laporan tutorial hematologi

41
28 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah-Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan menyusun laporan hasil diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya. Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Ni Kadek Wilmayani sebagai tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi ini. Kami juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut berpartisipasi dan membantu kami dalam proses tutorial ini. Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-kekurangan yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Upload: gekwahyu

Post on 28-Dec-2015

114 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

laporan tutorial blok hematologi

TRANSCRIPT

Page 1: laporan tutorial hematologi

28

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkah-Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan

menyusun laporan hasil diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya.

Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Ni Kadek

Wilmayani sebagai tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan

diskusi ini. Kami juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut

berpartisipasi dan membantu kami dalam proses tutorial ini.

Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-

kekurangan yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena

kurangnya pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik

dan saran yang bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat

menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Mataram, 17 Mei 2013

Penyusun

Page 2: laporan tutorial hematologi

28

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………. 1

Daftar Isi ……………………………………………………………………….. 2

BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………….... 3

1.1. Skenario………………………………………………………………... 3

1.2. Learning Objective (LO)……………..…………………………. ……. 3

1.3. Mind Map……………………………………………………………… 4

BAB II : PEMBAHASAN ………….………………………………………….. 5

BAB III : PENUTUP ……………………………………………………………27

Kesimpulan…………………………………………………………………..27

Daftar Pustaka…………………………………………………………………... 28

Page 3: laporan tutorial hematologi

28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. SKENARIO 4

Seorang wanita 34 tahun datang ke praktek dokter umum dengan keluhan lemas

tidak bertenaga. Ia merasakan ini sejak beberapa bulan terakhir dan tak kunjung

hilang walaupun ia sering mengkonsumsi vitamin yang dibelinya di apotek. Selain

itu ia juga mengeluh mudah lelah walaupun melakukan pekerjaan ringan dan

sering mengalami nyeri di persendiannya. Nafsu makannya juga menurun serta ia

sering mengalami demam. Namun dengan obat penurun panas, demamnya

mereda. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, terdapat ruam di

pipi kanan. Pasien mengaku tidak pernah menderita penyakit ini sebelumnya, dan

mengatakan pernah berobat beberapa kali ke dokter yang berbeda. Pada

pemeriksaan pertama ia didiagnosis mengalami radang sendi, namun beberapa

hari yang lalu oleh dokter yang berbeda ia didiagnosis mengalami anemia. Dokter

kemudian menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium, dari

pemeriksaan hematologi didapatkan hasil Hb. 7,2 gr/dl; Leukosit 3.200 sel/ mm3;

trombosit 90.000/ mm3 pada urinalisa didapatkan proteinuria +2, lainnya dalam

batas normal.

1.2. LEARNING OBJECTIVES

1. Systemic Lupus Erithematosus (epidemiologi, patofisiologi, faktor resiko,

manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis)

2. Diagnosis banding (patofisiologi, manifestasi klinis)

3. Analisis skenario

Page 4: laporan tutorial hematologi

28

1.3. MIND MAP

Wanita, 34 tahun

Diagnosis Banding

Konsumsi vitamin tidak membaik

Dokter Umum

Px Fisik tambahan

KU : Lemas Bertenaga

RPS : Mudah lelah, nyeri perendian, nafsu makan menurun, demam

RPD : (-)

Anamnesis Lanjutan

Px Hemato: Hb. 7,2 gr/dl; Leukosit 3.200 sel/ mm3 ; trombosit 90.000/ mm3 ;

urinalisa proteinuria +2

Riwayat berobat dengan diagnosis berbeda

Px penunjang

Penegakan Diagnosis

Px Fisik : konjungtiva anemis, terdapat ruam di pipi kanan

SLE

Diagnosis Kerja

Page 5: laporan tutorial hematologi

28

BAB II

PEMBAHASAN

1.4. SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE)

1.1.1. Etiologi

Etiologi SLE masih belum diketahui, namun kemungkinan SLE

merupakan interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan

lingkungan (sinar UV, obat), yang berakibat pada terbentuknya limfosit T

dan limfosit B autoreaktif yang persisten.

