laporan penelitian s2 lalu sabardi
TRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN
OLEH
IMPLIKASI KETENTUAN PASAL 332 KUHP TERHADAP PERKAWINAN ADAT MERARIK PADA MASYARAKAT HUKUM
ADAT SASAKDI PULAU LOMBOK
oleh
DR.H.LALU SABARDI.SH.,MS (0004035508)HJ. RATNA RUMINGSIH.SH.,MH(0030194804)
H.SUPARDAN MANSYUR.SH.,MH (0031125718)MUZAKIR SALAT.SH.,MH (0023097904)
Dibiyai dari sumber dana PNBP BLU Universitas Mataram Universitas Mataram Tahun Anggaran 2013
Kontrak No: 654G/SP-BLU/UN18.12.2/PL/2013
PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUMLEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN 2013
HALAMAN PENGESAHAN
1 Judul Penelitian : IMPLIKASI KETENTUAN PASAL 332 KUHPTERHADAP PERKAWINAN ADAT MERARIKPADA MASYARAKAT HUKUM ADAT SASAKDI PULAU LOMBOK
2 Topik Unggulan : Perlindungan Hak Masyarakat3 Kelompok Peneliti Bidang Ilmu : Hukum4 Ketua Peneliti
a. Nama Lengkapb. NIPc. NIDNd. Jabatan Fungsionale. Fakultas/Jurusanf. Alamat Institusig. Telp/Fax/E-Mail
:::::::
Dr.H.Lalu Sabardi.SH.,MS19550304198403 1 002101101615960018Lektor KepalaHukum/Hukum MasyarakatJln. Mapahit 62 Mataram0370 (633035), [email protected]
5 Waktu Penelitian : 6 bulan6 Jumlah Dana dan Sumber Dana
b.
: RP. 15.000.000.(lima belas Juta Rupiah) PNBP Program Studi Magister Ilmu Hukum Proram Pascasarjana Universitas Mataram 2013
Menyetujui Mataram, Januari 2013Program Studi Magister Ilmu Hukum
Dr.H. Zainal Asikin,SH.,SUNIP : 195508151981031035
Ketua Peneliti
Dr.H.Lalu Sabardi.SH.,MSNIP. 195503041984031002
MengetahuiProgran Pasca Sarjana UNRAM
Direktur,
MengetahuiKetua Lembaga Penelitian UNRAM
Ir.I. Gde Ekaputra Gunartha.M.Agr.,Ph.D.NIP.195703083031002
Ir. H. Amiruddin.MSi.NIP : 19621231198703 1 024
ABSTRAK
Penelitian ini bermaksud untuk melihat konflik norma antara hukum negara, hukum adat dan hukum agama (Islam) dan bagaimana hukum tersebut kompromi atau beradaptasi, Atas dasar uraian di atas, maka pada penelitian ini tidak hanya mengkaji hukum dari aspek normatifnya saja, tetapi juga dari realitas hukum yang dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat, baik norma hukum negara maupun norma hukum adat dan norma hukum agama (Islam), karena dalam kisaran normatif tersebut perilaku itu berada, menjadi format dan motivasi bertindak.
Kata Kunci : Konflik Norma, Adaptasi dan Pidana
ABSTRACT
Merarik customary behavior in a customary marriage law Sasak, took place at the initiative of the prospective bride and groom. In the development of implementation until now Merarik seems that many parents were disappointed with the choice and decision of his/her children, especially for the woman's family. As for the male family can rarely escape from his son`s choice. This happens because the woman who left home to go with a man not with the permission of their parents, society has thought to do Merarik. If then women are taken back to his parents, then the act is considered as a form of humiliation. Therefore, the family did not approve her marriage (usually the woman's family), pull through prevention when the process ran together. If the opportunity is not successful, then the prevention continues conducted back when the sejati implementation process, so subsequent to the implementation of selabar. Prevention is done by rejecting the continuation of traditional processes, including to events guardians request (take promise) to conduct the marriage contract according to Islamic law. In simple prevention can be interpreted as an act to obstruct, hinder, resist, not so that followed the marriage did not last, or at least prevented it to be completed quickly. As a result of marriage is to be delayed. This process often dragged on and may continue to be a source of dispute condition, in practice, implications for implementation of this selabar. If within the specified time limit (three) days nor selabar implemented, then this event met with a variety of ways. Female side of the family have reported him to the head village if the prospective bridegroom came from the same village with prospective bride. There are also submitting the matter to the district, if the bride and groom in question originated from the same district. There is
also a report to the Civil Registrar of Marriages Aid. The issue became more complicated when the report was submitted to the Police.
1.Latar Belakang Masalah
Pada masyarakat suku Sasak dikenal salah satu cara melangsungkan
perkawinan disebut dengan merarik, yaitu pelangsungan jenis perkawinan ini dilakukan
dengan cara masing-masing calon mempelai bersama-sama meninggalkan orang tua
dan keluarganya. Secara prosudural jenis perkawinan ini melanggar ketentuan Pasal 9
Peraturan Pemerintah tentang pelangsungan perkawinan dan secara substansial
melanggar Pasal 332(2) KUHP. Dalam perkembangan pemahaman hukum di
masyarakat sekarang ini, banyak diantara laki-laki pelaku jenis perkawinan ini ditangkap
dan diadili berdasarkan ketentuan Pasal 332(2) KUHP.
Permasalahan adaptasi norma pada masyarakat akan berlangsung terus-
menerus dalam hukum Indonesia yang plural, karena setiap masyarakat akan
berkembang berubah dan selalu dalam proses penyesuaian. Adaptasi norma dalam
perkawinan adat merarik dapat terjadi karena Indonesia merupakan negara dengan
sistim hukum yang plural, dimana hukum adat, hukum agama dan hukum negara dapat
berlaku bersamaan pada hubungan hukum seperti perkawinan, keadaan tersebut
merupakan isu hukum yang penting diteliti. Hal itu berupa berbagai pertimbangan juridik
dalam pelaksanaan perkawinan merarik oleh masyarakat hukum adat Sasak; Prasyarat,
prosedur dan bentuk pelanggaran norma perkawinan merarik dalam masyarakat hukum
adat Sasak, serta penyebab sengketa perkawinan merarik dan cara penyelesaiannya
demikian juga dalam hubungannya dengan berbagai sistem hukum yang berlaku di
Indonesia, khususmya dalam masyarakat hukum adat Sasak1.
Permasalahan isu dan nilai filsafati perkawinan merarik dilatarbelakangi oleh
kenyataan, bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki budaya beragam
dari suku yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Implikasi dari keadaan tersebut
1Hal ini dapat diketahui dari berbagai kasus perkawinan merarikyang terjadi bersumber pada perbedaan pandangan terhadap makna merarik baik pada starata kehidupan masyarakat, maupun aparat penegak hukum. Sengketa perkawinan merarik lebih menguat sejak Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan dan lebih-lebih lagi ketika UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diundangkan. Nilai budaya yang melekat pada perkawinan Merarik mengakar pada keyakinan masyarakat Sasak yang berbeda dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Prosedur dan prasyarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan mengharuskan prasyarat perkawinan merarik mengikutinya. Perkawinan merarik kian menarik untuk diteliti karena dilakukan tidak hanya oleh warga suku Sasak, tetapi juga oleh suku diluar suku Sasak yang berdomisili di pulau Lombok bahkan suku lain diluar suku Sasak dan tidak berdomisili di pulau Lombok.
dijumpainya ragam budaya dan adat istiadat sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Suku
Sasak merupakan salah satu di antara suku-suku yang mendiami Pulau Lombok
Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebahagian besar beragama Islam. Menurut Yacob Ali
yang beragama Hindu terdapat di Mataram dan Lombok Barat, sedangkan yang
beragama Budha mendiami beberapa kampung di Lombok Utara dan di sekitar Desa
Lenek Lombok Timur.2
Suku Sasak seperti halnya suku-suku lain di Indonesia, memandang manusia
sebagai ciptaan Tuhan terdiri dari dua jenis yaitu laki-laki dan wanita, di antara
keduanya telah ditanamkan cinta dan kasih sayang. Hubungan kasih sayang dari dua
jenis manusia ini kemudian melahirkan keturunan. Agar terbentuk keturunan yang sah
maka setiap masyarakat telah mengatur hubungan laki-laki dan wanita tersebut dalam
lembaga hukum perkawinan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa setiap
masyarakat memandang perkawinan tidak hanya sebagai hubungan suci antara laki-
laki dan wanita, tetapi hubungan tersebut juga harus mendapat pengakuan masyarakat.
Oleh sebab itu, perkawinan dianggap sebagai bentuk ibadah yang bertujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan menurut masyarakat hukum adat Sasak pada umumnya sama
dengan suku-suku lain di Indonesia, yaitu tidak hanya bermaksud mempersatukan
seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami-istri, tetapi dari hubungan tersebut
juga untuk mempersatukan hubungan antara keluarga.
Menurut Lalu Syapruddin, masyarakat hukum adat Sasak mengenal 3 (tiga)
tujuan perkawinan, yaitu,
1. Perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita dalam satu kadang waris (satu
hubungan darah) yang disebut perkawinan betempuh pisak.
2. Perkawinan antara laki-laki dan wanita yang mempunyai hubungan kadang jari
(kerabat dan sahabat) yang disebut perkawinan sambungbunge benang.
3. Perkawinan antara laki-laki dan wanita yang tidak terikat oleh hubungan
kekeluargaan/kekerabatan, disebut dengan perkawinan pegaluh gumi.3
2Yacob Ali, Perubahan Nilai Budaya Masyarakat Nusa Tenggara Barat, Proyek IDKD (Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h.15
3Lalu Syapruddin, Kedudukan Wanita Menurut Hukum Keluarga dan Hukum Waris Adat Sasak setelah berlakunya Kompilasi Hukum Islam, Tesis, (Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 1998), h.38.
Kaitan lebih lanjut menyangkut syarat sah perkawinan tersebut seperti batasan
umur dewasa, dalam hukum adat tidak ditentukan seperti pada aturan perundang-
undangan, dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7
ayat 1 ditentukan “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak Pria sudah mencapai umur 19
tahun (sembilan belas) tahun dan pihak Wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas)
tahun. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang
Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8 “Apabila seorang calon sumi belum mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas)
tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”. Pasal-pasal tersebut diatas sangat
jelas, hampir tak ada alternatif penafsiran, bahwa usia yang diperbolehkan menikah di
Indonesia untuk laki-laki 19 (sembilan belas) tahun dan untuk wanita 16
(enambelas)tahun. Namun itu saja belum cukup, dalam tataran implementasinya masih
ada syarat yang harus ditempuh oleh calon pengantin, yakni jika calon suami dan calon
isteri belum genap berusia 21 (duapuluh satu) tahun maka harus ada ijin dari orang tua
atau wali nikah, hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007
tentang Pencatatan nikah Bab IV pasal 7 “Apabila seorang calon mempelai belum
mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua”.
Ijin ini sipatnya wajib, karena usia itu dipandang masih memerlukan bimbingan dan
pengawasan orang tua/wali. Dalam format model N5 orang tua /wali harus
membubuhkan tanda tangan dan nama jelas, sehingga ijin dijadikan dasar oleh PPN/
penghulu bahwa kedua mempelai sudah mendapatkan ijin/restu orang tua mereka. Lain
halnya jika kedua calon pengantin telah berusia lebih dari 21 (dua puluhsatu) tahun,
maka calon pengantin dapat melaksanakan pernikahan tanpa ada ijin dari orang
tua/wali. Namun untuk calon wanita ini masih harus mendapatkan wali dari orang tuanya
yang merupakan wali nasab sekaligus yang berwenangakan menikahkannya. Oleh
karena itu ijin dan doa restu orang tua sangat penting karena berkaitan dengan salah
satu rukun nikah yakni adanya wali nikah.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan anak Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) :
anak adalah seseorang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ayat (2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimninasi.
Jika menilik ketentuan tentang syarat perkawinan pada undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan dan batasan umur yang disebut anak pada Undang-
undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak diatas, tentu ada hal yang perlu di
berikan elaborasi, terutama menyangkut batasan anak dan batasan umur untuk
menikah, karena kedua ukuran tersebut akan menimbulkan akibat hokum yang
fatal.Disatu sisi masih disebut anak-anak tapi disi lain dikatagorikansudah cukup untuk
menikah. Hal ini menjadi penting menyangkut perkawinan adat merarikyang dilakukan
sebagai salah satu cara yang paling digemari oleh muda mudi suku Sasak di Pulau
Lombok. Menurut Dirman Tohha,
Tradisi merarik dalam budaya masyarakat suku Sasak di Lombok,Nusa Tenggara Barat, hingga kini lebih banyak dipahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tradisi merarik lebih banyak mendapat konotasi negatif sebagaimana pemahaman tentang kawin lari yang biasa dilakukan oleh pasangan remaja yang tidak mendapat restu dari orang tua.Bahkan, akibat keluguan masyarakat Sasak yang menyederhanakan kata merarik dengan istilah 'memaling' (mencuri), kesan negatif itu makin sulit dihindari. Meski ada juga tata cara perkawinan yang lain, seperti perjodohan dan melamar, pengertian merarik dengan konotasi negatif lebih banyak dikenal oleh masyarakat dari luar daerah. "Adalah keliru pandangan negatif terhadap tradisi merarik,karena dalam tradisi itu penuh dengan nilai yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di Lombok,4
Persoalannya adalah menyangkut tatacara atau proses dalam perkawinan adat
merarik yang dilakukan dengan prosedur yang merupakan pesan nilai konkrit diujudkan
melalui lima tahapan (teori hukum) perkawinan adat merarik, berupa: (a). Masa
perkenalan dan beberaya (b).Pernyataan kemandirian dan kesanggupan untuk
membentuk rumah tangga, (c).Menyatakan perbuatan menjadi terang sesuai dengan
sifat hukum adat, (d). Tahap penyelesaian yang dilakukan dengan musyawarah (Sasak:
Gundeman) dan (e). Tahap Pengukuhan atas terbentuknya keluarga (kurenan) baru.
a. Tahap pertama, merupakan masa orientasi (midang), dilanjutkan dengan
beberaye (berpacaran) dalam waktu yang cukup. Kemudian sang lelaki
menyatakan niatnya kepada sang wanita untuk melanjutkan hubungan hidup
rumah tangga melalui pernikahan, peristiwa ini disebut nenari.
