lapsus er

26
BAB I PENDAHULUAN Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian dengan cara sistemik. Sedangkan reaksi alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu obat yang digunakan pada permukaan tubuh mempunyai istilah sendiri yang disebut dermatitis kontak alergi. Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong ‘serius’ karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Steven- Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolitic (TEN) adalah beberapa bentuk reaksi serius tersebut. Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), inisidensi erupsi obat alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi

Upload: ardita-fransiska-pratiwi

Post on 18-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

eritroderma

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikansuatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian dengan cara sistemik. Sedangkan reaksi alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu obat yang digunakan pada permukaan tubuh mempunyai istilah sendiri yang disebut dermatitis kontak alergi. Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong serius karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Steven-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolitic (TEN) adalah beberapa bentuk reaksi serius tersebut. Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), inisidensi erupsi obat alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara berkembang berkisar antara 1% 3%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi. Angka kematian tergantung pada penyebab eritroderma. Sigurdson (2004) melaporkan dari 102 penderita eritroderma terdapat 43% kematian, 18% disebabkan langsung oleh eritroderma dan 74% tidak berhubungan dengan eritroderma. Salah satu jenis dari erupsi alergi kulit adalah eritroderma.Eritoderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro (red = merah) + derma, dermatos (skin = kulit), merupakan keradangan kulit yang mengenai 90%atau lebih pada permukaan kulit yang biasanya disertai skuama. Pada beberapa kasus, skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena bercampur denganhiperpigmentasi (Grant-Kels et al., 2008). Nama lain penyakit ini adalah dermatitis eksfoliativa generalisata, meskipun sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kata eksfoliasi berdasarkan pengelupasan skuama yang terjadi, walaupun kadang-kadang tidak begitu terlihat, dan kata dermatitis digunakan berdasarkan terdapatnya reaksi eksematus. Eritroderma dapat timbul sebagai perluasan dari penyakit kulit yang telah ada sebelumnya (psoriasis, dermatitis atopik dan dermatosis spongiotik lainnya), reaksi hipersensitivitas obat (antiepilepsi, antihipertensi, antibiotika, calcium channel blocker, dan bahan topikal), penyakit sistemik termasuk keganasan, serta idiopatik (20%). Insiden eritroderma di Amerika Serikat bervariasi, antara 0,9 sampai 71,0 per 100.000 penderita rawat jalan dermatologi. Pada beberapa laporan kasus, didapatkan insiden pada laki-laki lebih besar daripada perempuan, dengan proporsi 2:1 sampai 4:1, dan usia ratarata 4161 tahun. Karena tingginya angka kejadian eritroderma, penulis merasa perlu melaporkan kasus eritroderma sebagai bahan informatif lanjutan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiEritoderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro (red = merah) + derma, dermatos (skin = kulit), merupakan keradangan kulit yang mengenai 90% atau lebih pada permukaan kulit yang biasanya disertai skuama. Pada beberapa kasus, skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena bercampur dengan hiperpigmentasi. Nama lain penyakit ini adalah dermatitis eksfoliativa generalisata, meskipun sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kata eksfoliasi berdasarkan pengelupasan skuama yang terjadi, walaupun kadang-kadang tidak begitu terlihat, dan kata dermatitis digunakan berdasarkan terdapatnya reaksi eksematus.

2.2 EtiologiBerdasarkan Fitzpatrick, eritroderma dibagi menjadi 4 kelompok yaitu sebagian besar kasus didahului oleh perluasan penyakit kulit (spongiotic dermatitis 2024%, atopik 9%, dermatitis kontak 6%, dermatitis seboroik 4%, dermatitis aktinik kronis 3%, dan psoriasis 23%), reaksi hipersensitivitas obat (15%), keganasan (Cutaneous T-Cell Lymphoma/CTCL - 16%) dan idiopatik (20%). Rook dan Wilkinson (1998) pada tabel klasifikasi menyebutkan penyebab tersering adalah tipe eksema dan variasinya (40%), psoriasis (25%), pemfigus foliaseus (0,5%), obat (10%), kelainan herediter (1%), CTCL dan leukemia (15%) dan idiopatik 8%. Beberapa hasil penelitian juga menyebutkan bahwa penyebab tersering adalah dermatitis seboroik (43,4%). Perbedaan etiologi dapat terjadi karena: (1) jumlah sampel berbeda; (2) eritroderma akut agak sulit untuk menentukan penyakit dasarnya, dan banyak kemiripan pada beberapa penyakit kulit, memungkinkan kesalahan dapat terjadi.