1.1.2. Epidemiologi

Insidensi SLE lebih sering terjadi pada perempuan dengan usia

sesudah pubertas dan sebelum menopause. Perbandingan jumlah

perempuan dan laki-laki SLE antara 5-10:1. SLE lebih sering terjadi di

Amerika, Afrika, dan orang-orang keturunan China dan Jepang. Prevalensi

SLE di Amerika adalah 1:1.000 dengan rasio gender wanita dan laki-laki

antara 9-14:1. Data Tahun 2002 di Jakarta didapatkan 1,4% kasus SLE.

Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup wilayah Indonesia,

namun insidensi SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang. Mortalitas

akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.

Page 6: laporan tutorial hematologi

28

1.1.3. Patofisiologi

SLE adalah interaksi antara faktor genetik dan lingkungan yang

menghasilkan suatu respon imun yang abnormal. Beberapa mekanisme

yang mendasari SLE adalah:

Aktivasi inatte imunity oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun atau

RNA pada self-antigen

Menurunkan threshold respon imun adaptif oleh sel T dan sel B

Regulasi dan inhibisi sel T CD4+ dan CD8+ yang tidak efektif/aktif

Penurunan bersihan dari sel yang diappoptosis atau kompleks imun,

sehingga mengendap dijaringan dalam jangka waktu yang lebih lama.

SLE terkait dengan mutasi/kelainan pada gen penyandi antibodi

sehingga menyebabkannya mampu menghasilkan autoantibodi. Sedangkan

efek lingkungan lebih berperan kepada eksaserbasi penyakit sehingga

memunculkan manifestasi klinik.

Page 7: laporan tutorial hematologi

28

Sel-sel yang terpapar lingkungan akan menyebabkan apoptosis sel

yang selanjutnya akan merangsang inflamasi yang nantinya dapat

mengaktifasi respon imun non-spesifik maupun spesifik. Aktivasi sel T

nantinya akan membentuk suatu autoantibodi. Atau rangsang luar

menyebabkan sel target mengekspresikan self-antigen yang dikenali sel

APC sebagai non-self sehingga mengaktivasi sel T autoreaktif dan

mengaktivasi kaskade autoimun. Pada tahap akhir, autoantibodi yang

terbentuk akan berikatan dengan self-antigen yang akan membentuk suatu

kompleks antigen-antibodi. Kompleks antigen-antobodi ini akan bertahan

lebih lama (karena penurunan clearance) sehingga terakumulasi dijaringan

membentuk suatu deposit yang dapat memunculkan gejala SLE tergantung

organ tempat deposit.

Pada penderita yang secara genetik menunjukkan predisposisi untuk

SLE dapat dijumpai gangguan sistem regulasi sel T dan fungsi sel B, yang

dapat diinduksi berbagai hal, seperti sinar UV (radiasi matahari), infeksi

mikroba, obat-obatan dll. Manifestasi awal yang menetap adalah anergi

terhadap antigen umum. Diduga hal ini muncul karena adanya limfosit T

yang memiliki kepekaan terhadap infeksi oportunistik dan defisiensi

limfosit T penekan. Karena tidak adanya sel T penekan, terjadi hiperaktif

sel B sehingga produksi antibodi berlebihan melalui pembentukan BCGF

dan BCDF. Hiperaktifitas sel B dapat menjelaskan hipergamaglobinemia

pada darah tepi. Tapi, hal ini saja belum cukup untuk menjelaskan

manifestasi SLE. Pembentukan ANA atau anti-DNA juga membutuhkan

adanya kelainan gen yang menyebabkan sistem imun responsif terhadap

self-sntigen. Pembentukan ANA pada SLE ini kemudian akan berikatan

dengan self-antigen membentuk kompleks imun yang dapat mengaktifasi

komplemen yang berakibat kerusakan jaringan.

Hal-hal yang dapat menyulut gangguan pengendalian respons imun

pada penderita SLE contohnya adalah paparan sinar UV yang dapat

mempengaruhi sel Langerhans untuk memproduksi IL-1 yang merangsang

Page 8: laporan tutorial hematologi

28

sel T CD4+ sehingga terjadi respon imun selular spontan pada daerah

tersebut. Infeksi juga dapat menyulut respon imun karena mampu

merangsang aktivasi makrofag dan monosit, serta penggunaan obat yang

dapat mengikat DNS misalnya isoniazid.

