lapsus bp

Upload: deekn

Post on 08-Mar-2016

230 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bp

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Wajah merupakan kawasan motorik nervus Facialis yang sangat penting dan memberikan kekhasan tersendiri bagi yang melihatnya. Suatu kelainan yang terjadi di sepanjang perjalanan nervus Facialis menyebabkan gangguan terhadap otot yang dipersarafi, baik yang bersifat parese ataupun paralisis tergantung tingkat dan beratnya lesi.

Bells palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang terjadi tiba tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell, meskipun masih banyak kontrovensi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia. Insiden bells palsy tampak cukup tinggi pada orang orang keturunan Jepang, dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien pasien dengan bells palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi bells palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15 45 tahun. Bells palsy lebih jarang pada orang orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia diatas 60 tahun.

Pada sebagian besar penderita bells palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan bells palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetik, dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik, antara lain asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasalahan fungsional berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara, dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat membuat individu tidak percaya diri.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari bells palsy?2. Bagaimana struktur anatomi dan fisiologis dari N. VII?

3. Apa saja etiologi dari bells palsy?

4. Bagaimana patofisiologi dari bells palsy?

5. Bagaimana manifestasi klinis dari bells palsy?

6. Bagaimana penegakan diagnosa dari bells palsy?

7. Bagaimana penatalaksanaan pada bells palsy?

8. Bagaimana prognosis dari bells palsy?

1.3 Tujuan1. Mengetahui definisi dari bells palsy.

2. Mengetahui struktur anatomi dan fisiologis dari N. VII.

3. Mengetahui etiologi dari bells palsy.

4. Mengetahui patofisiologi dari bells palsy.

5. Mengetahui manifestasi klinis dari bells palsy.

6. Mengetahui penegakan diagnosa dari bells palsy7. Mengetahui penatalaksanaan pada bells palsy.

8. Mengetahui prognosis dari bells palsy.

1.4 Manfaat

Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana mendiagnosis, faktor yang mempengaruhi dan penatalaksanaan awal yang sebaik mungkin untuk kasus bells palsy.

BAB II

STATUS PENDERITA

2.1IdentitasNama

: Ny. RUmur

: 57 tahun

Jenis Kelamin: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Ds. Pojok, Kec. Garum, Blitar2.2 AnamnesisA. Keluhan Utama: wajah sebelah kiri terasa tebalB. Riwayat Penyakit SekarangPasien datang ke Poli Rehabilitasi Medik RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar dengan keluhan wajah sebelah kiri terasa tebal sejak 10 hari yang lalu. Pasien mengaku tidak mengetahui penyebabnya. Pasien juga menegeluhkan kelopak ata kirinya tidak dapat menutup dengan sempurna dan keluar air mata terus-menerus. Bibir mencong ke sebelah kiri dan sulit menutup rapat terutama saat digunakan untuk minum namun bicara tidak terdapat gangguan. Tidak terdapat gangguan pendengaran, nyeri telinga, nyeri tulang belakang telinga ataupun gangguan pengecapan. Riwayat demam sebelum mulut mencong tidak ada. Riwayat trauma pada kepala dan kelumpuhan anggota gerak tidak ditemukan.C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat Hipertensi: (+) terkontrol

Riwayat Hiperkolesterolemia : (+) terkontrol

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat Jantung

: disangkal2.3 Pemeriksaan FisikA. Keadaan Umum: baik, compos mentis, gizi cukup

B. Tanda Vital

Tensi: 130/80 mmHg

RR : 20 x/menit

Nadi: 90 x/menit

Suhu: 36,7 0C

C. Mata

: Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

D. Leher

: JVP tidak meningkat, limfonodi tidak membesar.

E. Thorax

: retraksi (-).

Jantung

Inspeksi

: dbn

Palpasi

: dbn

Perkusi

: dbn

Auskultasi: dbn

Paru

Suara dasar vesikuler (+/+)

Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

F. Abdomen

Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

G. Ekstremitas

edema-/-

akral hangat +/+

H. Manual Muscle Testing (MMT)MuskulusDekstraSinistra

Frontalis (mengerutkan dahi)53

Orbicularis Oculi (menutup mata)52

Lorrogator supercili (mendekatkan alis)53

Nasalis (menangkat hidung)52

Zigomaticus Mayor (tersenyum)52

Orbicularis Oris (mecucu, bersiul)52

Mentalis (mengangkat dagu)53

I. Pemeriksaan Neurologis

Fungsi Luhur

: dbn

Fungsi sensorik: dbnFungsi otonom:

-miksi

: baik

-defekasi

: baik

-sekresi keringat: baik

Sistem reflexa. Fisiologis

Kanan KirikananKiri

Kornea++Biseps++++

Berbangkistriseps++++

LaringKPR++++

MasseterAPR++++

b. Patologis

LenganKananKiriTungkaiKananKiri

Hofmann-Tromner--Babinski--

Chaddoks--

Oppenheim--

Gordon--

Schaeffer--

Klonus paha--

Klonos kaki--

Fungsi motorik :

Kekuatan

55

55

Tonus

NN

NN

2.4. DiagnosisBell's Palsy sinistra2.5. PenatalaksanaanA. Terapi Farmakologi1. Prednisone 3x20 mg2. Vitamin B kompleks 3x1 tab

B. Terapi Non Farmakologi1. Senam wajah dan massage wajah teratur2. Kompres air hangat3. Memakai kacamata4. Menutup mata dengan kain yang lembab dan bersih saat tidur5. KIE agar:

Pasien jangan terlalu sering memakai kipas angin/AC

Sebaiknya tidak bepergian pada saat angin kencang atau cuaca dingin

Pakai helm dengan pelindung wajah apabila hendak bepergian jauh dengan menggunakan kendaraan motor

6. Terapi diathermi 2.6 PrognosisAd vitam: dubia ad bonam

Ad sanam: dubia ad bonam

Ad fungsionam: dubia ad bonamBAB IIIPEMBAHASAN3.1 Definisi

Bells palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis atau kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.3.2 Struktur Anatomi

Daerah wajah umumnya dipersarafi oleh nervus facialis (N.VII) dan nervus trigeminus (N.V). Kedua nervus ini termasuk kedalam nervus cranialis, dimana nervus cranialis merupakan sistem saraf tepi yang terdiri dari 12 pasang saraf cranial, yaitu:

1. Nervus Olfactorius (N.I)

2. Nervus Opticus (N.II)

3. Nervus Occulomotorius (N.III)

4. Nervus Trochlearis (N.IV)

5. Nervus Trigeminus (N.V)

6. Nervus Abducens (N.VI)

7. Nervus Facialis (N.VII)

8. Nervus Vestibulocochlearis (N.VIII)

9. Nervus Glossopharyngeus (N.IX)

10. Nervus Vagus (N.X)

11. Nervus Acessorius (N.XI)

12. Nervus Hypoglossus (N.XII)

Dalam laporan ini akan di bahas tentang nervus facialis. Nervus facialis mengandung 4 macam serabut, yaitu:1. Serabut somato motorik, yang mempersarafi otot-otot wajah (kecuali M. Levator palpebrae yang dipersarafi oleh N.III), otot platysma, stylohyoid, digastricus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.

2. Serabut viscero motorik (parasimpatis) yang datang dari nucleus salivatorius superior. Serabut ini mempersarafi glandula dan mukosa pharynx, palatum, rongga hidung, sinus parasanal dan glandula submaxilaris serta sublingual dan lacrimalis.

3. Serabut visero sensorik yang menghantarkan impuls dari alat pengecap di 2/3 bagian depan lidah.

4. Serabut somato sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus. Daerah overlapping (dipersarafi oleh lebih dari 1 saraf sehingga tumpang tindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna dan bagian luar gendang telinga.

Secara anatomis, bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering disebut dengan saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Ada pakar yang menganggapnya sebagai saraf yang terpisah, namun umumnya saraf intermedius ini dianggap bagian dari saraf facialis. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf facialis di canal facialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantarkan melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi eksteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatumm dan berakhir pada akar desendens serta inti akar desendens dari saraf trigeminus (N.V). Hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.

Inti motorik nervus facialis (N.VII) terletak di pons. Serabutnya mengitari inti nervus VI, dan keluar di bagian lateral pons. Nervus intermedius keluar di permukaaan lateral pons, diantara nervus VII dan VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII kemudian memasuki meatus akustikus internus. Disini nervus facialis bersatu dengan nervus intemedius dan menjadi satu berkas saraf yang bejalan dalam kanalis facialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Nervus facialis keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stylomastoideus, dan bercabang untuk mempersarafi otot-otot wajah.Bagian inti motorik yang mempersarafi wajah bagian bawah mendapat persarafan dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mempersarafi wajah bagian atas mendapat persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral). Otot-otot yang dipersarafi oleh nervus VII adalah:

Gambar 3.1 Skema Muskulus Fasialis

1. M. Frontalis

Fungsi : Mengangkat alis mata dan mengerutkan dahi

2. M. Orbicularis oculiFungsi : Menutup mata

3. M. Orbicularis orisFungsi : Mengucupkan mulut kedepan seperti bersiul

4. M. Procerus

Fungsi : Menarik sudut medialalis mata ke arah bawah

5. M. Nasalis

Fungsi : Melebarkan lubang hidung6. M. Corrugator SuperciliiFungsi : Menarik alis mata ketengah dan menurun sehingga membentuk lipatan atau kerutan diantara kedua alis mata

7. M. Zygomaticum

Fungsi : Menarik sudut mulut ke atas dan belakang dengan tidak memperlihatkan gigi. 8. M. Risorius

Fungsi : Menarik sudut mulut kelateral kea rah belakang (ekspresi meringis)

9. M. Buccinator

Fungsi : Menekan pipi kedalam mendekati gigi 10. M. Depresor Labii InferiorFungsi : menonjolkan bibir ke arah bawah dan belakang (ekspresi mencibir)

11. M. Mentalis

Fungsi : Menaikkan kulit dagu sementara menguncupkan bibir bawah

12. M. Depresor Anguli Oris

Fungsi : Menarik sudut mulut kebawah secara kuat

Gambar 3.2 Skema Nervus Fasialis

3.3 Etiologi

Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bells palsy, tetapi ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu :1. Teori Iskemik vaskuler

Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.

2. Teori infeksi virus

Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV(khususnya tipe 1).

3. Teori herediter

Bells palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.

4. Teori imunologi

Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.3.4 Patofisiologi

Pada Bells Palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, disekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi unilateral. Patofisiologinya belum jelas, namun salah satu teori menyebutkan terjadi proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demielinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulber ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atan megemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu, nervus fasialis bisa sembab dan membuat terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu paralisis nervus fasialis akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian lidah depan). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Gambar 3.3 Lesi Sentral dan Lesi Perifer Nervus Fasialis

Kelumpuhan pada bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memenjam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmus, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideus sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensarafi muskulus stapedius.3.5 Manifestasi Klinik

Adapun gejala terjadinya kelumpuhan otot-otot wajah (Bells Palsy / Facial Paralysis) :

1. Ada kerusakan pada foramen stylomastoideus dibagian distal

2. Mata dapat dibuka tetapi tidak dapat ditutup sempurna akibat kelumpuhan dari M. Orbicularis Oculi, sehingga dapat timbul conjungtivitis, karena reflex mata hilang, akhirnya mudah kemasukan benda.

3. Sudut mata pada satu sisi akan jatuh, sehingga tidak dapat menarik sudut mulutnya pada saat tersenyum.

4. Makanan terkumpul antara gigi dan pipi saat mengunyah karena paralysis M. Buccinafor, dimana penderita tidak dapat bersiul dan juga berkumur.

5. Tidak dapat menyebutkan huruf L, M, N.

6. Tidak dapat mengerutkan dahi secara vertikal.

7. Lipatan hidung lebih dangkal (pesek sebelah)

8. Gangguan pengecapan 2/3 bagian anterior dari lidah.

9. Penderita sensitif terhadap pendengaran

Tanda-tanda Bells Palsy adalah terjadi asimetri pada wajah, rasa baal/ kebas diwajah, air mata tidak dapat dikontrol dan sudut mata turun. Selain itu, tanda lainnya adalah kehilangan refleks konjungtiva, sehingga tidak dapat menutup mata, rasa sakit pada telinga terutama dibawah telinga, tidak tahan suara keras pada sisi yang terkena, sudut mulut turun, sulit untuk berbicara, ait menetes saat minum atau setelah membersihkan gigi dan kehilangan rasa dibagian depan lidah.Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut :

a. Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih berada disebelah dalam dan sebelah luar foramen tersebut. Mulut turun dan mencong ke sisi yang sehat sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya daripada posisi yang sehat, maka penderitanya tidak dapat bersiul, mengedip dan menutupkan matanya. Lakrimalis yang berlebihan akan terjadi jika mata tidak terlindungi / tidak bisa menutup mata sehingga pada mata akan lebih mudah mendapat iritasi berupa angin, debu dan sebagainya, selain itu pula lakrimalis yang berlebihan ini terjadi karena proses regenerasi dan mengalirnya axon dari kelenjar liur ke kelenjar air mata pada waktu makanb. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (di dalam kanalis fasialis).Seluruh gejala di atas terdapat, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan dua pertiga depan lidah berkurangnya salivasi yang terkena.

c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.Gejala tanda klinik seperti pada (a) dan (b) ditambah adanya hiperakusis.

d. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum.