Tabel . Proses yang Berkaitan dengan Timbulnya Eritroderma

2.3 EpidemiologiInsiden eritroderma di Amerika Serikat bervariasi, antara 0,9 sampai 71,0 per 100.000 penderita rawat jalan dermatologi. Hasan dan Jansen (2006) memperkirakan insiden eritroderma sebesar 12 per 100.000 penderita. Sehgal dan Srivasta (1986) pada sebuah penelitian prospektif di India melaporkan 35 per 100.000 penderita eritroderma dirawat jalan dermatologi. Pada beberapa laporan kasus, didapatkan insiden pada laki-laki lebih besar daripada perempuan, dengan proporsi 2:1 sampai 4:1, dan usia rata-rata 4161 tahun. Angka kematian tergantung pada penyebab eritroderma. Dalam sebuah penelitian dilaporkan bahwa dari 102 penderita eritroderma terdapat 43% kematian, 18% disebabkan langsung oleh eritroderma dan 74% tidak berhubungan dengan eritroderma.

2.4 PatogenesisPada eritroderma terjadi peningkatan epidermal turnover rate, kecepatan mitosis dan jumlah sel kulit germinatif meningkat lebih tinggi dibanding normal. Selain itu, proses pematangan dan pelepasan sel melalui epidermis menurun yangmenyebabkan hilangnya sebagian besar material epidermis, yang secara klinis ditandai dengan skuama dan pengelupasan yang hebat. Patogenesis eritroderma masih menjadi perdebatan. Penelitian terbaru mengatakan bahwa hal ini merupakan proses sekunder dari interaksi kompleks antara molekul sitokin dan molekul adhesi seluler yaitu Interleukin (IL-1, IL-2, IL-8), molekul adhesi interselular 1 (ICAM-1), tumor nekrosis faktor, dan interferon-.

2.5 Manifestasi KlinisEritroderma secara klinis digambarkan dengan eritema luas, skuama, pruritus dan lesi primernya biasanya sulit ditentukan. Peradangan kulit yang begitu luas pada eritroderma merupakan salah satu penyakit yang dapat mengancam jiwa. Risiko ini semakin meningkat bila diderita oleh penderita dengan usia yang sangat muda atau pada usia lanjut. Pada pasien eritroderma, kita bisa menjupai adanya makula eritematus, skuama, gatal, alopesia, kulit ketat dan panas dan menggigil. Peningkatan suhu tubuh sering kali didapatkan pada kasus alergi obat serta psoriasis vulgaris yang meluas setelah penggunaan obat tertentu (penisilin, klorokuin). Kelainan kuku berupa pitting nail, subungual hiperkeratosis, serta dystrophic nail, oedema tungkai, limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, dan ginekomasti.

Gambar Eritroderna karena Alergi Obat (gambar kiri); Red Man Syndrom (gambar kanan)2.6 Penegakan DiagnosisDiagnosis eritroderma ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan histopatologi dapat membantumenentukan penyakit yang mendasarinya. Diagnosis yang akurat dari penyakit ini merupakan suatu proses yang sistematis di mana dibutuhkan pengamatan yang seksama, evaluasi serta pengetahuan tentang terminologi dermatologi, morfologi serta diagnosa banding.

2.6.1 AnamnesisData dasar (jumlah penderita, distribusi umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, riwayat penggunaan obat-obatan) perlu ditanyakan dalam anamnesis. Penyebab timbulnya eritroderma, keluhan, dan lama keluhan, perlu digali sebagai riwayat penyakit pasien, yang nantinya bertujuan memberikan informasi dalam mendiagnosis pasien.

2.6.2 Pemeriksaan FisikDalam pemeriksaan fisik perlu kita temukan apakah terdapat makula eritematus, skuama, gatal, alopesia, kulit ketat dan panas, menggigil, kelainan kuku, oedema tungkai, limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, dan ginekomasti.

