laporan penelitian s2 lalu sabardi

76
LAPORAN PENELITIAN OLEH IMPLIKASI KETENTUAN PASAL 332 KUHP TERHADAP PERKAWINAN ADAT MERARIK PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT SASAKDI PULAU LOMBOK oleh DR.H.LALU SABARDI.SH.,MS (0004035508) HJ. RATNA RUMINGSIH.SH.,MH(0030194804) H.SUPARDAN MANSYUR.SH.,MH (0031125718) MUZAKIR SALAT.SH.,MH (0023097904) Dibiyai dari sumber dana PNBP BLU Universitas Mataram Universitas Mataram Tahun Anggaran 2013 Kontrak No: 654G/SP-BLU/UN18.12.2/PL/2013

Upload: lalu-sabardi

Post on 31-Jan-2016

40 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

LAPORAN PENELITIAN

OLEH

IMPLIKASI KETENTUAN PASAL 332 KUHP TERHADAP PERKAWINAN ADAT MERARIK PADA MASYARAKAT HUKUM

ADAT SASAKDI PULAU LOMBOK

oleh

DR.H.LALU SABARDI.SH.,MS (0004035508)HJ. RATNA RUMINGSIH.SH.,MH(0030194804)

H.SUPARDAN MANSYUR.SH.,MH (0031125718)MUZAKIR SALAT.SH.,MH (0023097904)

Dibiyai dari sumber dana PNBP BLU Universitas Mataram Universitas Mataram Tahun Anggaran 2013

Kontrak No: 654G/SP-BLU/UN18.12.2/PL/2013

Page 2: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUMLEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS MATARAM

TAHUN 2013

HALAMAN PENGESAHAN

1 Judul Penelitian : IMPLIKASI KETENTUAN PASAL 332 KUHPTERHADAP PERKAWINAN ADAT MERARIKPADA MASYARAKAT HUKUM ADAT SASAKDI PULAU LOMBOK

2 Topik Unggulan : Perlindungan Hak Masyarakat3 Kelompok Peneliti Bidang Ilmu : Hukum4 Ketua Peneliti

a. Nama Lengkapb. NIPc. NIDNd. Jabatan Fungsionale. Fakultas/Jurusanf. Alamat Institusig. Telp/Fax/E-Mail

:::::::

Dr.H.Lalu Sabardi.SH.,MS19550304198403 1 002101101615960018Lektor KepalaHukum/Hukum MasyarakatJln. Mapahit 62 Mataram0370 (633035), [email protected]

5 Waktu Penelitian : 6 bulan6 Jumlah Dana dan Sumber Dana

b.

: RP. 15.000.000.(lima belas Juta Rupiah) PNBP Program Studi Magister Ilmu Hukum Proram Pascasarjana Universitas Mataram 2013

Menyetujui Mataram, Januari 2013Program Studi Magister Ilmu Hukum

Dr.H. Zainal Asikin,SH.,SUNIP : 195508151981031035

Ketua Peneliti

Dr.H.Lalu Sabardi.SH.,MSNIP. 195503041984031002

MengetahuiProgran Pasca Sarjana UNRAM

Direktur,

MengetahuiKetua Lembaga Penelitian UNRAM

Page 3: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Ir.I. Gde Ekaputra Gunartha.M.Agr.,Ph.D.NIP.195703083031002

Ir. H. Amiruddin.MSi.NIP : 19621231198703 1 024

ABSTRAK

Penelitian ini bermaksud untuk melihat konflik norma antara hukum negara, hukum adat dan hukum agama (Islam) dan bagaimana hukum tersebut kompromi atau beradaptasi, Atas dasar uraian di atas, maka pada penelitian ini tidak hanya mengkaji hukum dari aspek normatifnya saja, tetapi juga dari realitas hukum yang dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat, baik norma hukum negara maupun norma hukum adat dan norma hukum agama (Islam), karena dalam kisaran normatif tersebut perilaku itu berada, menjadi format dan motivasi bertindak.

Kata Kunci : Konflik Norma, Adaptasi dan Pidana

ABSTRACT

Merarik customary behavior in a customary marriage law Sasak, took place at the initiative of the prospective bride and groom. In the development of implementation until now Merarik seems that many parents were disappointed with the choice and decision of his/her children, especially for the woman's family. As for the male family can rarely escape from his son`s choice. This happens because the woman who left home to go with a man not with the permission of their parents, society has thought to do Merarik. If then women are taken back to his parents, then the act is considered as a form of humiliation. Therefore, the family did not approve her marriage (usually the woman's family), pull through prevention when the process ran together. If the opportunity is not successful, then the prevention continues conducted back when the sejati implementation process, so subsequent to the implementation of selabar. Prevention is done by rejecting the continuation of traditional processes, including to events guardians request (take promise) to conduct the marriage contract according to Islamic law. In simple prevention can be interpreted as an act to obstruct, hinder, resist, not so that followed the marriage did not last, or at least prevented it to be completed quickly. As a result of marriage is to be delayed. This process often dragged on and may continue to be a source of dispute condition, in practice, implications for implementation of this selabar. If within the specified time limit (three) days nor selabar implemented, then this event met with a variety of ways. Female side of the family have reported him to the head village if the prospective bridegroom came from the same village with prospective bride. There are also submitting the matter to the district, if the bride and groom in question originated from the same district. There is

Page 4: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

also a report to the Civil Registrar of Marriages Aid. The issue became more complicated when the report was submitted to the Police.

1.Latar Belakang Masalah

Pada masyarakat suku Sasak dikenal salah satu cara melangsungkan

perkawinan disebut dengan merarik, yaitu pelangsungan jenis perkawinan ini dilakukan

dengan cara masing-masing calon mempelai bersama-sama meninggalkan orang tua

dan keluarganya. Secara prosudural jenis perkawinan ini melanggar ketentuan Pasal 9

Peraturan Pemerintah tentang pelangsungan perkawinan dan secara substansial

melanggar Pasal 332(2) KUHP. Dalam perkembangan pemahaman hukum di

masyarakat sekarang ini, banyak diantara laki-laki pelaku jenis perkawinan ini ditangkap

dan diadili berdasarkan ketentuan Pasal 332(2) KUHP.

Permasalahan adaptasi norma pada masyarakat akan berlangsung terus-

menerus dalam hukum Indonesia yang plural, karena setiap masyarakat akan

berkembang berubah dan selalu dalam proses penyesuaian. Adaptasi norma dalam

perkawinan adat merarik dapat terjadi karena Indonesia merupakan negara dengan

sistim hukum yang plural, dimana hukum adat, hukum agama dan hukum negara dapat

berlaku bersamaan pada hubungan hukum seperti perkawinan, keadaan tersebut

merupakan isu hukum yang penting diteliti. Hal itu berupa berbagai pertimbangan juridik

dalam pelaksanaan perkawinan merarik oleh masyarakat hukum adat Sasak; Prasyarat,

prosedur dan bentuk pelanggaran norma perkawinan merarik dalam masyarakat hukum

adat Sasak, serta penyebab sengketa perkawinan merarik dan cara penyelesaiannya

demikian juga dalam hubungannya dengan berbagai sistem hukum yang berlaku di

Indonesia, khususmya dalam masyarakat hukum adat Sasak1.

Permasalahan isu dan nilai filsafati perkawinan merarik dilatarbelakangi oleh

kenyataan, bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki budaya beragam

dari suku yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Implikasi dari keadaan tersebut

1Hal ini dapat diketahui dari berbagai kasus perkawinan merarikyang terjadi bersumber pada perbedaan pandangan terhadap makna merarik baik pada starata kehidupan masyarakat, maupun aparat penegak hukum. Sengketa perkawinan merarik lebih menguat sejak Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan dan lebih-lebih lagi ketika UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diundangkan. Nilai budaya yang melekat pada perkawinan Merarik mengakar pada keyakinan masyarakat Sasak yang berbeda dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Prosedur dan prasyarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan mengharuskan prasyarat perkawinan merarik mengikutinya. Perkawinan merarik kian menarik untuk diteliti karena dilakukan tidak hanya oleh warga suku Sasak, tetapi juga oleh suku diluar suku Sasak yang berdomisili di pulau Lombok bahkan suku lain diluar suku Sasak dan tidak berdomisili di pulau Lombok.

Page 5: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

dijumpainya ragam budaya dan adat istiadat sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Suku

Sasak merupakan salah satu di antara suku-suku yang mendiami Pulau Lombok

Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebahagian besar beragama Islam. Menurut Yacob Ali

yang beragama Hindu terdapat di Mataram dan Lombok Barat, sedangkan yang

beragama Budha mendiami beberapa kampung di Lombok Utara dan di sekitar Desa

Lenek Lombok Timur.2

Suku Sasak seperti halnya suku-suku lain di Indonesia, memandang manusia

sebagai ciptaan Tuhan terdiri dari dua jenis yaitu laki-laki dan wanita, di antara

keduanya telah ditanamkan cinta dan kasih sayang. Hubungan kasih sayang dari dua

jenis manusia ini kemudian melahirkan keturunan. Agar terbentuk keturunan yang sah

maka setiap masyarakat telah mengatur hubungan laki-laki dan wanita tersebut dalam

lembaga hukum perkawinan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa setiap

masyarakat memandang perkawinan tidak hanya sebagai hubungan suci antara laki-

laki dan wanita, tetapi hubungan tersebut juga harus mendapat pengakuan masyarakat.

Oleh sebab itu, perkawinan dianggap sebagai bentuk ibadah yang bertujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan menurut masyarakat hukum adat Sasak pada umumnya sama

dengan suku-suku lain di Indonesia, yaitu tidak hanya bermaksud mempersatukan

seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami-istri, tetapi dari hubungan tersebut

juga untuk mempersatukan hubungan antara keluarga.

Menurut Lalu Syapruddin, masyarakat hukum adat Sasak mengenal 3 (tiga)

tujuan perkawinan, yaitu,

1. Perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita dalam satu kadang waris (satu

hubungan darah) yang disebut perkawinan betempuh pisak.

2. Perkawinan antara laki-laki dan wanita yang mempunyai hubungan kadang jari

(kerabat dan sahabat) yang disebut perkawinan sambungbunge benang.

3. Perkawinan antara laki-laki dan wanita yang tidak terikat oleh hubungan

kekeluargaan/kekerabatan, disebut dengan perkawinan pegaluh gumi.3

2Yacob Ali, Perubahan Nilai Budaya Masyarakat Nusa Tenggara Barat, Proyek IDKD (Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h.15

3Lalu Syapruddin, Kedudukan Wanita Menurut Hukum Keluarga dan Hukum Waris Adat Sasak setelah berlakunya Kompilasi Hukum Islam, Tesis, (Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 1998), h.38.

Page 6: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Kaitan lebih lanjut menyangkut syarat sah perkawinan tersebut seperti batasan

umur dewasa, dalam hukum adat tidak ditentukan seperti pada aturan perundang-

undangan, dalam Undang-undang No 1 tahun 1974  tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7

ayat 1 ditentukan “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak Pria sudah mencapai umur 19

tahun (sembilan belas) tahun dan pihak Wanita sudah mencapai umur  16 (enambelas)

tahun. Selanjutnya dalam  Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang

Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8 “Apabila seorang calon sumi belum mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas)

tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”. Pasal-pasal tersebut diatas sangat

jelas, hampir tak ada alternatif penafsiran, bahwa usia yang diperbolehkan menikah di

Indonesia untuk laki-laki 19 (sembilan belas) tahun dan untuk wanita 16

(enambelas)tahun. Namun itu saja belum cukup, dalam tataran implementasinya  masih

ada syarat yang harus ditempuh oleh calon pengantin, yakni jika calon suami dan calon

isteri belum genap berusia 21 (duapuluh satu) tahun maka harus ada ijin dari orang tua

atau wali nikah, hal  itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007

tentang Pencatatan nikah Bab IV pasal 7 “Apabila seorang calon mempelai belum

mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua”.

Ijin ini sipatnya wajib, karena usia itu dipandang masih memerlukan bimbingan dan

pengawasan orang tua/wali. Dalam format model N5 orang tua /wali harus

membubuhkan tanda tangan dan nama jelas, sehingga ijin dijadikan dasar oleh PPN/

penghulu bahwa kedua mempelai sudah mendapatkan ijin/restu orang tua mereka. Lain

halnya jika kedua calon pengantin telah berusia lebih dari 21 (dua puluhsatu) tahun,

maka calon pengantin dapat melaksanakan pernikahan tanpa ada ijin dari orang

tua/wali. Namun untuk calon wanita ini masih harus mendapatkan wali dari orang tuanya

yang merupakan wali nasab sekaligus yang berwenangakan menikahkannya. Oleh

karena itu ijin dan doa restu orang tua sangat penting karena berkaitan dengan salah

satu rukun nikah yakni adanya wali nikah.

     Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan anak Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) :

anak adalah seseorang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ayat (2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan

Page 7: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimninasi.

Jika menilik ketentuan tentang syarat perkawinan pada undang-undang No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan dan batasan umur yang disebut anak pada Undang-

undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak diatas, tentu ada hal yang perlu di

berikan elaborasi, terutama menyangkut batasan anak dan batasan umur untuk

menikah, karena kedua ukuran tersebut akan menimbulkan akibat hokum yang

fatal.Disatu sisi masih disebut anak-anak tapi disi lain  dikatagorikansudah cukup untuk

menikah. Hal ini menjadi penting menyangkut perkawinan adat merarikyang dilakukan

sebagai salah satu cara yang paling digemari oleh muda mudi suku Sasak di Pulau

Lombok. Menurut Dirman Tohha,

Tradisi merarik dalam budaya masyarakat suku Sasak di Lombok,Nusa Tenggara Barat, hingga kini lebih banyak dipahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tradisi merarik lebih banyak mendapat konotasi negatif sebagaimana pemahaman tentang kawin lari yang biasa dilakukan oleh pasangan remaja yang tidak mendapat restu dari orang tua.Bahkan, akibat keluguan masyarakat Sasak yang menyederhanakan kata merarik dengan istilah 'memaling' (mencuri), kesan negatif itu makin sulit dihindari. Meski ada juga tata cara perkawinan yang lain, seperti perjodohan dan melamar, pengertian merarik dengan konotasi negatif lebih banyak dikenal oleh masyarakat dari luar daerah. "Adalah keliru pandangan negatif terhadap tradisi merarik,karena dalam tradisi itu penuh dengan nilai yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di Lombok,4

Persoalannya adalah menyangkut tatacara atau proses dalam perkawinan adat

merarik yang dilakukan dengan prosedur yang merupakan pesan nilai konkrit diujudkan

melalui lima tahapan (teori hukum) perkawinan adat merarik, berupa: (a). Masa

perkenalan dan beberaya (b).Pernyataan kemandirian dan kesanggupan untuk

membentuk rumah tangga, (c).Menyatakan perbuatan menjadi terang sesuai dengan

sifat hukum adat, (d). Tahap penyelesaian yang dilakukan dengan musyawarah (Sasak:

Gundeman) dan (e). Tahap Pengukuhan atas terbentuknya keluarga (kurenan) baru.

a. Tahap pertama, merupakan masa orientasi (midang), dilanjutkan dengan

beberaye (berpacaran) dalam waktu yang cukup. Kemudian sang lelaki

menyatakan niatnya kepada sang wanita untuk melanjutkan hubungan hidup

rumah tangga melalui pernikahan, peristiwa ini disebut nenari.