4Dirman Toha, Merarik Kelilangan Makna, Kompas Kamis, 6 Juli 2008
b. Tahap kedua, adalah masing-masing calon suami-istri menyatakan untuk
melepaskan diri dari kekuasaan orang tua yang dilakukan dengan
meninggalkan rumah masing-masing. Jadi berlangsungnya perkawinan
merarik didahului oleh inisiatif kedua calon mempelai, sama sekali tidak
melibatkan orang tua kedua belah pihak. Karena keadaannya demikian maka
ada orang tua yang tidak mengetahui atau tidak memperkirakan kalau anaknya
akan melangsungkan perkawinan merarik, sehingga orang Sasak sering
menyebut perkawinan dengan cara ini dengan istilah ”kale idup”, ”kale” artinya
cobaan/kesusahan dalam kehidupan. Oleh karena itu dari tahapan ini sudah
terlihat adanya potensi sengketa.
c. Tahap ketiga yaitusejati, adalah untuk menyatakan perbuatan menjadi terang,
sesuai dengan sifat hukum adat segala perbuatan harus dilakukan dengan
terang yaitu sepengetahuan kepala persekutuan. Dalam hal ini sepengetahuan
kepala lingkungan selaku keliang adat, kemudian memberitahukan peristiwa
perkawinan merarik tersebut kepada pihak keluarga calon mempelai wanita
melalui keliang adatnya, peristiwa ini disebut dengan mensejati.
d. Tahap keempat ialah tahap penyelesaian perkawinan merarik yang
dilangsungkan dengan mufakat keluarga kedua pihak yang dihadiri oleh
keliang adat, petugas adat (pembayun) dan petugas agama.
e. Tahap kelima yaitu pengukuhan adanya keluarga (kurenan) baru, pengukuhan
ini dilakukan melalui acara sorong serah-ajikrama, kemudian diumumkan
kepada masyarakat melalui acara nyongkolan/nyondol5.
Tahapan tersebut mencerminkan norma yang terdapat dalam perkawinan
adatmerarik.
Jika prosedur tersebut dikaitkan dengan perkawinan lari pada umumnya, menurut Hilman6 disebabkan karena,
1. Orang tua dari pihak perempuan akan merasa tersinggung dan direndahkan karena pihak yang pria tanpa permisi mangambil anaknya (seperti istilah diatas). sistim Kawin Lari dewasa ini biasanya diambil karena ada beberapa alasan diantaranya;
2. Memang orang tua tidak menyetujuinya karena mungkin ada alasan mendasar, sehingga satu-satunya jalan hanyalah ini.
5Lalu Sabardi, Pelanggaran Norma Perkawinan Adat merarik dalam Masyarakat Hukum Adat Sasak di Pulau Lombok. Desertasi, Universitas Brawijaya matang Tahun, 2011, h. 23.
6 Hilman Hadikusumah, 1990, Hukum Perkawinan Menurut: Pandangan Hukum Adat Dan Hukum Agama, Cet. I, Bandung: Mandar Maju, hal. 97.
3. Perbedaan wangsa, yang biasanya orang di desa masih kaku sehingga diplesetkan menjadi sistim kasta sehingga terjadi ketimpangan kasta. dari perbedaan ini ada dua kemungkinan;
4. Orang tuanya yang memang tidak setuju,5. Orang tuanya merestui tetapi keluarga menentang alias tidak setuju,6. Orang tua dan keluarga merestui tatapi adat di desa setempat yang tidak
mengijinkan pernikahan beda kasta.7. Memang adat setempat yang tidak mungkinkan pernikahan dilaksanakan pada
bulan bersangkutan, mungkin berkenaan dengan aturan internal desa atau adanya prosesi upacara besar di desa pihak perempuan sehingga sistim Madik belum diperbolehkan hingga beberapa waktu kedepan.
8. Orang tua, keluarga dan adat merestui tapi dana pernikahan belum mencukupi, (misal; pihak perempuan dari daerah jauh, untuk menghemat biaya).
Pada umumnya yang dimaksud dengan perkawinan lari atau melarikan adalah bentuk perkawinan yang tidak didasarkan atas persetujuan lamaran orang tua, tetapi berdasarkan kemauan sepihak atau kemauan kedua pihak yang bersangkutan.Lamaran dan atau persetujuan untuk perkawinan diantara kedua pihak orang tua terjadi setelah kejadian melarikan, atau yang bersangkutan telah memiliki keturunan (anak).7
Kawin lari biasanya terjadi tanpa peminangan atau pertunangan secara formal.cara yang demikian ini merupakan cara yang umum dalam melakukan perkawinan di dalam wilayah-wilayah masyarakat yang menganut sistem patrinial (sistem kebapakan), dan juga terdapat dalam wilayah-wilayah masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan, bahkan dapat diketemukan pula pada masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan matrilinial (sistem keibuan).8
Adapun maksud dari perkawinan lari ialah menghindarkan bermacam-macam
keharusan sebagai akibat dari perkawinan pinang, disamping juga mungkin tidak
disetujuinya antara keduanya oleh orang tua masing-masing atau orang tua salah satu
pihak, padahal keduanya saling mencintai. Disinilah timbulnya sumber kenekatan
pasangan jodoh tersebut, sehingga mereka berani untuk kawin lari9.
Dalam proses perkawinan ini kedua pihak yang bersangkutan lari dari kediamannya dan
atau untuk berdomisili di tempat lain kemudian melangsungkan perkawinan di tempat
domisili yang baru tersebut, dengan wali (dalam adat) atau tanpa wali dari orang tua
kedua pihak.
Kawin lari memiliki dua pengertian dalam hal ini:
7 Sution Usman Adji, 1989, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta: Liberty, hal. 105.8 Soerjono Soekanto, 1986, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, hal. 248.9Wawancara dengan Lalu Syafruddin, tanggal 4 Nopember 2008
a. Kawin lari bersama: terjadi dengan larinya calon suami istri tanpa peminangan formal dan tanpa pertunangan.
b. Kawin bawa lari; yang disebut dengan kawin bawa lari adalah: 1. Lari dengan wanita; yang sudah dipertunangkan atau dikawinkan dengan
pria lain.; atau2. Melarikan wanita secara paksa10.
Perkawinan seperti ini biasanya terjadi dibeberapa daerah di Nusantara karena
beberapa hal, diantaranyakarena ;
Panjangnya proses yang harus dilalui sebagaimana telah ditentukan oleh adat, dimana
mempelai harus melaluinya untuk mencapai perkawinan, dengan harapan sang
mempelai tidak melanggar aturan adat dan terhindar dari sanksi yang akan diberikan
kepada orang yang melanggar aturan adat. Dengan banyaknya fase-fase dalam adat
yang harus dilewati.
Upacara adat dalam segala bentuk dan cara tersebut, pada umumnya
dilaksanakan sejak masa pertunangan (pacaran) atau masa penyelesaian kawin
belarian, penyampaian lamaran, upacara adat perkawinan, upacara keagamaan dan
terakhir acara kunjungan mempelai ke tempat orang tua atau menantu.11
Adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat, yang membagi golongan masyarakat, dari golongan bangsawan (ningrat), biasa dan jelata, klen-klen atau kasta-kasta (Bali).Dalam hal ini, seseorang yang lebih tinggi derajatnya dalam masyarakat tersebut dilarang untuk menikahi kaum bawahan yang lebih rendah derajatnya, perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan diantara warga se-klen, atau setidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta.12 Bila pernikahan seperti itu dilaksanakan maka mempelai tersebut dianggap melanggar aturan adat, hal ini menyebabkan ia untuk membayar denda kepada adat atau bahkan menerima sanksi adat, biasanya pemuka adatlah yang berwenang menjatuhkan hukuman tersebut. Menurut adat idealnya perkawinan dilaksanakan dengan seseorang yang sebangsa dan sederajat, kedudukan dan harta.
Tingginya mahar (maskawin) yang harus diberikan kepada pihak wanita, bisa juga karena belanja perkawinan yang tinggi, sesuai dengan derajat sosial dari gadis yang dipinang.13
10Loc. Cit. h.9711
12Mattulada, Koentjaraningrat (ed.), tt, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia; Kebudayaan Bugis-Makassar, Jakarta: Djambatan, hal.268-269.
13 I Gusti Ngurah Bagus, Koentjaraningrat (ed.), tt, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia; Kebudayaan Bali, Jakarta: Djambatan, hal.287.
Hal seperti ini disebabkan oleh berbedanya pengertian tentang faktor-faktor pendukung
kebahagiaan atau anggapan tentang berhasilnya suatu keluarga dalam masyarakat.
Dengan mahar yang besar maka bisa dikatakan bahwa calon mempelai yang akan
menjalani bahtera keluarga akan mendapatkan kemungkinan yang besar pula untuk
mencapai kebahagiaan tersebut. Inilah pandangan masyarakat yang melihat perkawinan
berlandaskan materi belaka, sehingga hal-hal yang berhubungan dengan materi
dianggap akan sangat mendukung sekali untuk menggapai suatu kebahagiaan dalam
kehidupan berumah tangga.
Keadaan demikian memaksa kedua mempelai atau salah satunya – khususnya si lelaki
yang terbebani dengan membayar mahar dan atau belanja perkawinan – untuk
melakukan hal-hal diluar aturan adat, dengan kata lain dikatakan bahwasannya laki-laki
tersebut nekad melanggar aturan yang telah ditentukan oleh adat sebelumnya. Pada
akhirnya sebagai salah satu solusi dalam perkawinan ialah dengan kawin lari.
Atas dasar uraian tersebut, terlihat bahwa perkawinan adatmerarik merupakan
bentuk perkawinan dalam masyarakat hukum adat Sasak yang memberikan keleluasan
kepada laki-laki dan wanita untuk menentukan pilihannya sendiri (kemelek mesak), yaitu
suatu putusan hati nurani tentang pilihan yang telah dipertimbangkan melalui proses
waktu yang panjang. Oleh karena itu putusan seperti ini tidak akan lahir dari
pertimbangan sepintas, melainkan dari kematangan pribadi.
Persoalan lebih lanjut menyangkut penjemputan calon istri.
a. Setelah melalui masa orientasi/berpacaran (beberaye) dalam waktu yang
cukup, kedua calon mempelai mengikat janji untuk menjadi pasangan
suami istri. Disyaratkan berpacaran dalam waktu yang cukup tidak hanya
bermaksud untuk penyesuaian agar calon mempelai dapat saling jajaki
tetapi juga untuk memperlancar proses ketika calon mempelai telah
memutuskan untuk hidup berumah tangga, tidak terdapat gangguan baik
dari wanita atau laki-laki lain maupun syarat-syarat lain untuk
melangsungkan perkawinan, seperti belum cukup umur maupun tidak
sepadan (endekn skufu).
b. Untuk melaksanakan janji tersebut, wanita calon istri kemudian berjanji
untuk meninggalkan rumahnya masing-masing, tidak boleh berangkat
untuk melaksanakan perkawinan merarik selain dari rumahnya. Uraian
tersebut memperlihatkan bahwa inti dari perkawinan merarik adalah
membawa lari wanita calon istri tidak boleh diketahui oleh keluarganya.
Norma kedua ini bertentangan dengan Pasal 332 (1) KUHP, selengkapnya
berbunyi :
Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara : paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehandaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
Ketentuan Pasal ini sangat jelas tidak memerlukan penafsiran, sehingga dengan
demikian mengancam tatakrama dalam tahapan proses perkawinan adat merarik. Atas
dasar keadaan tersebut untuk menghindari berbagai persoalan yang terjadi di
masyarakat seperti sengketa antar keluarga, perkelahian antar kampung, maupun
terjadinya penangkapan oleh polosi terhadap laki-laki calon mempelai yang
melaksanakan perkawinan adat merarik,perlu dilakukan penelitian menyangkut makna
dalam tatacara perkawinan adat merarik agar dapat diketahui cara menyelesaikan
pertentangan norma antara hukum Negara dan hukum adat. Persoalan yang mendasar
berkaitan dengan pertentangan norma ini adalah menyangkut persoalan keadilan
karena dasar hukum melakukan perbuatan bukan merupakan sesuatu yang dianggap
salah melainkan perbuatan yang diharuskan oleh hukum adat. Kemudian hukum Negara
(KUHP) mempersalahkan dan mengadilinya atas dasar hukum yang
mempersalahkannya, hal ini telah melintasi sistem untuk mencari dasar hukum dalam
mengadili suatu perkara. Hal-hal tersebut merupakan salah satu sumber terjadinya
sengketa, disamping sumber-sumber lain yang menyangkut proses dan atau tatacara
dalam perkawinan adatmerarik. Secara spesifik persoalan menyangkut batas umur
perkawinan maupun mengertian anak seperti yang ditentukan dalam UU Perlindungan
anak dan ketentuan pasal 332 (1) KUHP merupakan isu hukum yang penting diteliti. Hal
itu berupa berbagai pertimbangan juridik pelaksanaan perkawinan adatmerarik pada
masyarakat hukum adat Sasak; Prasyarat, prosedur dan bentuk pelanggaran norma
perkawinan adat merarik dalam masyarakat hukum adat Sasak, serta penyebab
sengketa dan cara penyelesaiannya.14Persoalannya kemudian menyangkut nilai
14Hal ini dapat diketahui dari berbagai kasus perkawinan merarik yang terjadi bersumber pada perbedaan pandangan terhadap makna merarik baik pada starata kehidupan masyarakat, maupun aparat penegak hukum. Sengketa perkawinan merarik lebih menguat sejak Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan dan lebih-lebih lagi ketika UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diundangkan. Nilai budaya yang
keadilan yang dirasakan oleh masyarakat atau dalam pengertian yang kongkrit dapat
dikemukakan bahwa rekonsiliasi dari sengketa yang terjadi akan muncul dari sentuhan
keadilan dalam putusan institusi yang dipercaya oleh masyarakat. Nilai keadilan itu baru
tercipta apabila fungsi hakim baik melalui pengadilan maupun melalui luar pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa pelanggaran adat merarik dapat memahami motivasi
para pihak yang bersengketa berdasarkan hukum yang melindungi kepentingan-
kepentingan mereka.
B. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah ketentuan tentang batasan umur untuk melaksanakan
perkawinan menurut hukum adat Sasak
2. Bagaimanakah terjadinya adaptasi norma dalam perkawinan adat merarik
berhadapan dengan ketentuan hukum Negara.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menemukan dan menjelaskan konsepsi perkawinan merarik yang
dilakukan oleh masyarakat hukum adat Sasak menyangkut batas umur untuk
melaksanakan perkawinan.
2. Untuk menemukan dan menjelaskan bentuk pelanggaran adat perkawinan
merarik dalam masyarakat hukum adat Sasak dan menggunakannya sebagai
bahan penyelesaian sengketa pelanggaran adat.
3. Untuk menemukan dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya
sengketa dalam perkawinan merarik dan mekanisme penyelesaian sengketa.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut :
1. Memberikan pemahaman yang lebih mendasar atas berbagai bentuk
pelanggaran adat perkawinan merarik dan alasan-alasan pilihan cara
melangsungkan perkawinan merarik serta pranata (model-model pelanggaran
melekat pada perkawinan Merarik mengakar pada keyakinan masyarakat Sasak yang berbeda dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Prosedur dan prasyarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan mengharuskan prasyarat perkawinan merarik mengikutinya. Perkawinan merarik kian menarik untuk diteliti karena dilakukan tidak hanya oleh warga suku Sasak, tetapi juga oleh suku diluar suku Sasak yang berdomisili di pulau Lombok bahkan suku lain diluar suku Sasak dan tidak berdomisili di pulau Lombok.
dan penyelesaiannya) dalam masyarakat hukum adat Sasak yang dapat
dikembangkan untuk menyelesaikan sengketa, khususnya sengketa dalam
perkawinan adat selarian.
2. Untuk kalangan akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khasanah keilmuan dalam pengembangan kajian ilmu hukum, khususnya
untuk memperluas wawasan teoritik penyelesaian berbagai kasus sengketa
yang muncul dalam perkawinan merarik.
3. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para praktisi
hukum dalam menyelesaikan berbagai kasus sengketa, khususnya kasus
sengketa perkawinan merarik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Teori Kedewasaan
Roger Gould, menghubungkan fase dan krisis dalam pandangannya tentang
transformasi perkembangan. Menurutnya, paruh kehidupan adalah sama bergejolaknya
dengan masaremaja, dengan penegecualian bahwa selama masa dewasa tengah
usaha untuk menangani krisis mungkin akan menghasilkan kehidupan yang lebih
bahagia dan lebih sehat.Dia percaya bahwa dalam usia 20-an, adalah masa menerima
peran-peran baru; dalam usia 30-an mulai merasaada himpitan dengan tanggung jawab
kita, dalam usia 40-an mulai merasakan perasaan urgensi bahwa hidup terasa cepat
berlalu.Menurutnya, menangani krisis paruh kehidupan dan menyadari bahwa perasaan
urgensi merupakan reaksi alami terhadap fase ini membantu kita menuju jalan
kematangan yang dewasa.
Perkembangan hukum Negara sampai saat ini ketentuan tentang umur ini
ditentukan dengan batas umur tertentu baru dapat dikatakan dewasa dan mampu
berbuat hokum, sehingga masing-masing aturan menentukan batas usia dewasa itu
menurut kebutuhan masing-masing aturan, sehingga karena keadaan itu menyebabkan
terjadinya perbedaan ketentuan umur dewasa.
Pada dasarnya setiap manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa (YME) yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu kebebasan, hak
hidup, hak untuk dilindungi, dan hak yang lainnya. Hal ini senada dengan prinsip hukum
alam pada abad ke-18 yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio, salah satu
penganutnya adalah Locke, menurut Locke teori hukum beranjak dari dua hal di atas
yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio, Ia juga mengajarkan pada kontrak
sosial.
Menurutnya manusia yang melakukan kontrak sosial adalah manusia yang tertib
dan menghargai kebebasan, hak hidup dan pemilikan harta sebagai hak bawaan
manusia. Menurut Locke masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tidak
melanggar hak-hak dasar manusia15.
Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika
kontrak sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat
kontrak sosial, dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Kalau begitu, adanya
kekuasaan tersebut justru untuk melindungi hak-hak kodrat dimaksud dari bahaya-
bahaya yang mungkin mengancam, baik datang dari dalam maupun dair luar. Begitulah,
hukum yang dibuat dalam negara pun bertugas melindungi hak-hak dasar
tersebut16.Hak-hak dasar yang biasa disebut sebagai hak asasi, tanpa perbedaan antara
satu dengan lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri
pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia.Pemikiran yang
lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan kebebasan
warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia merupakan makhluk
berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan
warganya. Kemakmuran dan kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum,
oleh karena itu, hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara.17
Hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan
abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak
berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak
berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh
diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
15Supanto, Perlindungan Hukum Wanita, “http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/”, (Diakses Pada Tanggal 07 Januari 2011
16Supanto, Perlindungan Hukum Wanita, “http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/”, (Diakses Pada Tanggal 07 Januari 2011)
17 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus. Y. Hage, Op. Cit, 72-73.
Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori pelindungn hukum Salmond bahwa
hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan
dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak18. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan
manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan
manusia yang perlu diatur dan dilindungi19.
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari
suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat
yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur
hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan
pemerintah yang dianggap mewakili kepentingak masyarakat.
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di
berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum.20
Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.21Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial22.
Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif23. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan bedasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan24.
2.Teori Adaptasi Norma dan Peran Budaya Dalam Hukum
18 Ibid., 75 19 ibid20 Ibid., 69. 21 Satijipto Raharjo, “Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hln. 53.22 Ibid., 54.23 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, Remaja Rusdakarya, Bandung 1993, 118.
24Sunaryati Hartono, “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”,: AlumniBandung, 1991,hal. 55.
Perkawinan dalam hukum adat tidak hanya menjadi urusan mempelai, tetapi
terakumulasi menjadi urusan keluarga dan kerabat, karena dalam perkawinan
tersangkut masalah martabat/ harga diri keluarga, kerabat dan bahkan teritorial (desa)
tempat tinggal masing-masing. Selain urusan tersebut pada perkawinan berlaku 3(tiga)
sistem hukum sekaligus, yaitu ketentuan hukum adat, ketentuan hukum negara dan
ketentuan hukum agama.
Keberagaman sistem hukum yang mengatur perkawinan merupakan faktor pendukung
dalam membentuk srtuktur pilihan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa
perkawinan, karena banyaknya kelembagaan yang tersedia yang dapat dipilih untuk
penyelesaian sengketa. Oleh karena itu secara hipotesis dapat diduga mengapa dalam
pencegahan perkawinan merarik, masayarakat dihadapkan dengan keharusan untuk
menentukan pilihan. Pilihan dimaksud adalah untuk menghindari Pengadilan atau
untuk memilih Pengadilan. Jika menghindari Pengadilan maka sengketa diselesaikan
melalui institusi masyarakat. Jika memilih Pengadilan apakah Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Agama, masing-masing dengan prosedur dan akibat hukumnya.
Di dalam rumusan yang sederhana, maka masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang dalam kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan, dibatasi oleh suatu kerangka tertentu, artinya kalau sampai melampaui batas yang ada, mungkin ia menderita, sebaliknya, kalau dia tetap berada di dalam batas-batas tertentu, maka ia akan mendapat imbalan-imbalan tertentu pula. Inilah yang kesemuanya terkait pada kepentingan-kepentingan manusia pribadi maupun di dalam kehidupan berkelompok. Dengan demikian, maka lingkungan sekelilingnya, menyediakan pembatasan-pembatasan dan kebebasan-kebebasan bagi pribadi dan kelompok-kelompok sosial25.
Memperhatikan pernyataan tersebut tentulah harus dilihat berbagai perkembangan
untuk memengetahui berbagai kebutuhan hukum masyarakat.Untuk mempermudah
dalam mengenal hukum, dalam kaitan ini Ehrlich memberikan pedoman sebagai
berikut,
This then is the living Law in contradistinction to that which is being enforced in the courts and other tribunals. The living law is which dominates life itself even though it has not been posited in legal propositions. The
25Soerjono Soekanto 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Divisi Buku Perguruan Tingi, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, h. 137.
source of our knowledge of this law is, first, the modern legal document; secondly, direct observation of life, of commerce, of customs and usages, and of all associations, not only of those that law has recognized but also of those that it has overlooked and passed by, indeed even of those that it has disapproved. In our day, doubtless, the most important source of knowledge of the living law is the modern legal document. Even today one of these documents is being studied very exctensively, to with the judicial decision, but not in the sense we have in mind here. It is not being treated as evidence of the living law, but as a work of juristic literature which is to be examined not as to the truth of the legal relations described therein and as to the living law that is to be extracted therefrom, but as to the correctness of the statutory interpretations and of the juristic constructions contained therein26.
Dari sumber tersebut dapat diketahui, bahwa untuk mengetahui hukum yang hidup
dapat ditempuh dengan mempelajari, kebiasaan, perjanjian, kekuasaan/putusan
pengadilan.Sekalipun untuk keputusan pengadilan menurut Ehrlich, bukan sumber
yang mutlak karena merupakan penafsiran hakim terhadap hukum yang sebenarnya.
Lebih lanjut Ehrlich menegaskan prihal kebiasaan sebagai jalan untuk mempelajari
hukum yang hidup dengan mengemukakan,
And now we see the deeper root of the whole doctrine. Savigny and Puchta’s chief endeavor was to establish most emphatically that development of law goes on immediately within the consciousness. Usage is merely the shoot which reached the surface. “Custom does not create law, it merely makes it possible to gain a knowledge of law”, said Puchta in a reply to Beseler. But that is by no means a peculiarity of customary law; it must need be true of every other source of law. If it really to create law, it must be an expression of the general legal conviction of the people. For this reason a statute must be treated exactly like usage. “The common power is the Geist des volkes (spirit of the people), from which legislation, too, deriver the content of its pronouncements.” 27
Banyak kegiatan masyarakat yang dilaksanakan sendiri tanpa perantaraan
negara, memang semua hukum dalam segi eksternalnya dapat diatur oleh instansi-
instansii negara, akan tetapi dari segi internalnya hubungan-hubungan dalam kelompok
sosial tergantung dari anggota-anggota kelompok itu, maka dengan demikian terdapat
hukum yang terlepas dari kewibawaan negara. Hukum seperti ini jika tidak mampu
menyelesaikan perkara diantara anggotanya maka hakim akan memfasilitasi
berdasarkan norma yang mereka telah sepakati. Dalam hal ini Ehrlich berpendapat,26 Eugen Ehrlich,1962, Op.Cit. p.491-492 27 Ibit, h.444
At a later time, however, I realized that this method is not quite sufficient. Even the judicial decisions do not give a perfect picture of legal life. Only a tiny bit of real life is brought before the courts and other tribunals; and much is excluded from litigation either on principle or as a matter of fact. Moreover the legal relation which is being litigated shows distorted features which are quite different from, and foreign to, the same relation when it is in response. Who would judge our family life or the societies?28
Berkenaan dengan uraian tersebut terlihat, Ehrlichmengartikan hukum yang hidup
sebagai hukum yang menentukan bagi aturan kehidupan itu,
But the territory within which our codes are so incomparably, more varied, more subject to changes than they have ever been, that the mere idea of making a complete presentation in a code would be monstrous. To attempt to imprison the law of a time or of a people within the sections of a code is about as reasonable as to attempt to confine a stream within a pout. The water that is put in the pout is no longer a living stream but a stagnant pool, and but little water can be put in the pout. Moreover, if one considers that the living law had already overtaken and grown away from each one of these codes at the very moment the latter were enacted, and is growing away from them more and more every day, one cannot but realize the enormous extent of this as yet unploughed and unburied field of activity which is being pointed out to the modern legal investigator29.
Sejalan dengan uraian Ehrlich, Friedman, kemudian menyatakan bahwa Hukum,
adalah suatu kata yang sederhana yang memiliki makna banyak, sehingga sulit untuk
didefinisikan “apakah hukum itu”. Friedman menyitir pendapat Donald Black dalam
bukunya “The Behaviour of Law”,
Puts forward a concise, deceptively simple definition. Law, according to Black, is “govern mental social control.” By “social control” he means social rules and processes which try to encourage good or useful conduct or discourage bad conduct30..
