limfoma

31
BAB I PENDAHULUAN Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodul yaitu diluar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit dan organ lain. Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia menduduki urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya mengapa angka kejadian penyakit ini terus meningkat. Adanya hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan penyakit ini memperkuat dugaan adanya hubungan antara kejadian limfoma dengan kejadian infeksi sebelumnya. 4 Secara umum, limfoma diklasifikasikan menjadi dua, yaitu limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan histopatologis dari kedua penyakit di atas, di mana pada limfoma hodgkin terdapat suatu gambaran yang khas yaitu adanya sel Reed-Sternberg. 5 Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan penyulit dalam terapi kuratif.

Upload: norman-ahmad-riyandi

Post on 22-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ilmu bedah

TRANSCRIPT

Page 1: limfoma

BAB I

PENDAHULUAN

Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup

sistem limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan

kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali,

hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra

nodul yaitu diluar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus,

paru, kulit dan organ lain.

Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia

menduduki urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya

mengapa angka kejadian penyakit ini terus meningkat. Adanya hubungan yang

erat antara penyakit AIDS dan penyakit ini memperkuat dugaan adanya hubungan

antara kejadian limfoma dengan kejadian infeksi sebelumnya.4

Secara umum, limfoma diklasifikasikan menjadi dua, yaitu limfoma

hodgkin dan limfoma non-hodgkin. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan

histopatologis dari kedua penyakit di atas, di mana pada limfoma hodgkin terdapat

suatu gambaran yang khas yaitu adanya sel Reed-Sternberg.5

Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan

penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih

merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis

kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini, angka harapan hidup 5 tahun

meningkat dan bahkan sembuh berkat manajemen tumor yang tepat dan

tersedianya kemoterapi dan radioterapi.

Page 2: limfoma

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Limfoma atau limfoma maligna adalah sekelompok kanker di mana sel-sel

limfatik menjadi abnormal dan mulai tumbuh secara tidak terkontrol. Karena

jaringan limfe terdapat di sebagian besar tubuh manusia, maka pertumbuhan

limfoma dapat dimulai dari organ apapun.2

2.2 Klasifikasi

Berdasarkan gambaran histopatologisnya, limfoma dibedakan menjadi dua

jenis5, yaitu:

a. Limfoma Hodgkin (LH)

Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang

dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian

mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang

menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang

lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai

dasar pembagian penyakit Hodgkin.3

Limfoma jenis ini memiliki dua tipe. yaitu tipe klasik dan tipe nodular

predominan limfosit, di mana limfoma hodgkin tipe klasik memiliki empat

subtipe menurut Rye, antara lain:

1

Page 3: limfoma

b. Limfoma Non-Hodgkin (LNH)

Limfoma non-Hodgkin merupakan satu golongan penyakit yang heterogen

dengan spectrum yang bervariasi dari tumor yang sangat agresif sampai

kelainan indolen dengan perjalanan lama dan tidak aktif. Dalam perjalanan

waktu dikembangkan berbagai usaha untuk mendapatkan klasifikasi NHL yang

dapat diyakini dan dapat direproduksi. Semula klasifikasi ini didasarkan atas

sifat-sifat morfologik dan sitokimiawi. Kemudian bertambah dengan kriteria

imunologik dan biologi molekuler, yang dapat memberi gambaran yang lebih

tepat mengenai tipe sel dan stadium pertumbuhannya. Di Eropa pada umumnya

digunakan klasifikasi Kiel, di Amerika Serikat kebanyakan klasifikasi menurut

Lukes dan Collins dan kadang-kadang juga menurut Rappaport. Karena dengan

ini perbandingan hasil terapi dan prognosis mendapat banyak kesukaran, pada

tahun 1982 dikembangkan Working Formulation (WF). Ini bukanlah suatu

sistem klasifikasi baru melainkan suatu kompromi berdasarkan empiri klinik

yang dapat membedakan entities dengan implikasi prognostik.2,3

Limfoma non-Hodgkin berdasarkan atas asal limfositnya dibagi

menjadi 2, yaitu NHL limfosit B yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi

sel plasma yang membentuk antibodi (prevalensinya 70%) dan NHL limfosit T

yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi bentuk aktif.

