laptut sken 5 blok 17

71
BAB II PEMBAHASAN 2.1. ANALISIS SKENARIO Etiologi kejang pada anak: Demam tinggi Epilepsi Vaksinasi Cedera kepala 1

Upload: ida-maryani

Post on 11-Nov-2015

53 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Laporan tutorial Epilepsi, Meningitis

TRANSCRIPT

BAB IIPEMBAHASAN

1.1. ANALISIS SKENARIO

Etiologi kejang pada anak:

Demam tinggi

Epilepsi

Vaksinasi

Cedera kepala

Infeksi virus

Hidrosefalus dengan shunt

Defek saat lahir

Kesulitan dalam proses persalinan

Keracunan

Infeksi otak dan SSP

Hipoglikemia

Tumor otak

Anamnesis Keluhan Utama, Riwayat Penyakit Sekarang

Gambaran kejang untuk menentukan jenis kejang, tanyakan lebih rinci tentang otot bagian mana yang terlibat selama serangan kejang. Suhu sebelum atau sesudah kejang

Lama kejang

Frekuensi kejang

Interval kejang

Faktor yang memprovokasi serangan (demam, televisi, bernafas dalam, lapar, letih, obat-obatan, dll). Keadaan pasca kejang (paresis todd, nyeri kepala, segera sadar, mengacau, kesadaran menurun). Kesadaran setelah kejang

Adanya gejala prodromal, aura

Riwayat Penyakit Dahulu

Kejadian kejang sebelumnya ?

Gambaran serangan ?

Obat-obatan yang digunakan ?

Penyakit yang pernah di derita ? Apakah pernah radang selaput otak, reaksi terhadap imunisasi, pernah ikterus ?

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat serupa di keluarga (ayah, ibu, saudara)

Riwayat penyakit saraf dan penyakit lainnyaRiwayat Kehamilan Ibu

Penyakit berat saat kehamilan ?

Apakah letak sungsang atau melintang ?

Partus spontan, SC, dengan bantuan cunam/forsep atau vakum ?

Asfiksia saat lahir ?

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum

Vital sign (suhu tubuh, nadi, RR)

Cari adanya tanda infeksi ( OMA, faringitis, tonsilitis, ISPA)

Pemeriksaan neurologis, misalnya:

Tanda iritasi meningeal

Gangguan nervus karnialis

Kelumpuhan motorik

Gangguan sensitibilitas

Otonom

Pemeriksaan PenunjangSesuai indikasi dan keperluan

1. Laboratorium

Darah perifer lengkap Gula darah Elektrolit Kalsium serum Urinalisis Biakan darah, urin atau feses2. LP

3. EEG

4. CT-scan, MRI

Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepal Kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastik) Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior membonjol, paresis saraf otak VI, edema papil).

Kemungkinan diagnosa pada pasien di skenario adalah epilepsi. Hal ini dikarenakan terdapat riwayat kejang demam sebelumnya, dimana kejang demam yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi epilepsi. Selain itu adanya riwayat keluarga pasien mengalami kejang kambuhan menunjukkan adanya faktor herediter untuk suatu ambang kejang yang rendah pada pasien sehingga mudah timbul kejang oleh suatu rangsangan yang bersifat ringan. Adanya riwayat persalinan vakum merupakan faktor risiko epilepsi pada anak karena kemungkinan adanya trauma akibat proses vakum. Kemungkinan lain seperti meningitis, ensefalitis, gangguang elektrolit, hipoglikemia, tetanus dll masih belum dapat dieksklusi dan butuh anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang lainnya.1.2. INDIKASI RAWAT INAP Kejang demam kompleks

Hiperpireksia

Usia kurang dari 6 bulan

Kejang demam pertama

Terdapat kelainan neurologis1.3. EPILEPSIKumpulan gejala dan tanda klinis, ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermitten. Terjadi oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal. Etiologi

Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu : 1) epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, dan 2) epilepsi sekunder yaitu yang penyebabnya diketahui.

Pada epilepsi primer, tidak dapat ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.

Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak.Penyebab yang diketahui adalah sebagai berikut :

1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera (trauma) atau mendapat penyinaran (radiasi).2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan (forsep), atau trauma lain pada otak bayi.3. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang-kejang dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3 tahun kemudian. Bila serangan terjadi berulang pada saat yang berlainan baru dinyatakan sebagai penyandang epilepsi.4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum, terutama pada anak-anak.5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.6. Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau radang otak dapat menyebabkan epilepsi.7. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sklerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan timbulnya kejang-kejang yang berulang.8. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan biasanya terjadi pada masa anak-anak. Bila salah satu orang tuanya atau saudara kandungnya menyandang epilepsi, maka kesempatan mendapat epilepsi pada anak adalah 5%, tetapi bila kedua orang tuanya menyandang epilepsi, maka kesempatan mendapat anak dengan epilepsi adalah lebih besar yaitu sekitar 10%.Klasifikasi

Faktor Pencetus

Faktor-faktor pencetus dapat berupa :

Kurang tidur

Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas dari sel-sel otak sehingga dapat mencetuskan serangan. Stres emosional

Stres dapat meningkatkan frekuensi serangan. Peningkatan dosis obat bukanlah merupakan pemecahan masalah, karena dapat menimbulkan efek samping obat. Penyandang epilepsi perlu belajar menghadapi stres. Stres fisik yang berat juga dapat menimbulkan serangan. InfeksiInfeksi biasanya disertai dengan demam. Demam inilah yang merupakan pencetus serangan karena demam dapat mencetuskan terjadinya perubahan kimiawi dalam otak, sehingga mengaktifkan sel-sel otak yang menimbulkan serangan. Faktor pencetus ini terutama nyata pada anak-anak. Obat-obat tertentu

Beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti penggunaan obat-obat anti-depresan trisiklik, obat tidur (sedatio atau fenotiasin). Menghentikan obat-obat penenang/sedatif secara mendadak seperti berbiturat dan valium dapat mencetuskan kejang. Alkohol

Alkohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya serangan. Biasanya peminum alkohol mengalami pula kurang tidur sehingga memperburuk keadaannya. Penghentian minum alkohol secara mendadak dapat menimbulkan serangan. Perubahan hormonal

Pada masa haid dapat terjadi perubahan siklus hormon (berupa peningkatan kadar estrogen) dan stres, dan hal ini diduga merupakan pencetus terjadinya serangan. Demikian pula pada kehamilan terjadi perubahan siklus hormonal yang dapat mencetuskan serangan.

Terlalu lelah

Terlalu lelah atau stres fisik dapat menimbulkan hiperventilasi di mana terjadi peningkatan kadar CO2 dalam darah yang mengakibatkan terjadinya penciutan pembuluh darah otak yang dapat merangsang terjadinya serangan epilepsi. Fotosensitif

Ada sebagian kecil penyandang epilepsi yang sensitif terhadap kerlipan/kilatan sinar (flashing lights) pada kisaran antara 10-15 Hz, seperti diskotik, pada pesawat TV yang dapat merupakan pencetus serangan. Dalam hal ini hindarilah pergi ke diskotik dan bila menonton pesawat TV harus pada jarak yang cukup jauh, pada sudut tertentu dari pesawat dan ruangan yang cukup terang.Patofisiologi

Kejang disebabkan karena ada ketidakseimbangan antara pengaruh inhibisi dan eksitatori pada otak. Ketidakseimbangan bisa terjadi karena : Kurangnya transmisi inhibitori Contoh: setelah pemberian antagonis GABA, atau selama penghentian pemberian agonis GABA (alkohol, benzodiazepin). Meningkatnya aksi eksitatori meningkatnya aksi glutamat atau aspartatEpileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis- jenis serangan epilepsi. Dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait : Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsik dari sel untuk menimbulkan bangkitan. Hilangnya postsynaptic inhibitory control sel neuron.

Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang).

Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.

Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkorteks, talamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai, dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, talamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.

Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.Manifestasi Klinis

1. Epilepsi Umum

Major :

Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder. Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya. Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. Otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2-3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.Minor :

Elipesi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada anak sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan. Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri : timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal, harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik, mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat, pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3 per detik. Bangkitan mioklonus yaitu bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. Bangkitan akinetik yaitu bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.2. Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi)

Bangkitan sensorik ( Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada korteks sensorik. Bangkitan somatosensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.

Epilepsi lobus temporalis ( Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: kesadaran hilang sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul: halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.