2.6.3 Pemeriksaan PenunjangBeberapa pemeriksaan yang dapat menunjang penegakan diagnosis eritroderma yakni, pemeriksaan darah, pemeriksaan urin, dan pemeriksaan histopatologi anatomi. Dehidrasi dapat menyebabkan konsentrasi elektrolit serum menjadi abnormal. Eosinofil dapat ditemukan pada darah tepi. Eosinofilia tidak termasuk temuan laboratorium yang spesifik, meskipun adanya peningkatan jumlah eosinofil menunjukkan kemungkinan Hodgkins lymphoma ataupun Drug eruption. Gambaran histopatologi biasanya 5070% hanya menunjukkan proses keradangan non spesifik sub akut atau kronis dan hanya 1020% memberikan gambaran yang sesuai dengan penyebab yang mendasari terjadinya eritroderma. Gambaran histopatologi tergantung dari keparahan dan lamanya proses penyakit terjadi. Secara umum, pada kasus awal pemeriksaan histopatologi ditemukan spongiosis, akantosis, rete redge yang memanjang, hiperkeratosis, infiltrasi sel radang non spesifik, kadang-kadang terdapat epidermis yang menipis. Temuan ini sering mengaburkan gambaran histologik dari penyakit yang mendasarinya.. Kultur bakteri dari kulit penderita sebagian besar tidak dilakukan, dan antibiotika diberikan berdasarkan penyebab infeksi sekunder tersering pada kulit. Beberapa literatur menyatakan bahwa pemeriksaan kultur pada kulit bertujuan untuk menyingkirkan infeksi sekunder yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, dan kultur darah untuk menyingkirkan sepsis.

2.7 Diagnosis BandingAda beberapa diagnosis banding dari eritroderma:1. Dermatitis AtopiDermatitis atopi adalah peradangan kulit kronis, yang terjadi di lapisan epidermis, dan dermis, sering dengan riwayat atopik pada keluarga asma bronkial, rinitis alergi, dan konjungtivitis. Atopik terjadi pada 15-25% populasi, berkembang dari satu menjadi banyak kelainan dan memproduksi sirkulasi antibodi IgE yang tinggi, lebih banyak karena alergi inhalasi. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang mungkin terjadi pada usia berapapun, tetapi biasanya timbul sebelum usia 5 tahun. Biasanya, ada tiga tahap: balita, anak-anak, dan dewasa.Dermatitis atopi merupakan salah satu penyebab eritroderma pada orang dewasa dimana didapatkan gambaran klinisnya lesi pra existing, pruritus yang parah, likenifikasi, dan prurigo nodularis, sedangkan pada gambaran histologi didapatkan akantosis ringan, spongiosis variabel, dermal eosinofil, dan parakeratosis. 2. PsoriasisEritroderma psoriasis dapat disebabkan oleh karena pengobatan topikal yang terlalu kuat, atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Ketika psoriasis berubah menjadi eritroderma, biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi dan mengilang, karena plak-plak psoriasis menyatu, eritema, dan skuama tebal universal. Psoriasis mungkin menjadi eritroderma dalam proses yang berlangsung lambat, bahkan mungkin berlangsung sangat cepat. Hal tersebut dikarenakan faktor genetik yang juga ikut menentukan. Bila orang tua tidak mendapat psoriasis, maka risiko mendapat psoriasis 12%, sedangkan jika salah satu keluarganya menderita psoriasis, maka risiko psoriasis 34-39%. Psoriasis ditandai dengan adanya bercak-bercak, eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis, dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin. 3. Dermatitis SeboroikDermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang kronis, yang ditandai dengan plak eritema yang sering terdapat pada daerah tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, alis, lipatan nasolabial, belakang telinga, cuping hidung, ketiak, dada, dan antara skapula. Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua umur, dan meningkat pada usia 40 tahun. Biasanya lebih berat terjadi pada laki-laki dari pada perempuan, serta lebih sering terjadi pada orang yang sering memakan lemak dan minum alkohol.Biasanya kulit penderita nampak berminyak, dengan kuman Pityrosporum ovale yang hidup komensal di kulit berkembang lebih subur. Pada kepala tampak eritema dan skuama halus sampai kasar (ketombe). Kulit tampak berminyak dan menghasilkan skuama yang berminyak pula. Penderita akan mengeluh rasa gatal yang hebat. Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat, seperti pada psoriasis. Hal ini dapat diterangkan mengapa terapi sitostatika dapat memperbaikinya. Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya dermatitis seboroik dapat disebabkan oleh karena faktor kelelahan, stress emosional, infeksi, atau defisiensi imun.

