laporan kasus bp
TRANSCRIPT
BAB I
PEMBAHASAN
IDENTITAS
Nama : An. B
Usia : 11 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Muara karang Timur Rt. 07 Rw. 16
Tanggal datang ke Puskesmas : 2 April 2012
ALLOANAMNESIS
Keluhan Utama :
Batuk sejak 2 hari sebelum datang ke puskesmas.
Keluhan Tambahan :
Batuk, pilek, sesak napas, muntah
Riwayat Penyakit Sekarang:
Ibu pasien mengeluh pasien batuk sejak 2 hari sebelum datang ke Puskesmas
Kecamatan Penjaringan. Batuk disertai dahak berwarna putih yang sulit untuk dikeluarkan.
Dahak dikeluarkan bersamaan dengan muntah. Batuk disertai pilek dan sesak napas. Pilek
dirasakan sejak 2 hari yang lalu, dengan cairan berwarna putih kental. Sesak napas juga
dirasakan bersamaan dengan batuk. Menurut ibu pasien, sesak napas dirasakan terutama pada
malam hari. Saat sesak napas, pasien menjadi rewel, gelisah dan tidak dapat tidur. Demam
disangkal. BAB dan BAK normal. Sejak sakit, pasien masih mau minum saat diberi ASI
Riwayat Penyakit Dahulu :
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien sebelumnya tidak pernah sakit seperti ini.
- Riwayat TB paru disangkal
- Riwayat Asma disangkal
- Riwayat DBD disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Sakit seperti ini di keluarga disangkal
- Riwayat TB Paru disangkal
- Riwayat Kejang demam disangkal
- Riwayat Asma disangkal
Riwayat Pengobatan :
1
- Orang tua pasien belum memberikan obat apapun untuk mengurangi batuk dan sesak
pada pasien
Riwayat Kehamilan Ibu :
- ANC teratur
- Riwayat penyakit saat hamil disangkal
- Konsumsi obat-obatan selama kehamilan disangkal
Kesan : Riwayat kehamilan normal
Riwayat Kelahiran :
- Lahir cukup bulan
- Lahir spontan di bantu oleh bidan
- Bayi langsung menangis
- BBL : 2900 gr
- PBL : 49 cm
Kesan : Riwayat Kelahiran normal
Riwayat Makanan
- Ibu pasien memberikan ASI Eksklusif pada pasien sampai usia 6 bulan
- Pasien diberikan makanan pendamping ASI tambahan sejak usia 7 bulan
- Saat ini pasien diberikan makanan nasi tim, yang dicampur dengan sayur dan lauk
Kesan : Kualitas : baik
Kuantitas :baik
Riwayat Imunisasi
- BCG : 1x
- Hepatitis B : 4x
- DPT : 3x
- Polio : 4x
- Campak : 1x
Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia
Riwayat tumbuh kembang :
- Tengkurap 3 bulan
- Duduk 5 bulan
- Merangkak 7 bulan
- Saat ini pasien sudah dapat merambat, namun belum bisa berjalan.
Kesan : Riwayat perkembangan dalam batas normal
Riwayat Psikososial
2
Pasien tinggal bersama dengan keluarga inti, ibu , ayah dan 1 orang kakak pasien.