Diagnosis

1. Anamnesis

Karakteristik bangkitan (pola, bentuk, waktu, frekuensi, pencetus, gejala sebelum, selama dan sesudah)

Adanya penyakit penyerta

Usia saat bangkitan pertama dan bangkitan-bangkitan selanjutnya

Riwayat (perinatal, tumbuh kembang, penyakit penyebab, keluarga, pengobatan terdahulu)

Interval kejang (baik interval antar kejang terpanjang dan terpendek)

Faktor risiko (trauma kepala, infeksi CNS, faktor presipitan)

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan ini menapis sebab-sebab terjadinya bangkitan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan misalnya:

Trauma kepala

Infeksi telinga atau sinus

Gangguan kongenital

Gangguan neurologik fokal atau difus

Kecanduan alkohol atau obat terlarang

Biasanya hasil yang didapatkan normal. Pada usia lanjut auskultasi di daerah leher penting untuk mendeteksi penyakit vaskular. Pada anak-anak, dilihat dari pertumbuhan yang lambat, adenoma sebasea (tuberous sclerosis), dan organomegali (srorage disease).3. Pemeriksaan Penunjang

EEG, dengan tujuan:

Mengkorfirmasi atau mendukung diagnosis klinis

Mengklasifikasi sindrom epilepsi

Pemeriksaan untuk mencari penyebab :

Pemeriksaan labortorium: untuk memastikan adanya kelainan sistemik seperti hipoglikemia, hiponatremia, uremia, dan lain-lain.

Pencitraan : CT-Scan dan MRI dapat mendeteksi infark, hematom, tumor, hidrosefalus.

Tatalaksana

1. Tujuan

Mengontrol agar tidak terjadi kejang

Meminimalisasi efek samping obat

2. Sasaran

Mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik saraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan neurotransmiter.3. Strategi Terapi

Mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik saraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan neurotransmiter.

4. Prinsip Umum Terapi Epilepsi

Monoterapi lebih baik ( hal ini dilakukan untuk mengurangi potensi efek samping, meningkatkan kepatuhan pasien, tidak terbukti bahwa politerapi lebih baik dari monoterapi.

Hindari atau minimalkan penggunaan antiepilepsi sedatif ( untuk menjaga toleransi, efek pada intelegensia, memori, kemampuan motorik bisa menetap selama pengobatan.

Jika memungkinkan, mulai terapi dengan satu antiepilepsi non-sedatif, jika gagal, beri sedatif atau politerapi.

Berikan terapi sesuai dengan jenis epilepsi. Mulai dengan dosis terkecil dan dapat ditingkatkan sesuai dengan kondisi klinis pasien ( yang penting adalah kepatuhan pasien.

Ada variasi individual terhadap respon obat antiepilepsi ( sehingga perlu pemantauan ketat dan penyesuaian dosis.

Jika suatu obat gagal mencapai terapi yang diharapkan ( hentikan secara perlahan dan ganti dengan obat lain (jangan politerapi).

Lakukan monitoring kadar obat dalam darah ( jika memungkinkan, lakukan penyesuaian dosis dengan melihat kondisi klinis pasien.

5. Tatalaksana Terapi

Non farmakologi Amati faktor pemicu

Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya: stres, olah raga, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll. Farmakologi Menggunakan obat-obat antiepilepsi

6. Obat-obat Anti Epilepsi

Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+ Inaktivasi kanal Na ( menurunkan kemampuan saraf untuk menghantarkan muatan listrik.

Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat.Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABA Agonis reseptor GABA ( meningkatkan transmisi inhibitori dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA. Contoh: benzodiazepin, barbiturat Menghambat GABA transaminase ( konsentrasi GABA meningkat. Contoh: Vigabatrin Menghambat GABA transporter ( memperlama aksi GABA. Contoh: Tiagabin Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien ( mungkin dengan menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikular pool. Contoh: GabapentinPemilihan obat tergantung jenis epilepsi

Prognosis

Prognosis umumnya baik, 70-80% pasien yang mengalami epilepsi akan sembuh, dan kurang lebih sebagian pasien akan dapat lepas obat.

20-30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis ( pengobatan semakin sulit ( 5% di antaranya akan tergantung dalam kehidupan sehari-hari.

Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental, gangguan psikiatri dan neurologik( prognosis jelek.1.4. KEJANG DEMAMKejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38,5C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam ini terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan-5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.

Epidemiologi

Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia, kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23bulan) kejang demam sedikit lebih sering pada laki laki.

Etiologi

Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluranpernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.

Faktor Resiko

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Ada riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan kecenderungan genetik. Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, masalah pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anakmendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi. Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yaitu adanya gangguan neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga, lamanya demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam kompleks.Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan denganperantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler. Jadi sumberenergi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaanpotensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbanganpotensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapatpada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya: a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselulerb. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.

c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasayang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi,kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkanbahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah, sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai dengan terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otakmeningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan euron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguanperedaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapilerdan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi, kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otaksehingga terjadi epilepsi.Klasifikasi

a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akanberhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam. Kejang timbul oleh karena kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya pada radang telinga tengah yang akut, dan sebagainya. Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika suhu meningkat dengan mendadak. Agaknya kenaikan suhu yang tiba-tiba merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang. Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik-klonik seperti kejang grand mal; kadang -kadang hanya kaku umum atau mata mendelik seketika. Kejang dapat jugaberulang, tapi hanya sebentar, dan masih dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnyapada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga kejang demam sederhana masih mungkin terjadi.

b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

Kejang dengan salah satu ciri berikut :

Kejang lama lebih dari 15 menit.

Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.

Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% diantara anakyang mengalami kejang demam.Manifestasi Klinik

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang disebabkan oleh infeksi susunan sarafpusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf. Livingston (1954, 1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan,yaitu:

1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever)

Modifikasi kriteria Livingston: Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.

Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.

Kejang bersifat umum.

Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.

Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.

Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidakmenunjukkan kelainan.

Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali. Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.

b. Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6-6,7 %. Padabayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada :

Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutinBila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

c. Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya, tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.

d. Pencitraan

Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:

Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

Paresis nervus VI Papiledema

Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Saat Kejang

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untukmenghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg, atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belumberhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.b. Pemberian Obat Pada Saat Demam.

Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari. Meskipunjarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.

Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30-60 % kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39 % kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.c. Pemberian Obat Rumat

Indikasi pemberian obat rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan salah satu ciri sebagai berikut :

1. Kejang lama > 15 menit2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.

3. Kejang fokalPengobatan rumat dipertimbangkan bila:

Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan Kejang demam > 4 kali per tahunJenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50 % kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumurkurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4mg/kgBB/hari dalam1-2 dosis.

Prognosis

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian. Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:

1. Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25-50 %. Umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah :

a. Riwayat kejang demam dalam keluarga

b. Usia kurang dari 12 bulan

c. Temperatur yang rendah saat kejang

d. Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

2. Epilepsi

Resiko untuk mendapatkan epilepsi rendah. Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :

a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demampertama.

b. Kejang demam kompleksc. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

Masing -masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.

1.5. MENINGITISMeningitis merupakan infeksi pada cairan serebrospinal disertai radang pada pia mater dan araknoid, ruang subaraknoid, jaringan superfisial otak dan medulla spinalis.

Berdasarkan penyebab dapat dibagi menjadi 3 yakni:

1. Meningitis bakterial

2. Meningitis aseptik3. Meningitis tuberkulosa

Manifestasi klinis umum

Sindrom meningitis akut :

Onset timbulnya gejala mulai dari beberapa jam hingga hitungan hari berupa demam, nyeri kepala, muntah, fotofobia, kaku kuduk dan gangguan sensori lainnya. Sebelum timbulnya onset meningitis dapat didahului oleh infeksi akut sistem respirasi bagian atas. Acute meningitis syndrome biasanya disebabkan oleh meningitis bakterial dan viral. Sindrom meningitis subakut dan kronik:

Onset timbulnya gejala secara bertahap, biasanya tanpa faktor predisposisi. Demam biasanya ditemukan namun derajatnya lebih rendah dari pada demam yang disebabkan meningitis akut. Progress terjadinya gejala biasanya lambat mencapai hitungan minggu. Sindrome meningitis subakut dan kronik bisanya disebabkan oleh meningitis tuberkulosa dan jamur.

MENINGITIS BACTERIAL

Etiologi :

Peling sering disebabkan oleh :

Haemophilus influenza

Neisseria meningitis

Streptococcus pneumonia

Epidemiologi

Pemberian vaksinasi Hib dapat menurunkan angka kejadian meningitis bakterial yang disebabkan oleh Hib, namun pada negara-negara yang tidak memberikan vaksin Hib memiliki rata-rata insidensi sebesar 100 per 100.000 orang. Kira-kira 80% dari kasus meningitis bakterial ditemukan pada anak-anak yang tidak divaksinasi sebelum umur 2 tahun.

Pneumococcal meningitis terjadi pada semua kelompok umur. Faktor predisposisinya adalah pneumonia, otitis media, sinusitis, talasemia mayor.

Enterobacteriae, streptococcus grup B dapat menyebabkan meningitis pada neonatus. Enterobacteriae merupakan flora normal, bisanya akibat aspirasi yang telah terkontamnasi dan pneumonia menghasilkan early onset dari meningitis dengan insidensi 10 per 100.000.

Patofisiologi :

Kuman-kuman masuk ke dalam SSP secara hematogen atau langsung menyebar dari kelainan di nasofaring, paru-paru (pneumonia), dan jantung (endocarditis). Selain itu per kontinitatum dari peradangan organ/jaringan di dekat selaput otak misalnya abses otak, otitis media, mastoiditis dan trombosis sinus kavernosus.

Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi (terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subaraknoid ( eksudat ( dalam beberapa hari terbentuk limfosit dan histosit dan dalam minggu kedua terbentuk sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag.