Kemudian Friedman memberikan contoh, seperti: undang-undang tentang
kriminal, polisi, jaksa, dan hakim merupakan kelembagaan yang menyandang
pengawasan terhadap pelaksanaan hukum, mereka adalah contoh yang melaksanakan
kontrol sosial. Disamping itu, menurut Friedman :Law, according to Black, is social
28 Ibit. p.495 29 Ibit. p. 487-488
30 Ibid.
control, but it is social control of one particular kind. Low is governmental sosial control .
masih ada hukum diluar aturan yang dibuat pemerintah, seperti: guru mempunyai
aturan sendiri untuk memelihara tingkah laku murid-muridnya, demikian juga orang tua
mempunyai aturan yang diterapkan dirumahnya. Agama juga, mempunyai aturan
mengenai perilaku dalam rangka mengarahkan mengajak pemeluk mereka berperilaku
saleh dan pantas untuk hidup sesuai dengan ajaran agamanya. Oleh karena itu
pengertian hukum itu sangat luas dan termasuk dalam pengertian ini adalah aturan –
aturan yang dibuat oleh masyarakat, utamanya aturan-aturan yang tumbuh dan
berkembang dikalangan masyarakat, sepreti hukum adat, termasuk pengertian “hukum”,
tetapi dalam hukum di AS bukan merupakan bagian dari “hukum” resmi. (Under Black
denfinition, then they are not law. At least we can say that in a country like. The United
States they are not part of the official law)31.
31 Friedman. Op.Cit, p4
BAB III
METODE PENELITIAN
Sesuai dengan objek penelitian ini, maka untuk memahami perilaku dalam
penyelesaian sengketa tentu tidak dapat hanya dengan mengetahui hukum yang
digunakan untuk menyelesaian sengketanya, tetapi juga perlu memahami bentuk dan
proses penyelesaian sengketanya. Sejalan dengan uraian tersebut, Hamid Patilima
mengemukakan,
Alasan penggunaan pendekatan kualitatif karena penelitian tersebut bertujuan memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran, interaksi... Pada pendekatan kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data. Fokus penelitiannya pun ada pada persepsi dan pengalaman informan dan cara mereka memandang kehidupannya, sehingga tujuannya bukan untuk memahami realita tunggal, tetapi realita majemuk, penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada proses yang berlangsung dan hasilnya32
Oleh karena itu penentuan pendekatan dalam penelitian ini didasarkan pada
karakteristik data yang dicari, pendekatan ini didasarkan atas pandangan bahwa
hukum tidak dapat dilepaskan dengan kehidupan masyarakat tempat hukum itu
berlaku. Dalam menyelesaiakan sengketa, ada yang meminta penyelesaian ke
Pemerintah Desa, ada yang ke Pengadilan Agama, ke Pengadilan Negeri, bahkan ada
yang ke Kepolisian. Oleh sebab itu, penelitian ini bergerak dalam tataran masyarakat
untuk melihat bentuk dan cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Sejalan
dengan uraian tersebut Soetandyo mengemukakan.
Metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas, kasuistik sifatnya, namun mendalam (in depth) dan total/menyeluruh (holistik), dalam arti tidak mengenal pemilahan-pemilahan gejala secara konseptual kedalam aspek-aspeknya yang ekslusif yang kita kenal dengan sebutan variabel.
Metode kualitatif juga dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti apa yang dipersepsikan oleh warga masyarakat
32 Hamid Patilima, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, CV Alfabeta Bandung, h.67
itu sendiri dan dari kondisi mereka sendiri yang tak diivestigasi oleh pengamat penelitinya (naturalistik)33.
Atas dasar uraian di atas, maka pada penelitian ini tidak hanya mengkaji hukum
dari aspek normanya saja, tetapi juga dari realitas hukum yang dimengerti dan
dilaksanakan oleh masyarakat, baik norma hukum negara maupun norma hukum adat
dan norma hukum agama (Islam), karena dalam kisaran normatif tersebut perilaku itu
berada, menjadi format dan motivasi bertindak.
Bertolak dari obyek penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian yang
dapat digolongkan dalam penelitian socio-legal-anthropologies, karena hukum
yangmenjadi obyek kajian dilihat dari perspektif sosiologis-antropologis. Penelitian ini
memadukan tiga disiplin, yaitu disiplin hukum (hukum adat), disiplin sosiologi dan
disiplin antropologi. Merupakan studi hukum sosiologis karena hukum yang dikaji
adalah hukum dalam prilaku masyarakat, yaitu menyangkut faktor-faktor yang
mempengaruhi cara penyelesaian sengketa dalam perkawinanmeraik. Dikatakan studi
hukum antropologis karena secara ontologis substansi yang dikaji dalam studi ini
merupakan bagian dari sistem hukum, yakni komponen prosedural hukum. Bagaimana
masyarakatSasak memilih bentuk-bentuk penyelesaian (perdata, pidana, adat).
Dikatakan penyelesaian perdata, apabila penyelesaian yang dilakukan menggunakan
hubungan personal, tidak menggunakan kelembagaan masyarakat yang telah ada.
Disebut pidana apabila dalam penyelesaian sengketa tersebut melibatkan aparat
kepolisian dan dikatakan penyelesaian adat apabila menggunakan mekanisme
kelembagaan adat, baik berupa krama adat, Kepala Desa maupun Camat. Atas dasar
karakteristik tersebut maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan ini dapat digali latar belakang yang
mempengaruhi pihak bersengketa dalam memilih cara penyelesaian sengketanya.
Penelitian tentang penyelesaian sengketa dalam perkawinan merarik tidak
dapat dilepaskan dengan kondisi pluralitas hukum dalam masyarakat di Indonesia,
terutama bekerjanya hukum negara dan hukum adat pada suatu situasi sosial
komunitas seperti pada masyarakat Sasak di Lombok. Bekerjanya beberapa sistem
hukum yang berbeda yang mengatur perkawinan merupakan keharusan, karena semua
sistem hukum tersebut mengatur tentang syahnya perkawinan. Keberadaan hukum
33 Soetandyo Wignjosoebroto, Bebarapa Persoalan Paradigmatik Dalam Teori Dan Konsekuensinya Atas Pilihan Metode Yang Akan Dipakai. Dalam Kumpulan Makalah Bahan Bacaan Metode Penelitian Hukum, dihimpun oleh Valerine J.L.K. Fakultas Hukum UI tanpa tahun, h, 103.
negara sebagai bentuk manifestasi kedaulatan negara akan terus menjadi pedoman
kehidupan masyarakat. Sedangkan dalam masyarakat terdapat sistem sosial yang
dikembangkan sebagai bagian dari eksistensi diri terhadap kondisi lingkungan sosial
mereka. Kedua fenomena hukum tersebut akan selalu ada pada hukum perkawinan
Indonesia. Mendasarkan pada fenomena dan pilihan konstruktivisme sebagai
paradigma dalam penelitian ini, maka penelitian ini bersifat kualitatif.
Menurut David D. William, setidaknya ada tiga hal pokok yang membedakan
apakah suatu penelitian bersifat kualitatif atau kuantitatif yaitu,
1. pandangan-pandangan dasar (axioms) tentang sifat realitas yang bersifat ganda dan hasil konstruksi dalam pengertian dan holistik, hubungan peneliti dengan yang diteliti sifatnya interaktif dan tak dapat dipisahkan, posibilitas penarikan generalisasi hanya dimungkinkan dalam ikatan konteks dan waktu (idiographic statements), posibilitas dalam membangun suatu jalinan hubungan kausal merupakan suatu keniscayaan dalam arti mustahil memisahkan sebab-sebab dari akibatnya, serta peranan nilai dalam penelitian merupakan suatu keharusan dan karenanya penelitian kualitatifsifatnya tidak bebas nilai.
2. karakteristik pendekatan penelitian itu sendiri;
3. proses yang diikuti untuk melaksanakan penelitian kualitatif.34
Di samping pendekatan kualitatif, penelitian ini juga menggunakan
pendekatan filosofis.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
34Sanafiah Faisal, 1990,Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasi, Penerbit Y A 3 Malang, , Hal. 17-18.
4.1. Kasus Sengketa Perkawinan Merarik Di Masyarakat
Kasus kesatu : Sengketa Karena Acara Sejati Tidak Ditanggapi
Berdasarkan hasil wawancara dengan Haji Taswir35(mempelai laki-laki),
bahwa calon istrinya telah dijodohkan dengan sepupunya tetapi ia tolak
rencana perjodohan tersebut, kemudian ia memilih Haji Taswir sebagai calon
suaminya. Sebagai bentuk penolakan atas rencana perjodohan tersebut, Ismi
Amni berinisiatif untuk melakukan perkawinan merarik bersama Haji Taswir.
Atas inisiatif itulah perkawinan merarikkemudian dilakukan Haji Taswir pada
malam hari, ketika keluarga calon istri sedang melaksanakan shalat Maghrib.
Kesempatan itu digunakan Haji Taswir untuk membawa calon istri ke rumah
pamannya. Selanjutnya, keluarga Haji Taswir segera melakukan acara sejati.
Yaitu, pemberitahuan secara adat kepada orang tua calon mempelai wanita
tentang adanya perkawinan merarik. Acara sejati dilakukan dengan maksud
agar tidak terdapat cacat cela dalam pandangan masyarakat tentang apa
yang mereka lakukan.
Namun demikian, acara sejati yang dilakukan oleh pihak keluarga Haji
Taswir tidak mendapat respon yang positif dari keluarga calon istri. Kondisi
ini menjadi awal penyebab munculnya sengketa antara keluarga Haji Taswir
dengan keluarga calon istrinya tersebut. Dibekali dengan niat untuk
menyelesaikan perkawinan putra-putrinya maka pada tanggal 21 Desember
2005, keluarga Haji Taswir melanjutkan tahapan adat selabar. Yaitu,
pembicaraan tentang penyelesaian yang akan dilakukan berkaitan dengan
kegiatan perkawinan merarik yang telah terjadi. Kegiatan selabar biasanya
dirangkaikan dengan kegiatan bait wali ( permintaan wali). Kegiatan selabar
dan bait wali biasanya dipercayakan kepada PenghuluDesa yang saat itu
dilakukan oleh H. Khaeri dan Abdurrahman, salah seorang keluarga Haji
Taswir. Pada saat dilakukan selabar, keluarga Haji Taswir tidak bertemu
dengan Haji Mustafa (yaitu orang tua dariIsmi Amni)karena mereka sedang
pergi berobat ke Dokter.
Tiga hari setelah kedatangan yang pertama, tepatnya pada hari Senin,
23 Desember 2005, utusan keluarga Haji Taswir kembali mendatangi orang
35Wawancara dengan Haji Taswir mempelai laki-laki tanggal 20 Pebruari 2013.
tua calon mempelai wanita. Bertindak selaku utusan adalah Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Mataram, Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan Cakranegara, dan Haji Khairi selaku Pegawai Pencatat Nikah
Kelurahan Karang Pule serta beberapa orang anggota keluarga Haji Taswir.
Kedatangan utusan yang dilakukan oleh penjabat dari lingkungan
Departemen Agama tidak biasa terjadi dalam kalangan Suku Sasak. Hal ini
semata-mata dilakukan dengan maksud agar orang tua dan keluarga pihak
wanita tergugah untuk turut menyelesaikan persoalan perkawinan anaknya.
Namun kedatangan utusan keluarga Haji Taswir tidak juga memperoleh hasil
berkaitan dengan permintaan wali maupun acara lanjutan dari perkawinan
tersebut, karena Haji Mustafa sendiri sedang tidak berada di rumah.
Kedatangan mereka diterima oleh Haji Rusdi, Haji Munawir, dan Muktamad
sebagai perwakilan dari keluarga Haji Mustafa. Utusan keluarga Haji Taswir
bahkan diminta untuk datang kembali sepuluh hari lagi karena pihak
keluarga wanita harus mengadakan musyawarah untuk membahas hal
tersebut.
Sikap yang ditunjukkan pihak orang tua wanita dianggap sebagai
bentuk upaya untuk menghalang-halangi perkawinan adat merarik oleh pihak
keluarga Haji Taswir. Menyikapi hal tersebut, menurut Haji Taswir,36 maka
keluarganya berupaya mendatangi Tuan Guru, mereka berharap agar Tuan
Guru memberikan fatwa kepada orang tua mempelai wanita. Tetapi karena
Tuan Guruberhalangan, maka Tuan Guru pun mengirim utusan untuk
menemui orang tua Ismi Amni. Namun setelah kedatangan utusan dari Tuan
Guru itu pun tidak terlihat adanya respon positif dari orang tua Ismi Amni,
sehingga keluarga calon mempelai laki-laki merasa telah menemui jalan
buntu. Akhirnya keluarga calon mempelai laki-laki meminta fatwa para alim
ulama di desanya. Ternyata fatwa yang diberikan membenarkan pernikahan
dapat dilakukan tidak dengan wali mujbir, sekalipun wali mujbir masih hidup
dengan syarat permintaan wali telah diupayakan dengan maksimal dan
sungguh-sungguh untuk memperolehnya. Dalam keadaan demikikan
pernikahan dapat dilakukan dengan wali hakim, asalkan jarak tempat tinggal
wali mujbir melebihi 2 marhaladari tempat diselenggarakan pernikahan.
36Wawancara dengan Haji Taswir mempelai laki-laki tanggal 20 Pebruari 2010
Atas dasar fatwa tersebut, kemudian Penghulu (Pegawai Pencatat
Nikah) Kelurahan Karang Pule memohon kepada Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan Ampenan untuk menerbitkan rekomendasi pelaksanaan
pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Plampang Kabupaten
Sumbawa. Dipilih Kecamatan Plampang karena;satu, syarat yang ditentukan
telah melebihi jarak 2 marhala dari tempat tinggal wali mempelai wanita,
dua, di tempat tersebut terdapat sahabat yang akan menghubungkannya
dengan KUA setempat. Atas rekomendasi tersebut kemudian pernikahan
dilaksanakan di Plampang dengan Wali Hakim (Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan Plampang) tanggal 25 Desember 2005 dengan akte nikah No. :
332/19/II/2005. Dengan demikian perkawinan kedua mempelai telah
dianggap sah, baik menurut Hukum Agama maupun Hukum Negara.