Gejala tanda klinik seperti pada (a), (b), dan (c) ditambah onsetnya seringkali akut dengan rasa nyeri di belakang dan didalam telinga. Herpes Zoster pada tympanium dan concha dapat mendahului keadaan timbul parese nervus fasilais. Sindrome Ramsay Hunt merupakan Bells yang disertai herpes Zoster pada ganglion geniculatum, lesi-lesi herpetik terlihat pada membrana tympani, canalis auditorium eksterna, dan pada pinna.

e. Lesi di dalam Meatus Auditorius InternusGejala - gejala Bells Palsy di atas ditambah ketulian akibat terkenanya nervus VIII.

f. Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari PonsLesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak akar nervus fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis. Lesi pada daerah tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus rectus lateralis atau gerakan melirik kearah lesi.g. Gangguan gerakan pada otot wajah yang sering dijumpai ialah gerakan involunter yang dinamakan tic fasialis atau spasmus klonik fasialis. Sebab dan mekanisme sebenarnya belum diketahui yang dianggap sebagai sebabnya adalah suatu rangsangan iritatif di ganglion feniculatum. Namun demikian gerakan - gerakan otot wajah involunter bisa bangkit juga sebagai suatu pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut muka terangkat dan kelompok mata memejam secara berlebihan.

Gambar 3.4 Gambaran Klinis Bells Palsy3.6 Penegakan DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik, dalam hal ini yaitu pemeriksaan neurologis.

A. Anamnesis :1. Wajah perot pada satu sisi2. Mata kering3. Kelopak mata tidak bisa menutup sempurna (lagoftalmus)4. Air mata berkurang

5. Gangguan pengecapan6. Tidak dapat bersiul atau meniup

7. Nyeri telinga8. Hiperakusis

9. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan.

10. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

B. Pemeriksaan :1. Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N.VII tipe perifer. 2. Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal : a) Mengerutkan dahi

b) Memejamkan mata

c) Mengembangkan cuping hidung

d) Tersenyum

e) Bersiul

f) Mengencangkan kedua bibir

3. Memakai SKALA UGO FISCH untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita Bells palsy.SKALA UGO FISCHDinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi :

PosisiNilaiPersentase (%)

0, 30, 70, 100Skor

Istirahat20

Mengerutkan dahi10

Menutup mata30

Tersenyum30

Bersiul10

Total

Penilaian persentase :

0 %: asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter

30 %: simetris, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris komplit daripada simetris normal.

70 % : simetris, fair/cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normal

100%: simetris, normal/komplit

C. Diagnosis Klinis : Ditegakkan dengan adanya paresis N.VII perifer dan bukan sentral. Umumnya unilateral

Pada kasus, didapatkan keluhan wajah sebelah kiri perot dan lemah. Pasien merasakan bahwa sekitar kelopak mata terasa tebal. Mata sebelah kiri tidka bisa menutup sempurna. Pasien mengeluhkan juga lidah terasa tebal. Pada pemeriksaan fisik yaitu pada pemeriksaan manual muscle test dimana pada muskulus pada wajah sebelah kiri didapatkan penurunan dalam sistem skoring. Berbeda pada wajah sebelah kanan dimana nilainya 5 yang menandakan tidak adanya kelemahan.D. Diagnosa TopikLetak LesiKelainan motorikGangguan pengecapanGangguan pendengaranHiposekresi salivaHiposekresi lakrimalis

Pons-meatus akustikus internus+++ tuli/hiperakusis++

Meatus akustikus internus-ganglion genikulatum+++

Hiperakusis++

Ganglion genikulatum-N. Stapedius+++

Hiperakusis+-

N.stapedius-chorda tympani++++-

Chorda tympani++-+-

Infra chorda tympani-sekitar foramen stilomastoideus+----

E. Diagnosa etiologi : Sampai saat ini etiologi Bells palsy yang jelas tidak diketahui.F. Pemeriksaan LaboratoriumTidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis bells palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal. G. Pemeriksaan Radiologi

Bila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan diagnosa bells palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasien pasien dengan bells palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8 10 minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun perburukan pencitraan mungkin akan membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan tumor (misalnya schwanoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT scan harus dilakukan.

3.7 Penatalaksanaana. Agen antiviral

Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan efektivitas obat obat antivirus pada bells palsy, hampir semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus di sekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen agen antivirus pada penatalaksanaan bells palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksanaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiaanya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan bells palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.

b. Kortikosteroid

Pengobatan bells palsy dengan menggunakan steroid masih merupakan suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada bells palsy. Para peneliti cenderung memilih steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40 60 mg/hari oral atau 1 mg/ kgBB/ selama 3 hari, diturunkan perlahan lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberianya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien. c. Rehabilitasi Medik

Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial.