Proses radang terjadi juga pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-neuron.

Manifestasi klinis :

Pada neonatus: terjadi permulaan akut (panas tinggi,mual muntah, gangguan pernapasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum berkurang, konstipasi, diare). Disertai kejang dan gangguan kesadaran. Pada anak yang lebih besar dan dewasa:

Pada permulaan akut ditemukan panas, nyeri kepala hebat, malaise, kelemahan, nyeri otot dan nyeri pinggang. Dapat pula ditemukan kaku kuduk, renjatan, hipotensi dan takikardi. Dan dapat pula terjadi gangguan kesadaran.

Diagnosis

1. Pada Neonatusa. Anamnesis Mengetahui adanya faktor risiko pada ibu maupun pada bayi sangatlah penting, di samping menilai penampilan klinis.

Demam, nyeri kepala dan meningismus yang merupakan tanda kardinal meningitis pada anak sering kali tidak ditemukan.

b. Pemeriksaan fisik

Manifestasi klinis meningitis pada bayi baru lahir sering tidak spesifik, berupa :

Temperatur yang tidak stabil Gangguan pernafasan Iritabilitas Letargi Sulit makan

Muntah Kejang terjadi pada kira-kira 40% bayi dengan meningitis bakterial

Tanda lainnya yaitu :

Ubun-ubun menonjol Hiper/ hipoaktif Penurunan kesadaran Tremor Twitching Apnea Hemiparesis atau kelumpuhan saraf kranialc. Pemeriksaan Penunjang

Darah perifer lengkap Gula darah Elektrolit darah Biakan darah Pungsi lumbal (LP):

Jumlah sel >30/mm pada hitung jenis didapatkan sel PMN Protein >150 mg/dI Glukosa kurang lebih 40 mg/Di Dilakukan juga pewarnaan gram, biakan dan uji resitensi, serta identifikasi antigen (aglutinasi lateks)

CT-Scan dan MRI dilakukan bila ada indikasi

EEG dilakukan bila ada indikasi

2. Pada Anak

a. Anamnesis

Seringkali didahului infeksi pada saluran nafas atas atau saluran cerna, seperti:

Demam Batuk Pilek Diare Muntah Nyeri kepala Meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran merupakan hal yang sangat sugestif meningitis, tetapi tidak ada satu gejalapun yang khas. Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak kurang dari 3 tahun jarang mengeluh nyeri kepala.b. Pemeriksaan fisik

Gangguan kesadaran dapat berupa :

Penurunan kesadaran

Iritabilitas Dapat juga ditemukan:

Ubun-ubun yang menonjol Kaku kuduk atau tanda rangsang meningeal lain Kejang Defisit neurologik fokal Tanda rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 1 tahun.c. Pemeriksaan Penunjang

Darah perifer lengkap Gula darah Elektrolit darah Biakan darah Lumbal pungsi (LP): pada kasus berat LP harus ditunda

Jumlah sel : 100-10.000/mm3 Hitung jenis : predominan sel PMN Warna : Keruh opalescent Protein : 200- 500 mg/dI Glukosa : < 40 mg/dI Dilakukan juga pewarnaan gram, biakan dan uji resitensi, serta identifikasi antigen (aglutinasi lateks). CT-Scan dan MRI dilakukan pada kasus berat

EEG dilakukan bila ada indikasi

Tatalaksana

Meningitis termasuk penyakit gawat darurat, karena itu penderita harus menginap di rumah sakit untuk perawatan dan pengobatan intensif.

1. Perawatan umum

Penderita perlu istirahat mutlak dan apabila infeksi cukup berat maka penderita perlu dirawat di ruang isolasi. Penderita yang dalam keadaan renjatan dan koma harus memperoleh perawatan dan pengobatan yang intensif. Fungsi respirasi harus dikontrol secara ketat; perlu diberikan oksigen dan apabila terjadi respiratory distress maka perlu pemasangan pipa endotrakeal atau trakeostomi.

Pemberian cairan parenteral harus dipantau secara seksama. Adanya dehidrasi harus diperbaiki. Pemberian cairan parenteral jangan sampai menimbulkan lajakhidrasi. Keseimbangan antara cairan yang masuk dan keluar harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Dalam keadaan normal seorang dewasa memerlukan kurang lebih 3.000 ml cairan sehari. Penderita anak memerlukan cairan lebih sedikit. Dalam rangka pemberian cairan ini, unsur elektrolit diperhitungkan. Dengan demikian keseimbangan elektrolit harus dipertahankan. Adanya hiponatremia dan hipokalemia, harus segera diatasi.

Hal-hal lain yang harus selalu diperhatikan adalah kemungkinan adanya kejang, koagulasi intravaskularis diseminata, hiperpireksia, edema otak, dekubitus, flebitis, serta kekurangan gizi.2. Pemberian antibiotik

Pemberian antibiotik harus tepat dan cepat, sesuai dengan bakteri penyebabnya dan dalam dosis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil biakan sebaiknya diberikan antibiotik dengan spektrum luas. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari atau sekurang-kurangnya 7 hari setelah demam bebas. Pemberian antibiotik sebaiknya secara parenteral.

Kadang-kadang pada pemberian antibiotik selama 4 hari, tiba-tiba suhu meningkat lagi. Keadaan demikian ini dapat disebabkan oleh flebitis di tempat pemberian cairan parenteral atau intravena. Sementara itu, suhu yang tetap tinggi dapat disebabkan oleh pemberian antibiotik yang tidak tepat atau dosis yang tidak cukup atau telah terjadi efusi subdural, empiema, atau abses otak.

Penisilin G diberikan untuk mengatasi infeksi pneumokok, streptokok dan meningokok dengan dosis 1-2 juta unit setiap 2 (dua) jam. Terhadap infeksi hemofilus sebaiknya diberikan kloramfenikol 4x1 gram/24 jam atau ampisilin 4x3 gram setiap 24 jam intravena. Untuk meningokok dipakai sulfadiazina sampai 12x500 mg dalam 24 jam selama kurang lebih 10 hari. Gentamisin dipergunakan untuk memberantas Eschericia coli, klebsiela, proteus, dan kuman-kuman gram negatif. Pada bayi prematur diberi 5mg/Kg B13/hari, dibagi dalam 2 dosis. Pada neonatus diberi 7,5mg/Kg BB/hari dibagi dalam 3 kali pemberian. Pada bayi, anak dan dewasa diberi 5mg/Kg BB/hari dalam 3 kali pemberian.Komplikasi

Kejang pada meningitis dapat muncul pada hari ke-2 dan ke-3 akibat iritasi yang disebabkan inflamasi serta gangguan elektrolit.

Subdural efusi merupakan komplikasi yang umumnya terjadi pada meningitis, terutama pada meningitis yang disebabkan oleh Hib. Namun efusi subdural ini dapat menghilang secara spontan dan tidak membutuhkan penanganan.

Cerebritis dapat terjadi akibat keterlibatan dari pembuluh darah pada saat inflamasi dan juga akibat penyebaran infeksi langsung yang berasal dari bagian subaraknoid.

Ventriculitis dapat terjadi terutama pada neonatus dan infan, hal ini ditandai oleh demam yang menetap dan dapat didiagnosis melalui CT scan.

Prognosis

Prognosis berkurang pada beberapa keadaan tergantung: jenis kuman, hebatnya penyakit pada permulaan, umur penderita, lamanya gejala, kecepatan ditegakkannya, antibiotik yang diberikan, serta adanya kondisi patologik lainnya.

Angka kematian sekitar 15-20% kasus, sering juga ditemukan neurologik squele dan dapat juga ditemukan hydrocephalous, spasticity, visual and hearing loss, cognitive deficits, and developmental delay.

Prognosis bergantung pada beberapa keadaan, antara lain jenis kuman dan hebatnya penyakit pada permulaannya, umur penderita, lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat, kecepatan ditegakkannya diagnosis, antibiotika yang diberikan, serta adanya kondisi patologik lainnya yang menyertai meningitis

ASEPTIC MENINGITIS

Merupakan sindrom klinis akibat inflamasi selaput otak dimana agen bakteri yang biasanya menginfeksi tidak ditemukan di CSF.

Biasanya disebabkan oleh infeksi virus (virus mumps, poliovirus dan limphositic kroriomeningitis), namun dapat juga disebabkan oleh non-viral, seperti jamur, beberapa bakteri yang tidak biasanya menginfeksi dan juga mikoplasma, penyakit autoimun, keganasan dan reaksi obat. Pada negera maju dan berkembang sering disebabkan oleh enterovirus.

Biasanya meningitis aseptik tidak berat dan biasanya sering terjadi pada orang-orang imonokompromais.

MENINGITIS TUBERKULOSA

Merupakan komplikasi serius dari TB, terutama pada anak-anak. Etiologi :

Disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, dapat juga disebabkan oleh M bovis.Epidemiologi :

Insidensi meningitis tuberkulosa masih dapat ditemukan baik di negara maju maupun di negara berkembang, dimana dapat dipicu oleh infeksi HIV, resistensi multidrug. Diperkirakan 2 miliar orang di dunia terinfeksi TB, sekitar 10% dapat berkembang menjadi meningitis tuberkulosa.