Sedangkan acara adat tidak dilangsungkan karena sejak acara sejati selabar
kedua keluarga belum mencapai kesepakatan tentang wali dan tatakrama
adat. Akibat dari tatacara adat belum dilaksanakan, maka hubungan baik
kedua mempelai dan kelurga besarnya menjadi tidak harmonis.
Atas pernikahan tersebut, orang tua mempelai wanita selaku wali
mujbirmerasa telah dilangkahi dan dicabut haknya selaku wali dari anaknya
dan atas dasar itulah kemudian orang tua Ismi Amni mengajukan pembatalan
pernikahan ke Pengadilan Agama Mataram. Putusan Pengadilan tingkat
pertama membatalkan perkawinan mempelai berdua. Tetapi mempelai
berdua kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Mataram
dan memutuskan perkawinan yang telah dilaksanakan dengan wali hakim
telah memenuhi syarat dilihat dari cara memperolehnya dan karena itulah
perkawinannya dinyatakan sah menurut hukum Islam. Kembali orang tua
mempelai wanita mengajukan kasasi dan Putusan Mahkamah Agung
membenarkan perkawinan dapat dilakukan tidak dengan wali mujbir dalam
jarak tempat tinggal wali dan tempat diselenggarakannya perkawinan
dibatasi oleh jarak 2(dua) marhala, tetapi tidak dibenarkan meninggalkan
wali mujbir untuk pergi melangsungkan perkawinan kejarak 2(dua) marhala.
Dengan demikian Mahkamah Agung membatalkan pernikahan yang
dilakukan tidak dengan wali mujbir sedangkan wali mujbir masih hidup dan
menyatakan pernikahan harus diulang dan dilaksanakan oleh wali mujbir.
Kasus kedua : Sengketa Karena Perbedaan Proses Pelaksanaan Adat Sejati
Menurut keterangan Ichwan (sekarang suami dari Baiq Nety),
perkawinannya dengan Baiq Nety berusaha dicegah oleh orang tua Baiq
Nety. Pencegahan tersebut dilakukan dengan mengajukansurat pencegahan
perkawinan kepada Pengadilan Agama Mataram, tertanggal 8 Juli 2008 dan
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Agama Mataram dengan No. :
35/Pdt.P/2008/PA.MTR. Dalam surat pencegahan perkawinan tersebut Lalu
Muria orang tua Baiq Nety mengemukakan hal-hal sebagai berikut,
Bahwa pada hari Rabu, tanggal 19 Maret 2008 sekitar pukul 16.00
wita, Baiq Nety berpamitan untuk keluar rumah untuk menjenguk temannya
yang sedang sakit. Namun sampai sekitar pukul 18.30 Baiq Nety
belumkembali, keadaan tersebut menyebabkan keluarganya diliputi
kekhawatiran. Setelah ibunya berhasil menghubung, kemudian berpesan
agar Netysegera pulang, namun ternyata setelah ditunggu hingga larut
malam sampai keesokan harinya pun ternyata Baiq Nety tidak kunjung
pulang.
Tanpa disangka, pada hari Sabtu, tanggal 22 Maret 2008, Lalu Muria
didatangi Kepala Lingkungan Pelita, untuk melaksanakan acara sejati, bahwa
Baiq Nety telah berada di keluarga Ichwan dan menyatakan diri telah
melaksanakan perkawinan merarik.
Untuk menyelesaikan perkawinan merarik tersebut, maka Lalu Muria
dan keluarga besarnya bermusyawarah, hasil musyawarah tersebut adalah,
mereka bersedia menikahkan anak kandungnya sesuai dengan proses agama
dan adat Sasak asalkan dilaksanakan di rumahnya.
Menanggapi keputusan tersebut pihak keluarga Ichwan justru terkejut,
karena cara yang diputuskan itu adalah prosedur yang tidak wajar dalam
adat Sasak. Ichwan dan keluarganya sejak semula menyadari, bahwa calon
istrinya tidak setara dengannya, oleh karena itu putusan krama waris
keluarga wanita ditanggapi sebagai cara untuk mengambil kembali anaknya
yang dalam proses perkawinan merarik.
Sikap yang ditunjukkan keluarga Ichwan tersebut menyebabkan
keluarga wanita tersinggung dan melaporkan peristiwa tersebut sebagai
penculikan ke Polisi Daerah Nusa Tenggara Barat. Atas dasar laporan
tersebut kemudian dikirim tim Buru Sergap untuk menangkap pelaku
penculikan (dalam hal ini Ichwan) yang diperkirakan bersembunyi di Desa
Tanjung. Peristiwa tersebut, dari awal telah diperkirakan oleh Baiq Nety dan
Ichwan, mengingat keluarga Baiq Nety ada yang bertugas sebagai petinggi di
Polisi Daerah Nusa Tenggara Barat. Perkiraan tersebutmendasari mereka
mengatur strategi untuk melaksanakan adat besebo (sembunyi), semula
mereka besebo di Desa Tanjung di rumah keluarga Ichwan, kemudian dengan
diantar keluarga, mereka pindah ke tempat yang aman dan terlindung di
rumah saudaranya di Kelurahan Rembiga Kota Mataram. Namun demikian
petugas Kepolisian berhasil mengetahui keberadaan Ichwandan datang pada
keesokan harinya dengan maksud untuk menangkap Ichwan, tetapi Kepala
Lingkungan di tempatnya bersembunyi (besebo) bersama masyarakat
memberikan penjelasan kepada petugas, bahwa peristiwa yang terjadi bukan
tindak pidana, melainkan perkawinan merarik menurut tatacara adat Sasak.
Penjelasan tersebut disertai juga dengan keterangan Baiq Nety yang
menyatakan, bahwa peristiwa yang sedang berlangsung adalah peristiwa
perkawinan merarik bukan penculikan. Mendengar penjelasan masyarakat
dan pernyataan dari Baiq Nety, membuat petugas mengerti, bahwa peristiwa
yang terjadi adalah proses perkawinan merarik dan menyarankan untuk
diselesaikan secara kekeluargaan.
Karena penyelesaian melalui Kepolisian tidak membuahkan hasil,
maka orang tua Baiq Nety mengajukan permohonan pencegahan perkawinan
ke Pengadilan Agama Mataram yang dikuasakan kepada Akmal, SH,.Dalam
keadaan menunggu respon pengadilan Agama Mataram, Lalu Muria, orang
tua Baiq Nety, dikejutkan dengan adanya panggilan dari Pengadilan Agama
Mataram sehubungan dengan adanya permohonan Wali Adhol yang diajukan
oleh anaknya sendiri.
Menurut Ichwan, permohonan wali adhol dilakukan oleh Baiq Nety
karena sikap orang tuanya yang berlarut-larut dalam menyelesaikan
masalah. Permohonan wali Adhol ke Pengadilan Agama Mataram diajukan
Baiq Nety melalui surat permohonan tanggal 24 Maret 2008, dan terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Mataram dengan No. :
14/Pdt.P/2008/PA.MTR. tanggal 24 Maret 2008.
Menurut Pengakuan Ichwan,37 mereka telah berpacaran cukup lama
dan sepakat untuk melanjutkan hubungan tersebut ke jenjang pernikahan,
bahkan kira-kira 2 (dua) bulan sebelum perkawinan merarik, Baiq Nety
secara berangsur-angsur telah membawa pakaiannya sedikit demi sedikit
untuk dititipkan pada salah seorang teman, hingga pada malam Kamis
tanggal 19 Maret 2008 akhirnya Baiq Nety melangsungkan perkawinan
merarik bersama Ichwan.
Menurut Ichwan, untuk ketiga kalinya yaitu hari minggu, 23 Maret
2008 Kepala Lingkungan Rembiga Utara bersama salah seorang tokoh
masyarakat setempat kembali menemui Kepala Lingkungan Dasan Agung
Pelita untuk memastikan apakah bisa dilakukan selabar (musyawarah
keluarga) antara keluarga Baiq Nety dengan pihak kelurga calon suami,
ternyata pihak keluarga Baiq Nety menolak untuk memberikan wali. Bahkan
pihak kelurga Baiq Nety terus berupaya untuk menggagalkan/memisahkan
Baiq Nety dengan Ichwan dengan berbagai cara. Terakhir, Kepala
KampungRembiga yang diutus melaksanakan sejati (memberitahukan)
kepada keluarganya yang berada di Desa Penujak Kecamatan Praya Barat
Kabupaten Lombok Tengah. Orang tua/ayah Baiq Nety menyatakan, tidak
mau menerima selabar dan memberikan wali (tidak mau menikahkan) Baiq
Nety dengan Ichwan dengan alasan yang tidak jelas. Akhirnya setelah Baiq
Nety mengajukan permohonan Wali Adhol ke Pengadilan Agama Mataram,
sikap orang tuanya mulai melunak. Keadaan itulah yang dipergunakan
Keluarga Ichwan untuk memulai perundingan baru. Akhirnya kedua pihak
sepakat untuk menarik permohonannya. Atas dasar itu kemudian
dilaksanakan akad nikah. Sedangkan penyelesaian kewajiban adat dilakukan
secara sepihak karena keluarga Baiq Nety tidak menerima acara sorong
serah.
37Wawancara dengan Ichwan, sekarang suami Baiq Nety di Kantor KORPRI NTB tanggal 5 Nopember 2013.
Menurut Lalu Fauzi,38Paman dariBaiq Nety, persoalan ini sebenarnya
sejak awal sudah menempuh langkah keliru, utamanya menyangkut
pelaksanaan adat sejati. Sejati seharusnya dilaksanakan melalui Kepala
Kampung setempat, secara adat tidak diperkenankan untuk datang langsung
kepada keluarga wanita. Di dalam tatakrama adat, Kepala Kampung harus
mengetahui setiap peristiwa perkawinan merarik yang dilakukan oleh
warganya.
Ketika ditanya mengapa harus dengan perkawinan merarik,
dikemukakan lalu Fauzi bahwa, perkawinan merarik menurut adat Sasak
sudah mempunyai tatacara tersendiri. Jika perkawinan antar sepupu dapat
dilakukan dengan cara dijodohkan (perondong), kalau di antara orang tua
telah terjalin persahabatan makaperkawinan berlangsung dengan
meminang(belakok), tetapi kalau di antara orang tua mempelai tidak terikat
dalam hubungan keluarga atau hubungan persahabatan, maka perkawinan
tersebut diserahkan menjadi inisiatif muda-mudi yang kemudian
melaksanakannya dengan perkawinan merarik.
Kasus ketiga : Sengketa Endekn Sekufu (Tidak Setara)
Menurut Mahruf,39 Awaludin (34 th) melakukan perkawinan merarik
dengan Reni Ratmini (16 th), namun di sisi lain orang tua Reni Ratmini
mengadukan peristiwa tersebut ke Polisi sebagai perbuatan kriminal. Atas
dasar pengaduan tersebut kemudian Awaludin ditangkap dalam peseboan
sebelum acara selabar dilaksanakan, tepatnya tanggal 13 Mei 2007. Reaksi
keluarga Awaludin menanggapi persoalan tersebut, pertama-tama
melaporkan peristiwa tersebut kepada Kepala Desa. Selanjutnya Kepala Desa
dan keluarga Awaludin menghadap ke Kepolisian Lombok Tengah pada hari
Senin tanggal 15 Mei 2007, maksudnya adalah untuk memberikan penjelasan
kepada Polisi, bahwa peristiwa yang dilaporkan oleh keluarga Reni adalah
peristiwa perkawinan merarik bukan perbuatan kriminal. Petugas Kepolisian
juga memahami peristiwa tersebut, tetapi sebagai petugas harus
38Wawancara dengan Lalu Fauzi Paman dari Baiq Nety, tanggal 5 Nopember 2013 di rumah Lalu Fauzi Lingkungan Pelita Dasan Agung.
39Wawancara dengan Mahruf, Staf Kepala Desa Mertak tanggal 4 Nopember 2013 di Kantor Kepala Desa.
menanggapi setiap pengaduan masyarakat. Dalam pertemuan tersebut,
orang tua Awaludin dan rombongan disarankan untuk bermusyawarah
dengan keluarga Reni Ratmini. Pada hari itu juga rombongan keluarga
Awaludin dan Kepala Desa berusaha menemui orang tua Reni Ratmini.
Rombongan Kepala Desa diterima oleh orang tua Reni Ratmini dan
keluarganya. Dalam pertemuan tersebut Kepala Desa menjelaskan maksud
kedatangannya dan memberitahukan, bahwa mereka telah menghadap Polisi
Resort Lombok Tengah danpetugas menyarankan untuk menyelesaikan
peristiwa tersebut secara adat. Setelah mendengar penjelasan Kepala Desa,
orang tua Reni Ratmini menyatakan, mengerti akan maksud kedatangan
rombongan dan memohon waktu untuk memberikan jawaban. Akhirnya
disepakati pertemuan dilanjutkan keesokan harinya di Kantor Kepala Desa.
Pertemuan dimulai sekitar pkl.10.30 wita yang juga dihadirioleh Reni
Ratmini. Kepala Desa didampingi oleh Penghulu Desa duduk berjejer di depan
meja dan masing-masing Kepala Dusun duduk mendampingi dua keluarga.