Dibedakan 3 derajat malignitas klinis: rendah (30%), intermedier (40%)

dan tinggi (20%), dan dalam kategori ini digunakan pengertian dari klasifikasi

Dorfman, Lukes, dan Collins. Dua sistem klasifikasi morfologik yang umum

dipakai di Amerika Serikat ini didasarkan atas pola pertumbuhan dan tipe sel.

Kriteria imunologik, yang antara lain membedakan antara tipe sel-B dan sel-T,

belum dimasukkan disini. Tetapi, kepentingan besar WF adalah dalam

kenyataan bahwa WF ini mempunyai nilai prediktif yang baik untuk perilaku

klinis malignitas ini. Karena itu, sistem ini merupakan dasar untuk tindakan

terapeutik.3

Konsep klasifikasi Kiel berdasar atas perbandingan dengan

pertumbuhan sel-B dan sel-T normal. Limfoma non-Hodgkin dianggap sebagai

lawan maligna stadium spesifik dalam pertumbuhan ini dan dengan itu

2

Page 4: limfoma

mempunyai fenotipe yang cocok (morfologi dan pola penanda). Terutama

dalam hal NHL sel-B ini menyebabkan pengenalan entities biologic yang

disebut penyakit limfoma. Kepentingannya adalah pertama bahwa dalam

golongan NHL dengan derajat malignitas yang sama dapat dibuat prediksi

mengenai kelakuan tumornya dalam arti lokalisasi tumor yang diharapkan

(lien, sumsum tulang, ekstranodal, susunan saraf sentral) dan kemungkinan

terhadap relaps. Kedua, cara klasifikasi demikian merupakan dasar yang baik

untuk penelitian medik biologik dalam lapangan non-Hodgkin. Karena itu, di

Amerika Serikat makin besar antusiasme untuk penanganan demikian. Hal ini

belakangan ini menyebabkan usul bersama hematopatolog Eropa dan Amerika

untuk memodernisasi klasifikasi Kiel, berdasar atas kesatuan biologik yang

didefinisikan dengan menggunakan morfologi, imunohistologi, sitogenetika,

dan biologi molekuler. Klasifikasi baru ini berbeda dengan klasifikasi Kiel

sedemikian rupa, bahwa tekhnik pemeriksaan modern diimplementasikan

dalam diagnostik NHL dan bahwa juga NHL ekstranodal, yang dalam

klasifikasi Kiel tidak dapat dimasukkan dengan baik padahal kira-kira

merupakan 40% semua NHL, secara eksplisit diikutsertakan.3

Formulasi Kerja (Working Formulation) membagi limfoma non-hodgkin

menjadi tiga kelompok utama, antara lain:

Limfoma Derajat Rendah

Kelompok ini meliputi tiga tumor, yaitu limfoma limfositik kecil,

limfoma folikuler dengan sel belah kecil, dan limfoma folikuler

campuran sel belah besar dan kecil.

Limfoma Derajat Menengah

Ada empat tumor dalam kategori ini, yaitu limfoma folikuler sel

besar, limfoma difus sel belah kecil, limfoma difus campuran sel

besar dan kecil, dan limfoma difus sel besar.

Limfoma Derajat Tinggi

Terdapat tiga tumor dalam kelompok ini, yaitu limfoma

imunoblastik sel besar, limfoma limfoblastik, dan limfoma sel

tidak belah kecil.