Patofisiologi :

Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak oleh penyebaran melalui hematogen, namun melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna putih, yang terdapat pada permukaan otak, selaput otak, sumsung tulang belakang. Tuberkel-tuberkel tadi mudah pecah dan masuk keruangan subaraknoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Akibat reaksi radang ini, terbentuklah eksudat kental, serofibrinosa dan gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuklear, limfosit sel plasma, makrofag. Eksudat menyebar melalui pembuluh darah pada pia mater dan menyerang jaringan otak di bawahnya sehingga proses sebenarnya adalah meningo-ensefalitis.

Manifestasi klinis :

Manifestasi klinis sangat variasi. Ditemukan demam dengan derajat rendah, penurunan nafsu makan, iritabilitas, nyeri kepala, dan muntah, yang diikuti dengan kekakuan leher serta gangguan sensoris lainnya. Pada anak-anak sering ditemukan gejala seperti gangguan kesadaran, tanda nerologik fokal, demam dan kejang.

Diagnosis

a. AnamnesisAdanya riwayat :

Demam kronis (dapat juga berlangsung akut) Kejang Jenis kejang Penurunan kesadaran Lamanya kejang Suhu sebelum/saat kejang Frekuensi kejang Interval antara kejang Pasca kejang Riwayat penurunan berat badan Imunisasi BCG (-) Kontak dengan pasien tuberkulosis dewasab. Pemeriksaan fisik

Manifestasi klinis, dibagi menjadi 3 stadium:

Manifestasi klinis Stadium I (Inisial)

Predominan gejala gastrointestinal, tanpa manifestasi kelainan neurologis. Pasien tampak apatis atau iritabel, disertai nyeri kepala intermiten.

Manifestasi klinis Stadium II

Pasien tampak mengantuk, disorientasi, disertai tanda rangsang meningeal.

Refleks tendon meningkat, refleks abdomen menghilang, disertai klonus patela dan pergelangan kaki.

Nervi kranialis VII ( fasialis), IV, VI dan III (syaraf Pergerakan bola Mata) terlibat.

Dapat ditemukan tuberkel pada koroid.

Manifestasi klinis Stadium III

Pasien koma Pupil terfiksasi Spasme klonik Pernapasan iregular

Disertai peningkatan suhu tubuh Hidrosefalus terdapat pada dua pertiga kasus dengan lama sakit > 3 minggu Kemudian:

Lakukan pemeriksaan parut BCG, limfadenopati, dan tanda mulai meningismus.

Pada funduskopi ditemukan papil pucat Tuberkuloma retina, dengan adanya nodul koroid Umumnya didapatkan tremor Koreoatetosis atau hemibalismusc. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium meliputi:

Darah perifer lengkap Gula darah Elektrolit: serum kalsium, natrium, dan kalium

Pungsi lumbal:

Warna : jernih atau santokrom Sel : meningkat sampai 500 sel/mm3 Hitung jenis : predominan sel limfosit walaupun pada mulanya dapat polimorfonuklear

Protein : meningkat sampai 500 mg/dI (N/P +) Glukosa : dibawah normal PCR ELISA Pemeriksaan Imaging CT scan atau MRI dapat menunjukkan lesi parenkim, infark, dan tuberkulosa. Foto Rontgen dada dapat menunjukkan adanya penyakit tuberkulosis apabila terdapat gambaran klinis. Uji tuberkulin dapat mendukung diagnosis

Elektroensefalografi (EEG)

Dapat menunjukkan perlambatan irama dasar,

Dapat disertai gelombang epileptiform.

Tatalaksana

1. Perawatan umum

Penderita meningitis tuberkulosa harus dirawat di rumah sakit, di bagian perawatan intensif. Dengan menentukan diagnosis secepat dan setepat mungkin, pengobatan dapat segera dimulai.

Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh, antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi pada umumnya, posisi penderita, perawatan kandung kemih dan defekasi, serta perawatan umum lainnya sesuai dengan kondisi penderita.

Kebutuhan cairan, elektrolit, serta gizi dapat diberikan melalui infus maupun saluran pipa hidung. Harus diwaspadai kemungkinan adanya lajakhidrasi. Sementara itu kewaspadaan lainnya diarahkan kepada hiperpireksia, gelisah atau kejang, serta nyeri dan kerewelan lainnya.

2. Pengobatan

Saat ini telah tersedia berbagai macam tuberkulostatika. Tiap jenis tuberkulostatika mempunyai spesifikasi farmakologik tersendiri. Untuk itu perlu pemahaman yang sebaik-baiknya. Berikut ini adalah beberapa contoh tuberkulostatika yang dapat diperoleh di Indonesia.

a. Isoniazida atau INH, diberikan dengan dosis 10-20 mg/Kg BB/hari (pada anak) dan pada dewasa dengan dosis 400 mg/hari.

b. Streptomisin, diberikan intramuskularis selama lebih kurang 3 bulan, tidak boleh terlalu lama. Dosisnya adalah 30-50 mg/Kg BB/hari. Oleh karena bersifat autotoksik maka harus diberikan dengan hati-hati, bila perlu dilakukan pemeriksaan audiogram. Bila perlu pemberian streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan sampai CSS menjadi normal. Sementara itu obat jenis lain dapat diteruskan sampai lebih kurang 2 tahun.

c. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10-20 mg/Kg BB/hari. Pada orang dewasa dapat diberikan dengan dosis 600 ing/hari, dengan dosis tunggal. Pada anak-anak di bawah 5 tahun harus bersikap hati-hati karena dapat menyebabkan neuritis optika.d. PAS atau pares-amino-salicylic-acid, diberikan dengan dosis 200 mg/Kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dapat diberikan sampai 12 gram/hari. PAS Bering menyebabkan gangguan nafsu makan.e. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/Kg BB/hari sampai 1.500 mg/hari, selama lebih kurang 2 bulan. Obat ini dapat menyebabkan neuritis optika; sementara itu INH dapat menyebabkan polineuritis. Pada umumnya tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi, dikenal sebagai triple drug, ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis tuberkulostatika lainnya. Dalam keadaan demikian ini kita harus selalu kritis untuk menilai efektivitas masing- masing obat, terutama dalam hal timbulnya resistensi.

f. Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3 mg/Kg BB/hari (dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 2-4 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1mg/Kg BB/hari selama 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid seluruhnya adalah lebih kurang 3 bulan.

g. Pemberian tuberkulin intratekal, ditujukan untuk mengaktivasi ensim lisosomal yang menghancurkan eksudat di bagian dasar otak.

h. Pemberian enzim proteolitik seperti streptokinase secara intratekal mempunyai tujuan untuk menghalangi adesi. Bila pengobatan diberikan cepat dan tepat, biasanya berhasil setelah 7-10 hari. Secara klinis biasanya ditandai dengan hilangnya nyeri kepala dan gangguan mental.

Berbagai macam tuberkulostatika tadi mempunyai efek samping yang cukup beragam. di samping sifat autotoksik, streptomisin dapat mengganggu sumsum tulang dan juga bersifat nefrotoksik. INH dapat mengakibatkan neuropati, maupun gejala-gejala psikis. Sementara itu PAS dapat menimbulkan demam, mual, muntah, diare, artritis, dan terganggunya nafsu makan. Rifampisin pada anak di bawah 5 tahun dapat menyebabkan neuritis optika, muntah, kelainan darah perifer, gangguan hepar dan flu-like symptoms. Etambutol bersifat hepatotoksik, dan mampu menimbulkan polineuropati dan kejang.

Prognosis :

Tergantung stage

Stage 1 memiliki outcome yang baik, sedangkan bila survive pada stage 3 dapat permanent disabilities, including blindness, deafness, paraplegia, epilepsy, atau mental retardation.

Bila meningitis tuberkulosa tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Prognosis ditentukan oleh kapan pengobatan dimulai dan pada stadium berapa. Umur penderita. juga mempengaruhi prognosis. Anak di bawah 3 tahun dan dewasa di atas 40 tahun mempunyai prognosis yang jelek1.6. ENSEFALITISEnsefalitis merupakan kondisi inflamasi yang mengenai parenkim otak, tipikal menjadi penyakit yang lebih berat. Ensefalitis bisa akut, disebabkan oleh invasi virus ke sistem saraf pusat dan/atau oleh reaksi inflamasi virus itu sendiri, atau pasca infeksi (acute disseminated encephalomyelitis), dimana akan terjadi proses autoimun yang dikarakteristikkan oleh demyelinasi diikuti penyakit viral atau vaksinasi.

Infeksi viral pada sistem saraf pusat juga disebut sebagai meningoensefalitis, dengan adanya infllamasi pada meingens dan jaringan otak. Dilaporkan bahwa meningitis viral dan ensefalitis diidentifikasi pada 55% kasus dari 70% dan 25% dari 65% kasus. Penyebabnya bisa kanrea arbovirus, virus herpes simpleks, influenza, varisella zoster, Epstein-Barr, HIV, dan adenovirus.