Rumah tempat tinggal pasien dilengkapi oleh ventilasi rumah yang memadai. Ibu pasien
mengatakan bahwa saat siang dan malam, di rumah tinggal pasien selalu menggunakan kipas
angin dan orang tua pasien jarang membersihkan kipas tersebut. Di lingkungan tinggal pasien
terdapat tetangga yang sedang batuk dan pilek. Ayah pasien merokok, namun menurut ibu
pasien, ayah pasien tidak pernah merokok di depan pasien. Di dalam keluarga inti, tidak ada
yang sedang berobat untuk sakit tuberculosis
Riwayat Alergi :
- Alergi suhu disangkal
- Alergi Susu disangkal
- Alergi makanan disangkal
- Alergi obat disangkal
- Alergi debu disangkal
- Alergen lain disangkal
ANTROPOMETRI
BB : 8.8 kg
TB : 72 cm
Status Gizi : BB / U : 8.8 / 9.5 x 100 % = 93 % (gizi baik normal)
TB / U : 72 / 74 x 100% = 97 % (gizi baik normal)
BB/TB : 8.8 / 9 x 100 % = 98 % (gizi baik normal)
Kesan : Gizi baik normal
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda Vital :
- Suhu :36.8 oC
- TD : - mmHg ( tidak dilakukan)
- Nadi : 124 x/menit , Reguler, Isi cukup
- Pernapasan : 36 x/ menit
STATUS GENERALIS
3
Kepala : Bentuk : Normochepal, simetris
Ubun-ubun : Belum tertutup sempurna
Rambut hitam, distribusi bertambah
Mata : Sklera ikterik (-/-), Conjungtiva Anemis (-/-), Cekung (-/-), Reflek cahaya
(+/+)
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (+/+), mukosa merah (hiperemis) (+)
Mulut : Lidah kotor (-), stomatitis (-), Mukosa tonsil hiperemis (-)
Tonsil T1/T1
Telinga : Normotia, otore (-/-)
Leher : Tidak teraba adanya pembesaran KGB,
Tidak teraba adanya pembesaran tiroid
Thorax :
Jantung :
- Inspeksi :Ictus Cordis terlihat
- Palpasi : tidak dilakukan
- Perkusi : tidak dilakukan
- Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru :
- Inspeksi : Bentuk dada normal (simetris), pergerakan dinding dada simetris, retraksi
sela iga (-)
- Palpasi : pergerakan kedua dinding dada simetris
- Perkusi : tidak dilakukan
- Auskultasi : Bronchovesikuler di kedua lapang paru, ronchi basah halus (+/+) pada
basal paru, wheezing (-/-)
Abdomen :
- Inspeksi : Abdomen cembung
- Palpasi : nyeri epigastrium (-), turgor baik, hepar dan lien tidak teraba pembesaran
- Perkusi : timpani pada ke-empat kuadran abdomen
- Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas :
- Superior : Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-), sianosis (-)
- Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-), sianosis (-)
Inguinal : tidak teraba adanya pembesaran KGB pada kedua inguinal
Anus dan rectum : Diaper rash (-)
4
Genitalia : Normal
Pemeriksaan neurologis : Anak dapat bergerak dengan aktif, pergerakan simetris. Dan
mampu berbahasa dan mengerti perkataan lawan bicara.
RESUME
Anak 11 bulan, batuk sejak 2 hari sebelum datang ke PKC Penjaringan, rinorea (+),
dyspneu (+), vomitus (+), febris (-).
Pemeriksaan Fisik
Pernapasan : 36 x/menit
Suhu : 36.8 oC
Hidung : Sekret (+/+), Mukosa hiperemis (+/+)
Paru : Ronchi basah halus (+/+) pada basal paru
DAFTAR MASALAH
1. Bronchopneumonia
2. Rhinitis
ASSESMENT
1. Bronchopneumonia
Subjektif :
Anak 11 bulan, batuk sejak 2 hari sebelum datang ke PKC Penjaringan, dyspneu (+)
Objektif :
Pernapasan : 36 x/menit
Suhu : 36,8 oC
Paru : Ronchi basah halus (+/+) pada basal paru
DD / :
1. ISPA
2. TB Paru
Planning :
RDx :
Mantoux Test
RTh/ :
5
Non Medikamentosa :
- Edukasi
Memberikan edukasi kepada orang tua pasien mengenai cara mengurangi gejala
batuk dengan mengubah pola hidupnya, yakni dengan menjauhkan pasien dari
bahan yang dapat memperberat gejala batuk, diantaranya dengan tidak
menggunakan kipas angin, selama pasien masih sakit, jikapun menggunakan
kipas angin, kipas angin tidak di arahkan langsung ke pasien namun diarahkan
ke tembok. Kipas angin dibersihkan minimal 2 minggu 1 kali. Pasien dijauhkan
dari asap rokok. Dan ASI tetap diberikan selama pasien sakit.
Medikamentosa :
- Antibiotik
o Kotrimoksazol syrup 240 mg / 5 ml 2 dd 1 sdt
- Ekspectoran
o Glyceril Guaiacolatee 100 mg 3 dd ¼ tab
2. Rhinitis
Subjektif :
Anak 11 bulan, batuk sejak 2 hari sebelum datang ke PKC Penjaringan, rinorea (+),
Objektif :
Pernapasan : 36 x/menit
Suhu : 36.8 oC
Hidung : Sekret (+/+), Mukosa hiperemis (+/+)
DD/ :
1. Influenza
RTh/
Non-Medikamentosa
- Edukasi
Berikan informasi dan anjuran kepada orang tua pasien untuk menghindarkan
pasien dari debu dan asap yang dapat memicu timbulnya rhinitis.