Empat orang Keluarga Awaludin duduk di dua buah bangku panjang,
bersebelahan terpisah dari keluarga Reni Ratmini yang juga berjumlah 4
orang. Sementara keluarga lainnya yang mengikuti rombongan masing-
masing, duduk di halaman kantor Desa. Kepala Desa meminta Penghulu Desa
mencatat hal-hal penting dari pembicaraan selama pertemuan berlangsung.
Kepala Desa membuka pertemuan dengan mengemukakan maksud
diadakannya pertemuan, yaitu untuk menyambung silaturrahim sebagai
kewajiban setiap manusia sehingga dengan demikian umat manusia akan
dapat saling kenal-mengenal, saling tolong menolong. Jika semua itu dapat
dilaksanakan tentu akan mudah tercapai masyarakat yang dicita-citakan
yaitu masyarakat adil makmur, aman dan sentosa. Untuk itu dalam
menjalankan kehidupan kita berkewajiban untuk saling memperingati, kira-
kira seperti itulah kata-kata pembukaan tersebut, kemudian dilanjutkan
dengan dialog. Kepala Desa meminta kepada kedua pihak untuk
mengemukakan apa saja yang menjadi hambatan sebagai akibat dari
peristiwa kawin lari putra-putri mereka. Dialog kemudian berlangsung,
kesempatan pertama diberikan kepada ayah Reni Ratmini (Muhammad Albar
alias Lebar),
Muhammad Albar alias Bapak Lebar :
Bapak Lebar menuding, bahwa Awaludin telah melarikan putrinya yang
masih di bawah umur (16 tahun). Dikatakannya, bahwa putrinya belum
layak untuk dinikahi, belum bisa berpikir untuk membiayai dirinya,
endekne tao osek idusne (belum bisa membersihkan ingusnya),
endekman tao ngemi-ngelak (belum bisa menanak nasi),putrinya
hanya bisa bersekolah dan ia berharap agar putrinya itudapat
melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Keadaan tersebut
menyebabkannya belum ikhlas melepas Reni berumah tangga.
Selain itu dikatakannya pula, bahwa keluarga Awaludin juga tidak
pernah menyelenggarakan acara adat selabar, hal ini membuat Bapak
Lebar sekeluarga menjadi malu,endekke tao sebok dirikke (saya tidak
dapat menyembunyikan diri) di hadapan tetangga, waris.
Suhartini alias Ibu Ati (Ibu Reni Ratmini)
Ibu Ati meminta anaknya dikembalikan, ia merasa bahwa mereka tidak
akan cocok hidup berumah tangga, umur mereka terpautrelatif jauh,
Awaludin terlalu tua untuk menjadi suami bagi anaknya, karena usia
Awaludin hampir seumuran dengan Bapak Lebar (Bapak Reni Ratmini).
Reni masih kecil, tindok bae telatahne (tidur saja masih minta
ditemani). Endekman tao urus bale langgak (belum bisa mengurus
rumah tangga), masihne main cungkit kance kanak (masih suka
bermain dengan anak-anak), endekman tao ngemi-ngelak-nyapu
nyampat (belum bisa memasak dan mengurus rumah), embe entan ne
merarik (bagaimana jika nanti kawin tapi belum bisa apa-apa).
Selelah orang tua Reni Ratmini menumpahkan semua kekesalannya,
Kepala Desa tidak berkomentar, langsung meminta keluarga Awaludin untuk
menyampaikan pendapatnya, salah seorang keluarga Awaludin bernama
Jumadil alias Jeman mengutarakan,
1. Pada prinsipnya sangat memahami perasaan kedua orang tua Reni,
selanjutnya ia mengemukakan, bahwa peristiwa itu menjadi masalah
bersama, bahkan Kepala Desa dan Kepala Dusun pun harus turun
tangan dan ikut kerepotan juga.
2. “Kalau saja kita tidak terpanggil untuk mengurus persoalan ini, tidak
berniat untuk kemaslahatan kita bersama, saling urus-saling pajar
(menganggap persoalan bersama), kita tentu tidak akan datang ke
tempat ini, tetapi Bapak Kepala Desa, Penghulu dan Kadus yang
urusannya banyak sekali, masih menyediakan waktu, inilah ikhtiar kita
untuk mengurus gumi-paer”.
3. Dilanjutkannya, “Jika mufakat memutuskan peristiwa ini dianggap
keliru, saya juga sepaham. Kewajiban ite-pade jap barang keliru jari
solah, marak tepenje kereng robek (tetapi kewajiban kita adalah
mengatur yang salah menjadi baik, seumpama menjahit kain yang
sobek)”.
Setelah Jumadi menyampaikan pendapatnya, Kepala Desa
menyambung pembicaraan, dengan mengatakan, sangat mengerti
persoalan yang sedang dihadapi oleh kedua keluarga besar dan hal ini
muncul dari dalam keluarga masing-masing, mule jak, endekte semel
tetaok isik dengan (persoalan keluarga tidak sepantasnya diketahui
orang lain), peristiwa seperti ini bukan terjadi sekali dan hanya dari
keluarga besar ini saja, peristiwa seperti ini sudah dianggap menjadi
persoalan Desa, sekalipun ada di antaranya yang diselesaikan di
tingkat gubuk (dusun) oleh Kadus masing-masing. Selanjutnya Kepala
Desa menawarkan 2 (dua) hal:
Pertama : pembicaraan diarahkan untuk menyelesaikan urusan
Kepolisian,
Kedua : pembicaraan menyangkut cara penyelesaian peristiwa
yang telah dilakukan oleh Awaludin dan Reni Ratmini.
(catatan: Kepala Desa tidak menyebut peristiwa
perkawinan merarik)
Setelah Kepala Desa menawarkan kepada kedua belah pihak, salah
satu keluarga Awaludin mengusulkan, agar pembicaraan yang kedua
itu menjadi pembicaraan nomor satu. Tetapi sebelum ditanggapi
Kepala Desa, Kepala Dusun yang duduk di samping Keluarga Awaludin,
spontan mengatakan, bagaimana akan membicarakan penyelesaian
perkawinan merarik kalau yang bersangkutan ada di tahanan
Kepolisian.
Akhirnya Kepala Desa kembali pada tawarannya semula. Kemudian
salah satu keluarga Awaludin yang lain mengemukakan, bahwa
keluarga mereka berada dalam posisi menerima, karena yang paling
menentukan dalam mufakat ini adalah keluarga Bapak Lebar dan
kesungguhan Reni sendiri, betul tidaknya dia mau kawin harus
didengarkan keterangan Reni.
Bapak Lebarkemudian menjawab, tetap berkehendak untuk
memisahkan anaknya, ia beralasan belum waktunya untuk kawin, Reni
akan disekolahkan sampai di mana saja keinginan anaknya itu untuk
bersekolah.
Kepala Desa menawarkan kepada Kelapa Dusun, kemudian Kepala
Dusun Meretak mengusulkan, bagaimana kalau peristiwanya tidak
dianggap merarik karena belum melaksanakan adat sejati, oleh karena
itu, maka Awaludin dapat dikeluarkan dari tahanan.
Beberapa saat kemudian Bapak Lebar merasakankepalanya menjadi
berat, mungkin karena ia tidak mampu menyampaikan pendapat
dalam pertemuan tersebut, sehingga ia mohon waktu untuk berpikir.
Kepala Desapun meminta pendapat hadirinagar memberi kesempatan
kepada keluarga Reni untuk berpikir dengan tenang, menimbang
semua persoalannya, sehingga dapat memutuskan yang terbaik dari
peristiwa yang sedang dialaminya. Namun sebelum acara ditutup
Kepala Desa meminta kepada ayah Reni untuk menentukan kapan
jawaban dapat diberikan agar bagi keluarga Awaludin mendapat
kepastian waktu untuk menunggu. Setelah tawar menawar kemudian
disepakati hari kamis, yaitu 3 hari dari saat pertemuan yang sedang
diadakan. Pertemuan pada hari itu kemudian ditutup oleh Kelapa Desa
dan meminta kepada para pihak untuk dapat mengendalikan diri,
memelihara keamanan dan Kepala Lingkungan diminta untuk selalu
berkomunikasi dengan masing-masing keluarga dan menyampaikan
perkembangan yang terjadi kepada Kepala Desa.
Menurut pengakuan Bapak Lebar, ia telah lama mengetahui perihal
hubungan anaknya dengan Awaludin dan pernah meminta Awaludin
memberikan kesempatan kepada Reni untuk menyelesaikan
sekolahnya terlebih dahulu, disampaikan pula bahwa ia selalu
berhubungan baik dengan Awaludin.
Awaludin, mengakui bahwa dirinya mencintai Reni dan sudah menjalin
hubungan selama kurang lebih 11 bulan, kemudian memilih
perkawinan merarik karena ingin cepat menikah. Di samping itu, Reni
sendiri yang mengusulkan perkawinan merarik. Ketika ditanya apakah
cara perkawinan yang mereka tempuh berkaitan dengan biaya yang
tersedia?, Awaludin mengatakan, bahwadasarnya mereka saling
mencintai, jadi tidak ada kaitannya secara langsung dengan biaya,
kalau berani memutuskan untuk melakukan perkawinan merarik
semuanya harus sudah siap (maksudnya siap secara fisik maupun
mental termasuk biaya), seumpama seseorang yang telah melakukan
perkawinann merarik, kemudian dibebani biaya penyelesaian yang
tinggi oleh keluarga perempuan, maka keluarga besar laki-laki harus
ikut menanggungnya, karena hal ini menyangkut nama baik, harga diri
dan martabat waris.
3 (tiga) hari kemudiandiadakan pertemuan lanjutan, dimulai lebih
kurang pukul. 10.00 wita, para pihak yang hadir sama seperti
pertemuan sebelumnya, Kepala Desa menyampaikan kata-kata
pembuka yang intinya berupa harapan adanya perdamaian, dan
berharap kasus ini segera selesai. Kepala Desa kemudian
mempersilahkan siapa yang lebih dahulu akan menyampaikan
pendapatnya. Wakil dari keluarga Awaludin mohon diberi kesempatan
pertama dengan mengemukakan, jika alternatif tawaran penyelesaian
yang sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya belum
mendapatkan jawaban, maka keluarga Awaludin meminta, agar Reni
sendiri yang memutuskan apakah Reni memang sudah bulat hati
hendak melakukan perkawinan merarik bersama Awaludin. Tampaknya
Kepala Desa pun setuju atas keputusan tersebut. Selanjutnya Kepala
Kampung Meretak menanggapi, bahwapada malam sebelum
pertemuan tersebut, keluarga Reni sudah berunding dan meminta
dirinya untuk menyampaikan hasil perundingan. Adapun hasil
perundingannya sebagai berikut,
1. Orang Tua dan keluarga Reni sebenarnya sudah pasrah, mereka
sangat mencintai Reni dan berharap agar nantinya sang anak
mendapatkan pendidikan yang layak, keinginan itu kiranya tidak
hanya menjadi keinginan keluarga Reni semata, tetapi telah menjadi
keinginan bersama seluruh masyarakat agar setiap anggotanya
memiliki pendidikan yang tinggi, namun demikian jika harapan
bersama itu tak dapat diraih oleh Reni, maka keluarga telah ikhlas.
2. Orang tua dan keluarga Reni tidak berani melaksanakan perkawinan
anaknya karena masih di bawah umur.
3. Jika mufakat pada hari itu, misalnya memutuskan untuk
mengatakan boleh dan pernikahan kemudian dilangsungkan,
apakah guru dan kepala sekolah tempat Reni belajar dapat dijamin
setuju dengan pernikahan di bawah umur?
4. Kepada Bapak Kepala Desa dan Bapak Penghulu Desa serta
keluarga Awaludin apakah berani menjamin,kalaupernikahan yang
dilangsungkan merupakan pernikahan yang dicatat oleh Penghulu
dan akan mendapatkan buku nikah? Kalau semua pertanyaan
tersebut dapat dicarikan jalan keluar, maka Orang tua Reni akan
datang sendiri sebagai wali untuk menikahkan anaknya.
Setelah Kepala Dusun berpendapat, kemudian Kepala Desa meminta
penghulu untuk menyampaikan tanggapannya, tetapi ternyata
penghulu tidak tegas menjawab, intinya akan berkonsultasi dulu
dengan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Praya. Setelah itu
Kepala Desa menunda rapat dan meminta kedua Kepala Lingkungan
dan penghulu memasuki ruangan Kepala Desa. Pembicaraan di
ruangan tersebut menyangkut kepastian pelaksanaan perkawinan.
Tetapi Penghulu Desa tidak berani melaksanakan perkawinan
tersebut, karena mempelai wanita masih di bawah umur. Ketika
perundingan sedang berlangsung, salah seorang pegawai di kantor
Kepala Desa memasuki ruangan dan menyampaikan, bahwa
pengakuan Awaludin di Polisi, mereka berdua telah berhubungan intim
dan disampaikan pula bahwa Reni saat itu sudah telat haid selama 3
(tiga) bulan. Kepala Desa kemudian bertanya darimana sumber berita
itu diperolehnya dan Pegawai tersebut menyebut nama seseorang,
selanjutnyaPenghulu Desa menyarankan kepada Kepala Desa untuk
meminta orang tua Reni memasuki ruangan. Ayah Reni kemudian
dikonfirmasi tentang berita tersebut dan ia menjawab akan
menanyakan kembali kepada Reni, tetapi akan ditanyakannya di
rumah bersama dengan istrinya. Pertemuan pada hari itu dinyatakan
selesai dan dilanjutkan keesokan harinya.