Klasifikasi

1. Encephalitis Viral

Ensefalitis mencakup bervariasi dari proses kematian dan koma. Proses radang terbatas pada jaringan otak saja, tetapi hampir selalu mengenai selaput otak juga sehingga seringkali disebut meningoensefalitis. Manifestasi utama terdiri dari konvulsi, gangguan kesadaran, hemiparesis, paralisis bulbaris, gejala-gejala serebelar dan nyeri serta kaku kuduk. Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok :

a. Ensefalitis primer ( disebabkan oleh infeksi virus kelompok herpes simpleks, influenza, ECHO, coxackie dan arbovirus.b. Ensefalitis primer yang belum diketahun penyebabnya

c. Ensefalitis para infeksiosa ( timbul sebagai akibat komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal, seperti rubella, varisela, herpes zoster, parotitis epidemika, mononucleosis infeksiosa dan vaksinasi.Berdasarkan data statistik dari 214 ensefalitis, 54% dari penderitanya adalah anak-anak. Virus yang paling banyak ditemukan adalah virus herpes simpleks (31%), yang disusul oleh virus ECHO (17%). Statistik lain mengungkapkan bahwa ensefalitis primer yang tidak dikenal mencakup 19%. 2. Ensefalitis Primer

a. Ensefalitis herpes simpleks

Infeksi ini disebabkan oleh virus herpes yang mengenai banyak neonatus. Akibat imunitas pasif alamiah yang didapat bayi, mereka dapat bertahan hingga usia 6 bulan, setelah itu mereka dapat mengidap ginggivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi bisa hilang timbul dan mengendap pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan hidung. Walaupun virus ini jinak, tetapi jika neonatus tidak mendapat imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks atau apabila pada partus, neonatus ketularan virus herpes dari ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia. Ensefalitis merupakan sebagian dari manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan dan nekrosis di hepar dan glandula adrenal.

Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan manifestasi reaktivasi dari infeksi laten. Dalam hal ini, virus herpes simpleks berdiam di jaringan otak secara endosimbiotik dan hanya ensefalitis saja yang bangkit. Reaktivitas bisa disebabkan oleh faktor-faktor yang tersebut di atas atau karena penyinaran UV dan gangguan hormonal.

Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea serta infark sistemik dengan infiltrasi limfositer sekitar pembuluh darah intraserebral. Di dalam nukleus saraf terdapat inclusion body yang khas bagi virus herpes simpleks.

Hal yang menjadi ciri khas ensefalitis virus adalah progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dari sakit kepala, demam dan muntah-muntah, kemudian timbul acute organic barin syndrome yang cepat memburuk sampai koma. Sebelum koma dapat ditemukan hemiparesisi atau afasia; serta kejang epileptik bisa ditemukan sejak permulaan penyakit. Pada pungsi limbal ditemukan pleistosis limpositer dengan eritrosit.b. Ensefalitis arbovirus

Arbo virus atau arthropod bone virus merupakan penyebab penyakit demam dan adakalanya ensefalitis primer. Kutu dan nyamuk dimana virus itu berbiak menjadi penyebar. Tergolong pada arbo virus adalah ensefalitis St. Louis, virus yang menyebabkan demam dengue, demam kuning, demam kutu emdorado.

Ciri khasnya adalah perjalanan penyakit yang bifasik. Pada gelombang pertama gamabaran penyakitnya menyerupai influenza yang dapat berlangsung 4-5 hari. Sesudah itu penderita merasa sudah sembuh. Pada minggu ketiga demam ini bisa timbul kembali. Demam ini merupakan pendahuluan dari bangkitan manifestasi neurologis, seperti sakit kepala, nistagmus, diplopia, konvulsi, dan acute organic brain syndrome.c. Rabies

Rabies disebabkan oleh virus neurotop yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan anjing atau binatang apapun yang mengandung virus rabies. Setelah penetrasi, rabies menjalar melalui selsaraf perifer ke susunan saraf pusat. Neuron-neuron sangat peka terhadap virus tersebut. Sekali neuron terkena virus, proses infeksi tidak bisa dicegah. Tahap viremia tidak perlu dilewati untuk memperluas dan memperburuk keadaan. Masa inkubasi rabies beberapa minggu sampai beberapa bulan. Jika gejala-gejala prodromal sudah bangkit, tidak ada cara pengobatan yang dapat mengelakkan progresivitas perjalanan penyakit yang fatal dan menyedihkan ini.

Gejala prodromal terdiri dari lesu dan letih badan, anoreksia, demam, cepat marah-marah dan nyeri pada tempat yang telah digigit anjing. Suara berisik dan sinar terang sudah dapat mengganggu penderita. Dalam 48 jam dapat bangkit gejala-gejala hipereksitasi. Penderita menjadi gelisah, meracau, berhalusinasi, meronta-ronta, kejang opisototonus dan hidrofobia. Tiap kali melihat air , otot-otot pernapasan dan laring kejang,sehingga menjadi sianotik dan apneu. Air liur tertimbun dalam mulut oleh karena penderita tidak dapat menelan. Juga angin mempunyai efek yang sama dengan air. Umumnya penderita meninggal karena status epileptikus. Masa penyakit sampai timbulnya prodromal sampai mati adalah 3-4 hari saja.

VIRUSMANIFESTASI KLINIS

EnterovirusRash (macular, maculopapular, petechial, vesicular), enanthem, conjunctivitis, respiratory symptoms, pleurodynia, pericarditis, myocarditis, diarrhea, myalgias may accompany. Fever may be biphasic; meningeal or neurologic symptoms during second phase. Encephalitis usually generalized, although focal seizures and abnormalities may occur (especially neonates). Systemic illness, severe encephalitis in neonates; severe disease less common beyond neonatal period. Chronic meningitis or meningoencephalitis with waxing and waning neurologic symptoms, and, frequently, fatal outcome, with agammaglobulinemia or hypogammaglobulinemia. Enterovirus 71 associated with hand-foot-mouth disease, herpangina, neurologic disease (meningitis, brain stem encephalitis, myelitis/acute flaccid paralysis, Guillain-Barr syndrome); severe brain stem encephalitis in children M ( M > P Gula

: normal

CT atau MRI : dapat menunjukkan gambaran edema otak

EEG : penurunan aktifitas dan perlambatan

b. Ensefalitis Herpes Simpleks

Gambaran darah tepi tidak spesifik Pemeriksaan cairan likuor memperlihatkan:

Jumlah sel meningkat (90%) yg berkisar antara 10-1000 sel/mm3 Awalnya sel polimorfonuklear dominan Tetapi kemudian berubah menjadi limfositosis Protein dapat meningkat sampai 50-2000 mg/dI

Glukosa dapat normal atau menurun Pemeriksaan EEG: cukup sensitif tapi tidak spesifik. Dapat memperlihatkan gambaran yang khas, yaitu:

Periodic lateralizing epileptiform discharge atau Perlambatan fokal di area temporal atau frontotemporal. Sering juga EEG memperlihatkan gambaran perlambatan umum yang tidak spesifik, mirip gambaran disfungsi umum otak.

CT kepala tetap normal dalam tiga hari pertama setelah timbuInya gejala neurologis. Kemudian lesi hipodens muncul di regio frontotemporal.

T2-weight MRI dapat memperlihatkan lesi hiperdens di regio temporal paling cepat dua hari setelah munculnya gejala.

PCR likuor dapat mendeteksi titer antibodi virus herpes simpleks (VHS) dengan cepat.

PCR menjadi positif segera setelah timbuInya gejala

Pemeriksaan biopsi otak: merupakan pemeriksaan definitif untuk menegakkan diagnosis

Tatalaksana

Agen Antiviral

Tidak ada pengobatan yang spesifik, tergantung dari etiologi.

Apabila secara klinis dicurigai disebabkan oleh virus herpes simpleks, dapat diberikan : Asiklovir 10 mg/kg tiap 8 jam

Asiklovir merupakan pilihan pertama pada ensefalitis yang disebabakan oleh virus Herpes Simplex.Mekanisme kerja

Asiklovir diubah menjadi asiklovir trifosfat, yaitu suatu inhibitor potensial dari polymerase HSV DNA, sehingga sel tubuh tidak akan terpengaruh. Dalam tubuh akan diuptake oleh sel yang terinfeksi, setelah mempunyai sifat inhibitor, akan mampu melawan HSV-1 dan HSV-2.Obat ini mempunyai efek samping serius yang sedikit, seperti:

Crystal-induced nephropathy.hal ini terjadi jika kelarutan maksimalnya berlebihanDiekskresikan oleh ginjal, sehingga dosis harus dikurangi pada pasien dengan fungsi ginjal yang menurun.Prognosis

Mortalitas tinggi, 35-50% 20-40% di antara anak yang hidup mengalami: Sekuele berupa paresis/paralisis Gerakan koreoatetoid Gangguan penglihatan Kelainan neurologis lain Jika tanpa kelainan, masih terdapat kemungkinan mengalami : Retardasi mental Gangguan watak Epilepsi1.7. TUMOR OTAKTumor otak atau glioma adalah sekelompok tumor yang timbul dalam sistem saraf pusat dan dapat dijumpai beberapa derajat diferensiasi glia. Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan otak itu sendiri, disebut tumor otak primer dan bila berasal dari organ-organ lain, disebut tumor otak metastase.