Page 9: laporan tutorial hematologi

28

1.1.4. Manifestasi Klinis

Hampir semua SLE mempunyai nyeri sendi. Sendi yang sering terkena

adalah jari-jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Gejala umum

lainnya termasuk gelisah, malaise, rambut rontok, sensitifitas terhadap sinar

matahari, dan ruam kulit yang tampak seperti kupu-kupu (butterfly rash)

pada pipi dan jembatan hidung. Jika sistem saraf yang terkena maka

Page 10: laporan tutorial hematologi

28

gejalanya adalah sakit kepala, kelainan kognitif, psikosis, resiko stroke,

kejang dan permasalahan pada penglihatan. Jika saluran pencernaan yang

terkena maka gejalanya nyeri perut, mual dan muntah. Jika pada jantung

dapat terjadi gejala aritmia. Sedangkan jika ginjal yang terkena maka dapat

terjadi proteinuria, hematuria.

1.1.1. Penegakan Diagnosis

Sejak pasien dengan SLE dapat memiliki berbagai gejala dan berbagai

kombinasi organ keterlibatan, tidak ada satu ujian yang menetapkan

diagnosis lupus sistemik. Untuk menegakkan diagnosis SLE hendaknya

dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang diagnosis yang

cermat sebab manifestasi SLE sangat luas, dan seringkali mirip dengan

penyakit lainnya. Untuk membantu dokter meningkatkan ketepatan

diagnosis dari SLE, 11 kriteria ditetapkan oleh American Association

rematik. Bila seseorang memiliki empat atau lebih kriteria ini, diagnosis

dari SLE sangat disarankan.

11 kriteria yang digunakan untuk diagnosis sistemik lupus

erythematosus (SLE) adalah :

Malar (melalui pipi dari wajah) "butterfly rash”,

Cakram ruam kulit (kemerahan dengan patchy hyperpigmentation dan

hypopigmentation yang dapat menyebabkan scarring ),

Photosensitivity (ruam kulit dalam reaksi sinar matahari [ultraungu

cahaya] eksposur),

Selaput lendir ulcer (ulcers spontan dari lapisan dari mulut, hidung

atau tenggorokan),

Arthritis (dua atau lebih bengkak, tender kaki dari sendi),

Page 11: laporan tutorial hematologi

28

Birsam atau pericarditis (peradangan pada lapisan jaringan di sekitar

jantung atau paru-paru, biasanya dikaitkan dengan rasa sakit pada dada

bernapas atau perubahan posisi tubuh),

Ginjal abnormalities (abnormal jumlah urin protein atau rumpun dari

unsur selular disebut memuntahkan detectable dengan urinalisis),

Otak iritasi (manifestasi oleh serangan [ kejang ] dan / atau kejiwaan),

Darah-count abnormalities (rendah dianggap putih atau sel darah

merah, atau platelets, pada tes darah rutin),

Immunologic disorder (abnormal kekebalan termasuk anti-tes DNA

atau anti-Sm [Smith] antibodies, positif palsu untuk tes darah sipilis ,

anticardiolipin antibodies, lupus anticoagulant, atau test prep LE

positif), dan

Antinuclear antibodi (positif ANA tes antibodi [antinuclear antibodies

dalam darah]).

Di samping 11 kriteria, tes lainnya dapat membantu dalam

mengevaluasi pasien dengan SLE untuk menentukan kerasnya organ

keterlibatan. Ini termasuk pengujian rutin dari darah untuk mendeteksi

peradangan (misalnya, tes disebut sedimentasi menilai dan C-reaktif

protein), chemistry-tes darah, langsung analisis internal cairan tubuh, dan

jaringan biopsies. Abnormalitas dalam cairan tubuh dan jaringan sampel

(ginjal, kulit, dan syaraf biopsies) selanjutnya dapat mendukung diagnosis

dari SLE.