Tujuan rehabilitasi medik adalah :

1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin

2. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin

3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan apa yang tertinggal.

Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik.

Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bells palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak berperan.

A. Program Fisioterapi1. Pemanasan

a) Pemanasan superfisial dengan infrared.

b) Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy

2. Stimulasi listrik

Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.

3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh).

Gambar 3.5 Facial Exercise

Gambar 3.6 Latihan untuk Menutup Kelopak Mata

Massage adalah manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bells palsy diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.

B. Program Terapi OkupasiPada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.

C. Program Sosial MedikPenderita Bells palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.

D. Program Psikologik Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.E. Program Ortotik Prostetik Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan Y plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.

HOME PROGRAME1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah yang sehat

3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet

4. Perawatan mata :

Beri obat tetes mata (golongan artifisial tears) 3x sehari

Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari

Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

3.8 Prognosis

Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis bells palsy adalah:

a. usia diatas 60 tahun

b. paralisis komplit

c. menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.

d. nyeri pada belakang telinga

e. berkurangnya air mata

Pada umumnya prognosis bells palsy baik, sekitar 80 90% penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15% antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, dan spasme hemifasial. Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh. Hanya 23% kasus bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15% penderita. Sekitar 30% penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis. BAB IVPENUTUP

Pada kasus ini, Ny. R (57 tahun) berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik didiagnosa dengan Bells palsy dan mendapat terapi berupa edukasi, terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus fasialis perifer. Penyebab bells palsy adalah idiopatik namun diduga karena edema dan iskemia akibat penekanan pada nervus fasialis.

Kelumpuhan perifer N. VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan lipatan di dahi akan menghilang dan tampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokasi kerusakan.

Pengobatan pasien dengan bells palsy adalah dengan kombinasi obat obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata dan latihan yang berkesinambungan. Prognosis pasien dengan bells palsy relatif baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

Perbedaan Parese N. VII Sentral dan N. VII PeriferInti nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi kelompok atas dan bawah. Inti bagian atas mensarafi otot wajah bagian atas dan inti bagian bawah mensarafi otot wajah bagianbawah.Intinervusfasialisbagianbawahmendapatinnervasikontralateraldari korteks somatomotorik dan inti nervus fasialis bagian atas mendapat inervasi dari kedua belah korteks somatomotorik.Oleh karena itu,pada paresis nervus fasialis UMN(karena lesi dikorteks atau kapsula interna) otot wajah bagian bawah saja yang jelas paretik, sedangkan otot wajah atas tidak jelas lumpuh. Sebaliknya, pada kelumpuhan nervus fasialis LMN (karenalesi infranuklearis), baik otot wajah atasmaupun bawah, kedua-duanya jelas lumpuh

DAFTAR PUSTAKA

1. Kendall FP, Mc Creary EK. Muscle Testing and Function; 3th ed. Baltimore : William & Wilkins, 1983 : 235-48

2. Lumbantobing SM. Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, 2004 : 55-60

3. Maisel RH, Levine SC. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam : Adams dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC, 1997 : 139-52

4. Monnel, K. Zachariah, S. Khoromi, S. 2009. Bells Palsy. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1146903.Accesed june 10, 2012.5. Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the Cranial Nerves. In : Principles of Neurology. 5th ed. New York : Mc Graw Hill, 1994 : 1174-5

6. Reyes TM, Reyes OBL. Hydrotherapy, Massage, Manipulation and Traction. Volume 2 Philippines : U. S. T Printing Office, 1977 : 78-84, 2107. Rokhman, Reinhard. Facial Nerve Lession. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George Thieme Verlag: German, 2003. 98-99. 8. Ropper AH, Brown RH. Bells palsy disease of The Cranial Nerve. Adams and Victors Principles of Neurology, 8th ed. New York: McGraw Hill. 2005. 1181-1184.9. Rusk HA. Disease of the Cranial Nerves. In : Rehabilitation Medicine. 2nd ed. New York : Mc Graw Hill, 1971 : 429-31

10. Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81

11. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, 1985 : 311-17

12. Thamrinsyam. Beberapa Kontroversi Bells Palsy. Dalam : Thamrinsyam dkk. Bells Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991: 1-7

13. Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam : Thamrinsyam dkk. Bells Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991 : 31-49

14. Walton SJ. Disease of Nervous System, 9th ed. English : ELBS, 1985 :113-6.

23