4Dirman Toha, Merarik Kelilangan Makna, Kompas Kamis, 6 Juli 2008

Page 8: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

b. Tahap kedua, adalah masing-masing calon suami-istri menyatakan untuk

melepaskan diri dari kekuasaan orang tua yang dilakukan dengan

meninggalkan rumah masing-masing. Jadi berlangsungnya perkawinan

merarik didahului oleh inisiatif kedua calon mempelai, sama sekali tidak

melibatkan orang tua kedua belah pihak. Karena keadaannya demikian maka

ada orang tua yang tidak mengetahui atau tidak memperkirakan kalau anaknya

akan melangsungkan perkawinan merarik, sehingga orang Sasak sering

menyebut perkawinan dengan cara ini dengan istilah ”kale idup”, ”kale” artinya

cobaan/kesusahan dalam kehidupan. Oleh karena itu dari tahapan ini sudah

terlihat adanya potensi sengketa.

c. Tahap ketiga yaitusejati, adalah untuk menyatakan perbuatan menjadi terang,

sesuai dengan sifat hukum adat segala perbuatan harus dilakukan dengan

terang yaitu sepengetahuan kepala persekutuan. Dalam hal ini sepengetahuan

kepala lingkungan selaku keliang adat, kemudian memberitahukan peristiwa

perkawinan merarik tersebut kepada pihak keluarga calon mempelai wanita

melalui keliang adatnya, peristiwa ini disebut dengan mensejati.

d. Tahap keempat ialah tahap penyelesaian perkawinan merarik yang

dilangsungkan dengan mufakat keluarga kedua pihak yang dihadiri oleh

keliang adat, petugas adat (pembayun) dan petugas agama.

e. Tahap kelima yaitu pengukuhan adanya keluarga (kurenan) baru, pengukuhan

ini dilakukan melalui acara sorong serah-ajikrama, kemudian diumumkan

kepada masyarakat melalui acara nyongkolan/nyondol5.

Tahapan tersebut mencerminkan norma yang terdapat dalam perkawinan

adatmerarik.

Jika prosedur tersebut dikaitkan dengan perkawinan lari pada umumnya, menurut Hilman6 disebabkan karena,

1. Orang tua dari pihak perempuan akan merasa tersinggung dan direndahkan karena pihak yang pria tanpa permisi mangambil anaknya (seperti istilah diatas). sistim Kawin Lari dewasa ini biasanya diambil karena ada beberapa alasan diantaranya;

2. Memang orang tua tidak menyetujuinya karena mungkin ada alasan mendasar, sehingga satu-satunya jalan hanyalah ini.

5Lalu Sabardi, Pelanggaran Norma Perkawinan Adat merarik dalam Masyarakat Hukum Adat Sasak di Pulau Lombok. Desertasi, Universitas Brawijaya matang Tahun, 2011, h. 23.

6 Hilman Hadikusumah, 1990, Hukum Perkawinan Menurut: Pandangan Hukum Adat Dan Hukum Agama, Cet. I, Bandung: Mandar Maju, hal. 97.

Page 9: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

3. Perbedaan wangsa, yang biasanya orang di desa masih kaku sehingga diplesetkan menjadi sistim kasta sehingga terjadi ketimpangan kasta. dari perbedaan ini ada dua kemungkinan;

4. Orang tuanya yang memang tidak setuju,5. Orang tuanya merestui tetapi keluarga menentang alias tidak setuju,6. Orang tua dan keluarga merestui tatapi adat di desa setempat yang tidak

mengijinkan pernikahan beda kasta.7. Memang adat setempat yang tidak mungkinkan pernikahan dilaksanakan pada

bulan bersangkutan, mungkin berkenaan dengan aturan internal desa atau adanya prosesi upacara besar di desa pihak perempuan sehingga sistim Madik belum diperbolehkan hingga beberapa waktu kedepan.

8. Orang tua, keluarga dan adat merestui tapi dana pernikahan belum mencukupi, (misal; pihak perempuan dari daerah jauh, untuk menghemat biaya).

Pada umumnya yang dimaksud dengan perkawinan lari atau melarikan adalah bentuk perkawinan yang tidak didasarkan atas persetujuan lamaran orang tua, tetapi berdasarkan kemauan sepihak atau kemauan kedua pihak yang bersangkutan.Lamaran dan atau persetujuan untuk perkawinan diantara kedua pihak orang tua terjadi setelah kejadian melarikan, atau yang bersangkutan telah memiliki keturunan (anak).7

Kawin lari biasanya terjadi tanpa peminangan atau pertunangan secara formal.cara yang demikian ini merupakan cara yang umum dalam melakukan perkawinan di dalam wilayah-wilayah masyarakat yang menganut sistem patrinial (sistem kebapakan), dan juga terdapat dalam wilayah-wilayah masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan, bahkan dapat diketemukan pula pada masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan matrilinial (sistem keibuan).8

Adapun maksud dari perkawinan lari ialah menghindarkan bermacam-macam

keharusan sebagai akibat dari perkawinan pinang, disamping juga mungkin tidak

disetujuinya antara keduanya oleh orang tua masing-masing atau orang tua salah satu

pihak, padahal keduanya saling mencintai. Disinilah timbulnya sumber kenekatan

pasangan jodoh tersebut, sehingga mereka berani untuk kawin lari9.

Dalam proses perkawinan ini kedua pihak yang bersangkutan lari dari kediamannya dan

atau untuk berdomisili di tempat lain kemudian melangsungkan perkawinan di tempat

domisili yang baru tersebut, dengan wali (dalam adat) atau tanpa wali dari orang tua

kedua pihak.

Kawin lari memiliki dua pengertian dalam hal ini:

7 Sution Usman Adji, 1989, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta: Liberty, hal. 105.8 Soerjono Soekanto, 1986, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, hal. 248.9Wawancara dengan Lalu Syafruddin, tanggal 4 Nopember 2008

Page 10: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

a. Kawin lari bersama: terjadi dengan larinya calon suami istri tanpa peminangan formal dan tanpa pertunangan.

b. Kawin bawa lari; yang disebut dengan kawin bawa lari adalah: 1. Lari dengan wanita; yang sudah dipertunangkan atau dikawinkan dengan

pria lain.; atau2. Melarikan wanita secara paksa10.

Perkawinan seperti ini biasanya terjadi dibeberapa daerah di Nusantara karena

beberapa hal, diantaranyakarena ;

Panjangnya proses yang harus dilalui sebagaimana telah ditentukan oleh adat, dimana

mempelai harus melaluinya untuk mencapai perkawinan, dengan harapan sang

mempelai tidak melanggar aturan adat dan terhindar dari sanksi yang akan diberikan

kepada orang yang melanggar aturan adat. Dengan banyaknya fase-fase dalam adat

yang harus dilewati.

Upacara adat dalam segala bentuk dan cara tersebut, pada umumnya

dilaksanakan sejak masa pertunangan (pacaran) atau masa penyelesaian kawin

belarian, penyampaian lamaran, upacara adat perkawinan, upacara keagamaan dan

terakhir acara kunjungan mempelai ke tempat orang tua atau menantu.11

Adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat, yang membagi golongan masyarakat, dari golongan bangsawan (ningrat), biasa dan jelata, klen-klen atau kasta-kasta (Bali).Dalam hal ini, seseorang yang lebih tinggi derajatnya dalam masyarakat tersebut dilarang untuk menikahi kaum bawahan yang lebih rendah derajatnya, perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan diantara warga se-klen, atau setidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta.12 Bila pernikahan seperti itu dilaksanakan maka mempelai tersebut dianggap melanggar aturan adat, hal ini menyebabkan ia untuk membayar denda kepada adat atau bahkan menerima sanksi adat, biasanya pemuka adatlah yang berwenang menjatuhkan hukuman tersebut. Menurut adat idealnya perkawinan dilaksanakan dengan seseorang yang sebangsa dan sederajat, kedudukan dan harta.

Tingginya mahar (maskawin) yang harus diberikan kepada pihak wanita, bisa juga karena belanja perkawinan yang tinggi, sesuai dengan derajat sosial dari gadis yang dipinang.13

10Loc. Cit. h.9711

12Mattulada, Koentjaraningrat (ed.), tt, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia; Kebudayaan Bugis-Makassar, Jakarta: Djambatan, hal.268-269.

13 I Gusti Ngurah Bagus, Koentjaraningrat (ed.), tt, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia; Kebudayaan Bali, Jakarta: Djambatan, hal.287.

Page 11: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Hal seperti ini disebabkan oleh berbedanya pengertian tentang faktor-faktor pendukung

kebahagiaan atau anggapan tentang berhasilnya suatu keluarga dalam masyarakat.

Dengan mahar yang besar maka bisa dikatakan bahwa calon mempelai yang akan

menjalani bahtera keluarga akan mendapatkan kemungkinan yang besar pula untuk

mencapai kebahagiaan tersebut. Inilah pandangan masyarakat yang melihat perkawinan

berlandaskan materi belaka, sehingga hal-hal yang berhubungan dengan materi

dianggap akan sangat mendukung sekali untuk menggapai suatu kebahagiaan dalam

kehidupan berumah tangga.

Keadaan demikian memaksa kedua mempelai atau salah satunya – khususnya si lelaki

yang terbebani dengan membayar mahar dan atau belanja perkawinan – untuk

melakukan hal-hal diluar aturan adat, dengan kata lain dikatakan bahwasannya laki-laki

tersebut nekad melanggar aturan yang telah ditentukan oleh adat sebelumnya. Pada

akhirnya sebagai salah satu solusi dalam perkawinan ialah dengan kawin lari.

Atas dasar uraian tersebut, terlihat bahwa perkawinan adatmerarik merupakan

bentuk perkawinan dalam masyarakat hukum adat Sasak yang memberikan keleluasan

kepada laki-laki dan wanita untuk menentukan pilihannya sendiri (kemelek mesak), yaitu

suatu putusan hati nurani tentang pilihan yang telah dipertimbangkan melalui proses

waktu yang panjang. Oleh karena itu putusan seperti ini tidak akan lahir dari

pertimbangan sepintas, melainkan dari kematangan pribadi.

Persoalan lebih lanjut menyangkut penjemputan calon istri.

a. Setelah melalui masa orientasi/berpacaran (beberaye) dalam waktu yang

cukup, kedua calon mempelai mengikat janji untuk menjadi pasangan

suami istri. Disyaratkan berpacaran dalam waktu yang cukup tidak hanya

bermaksud untuk penyesuaian agar calon mempelai dapat saling jajaki

tetapi juga untuk memperlancar proses ketika calon mempelai telah

memutuskan untuk hidup berumah tangga, tidak terdapat gangguan baik

dari wanita atau laki-laki lain maupun syarat-syarat lain untuk

melangsungkan perkawinan, seperti belum cukup umur maupun tidak

sepadan (endekn skufu).

b. Untuk melaksanakan janji tersebut, wanita calon istri kemudian berjanji

untuk meninggalkan rumahnya masing-masing, tidak boleh berangkat

untuk melaksanakan perkawinan merarik selain dari rumahnya. Uraian

Page 12: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

tersebut memperlihatkan bahwa inti dari perkawinan merarik adalah

membawa lari wanita calon istri tidak boleh diketahui oleh keluarganya.

Norma kedua ini bertentangan dengan Pasal 332 (1) KUHP, selengkapnya

berbunyi :

Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara : paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehandaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.

Ketentuan Pasal ini sangat jelas tidak memerlukan penafsiran, sehingga dengan

demikian mengancam tatakrama dalam tahapan proses perkawinan adat merarik. Atas

dasar keadaan tersebut untuk menghindari berbagai persoalan yang terjadi di

masyarakat seperti sengketa antar keluarga, perkelahian antar kampung, maupun

terjadinya penangkapan oleh polosi terhadap laki-laki calon mempelai yang

melaksanakan perkawinan adat merarik,perlu dilakukan penelitian menyangkut makna

dalam tatacara perkawinan adat merarik agar dapat diketahui cara menyelesaikan

pertentangan norma antara hukum Negara dan hukum adat. Persoalan yang mendasar

berkaitan dengan pertentangan norma ini adalah menyangkut persoalan keadilan

karena dasar hukum melakukan perbuatan bukan merupakan sesuatu yang dianggap

salah melainkan perbuatan yang diharuskan oleh hukum adat. Kemudian hukum Negara

(KUHP) mempersalahkan dan mengadilinya atas dasar hukum yang

mempersalahkannya, hal ini telah melintasi sistem untuk mencari dasar hukum dalam

mengadili suatu perkara. Hal-hal tersebut merupakan salah satu sumber terjadinya

sengketa, disamping sumber-sumber lain yang menyangkut proses dan atau tatacara

dalam perkawinan adatmerarik. Secara spesifik persoalan menyangkut batas umur

perkawinan maupun mengertian anak seperti yang ditentukan dalam UU Perlindungan

anak dan ketentuan pasal 332 (1) KUHP merupakan isu hukum yang penting diteliti. Hal

itu berupa berbagai pertimbangan juridik pelaksanaan perkawinan adatmerarik pada

masyarakat hukum adat Sasak; Prasyarat, prosedur dan bentuk pelanggaran norma

perkawinan adat merarik dalam masyarakat hukum adat Sasak, serta penyebab

sengketa dan cara penyelesaiannya.14Persoalannya kemudian menyangkut nilai

14Hal ini dapat diketahui dari berbagai kasus perkawinan merarik yang terjadi bersumber pada perbedaan pandangan terhadap makna merarik baik pada starata kehidupan masyarakat, maupun aparat penegak hukum. Sengketa perkawinan merarik lebih menguat sejak Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan dan lebih-lebih lagi ketika UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diundangkan. Nilai budaya yang

Page 13: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

keadilan yang dirasakan oleh masyarakat atau dalam pengertian yang kongkrit dapat

dikemukakan bahwa rekonsiliasi dari sengketa yang terjadi akan muncul dari sentuhan

keadilan dalam putusan institusi yang dipercaya oleh masyarakat. Nilai keadilan itu baru

tercipta apabila fungsi hakim baik melalui pengadilan maupun melalui luar pengadilan

dalam menyelesaikan sengketa pelanggaran adat merarik dapat memahami motivasi

para pihak yang bersengketa berdasarkan hukum yang melindungi kepentingan-

kepentingan mereka.

B. PERMASALAHAN

1. Bagaimanakah ketentuan tentang batasan umur untuk melaksanakan

perkawinan menurut hukum adat Sasak

2. Bagaimanakah terjadinya adaptasi norma dalam perkawinan adat merarik

berhadapan dengan ketentuan hukum Negara.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menemukan dan menjelaskan konsepsi perkawinan merarik yang

dilakukan oleh masyarakat hukum adat Sasak menyangkut batas umur untuk

melaksanakan perkawinan.

2. Untuk menemukan dan menjelaskan bentuk pelanggaran adat perkawinan

merarik dalam masyarakat hukum adat Sasak dan menggunakannya sebagai

bahan penyelesaian sengketa pelanggaran adat.

3. Untuk menemukan dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya

sengketa dalam perkawinan merarik dan mekanisme penyelesaian sengketa.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut :

1. Memberikan pemahaman yang lebih mendasar atas berbagai bentuk

pelanggaran adat perkawinan merarik dan alasan-alasan pilihan cara

melangsungkan perkawinan merarik serta pranata (model-model pelanggaran

melekat pada perkawinan Merarik mengakar pada keyakinan masyarakat Sasak yang berbeda dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Prosedur dan prasyarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan mengharuskan prasyarat perkawinan merarik mengikutinya. Perkawinan merarik kian menarik untuk diteliti karena dilakukan tidak hanya oleh warga suku Sasak, tetapi juga oleh suku diluar suku Sasak yang berdomisili di pulau Lombok bahkan suku lain diluar suku Sasak dan tidak berdomisili di pulau Lombok.

Page 14: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

dan penyelesaiannya) dalam masyarakat hukum adat Sasak yang dapat

dikembangkan untuk menyelesaikan sengketa, khususnya sengketa dalam

perkawinan adat selarian.