Page 12: laporan tutorial hematologi

28

1.1.2. Penatalaksanaan

Karena sistemik, maka penyakit ini mempunyai manifestasi yang

sangat luas meliputi muskuloskeletal, kulit, ginjal, saluran cerna, hati dan

limpa, kelenjar getah bening, kelenjar parotis, dll. Oleh sebab itu terapi

yang diberikan juga sangat kompleks meliputi NSAID, kortikosteroid,

imunosupresan, antimalaria, alternatif lain seperti antibodi monoklonal,

anti-DNA, intravena gamaglobulin, dan lain-lain.

1.1.2.1. Pengobatan SLE

Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala

penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan,

memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien,

memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit,

serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek

samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi

dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang

dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang

muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi

farmakologi.

 

1.1.2.1.1. Terapi Non-Farmakologi

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah

sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan

hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya

menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga

merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE.

Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE. Tetapi

penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung

vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi

sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan

menurunkan kadar antibodi anti-DNA. Penggunaan sunblock (SPF

Page 13: laporan tutorial hematologi

28

15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE 

sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang

terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah.

Selain itu, perlu juga terapi edukasi untuk penderita SLE,

butir-butirnya ialah sebagai berikut :

Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.

Tipe dari masing-masing penyakit lupus dan perangai dari

masing-masing tipe tersebut.

Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama

yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis,

istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mangatasi infeksi

secepatnya, maupun pemakaian kontrasepsi.

Pengenalan masalah aspek psikologis : bagaimana pemahaman

diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma

psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan

pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.

Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian.

Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini,

adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam

pemasyarakatan SLE.

1.1.2.1.2. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan

sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE

tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya  pasien menderita

SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.

1.1.1.1.1.1. NSAID

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan 

termasuk salisilat dan NSAID yang lain. NSAID memiliki efek

antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik. NSAID dapat dibedakan

menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.

Page 14: laporan tutorial hematologi

28

Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2

serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat

rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon,

serta tumor necrosing factor (TNF) sedangkan  COX-1 merupakan

enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi

prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan

hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel

endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal. Efek

samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, 

nefrotoksik,  kulit  kemerahan,  dan  alergi lainnya. Celecoxib

merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas

seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung

dan perdarahan menurun hingga 50%.

Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi

pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan

biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai

2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang

digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih

NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan

lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah

meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak

direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat

digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria 

tergantung dari manifestasi yang muncul.

Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk

pengobatan demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang

digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (60–80

mg sehari selama kehamilan minggu ke-13–26) yang

dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE

yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi

melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian aspirin

Page 15: laporan tutorial hematologi

28

dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar,

atau susu untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna.

Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar 80-100% dari

dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi

metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan

luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang

lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 – 20 menit. Apirin

diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1%

dari dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis

melalui urin

NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID

dapat menghambat prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang

merupakan vasodilator kuat yang disintesa di dalam medula dan

glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta

ekskresi garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis

prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan

aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat

menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia. Oleh karena itu

penggunaan NSAID sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga

lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat merusak mukosa

gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan

sintesa prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara

langsung.  Dengan menghambat prostaglandin, NSAID merusak

barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam

lambung dan menyebabkan ulserasi. Karena efek samping tersebut di

atas maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat

gastroprotektif.           

1.1.2.1.2.1. Antimalaria

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau

sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak

menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme

Page 16: laporan tutorial hematologi

28

aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom

sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA,

mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi

prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta

pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal

terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit

pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik

maka dosis diturunkan menjadi 50%  selama beberapa bulan 

sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan

sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria

dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien

kambuh setelah 3 tahun penghentian obat.                     

Obat malaria yang sering digunakan adalah :

1. Klorokuin

Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga

tidak dianjurkan pemberian secara parenteral untuk anak-anak. Dosis

yang digunakan 150 mg  (250 mg klorokuin fosfat) per hari. Efek

samping yang terjadi meliputi ocular toksisitas (keratopati dan

retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll. Sebaiknya

diberikan bersama dengan makanan karena bioavailabilitasnya bagus

(absorpsi meningkat). Secara luas didistribusikan di seluruh tubuh,

mengikat sel-sel yang mengandung melanin yang terdapat dalam

kulit dan mata, 50% – 65% terikat dengan protein plasma. Diekskresi

secara lambat di ginjal dan yang tidak terabsorpsi diekskresi dalam

feses. 