Keesokan harinya tidak ada pertemuan formal, kedua keluarga, kedua
kepala Dusun dan Kepala Desa berangkat ke kantor Polisi Resort
Lombok Tengah. Sesampainya di kantor Polisi rombongan diterima
oleh Kepala Seksi Reserse, kemudian Kepala Desa menyampaikan
maksud kedatangan rombongan, singkatnya kemudian orang tua Reni
diminta untuk membuat surat pencabutan pengaduan.
2 (dua) hari kemudian mereka dinikahkan dan menyelenggarakan
adat nyongkol.
Sampai penelitian ini disusun mereka merupakan keluarga yang
bahagia dan ternyata baru memperoleh seorang anak laki-laki umur 2
(dua) tahun.Rupanya pengakuan Rahmat pada pemeriksaan Polisi
bahwa mereka telah bergaul intim, hanya taktik yang sebelumnya
mereka sepakati berdua sebelum acara lari bersama dilaksanakan.
Ketika Mahruf (staf desa Meretak) ditanya tentang syarat-syarat
perkawinan merarik, beliau menjawab :
a. Harus dilaksanakan atas dasar suka sama suka, pada perkawinan
dengan cara ini tidak mungkin ada paksaan karena sejak semula
merekalah yang merencanakan dan mengikat janji, setelah itu
untuk penyelesaiannya menjadi tanggungjawab waris – kadang
(tanggung jawab keluarga dan komunitas). Setelah berstatus
sebagai pengantin, mereka diumpamakan sebagai barang, harus
turut pada skenario yang telah ditentukan waris – kadang.
b. Harus dijemput dari rumahnya, adalah pelanggaran jika dalam
perjalanan tertentu (pergi rekreasi atau lainnya) kemudian
dilanjutkan dengan perkawinan merarik, dalam hukum adat Sasak
perkawinan yang demikian dinamakan ngoros (perkawinan yang
dilaksanakan dengan cara tidak beradab, karena alamat (tempat
tinggal) adalah milik orang beradab. Karena itu masyarakat
menyebut peristiwa lari bersama itu sebagai mbait (mengambil),
mengambil sunah rasul.
c. Harus dijemput sekitar tenggelamnya matahari (selesai sholat
Maghrib pada penutupan hari).
d. Sedangkan menyangkut umur menurut Kepala Desa, harus sudah
dapat mengurus rumah tangga (kencak), siap secara fisik dan
psisikhis untuk berumah tangga. Ukuran tersebut sepenuhnya
merupakan hak keluarganya (kurenannya).
2. Ketentuan cukup umur dalam Perkawinan merarik
Dari uraian kasus tersebut di atas terlihat ketentuan batas umur dalam
perkawinan merarik ditentukan atas dasar sebagai berikut.
a. Kencak, bagi wanita adalah kemampuan untuk mengelola rumah
tangga (kuren). Hal ini dapat dilihat dari keseharian si anak
menyangkut kemampuannya mengatur kebutuhan sehari-hari serta
dapat mengetahui susah senang anggota keluarganya. Bagi laki-laki,
mampu mewakili orang tuanya pada pertemuan-pertemuan keluarga
atau kerabat, mampu menyampaikan pesan orang tuanya pada
pertemuan tersebut dan sekembalinya mampu menyampaikan hasil
pertemuan tersebut pada orang tuanya.
b. Genem, bagi wanita sudah mulai tampak kegiatan untuk memelihara
rumah dan halaman, sedangkan bagi laki-laki, sudah mulai
mempertanyakan sumber biaya kebutuhan hidup rumah tangga dan
sesekali mempertanyakan pengelolaannya.
c. Itik, bagi wanita sudah tampak kemampuan untuk mengukur
persediaan yang ada akan cukup digunakan sampai waktu tertentu.
Sedangkan bagi laki-laki sesekali melontarkan pemikirannya tentang
sumber-sumber kebutuhan pendapatan sekalipun dalam bentuk
ceritera tentang mata pencaharian orang lain. (ada perhatian tentang
mata pencaharian dan sumber-sumber pendapatan keluarga)
sekalipun perhatian tersebut hanya disampaikan secara spontan
(terlontar lepas),
d. Tomot, untuk laki dan wanita sudah mulai memperlihatkan
kemandirian, tampak mulai mampu untuk bersikap, dapat menimbang-
nimbang persoalan untuk menentukan keputusan.
e. Lome, untuk laki-laki dan wanita mempunyai rasa solidaritas girang
gerasak (ramah menyenangkan) khususnya terhadap anggota
keluarganya (kurennya), dapat memupuk rasa kebersamaan dengan
tetangga dan warga sekitarnya (semeton jari), mesang ime nae jari
bawak lanjak batur (tulus ikhlas dalam menolong).
3. Adaptasi Norma dalam Perkawinan Merarik
Apabila hukum ditinjau dari sudut perspektif perkembangan
masyarakat dan negara, maka hukum negara makin meningkat perannya
dalam mengatur prikehidupan masyarakat. Perkembangan hukum negara
dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini semakin dalam mengatur
kehidupan masyarakat. Campur tangan hukum negara seperti ini
menimbulkan persoalan menyangkut hubungan timbal balik antara hukum
negara dan hukum adat. Hal ini tentunya membutuhkan pendekatan yang
selaras, yaitu ide penegakan hukum harus tetap menjadi pegangan, tetapi
juga harus memperhitungkan efek-efek positif dalam melaksanakannya.
Dalam masyarakat yang heterogen, aturan yang dibuat negara akan dapat
kokoh apabila berpijak pada norma dan budaya yang diyakini oleh komunitas
masyarakatnya. Demikian juga halnya dengan berbagai aturan perundang-
undangan dalam rumpun hukum keluarga, telah memberikan warna
tersendiri terhadap proses perkawinan merarik dalam masyarakat Sasak.
Perkembangan perkawinan merarik pada masyarakat Sasak di Pulau
Lombok akan dapat dimengerti apabila difahami berbagai peraturan
perundang-undangan yang melingkupinya. Untuk mencapai pemahaman
tersebut perlu diketahui terlebih dahulu tatacara perkawinan merarik yang
dilakukan oleh masyarakat Sasak.
Menurut Datu Artadi,40 terjadinya sebuah perkawinan dalam adat sasak
pada umumnya dilangsungkan melalui 3 (tiga) cara, yaitu :
1. Menyopokatau ngawinan berasal dari kata dasar sopok berarti satu,
jadi menyopokbermakna menjadikan satu, yaitu menjodohkan antara
40Wawancara dengan Datu Artadi, Pemangku Adat Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara, tanggal 14 Juni 2010.
seorang laki-laki dengan seorang perempuan atas dasar kesepakatan
para orang tua kedua belah pihak.
2. Memadik (melamar)
3. Perkawinan Merarik, dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang telah
mengikat janji, sepakat meninggalkan rumahnya masing-untuk
melangsungkan perkawinan (kemelek mesak-pilihan sendiri).
Proses perkawinan merarik dilangsungkan melalui peristiwa-peristiwa
sebagai berikut :
1. Saling Kenal
Dalam tradisi yang pernah berlaku, pada umumnya perkenalan di
antara muda-mudi dapat dilakukan secara langsung atau melalui
perantara yang disebut subandar. Sang lelaki melalui “subandar”
mengirim bingkisan kecil yang disebut “pembugi” atau “penandok”.
Apabila bingkisan diterima, itu berarti ia boleh bertandang ke rumah
sang wanita, dalam bahasa Sasak disebut “midang”. Kehadiran sang
lelaki untuk “midang” ke rumah sang wanita adalah merupakan proses
pendekatan, masa orientasi untuk lebih saling mengenal jati diri, sifat
dan karakter masing-masing.
Budaya Sasak menjunjung tinggi norma-norma, seperti norma
kesopanan, kesusilaan, norma adat, norma hukum dan norma agama.
Setiap perjaka yang datang bertandang harus mengikuti norma-norma
tersebut, misalhya “melinggih” (duduk sopan dengan bersila “padu
arep” (berhadapan) dengan jarak tertentu dan berbicara dengan kata-
kata yang santun). Pada awal kehadirannya ia diterima orang tua sang
wanita untuk memperkenalkan diri, mereka duduk di tempat terbuka
untuk menghindari prasangka buruk dari para tetangga.
2. Nenari atau Menarih
Adalah proses yang dilakukan oleh sanglelaki untuk menanyakan dan
sekaligus menentukan kesediaansang wanita untuk menjadi pasangan
hidupnya juga pada tahapan ini ditentukan kapan sang wanita
bersedia untuk diajak melaksanakan perkawinan “merarik” atau
“memulang”.
3. Perkawinan Merarik,
Apabila telah terjadi kesepakatan, maka pada malam setelah lewat
maghrib(samar mue) sang lelaki dengan ditemani subandar (jaruman)
dan beberapa orang laki-lakidan perempuan lainnya melarikansang
wanita di rumah orang tuanya.
Berdasarkan ketentuan yang mengatur tentang perkawinan merarik,
ditentukan bahwa :
a. Sang wanita harus dilarikan dari rumah orang tuanya, sama sekali
tidak boleh diambil dari tempat lain, seperti, dari tempat kerjanya,
dari pasar, atau ketika dalam perjalanan.
b. Harus dilakukan pada malam hari,
c. Sang perjaka pada saat melaksanakan perkawinan merarik harus
bersama subandar (perantara) dan juga ditemani beberapa orang
laki-laki dan perempuan sebatas untuk mereka merasa aman.
d. Sang wanita yang akan menjadi calon istri itu, tidak boleh dibawa
langsung ke rumah sang perjaka atau ke rumah orang tuannya,
melainkan harus dibawa ke rumah salah satu kerabat calon
mempelailaki-laki. Proses perkawinan merarik terjadi atas dasar
suka sama suka, tetapi tidak disetujui terutama oleh orang tua
wanita.
4. Sejati
Setelah proses perkawinan merarik dilaksanakan maka kewajiban
selanjutnya bagi pihak keluarga lelaki (calon mempelai laki-laki) adalah
mesejati. Sejati kata dasarnya adalah jati yang berarti benar.
Mesejatibermakna menyampaikan hal yang sebenarnya kepada orang
tua pihak perempuan berkaitan dengan diambilnya putrinya oleh
seorang laki-laki, dalam mesejati harus disebutkan identitas lengkap
dari laki-laki tersebut. Proses mesejati ini dilakukan oleh utusan pihak
laki-laki dengan didampingi keliang adat, pada masa sekarang yang
bertindak sebagai keliang adat adalah Kepala Kampung
5. Runtut Sejati
“Runtut Sejati” bermakna “Kelanjutan Sejati”, yaitu kehadiran kembali
utusan pihak calon mempelai laki-laki kepada orang tua pihak calon
mempelai perempuan untuk menegaskan waktu mufakat (berembug-
gondeman) penyelesaian perkawinan merarik kedua mempelai.
6. Peradang
Kata tersebut berasal dari kata “Padang” yang berarti terang atau
jelas, jadi “peradang” adalah proses memberi penjelasan kepada
“Pembayun” (petugas adat), tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan kewajiban-kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-
laki.
Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain mengenai berat ringan (abot
enteng), “Aji Krama Suci” (penetapan nilai), serta piranti-piranti adat
lainnya.
7. Selabar
Kehadiran “Pembayun” (petugas adat) di tengah-tengah kadang waris
(keluarga sedarah) pihak perempuan kali ini, adalah disertai kiyai atau
Penghulu (Pegawai Pencacat Nikah). Pembayun (petugas adat) akan
menyampaikan berita bahwa pihak laki-laki bersedia memenuhi segala
ketentuan-ketentuan adat dengan segala pirantinya, serta merembuq-
sakepan (mufakat) tentang kapan dilaksanakan upacara adat “Sorong
Serah”. Sedangkan kiyai atau penghulu meminta kesediaan wali (orang
tua mempelai wanita) seraya menyampaikan amanat-salam calon
mempelai wanita kepada kedua orang tuanya seraya memohon
keikhlasan dan kerelaannya untuk menikahkannya dengan laki-laki
pilihannya.
8. Sorong Serah dan Nyongkolan
Hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban menurut adat sudah selesai
dibicarakan dan sudah disepakati bersama. Maka setelah tiba hari
sorong serah,pembayun bersama sejumlah orang yang membawa
gegawan (bawaan), menyerahkan aji kerama suci dan semua piranti-
piranti adat dengan disaksikan oleh para tokoh adat dan seluruh
keluarga besar serta para undangan. Upacara sorong serah diikuti
dengan nyongkolan, di mana kedua mempelai diarak menuju ke rumah
orang tua mempelai perempuan. Dengan nyongkol dikandung maksud
sebagai sebuah pengumuman kepada khalayak, mempelai telah sah
sebagai suami-istri.
9. Bales Onos Nae
Bales onos nae atau ngelewaq adalah proses terakhir dari
penyelesaian perkawinan merarik, yaitu rombongan keluarga terdekat
pihak laki-laki yang terdiri atas laki-laki dan wanita mendatangi rumah
keluarga wanita untuk silaturrahmi, saling berkenalan dan maaf-
memaafkan.
Atas dasar uraian tersebut terlihat bahwa sahnya perkawinan merarik
dilakukan melalui proses bertahap yaitu,
1. Tahap pertama adalah tekad laki-laki dan wanita untuk membentuk
rumah tangga, tekad ini diwujudkan dengan melepaskan diri dari
kekuasaan orang tua masing-masing.
2. Tahap kedua ialah tahap menjernihkan, yaitu sesuai dengan salah satu
sifat dari hukum adat, yaitu membuat perbuatan menjadi terang, yang
dilakukan melalui pemberitahuan kepada pihak keluarga mempelai
wanita oleh salah satu keluarga laki-laki bersama kepala lingkungan
selaku keliang adat.