2. Untuk kalangan akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya

khasanah keilmuan dalam pengembangan kajian ilmu hukum, khususnya

untuk memperluas wawasan teoritik penyelesaian berbagai kasus sengketa

yang muncul dalam perkawinan merarik.

3. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para praktisi

hukum dalam menyelesaikan berbagai kasus sengketa, khususnya kasus

sengketa perkawinan merarik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Kedewasaan

Roger Gould, menghubungkan fase dan krisis dalam pandangannya tentang

transformasi perkembangan. Menurutnya, paruh kehidupan adalah sama bergejolaknya

dengan masaremaja, dengan penegecualian bahwa selama masa dewasa tengah

usaha untuk menangani krisis mungkin akan menghasilkan kehidupan yang lebih

bahagia dan lebih sehat.Dia percaya bahwa dalam usia 20-an, adalah masa menerima

peran-peran baru; dalam usia 30-an mulai merasaada himpitan dengan tanggung jawab

kita, dalam usia 40-an mulai merasakan perasaan urgensi bahwa hidup terasa cepat

berlalu.Menurutnya, menangani krisis paruh kehidupan dan menyadari bahwa perasaan

urgensi merupakan reaksi alami terhadap fase ini membantu kita menuju jalan

kematangan yang dewasa.

Perkembangan hukum Negara sampai saat ini ketentuan tentang umur ini

ditentukan dengan batas umur tertentu baru dapat dikatakan dewasa dan mampu

berbuat hokum, sehingga masing-masing aturan menentukan batas usia dewasa itu

menurut kebutuhan masing-masing aturan, sehingga karena keadaan itu menyebabkan

terjadinya perbedaan ketentuan umur dewasa.

Pada dasarnya setiap manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang

Maha Esa (YME) yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu kebebasan, hak

Page 15: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

hidup, hak untuk dilindungi, dan hak yang lainnya. Hal ini senada dengan prinsip hukum

alam pada abad ke-18 yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio,  salah satu

penganutnya adalah Locke, menurut Locke teori hukum beranjak dari dua hal di atas

yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio, Ia juga mengajarkan pada kontrak

sosial.

Menurutnya manusia yang melakukan kontrak sosial adalah manusia yang tertib

dan menghargai kebebasan, hak hidup dan pemilikan harta sebagai hak bawaan

manusia. Menurut Locke masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tidak

melanggar hak-hak dasar manusia15.

Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika

kontrak sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat

kontrak sosial, dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Kalau begitu, adanya

kekuasaan tersebut justru untuk melindungi hak-hak kodrat dimaksud dari bahaya-

bahaya yang mungkin mengancam, baik datang dari dalam maupun dair luar. Begitulah,

hukum yang dibuat dalam negara pun bertugas melindungi hak-hak dasar

tersebut16.Hak-hak dasar yang biasa disebut sebagai hak asasi, tanpa perbedaan antara

satu dengan lainnya.  Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri

pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia.Pemikiran yang

lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan kebebasan

warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia merupakan makhluk

berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan

warganya. Kemakmuran dan kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum,

oleh karena itu, hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara.17

Hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan

abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak

berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak

berkomunikasi, hak keamanan,  dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh

diabaikan atau dirampas oleh siapapun. 

15Supanto, Perlindungan Hukum Wanita, “http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/”,  (Diakses Pada Tanggal  07 Januari 2011

16Supanto, Perlindungan Hukum Wanita, “http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/”,  (Diakses Pada Tanggal  07 Januari 2011)

17 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus. Y. Hage, Op. Cit, 72-73.

Page 16: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori pelindungn hukum Salmond bahwa

hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan

dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap

kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan  dengan cara membatasi berbagai

kepentingan di lain pihak18. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan

manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan

manusia yang perlu diatur dan dilindungi19.

Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari

suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat

yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur

hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan

pemerintah yang dianggap mewakili kepentingak masyarakat.

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman

terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di

berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum.20

Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.21Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial22.

Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif23. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan bedasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan24.

2.Teori Adaptasi Norma dan Peran Budaya Dalam Hukum

18 Ibid., 75 19 ibid20 Ibid., 69. 21 Satijipto Raharjo, “Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hln. 53.22 Ibid.,  54.23 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, Remaja Rusdakarya, Bandung 1993, 118.

24Sunaryati Hartono, “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”,: AlumniBandung, 1991,hal. 55.

Page 17: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Perkawinan dalam hukum adat tidak hanya menjadi urusan mempelai, tetapi

terakumulasi menjadi urusan keluarga dan kerabat, karena dalam perkawinan

tersangkut masalah martabat/ harga diri keluarga, kerabat dan bahkan teritorial (desa)

tempat tinggal masing-masing. Selain urusan tersebut pada perkawinan berlaku 3(tiga)

sistem hukum sekaligus, yaitu ketentuan hukum adat, ketentuan hukum negara dan

ketentuan hukum agama.

Keberagaman sistem hukum yang mengatur perkawinan merupakan faktor pendukung

dalam membentuk srtuktur pilihan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa

perkawinan, karena banyaknya kelembagaan yang tersedia yang dapat dipilih untuk

penyelesaian sengketa. Oleh karena itu secara hipotesis dapat diduga mengapa dalam

pencegahan perkawinan merarik, masayarakat dihadapkan dengan keharusan untuk

menentukan pilihan. Pilihan dimaksud adalah untuk menghindari Pengadilan atau

untuk memilih Pengadilan. Jika menghindari Pengadilan maka sengketa diselesaikan

melalui institusi masyarakat. Jika memilih Pengadilan apakah Pengadilan Negeri atau

Pengadilan Agama, masing-masing dengan prosedur dan akibat hukumnya.

Di dalam rumusan yang sederhana, maka masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang dalam kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan, dibatasi oleh suatu kerangka tertentu, artinya kalau sampai melampaui batas yang ada, mungkin ia menderita, sebaliknya, kalau dia tetap berada di dalam batas-batas tertentu, maka ia akan mendapat imbalan-imbalan tertentu pula. Inilah yang kesemuanya terkait pada kepentingan-kepentingan manusia pribadi maupun di dalam kehidupan berkelompok. Dengan demikian, maka lingkungan sekelilingnya, menyediakan pembatasan-pembatasan dan kebebasan-kebebasan bagi pribadi dan kelompok-kelompok sosial25.

Memperhatikan pernyataan tersebut tentulah harus dilihat berbagai perkembangan

untuk memengetahui berbagai kebutuhan hukum masyarakat.Untuk mempermudah

dalam mengenal hukum, dalam kaitan ini Ehrlich memberikan pedoman sebagai

berikut,

This then is the living Law in contradistinction to that which is being enforced in the courts and other tribunals. The living law is which dominates life itself even though it has not been posited in legal propositions. The

25Soerjono Soekanto 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Divisi Buku Perguruan Tingi, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, h. 137.

Page 18: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

source of our knowledge of this law is, first, the modern legal document; secondly, direct observation of life, of commerce, of customs and usages, and of all associations, not only of those that law has recognized but also of those that it has overlooked and passed by, indeed even of those that it has disapproved. In our day, doubtless, the most important source of knowledge of the living law is the modern legal document. Even today one of these documents is being studied very exctensively, to with the judicial decision, but not in the sense we have in mind here. It is not being treated as evidence of the living law, but as a work of juristic literature which is to be examined not as to the truth of the legal relations described therein and as to the living law that is to be extracted therefrom, but as to the correctness of the statutory interpretations and of the juristic constructions contained therein26.

Dari sumber tersebut dapat diketahui, bahwa untuk mengetahui hukum yang hidup

dapat ditempuh dengan mempelajari, kebiasaan, perjanjian, kekuasaan/putusan

pengadilan.Sekalipun untuk keputusan pengadilan menurut Ehrlich, bukan sumber

yang mutlak karena merupakan penafsiran hakim terhadap hukum yang sebenarnya.

Lebih lanjut Ehrlich menegaskan prihal kebiasaan sebagai jalan untuk mempelajari

hukum yang hidup dengan mengemukakan,

And now we see the deeper root of the whole doctrine. Savigny and Puchta’s chief endeavor was to establish most emphatically that development of law goes on immediately within the consciousness. Usage is merely the shoot which reached the surface. “Custom does not create law, it merely makes it possible to gain a knowledge of law”, said Puchta in a reply to Beseler. But that is by no means a peculiarity of customary law; it must need be true of every other source of law. If it really to create law, it must be an expression of the general legal conviction of the people. For this reason a statute must be treated exactly like usage. “The common power is the Geist des volkes (spirit of the people), from which legislation, too, deriver the content of its pronouncements.” 27

Banyak kegiatan masyarakat yang dilaksanakan sendiri tanpa perantaraan

negara, memang semua hukum dalam segi eksternalnya dapat diatur oleh instansi-

instansii negara, akan tetapi dari segi internalnya hubungan-hubungan dalam kelompok

sosial tergantung dari anggota-anggota kelompok itu, maka dengan demikian terdapat

hukum yang terlepas dari kewibawaan negara. Hukum seperti ini jika tidak mampu

menyelesaikan perkara diantara anggotanya maka hakim akan memfasilitasi

berdasarkan norma yang mereka telah sepakati. Dalam hal ini Ehrlich berpendapat,26 Eugen Ehrlich,1962, Op.Cit. p.491-492 27 Ibit, h.444

Page 19: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

At a later time, however, I realized that this method is not quite sufficient. Even the judicial decisions do not give a perfect picture of legal life. Only a tiny bit of real life is brought before the courts and other tribunals; and much is excluded from litigation either on principle or as a matter of fact. Moreover the legal relation which is being litigated shows distorted features which are quite different from, and foreign to, the same relation when it is in response. Who would judge our family life or the societies?28

Berkenaan dengan uraian tersebut terlihat, Ehrlichmengartikan hukum yang hidup

sebagai hukum yang menentukan bagi aturan kehidupan itu,

But the territory within which our codes are so incomparably, more varied, more subject to changes than they have ever been, that the mere idea of making a complete presentation in a code would be monstrous. To attempt to imprison the law of a time or of a people within the sections of a code is about as reasonable as to attempt to confine a stream within a pout. The water that is put in the pout is no longer a living stream but a stagnant pool, and but little water can be put in the pout. Moreover, if one considers that the living law had already overtaken and grown away from each one of these codes at the very moment the latter were enacted, and is growing away from them more and more every day, one cannot but realize the enormous extent of this as yet unploughed and unburied field of activity which is being pointed out to the modern legal investigator29.

Sejalan dengan uraian Ehrlich, Friedman, kemudian menyatakan bahwa Hukum,

adalah suatu kata yang sederhana yang memiliki makna banyak, sehingga sulit untuk

didefinisikan “apakah hukum itu”. Friedman menyitir pendapat Donald Black dalam

bukunya “The Behaviour of Law”,

Puts forward a concise, deceptively simple definition. Law, according to Black, is “govern mental social control.” By “social control” he means social rules and processes which try to encourage good or useful conduct or discourage bad conduct30..

Kemudian Friedman memberikan contoh, seperti: undang-undang tentang

kriminal, polisi, jaksa, dan hakim merupakan kelembagaan yang menyandang

pengawasan terhadap pelaksanaan hukum, mereka adalah contoh yang melaksanakan

kontrol sosial. Disamping itu, menurut Friedman :Law, according to Black, is social

28 Ibit. p.495 29 Ibit. p. 487-488

30 Ibid.

Page 20: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

control, but it is social control of one particular kind. Low is governmental sosial control .

masih ada hukum diluar aturan yang dibuat pemerintah, seperti: guru mempunyai

aturan sendiri untuk memelihara tingkah laku murid-muridnya, demikian juga orang tua

mempunyai aturan yang diterapkan dirumahnya. Agama juga, mempunyai aturan

mengenai perilaku dalam rangka mengarahkan mengajak pemeluk mereka berperilaku

saleh dan pantas untuk hidup sesuai dengan ajaran agamanya. Oleh karena itu

pengertian hukum itu sangat luas dan termasuk dalam pengertian ini adalah aturan –

aturan yang dibuat oleh masyarakat, utamanya aturan-aturan yang tumbuh dan

berkembang dikalangan masyarakat, sepreti hukum adat, termasuk pengertian “hukum”,

tetapi dalam hukum di AS bukan merupakan bagian dari “hukum” resmi. (Under Black

denfinition, then they are not law. At least we can say that in a country like. The United

States they are not part of the official law)31.

31 Friedman. Op.Cit, p4

Page 21: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

BAB III

METODE PENELITIAN

Sesuai dengan objek penelitian ini, maka untuk memahami perilaku dalam

penyelesaian sengketa tentu tidak dapat hanya dengan mengetahui hukum yang

digunakan untuk menyelesaian sengketanya, tetapi juga perlu memahami bentuk dan

proses penyelesaian sengketanya. Sejalan dengan uraian tersebut, Hamid Patilima

mengemukakan,

Alasan penggunaan pendekatan kualitatif karena penelitian tersebut bertujuan memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran, interaksi... Pada pendekatan kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data. Fokus penelitiannya pun ada pada persepsi dan pengalaman informan dan cara mereka memandang kehidupannya, sehingga tujuannya bukan untuk memahami realita tunggal, tetapi realita majemuk, penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada proses yang berlangsung dan hasilnya32

Oleh karena itu penentuan pendekatan dalam penelitian ini didasarkan pada

karakteristik data yang dicari, pendekatan ini didasarkan atas pandangan bahwa

hukum tidak dapat dilepaskan dengan kehidupan masyarakat tempat hukum itu

berlaku. Dalam menyelesaiakan sengketa, ada yang meminta penyelesaian ke

Pemerintah Desa, ada yang ke Pengadilan Agama, ke Pengadilan Negeri, bahkan ada

yang ke Kepolisian. Oleh sebab itu, penelitian ini bergerak dalam tataran masyarakat

untuk melihat bentuk dan cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Sejalan

dengan uraian tersebut Soetandyo mengemukakan.

Metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas, kasuistik sifatnya, namun mendalam (in depth) dan total/menyeluruh (holistik), dalam arti tidak mengenal pemilahan-pemilahan gejala secara konseptual kedalam aspek-aspeknya yang ekslusif yang kita kenal dengan sebutan variabel.

Metode kualitatif juga dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti apa yang dipersepsikan oleh warga masyarakat

32 Hamid Patilima, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, CV Alfabeta Bandung, h.67

Page 22: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

itu sendiri dan dari kondisi mereka sendiri yang tak diivestigasi oleh pengamat penelitinya (naturalistik)33.

Atas dasar uraian di atas, maka pada penelitian ini tidak hanya mengkaji hukum

dari aspek normanya saja, tetapi juga dari realitas hukum yang dimengerti dan

dilaksanakan oleh masyarakat, baik norma hukum negara maupun norma hukum adat

dan norma hukum agama (Islam), karena dalam kisaran normatif tersebut perilaku itu

berada, menjadi format dan motivasi bertindak.

Bertolak dari obyek penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian yang

dapat digolongkan dalam penelitian socio-legal-anthropologies, karena hukum

yangmenjadi obyek kajian dilihat dari perspektif sosiologis-antropologis. Penelitian ini

memadukan tiga disiplin, yaitu disiplin hukum (hukum adat), disiplin sosiologi dan

disiplin antropologi. Merupakan studi hukum sosiologis karena hukum yang dikaji

adalah hukum dalam prilaku masyarakat, yaitu menyangkut faktor-faktor yang

mempengaruhi cara penyelesaian sengketa dalam perkawinanmeraik. Dikatakan studi

hukum antropologis karena secara ontologis substansi yang dikaji dalam studi ini

merupakan bagian dari sistem hukum, yakni komponen prosedural hukum. Bagaimana

masyarakatSasak memilih bentuk-bentuk penyelesaian (perdata, pidana, adat).