2. Hidroksiklorokuin

Dosis yang digunakan 155 – 310 mg (200 – 400 mg

hidroksiklorokuin sulfat). Efek samping yang terjadi sama dengan

klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi. Didistribusikan ke

dalam air susu ibu (ASI).

Page 17: laporan tutorial hematologi

28

3. Kortikosteroid

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak

memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID

atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien

yang mengalami  lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau

subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal

atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja

sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang

mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak

terbentuk mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien,

prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat

melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan

meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang

bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek

imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu

siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari

makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan

sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme,

dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan

aktivator plasminogen. Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE

adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala,

memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan

memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE

umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6

hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan

menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian

jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon

dalam bentuk intravena  (10 – 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit).

Terapi ini diikuti dengan pemberian  prednison secara oral selama

beberapa minggu.

Page 18: laporan tutorial hematologi

28

Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien

menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun

pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum

kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik

pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid. Kadar

komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam  1

sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis,

abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan

respon dalam  5 sampai  19 hari.

Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason

karena waktu paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan

diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai

maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala

yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit

terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah

menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2

minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-

day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang

perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan  tapering  dosis 

prednison  20 mg  per hari atau kurang dan penggantian menjadi

alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi

kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-

pituitari-adrenal (HPA).

Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar 

(contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat

dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau

hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar

selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan

untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi

lebih efektif untuk mengontrol gejala.

Page 19: laporan tutorial hematologi

28

Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan

diabetes melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring

terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan

obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga

dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan

salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga

terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena

kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan

peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil

dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada

pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan

suplemen kalsium dan vitamin D.

4. Siklofosfamid

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang  berat dan

merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja

dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi

dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang

menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan

dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan

penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga

mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi

sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya

neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara

rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu

diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute

pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi

remisi penyakit.

Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA,

serum kreatinin dan meningkatkan  kadar komplemen (C3) sehingga

dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang

dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis

Page 20: laporan tutorial hematologi

28

yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari

penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.

Obat ini mengalami absorpsi sebesar 74 ± 22% dari dosis oral.

Siklofosfamid dimetabolisme oleh hepatic microsomal mixed-

function oxidase menjadi bahan yang  aktif.  Obat   ini mempunyai

ikatan  dengan  protein  plasma sebesar 13%, sedangkan

metabolitnya 50%. Eliminasi melalui ginjal untuk obat dalam bentuk

utuh sebesar 6,5 ± 4,3% dan 60% dalam bentuk metabolit (t1/2  7,4 ±

4 jam). Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah

mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah

dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian

jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita

yang produktif dan penurunan produksi sperma.

1.4.1. Prognosis

Dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang mutakhir maka 80-

90% pasien dapat mencapai harapan hidup 10 tahun dengan kualitas hidup

yang hampir normal. SLE ada dua yaitu mild dan yang merusak fungsi

organ tubuh.

Pasien yang tidak bereaksi dengan terapi standar akan cepat

menyebabkan kegagalan organ dan meninggal. Banyak pasien dalam

keadaan remisi dengan sedikt atau tidak ada masalah dan relaps, ketika

inflamasi aktif dan menyebabkan kemerahan (ruam). Keselamatan dari SLE

meningkat dari 40% tahun 1950an jadi 90% dalam 10 tahun. Ini disebabkan

diagnostik dini, pengobatan lebih awal, meningkatkan terapi. Banyak

pasien remisi dan tidak memerlukan pengobatan. Pada suatu studi 667

pasien, diperkirakan 25% mencapai remisi terakhir pada tahun terakhir.

Remisi juga terlihat pada orang yang mengalami penyakit ginjal parah.

Orang hamil juga bisa melahirkan bayi normal jika tidak ada penyakit

ginjal parah dan penyakit jantung.