2.8 TatalaksanaPada beberapa penderita, eritroderma dapat ditoleransi dan berada pada kondisi yang kronik. Penderita eritroderma disarankan rawat inap agar dapat diperiksa lebih teliti untuk menegakkan diagnosis, terapi intensif dan pengawasan ketat terhadap kelainan yang terjadi, serta menegakkan diagnosis kerja, karena beberapa penyakit dapat menjadi penyebab sehingga sulit untuk menentukan penyebab yang pasti. Terapi eritroderma diberikan berdasarkan penyebab atau penyakit yang mendasarinya, dengan memperhatikan juga keadaan umum eperti keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, memperbaiki hipoalbumin dan anemia, serta pengendalian infeksi sekunder. Secara umum penatalaksanaan eritroderma adalah mempertahankan kelembaban kulit, menghindari menggaruk pada kulit dan menghindari faktor pencetus. Monitor ketat intake cairan, karena pasien dapat mengalami dehidrasi atau gagal jantung, serta monitor suhu tubuh untuk menghindari pasien jatuh dalam kondisi hipotermi. Hentikan pemberian obat yang tidak perlu. Pemberian steroid sistemik sebaiknya dihindari sebisa mungkin, karena efek dari retensi cairan, timbulnya sekunder infeksi, diabetes, dan lain-lain, tetapi pada kasus berat dan menetap dapat dipertimbangkan untuk diberikan. Berdasarkan kepustakaan, inflamasi pada kulit harus segera diterapi misalnya dengan menggunakan cream pelembab/emolien ataupun steroid topikal dengan potensi rendahTerdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa penggunaan steroid sistemik maupun steroid topikal poten pada psoriatic erythroderma dapat mencetuskan terbentuknya pustul, untuk itu dapat dipertimbangkan penggunaan metotreksat dosis rendah, acitretin, ataupun siklosporin. Pada penderita eritroderma dengan penyakit dasar psoriasis tidak diberikan terapi deksametason, dapat dipertimbangkan pemberian metotreksat. Antibiotika sistemik dapat diberikan jika terdapat tanda-tanda infeksi sekunder. Antihistamin dapat juga diberikan untuk mengurangi pruritus dan memberi efek sedasi, sehingga pasien dapat tidur nyenyak di malam hari dan mengurangi ekskoriasi akibat garukan. Proses penyakit menyebabkan peningkatan basal metabolisme rate tubuh dan katabolisme protein, sehingga kondisi malnutrisi dapat memperburuk keadaan klinis, terutama pada penderita dengan hipoalbumin dan usia tua.2.9 Pencegahan2.10 KomplikasiEritroderma merupakan penyakit yang serius dan dapat berakibat fatal bila tidak segera diterapi. Angka kematian pada penderita eritroderma berkisar 1864%. Sekitar 1820% kematian disebabkan faktor yang tidak ada hubungan dengan eritroderma. Gangguan metabolik dapat menyebabkan hipotermia, dekompensasi kordis, kegagalan sirkulasi perifer, dan tromboflebitis. Gagal jantung, infeksi saluran nafas (pneumonia) dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), serta sepsis merupakan penyebab kematian tersering.2.11 PrognosisEritroderma bukan merupakan kasus yang sering ditemukan, namun masalah yang ditimbulkannya cukup parah dan sering kali para dokter ahli penyakit kulit dan kelamin mengalami kesulitan dalam penatalaksanaannya. Diagnosis yang ditegakkan lebih awal, cepat dan akurat serta penatalaksanaan yang tepat sangat memengaruhi prognosis penderita.Penderita yang belum sembuh kemungkinan disebabkan ketidakseragaman dalam pemberian dosis dan lamanya terapi, kurang patuhnya penderita dalam pengobatan, penyakit yang mendasari, dan status imun penderita. Secara umum, prognosis baik pada pasien yang disebabkan oleh reaksi obat, setelah obat penyebab dihindari dan penderita diberikan edukasi. Penderita dengan eritroderma idiopatik prognosisnya buruk, sering kambuh atau kronis dengan gejala komplikasi pemakaian steroid jangka panjang. Pada penderita dengan keganasan tergantung pada proses yang terjadi dan komplikasinya