3

Page 5: limfoma

Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel Reed-

Sternberg yang bercampur dengan infiltrat sel radang yang bervariasi. Sel Reed-

Sternberg adalah suatu sel besar berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda

(binucleated), berlobus dua (bilobed), atau berinti banyak (multinucleated) dengan

sitoplasma amfofilik yang sangat banyak. Tampak jelas di dalam inti sel adanya

anak inti yang besar seperti inklusi dan seperti “mata burung hantu” (owl-eyes),

yang biasanya dikelilingi suatu halo yang bening.5

(a) (b)

Gambar 1. Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed Sternberg

dan (b) Limfoma Non Hodgkin

2.3 Bentuk Khusus Limfoma Maligna

Jarang pada dewasa, tetapi lebih frekuen pda anak adalah NHL

limfoblastik dan limfoma burkitt. Limfoma limfoblastik pada usia dewasa

biasanya diterapi sebagai leukemia limfatik akut, termasuk profilaksis meningeal.

Limfoma burkitt disamping ciri-ciri morfologik dan kromosomal juga mempunyai

sifat-sifat klinis spesifik: limfoma ini sering menunjukkan pertumbuhan cepat,

lokalisasinya ekstranodal. Tempat preferensi adalah abdomen yaitu sudut

ileosekal. Kadang-kadang menampakkan diri sebagai perut akut sebagai akibat

invaginasi. Untuk tipe limfoma ini sering digunakan pembaian stadium lain

daripada klasifikasi Ann Arbor.3,10

4

Page 6: limfoma

Limoma burkitt terbagi 2, yaitu limfoma burkitt endemic dan sporadic.

Tipe endemic ini terjadi di Afrika. Berhubungan erat dengan virus Epstein Barr

(EBV). Umumnya melibatkan ulang rahang, yang sangat jarang terjadi ada tipe

sporadic. Tipe ini juga umumnya melibatka abdomen. Sedangkan tipe sporadic

terjadi di bagian dunia lain di luar Afrika. Pengruh EBV tidaklah sekuat jenis

endemic meskipun bukti infeksi EBV didapatkan pada satu dari lima pasien. 90%

kasus melibatkan abdomen.10

2.4 Epidemiologi

Pada tahun 2002, tercatat 62.000 kasus LH di seluruh dunia. Di negara-

negara berkembang ada dua tipe limfoma hodgkin yang paling sering terjadi, yaitu

mixed cellularity dan limphocyte depletion, sedangkan di negara-negara yang

sudah maju lebih banyak limfoma hodgkin tipe nodular sclerosis. Limfoma

hodgkin lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, dengan distribusi usia

antara 15-34 tahun dan di atas 55 tahun.1

Berbeda dengan LH, LNH lima kali lipat lebih sering terjadi dan

menempati urutan ke-7 dari seluruh kasus penyakit kanker di seluruh dunia.

Secara keseluruhan, LNH sedikit lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita.

Rata-rata untuk semua tipe LNH terjadi pada usia di atas 50 tahun.6

Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia

menduduki urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya

mengapa angka kejadian penyakit ini terus meningkat. Adanya hubungan yang

erat antara penyakit AIDS dan penyakit ini memperkuat dugaan adanya hubungan

antara kejadian limfoma dengan kejadian infeksi sebelumnya.4

2.5 Etiologi

Penyebab limfoma hodgkin dan non-hodgkin sampai saat ini belum

diketahui secara pasti1,2,6. Beberapa hal yang diduga berperan sebagai penyebab

penyakit ini antara lain:

a. Infeksi (EBV, HTLV-1, HCV, KSHV, dan Helicobacter pylori)

5

Page 7: limfoma

b. Faktor lingkungan seperti pajanan bahan kimia (pestisida, herbisida,

bahan kimia organik, dan lain-lain), kemoterapi, dan radiasi.

c. Inflamasi kronis karena penyakit autoimun

d. Faktor genetik

Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan kemungkinan adanya peran

infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak. Misalnya, negara non

industri, dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur

lebih muda, puncak insidensi pertama morbus Hodgkin juga terjadi jauh lebih dini

(antara 5 dan 15 tahun) daripada di negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan

terhadap virus umum terjadi belakangan, (misalnya pada keluarga kecil, status

ekonomi social yang lebih tinggi) insidensi morbus Hodgkin relatif lebih tinggi.