Dikatakan penyelesaian perdata, apabila penyelesaian yang dilakukan menggunakan

hubungan personal, tidak menggunakan kelembagaan masyarakat yang telah ada.

Disebut pidana apabila dalam penyelesaian sengketa tersebut melibatkan aparat

kepolisian dan dikatakan penyelesaian adat apabila menggunakan mekanisme

kelembagaan adat, baik berupa krama adat, Kepala Desa maupun Camat. Atas dasar

karakteristik tersebut maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan ini dapat digali latar belakang yang

mempengaruhi pihak bersengketa dalam memilih cara penyelesaian sengketanya.

Penelitian tentang penyelesaian sengketa dalam perkawinan merarik tidak

dapat dilepaskan dengan kondisi pluralitas hukum dalam masyarakat di Indonesia,

terutama bekerjanya hukum negara dan hukum adat pada suatu situasi sosial

komunitas seperti pada masyarakat Sasak di Lombok. Bekerjanya beberapa sistem

hukum yang berbeda yang mengatur perkawinan merupakan keharusan, karena semua

sistem hukum tersebut mengatur tentang syahnya perkawinan. Keberadaan hukum

33 Soetandyo Wignjosoebroto, Bebarapa Persoalan Paradigmatik Dalam Teori Dan Konsekuensinya Atas Pilihan Metode Yang Akan Dipakai. Dalam Kumpulan Makalah Bahan Bacaan Metode Penelitian Hukum, dihimpun oleh Valerine J.L.K. Fakultas Hukum UI tanpa tahun, h, 103.

Page 23: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

negara sebagai bentuk manifestasi kedaulatan negara akan terus menjadi pedoman

kehidupan masyarakat. Sedangkan dalam masyarakat terdapat sistem sosial yang

dikembangkan sebagai bagian dari eksistensi diri terhadap kondisi lingkungan sosial

mereka. Kedua fenomena hukum tersebut akan selalu ada pada hukum perkawinan

Indonesia. Mendasarkan pada fenomena dan pilihan konstruktivisme sebagai

paradigma dalam penelitian ini, maka penelitian ini bersifat kualitatif.

Menurut David D. William, setidaknya ada tiga hal pokok yang membedakan

apakah suatu penelitian bersifat kualitatif atau kuantitatif yaitu,

1. pandangan-pandangan dasar (axioms) tentang sifat realitas yang bersifat ganda dan hasil konstruksi dalam pengertian dan holistik, hubungan peneliti dengan yang diteliti sifatnya interaktif dan tak dapat dipisahkan, posibilitas penarikan generalisasi hanya dimungkinkan dalam ikatan konteks dan waktu (idiographic statements), posibilitas dalam membangun suatu jalinan hubungan kausal merupakan suatu keniscayaan dalam arti mustahil memisahkan sebab-sebab dari akibatnya, serta peranan nilai dalam penelitian merupakan suatu keharusan dan karenanya penelitian kualitatifsifatnya tidak bebas nilai.

2. karakteristik pendekatan penelitian itu sendiri;

3. proses yang diikuti untuk melaksanakan penelitian kualitatif.34

Di samping pendekatan kualitatif, penelitian ini juga menggunakan

pendekatan filosofis.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

34Sanafiah Faisal, 1990,Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasi, Penerbit Y A 3 Malang, , Hal. 17-18.

Page 24: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

4.1. Kasus Sengketa Perkawinan Merarik Di Masyarakat

Kasus kesatu : Sengketa Karena Acara Sejati Tidak Ditanggapi

Berdasarkan hasil wawancara dengan Haji Taswir35(mempelai laki-laki),

bahwa calon istrinya telah dijodohkan dengan sepupunya tetapi ia tolak

rencana perjodohan tersebut, kemudian ia memilih Haji Taswir sebagai calon

suaminya. Sebagai bentuk penolakan atas rencana perjodohan tersebut, Ismi

Amni berinisiatif untuk melakukan perkawinan merarik bersama Haji Taswir.

Atas inisiatif itulah perkawinan merarikkemudian dilakukan Haji Taswir pada

malam hari, ketika keluarga calon istri sedang melaksanakan shalat Maghrib.

Kesempatan itu digunakan Haji Taswir untuk membawa calon istri ke rumah

pamannya. Selanjutnya, keluarga Haji Taswir segera melakukan acara sejati.

Yaitu, pemberitahuan secara adat kepada orang tua calon mempelai wanita

tentang adanya perkawinan merarik. Acara sejati dilakukan dengan maksud

agar tidak terdapat cacat cela dalam pandangan masyarakat tentang apa

yang mereka lakukan.

Namun demikian, acara sejati yang dilakukan oleh pihak keluarga Haji

Taswir tidak mendapat respon yang positif dari keluarga calon istri. Kondisi

ini menjadi awal penyebab munculnya sengketa antara keluarga Haji Taswir

dengan keluarga calon istrinya tersebut. Dibekali dengan niat untuk

menyelesaikan perkawinan putra-putrinya maka pada tanggal 21 Desember

2005, keluarga Haji Taswir melanjutkan tahapan adat selabar. Yaitu,

pembicaraan tentang penyelesaian yang akan dilakukan berkaitan dengan

kegiatan perkawinan merarik yang telah terjadi. Kegiatan selabar biasanya

dirangkaikan dengan kegiatan bait wali ( permintaan wali). Kegiatan selabar

dan bait wali biasanya dipercayakan kepada PenghuluDesa yang saat itu

dilakukan oleh H. Khaeri dan Abdurrahman, salah seorang keluarga Haji

Taswir. Pada saat dilakukan selabar, keluarga Haji Taswir tidak bertemu

dengan Haji Mustafa (yaitu orang tua dariIsmi Amni)karena mereka sedang

pergi berobat ke Dokter.

Tiga hari setelah kedatangan yang pertama, tepatnya pada hari Senin,

23 Desember 2005, utusan keluarga Haji Taswir kembali mendatangi orang

35Wawancara dengan Haji Taswir mempelai laki-laki tanggal 20 Pebruari 2013.

Page 25: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

tua calon mempelai wanita. Bertindak selaku utusan adalah Kepala Kantor

Urusan Agama Kecamatan Mataram, Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan Cakranegara, dan Haji Khairi selaku Pegawai Pencatat Nikah

Kelurahan Karang Pule serta beberapa orang anggota keluarga Haji Taswir.

Kedatangan utusan yang dilakukan oleh penjabat dari lingkungan

Departemen Agama tidak biasa terjadi dalam kalangan Suku Sasak. Hal ini

semata-mata dilakukan dengan maksud agar orang tua dan keluarga pihak

wanita tergugah untuk turut menyelesaikan persoalan perkawinan anaknya.

Namun kedatangan utusan keluarga Haji Taswir tidak juga memperoleh hasil

berkaitan dengan permintaan wali maupun acara lanjutan dari perkawinan

tersebut, karena Haji Mustafa sendiri sedang tidak berada di rumah.

Kedatangan mereka diterima oleh Haji Rusdi, Haji Munawir, dan Muktamad

sebagai perwakilan dari keluarga Haji Mustafa. Utusan keluarga Haji Taswir

bahkan diminta untuk datang kembali sepuluh hari lagi karena pihak

keluarga wanita harus mengadakan musyawarah untuk membahas hal

tersebut.

Sikap yang ditunjukkan pihak orang tua wanita dianggap sebagai

bentuk upaya untuk menghalang-halangi perkawinan adat merarik oleh pihak

keluarga Haji Taswir. Menyikapi hal tersebut, menurut Haji Taswir,36 maka

keluarganya berupaya mendatangi Tuan Guru, mereka berharap agar Tuan

Guru memberikan fatwa kepada orang tua mempelai wanita. Tetapi karena

Tuan Guruberhalangan, maka Tuan Guru pun mengirim utusan untuk

menemui orang tua Ismi Amni. Namun setelah kedatangan utusan dari Tuan

Guru itu pun tidak terlihat adanya respon positif dari orang tua Ismi Amni,

sehingga keluarga calon mempelai laki-laki merasa telah menemui jalan

buntu. Akhirnya keluarga calon mempelai laki-laki meminta fatwa para alim

ulama di desanya. Ternyata fatwa yang diberikan membenarkan pernikahan

dapat dilakukan tidak dengan wali mujbir, sekalipun wali mujbir masih hidup

dengan syarat permintaan wali telah diupayakan dengan maksimal dan

sungguh-sungguh untuk memperolehnya. Dalam keadaan demikikan

pernikahan dapat dilakukan dengan wali hakim, asalkan jarak tempat tinggal

wali mujbir melebihi 2 marhaladari tempat diselenggarakan pernikahan.

36Wawancara dengan Haji Taswir mempelai laki-laki tanggal 20 Pebruari 2010

Page 26: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Atas dasar fatwa tersebut, kemudian Penghulu (Pegawai Pencatat

Nikah) Kelurahan Karang Pule memohon kepada Kepala Kantor Urusan

Agama Kecamatan Ampenan untuk menerbitkan rekomendasi pelaksanaan

pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Plampang Kabupaten

Sumbawa. Dipilih Kecamatan Plampang karena;satu, syarat yang ditentukan

telah melebihi jarak 2 marhala dari tempat tinggal wali mempelai wanita,

dua, di tempat tersebut terdapat sahabat yang akan menghubungkannya

dengan KUA setempat. Atas rekomendasi tersebut kemudian pernikahan

dilaksanakan di Plampang dengan Wali Hakim (Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan Plampang) tanggal 25 Desember 2005 dengan akte nikah No. :

332/19/II/2005. Dengan demikian perkawinan kedua mempelai telah

dianggap sah, baik menurut Hukum Agama maupun Hukum Negara.

Sedangkan acara adat tidak dilangsungkan karena sejak acara sejati selabar

kedua keluarga belum mencapai kesepakatan tentang wali dan tatakrama

adat. Akibat dari tatacara adat belum dilaksanakan, maka hubungan baik

kedua mempelai dan kelurga besarnya menjadi tidak harmonis.

Atas pernikahan tersebut, orang tua mempelai wanita selaku wali

mujbirmerasa telah dilangkahi dan dicabut haknya selaku wali dari anaknya

dan atas dasar itulah kemudian orang tua Ismi Amni mengajukan pembatalan

pernikahan ke Pengadilan Agama Mataram. Putusan Pengadilan tingkat

pertama membatalkan perkawinan mempelai berdua. Tetapi mempelai

berdua kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Mataram

dan memutuskan perkawinan yang telah dilaksanakan dengan wali hakim

telah memenuhi syarat dilihat dari cara memperolehnya dan karena itulah

perkawinannya dinyatakan sah menurut hukum Islam. Kembali orang tua

mempelai wanita mengajukan kasasi dan Putusan Mahkamah Agung

membenarkan perkawinan dapat dilakukan tidak dengan wali mujbir dalam

jarak tempat tinggal wali dan tempat diselenggarakannya perkawinan

dibatasi oleh jarak 2(dua) marhala, tetapi tidak dibenarkan meninggalkan

wali mujbir untuk pergi melangsungkan perkawinan kejarak 2(dua) marhala.

Dengan demikian Mahkamah Agung membatalkan pernikahan yang

dilakukan tidak dengan wali mujbir sedangkan wali mujbir masih hidup dan

menyatakan pernikahan harus diulang dan dilaksanakan oleh wali mujbir.

Page 27: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Kasus kedua : Sengketa Karena Perbedaan Proses Pelaksanaan Adat Sejati

Menurut keterangan Ichwan (sekarang suami dari Baiq Nety),

perkawinannya dengan Baiq Nety berusaha dicegah oleh orang tua Baiq

Nety. Pencegahan tersebut dilakukan dengan mengajukansurat pencegahan

perkawinan kepada Pengadilan Agama Mataram, tertanggal 8 Juli 2008 dan

terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Agama Mataram dengan No. :

35/Pdt.P/2008/PA.MTR. Dalam surat pencegahan perkawinan tersebut Lalu

Muria orang tua Baiq Nety mengemukakan hal-hal sebagai berikut,

Bahwa pada hari Rabu, tanggal 19 Maret 2008 sekitar pukul 16.00

wita, Baiq Nety berpamitan untuk keluar rumah untuk menjenguk temannya

yang sedang sakit. Namun sampai sekitar pukul 18.30 Baiq Nety

belumkembali, keadaan tersebut menyebabkan keluarganya diliputi

kekhawatiran. Setelah ibunya berhasil menghubung, kemudian berpesan

agar Netysegera pulang, namun ternyata setelah ditunggu hingga larut

malam sampai keesokan harinya pun ternyata Baiq Nety tidak kunjung

pulang.

Tanpa disangka, pada hari Sabtu, tanggal 22 Maret 2008, Lalu Muria

didatangi Kepala Lingkungan Pelita, untuk melaksanakan acara sejati, bahwa

Baiq Nety telah berada di keluarga Ichwan dan menyatakan diri telah

melaksanakan perkawinan merarik.

Untuk menyelesaikan perkawinan merarik tersebut, maka Lalu Muria

dan keluarga besarnya bermusyawarah, hasil musyawarah tersebut adalah,

mereka bersedia menikahkan anak kandungnya sesuai dengan proses agama

dan adat Sasak asalkan dilaksanakan di rumahnya.

Menanggapi keputusan tersebut pihak keluarga Ichwan justru terkejut,

karena cara yang diputuskan itu adalah prosedur yang tidak wajar dalam

adat Sasak. Ichwan dan keluarganya sejak semula menyadari, bahwa calon

istrinya tidak setara dengannya, oleh karena itu putusan krama waris

keluarga wanita ditanggapi sebagai cara untuk mengambil kembali anaknya

yang dalam proses perkawinan merarik.

Page 28: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Sikap yang ditunjukkan keluarga Ichwan tersebut menyebabkan

keluarga wanita tersinggung dan melaporkan peristiwa tersebut sebagai

penculikan ke Polisi Daerah Nusa Tenggara Barat. Atas dasar laporan

tersebut kemudian dikirim tim Buru Sergap untuk menangkap pelaku

penculikan (dalam hal ini Ichwan) yang diperkirakan bersembunyi di Desa

Tanjung. Peristiwa tersebut, dari awal telah diperkirakan oleh Baiq Nety dan

Ichwan, mengingat keluarga Baiq Nety ada yang bertugas sebagai petinggi di

Polisi Daerah Nusa Tenggara Barat. Perkiraan tersebutmendasari mereka

mengatur strategi untuk melaksanakan adat besebo (sembunyi), semula

mereka besebo di Desa Tanjung di rumah keluarga Ichwan, kemudian dengan

diantar keluarga, mereka pindah ke tempat yang aman dan terlindung di

rumah saudaranya di Kelurahan Rembiga Kota Mataram. Namun demikian

petugas Kepolisian berhasil mengetahui keberadaan Ichwandan datang pada

keesokan harinya dengan maksud untuk menangkap Ichwan, tetapi Kepala

Lingkungan di tempatnya bersembunyi (besebo) bersama masyarakat

memberikan penjelasan kepada petugas, bahwa peristiwa yang terjadi bukan

tindak pidana, melainkan perkawinan merarik menurut tatacara adat Sasak.

Penjelasan tersebut disertai juga dengan keterangan Baiq Nety yang

menyatakan, bahwa peristiwa yang sedang berlangsung adalah peristiwa

perkawinan merarik bukan penculikan. Mendengar penjelasan masyarakat

dan pernyataan dari Baiq Nety, membuat petugas mengerti, bahwa peristiwa

yang terjadi adalah proses perkawinan merarik dan menyarankan untuk

diselesaikan secara kekeluargaan.