Etiologi dan Faktor Risiko

Sebenarnya, penyebab tumor otak masih belum diketahui tetapi masih ada faktor-faktor yang perlu ditinjau yaitu:

Herediter

Sindrom herediter seperti von Recklinghausens Disease, tuberous sclerosis, retinoblastoma, multiple endocrine neoplasma bisa meningkatkan resiko tumor otak. Gen yang terlibat bisa dibahagikan pada dua kelas yaitu tumor-suppressor genes dan oncogens. Selain itu, sindroma seperti Turcot dapat menimbulkan kecenderungan genetik untuk gliomatetapi hanya 2%.

Radiasi jenis ionizing radiation bisa menyebabkan tumor otak jenis neuroepithelial tumors, meningiomas dan nerve sheath tumors. Selain itu, paparan terhadap sinar X juga dapat meningkatkan risiko tumor otak.

Substansi-substansi karsinogenik. Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti nitrosamides dan nitrosoureas yang bisa menyebabkan tumor sistem saraf pusat.

Virus

Infeksi virus juga dipercayai bisa menyebabkan tumor otak. Contohnya, virus Epseien-barr.

Gaya Hidup penelitian telah menunjukkan bahwa makanan seperti makanan yang diawetkan, daging asap atau acar tampaknya berkorelasi dengan peningkatan risiko tumor otak. Di samping itu, risiko tumor otak menurun ketika individu makan lebih banyak buah dan sayuran.

Epidemiologi

Berdasarkan data-data dari Central Brain Tumor Registry of the United State (CBTRUS) dari tahun 2004-2005 dijumpai 23.62 per 100,000 orang/ tahun ( umur 20+). Tingkat mortilitas di Amerika Utara, Eropa Barat dan Australia dijumpai 4-7 per 100,000 orang per tahun pada pria dan 3-5 per 100,000 orang per tahun pada wanita. Selain itu telah dilaporkan bahawa meningioma merupakan jenis tumor yang paling sering dijumpai yaitu 33,4% diikuti dengan glioblastoma yaitu 17,6%. Di Medan data-data lengkap tentang penyakit tumor otak belum ada, namun dari observasi yang dilakukan tahun 2005 terhadap 48 penderita tumor otak yang dirawat di beberapa rumah sakit; Penderita tumor otak lebih banyak pada laki-laki (72,92 persen) dibanding perempuan (27,08 persen) dengan kelompok usia terbanyak 51 sampai 60 tahun (29,17 persen); selebihnya terdiri dari berbagai kelompok usia yang bervariasi dari 3 bulan sampai usia 50 tahun. Hanya 43 penderita (89,59 persen) yang dioperasi dan lainnya (10,41 persen) tidak dilakukan operasi karena berbagai alasan, seperti; inoperable atau tumor metastase (sekunder). Lokasi tumor terbanyak berada di serebelum (20,83 persen), sedangkan tumor-tumor lainnya tersebar di beberapa lobus otak, supraselar, medulla spinalis, brainstem, cerebellopontine angle dan multiple. Dari hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), jenis tumor terbanyak yang dijumpai adalah meningioma (25,00 persen), sisanya terdiri dari berbagai jenis tumor dan lain-lain yang tak dapat ditentukan.

Gejala spesifik tumor otak yang berhubungan dengan lokasi:

Secara umum pasien tumor otak bisa memiliki gejala seperti perubahan perilaku contohnya, pasien mungkin mudah lelah atau kurang konsentrasi. Selain itu, gejala hipertensi intrakranial seperti sakit kepala, mual, vertigo. Serangan epilepsi juga sering dijumpai pada pasien tumor otak.

a) Lobus frontal

Menimbulkan gejala perubahan kepribadian seperti depresi Menimbulkan masalah psikiatri Bila jaras motorik ditekan oleh tumor hemiparese kontra lateral, kejang fokal dapat timbul. Gejala kejang biasanya ditemukan pada stadium lanjut. Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasiab) Lobus temporal

Dapat menimbulkan gejala hemianopsia Gejala neuropsikiatri seperti amnesia, hypergraphia dan Dj vu juga dapat timbul Lesi pada lobus yang dominan bisa menyebabkan afasiac) Lobus parietalis

Akan menimbulkan gangguan sensori dan motor yang kontralateral Gejala homonymous hemianopia juga bisa timbul Bila ada lesi pada lobus yang dominan gejala disfasia Lesi yang tidak dominan bisa menimbulkan geographic agnosia dan dressing apraxia.

d) Lobus oksipital

Menimbulkan homonymous hemianopia yang kontralateral

Gangguan penglihatan yang berkembang menjadi object agnosia Dapat dibedakan karena gejala awalnya berupa gangguan fungsi pendengaran.

e) Glioma batang otak

Biasanya menimbulkan neuropati kranial dengan gejala-gejala seperti diplopia, facial weakness dan dysarthria.

f) Tumor di cerebelum

Didapati gangguan berjalan dan gejala tekanan intrakranial yang tinggi seperti mual, muntah dan nyeri kepala. Hal ini juga disebabkan oleh edema yang terbentuk.

Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar ke leher dan spasme dari otot-otot servikal.

Pemeriksaan

Pemeriksaan neuroradiologis yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi ada tidaknya kelainan intrakranial, adalah dengan:1. Rontgen foto (X-ray) kepala; lebih banyak sebagai screening test, jika ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, akan memperkuat indikasi perlunya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

2. Angiografi; suatu pemeriksaan dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam pembuluh darah leher agar dapat melihat gambaran peredaran darah (vaskularisasi) otak.

3. Computerized Tomography (CT-Scan kepala) dapat memberikan informasi tentang lokasi tumor tetapi MRI telah menjadi pilihan untuk kebanyakan karena gambaran jaringan lunak yang lebih jelas.

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI), bisa membuat diagosa yang lebih dini dan akurat serta lebih defititif. Gambar otak tersebut dihasilkan ketika medan magnet berinteraksi dengan jaringan pasien.

Terapi

Glukokortikoid biasanya diberikan untuk memperingankan gejala edema.

Terapi radiasi jenis Whole Brain Radiation Therapy merupakan terapi yang utama untuk tumor otak yang malignan. Cara diberikan dengan 30-37.5 Gy dalam 10-15 fraction. Selain itu, stereotaxic radiosurgery biasanya digunakan pada pasien dengan kadar meatastasis yang lebih kurang. Terapi ini hanya memperlambatkan kambuhnya tumor otak dan tidak memperpanjangkan survival.

Pembedahan juga merupakan pilihan terapi yang hanya dilakukan pada tumor yang jinak. Pembedahan lebih sukar dilakukan pada tumor otak yang ganas karena adanya metastase ke organ yang lain. Terapi radiasi juga diberikan selepas pembedahan untuk hasil yang lebih baik.

Kemoterapi merupakan terapi yang diberikan pada tumor otak jenis metastase dan pada tumor opak yang tidak dapat disembuhkan dangan pembedahan. Pada tumor-tumor tertentu seperti meduloblastoma dan astrositoma stadium tinggi yang meluas ke batang otak, kemoterapi dapat membantu sebagai terapi paliatif.

Jika terapi-terapi diatas tidak membantu, terapi piliatif diberikan untuk memperingankan gejala-gejala yang dialami oleh pasien.

Prognosis

Prognosis penderita tumor otak didapati bahawa tanpa terapi radiasi, harapan hidup rata-rata pasien dengan metastase otak adalah 1 bulan. Selain itu, Resectability Tumor, lokasi tumor, usia pasien, dan histologi tumor adalah penentu utama kelangsungan hidup. Pasien dengan kejang sekunder ke tumor otak umumnya mengalami kerusakan neurologis yang jelas selama kursus 6 bulan. Kebanyakan pasien dengan metastase otak mati dari perkembangan keganasan utama mereka bukan dari kerusakan otak.STATUS EPILEPTIKUS (SE)DefinisiStatus epileptikus adalah bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit atau lebih, baik secara terus menerus atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran di antara kejang.

Jenis-jenis

Klasifikasi Status EpilepticusGeneralisata

(1) Konvulsif : tonik, tonik-klonik, klonik, atau mioklonik

(2) Non-konvulsif: absence

Parsial

(1) Konvulsif : tonik atau klonik

(2) Nonkonvulsif : parsial simpleks atau kompleks

ETIOLOGI

Penyebab terjadinya status epileptikus antara lain infeksi, hipoglikemia, hipoksemia, trauma, epilepsi, panas, dan tidak diketahui (30%).