Page 21: laporan tutorial hematologi

28

Rehabilitasi Pada Pasien SLE

Terapi fisik untuk menurunkan rasa sakit, kejang, inflamasi, dan

meningkatkan pergerakan sendi.

Latihan aerob

Latihan isometrik

Latihan isotonik

Latihan kekuatan

Latihan pernafasan

Terapi bekerja

Terapi bicara

Terapi rekreasi

1.2. DIAGNOSIS BANDING

1.4.2. Atritis Reumatoid

1.2.1.1. Patogenesis

Reaksi autoimun dalam jaringan sinovial akibat faktor genetik,

yang melakukan proses fagositosis menyerang sinovium menghasilkan

enzim – enzim dalam sendi untuk memecah kolagen sehingga terjadi

edema proliferasi membran sinovial yang mengakibatkan adanya

pelepasan kolagenesa dan produksi lisozim oleh fagosit yang

mengakibatkan terjadinya erosi sendi dan periartikularis tekanan sendi

distensi serta putusnya kapsula & ligamentum. Kemudian terjadi

pembengkakan, kekakuan pergelangan tangan & sendi jari tangan dan

akhirnya membentuk pannus. Pannus tersebut akan menghancurkan

tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang sehingga akan berakibat

menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi.

PathwayBakteri, mikroplasma, virus

Page 22: laporan tutorial hematologi

28

1.2.1.2. Manifestasi Klinis

Menginfeksi sendi

Proses fagositosis menyerang sinovium

Edema proliferasi membran sinovial

Produksi lisozimPelepasan kolagenesa

Cemas

Terjadi proses autoimundalam jaringan sinovial

Faktor genetik

Terjadi erosi sendi dan periartikularis Tekanan sendiDistensi Putusnya kapsula & ligamentum

Pembengkakan Gejala-Gejala Konstitusional

Kekakuan di pagi hari Deformitas

Membentuk pannus

Menghancurkan tulang rawan

Menghilangkan permukaan sendiyang mengganggu gerak sendi

1.Gangguan rasa nyaman

2.Gangguan mobilitas fisik 4.Gangguan

perawatan diri

3.Gangguan citra tubuh

Situasi berubah 5.Kurang informasi

Page 23: laporan tutorial hematologi

28

Manifestasi klinis yang timbul sesuai dengan tahapan dan keparahan

dari penyakit AR itu sendiri. Nyeri sendi, bengkak, hangat, eritema,

dan kurang berfungsi adalah gambaran klinis yang klasik. Seringkali

dapat diaspirasi cairan dari sendi yang mengalami pembengkakan.

Artritis sering diawali dengan timbulnya rasa sakit serta lemah pada

sendi tangan dan pinggang. Juga disertai bengkak dan kadang terjadi

peradangan, tetapi sering tiba-tiba hilang.

Pola karakteristik dari persendian yang terkena :

- Mulai pada persendian kecil ditangan, pergelangan , dan

kaki.

- Secara progresif menenai persendian, lutut, bahu, pinggul,

siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan

temporomandibular.

- Biasanya akut, bilateral, dan simetris.

- Persendian dapat teraba hangat, bengkak, dan nyeri ; kaku

pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.

- Deformitasi tangan dan kaki adalah hal yang umum.

Beberapa gejala klinis yang kerap kali terjadi pada para penderita atritis

reumatoid ini, yakni :

- Gejala-Gejala Konstitusional.

Beberapa gejala tersebut meliputi lelah, anoreksia, berat badan

menurun dan demam. Bahkan terkadang kelelahan yang sangat

hebat.

- Poliatritis Simetris.

Terutama terjadi pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi  di tangan

namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.

Hampir semua sendi diatrodial dapat terserang.

- Kekakuan di pagi hari.

Kejadian ini terjadi selama lebih dari 1 jam, dapat bersifat

generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini

berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoatritis, yang biasanya

Page 24: laporan tutorial hematologi

28

hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari

satu jam.

- Atritis Erosif.

Atritis erosif merupakaan ciri khas penyakit ini pada gambaran

radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di

tepi tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.