Karena penyelesaian melalui Kepolisian tidak membuahkan hasil,

maka orang tua Baiq Nety mengajukan permohonan pencegahan perkawinan

ke Pengadilan Agama Mataram yang dikuasakan kepada Akmal, SH,.Dalam

keadaan menunggu respon pengadilan Agama Mataram, Lalu Muria, orang

tua Baiq Nety, dikejutkan dengan adanya panggilan dari Pengadilan Agama

Mataram sehubungan dengan adanya permohonan Wali Adhol yang diajukan

oleh anaknya sendiri.

Menurut Ichwan, permohonan wali adhol dilakukan oleh Baiq Nety

karena sikap orang tuanya yang berlarut-larut dalam menyelesaikan

masalah. Permohonan wali Adhol ke Pengadilan Agama Mataram diajukan

Page 29: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Baiq Nety melalui surat permohonan tanggal 24 Maret 2008, dan terdaftar di

Kepaniteraan Pengadilan Agama Mataram dengan No. :

14/Pdt.P/2008/PA.MTR. tanggal 24 Maret 2008.

Menurut Pengakuan Ichwan,37 mereka telah berpacaran cukup lama

dan sepakat untuk melanjutkan hubungan tersebut ke jenjang pernikahan,

bahkan kira-kira 2 (dua) bulan sebelum perkawinan merarik, Baiq Nety

secara berangsur-angsur telah membawa pakaiannya sedikit demi sedikit

untuk dititipkan pada salah seorang teman, hingga pada malam Kamis

tanggal 19 Maret 2008 akhirnya Baiq Nety melangsungkan perkawinan

merarik bersama Ichwan.

Menurut Ichwan, untuk ketiga kalinya yaitu hari minggu, 23 Maret

2008 Kepala Lingkungan Rembiga Utara bersama salah seorang tokoh

masyarakat setempat kembali menemui Kepala Lingkungan Dasan Agung

Pelita untuk memastikan apakah bisa dilakukan selabar (musyawarah

keluarga) antara keluarga Baiq Nety dengan pihak kelurga calon suami,

ternyata pihak keluarga Baiq Nety menolak untuk memberikan wali. Bahkan

pihak kelurga Baiq Nety terus berupaya untuk menggagalkan/memisahkan

Baiq Nety dengan Ichwan dengan berbagai cara. Terakhir, Kepala

KampungRembiga yang diutus melaksanakan sejati (memberitahukan)

kepada keluarganya yang berada di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat

Kabupaten Lombok Tengah. Orang tua/ayah Baiq Nety menyatakan, tidak

mau menerima selabar dan memberikan wali (tidak mau menikahkan) Baiq

Nety dengan Ichwan dengan alasan yang tidak jelas. Akhirnya setelah Baiq

Nety mengajukan permohonan Wali Adhol ke Pengadilan Agama Mataram,

sikap orang tuanya mulai melunak. Keadaan itulah yang dipergunakan

Keluarga Ichwan untuk memulai perundingan baru. Akhirnya kedua pihak

sepakat untuk menarik permohonannya. Atas dasar itu kemudian

dilaksanakan akad nikah. Sedangkan penyelesaian kewajiban adat dilakukan

secara sepihak karena keluarga Baiq Nety tidak menerima acara sorong

serah.

37Wawancara dengan Ichwan, sekarang suami Baiq Nety di Kantor KORPRI NTB tanggal 5 Nopember 2013.

Page 30: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Menurut Lalu Fauzi,38Paman dariBaiq Nety, persoalan ini sebenarnya

sejak awal sudah menempuh langkah keliru, utamanya menyangkut

pelaksanaan adat sejati. Sejati seharusnya dilaksanakan melalui Kepala

Kampung setempat, secara adat tidak diperkenankan untuk datang langsung

kepada keluarga wanita. Di dalam tatakrama adat, Kepala Kampung harus

mengetahui setiap peristiwa perkawinan merarik yang dilakukan oleh

warganya.

Ketika ditanya mengapa harus dengan perkawinan merarik,

dikemukakan lalu Fauzi bahwa, perkawinan merarik menurut adat Sasak

sudah mempunyai tatacara tersendiri. Jika perkawinan antar sepupu dapat

dilakukan dengan cara dijodohkan (perondong), kalau di antara orang tua

telah terjalin persahabatan makaperkawinan berlangsung dengan

meminang(belakok), tetapi kalau di antara orang tua mempelai tidak terikat

dalam hubungan keluarga atau hubungan persahabatan, maka perkawinan

tersebut diserahkan menjadi inisiatif muda-mudi yang kemudian

melaksanakannya dengan perkawinan merarik.

Kasus ketiga : Sengketa Endekn Sekufu (Tidak Setara)

Menurut Mahruf,39 Awaludin (34 th) melakukan perkawinan merarik

dengan Reni Ratmini (16 th), namun di sisi lain orang tua Reni Ratmini

mengadukan peristiwa tersebut ke Polisi sebagai perbuatan kriminal. Atas

dasar pengaduan tersebut kemudian Awaludin ditangkap dalam peseboan

sebelum acara selabar dilaksanakan, tepatnya tanggal 13 Mei 2007. Reaksi

keluarga Awaludin menanggapi persoalan tersebut, pertama-tama

melaporkan peristiwa tersebut kepada Kepala Desa. Selanjutnya Kepala Desa

dan keluarga Awaludin menghadap ke Kepolisian Lombok Tengah pada hari

Senin tanggal 15 Mei 2007, maksudnya adalah untuk memberikan penjelasan

kepada Polisi, bahwa peristiwa yang dilaporkan oleh keluarga Reni adalah

peristiwa perkawinan merarik bukan perbuatan kriminal. Petugas Kepolisian

juga memahami peristiwa tersebut, tetapi sebagai petugas harus

38Wawancara dengan Lalu Fauzi Paman dari Baiq Nety, tanggal 5 Nopember 2013 di rumah Lalu Fauzi Lingkungan Pelita Dasan Agung.

39Wawancara dengan Mahruf, Staf Kepala Desa Mertak tanggal 4 Nopember 2013 di Kantor Kepala Desa.

Page 31: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

menanggapi setiap pengaduan masyarakat. Dalam pertemuan tersebut,

orang tua Awaludin dan rombongan disarankan untuk bermusyawarah

dengan keluarga Reni Ratmini. Pada hari itu juga rombongan keluarga

Awaludin dan Kepala Desa berusaha menemui orang tua Reni Ratmini.

Rombongan Kepala Desa diterima oleh orang tua Reni Ratmini dan

keluarganya. Dalam pertemuan tersebut Kepala Desa menjelaskan maksud

kedatangannya dan memberitahukan, bahwa mereka telah menghadap Polisi

Resort Lombok Tengah danpetugas menyarankan untuk menyelesaikan

peristiwa tersebut secara adat. Setelah mendengar penjelasan Kepala Desa,

orang tua Reni Ratmini menyatakan, mengerti akan maksud kedatangan

rombongan dan memohon waktu untuk memberikan jawaban. Akhirnya

disepakati pertemuan dilanjutkan keesokan harinya di Kantor Kepala Desa.

Pertemuan dimulai sekitar pkl.10.30 wita yang juga dihadirioleh Reni

Ratmini. Kepala Desa didampingi oleh Penghulu Desa duduk berjejer di depan

meja dan masing-masing Kepala Dusun duduk mendampingi dua keluarga.

Empat orang Keluarga Awaludin duduk di dua buah bangku panjang,

bersebelahan terpisah dari keluarga Reni Ratmini yang juga berjumlah 4

orang. Sementara keluarga lainnya yang mengikuti rombongan masing-

masing, duduk di halaman kantor Desa. Kepala Desa meminta Penghulu Desa

mencatat hal-hal penting dari pembicaraan selama pertemuan berlangsung.

Kepala Desa membuka pertemuan dengan mengemukakan maksud

diadakannya pertemuan, yaitu untuk menyambung silaturrahim sebagai

kewajiban setiap manusia sehingga dengan demikian umat manusia akan

dapat saling kenal-mengenal, saling tolong menolong. Jika semua itu dapat

dilaksanakan tentu akan mudah tercapai masyarakat yang dicita-citakan

yaitu masyarakat adil makmur, aman dan sentosa. Untuk itu dalam

menjalankan kehidupan kita berkewajiban untuk saling memperingati, kira-

kira seperti itulah kata-kata pembukaan tersebut, kemudian dilanjutkan

dengan dialog. Kepala Desa meminta kepada kedua pihak untuk

mengemukakan apa saja yang menjadi hambatan sebagai akibat dari

peristiwa kawin lari putra-putri mereka. Dialog kemudian berlangsung,

kesempatan pertama diberikan kepada ayah Reni Ratmini (Muhammad Albar

alias Lebar),

Page 32: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Muhammad Albar alias Bapak Lebar :

Bapak Lebar menuding, bahwa Awaludin telah melarikan putrinya yang

masih di bawah umur (16 tahun). Dikatakannya, bahwa putrinya belum

layak untuk dinikahi, belum bisa berpikir untuk membiayai dirinya,

endekne tao osek idusne (belum bisa membersihkan ingusnya),

endekman tao ngemi-ngelak (belum bisa menanak nasi),putrinya

hanya bisa bersekolah dan ia berharap agar putrinya itudapat

melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Keadaan tersebut

menyebabkannya belum ikhlas melepas Reni berumah tangga.

Selain itu dikatakannya pula, bahwa keluarga Awaludin juga tidak

pernah menyelenggarakan acara adat selabar, hal ini membuat Bapak

Lebar sekeluarga menjadi malu,endekke tao sebok dirikke (saya tidak

dapat menyembunyikan diri) di hadapan tetangga, waris.

Suhartini alias Ibu Ati (Ibu Reni Ratmini)

Ibu Ati meminta anaknya dikembalikan, ia merasa bahwa mereka tidak

akan cocok hidup berumah tangga, umur mereka terpautrelatif jauh,

Awaludin terlalu tua untuk menjadi suami bagi anaknya, karena usia

Awaludin hampir seumuran dengan Bapak Lebar (Bapak Reni Ratmini).

Reni masih kecil, tindok bae telatahne (tidur saja masih minta

ditemani). Endekman tao urus bale langgak (belum bisa mengurus

rumah tangga), masihne main cungkit kance kanak (masih suka

bermain dengan anak-anak), endekman tao ngemi-ngelak-nyapu

nyampat (belum bisa memasak dan mengurus rumah), embe entan ne

merarik (bagaimana jika nanti kawin tapi belum bisa apa-apa).

Selelah orang tua Reni Ratmini menumpahkan semua kekesalannya,

Kepala Desa tidak berkomentar, langsung meminta keluarga Awaludin untuk

menyampaikan pendapatnya, salah seorang keluarga Awaludin bernama

Jumadil alias Jeman mengutarakan,

1. Pada prinsipnya sangat memahami perasaan kedua orang tua Reni,

selanjutnya ia mengemukakan, bahwa peristiwa itu menjadi masalah

bersama, bahkan Kepala Desa dan Kepala Dusun pun harus turun

tangan dan ikut kerepotan juga.

Page 33: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

2. “Kalau saja kita tidak terpanggil untuk mengurus persoalan ini, tidak

berniat untuk kemaslahatan kita bersama, saling urus-saling pajar

(menganggap persoalan bersama), kita tentu tidak akan datang ke

tempat ini, tetapi Bapak Kepala Desa, Penghulu dan Kadus yang

urusannya banyak sekali, masih menyediakan waktu, inilah ikhtiar kita

untuk mengurus gumi-paer”.

3. Dilanjutkannya, “Jika mufakat memutuskan peristiwa ini dianggap

keliru, saya juga sepaham. Kewajiban ite-pade jap barang keliru jari

solah, marak tepenje kereng robek (tetapi kewajiban kita adalah

mengatur yang salah menjadi baik, seumpama menjahit kain yang

sobek)”.

Setelah Jumadi menyampaikan pendapatnya, Kepala Desa

menyambung pembicaraan, dengan mengatakan, sangat mengerti

persoalan yang sedang dihadapi oleh kedua keluarga besar dan hal ini

muncul dari dalam keluarga masing-masing, mule jak, endekte semel

tetaok isik dengan (persoalan keluarga tidak sepantasnya diketahui

orang lain), peristiwa seperti ini bukan terjadi sekali dan hanya dari

keluarga besar ini saja, peristiwa seperti ini sudah dianggap menjadi

persoalan Desa, sekalipun ada di antaranya yang diselesaikan di

tingkat gubuk (dusun) oleh Kadus masing-masing. Selanjutnya Kepala

Desa menawarkan 2 (dua) hal:

Pertama : pembicaraan diarahkan untuk menyelesaikan urusan

Kepolisian,

Kedua : pembicaraan menyangkut cara penyelesaian peristiwa

yang telah dilakukan oleh Awaludin dan Reni Ratmini.

(catatan: Kepala Desa tidak menyebut peristiwa

perkawinan merarik)

Setelah Kepala Desa menawarkan kepada kedua belah pihak, salah

satu keluarga Awaludin mengusulkan, agar pembicaraan yang kedua

itu menjadi pembicaraan nomor satu. Tetapi sebelum ditanggapi

Kepala Desa, Kepala Dusun yang duduk di samping Keluarga Awaludin,

spontan mengatakan, bagaimana akan membicarakan penyelesaian

Page 34: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

perkawinan merarik kalau yang bersangkutan ada di tahanan

Kepolisian.

Akhirnya Kepala Desa kembali pada tawarannya semula. Kemudian

salah satu keluarga Awaludin yang lain mengemukakan, bahwa

keluarga mereka berada dalam posisi menerima, karena yang paling

menentukan dalam mufakat ini adalah keluarga Bapak Lebar dan

kesungguhan Reni sendiri, betul tidaknya dia mau kawin harus

didengarkan keterangan Reni.

Bapak Lebarkemudian menjawab, tetap berkehendak untuk

memisahkan anaknya, ia beralasan belum waktunya untuk kawin, Reni

akan disekolahkan sampai di mana saja keinginan anaknya itu untuk

bersekolah.

Kepala Desa menawarkan kepada Kelapa Dusun, kemudian Kepala

Dusun Meretak mengusulkan, bagaimana kalau peristiwanya tidak

dianggap merarik karena belum melaksanakan adat sejati, oleh karena

itu, maka Awaludin dapat dikeluarkan dari tahanan.

Beberapa saat kemudian Bapak Lebar merasakankepalanya menjadi

berat, mungkin karena ia tidak mampu menyampaikan pendapat

dalam pertemuan tersebut, sehingga ia mohon waktu untuk berpikir.

Kepala Desapun meminta pendapat hadirinagar memberi kesempatan

kepada keluarga Reni untuk berpikir dengan tenang, menimbang

semua persoalannya, sehingga dapat memutuskan yang terbaik dari

peristiwa yang sedang dialaminya. Namun sebelum acara ditutup

Kepala Desa meminta kepada ayah Reni untuk menentukan kapan

jawaban dapat diberikan agar bagi keluarga Awaludin mendapat

kepastian waktu untuk menunggu. Setelah tawar menawar kemudian

disepakati hari kamis, yaitu 3 hari dari saat pertemuan yang sedang

diadakan. Pertemuan pada hari itu kemudian ditutup oleh Kelapa Desa

dan meminta kepada para pihak untuk dapat mengendalikan diri,

memelihara keamanan dan Kepala Lingkungan diminta untuk selalu

berkomunikasi dengan masing-masing keluarga dan menyampaikan

perkembangan yang terjadi kepada Kepala Desa.

Menurut pengakuan Bapak Lebar, ia telah lama mengetahui perihal

hubungan anaknya dengan Awaludin dan pernah meminta Awaludin

Page 35: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

memberikan kesempatan kepada Reni untuk menyelesaikan

sekolahnya terlebih dahulu, disampaikan pula bahwa ia selalu

berhubungan baik dengan Awaludin.