Medikamentosa
- Paracetamol syrup 250 mg/5ml 3 x ½ sdt
- Pseudoefedrine 30 mg 3 x ¼ tab
BAB II
6
TINJAUAN PUSTAKA
BRONCHOPNEUMONIA
2.1. Latar Belakang
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak
di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia di bawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di
seluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia,
sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional
(SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh
penyakit sistem respiratori terutama pneumonia.
Faktor Resiko
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah pneumonia
yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi,
tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens
kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi
industri atau asap rokok)
2.2. Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain
(aspirasi, radiasi, dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan
penting adalah penyebab dari pneumonia (virus atau bakteri). Pneumonia seringkali
dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri.
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia viral.
Demikian pula pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata.
Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat,
batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan
radiologis.
Pada bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur
pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah
7
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, streptokokus
grup B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Walaupun pneumonia viral dapat
ditatalaksana tanpa antibiotik, tapi umumnya sebagian besar pasien diberi antibiotik karena
infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan.
Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri.
Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri-
bakteri ini umumnya responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik beta-laktam. Di lain
pihak, terdapat pneumonia yang tidak responsif dengan antibiotik beta-laktam dan dikenal
sebagai pneumonia atipik. Pneumonia atipik terutama disebabkan oleh Mycoplasma
pneumonia dan Chlamydia pneumoniae.
Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu : 1)
pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia), bila infeksinya terjadi di
masyarakat, dan 2) pneumonia-RS atau pneumonia nosokomial (hospital-acquired
pneumonia), bila infeksinya didapat di RS. Pneumonia yang didapat di RS sering merupakan
infeksi sekunder pada berbagai penyakit dasar yang sudah ada, sehingga spektrum
etiologinya berbeda dengan infeksi yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, gejala klinis,
derajat beratnya penyakit, dan komplikasi yang timbul lebih kompleks. Pneumonia yang
didapat di RS memerlukan penanganan khusus sesuai dengan penyakit dasarnya.
2.3. Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia pada anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan
strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil
berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
meliputi Streptococcus group B dan bakteri gram negatif seperti E.colli,Pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan
oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, di samping
bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian pada pneumonia
anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan
bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV),
8
Rhinovirus, dan virus Parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus
peneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak
berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak daripada anak
berusia di bawah 2 tahun.
Di negara maju, pelayanan kesehatan dan akses ke pelayanan kesehaatan sangat baik.
Vaksinasi dengan vaksin konyugat Hib dan vaksin konyugat Pneumokokus telah mempunyai
cakupan yang luas.
2.4. Patologi dan Patogenesis
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi
dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya
kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi febrin
semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis
yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya jumlah makrofag
meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris
menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru
yang tidak terkena akan tetap normal.
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit,
sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri
tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri
lain. Infeksi Streptococcus pneumonia biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak
konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau
remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau
abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi
kecil, karena Staphylococcus aureusmenghasilkan berbagai toksindan enzim seperti
hemolisisn , lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan
nekrosis, perdarahan, dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan
menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi
eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman.
Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang
serius. Pneumokokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak
memerlukan terapi lebih lanjut.
9
2.5. Klasifikasi Pneumonia
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromise
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca
infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia.
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan
sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda
asing atau proses keganasan.
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan
paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan
orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
c. Pneumonia interstisial
2.6. Manifestasi Klinis
Beberapa faktor yang mempengaruhi yang mempengaruhi gambaran klinis
pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab
yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya
penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non infeksi yang relatif lebih sering, faktor
patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang
10
menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam
tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pada pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan. Keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare, kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas
melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia
lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak
ditemukan kelainan.
Pneumonia pada Neonatus dan Bayi Kecil
Pneumonia pada neonatus sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak
berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber
infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, atau dari serviks ibu.
Infeksi dapat berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS (hospital acquired
pneumonia, misalnya dari perawat, dokter, atau pasien lain; atau dari alat kedokteran,
misalnya penggunaan ventilator. Di samping itu, infeksi dapat terjadi akibat kontaminasi
dengan sumber infeksi dari masyarakat (community- acquired pneumonia).
Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau
minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada bayi BBLR sering
terjadi hipotermi. Gambaran klinis tersebut sulit dibedakan dengan sepsis atau meningitis.