Ini dapat menunjukkan bahwa mengalami infeksi virus tertentu mempunyai efek

predisposisi, yang terutama berlaku kalau infeksinya timbul pada usia lebih

belakangan. Ada petunjuk bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang

peran pada patogenesis morbus Hodgkin. Dengan menggunakan teknik biologi

molecular pada persentase yang cukup tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali

bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan adanya DNA EBV dalam sel Reed-

Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi protein EBV tertentu. Tetapi, apakah

ada hubungan kausal langsung antara infeksi EBV dan terjadinya morbus

Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan

kausa langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.2,3,4

Pada tipe NHL tertentu, infeksi virus tampaknya memegang peran. Yang

paling banyak diketahui adalah peran virus Epstein-Barr (EBV). Kaitan langsung

untuk terjadinya NHL terdapat pada limfoma Burkitt (tipe endemik) pada anak-

anak kecil di Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV,

infeksi malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi kromosomal t(8; 14),

yang menyebabkan berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV

dapat ditunjukkan dalam berbagai tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan NHL sel-

T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis NHL ini jauh kurang jelas

daripada untuk limfoma Burkitt tipe endemik.3,4,7,8

6

Page 8: limfoma

HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada

hubungan dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah

Karibia. Di Eropa, virus ini tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di

samping infeksi virus imunosupresi yang lama merupakan faktor etiologi yang

lain. Ini dapat merupakan imunodefisiensi congenital, seperti misalnya pada

ataksia, teleangiektasia, atau kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada terapi

imunosupresif pada penderita transplantasi. Pada umumnya penderita ini

mendapat limfoma sel-B derajat tinggi. Dibanding dengan tumor solid telah lebih

banyak diketahui mengenai peran onkogen dalam terjadinya NHL. Pada NHL

terdapat translokasi kromosom. Yang khas di sini adalah bahwa bagian kromosom

spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor immunoglobulin atau sel T

terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu onkogen. Bahwa disini justru

terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T bukanlah suatu kebetulan. Dalam

perkembangan dini sel-B dan T gen-gen ini mengalami proses pengaturan kembali

pada niveau DNA, dengan penyusunan gen-gen fungsional dari berbagai

komponen gen pada kromosom. Pada proses ini terjadi sementara patah

kromosom. Alih-alih terjadi perbaikan patah dalam kromosom asli malahan dapat

juga terjadi penggabungan yang keliru ke kromosom lain. Hasilnya adalah suatu

translokasi. Onkogen yang bersangkutan karena itu dapat terderegulasi dan

teraktivasi. Sebagai prototype adalah translokasi t(8; 14) tersebut di atas, dimana

satu dari gen-gen rantai berat immunoglobulin kromosom 14 tergabung ke

onkogen c-myc pada kromosom 8. Aktivasi c-myc menyebabkan proliferasi

hebat. Translokasi t(8; 14) secara spesifik terdapat pada limfoma Burkitt (endemik

dan sporadik) tetapi juga pada lain-lain NHL sel-B derajat tinggi.2,3,8

Translokasi yang dapat disamakan adalah translokasi t(14; 18) yang

terdapat dalam kira-kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam

tipe yang berasal dari ini). Onkogen bcl-2 yang bersangkutan dengan ini

menyebabkan sentrosit dalam keadaan normal mempunyai jangka hidup sangat

terbatas, dapat hidup lebih lama karena blokade terhadap apa yang disebut

kematian sel terprogram (apoptosis). Efek ini memegang peran penting pada

terjadinya tipe NHL ini. Jadi perlu dipahami bahwa onkogen dapat menstimulasi

7

Page 9: limfoma

proliferasi maupun menghambat kematian sel. Kedua faktor itu dapat

menimbulkan replikasi sel neoplastik.3,6

2.6 Anatomi Sistem Limfatik

Sistem limfatik terdapat di seluruh bagian tubuh manusia, kecuali sistem

saraf pusat. Bagian terbesarnya terdapat di sumsum tulang, lien, kelenjar timus,

limfonodi dan tonsil. Organ-organ lain termasuk hepar, paru-paru, usus, jantung,

dan kulit juga mengandung jaringan limfatik.