- Deformitas.

Kerusakan struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit.

Pergeseran ulnar atau jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal,

deformitas boutonniere dan leher angsa. Pada kaki terdapat protrusi

(tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi

metatarsal.

- Nodula-Nodula Reumatoid.

Nodula-nodula reumatoid adalah masa subkutan yang ditemukan

pada sekitar sepertiga penderita dewasa. Lokasi tersering yakni di

daerah sepanjang sendi sikut atau sepanjang permukaan ekstensor

lengan. Nodul ini merupakan tanda bahwa penyakit tersebut aktif.

- Manifestasi Ekstraartikuler.

a. Kulit Nodula subkutan Vaskulitis, bercak-bercak coklat lesi-lesi

ekimotik

b. Jantung

Perikarditis Temponade Pericardium. Lesi peradangan

miokardium dan katup jantung

c. Paru-paru

Pleuritis dengan atau tanpa efusi peradangan paru-paru

d. Mata terjadi skleritis

e. Syaraf

Neuropati perifer sindrom kompresi perifer (sindrom

terowongan kapal, neuropati syaraf ulnaris, paralisis peronealis.

Page 25: laporan tutorial hematologi

28

Ansietas

Intoleransi Aktivitas

1.1.1. Fibromialgia

1.1.1.1. Patogenesis

Faktor genetik dan faktor risiko lainnya

Polimorfisme pada gen serotonin transporter dan katekolamin o-metil transferase

Gangguan metabolisme dan transpor monoamine neurotransmitter

Serotonin dan norepinefrin

Penurunan kadar serotonin dan norepinefrin

Penurunan sensitivitas sistem proses nyeri

Penurunan ambang nyeri Penurunan produksi melatonin

Gangguan rasa nyaman : nyeri Hyperalgia dan allodynia Gangguan pola tidur

Kelelahan

1.1.1.2. Manifestasi Klinis

Individu dengan FMS bisa menunjukkan manifestasi klinis seperti :

1. Nyeri muskuloskeletal (hyperalgesia dan allodynia)

2. Kaku otot

3. Kelelahan

Page 26: laporan tutorial hematologi

28

4. Gangguan pola tidur

5. Kesulitan menelan

6. Irritable bowel syndrome

7. Gangguan emosional (depresi dan ansietas)

8. Gangguan kognitif

ANALISIS SKENARIO

Wanita 34 tahun

Studi epidemiologi menunjukan bahwa wanita lebih sering dari laki-laki

dengan perbandingan 5,5:1 dan sering pada wanita usia subur.

Lemas tidak bertenaga

Karena kurangnya nutrisi akibat destruksi sel darah merah yang di tandai

dengan menurunnya kadar Hb pd pemeriksaan hematologi.

Mengkonsumsi vitamin namun tidak ada respon

Viamin hanya mengobati gejala saja, kemungkinan ada penyakit yang

mendasari sehingga tetap menimbulkan gejala lemas.

Mudah lelah

Destruksi sel darah merah sehingga perfusi oksigen kurang karena Hb turun

Berdasarkan hasil analisis skenario, dapat disimpulkan bahwa pasien dengan

keluhan seperti di atas dapat didiagnosis sebagai SLE (Systemic Lupus

Erythematosus) dengan derajat sedang berdasarkan kriteria diagnosis untuk SLE

dan pembagian derajat SLE menurut berat-ringannya gejala yang ditimbulkan.

Page 27: laporan tutorial hematologi

28

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang

banyak menyerang perempuan pada usia produktif dengan rasio cukup besar

dibandingkan dengan laki-laki. SLE sendiri terbagi menjadi ringan, sedang, dan

berat yang memiliki perbedaan dalam manifastasi klinis yang dialami dan

memiliki pengobatan yang berbeda pada setiap tingkatan dari SLE tersebut.

Page 28: laporan tutorial hematologi

28

DAFTAR PUSTAKA

Aru W, Sudoyo dkk 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II&III Edisi IV,

Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Temprano KK 2013, Rheumatoid Arthritis [Internet], [Accessed 15 May 2013].

Available from: http://emedicine.medscape.com/article/331715-overview.