BAB IIIREFLEKSI KASUS

3.1 Identitas PasienNama: Ny. SUsia:45 tahunJenis Kelamin:PerempuanStatus: MenikahAlamat: Kebonsari III, JemberPekerjaan: Ibu Rumah Tangga

3.2Anamnesis3.2.1Keluhan UtamaKulit mengelupas di seluruh tubuh sejak 3bulan yang lalu.

3.2.2Riwayat Penyakit SekarangPasien mengeluhkan muncul bercak merah yang disertai rasa gatal dan kulit mengelupas di seluruh tubuh sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya muncul bercak-bercak kemerahan diseluruh tubuh dari ujung kepala sampai ke ujung kaki yang disertai rasa yang sangat gatal. Setelah beberapa hari kemudian sekitar 1-2 minggu, bercak dan bintil kemerahan yang hampir diseluruh tubuh tersebut menebal, lalu seperti kulit yang terkelupas. Pasien menggaruk-garuk karena tidakdapat menahan rasa gatal tersebut, sampai timbul luka lecet di daerah tangan dan kaki pasien. Kemudian dari luka tersebut mencul nanah dan mengeluarkan bau tidak sedap. Menurut pasien awal munculnya keluhan-keluhan tersebut diawali setelah pasien meminum obat yang diberikan oleh dokter setelah pasien meminum obat yang diberikan oleh dokter setelah pasien menjalani operasi kista di rumah sakit.Menurut pasien setelah meminum obat tersebut selama seminggu, namun tidak ada perubahan. Pasien juga sempat berobat ke salah satu klinik di dekat rumahnya dan mendapat obat minum, namun keluhan gatal tersebuthanya berkurang sedikit dan keluhan di kulitnya masih sama. Sehingga akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke RSD dr. Soebandi Jember.

3.2.3 Riwayat Penyakit DahuluPasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Kista Ovari (2 tahun). Riwayat penyakit hati, ginjal, jantung, diabetes melitus disangkal oleh pasien.

3.2.4 Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada keluarga yang mempunyai penyakit yang sama

3.2.5 Riwayat PengobatanPasien minum Cefixim 1 x1, levofloxacin 1 x 1, dan salep kulit antigatal

3.2.6 Riwayat alergi : Alergi makanan dan obat-obatan disangkal

3.2.7 Riwayat atopi :Bersin pagi hari ataupun karena debu disangkal, Riwayat asma disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik KeadaanUmum: BaikKesadaran: Compos mentisVital Sign: TD: 130/80 mmHgNadi: 72 x/menittRR: 20 x/menitSuhu: 36,8 oCKepala- Bentuk: Bulat - lonjong, simetris- Rambut: Hitam, lurus- Mata: Konjungtivaanemis: -/- Skleraikterus: -/- Eksoftalmus: -/- Reflekscahaya: +/+ Ptosis: -/-- Hidung: Sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-)- Telinga: Sekret (-), bau (-), perdarahan (-)- Mulut: Sianonis (-), bau (-)Leher- KGB: Tidak ada pembesaran- Tiroid: Tidak ada pembesaran- JVP: Tidak meningkatThoraks:Cor: I: Ictus cordis tidak tampakP: Ictus codis tidak teraba P: Batas jantung dbn A: S1S2 tunggal, gallop -, murmur -Pulmo:I: Simetris, tidak ada retraksiP: Fremitus raba normal P: Sonor A: Vesikuler: +/+, Ronkhi:-/-, Wheezing : -/-Abdomen:I: Flat A: Bising usus (+) normal P: Timpani P: Soepel, tidak ada nyeri tekanEkstremitas: Akral hangat pada seluruh ekstremitas dan tidak didapatkan edem pada seluruh ekstremitas

3.4 Status DermatologiDidapatkan lokasi lesi yang menyeluruh/generalisata, dan pada inspeksi ditemukan patch eritema disertai skuama multiple kasar dan berbatas tegas, berwarna putih dan erosi.