Gambar 2. Anatomi Sistem Limfatik

Limfonodi berbentuk seperti ginjal atau bulat, dengan diameter sangat

kecil sampai dengan 1 inchi. Limfonodi biasanya membentuk suatu kumpulan

(yang terdiri dari beberapa kelenjar) di beberapa bagian tubuh yang berbeda

termasuk leher, axilla, thorax, abdomen, pelvis, dan inguinal. Kurang lebih dua

8

Page 10: limfoma

per tiga dari seluruh kelenjar limfe dan jaringan limfatik berada di sekitar dan di

dalam tractus gastrointestinal.

Pembuluh limfe besar adalah ductus thoracicus, yang berasal dari sekitar

bagian terendah vertebrae dan mengumpulkan cairan limfe dari extremitas

inferior, pelvis, abdomen, dan thorax bagian inferior. Pembuluh limfe ini berjalan

melewati thorax dan bersatu dengan vena besar di leher sebelah kiri. Ductus

limfatikus dextra mengumpulkan cairan limfe dari leher sebelah kanan, thorax,

dan extremitas bagian superior kemudian menyatu dengan vena besar pada leher

kanan.

Limpa berada di kuadran kiri atas abdomen. Tidak seperti jaringan limfoid

lainnya, darah juga mengalir melewati limpa. Hal ini dapat membantu untuk

mengontrol volume darah dan jumlah sel darah yang bersirkulasi dalam tubuh

serta dapat membantu menghancurkan sel darah yang telah rusak.2

2.7 Patofisiologi

Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan genetik pada

sel-sel tubuh manusia, termasuk sel-sel limfoid, yang dapat menginduksi

terjadinya keganasan. Gen-gen tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor

tumor, gen yang mengatur apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan DNA.

Proto-onkogen merupakan gen seluler normal yang mempengaruhi

pertumbuhan dan diferensiasi, gen ini dapat bermutai menjadi onkogen yang

produknya dapat menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen supresor

tumor adalah gen yang dapat menekan proliferasi sel (antionkogen). Normalnya,

kedua gen ini bekerja secara sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat

dicegah. Namun, jika terjadi aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen serta terjadi

inaktivasi gen supresor tumor, maka suatu sel akan terus melakukan proliferasi

tanpa henti.

Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen yang mengatur

apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA jika terjadi kerusakan. Gen

yang mengatur apoptosis membuat suatu sel mengalami kematian yang

terprogram, sehingga sel tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk fungsi

9

Page 11: limfoma

regenerasi. Jika gen ini mengalami inaktivasi, maka sel-sel yang sudah tua dan

seharusnya sudah mati menjadi tetap hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi

regenerasinya, sehingga proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu, gagalnya

gen yang mengatur perbaikan DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan

menginduksi terjadinya mutasi sel normal menjadi sel kanker.5

Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang

dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian

mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang

menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang

lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai

dasar pembagian penyakit Hodgkin.3

Gambar 3. Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan

2.8 Gejala Klinis

Baik tanda maupun gejala limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin

dapat dilihat pada tabel berikut ini.1,7

10

Page 12: limfoma

Tabel 1. Manifestasi Klinis dari Limfoma

Limfoma Hodgkin Limfoma Non-Hodgkin

Anamnesis

Asimtomatik limfadenopati

Gejala sistemik (demam

intermitten, keringat malam,

BB turun)

Nyeri dada, batuk, napas

pendek

Pruritus

Nyeri tulang atau nyeri

punggung

Asimtomatik limfadenopati

Gejala sistemik (demam

intermitten, keringat malam,

BB turun)

Mudah lelah

Gejala obstruksi GI tract dan

Urinary tract.