Sepsis pada pneumonia neonatus dan bayi kecil sering ditemukan sebelum 48 jam pertama.
Angka mortalitas sangat tinggi di negara maju, yaitu dilaporkan 20-50%. Angka kematian di
Indonesia dan negara berkembang lainnya diduga lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap
kemungkinan adanya pneumonia pada neonatus dan bayi kecil berusia di bawah 2 bulan
harus segera dibawa ke RS.
Pneumonia pada Balita dan Anak yang Lebih Besar
Spektrum etiologi pneumonia pada anak meliputi Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae tipe B, Staphylococcus aureus, Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae, di samping berbagai virus respiratori. Pada anak yang lebih besar
11
dan remaja, Mycoplasma pneumoniae merupakan etiologi pneumonia atipik yang cukup
signifikan.
Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-
kadang keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis, ditemukan gejala
respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrawing), napas cuping hidung, ronki,
dan sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media,
faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat
alveoler. Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila
terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi.
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN.
Leukopenia (<5.000/mm3) menujukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat
(>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada
keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tingggi. Pada infeksi Chlamydia
pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofilia.
C-Reactive Protein (CRP)
C-Reactive Protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respons infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara tepat distimulasi oleh
sitokin, terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi
pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme
atau sel yang rusak.
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi superfisialis dan
profunda daripada infeksi bakteri profunda.
Uji Serologis
Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi
Streptococcus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
12
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. peningkatan titer dapat juga berarti adanya
infeksi terdahulu. Untuk dikonfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen
(paired sera).
Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi
bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi infeksi bakteri atipik seperti Mikoplasma dan
Klamidia, serta beberapa virus seperti RSV, Sitomegalo, campak, Parainfluenza 1,2,3
Influenza A dan B, dan Adeno, peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi
diagnosis.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan,
kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik,
spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi
pleura, atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan darah, cairan
pleura, atau aspirasi paru. Kecuali pada masa neonatus, kejadian bakteremia sangat rendah
sehingga kultur darah jarang yang positif. Pada pneumonia anak dilaporkan hanya 10-30%
ditemukan bakteri pada kultur darah. Pada anak besar dan remaja, spesimen untuk
pemeriksaan mikrobiologik dapat berasal dari sputum, baik untuk pewarnaan Gram maupun
untuk kultur. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih dari 25
leukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapangan pada pemeriksaan mikroskopis dengan
pembesaran kecil. Spesimen dari nasofaring untuk kultur maupun untuk deteksi antigen
bakteri kurang bermanfaat karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri di nasofaring.
Kultur darah jarang positif pada infeksi Mikoplasma dan Klamidia, oleh karena itu
tidak rutin dianjurkan. Pemeriksaan PCR memerlukan laboratorium yang canggih; di
samping tidak selalu teresedia, hasil PCR positif pun tidak selalu menunjukkan diagnosis
pasti.
Pemeriksaan rontgen Toraks
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada
pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-kadang bercak-bercak
sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi,
resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang.
Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau
untuk tindak lanjut.
13
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia di
Instalasi Gawat Darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP, Lynch dkk
mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto rontgen toraks
AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distres pernapasan
seperti takipnea, batuk, dan ronki, dengan atau tanpa suara napas yang melemah.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :
Infiltrat interstitial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial
cuffing, dan hiperaerasi.
Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat
mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi tunggal
yang biasanya cukup besar , berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan
menyerupai lesi tumorparu, dikenal sebagai round pneumonia.
Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial.
Pada penelitian ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru
kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah,
maka hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko
terjadinya pleuritis lebih meningkat.
2.8. Diagnosis
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-
kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
14
Penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium
penunjang yag memadai. Oleh karena itu, pneumonia pada anak umumnya didiagnosis
berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta
gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan
lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea, batuk, napas cuping hidung,
retraksi, ronki, dan suara napas lemah.
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam
upaya penanggulanganya, WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang
sederhana. Pedoman ini terutama ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan Primer, dan sebagai
pendidikan kesehata utuk masyarakat di Negara berkembang. Tujuannya adalah
meyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dapat langsung dideteksi;
menetapka klasifikasi penyakit, dan menentukan dasar pemakaian atibiotik. Gejala klinis
sederhana tersebut meliputi naps cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak
segera dirujuk ke pelayanan kesehatan. Napas cepat dinilai dengan menghitung frekuensi
napas selama satu menit penuh ketika bayi dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan
melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas (retraksi
epigastrium). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah tidak dapat minum,
kejang, kesadara menurun, stridor, dan gizi buruk; tanda bahaya untuk bayi berusia di bawah
2 bulan adalah malas minum, kejag, kesadaran menurun, stridor, megi, dan demam/badan
terasa dingin.