3.5 ResumeWanita 45 tahun datang dengan keluhan muncul bercak merah yang gatal dan kulit mengelupas di seluruh tubuh sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya muncul bercak-bercak kemerahan diseluruh tubuh dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, gatal (+).1-2 minggu kemudian, bercak dan bintil kemerahan yang hampir diseluruh tubuh tersebut menebal, lalu seperti kulit yang terkelupas. Pasien menggaruk-garuk sampai timbul luka lecet di daerah tangan dan kaki pasien. Kemudian dari luka tersebut mencul nanah dan mengeluarkan bau tidak sedap. Keluhan muncul setelah minum antibiotik cefixim diminum 10 hari lalu, dan levofloxacin diminum 5 hari lalu, serta salep anti gatal. Sehingga akhirnya keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke RSD dr. Soebandi Jember. Pemeriksaan fisik didapatkan TTV baik, demam (-). Status dermatologis didapatkan lokasi lesi yang menyeluruh/generalisata, dan pada inspeksi ditemukan patch eritema disertai skuama multiple kasar dan berbatas tegas, berwarna putih dan erosi.

3.6 Diagnosis BandingEritrodermaDermatitis atopiSteven Johnson Syndrom

3.7 DiagnosisEritroderma e.c Drug Eruption3.8 Tatalaksana Inf RL 20 tpm Inj. Metilprednisolon 62,5mg/12 jam Cetirizin 3x 10 mg tab Ciproflocaxin 3 x500 mg tab Ranitidin 2x150 mg tab Diet TKTPEdukasi Tidak menggaruk daerah yang gatal Jaga kelembapan kulit Istirahat yang cukup Makan makanan yang bergizi

3.9 PrognosisAd Bonam

BAB IVPENUTUP

Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan eritema di seluruh/ hampir seluruh tubuh, dan biasanya disertai skuama. Kelainan ini lebih banyak didapatkan pada pria, terutama pada usia rata-rata 40-60 tahun. Penyebab tersering eritroderma adalah akibat perluasan penyakit kulit sebelumnya, reaksi obat, alergi obat, dan akibat penyakit sistemik termasuk keganasan.Gambaran klinis eritroderma berupa eritema dan skuama yang bersifat generalisata. Penatalaksanaan eritroderma, yakni dengan pemberian emolien, serta pemberian cairan dan perawatan di ruangan yang hangat. Prognosis eritroderma yang disebabkan obat-obatan relatif lebih baik, sedangkan eritroderma yang disebabkan oleh penyakit idiopatik, dermatitis dapat berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dan cenderung untuk kambuh.

DAFTAR PUSTAKA

1) Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. 2008. Exfoliative dermatitis. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York : McGraw-Hill Book Co. pp.2) Djuanda A. 2005. Dermatosis eritroskuamosa. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp.189-190,197-200.3) Hasan T and Jansen CT. 2006. Erythroderma: a follow-up of fifty cases. Journal of the American Academy of Dermatology. 8 : 836840.4) Schgal VN and Srivastava G. 2005. Exfoliative dermatitis: A prospective study of 80 patients. Dermatologica. 173: 278284.5) Wasitaatmadja SM. 2005. Anatomi kulit. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp.6) Nanda Earlia, Firdausi Nurharini, Andri Catur Jatmiko, dan Evy Ervianti. 2009. Penderita Eritroderma Di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit Dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 20052007. Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo. Surabaya: Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin: Vol. 21 No. 2 Agustus.7) Wolf, Klaus et al. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine-Seventh Edition. New York: Medicine.8) Lusiani ST. 2014. A 47 Years Old Woman With Eritroderma Ec. Drug Allergy. Faculty Of Medicine, Lampung University. J Medula Unila: Volume 3 Nomor 2.

14