Pemeriksaan Fisik

Teraba pembesaran limonodi

pada satu kelompok kelenjar

(cervix, axilla, inguinal)

Cincin Waldeyer & kelenjar

mesenterik jarang terkena

Hepatomegali &

Splenomegali

Sindrom Vena Cava Superior

Gejala susunan saraf pusat

(degenerasi serebral dan

neuropati)

Melibatkan banyak kelenjar

perifer

Cincin Waldeyer dan kelenjar

mesenterik sering terkena

Hepatomegali &

Splenomegali

Massa di abdomen dan testis

Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga

dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi

Costwell.1,3,6

Tabel 2. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh Costwell

Keterlibatan/Penampakan

Stadium

I Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ

ekstralimfatik (IE)

11

Page 13: limfoma

II Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2 regio yang

letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma yang sama (IIE)

III Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi diafragma

ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau limpa (IIIES)

IV Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ

ekstralimfatik

Suffix

A Tanpa gejala B

B Terdapat salah satu gejala di bawah ini:

Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan

sebelum diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui

penyebabnya

Demam intermitten > 38° C

Berkeringat di malam hari

X Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10 cm,

atau , massa mediastinum dengan ukuran > 1/3 dari diameter

transthoracal maximum pada foto polos dada PA

Gambar 4. Penentuan Stadium Limfoma berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor

2.9 Diagnosis

Diagnosis limfoma hodgkin maupun non-hodgkin dapat ditegakkan

melalui prosedur-prosedur di bawah ini.3

12

Page 14: limfoma

1. Anamnesis lengkap yang mencakup pajanan, infeksi, demam, keringat

malam, berat badan turun lebih dari 10 % dalam waktu kurang dari 6

bulan.

2. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada sistem limfatik (kelenjar

getah bening, hati, dan lien dengan dokumentasi ukuran), infiltrasi kulit

atau infeksi.

3. Hitung sel darah rutin, pemeriksaan differensiasi sel darah putih, dan

hitung trombosit.

4. Pemeriksaan kimia darah, mencakup tes faal hati dan ginjal, asam urat,

laktat dehidrogenase (LDH), serta alkali fosfatase.

5. Pembuatan radiogram dada untuk melihat adanya adenopati di hilus

(pembesaran kelenjar getah bening bronkus, efusi pleura, dan penebalan

dinding dada.

6. CT scan atau MRI dada, abdomen, dan pelvis.

7. Scan tulang jika ada nyeri tekan pada tulang.

8. Scan galium, dilakukan sebelum dan sesudah terapi, dapat menunjukkan

area penyakit atau penyakit residual pada mediastinum.

9. Biopsi dan aspirasi sumsum tulang pada limfoma stadium III dan IV.

10. Evaluasi sitogenetik dan sitometri aliran.

2.10 Diagnosis Banding

Citomegalovirus

Mononukleosis infeksiosa

Ca Paru

Artritis rheumatoid

Sarkoidosis

Serum Sickness

Sifilis

Lupus Eritematosus Sistemik

Toxoplasmosis

Tuberculosis

2.11 Penatalaksanaan

Pilihan terapi pertama pada Limfoma Maligna adalah sebagai berikut:

13

Page 15: limfoma

Terapi pertama

Stadium I – II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan

radiasi kelenjar paraaorta dan limpa;

kadang-kadang hanya lapangan mantel saja

- Jika ada faktor resiko, kemoterapi

dilanjutkan dengan radioterapi

- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas

dengan “involved field radiation”

Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapi

Stadium IIIB – IV Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi

Penatalaksanaan limfoma maligna dapat dilakukan melalui berbagai cara,

yaitu:

a. Pembedahan

Tata laksana dengan pembedahan atau operasi memiliki peranan yang

terbatas dalam pengobatan limfoma. Untuk beberapa jenis limfoma,

seperti limfoma gaster yang terbatas pada bagian perut saja atau jika ada

resiko perforasi, obstruksi, dan perdarahan masif, pembedahan masih

menjadi pilihan utama. Namun, sejauh ini pembedahan hanya dilakukan

untuk mendukung proses penegakan diagnosis melalui surgical biopsy.7

b. Radioterapi

Radioterapi memiliki peranan yang sangat penting dalam pengobatan

limfoma, terutama limfoma hodgkin di mana penyebaran penyakit ini

lebih sulit untuk diprediksi. Beberapa jenis radioterapi yang tersedia telah

banyak digunakan untuk mengobati limfoma hodgkin seperti

radioimunoterapi dan radioisotope. Radioimunoterapi menggunakan

14

Page 16: limfoma

antibodi monoclonal seperti CD20 dan CD22 untuk melawan antigen

spesifik dari limfoma secara langsung, sedangkan radioisotope

menggunakan 131Iodine atau 90Yttrium untuk irradiasi sel-sel tumor secara

selektif7. Teknik radiasi yang digunakan didasarkan pada stadium limfoma

itu sendiri1, yaitu:

Untuk stadium I dan II secara mantel radikal

Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi

Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation

Untuk stadium IV secara total body irradiation

Gambar 5. Berbagai macam teknik radiasi

c. Kemoterapi1,6,7

Merupakan teknik pengobatan keganasan yang telah lama digunakan dan

banyak obat-obatan kemoterapi telah menunjukkan efeknya terhadap

limfoma.

Pengobatan Awal:

1. MOPP regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus atau lebih.

o Mechlorethamine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 8

o Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2 hari ke 1 dan 8

o Procarbazine: 100 mg/m2, hari 1-14

o Prednisone: 40 mg/m2, hari 1-14, hanya pada siklus 1 dan 4

15

Page 17: limfoma

2. ABVD regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus

o Adriamycin: 25 mg/m2, hari ke 1 dan 15

o Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke 1 dan 15

o Vinblastine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 15

o Dacarbazine: 375 mg/m2, hari ke 1 dan 15

3. Stanford V regimen: selama 2-4 minggu pada akhir siklus

o Vinblastine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 7, 9, 11

o Doxorubicin: 25 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 9, 11

o Vincristine: 1,4 mg/m2, minggu ke 2, 4, 6, 8, 10, 12

o Bleomycin: 5 units/m2, minggu ke 2, 4, 8, 10, 12

o Mechlorethamine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 5, 9

o Etoposide: 60 mg/m2 dua kali sehari, minggu ke 3, 7, 11

o Prednisone: 40 mg/m2, setiap hari, pada minggu ke 1-10, tapering

of pada minggu ke 11,12

4. BEACOPP regimen: setiap 3 minggu untuk 8 siklus

o Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke- 8

o Etoposide: 200 mg/m2, hari ke 1-3

o Doxorubicin (Adriamycine): 35 mg/m2, hari ke-1

o Cyclophosphamide: 1250 mg/m2, hari ke-1

o Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2, hari ke-8

o Procarbazine: 100 mg/m2, hari ke 1-7

o Prednisone: 40 mg/m2, hari ke 1-14

Jika pengobatan awal gagal atau penyakit relaps:

1. ICE regimen

a. Ifosfamide: 5 g/m2, hari ke-2

b. Mesna: 5 g/m2, hari ke-2

c. Carboplatin: AUC 5, hari ke-2

d. Etoposide: 100 mg/m2, hari ke 1-3

16

Page 18: limfoma

2. DHAP regimen

a. Cisplatin: 100 mg/m2, hari pertama

b. Cytarabine: 2 g/m2, 2 kali sehari pada hari ke-2

c. Dexamethasone: 40 mg, hari ke 1-4

3. EPOCH regimen – Pada kombinasi ini, etoposide, vincristine, dan

doxorubicin diberikan secara bersamaan selama 96 jam IV secara

berkesinambungan.

a. Etoposide: 50 mg/m2, hari ke 1-4

b. Vincristine: 0.4 mg/m2, hari ke 1-4

c. Doxorubicin: 10 mg/m2, hari ke 1-4

d. Cyclophosphamide: 750 mg/m2, hari ke- 5

e. Prednisone: 60 mg/m2, hari ke 1-6

d. Imunoterapi

Bahan yang digunakan dalam terapi ini adalah Interferon-α, di mana

interferon-α berperan untuk menstimulasi sistem imun yang menurun

akibat pemberian kemoterapi.7

e. Transplantasi sumsum tulang

Transplasntasi sumsum tulang merupakan terapi pilihan apabila limfoma

tidak membaik dengan pengobatan konvensional atau jika pasien

mengalami pajanan ulang (relaps). Ada dua cara dalam melakukan

transplantasi sumsum tulang, yaitu secara alogenik dan secara autologus.