Beberapa penyebab terjadinya status epileptikus :

1. Perubahan pada obat antiepilepsi (1) Gejala putus obat

(2) ketidakcocokan terhadap obat

(3) Interaksi obat

(4) Toksisitas (contohnya toksisitas karbamazepin)

2. Infections

(1) Sistem saraf pusat (meningitis)

(2) Sistemik

3. Toxins

(1) Alkohol

(2) Obat-obatan (isoniazid, bupropion)

(3) Zat toksik

(4) Obat yang bisa menimbulkan kejang (penisillin dosis tinggi)

4. Structural

(1) Trauma

(2) Stroke iskemik

(3) Stroke hemoragik

(4) Hidrosefalus akut

5. Perubahan Hormonal

6. Ketidakseimbangan elektrolit

7. Prosedur diagnostik dan medis

8. Stres emosional

9. Penyakit progresif-degeneratif

10. Kurang tidur

11. Apnea primer

12. Aritmia jantung

13. Demam

PATOFISIOLOGI

Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter eksitatori : glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi kemampuan hambatan intrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif.

Suatu lepas muatan simpatis akan menyebabkan naiknya tekanan darah dan bertambahnya denyut jantung. Autoregulasi peredaran darah otak hilang, mengakibatkan turunnya resistensi serebrovaskuler. Aliran darah ke otak sangat bertambah didorong oleh tingginya tekanan darah dan tidak adanya mekanisme autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah sistemik akan turun, bila kejang berlangsung terus dan mengakibatkan turunnya tekanan perfusi, yang selanjutnya menyebabkan iskemi otak. Hal ini dan berbagai faktor lain akan menyebabkan hipoksia sel-sel otak. Kejang otot yang luas dan melibatkan otot pernafasan, selain mengganggu pernafasan secara mekanis juga menyebabkan inhibisi pada pusat pernafasan di medulla oblongata. Di samping itu kegiatan lepas muatan saraf otonom menyebabkan sekresi bronkus berlebihan dan aspirasi, mengakibatkan gangguan difusi oksigen melalui dinding alveolus. Perubahan fisiologis lain yang paling penting ialah adanya penggunaan enersi yang sangat banyak. Neuron yang terus menerus terpacu menyebabkan bertambahnya metabolisme otak secara berlebihan, sehingga persediaan senyawa fosfat energi tinggi terkuras. Hipotensi dan hipoksia akan memperburuk keadaan, yang berakhir dengan kematian sel-sel neuron. Selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan aritmia jantung, hipoksia otak yang berat dan kematian. Kejang otot dan gangguan otoregulasi lain, juga menimbulkan komplikasi kerusakan otot, edema paru dan nekrosis tubuler mendadak. Status epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan kelainan yang sama dengan apa yang terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksia. Sel-sel neuron yang mengalami iskemia selalu terdapat di daerah sektor Sommer hipokampus, lapisan 3, 4 dan 6 korteks serebri, amigdala, talamus dan sel-sel Purkinje.GEJALA KLINIS

Status epileptikus

1/3 kasus merupakan manifestasi pertama kali dari epilepsi

1/3 kasus terjadi pada pasien yang sudah didiagnosis menderita epilepsi

1/3 kasus akibat kerusakan otak yang terisolasi

Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:

1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:

Pelepasan adrenalin dan noradrenalin

Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme

Hipertensi, hiperpireksia

Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat

2. Fase II (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:

Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak

Depresi pernafasan

Disritmia jantung, hipotensi

Hipoglikemia, hiponatremia

Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DICDIAGNOSIS

Anamnesis : Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)

Tingkat kesadaran diantara kejang

Riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga

Panas, trauma kepala

Riwayat persalinan, tumbuh kembang

Penyakit yang sedang diderita dan riwayat penyakit dahulu.

Pemeriksaan fisik: pemeriksaan neurologi lengkap meliputi :

o Tingkat kesadaran

o Pupil

o Refleks fisiologis dan patologi

o Ubun-ubun besar

o Tanda-tanda perdarahan

o LateralisasiDIAGNOSIS BANDING

Reaksi konversi

SinkopPENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan penderita dengan status epileptikus adalah sebagai berikut :

1. Tindakan suportif.

Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit pertama), yaitu ABC:

Airway: Bebaskan jalan nafas, intubasi jika diperlukan.

Breathing: Pemberian pernafasan buatan/bantuan nafas (oksigen)

Circulation: Pertahankan/ perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infus atau transfusi jika terjadi syok, monitor tanda vital.

3. Hentikan kejang secepatnya.

Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30 menit pertama):

b. Pilihan I: Golongan Benzodiazepin. Diazepam, 0,3-0,5 mg/kg selama 1-5 menit (20 mg maksimum); bisa diulang dalam 5-20 menit; atau lorazepam, 0,05-0,2 mg/kg (kurang efektif dengan pengulangan dosis)

c. Pilihan II: Phenytoin, 10-20 mg/kg IV selama 5-20 menit (maksimum 1000 mg); monitor glukosa darah dan EKG

d. Pilihan III: Phenobarbital, 5-20 mg/kg (kadang-kadang lebih tinggi pada neonatus atau status refrakter di pasien yang diintubasi)3. Pemberian obat anti kejang lanjutan

4. Cari penyebab status epileptikus

Tabel Beberapa kemungkinan penyebab

5. Penatalaksanaan penyakit dasar

6. Mengatasi penyulit ( atasi gangguan elektrolit, seperti asidosis)

7. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi dengan:

a. Barbiturat (thiopental, phenobarbital, pentobarbital). Ulangi fenitoin, fenobarbital (10 mg/kg). Monitor kadarnya dalam darah; atau

b. Midazolam drip, 1-5 mcg/kg/menit. Natrium valproat, 100 mg/mL I.V; berikan 15-30 mg/kg selama 5-20 menit, atau

c. Inhalasi dengan bahan isoflurane KOMPLIKASI

Asidosis

Hipoglikemia

Hiperkarbia

Hipertensi pulmonal

Edema paru

Hipertermia

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Gagal ginjal akut

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

Edema otakPROGNOSIS

Tergantung pada:

Penyakit dasar

Kecepatan penanganan kejang

KomplikasiBAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Kelompok kami pada skenario kali ini membahas mengenai diagnosis banding dari kejang. Dilihat dari gejala-gejala pada skenario yang mengarahkan ke hal tersebut. Dari kejang sendiri yang dibagi antara epileptik dan non epileptik, kami membahas secara umum, kemudian setelah diskusi mengenai ddnya, kelompok kami memfokuskan pada diagnosis epilepsi dan kejang demam. Namun, untuk menentukan diagnosis pasti masih diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang lebih lanjut.

LO:

1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi kejang

2. Mahasiswa mampu menjelaskan Klasifikasi kejang: Kejang demam dan tanpa demam

3. Mahasiswa mampu menjelaskan Etiologi kejang

4. Mahasiswa mampu menjelaskan Patofisiologi kejang

5. Mahasiswa mengetahui gejala klinis penyakit dengan keluhan utama kejang

6. Merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis banding (differential diagnosis).

7. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan umum dan berdasarkan kausa kejang, penatalaksanaan pada kasus kegawatdaruratan dan pencegahan, baik secara non farmakologi maupun farmakologin.

8. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi kejang

9. Mahsiswa mampu menjelaskan Prognosis penyakit dengan keluhan kejang

10. Mahasiswa mampu memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit dengan keluhan kejang.

Pertanyaan minimal yang diharapkan muncul:

1. Bagaimanakah klasifikasifikasi kejang?

2. Apakah etiologi kejang?

3. Bagaimanakan patofisiologi kejadian kejang demam dan kejang tanpa demam?

4. Bagaimanakah cara penegakan diagnosis penyakit yang diderita oleh Rian?

5. Apa sajakah diagnosis banding yang mungkin pada skenario diatas?

6. Bagaimanakah penatalaksanaan keluhan Rian?

7. Apakah komplikasi penyakit Rian?

8. Bagaimanakah prognosis penyakit Rian ?

Jawaban:

1. Klasifikasi kejang:

Kejang adalah gangguan fungsi serebral paroksismal akibat suatu pelepasan listrik abnormal neuron kortikal. Kejang dapat diklasifikasikan berdasarkan pola kejang dan data elektrofisiologik. Klasifikasi kejang

I. Parsial (kejang fokal)

A. Kejang parsial sederhana dengan gejala motorik, sensoris, psikis atau autonom

B. kejang parsial kompleks

C. kejang parsial dengan generalisasi sekunder

II. Kejang umum (Generalized seizures)

A. Absence seizures

B. Tonic-clonic seizures

C. Other (myoclonic, tonic, clonic, atonic)

Kejang tonik-klonik general adalah serangan kejang yang dicirikan dengan kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang diikuti secara cepat oleh kontraksi tonik otot, sehingga menyebabkan ekstensi tungkai dan arching of the back. Fase tonik berlangsung sekitar 1030 detik dan diikuti dengan fase klonik berupa hentakan tungkai. Frekwensi hentakan tungkai mencapai puncaknya dalam waktu 15-30 detik, dan kemudian menurun secara bertahap selama 15-30 detik. Setelah itu, pasien masih tidak sadar selama beberapa menit. Setelah sadar, pasien masih merasa postictal confusion yang berlangsung selama beberapa menit. Pada pasien dengan kejang berulang atau yang disebabkan oleh gangguan struktur atau metabolik, kebingungan dapat bertahan selama beberapa jam. Abnormalitas fokal dapat ditemukan pada pemeriksaan neurologi selama periode postictal. Temuan seperti lesi fokal otak mebutuhkan pemeriksaan laboratorium dan radiologi lebih lanjut.