Berikut ini adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut :
Bayi dan anak berusia 2 bulan-5 tahun
Pneumonia berat
- bila ada sesak napas
- harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
- bila tidak ada sesak napas
- ada napas cepat dengan laju napas :
>50x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun
>40x/menit untuk anak > 1-5 tahun
- tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral.
Bukan Pneumonia
- bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
15
- tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis
seperti peurun panas.
2.9. Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat-ringanya peyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau
makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbagkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotic
yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbagan asam basa, elektrolit, dan gula darah.
Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak
terbukti efektif. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi yang
terjadi harus dipantau dan diatasi.
Penggunaan antibiotic yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.
Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga
disebabkan oleh bakteri.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak
tersedia uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotic dipilih berdasarkan pengalaman
empiris. Umumya pemilihan antibiotic empiris didasarkan pada kemungkinan etiologi
penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan kliis pasien serta factor
epidemiologis.
a. Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotic lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat
diberikan antibiotic tuggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Penelitian multisenter
di Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia rawat jalan, pemberian amoksisilin dan
kotrimoksazol dua kali sehari mempuyai efektivitas yang sama. Dosis amoksisilin yag
diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP-20
mg/kgBB sulfametoksaziol.
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi
alternatif beta-laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya
aktivitas ganda terhadap S. Pneumoniae dan bakteri atipik.
16
b. Pneumonia Rawat Inap
Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan golongan antibiotik dengan beta-
laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta-laktam dan
kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin,
sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10
hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol
mengenai lama terapi antibiotik yang optimal.
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera
mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis,
antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta-
laktam/klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan
sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah
antibiotik beta laktam dengan atau atanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan
beta-laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid bari intravena, atau sefalosporin
generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti
dengan antibiotik oral dan berobat jalan.
Pada pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan antibiotik beta-
laktam, ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan kloramfenikol. Feyzullah
dkk. melaporkan hasil perbandingan pemberian antibiotik pada anak dengan pneumonia
berat berusia 2-24 bulan. Antibiotik yang dibandingkan adalah gabungan penisilin G
intravena (25.000 U/kgBB setiap 4 jam) dan kloramfenikol (15 mg/kgBB setiap 6 jam),
dan seftriakson intravena (50 mg/kg BB setiap 12 jam). Keduanya diberikan selama 10
hari, dan ternyata memiliki efektivitas yang sama.
Akan tetapi, banyak peneliti melaporkan resitensi Streptococcus pneumoniae dan
Hemopilus influenzae –mikroorganisme paling penting penyebab pneumonia pada anak-
terhadap kloramfenikol.
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme
dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum
pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
17
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
Marolid baru dosis tinggi
Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
Aminoglikosid
Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
Tikarsilin, Piperasilin
Karbapenem : Meropenem, Imipenem
Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
Vankomisin
Teikoplanin
Linezolid
Hemophilus influenzae
TMP-SMZ
Azitromisin
Sefalosporin gen. 2 atau 3
Fluorokuinolon respirasi
Legionella
Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
Doksisikin
18
Makrolid
Fluorokuinolon
Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,
pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis
merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri.
Ilten F dkk, melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel
kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada
seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan
yang fatal, maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti
EKG, ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim.
BAB III
PENUTUP
19
4.1. Kesimpulan
Dari hasil diskusi pengamatan dan pembelajaran yang saya lakukan terhadap pasien
ini, dapat disimpulkan bahwa, pada pasien didapatkan batuk yang kemungkinan diakibatkan
oleh penyakit bronkopneumonia, yang disebabkan oleh kuman pada saluran pernapasan. Pada
pasien perlu dilakukan adanya observasi untuk melihat derajat dari bronkopneumonia
tersebut.
4.2. Saran
Dalam pembelajaran melalui diskuai ini, perlu adanya pendalaman materi, agar pada
tindak lanjut pada kenyataannya kita dapat menangani kasus dengan sebaik-baiknya, agar
menghindari dari komplikasi lebih lanjut.
20