Awaludin, mengakui bahwa dirinya mencintai Reni dan sudah menjalin

hubungan selama kurang lebih 11 bulan, kemudian memilih

perkawinan merarik karena ingin cepat menikah. Di samping itu, Reni

sendiri yang mengusulkan perkawinan merarik. Ketika ditanya apakah

cara perkawinan yang mereka tempuh berkaitan dengan biaya yang

tersedia?, Awaludin mengatakan, bahwadasarnya mereka saling

mencintai, jadi tidak ada kaitannya secara langsung dengan biaya,

kalau berani memutuskan untuk melakukan perkawinan merarik

semuanya harus sudah siap (maksudnya siap secara fisik maupun

mental termasuk biaya), seumpama seseorang yang telah melakukan

perkawinann merarik, kemudian dibebani biaya penyelesaian yang

tinggi oleh keluarga perempuan, maka keluarga besar laki-laki harus

ikut menanggungnya, karena hal ini menyangkut nama baik, harga diri

dan martabat waris.

3 (tiga) hari kemudiandiadakan pertemuan lanjutan, dimulai lebih

kurang pukul. 10.00 wita, para pihak yang hadir sama seperti

pertemuan sebelumnya, Kepala Desa menyampaikan kata-kata

pembuka yang intinya berupa harapan adanya perdamaian, dan

berharap kasus ini segera selesai. Kepala Desa kemudian

mempersilahkan siapa yang lebih dahulu akan menyampaikan

pendapatnya. Wakil dari keluarga Awaludin mohon diberi kesempatan

pertama dengan mengemukakan, jika alternatif tawaran penyelesaian

yang sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya belum

mendapatkan jawaban, maka keluarga Awaludin meminta, agar Reni

sendiri yang memutuskan apakah Reni memang sudah bulat hati

hendak melakukan perkawinan merarik bersama Awaludin. Tampaknya

Kepala Desa pun setuju atas keputusan tersebut. Selanjutnya Kepala

Kampung Meretak menanggapi, bahwapada malam sebelum

pertemuan tersebut, keluarga Reni sudah berunding dan meminta

dirinya untuk menyampaikan hasil perundingan. Adapun hasil

perundingannya sebagai berikut,

Page 36: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

1. Orang Tua dan keluarga Reni sebenarnya sudah pasrah, mereka

sangat mencintai Reni dan berharap agar nantinya sang anak

mendapatkan pendidikan yang layak, keinginan itu kiranya tidak

hanya menjadi keinginan keluarga Reni semata, tetapi telah menjadi

keinginan bersama seluruh masyarakat agar setiap anggotanya

memiliki pendidikan yang tinggi, namun demikian jika harapan

bersama itu tak dapat diraih oleh Reni, maka keluarga telah ikhlas.

2. Orang tua dan keluarga Reni tidak berani melaksanakan perkawinan

anaknya karena masih di bawah umur.

3. Jika mufakat pada hari itu, misalnya memutuskan untuk

mengatakan boleh dan pernikahan kemudian dilangsungkan,

apakah guru dan kepala sekolah tempat Reni belajar dapat dijamin

setuju dengan pernikahan di bawah umur?

4. Kepada Bapak Kepala Desa dan Bapak Penghulu Desa serta

keluarga Awaludin apakah berani menjamin,kalaupernikahan yang

dilangsungkan merupakan pernikahan yang dicatat oleh Penghulu

dan akan mendapatkan buku nikah? Kalau semua pertanyaan

tersebut dapat dicarikan jalan keluar, maka Orang tua Reni akan

datang sendiri sebagai wali untuk menikahkan anaknya.

Setelah Kepala Dusun berpendapat, kemudian Kepala Desa meminta

penghulu untuk menyampaikan tanggapannya, tetapi ternyata

penghulu tidak tegas menjawab, intinya akan berkonsultasi dulu

dengan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Praya. Setelah itu

Kepala Desa menunda rapat dan meminta kedua Kepala Lingkungan

dan penghulu memasuki ruangan Kepala Desa. Pembicaraan di

ruangan tersebut menyangkut kepastian pelaksanaan perkawinan.

Tetapi Penghulu Desa tidak berani melaksanakan perkawinan

tersebut, karena mempelai wanita masih di bawah umur. Ketika

perundingan sedang berlangsung, salah seorang pegawai di kantor

Kepala Desa memasuki ruangan dan menyampaikan, bahwa

pengakuan Awaludin di Polisi, mereka berdua telah berhubungan intim

dan disampaikan pula bahwa Reni saat itu sudah telat haid selama 3

(tiga) bulan. Kepala Desa kemudian bertanya darimana sumber berita

itu diperolehnya dan Pegawai tersebut menyebut nama seseorang,

Page 37: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

selanjutnyaPenghulu Desa menyarankan kepada Kepala Desa untuk

meminta orang tua Reni memasuki ruangan. Ayah Reni kemudian

dikonfirmasi tentang berita tersebut dan ia menjawab akan

menanyakan kembali kepada Reni, tetapi akan ditanyakannya di

rumah bersama dengan istrinya. Pertemuan pada hari itu dinyatakan

selesai dan dilanjutkan keesokan harinya.

Keesokan harinya tidak ada pertemuan formal, kedua keluarga, kedua

kepala Dusun dan Kepala Desa berangkat ke kantor Polisi Resort

Lombok Tengah. Sesampainya di kantor Polisi rombongan diterima

oleh Kepala Seksi Reserse, kemudian Kepala Desa menyampaikan

maksud kedatangan rombongan, singkatnya kemudian orang tua Reni

diminta untuk membuat surat pencabutan pengaduan.

2 (dua) hari kemudian mereka dinikahkan dan menyelenggarakan

adat nyongkol.

Sampai penelitian ini disusun mereka merupakan keluarga yang

bahagia dan ternyata baru memperoleh seorang anak laki-laki umur 2

(dua) tahun.Rupanya pengakuan Rahmat pada pemeriksaan Polisi

bahwa mereka telah bergaul intim, hanya taktik yang sebelumnya

mereka sepakati berdua sebelum acara lari bersama dilaksanakan.

Ketika Mahruf (staf desa Meretak) ditanya tentang syarat-syarat

perkawinan merarik, beliau menjawab :

a. Harus dilaksanakan atas dasar suka sama suka, pada perkawinan

dengan cara ini tidak mungkin ada paksaan karena sejak semula

merekalah yang merencanakan dan mengikat janji, setelah itu

untuk penyelesaiannya menjadi tanggungjawab waris – kadang

(tanggung jawab keluarga dan komunitas). Setelah berstatus

sebagai pengantin, mereka diumpamakan sebagai barang, harus

turut pada skenario yang telah ditentukan waris – kadang.

b. Harus dijemput dari rumahnya, adalah pelanggaran jika dalam

perjalanan tertentu (pergi rekreasi atau lainnya) kemudian

dilanjutkan dengan perkawinan merarik, dalam hukum adat Sasak

perkawinan yang demikian dinamakan ngoros (perkawinan yang

dilaksanakan dengan cara tidak beradab, karena alamat (tempat

tinggal) adalah milik orang beradab. Karena itu masyarakat

Page 38: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

menyebut peristiwa lari bersama itu sebagai mbait (mengambil),

mengambil sunah rasul.

c. Harus dijemput sekitar tenggelamnya matahari (selesai sholat

Maghrib pada penutupan hari).

d. Sedangkan menyangkut umur menurut Kepala Desa, harus sudah

dapat mengurus rumah tangga (kencak), siap secara fisik dan

psisikhis untuk berumah tangga. Ukuran tersebut sepenuhnya

merupakan hak keluarganya (kurenannya).

2. Ketentuan cukup umur dalam Perkawinan merarik

Dari uraian kasus tersebut di atas terlihat ketentuan batas umur dalam

perkawinan merarik ditentukan atas dasar sebagai berikut.

a. Kencak, bagi wanita adalah kemampuan untuk mengelola rumah

tangga (kuren). Hal ini dapat dilihat dari keseharian si anak

menyangkut kemampuannya mengatur kebutuhan sehari-hari serta

dapat mengetahui susah senang anggota keluarganya. Bagi laki-laki,

mampu mewakili orang tuanya pada pertemuan-pertemuan keluarga

atau kerabat, mampu menyampaikan pesan orang tuanya pada

pertemuan tersebut dan sekembalinya mampu menyampaikan hasil

pertemuan tersebut pada orang tuanya.

b. Genem, bagi wanita sudah mulai tampak kegiatan untuk memelihara

rumah dan halaman, sedangkan bagi laki-laki, sudah mulai

mempertanyakan sumber biaya kebutuhan hidup rumah tangga dan

sesekali mempertanyakan pengelolaannya.

c. Itik, bagi wanita sudah tampak kemampuan untuk mengukur

persediaan yang ada akan cukup digunakan sampai waktu tertentu.

Sedangkan bagi laki-laki sesekali melontarkan pemikirannya tentang

sumber-sumber kebutuhan pendapatan sekalipun dalam bentuk

ceritera tentang mata pencaharian orang lain. (ada perhatian tentang

mata pencaharian dan sumber-sumber pendapatan keluarga)

sekalipun perhatian tersebut hanya disampaikan secara spontan

(terlontar lepas),

d. Tomot, untuk laki dan wanita sudah mulai memperlihatkan

kemandirian, tampak mulai mampu untuk bersikap, dapat menimbang-

nimbang persoalan untuk menentukan keputusan.

Page 39: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

e. Lome, untuk laki-laki dan wanita mempunyai rasa solidaritas girang

gerasak (ramah menyenangkan) khususnya terhadap anggota

keluarganya (kurennya), dapat memupuk rasa kebersamaan dengan

tetangga dan warga sekitarnya (semeton jari), mesang ime nae jari

bawak lanjak batur (tulus ikhlas dalam menolong).

3. Adaptasi Norma dalam Perkawinan Merarik

Apabila hukum ditinjau dari sudut perspektif perkembangan

masyarakat dan negara, maka hukum negara makin meningkat perannya

dalam mengatur prikehidupan masyarakat. Perkembangan hukum negara

dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini semakin dalam mengatur

kehidupan masyarakat. Campur tangan hukum negara seperti ini

menimbulkan persoalan menyangkut hubungan timbal balik antara hukum

negara dan hukum adat. Hal ini tentunya membutuhkan pendekatan yang

selaras, yaitu ide penegakan hukum harus tetap menjadi pegangan, tetapi

juga harus memperhitungkan efek-efek positif dalam melaksanakannya.

Dalam masyarakat yang heterogen, aturan yang dibuat negara akan dapat

kokoh apabila berpijak pada norma dan budaya yang diyakini oleh komunitas

masyarakatnya. Demikian juga halnya dengan berbagai aturan perundang-

undangan dalam rumpun hukum keluarga, telah memberikan warna

tersendiri terhadap proses perkawinan merarik dalam masyarakat Sasak.

Perkembangan perkawinan merarik pada masyarakat Sasak di Pulau

Lombok akan dapat dimengerti apabila difahami berbagai peraturan

perundang-undangan yang melingkupinya. Untuk mencapai pemahaman

tersebut perlu diketahui terlebih dahulu tatacara perkawinan merarik yang

dilakukan oleh masyarakat Sasak.

Menurut Datu Artadi,40 terjadinya sebuah perkawinan dalam adat sasak

pada umumnya dilangsungkan melalui 3 (tiga) cara, yaitu :

1. Menyopokatau ngawinan berasal dari kata dasar sopok berarti satu,

jadi menyopokbermakna menjadikan satu, yaitu menjodohkan antara

40Wawancara dengan Datu Artadi, Pemangku Adat Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara, tanggal 14 Juni 2010.

Page 40: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

seorang laki-laki dengan seorang perempuan atas dasar kesepakatan

para orang tua kedua belah pihak.

2. Memadik (melamar)

3. Perkawinan Merarik, dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang telah

mengikat janji, sepakat meninggalkan rumahnya masing-untuk

melangsungkan perkawinan (kemelek mesak-pilihan sendiri).

Proses perkawinan merarik dilangsungkan melalui peristiwa-peristiwa

sebagai berikut :

1. Saling Kenal

Dalam tradisi yang pernah berlaku, pada umumnya perkenalan di

antara muda-mudi dapat dilakukan secara langsung atau melalui

perantara yang disebut subandar. Sang lelaki melalui “subandar”

mengirim bingkisan kecil yang disebut “pembugi” atau “penandok”.

Apabila bingkisan diterima, itu berarti ia boleh bertandang ke rumah

sang wanita, dalam bahasa Sasak disebut “midang”. Kehadiran sang

lelaki untuk “midang” ke rumah sang wanita adalah merupakan proses

pendekatan, masa orientasi untuk lebih saling mengenal jati diri, sifat

dan karakter masing-masing.

Budaya Sasak menjunjung tinggi norma-norma, seperti norma

kesopanan, kesusilaan, norma adat, norma hukum dan norma agama.

Setiap perjaka yang datang bertandang harus mengikuti norma-norma

tersebut, misalhya “melinggih” (duduk sopan dengan bersila “padu

arep” (berhadapan) dengan jarak tertentu dan berbicara dengan kata-

kata yang santun). Pada awal kehadirannya ia diterima orang tua sang

wanita untuk memperkenalkan diri, mereka duduk di tempat terbuka

untuk menghindari prasangka buruk dari para tetangga.

2. Nenari atau Menarih

Adalah proses yang dilakukan oleh sanglelaki untuk menanyakan dan

sekaligus menentukan kesediaansang wanita untuk menjadi pasangan

hidupnya juga pada tahapan ini ditentukan kapan sang wanita

bersedia untuk diajak melaksanakan perkawinan “merarik” atau

“memulang”.

Page 41: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

3. Perkawinan Merarik,

Apabila telah terjadi kesepakatan, maka pada malam setelah lewat

maghrib(samar mue) sang lelaki dengan ditemani subandar (jaruman)

dan beberapa orang laki-lakidan perempuan lainnya melarikansang

wanita di rumah orang tuanya.

Berdasarkan ketentuan yang mengatur tentang perkawinan merarik,

ditentukan bahwa :

a. Sang wanita harus dilarikan dari rumah orang tuanya, sama sekali

tidak boleh diambil dari tempat lain, seperti, dari tempat kerjanya,

dari pasar, atau ketika dalam perjalanan.

b. Harus dilakukan pada malam hari,

c. Sang perjaka pada saat melaksanakan perkawinan merarik harus

bersama subandar (perantara) dan juga ditemani beberapa orang

laki-laki dan perempuan sebatas untuk mereka merasa aman.

d. Sang wanita yang akan menjadi calon istri itu, tidak boleh dibawa

langsung ke rumah sang perjaka atau ke rumah orang tuannya,

melainkan harus dibawa ke rumah salah satu kerabat calon

mempelailaki-laki. Proses perkawinan merarik terjadi atas dasar

suka sama suka, tetapi tidak disetujui terutama oleh orang tua

wanita.

4. Sejati

Setelah proses perkawinan merarik dilaksanakan maka kewajiban

selanjutnya bagi pihak keluarga lelaki (calon mempelai laki-laki) adalah

mesejati. Sejati kata dasarnya adalah jati yang berarti benar.

Mesejatibermakna menyampaikan hal yang sebenarnya kepada orang

tua pihak perempuan berkaitan dengan diambilnya putrinya oleh

seorang laki-laki, dalam mesejati harus disebutkan identitas lengkap

dari laki-laki tersebut. Proses mesejati ini dilakukan oleh utusan pihak

laki-laki dengan didampingi keliang adat, pada masa sekarang yang

bertindak sebagai keliang adat adalah Kepala Kampung

5. Runtut Sejati

Page 42: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

“Runtut Sejati” bermakna “Kelanjutan Sejati”, yaitu kehadiran kembali

utusan pihak calon mempelai laki-laki kepada orang tua pihak calon

mempelai perempuan untuk menegaskan waktu mufakat (berembug-

gondeman) penyelesaian perkawinan merarik kedua mempelai.