Transplantasi secara alogenik membutuhkan donor sumsum yang sesuai

dengan sumsum penderita. Donor tersebut bisa berasal dari saudara

kembar, saudara kandung, atau siapapun asalkan sumsum tulangnya sesuai

dengan sumsum tulang penderita. Sedangkan transplantasi secara

autologus, donor sumsum tulang berasal dari sumsum tulang penderita

yang masih bagus diambil kemudian dibersihkan dan dibekukan untuk

selanjutnya ditanamkan kembali dalam tubuh penderita agar dapat

menggantikan sumsum tulang yang telah rusak.2

2.12 Komplikasi

17

Page 19: limfoma

Ada dua jenis komplikasi yang dapat terjadi pada penderita limfoma

maligna, yaitu komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi

karena penggunaan kemoterapi. Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu

sendiri dapat berupa pansitopenia, perdarahan, infeksi, kelainan pada jantung,

kelainan pada paru-paru, sindrom vena cava superior, kompresi pada spinal cord,

kelainan neurologis, obstruksi hingga perdarahan pada traktus gastrointestinal,

nyeri, dan leukositosis jika penyakit sudah memasuki tahap leukemia. Sedangkan

komplikasi akibat penggunaan kemoterapi dapat berupa pansitopenia, mual dan

muntah, infeksi, kelelahan, neuropati, dehidrasi setelah diare atau muntah,

toksisitas jantung akibat penggunaan doksorubisin, kanker sekunder, dan sindrom

lisis tumor.1,6

18

Page 20: limfoma

2.13 Prognosis

Menurut The International Prognostic Score, prognosis limfoma hodgkin

ditentukan oleh beberapa faktor di bawah ini, antara lain:

Serum albumin < 4 g/dL

Hemoglobin < 10.5 g/dL

Jenis kelamin laki-laki

Stadium IV

Usia 45 tahun ke atas

Jumlah sel darah putih > 15,000/mm3

Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih

Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%,

sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan

hidupnya hanya 59%.1

Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi

prognosisnya antara lain:

usia (>60 tahun)

Ann Arbor stage (III-IV)

hemoglobin (<12 g/dL)

jumlah area limfonodi yang terkena (>4) and

serum LDH (meningkat)

yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko rendah

(memiliki 0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas), dan

resiko buruk (memiliki 3 atau lebih faktor di atas).6

19

Page 21: limfoma

DAFTAR PUSTAKA

1. Dessain, S.K. 2009. Hodgkin Disease. [serial online].

http://emedicine.medscape.com/article/20188-overview [15 Desember 2013].

2. Ford-Martin, Paula. 2005. Malignant Lymphoma. [serial online].

http://www.healthline.com /malignant-lymphoma/. [15 Desember 2013].

3. Price, S.A dan Wilson, L.M. 2005. “Pathophysiology: Clinical Concepts of

Disease Processes, Sixth Edition”. Alih bahasa Pendit, Hartanto, Wulansari

dan Mahanani. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6.

Jakarta: EGC

4. Reksodiputro, A. dan Irawan, C. 2006. “Limfoma Non-Hodgkin”. Disunting

oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

5. Kumar, Abbas, dan Fausto. 2005. Phatologic Basis of Diseases 7th Edition.

Philadelphia: Elsevier & Saunders

6. Vinjamaram, S. 2010. Lymphoma, Non-Hodgkin. [serial online].

http://emedicine.medscape.com/article/20339-overview. [15 Desember

2013].

7. Berthold, D. dan Ghielmini, M. 2004. Treatment of Malignant Lymphoma.

Swiss Med Wkly (134) : 472-480.

20