Absence seizures, khasnya mulai pada masa kanak-kanak dan biasanya hilang saat dewasa. Kejang dicirikan oleh kehilangan kesadaran singkat (brief lapses), yang berlangsung sekitar beberapa detik tanpa disertai kehilangan sikap/perubahan sikap (loss of posture). Serangan kejang ini dapat ditandai dengan kedipan mata, gerakan kepala minimal, atau hentakan singkat dari otot tungkai. Segera setelah episode kejang, pasien sadar penuh. Gejala ini dapat terjadi beberapa kali dalam sehari sehingga mempengaruhi prestasi belajar. Ciri gambaran electroencephalogram (EEG) memperlihatkan kecepatan gelombang 3/detik, terutama setelah hiperventilasi. Penyakit ini diturunkan secara autosomal dominan.

Kejang parsial disebabkan oleh kerusakan fokal otak. Oleh karena itu, pasien dengan keluhan kejang parsial sederhana atau kompleks harus dicari lesi otak yang mendasarinya..

Simple partial seizures diawali dengan fenomena motorik, sensorik, psikis atau autonomik, tergantung letak lesi. Kesadaran masih terjaga baik, terkecuali jika fokus kejang tersebar, yang menyebabkan suatu kejang tonic-clonic (secondary generalization).

Kejang parsial kompleks dicirikan oleh gangguan kesadaran tiba-tiba, dengan gejala gerakan yang berulang-ulang, selaras dan tidak disadari. (automatisme). Beberapa saat sebelum terjadi gangguan kesadaran, dapat ditemukan (dialami) suatu aura yaitu berupa sensasi abdominal yang tidak biasa, halusinasi olfaktorius atau sensoris, ketakutan yang tidak dapat dijelaskan, atau dj vu. Kejang biasanya berlangsung sekitar 2-5 menit dan diikuti dengan postictal confusion. Generalisasi sekunder dapat terjadi. Fokus kejang umunya ditemukan di lobus temporal atau frontal.Kejang demam : menurut The International League Against Epilepsy (ILAE) adalah suatu kejang yang berhubungan dengan penyakit dengan gejala demam tanpa disertai infeksi pada SSP, atau ketidakseimbangan elektrolit akut pada anak-anak yang berusia lebih dari 1 bulan tanpa adanya kejang tanpa demam sebelumnya. Epilepsi adalah suatu kelompok penyakit yang dicirikan oleh kejang yang bersifat rekuren.Status Epileptikus (SE): SE secara klasik didefinisikan sebagai aktivitas kejang, baik yang kontinyu atau episodik, tanpa disertai pemulihan kesadaran secara komplit, yang berlangsung selama paling sedikit 30 menit.

Perjalanan status epileptikus secara konseptual dibagi atas beberapa stadium :

1. prodromal status epileptikus, dicirikan oleh peningkatan frekwensi serial kejang dengan kesadaran yang kembali pulih antara episode kejang,

2. incipient SE, didefinisikan sebagai kejang kontinyu atau intermitten yang berlangsung sampai 5 menit tanpa pemulihan kesadaran penuh, 3. impending atau early SE, ditandai dengan aktivitas kejang yang berlangsung selama 5-30 menit, dan 4. established SE, didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.Klasifikasi status epileptikus

Konvulsif

Nonkonvulsif

Generalized convulsive

Absence

Focal motor

Complex partial

Myoclonic

NCSE with coma

NCSE, nonconvulsive status epilepticus

Generalized Convulsive Status Epilepticus

Generalized convulsive SE (GCSE), dicirikan oleh aktivitas kejang tonik, klonik, atau tonik-klonik yang melibatkan semua ekstrimitas. Pada GCSE primer, penyebab kejang tidak dapat diketahui fokusnya. Pada GCSE sekunder, kejang dimulai dari bagian tertentu dari otak (fokal) kemudian menyebar ke seluruh otak. Pada awal GCSE sekunder terjadi, dapat ditemukan gejala fokal atau gejala EEG, tetapi pada kejang yang berlangsung lama, sulit dibedakan dengan GCSE primer. Focal motor SE, juga disebut simple complex SE, somatomotor SE, atau epilepsy partialis continua, dicirikan kejang pada satu tungkai atau sebagian wajah. Focal motor SE berhubungan dengan lesi fokal otak.Myoclonic SE dicirikan oleh hentakan mioklonik berulang yang ireguler, asynchronous, dengan amplitudo kecil dari otot wajah atau tungkai. Myoclonic SE sering ditemukan pada pasien koma yang berhubungan dengan kondisi spesifik seperti anoksi atau gagal jantung.

Nonconvulsive Status Epilepticus

NCSE, dicirikan oleh kejang non motorik yang kontinyu dan membutuhkan konfirmasi EEG untuk penegakan diagnosa. NCSE dapat terjadi pada pasien rawat jalan atau koma. Tipe paling umum NCSE pada anak adalah absence SE, yang dicirikan oleh perubahan tingkat kesadaran dan pola gambaran EEG berupa generalized 3-Hz symmetric spike-and-wave. Berbeda dengan complex partial SE yang ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran dan pola rekaman EEG, fokusnya biasanya di lobus temporal.

2. Etiologi kejang :

Etiologi kejang

Suhu tinggi

Tumor otak AstrocytomaOligodendrogliomaGlioblastoma

InfeksiBrain abscessViral encephalitisCysticercosisTuberculosisAcute demyelinating encephalomyelitisSubacute sclerosing panencephalitisOpportunistic infection

Vascular

Cortical vein thrombosisArteriovenous malformationCerebrovascular accident

Trauma

Post traumatic cystChronic subdural hematomaFocal gliosis Heat strokeLightning strikeIntracranial hemorrhage

AnoxiaCardiac arrestCardiopulmonary bypassCarbon monoxide poisoningCO2 narcosis

Metabolik

Hepatic failureRenal failureHypoglycemiaHyponatremiaNonketotic hyperglycemiaThiamine deficiency

Toxin

Tricyclic antidepressantsAnticonvulsantsBetalactam antibioticsOpiatesLithiumHeavy-metal poisoning

Genetic/epilepsy syndromesJuvenile myoclonic epilepsyLennox-Gastaut syndromeAbsence epilepsy

Inborn errors of metabolism PhenylketonuriaNonketotic hyperglycemiaPyridoxine deficiencyHistidinemiaHyperammonemiaHomocitrullinemiaMaple syrup urine diseaseLeucine-sensitive hypoglycemia

Cerebral malformations

Neuronal migration defectNeurocutaneous syndrome

Degenerative diseasesLeigh encephalopathyLeukodystrophiesAlpers diseaseSandhoff diseaseTay-Sachs disease

Benign familial syndromes

Benign familial neonatal seizuresBenign neonatal sleep myoclonus

3. Patofisiologi kejang:

Aktivitas neuronal normal berlangsung dengan pola yang tidak sinkron/tidak serempak (nonsynchronized), dimana kelompok neuron dihambat dan dirangsang secara sekuen dselama proses transfer informasi antara area otak yang berbeda. Kejang terjadi jika neuron diaktifkan secara sinkron/serempak dan impuls disebarkan ke area lain dari otak.

4. Bagimanakah cara menegakkan diagnosa Rian?

Diagnosa ditegakkan berdasarkan:

Anamnesis : antara lain tentang : onset kejang, durasi kejang, riwayat kejang, riwayat trauma kepala, riwayat penyakit kejang dalam keluarga, riwayat pengobatan, adnya aura

Pemeriksaan fisik : tingkat kesadaran, saat episode kejang : otot yang terlibat (bagian tertentu tubuh atau seluruh tubuh) dan tipe kejang (tonik, klonik atau tonik-klonik) Pemeriksaan penunjang : EEG, CT scan, darah5. Diagnosa :

6. Diagnosis kerja dari Rian mengarah ke status epileptikus (Generalized Convulsive Status Epilepticus)7. Penatalaksanaan farmakologi

Mekanisme kerja antikonvulsi

Obat

Indikasi Utama

Mekanisme kerja

Phenytoin

Kejang umum tonik-klonik dan kejang parsial

Menghambat voltage-gated sodium dan calcium channels

Carbamazepine

Kejang umum tonik-klonik dan kejang parsial

Menghambat voltage-gated sodium dan calcium channels

Phenobarbital

Kejang umum tonik-klonik dan kejang parsial

Meningkatkan fungsi reseptor GABAA

Valproate

Kejang umum tonik-klonik, aabsence, mioklonik dan kejang parsial

Meningkatkan kadar GABA dengan menghambat succinic semialdehyde dehydrogenase

Ethosuximide

Absence seizures

Menghambat low-threshold (T-type) voltage-gated calcium channels

Felbamate

Kejang umum tonik-klonik dan kejang parsial

Antagonis reseptor glutamat (subtipe NMDA); subtype of glutamat