6. Peradang

Kata tersebut berasal dari kata “Padang” yang berarti terang atau

jelas, jadi “peradang” adalah proses memberi penjelasan kepada

“Pembayun” (petugas adat), tentang segala sesuatu yang berkaitan

dengan kewajiban-kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-

laki.

Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain mengenai berat ringan (abot

enteng), “Aji Krama Suci” (penetapan nilai), serta piranti-piranti adat

lainnya.

7. Selabar

Kehadiran “Pembayun” (petugas adat) di tengah-tengah kadang waris

(keluarga sedarah) pihak perempuan kali ini, adalah disertai kiyai atau

Penghulu (Pegawai Pencacat Nikah). Pembayun (petugas adat) akan

menyampaikan berita bahwa pihak laki-laki bersedia memenuhi segala

ketentuan-ketentuan adat dengan segala pirantinya, serta merembuq-

sakepan (mufakat) tentang kapan dilaksanakan upacara adat “Sorong

Serah”. Sedangkan kiyai atau penghulu meminta kesediaan wali (orang

tua mempelai wanita) seraya menyampaikan amanat-salam calon

mempelai wanita kepada kedua orang tuanya seraya memohon

keikhlasan dan kerelaannya untuk menikahkannya dengan laki-laki

pilihannya.

8. Sorong Serah dan Nyongkolan

Hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban menurut adat sudah selesai

dibicarakan dan sudah disepakati bersama. Maka setelah tiba hari

sorong serah,pembayun bersama sejumlah orang yang membawa

gegawan (bawaan), menyerahkan aji kerama suci dan semua piranti-

piranti adat dengan disaksikan oleh para tokoh adat dan seluruh

keluarga besar serta para undangan. Upacara sorong serah diikuti

Page 43: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

dengan nyongkolan, di mana kedua mempelai diarak menuju ke rumah

orang tua mempelai perempuan. Dengan nyongkol dikandung maksud

sebagai sebuah pengumuman kepada khalayak, mempelai telah sah

sebagai suami-istri.

9. Bales Onos Nae

Bales onos nae atau ngelewaq adalah proses terakhir dari

penyelesaian perkawinan merarik, yaitu rombongan keluarga terdekat

pihak laki-laki yang terdiri atas laki-laki dan wanita mendatangi rumah

keluarga wanita untuk silaturrahmi, saling berkenalan dan maaf-

memaafkan.

Atas dasar uraian tersebut terlihat bahwa sahnya perkawinan merarik

dilakukan melalui proses bertahap yaitu,

1. Tahap pertama adalah tekad laki-laki dan wanita untuk membentuk

rumah tangga, tekad ini diwujudkan dengan melepaskan diri dari

kekuasaan orang tua masing-masing.

2. Tahap kedua ialah tahap menjernihkan, yaitu sesuai dengan salah satu

sifat dari hukum adat, yaitu membuat perbuatan menjadi terang, yang

dilakukan melalui pemberitahuan kepada pihak keluarga mempelai

wanita oleh salah satu keluarga laki-laki bersama kepala lingkungan

selaku keliang adat.

3. Tahap ketiga ialah tahap di mana mereka berdua memulai

kedudukannya sebagai suami istri secara terbatas yang diakui oleh

kalangan yang sangat terbatas pula.

4. Tahap keempat ialah tahap di mana kedua mempelai

menyempurnakan kedudukannya sebagai suami-istri untuk diakui

sepenuhnya oleh masyarakat luas.

Tahapan dalam proses tersebut secara normatif tidak dapat

dipisahkan, karena masing-masing tahapan mengandung makna untuk

beranjak ke tahapan berikutnya, sampai mendapatkan pengakuan yang

sempurna melalui pengakuan masyarakatnya.

Uraian tersebut di atas akan menjadi pedoman untuk melihat kasus

sengketa yang terjadi dalam perkawinan merarik dalam kaitannya dengan

Page 44: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

berbagai aturan perundang-undangan dalam rumpun hukum keluarga yang

mempengaruhi norma perkawinan merarik, khususnya yang berasal dari

hukum Agama (Islam) dan aturan perundang-undangan, seperti UU No.

1Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Instruksi Presiden Republik Indonesia No.

1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No. 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak.

Kasus kesatu perkawinan merarik dilakukan atas inisiatif dari Ismi

Amni (25 th) kepada pacarnya H. Taswir (28 th), karena Ismi Amni

mendengar kalau dia akan dijodohkan dengan salah seorangsepupunya. Atas

inisiatif tersebut kemudian mereka berdua sepakat untuk mempercepat

rencana perkawinannya, kesepakatan tersebut kemudian diwujudkan pada

tanggal 25 Desember 2004 dengan menempuh jalan perkawinan merarik.

Atas peristiwa tersebut tatacara adat sejati kemudian dilaksanakan, tetapi

proses adat selanjutnya tidak dapat dilangsungkan karena para utusan

pelaksana adat maupun petugas agama tidak dapat bertemu dengan orang

tua Ismi Amni.

Dilihat dari syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan Pasal 6 UU

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedua calon mempelai sudah

memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan, sehingga tidak ada

alasan undang-undang maupun alasan adat untuk mencegahnya. Dari

keterangan Haji Misbah, keluarga Ismi Amni mengakui, tidak ada halangan

yang berasal dari tatacara adat maupun hukum agama yang menghalangi

berlangsungnya perkawinan merarik kedua mempelai. Di samping itu juga

tidak terkandung maksud untuk menghalangi perkawinan merarik mereka,

kecuali karena sikap orang tua Ismi Amni yang masih memerlukan waktu

yang cukup untuk menentukan cara yang paling baik dalam proses

penyelesaian perkawinan merarik tersebut. Keadaan tersebut tidak dipahami

oleh keluarga Haji Taswir, sehingga mereka menyelenggarakan akad nikah

dengan meninggalkan orang tua dan walinya. Peristiwa perkawinan merarik

seperti ini dalam adat Sasak disebut dengan salak tingkah. Yaitu suatu

perbuatan yang tidak mempertimbangkan suatu akibat yang akan terjadi

menyangkut hubungan kekerabatan dalam kehidupan masyarakat.

Page 45: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Sedangkan kasus kedua, Menurut Ichwan (27 th), mereka memilih

melangsungkan perkawinan merarik, karena menyadari bahwa hubungan di

antara mereka adalah hubungan endeknsekufu (tidak setara), karena calon

mempelai wanita dilihat dari segi kastanya berada dalam kasta yang lebih

tinggi dari calon mempelai laki-laki. Posisi tersebut dalam hukum adat Sasak

tidak memungkinkan untuk melakukan perkawinan dengan jalan meminang

(belakok). Secara ringkas dapat dijelaskan, bahwa cara yang ditempuh untuk

melangsungkan perkawinan sangat erat berkaitan dengan hubungan antara

orang tua, apakah dalam pertalian darah atau hubungan persahabatan.

Normalnya hubungan sosial akan berlangsung demikian, tetapi dalam

adat Sasak masing-masing sudah mempunyai cara tersendiri. Jika

perkawinan antar sepupu dapat dilakukan dengan cara dijodohkan

(perondong), kalau antar orang tua telah terjalin persahabatan yang baik

makaperkawinan dilakukan dengan belakok (meminang), tetapi kalau tidak

terikat dalam hubungan waris, maka dimulai dengan perkenalan muda-mudi,

inisiatif mereka untuk mencari jodohnya sendiri, oleh karena yang akan

melaksanakan dan menjalankan perkawinan itu adalah calon mempelai.

Dengan demikian perkawinan merarik dalam adat Sasak dan bahkan semua

perkawinan harus didahului oleh kenal-mengenal, khususnya terhadap kedua

mempelai.

Dalam kasus ketiga perkawinan merarikyang berlangsung, tidak

melaksanakan ketentuan adat sejati selabar, terlihat bahwa, mereka memilih

perkawinan merarik karena prosedur ini adalah cara yang paling praktis

untuk melaksanakan perkawinan. Awalnya tidak memerlukan persetujuan

orang tua. Apabila janji telah disepakati maka pihak laki-laki melaksanakan

penjemputan (mbait), sedangkan syarat yang dibutuhkan untuk keperluan

penyelesaian acara perkawinan merarik, semuanya menjadi urusan keluarga

dan kerabat. Dalam pengertian Awaludin, perkawinan merarik merupakan

cara yang paling praktis, hanya memerlukan kesepakatan mereka yang akan

mengikatkan diri. Menurut pemahaman Awaludin, perkawinan merarik intinya

adalah kesepakatan kedua mempelai yang akan terikat dalam perkawinan.

Syarat yang lain seperti persetujuan orang tua, prosedur dan syarat-syarat

penyelesaian perkawinan merarik bukan menjadi beban calon mempelai,

Page 46: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

tetapi akan menjadi urusan keluarga dan kerabat. Pemahaman Awaludin

tersebut tidak dipahami demikian oleh calon mertuanya saat itu, mereka

memahami perkawinan itu tidak hanya kesepakatan (janji) mereka yang akan

mengikatkan diri dalam perkawinan, tetapi memerlukan kematangan fisik

dan mental, seperti tudingan mereka, bahwa Awaludin (34 th) telah

melarikan anak yang masih di bawah umur, Reni masih berumur (16 th),

belum layak untuk dinikahi, belum bisa berpikir untuk membiayai

keluarganya, endekne tao osek idusne (dia belum bisa bersihkan ingusnya),

endekman tao ngemi-ngelak (belum bisa menanak nasi), dia hanya bisa

sekolah dan orang tuanya berharapk agar Reni dapat melanjutkan sekolah

setinggi-tingginya. Keadaan tersebut menyebabkan orang tua Reni belum

ikhlas melepaskan anaknya untuk berumah tangga. ”Di samping karena

keluarga Awaludin tidak pernah menyelenggarakan acara adat selabar,

keadaan ini membuat keluarga Reni dipermalukan di hadapan kerabat.

Endekke tao sebok dirikke (tidak dapat menyembunyikan diri) di hadapan

tetangga maupun di kalangan waris”.

Dengan demikian dapat dilihat, bahwa kehendak untuk kawin, bukan

suatu syarat tunggal tetapi harus dilengkapi dengan berbagai syarat lain,

seperti mempelai berdua harus cukup umur dan tidak memenuhi syarat jika

hanya salah satu saja yang mencukupi umur, bahkan tidak hanya syarat

umur, tetapi juga harus dengan persetujuan orang tua. Dalam pengertian

tersebut tentu dapat dimengerti, bahwa seorang anak dalam melakukan

tindakan apapun harus dengan izin orang tuanya. Demikian juga dengan Ibu

Reni yang menambahkan syarat-syarat lain seperti,

a. Kesepadanan umur antara mempelai laki dan mempelai perempuan.

Selengkapnya dikemukakan, ”tidak cocok mereka akan hidup

berumah tangga, karena umur mereka berbeda sangat jauh,

Awaludin terlalu tua untuk jadi suaminya, karena umurnya sama

dengan umur Bapaknya (Bapak Reni Ratmini). Reni masih kecil,

tindok bae telatahne (mau tidur saja masih minta ditemani)”.

b. Ada perhatiannya pada urusan rumah tangga.

Hal ini tersirat dari ucapan Ibu Reni, “Endekman tao urus bale

langgak (belum bisa mengurus rumah tangga) karena belum bisa

Page 47: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

mengatur rumah tangga, masihne main cungkit kance kanak(masih

suka bermain dengan anak-anak), endekman tao ngemi-ngelak-

nyapu nyampat (belum bisa masak dan mengurus rumah), embe

entan ne merarik(bagaimana jika nanti kawin tapi belum bisa apa-

apa)”. Ketika syarat tersebut dikonfirmasi kepada Awaludin, Awaludin

mengatakan, kesemuanya itu mungkin betul, tetapi berlaku sebagai

syarat pelengkap. Karena syarat yang banyak, menyebabkannya

memilih perkawinan merarik. Hal ini juga berkaitan dengan

pengakuannya untuk bertanggung-jawab karena telah berhubungan

intim yang menyebabkan Reni telat selama 3 (tiga) bulan. Melalui

pengakuan yang dibuatnya itu jelas terlihat bahwa Awaludin memilih

perkawinan merarik dengan maksud untuk mengatasi rintangan yang

ada dalam hubungannya dengan Reni, sekalipun telah dibayarnya

dengan resiko ditahan (diamankan) petugas Kepolisian.

Atas uraian kasus tersebut terlihat telah terjadi perubahan urutan dalam

perkawinan adat merarik seperti table berikut :

Tabel : Perubahan Tata Urutan Perkawinan Merarik

Tata Urutan Adat *) Tata Urutan Aplikatif **)

Wanita Sasak-Laki-

laki Sasak

Wanita Sasak- Lali-

laki diluar suku

Sasak

Page 48: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

1. Lari bersama

2. Besebo

3. Sejati

4. Selabar

5. Sorong-Serah-

Ajikrama

6. Nyongkolan

7. Bales Onos Nae

1. Lari bersama

2. Besebo

3. Sejati-Selabar

4. Akad Nikah

5. Nyongkolan

1. Lari bersama

2. Mengangkat

Pengampu

3. Akad Nikah

4. Nyongkolan

Sumber Data Primer diolah

*) wawancara dengan Datu Artadi Pemangku Adat Tanjung**) sumber dari kasus obyek penelitian

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dituangkan pada tabel di

atas, menunjukkan proses perkawinan merarik telah mengalami

perubahan, hal ini sesuai dengan perubahan tata nilai yang menjadi isi

masing-masing tata urutan tersebut.

Perubahan di dalam kehidupan masyarakat adalah merupakan

gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia.

Hal ini terlihat bahwa, perubahan yang terjadi pada masyarakat

adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di

dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistim sosialnya, keadaan

demikian tidak dapat dibendung. Lagi pula orang beranggapan bahwa

hukum yang hidup mengikuti dan berkembang termasuk di dalamnya

nilai, sikap-sikap dan pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok

dalam masyarakat. Perubahan sosial itu lebih komperhensif sifatnya,

sehingga kalau menelaah suatu gejala, perlu dijelaskan di bidang mana

yang berubah, meskipun tekanan konsep terletak pada lembaga-lembaga

kemasyarakatan yang kemudian mempengaruhi segi-segi lain dari

struktur masyarakat.

Page 49: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Dari uraian tersebut terlihat, bahwa suatu perubahan dalam

masyarakat tidak dapat berdiri sendiri, tetapi selalu berkaitan dengan

segi-segi lain dalam struktur masyarakat, termasuk dalam hal ini

terhadap sistim hukum.

Untuk dapat melihat mengenai adanya hubungan antara hukum dan

perubahan sosial, perlu diperhatikan tentang bagaimana hukum itu

berkaitan pada masyarakatnya. Dari uraian tersebut terlihat bahwa

penyebab perubahan sosial dalam suatu masyarakat dibedakan menjadi

dua macam yaitu faktor dari dalam dan dari luar masyarakat. Faktor

penyebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri antara lain

bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan baru,

pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi.

Sedangkan faktor penyebab dari luar masyarakat adalah lingkungan fisik

sekitar, peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Dilihat dari dua faktor perubahan tersebut, maka untuk faktor

perubahan yang berasal dari dalam masyarakat Sasak dapat

dikemukakan, bahwa faktor yang berpengaruh dari dalam masyarakat

Sasak adalah,

1. Mobilitas penduduk, sebagaimana diketahui bahwa salah satu akibat

dari adanya perkawinan merarik akan melahirkan keturunan.

