikan sebagai hal yang sangat mungkin karena
adanya fibrosis residu dengan terapi awal).
2. Mereka yang mengalami Progresive Disease (PD) saat terapi awal.
3. CR yang lamanya kurang dari 1 tahun
4. Relaps berulang (≥ 2x) tanpa melihat lamanya remisi
5. Adanya gejala-gejala B pada relaps yang pertama
6. Relaps sesudah sebelumnya mengalami stadium IV
Faktor-faktor tersebut diatas juga merupakan peramal hasil buruk dengan
pengobatan garis ke 2 (salvage therapy); mereka ini calon-calon yang baik untuk
KDTrPSC tersebut diatas. Mereka yang tanpa fakto-faktor buruk tersebut bila relaps
masih dapat dicoba dengan kemoterapi garis kedua untuk mendapatkan CR kedua,
namun kemungkinannya hanya 35% saja, sisanya akhirnya juga memerlukan
KDTrPSC; bahkan telah mulai diteliti penggunaan KDTrPSC sebagai terapi awal,
namun kesimpulannya masih belum ada.1
Page 17 of 19
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi, limfoma merupakan bentuk keganasan dari sel limfosit baik itu limfosit B
maupun limfosit T. Tanda dan gejalanya dimulai dari adanya limfadenopati atau
pembengkakan kelenjar getah bening, cepat lelah, demam, sering berkeringat pada malam
hari, berat badan menurun, nafsu makan menurun sampai dengan anemia. Limfoma atau
keganasan ini belum diketahui secara pasti penyebabnya dan bagaimana mekanisme
terjadinya.
Namun, penyakit ini dapat disembuhkan walaupun tidak 100% dengan cara
radioterapi dan juga kemoterapi. Oleh karena fungsi limfosit sebagai bagian dari sistem imun
tubuh, gangguan atau kelainan yang terjadi dapat menyebabkan kehilangan fungsi dari sel
limfosit itu sendiri dan akhirnya antigen dan zat asing akan lebih mudah masuk karena
kehilangan sistem penyaringnya.
Page 18 of 19
DAFTAR PUSTAKA
1. Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis
Kanker Terbanyak di Indonesia. Cetakan III. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta, 1995.
2. Diehl V, et al : Characteristic of Hodgkin’s disease derived cell lines cancer treat.
Rep. 66: 615, 1982
3. Vianna N J, and Polan, A K : Epidemiologic evidence for transmission of Hodgkin’s
disease N. Engl J. Med. 289-499, 1973
4. Stephen J. McPhee dan William F, Ganong. 2007. Patofisiologi Penyakit : Pengantar
Menuju Kedokteran Klinis, Edisi 5. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
5. Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, dkk. 2000. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai penerbit FKUI,
6. Isselbacher K.J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. 2005. HARRISON Prinsip-
prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
7. Lennert K, Mohri N. Histopathology and Diagnosis of non-Hodgkin Lymphomas.
Dalam: Malignant Lymphoma other than Hodgkin's Disease, eds. Lennert K, H. Stein,
N. Mohri, E. Kaiserling, UK Muller-Hemerlink. New York: Springer-Verlag : 111-
469. 2000
Page 19 of 19