Perkawinan merarik yang terjadi antara laki-laki dengan seorang

perempuan baik dari hubungan keluarga yang disebut dengan

sorohan, baitlangan nine (lingkungan waris dari keluarga Ibu ) maupun

langan mame (hubungan waris dari keluarga Bapak) atau dari pihak

yang tidak ada hubungan kekeluargaan, dari padanya akan lahir

sebuah keluarga. Terbentuknya sebuah keluarga kecil yang terdiri dari

ayah, ibu dan anak ini di dalam hukum adat Sasak dikenal dengan

istilah kurenan (jawa=keluarga batih). Di kalangan suku Sasak sebuah

keluarga(kuren) tidak hanya diartikan terdiri dari ayah, ibu dan anak

saja tetapi bisa juga orang lain yang turut tinggal atau menetap di

rumah tangga tersebut. Dikemukakan oleh R. Soepomo bahwa

keturunan adalah ketunggalan leluhur artinya ada perhubungan darah

Page 50: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

antara orang seorang dan orang lain. Dua orang atau lebih yang

mempunyai hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur adalah

keturunan yang seorang dari yang lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa

sebagai keturunan yang sah akan mempunyai hak-hak sebagai

keturunan (anggota keluarga) mempunyai hak-hak dan kewajiban-

kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam

keluarga yang bersangkutan, misalnya boleh ikut menggunakan nama

keluarga, boleh ikut menggunakan dan berhak atas bagian kekayaan

keluarga, wajib saling pelihara memelihara dan saling bantu

membantu, dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan dengan

pihak ketiga dan lain sebagainya

Hubungan kewarisan atau ikatan waris keluarga Sasak saat ini

telah menyebar, tidak lagi tinggal dalam satu kampung rumpun

keluarga, karena telah berkembang sehingga tidak tersedia lahan yang

cukup untuk tinggal bersama pada lahan tempat kelahirannya (gubuk)

semula. Pecahan dari kekerabatan tersebut membentuk lingkungan

baru sama seperti halnya lingkungan asalnya, dapat terjadi di satu

lingkungan desa kelahirannya atau di desa lain. Jika lingkungan baru

tersebut merupakan wilayah desa lain dari desa semula maka

lingkungan baru tersebut, disebut dengan lingkungan keroangan.

Lingkungan inilah yang memperkuat jalinan hubungan kekeluargaan

masyarakat hukum Adat Sasak. Hubungannya dengan perkawinan

merarik, diharapkan agar lingkungan keroangan tersebut selalu dapat

berhubungan seperti hanya hubungan di dalam lingkungan waris,

harapan itulah kemudian dilaksanakan melalui perkawinan merarik.

Atas dasar uraian tersebut terlihat, bahwa perkawinan merarik

merupakan motor yang menggerakkan masyarakat hukum adat Sasak

untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi di

lingkungan sekelilingnya.

Dari hubungan tersebut, terlihat bahwa masyarakat hukum Adat

Sasak memperluas wilayah teritorialnya dengan mempererat

hubungan kewarisannya. Keadaan ini sejalan dengan uraian Koesnoe

pada BAB II hal 48 dan 49 disertasi ini menyatakan hidup orang Sasak

Page 51: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

diatur dengan suatu pola menetap di mana masing-masing individu

mempunyai dan mendiami rumahnya sendiri-sendiri, di atas sebidang

tanah yang tidak lebar, perumahan orang-orang tersebut berjajar

berdekatan, menghadap pada arah yang sama, seolah-olah

merupakan deretan rumah yang rapi dengan halaman rumah bagian

muka sebagai jalan yang menghubungkan rumah satu dan rumah

lainnya sampai ke jalan yang lebih besar. Jajaran rumah-rumah

tersebut meliputi suatu bidang tanah tertentu yang diberi pagar

tanaman atau bambu. Keseluruhan jajaran rumah-rumah tersebut satu

suteran. Bilamana suatu suteran terletak jauh dari kelompok suteran-

suteran lainnya yang merupakan suatu kesatuan yang disebut dasan,

dan leteknya memang menyendiri, maka desebut suatu gubug.

Setiap gubuk biasanya dihuni oleh mereka yang mempunyai

hubungan darah (waris), karena itulah gubuk tersebut sering

mengambil nama dari orang yang pertama mendirikan gubug tersebut,

biasanya dari kakek mereka. Beberapa gubug merupakan wilayah

teritorial yang disebut dasan yang dipimpin oleh kepala lingkungan.

Kemudian beberapa lingkungan terikat dalam Desa. Apabila warga dari

satu desa melaksanakan perkawinan merarik dengan warga desa lain,

maka keluarga mereka masing-masing terikat dalam hubungan

keroangan, Inilah yang disebut dengan hubungan antar desa.

Atas dasar uraian tersebut maka lingkungan keroangan tersebut

dapat terbentuk dari,

a. Perkembangan lingkungan waris yang membentuk tempat

tinggal baru di lingkungan desa yang berlainan dengan

lingkungan desa asal disebut dengan waris kadang.

b. Dapat juga terbentuk dari bubungan perkawinan merarik antar

desa yang disebut dengan kadang jari.

Lingkungan keroangan tersebut mengikat masyarakat dalam

bentuk solidaritas yang disebut merang, yaitu lingkungan anggota

mufakat (gundeman).

Page 52: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

Jika terjadi perkawinan merarik antar warga desa yang belum

mempunyai lingkungan keroangan, prosedur penyelesaiannya akan

mengalami hambatan. Untuk memperlancar proses tersebut harus

dicarikan bantuan personil dari lingkungan desa yang sudah terbentuk

hubungan roanganya untuk ditugasi melaksanakan upacara adat.

Hukum Adat Sasak mengenal bentuk hubungan kekerabatan

mulai dari “kuren” (batih), kemudian kadang (kerabat) dan roang

(handai tolan). Ketiga jenis hubungan tersebut (waris-kadang-roang)

mengikat masyarakat untuk secara ideal harus selalu memelihara

harmoni dalam hubungan keluarga dan masyarakat. Untuk

mewujudkan harmoni tersebut diperlukan perbuatan nyata seperti,

a. Kekeluargaaan dan gotong-royong, sikap ini terlihat dalam proses

penyelesaian perkawinan merarik, setiap warga dalam lingkungan

tersebut datang ke rumah pengantin dengan membawa suguhan

untuk keperluan hajatan.

b. Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak

dan kewajiban. Untuk mewujudkan tatanan tersebut dalam

masyarakat hukum adat Sasak dikenal sejenis perjanjian

masyarakat yang disebut “besiru”, yaitu saling kunjungi dalam

setiap penyelesaian perkawinan merarik para warganya.

Atas dasar itu, maka perkawinan merarik tidak hanya dilihat

sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha

Esa, tetapi juga merupakan ikatan keluarga dan kekerabatan.

2. Sedangkan pengaruh dari luar dapat dilihat dari posisi hukum adat

dalam kaitannya dengan pembangunan Hukum Nasional, dalam hal ini

khusus yang berkaitan dengan telah diundangkannya berbagai

peraturan perundang-undangan di lingkungan hukum keluarga.

Di dalam lingkungan masyarakat hukum adat Sasak tanggung

jawab kehidupan keluarga/rumah tangga (kuren) merupakan tanggung

jawab kerabat secara bersama, bahkan tidak hanya manyarakat Sasak,

Page 53: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

tetapi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, segala sesuatu

diselesaikan dengan musyawarah. Keluarga bahagia dalam pengertian

masyarakat adalah keluarga yang tidak hanya mengurus kebutuhan

rumah tangganya, tetapi juga harus mengurus kebutuhan kerabatnya.

Oleh karena itu pengertian “keluarga (rumah tangga)” dalam Pasal 1

UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, hanya rumah tangga saja

(sasak- kuren) tidak mencermikan pengertian kerabatnya. Hal ini

terlihat pada penjelasan tersebut.

Di dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam perumusan mengenai

pengertian perkawinan berbeda dengan ketentuan yang terdapat

dalam UUNo. 1 Tahun 1974, Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

menyebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah

pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mittsaqqan qalidhan

untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya

merupakan ibadah. Jadi perkawinan menurut Kompilasi Hukum

Islam disebut Pernikahan adalah merupakan suatu ikatan lahir

batin atau jasmani dan rohani antara laki-laki dan perempuan yang

membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut oleh kedua

calon mempelai beserta keluarga dan kerabatnya.

Dari pengertian Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, tidak terlihat adanya kemungkinan hubungan keluarga

tersebut dengan keluarga dari Ibu maupun keluarga dari Bapak,

demikian juga halnya menyangkut hubungan anak terhadap

kerabatnya ataupun hubungan sebaliknya. Dalam Pasal 30 sampai

dengan Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, mengatur

tentang hak dan kewajiban suami istri, tetapi UU No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan sama sekali tidak mengatur tentang kewajiban

suami maupun istri terhadap keluarga kedua belah pihak, yaitu

terhadap keluarga suami maupun terhadap keluarga istri. Oleh karena

itu keluarga yang dibentuk berdasarkan UUNo. 1Tahun 1974 Tentang

Perkawinan adalah keluarga yang yang terlepas dari lingkungan

kerabatnya, karena UUNo. 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan

menekankan pada hubungan suami istri, proses selanjutnya

Page 54: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

bersentuhan dengan hukum adat sebagai hukum yang hidup di

masyarakat.

Dari sejumlah asas UUNo. 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan, seperti

asas monogami tercantum pada Pasal 3 ayat 1, asas kesetaraan tercantum

pada Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33, tidak terdapat dalam Pasal-Pasal Undang-

undang tersebut yang menyangkut mufakat dan kekeluargaan.

Di lingkungan masyarakat adat, anak bukan saja wajib hormat kepada

ayah dan ibunya, tetapi wajib pula hormat terhadap keluarga bapak dan

keluarga ibu, bahkan kepada semua orang. Asas mufakat dan kekeluargaan,

menjadi penting oleh karena pada penjelasan umum dari UUNo. 1Tahun

1974 Tentang Perkawinan, pada angka 3 dikemukakan, Sesuai dengan

falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini

di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung

dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain pihak

harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup di dalam

masyarakat dewasa ini. Undang-undang perkawinan telah menampung di

dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum agama dan

Kepercayaan dari yang bersangkutan.

Dari penjelasan tersebut, yang belum jelas tercantum pada Pasal-pasal

UUNo. 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyangkut pernyataan

“sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan

yang hidup di dalam masyarakat dewasa ini”. Kenyataan yang hidup di dalam

masyarakat tidak hanya hukum agama, tetapi juga hukum adat. Keadaan ini

sejalan dengan uraian Robert Seidman paba BAB II hal 56 Disertasi ini yang

menyatakan, di dalam masyarakat terdapat berbagai norma, aturan yang

mengatur hal yang sama, keadaan demikian menciptakan ruang bagi

warganegara untuk melakukan pilihan-pilihan untuk taat ataupun untuk

melanggar hukum.

Page 55: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

BAB V PENUTUPSIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. SIMPULAN

A. Ketentuan umur dalam perkawinan adat merarik ditentukan atas dasar

1. Kencak, bagi wanita adalah kemampuan untuk mengelola rumah tangga

(kuren). Hal ini dapat dilihat dari keseharian si anak menyangkut

kemampuannya mengatur kebutuhan sehari-hari serta dapat

mengetahui susah senang anggota keluarganya. Bagi laki-laki, mampu

mewakili orang tuanya pada pertemuan-pertemuan keluarga atau

kerabat, mampu menyampaikan pesan orang tuanya pada pertemuan

tersebut dan sekembalinya mampu menyampaikan hasil pertemuan

tersebut pada orang tuanya.

2. Genem, bagi wanita sudah mulai tampak kegiatan untuk memelihara

rumah dan halaman, sedangkan bagi laki-laki, sudah mulai

mempertanyakan sumber biaya kebutuhan hidup rumah tangga dan

sesekali mempertanyakan pengelolaannya.

3. Itik, bagi wanita sudah tampak kemampuan untuk mengukur persediaan

yang ada akan cukup digunakan sampai waktu tertentu. Sedangkan

bagi laki-laki sesekali melontarkan pemikirannya tentang sumber-

sumber kebutuhan pendapatan sekalipun dalam bentuk ceritera tentang

mata pencaharian orang lain. (ada perhatian tentang mata pencaharian

dan sumber-sumber pendapatan keluarga) sekalipun perhatian tersebut

hanya disampaikan secara spontan (terlontar lepas),

4. Tomot, untuk laki dan wanita sudah mulai memperlihatkan kemandirian,

tampak mulai mampu untuk bersikap, dapat menimbang-nimbang

persoalan untuk menentukan keputusan.

5. Lome, untuk laki-laki dan wanita mempunyai rasa solidaritas girang

gerasak (ramah menyenangkan) khususnya terhadap anggota

keluarganya (kurennya), dapat memupuk rasa kebersamaan dengan

Page 56: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

tetangga dan warga sekitarnya (semeton jari), mesang ime nae jari

bawak lanjak batur (tulus ikhlas dalam menolong).

B. Dari uraian kasus-kasus tersebut memperlihatkan perubahan tata urutan

pelaksanaan perkawinan merarik telah terjadi perubahan.Telah terjadi

adaptasi norma dalam perkawinan adat merarik

Perubahan yang terjadi pada masyarakat adalah segala perubahan

pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang

mempengaruhi sistim sosialnya, keadaan demikian tidak dapat

dibendung. Lagi pula orang beranggapan bahwa hukum yang hidup

mengikuti dan berkembang termasuk di dalamnya nilai, sikap-sikap dan

pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Perubahan sosial itu lebih komperhensif sifatnya, sehingga kalau

menelaah suatu gejala, perlu dijelaskan di bidang mana yang berubah,

meskipun tekanan konsep terletak pada lembaga-lembaga

kemasyarakatan yang kemudian mempengaruhi segi-segi lain dari

struktur masyarakat.

Bahwa suatu perubahan dalam masyarakat tidak dapat berdiri

sendiri, tetapi selalu berkaitan dengan segi-segi lain dalam struktur

masyarakat, termasuk dalam hal ini terhadapsistim hukum.

II. REKOMENDASI

Majelis Krame Adat Sasak harus lebih aktif dalam perannya untuk

membina kehidupan hokum adat Sasak melalui pembinaan kelembagaan

adat agar, Masjlis Krame Adat dapat dirasakan manfaatnya oleh

masyarakat Sasak.

Page 57: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI

DAFTAR PUSTAKA

Arzaki, Jalaludin, dkk, Nilai-Nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku Bangsa Sasak Dalam Pluralisme Kehidupan Masyarakat (Sebuah Kajian Antropologis, Sosiologis, Agamis). CV. Bina Mandiri Mataram, 2001.

Awik-Awik Krame Adat Desa Tegal Maja Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat.1980

Becmann, Keebet Von Benda,Stairways to Consensus. Village Justice and State Courts in Minangkabau, Foris Publications. Dordrecht-Holland Cinnamination-USA, 1998.

Bratholomew, John Ryan,Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, cetakan pertama, PT Tiara Wacana Yogyakarta, 1988.

Bruggink.J.J.H. Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa, Arief Sidharta, Citra Adhitya Bakti, 1996.

B. Ter, Haar, terjemahan K.Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, cetakan kesembilan Pradnya Paramita Jakarta, 1987.

Cassirer, Ernst,The Philosophy of Symbolic Forms, Volume II, Myth, tr. R. Manheim, Yale University Press, New Haven, 1955.

Coskun, Deniz,Law Syimbolic, Radboud University of Nijmegen,The Netherlands, Springer, 2007.

Daniel S.Lav, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan. LP3ES, 1990.

Donald, Black, The Behavior of Law, Academic Press New YorkSan FranciscoLondon, 1976.

Ehrlich, Eugen, Theory of The Living Law. Dalam Griffid, What is Legal pluralism, Journal of Legal Pluralism and Unofficial, November 1998.

Page 58: LAPORAN PENELITIAN S2 LALU SABARDI