3. Tahap ketiga ialah tahap di mana mereka berdua memulai
kedudukannya sebagai suami istri secara terbatas yang diakui oleh
kalangan yang sangat terbatas pula.
4. Tahap keempat ialah tahap di mana kedua mempelai
menyempurnakan kedudukannya sebagai suami-istri untuk diakui
sepenuhnya oleh masyarakat luas.
Tahapan dalam proses tersebut secara normatif tidak dapat
dipisahkan, karena masing-masing tahapan mengandung makna untuk
beranjak ke tahapan berikutnya, sampai mendapatkan pengakuan yang
sempurna melalui pengakuan masyarakatnya.
Uraian tersebut di atas akan menjadi pedoman untuk melihat kasus
sengketa yang terjadi dalam perkawinan merarik dalam kaitannya dengan
berbagai aturan perundang-undangan dalam rumpun hukum keluarga yang
mempengaruhi norma perkawinan merarik, khususnya yang berasal dari
hukum Agama (Islam) dan aturan perundang-undangan, seperti UU No.
1Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Instruksi Presiden Republik Indonesia No.
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
Kasus kesatu perkawinan merarik dilakukan atas inisiatif dari Ismi
Amni (25 th) kepada pacarnya H. Taswir (28 th), karena Ismi Amni
mendengar kalau dia akan dijodohkan dengan salah seorangsepupunya. Atas
inisiatif tersebut kemudian mereka berdua sepakat untuk mempercepat
rencana perkawinannya, kesepakatan tersebut kemudian diwujudkan pada
tanggal 25 Desember 2004 dengan menempuh jalan perkawinan merarik.
Atas peristiwa tersebut tatacara adat sejati kemudian dilaksanakan, tetapi
proses adat selanjutnya tidak dapat dilangsungkan karena para utusan
pelaksana adat maupun petugas agama tidak dapat bertemu dengan orang
tua Ismi Amni.
Dilihat dari syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan Pasal 6 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedua calon mempelai sudah
memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan, sehingga tidak ada
alasan undang-undang maupun alasan adat untuk mencegahnya. Dari
keterangan Haji Misbah, keluarga Ismi Amni mengakui, tidak ada halangan
yang berasal dari tatacara adat maupun hukum agama yang menghalangi
berlangsungnya perkawinan merarik kedua mempelai. Di samping itu juga
tidak terkandung maksud untuk menghalangi perkawinan merarik mereka,
kecuali karena sikap orang tua Ismi Amni yang masih memerlukan waktu
yang cukup untuk menentukan cara yang paling baik dalam proses
penyelesaian perkawinan merarik tersebut. Keadaan tersebut tidak dipahami
oleh keluarga Haji Taswir, sehingga mereka menyelenggarakan akad nikah
dengan meninggalkan orang tua dan walinya. Peristiwa perkawinan merarik
seperti ini dalam adat Sasak disebut dengan salak tingkah. Yaitu suatu
perbuatan yang tidak mempertimbangkan suatu akibat yang akan terjadi
menyangkut hubungan kekerabatan dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan kasus kedua, Menurut Ichwan (27 th), mereka memilih
melangsungkan perkawinan merarik, karena menyadari bahwa hubungan di
antara mereka adalah hubungan endeknsekufu (tidak setara), karena calon
mempelai wanita dilihat dari segi kastanya berada dalam kasta yang lebih
tinggi dari calon mempelai laki-laki. Posisi tersebut dalam hukum adat Sasak
tidak memungkinkan untuk melakukan perkawinan dengan jalan meminang
(belakok). Secara ringkas dapat dijelaskan, bahwa cara yang ditempuh untuk
melangsungkan perkawinan sangat erat berkaitan dengan hubungan antara
orang tua, apakah dalam pertalian darah atau hubungan persahabatan.
Normalnya hubungan sosial akan berlangsung demikian, tetapi dalam
adat Sasak masing-masing sudah mempunyai cara tersendiri. Jika
perkawinan antar sepupu dapat dilakukan dengan cara dijodohkan
(perondong), kalau antar orang tua telah terjalin persahabatan yang baik
makaperkawinan dilakukan dengan belakok (meminang), tetapi kalau tidak
terikat dalam hubungan waris, maka dimulai dengan perkenalan muda-mudi,
inisiatif mereka untuk mencari jodohnya sendiri, oleh karena yang akan
melaksanakan dan menjalankan perkawinan itu adalah calon mempelai.
Dengan demikian perkawinan merarik dalam adat Sasak dan bahkan semua
perkawinan harus didahului oleh kenal-mengenal, khususnya terhadap kedua
mempelai.
Dalam kasus ketiga perkawinan merarikyang berlangsung, tidak
melaksanakan ketentuan adat sejati selabar, terlihat bahwa, mereka memilih
perkawinan merarik karena prosedur ini adalah cara yang paling praktis
untuk melaksanakan perkawinan. Awalnya tidak memerlukan persetujuan
orang tua. Apabila janji telah disepakati maka pihak laki-laki melaksanakan
penjemputan (mbait), sedangkan syarat yang dibutuhkan untuk keperluan
penyelesaian acara perkawinan merarik, semuanya menjadi urusan keluarga
dan kerabat. Dalam pengertian Awaludin, perkawinan merarik merupakan
cara yang paling praktis, hanya memerlukan kesepakatan mereka yang akan
mengikatkan diri. Menurut pemahaman Awaludin, perkawinan merarik intinya
adalah kesepakatan kedua mempelai yang akan terikat dalam perkawinan.
Syarat yang lain seperti persetujuan orang tua, prosedur dan syarat-syarat
penyelesaian perkawinan merarik bukan menjadi beban calon mempelai,
tetapi akan menjadi urusan keluarga dan kerabat. Pemahaman Awaludin
tersebut tidak dipahami demikian oleh calon mertuanya saat itu, mereka
memahami perkawinan itu tidak hanya kesepakatan (janji) mereka yang akan
mengikatkan diri dalam perkawinan, tetapi memerlukan kematangan fisik
dan mental, seperti tudingan mereka, bahwa Awaludin (34 th) telah
melarikan anak yang masih di bawah umur, Reni masih berumur (16 th),
belum layak untuk dinikahi, belum bisa berpikir untuk membiayai
keluarganya, endekne tao osek idusne (dia belum bisa bersihkan ingusnya),
endekman tao ngemi-ngelak (belum bisa menanak nasi), dia hanya bisa
sekolah dan orang tuanya berharapk agar Reni dapat melanjutkan sekolah
setinggi-tingginya. Keadaan tersebut menyebabkan orang tua Reni belum
ikhlas melepaskan anaknya untuk berumah tangga. ”Di samping karena
keluarga Awaludin tidak pernah menyelenggarakan acara adat selabar,
keadaan ini membuat keluarga Reni dipermalukan di hadapan kerabat.
Endekke tao sebok dirikke (tidak dapat menyembunyikan diri) di hadapan
tetangga maupun di kalangan waris”.
Dengan demikian dapat dilihat, bahwa kehendak untuk kawin, bukan
suatu syarat tunggal tetapi harus dilengkapi dengan berbagai syarat lain,
seperti mempelai berdua harus cukup umur dan tidak memenuhi syarat jika
hanya salah satu saja yang mencukupi umur, bahkan tidak hanya syarat
umur, tetapi juga harus dengan persetujuan orang tua. Dalam pengertian
tersebut tentu dapat dimengerti, bahwa seorang anak dalam melakukan
tindakan apapun harus dengan izin orang tuanya. Demikian juga dengan Ibu
Reni yang menambahkan syarat-syarat lain seperti,
a. Kesepadanan umur antara mempelai laki dan mempelai perempuan.
Selengkapnya dikemukakan, ”tidak cocok mereka akan hidup
berumah tangga, karena umur mereka berbeda sangat jauh,
Awaludin terlalu tua untuk jadi suaminya, karena umurnya sama
dengan umur Bapaknya (Bapak Reni Ratmini). Reni masih kecil,
tindok bae telatahne (mau tidur saja masih minta ditemani)”.
b. Ada perhatiannya pada urusan rumah tangga.
Hal ini tersirat dari ucapan Ibu Reni, “Endekman tao urus bale
langgak (belum bisa mengurus rumah tangga) karena belum bisa
mengatur rumah tangga, masihne main cungkit kance kanak(masih
suka bermain dengan anak-anak), endekman tao ngemi-ngelak-
nyapu nyampat (belum bisa masak dan mengurus rumah), embe
entan ne merarik(bagaimana jika nanti kawin tapi belum bisa apa-
apa)”. Ketika syarat tersebut dikonfirmasi kepada Awaludin, Awaludin
mengatakan, kesemuanya itu mungkin betul, tetapi berlaku sebagai
syarat pelengkap. Karena syarat yang banyak, menyebabkannya
memilih perkawinan merarik. Hal ini juga berkaitan dengan
pengakuannya untuk bertanggung-jawab karena telah berhubungan
intim yang menyebabkan Reni telat selama 3 (tiga) bulan. Melalui
pengakuan yang dibuatnya itu jelas terlihat bahwa Awaludin memilih
perkawinan merarik dengan maksud untuk mengatasi rintangan yang
ada dalam hubungannya dengan Reni, sekalipun telah dibayarnya
dengan resiko ditahan (diamankan) petugas Kepolisian.
Atas uraian kasus tersebut terlihat telah terjadi perubahan urutan dalam
perkawinan adat merarik seperti table berikut :
Tabel : Perubahan Tata Urutan Perkawinan Merarik
Tata Urutan Adat *) Tata Urutan Aplikatif **)
Wanita Sasak-Laki-
laki Sasak
Wanita Sasak- Lali-
laki diluar suku
Sasak
1. Lari bersama
2. Besebo
3. Sejati
4. Selabar
5. Sorong-Serah-
Ajikrama
6. Nyongkolan
7. Bales Onos Nae
1. Lari bersama
2. Besebo
3. Sejati-Selabar
4. Akad Nikah
5. Nyongkolan
1. Lari bersama
2. Mengangkat
Pengampu
3. Akad Nikah
4. Nyongkolan
Sumber Data Primer diolah
*) wawancara dengan Datu Artadi Pemangku Adat Tanjung**) sumber dari kasus obyek penelitian
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dituangkan pada tabel di
atas, menunjukkan proses perkawinan merarik telah mengalami
perubahan, hal ini sesuai dengan perubahan tata nilai yang menjadi isi
masing-masing tata urutan tersebut.
Perubahan di dalam kehidupan masyarakat adalah merupakan
gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia.
Hal ini terlihat bahwa, perubahan yang terjadi pada masyarakat
adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di
dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistim sosialnya, keadaan
demikian tidak dapat dibendung. Lagi pula orang beranggapan bahwa
hukum yang hidup mengikuti dan berkembang termasuk di dalamnya
nilai, sikap-sikap dan pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok
dalam masyarakat. Perubahan sosial itu lebih komperhensif sifatnya,
sehingga kalau menelaah suatu gejala, perlu dijelaskan di bidang mana
yang berubah, meskipun tekanan konsep terletak pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang kemudian mempengaruhi segi-segi lain dari
struktur masyarakat.
Dari uraian tersebut terlihat, bahwa suatu perubahan dalam
masyarakat tidak dapat berdiri sendiri, tetapi selalu berkaitan dengan
segi-segi lain dalam struktur masyarakat, termasuk dalam hal ini
terhadap sistim hukum.
Untuk dapat melihat mengenai adanya hubungan antara hukum dan
perubahan sosial, perlu diperhatikan tentang bagaimana hukum itu
berkaitan pada masyarakatnya. Dari uraian tersebut terlihat bahwa
penyebab perubahan sosial dalam suatu masyarakat dibedakan menjadi
dua macam yaitu faktor dari dalam dan dari luar masyarakat. Faktor
penyebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri antara lain
bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan baru,
pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi.
Sedangkan faktor penyebab dari luar masyarakat adalah lingkungan fisik
sekitar, peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Dilihat dari dua faktor perubahan tersebut, maka untuk faktor
perubahan yang berasal dari dalam masyarakat Sasak dapat
dikemukakan, bahwa faktor yang berpengaruh dari dalam masyarakat
Sasak adalah,
1. Mobilitas penduduk, sebagaimana diketahui bahwa salah satu akibat
dari adanya perkawinan merarik akan melahirkan keturunan.
Perkawinan merarik yang terjadi antara laki-laki dengan seorang
perempuan baik dari hubungan keluarga yang disebut dengan
sorohan, baitlangan nine (lingkungan waris dari keluarga Ibu ) maupun
langan mame (hubungan waris dari keluarga Bapak) atau dari pihak
yang tidak ada hubungan kekeluargaan, dari padanya akan lahir
sebuah keluarga. Terbentuknya sebuah keluarga kecil yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak ini di dalam hukum adat Sasak dikenal dengan
istilah kurenan (jawa=keluarga batih). Di kalangan suku Sasak sebuah
keluarga(kuren) tidak hanya diartikan terdiri dari ayah, ibu dan anak
saja tetapi bisa juga orang lain yang turut tinggal atau menetap di
rumah tangga tersebut. Dikemukakan oleh R. Soepomo bahwa
keturunan adalah ketunggalan leluhur artinya ada perhubungan darah
antara orang seorang dan orang lain. Dua orang atau lebih yang
mempunyai hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur adalah
keturunan yang seorang dari yang lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa
sebagai keturunan yang sah akan mempunyai hak-hak sebagai
keturunan (anggota keluarga) mempunyai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam
keluarga yang bersangkutan, misalnya boleh ikut menggunakan nama
keluarga, boleh ikut menggunakan dan berhak atas bagian kekayaan
keluarga, wajib saling pelihara memelihara dan saling bantu
membantu, dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan dengan
pihak ketiga dan lain sebagainya
Hubungan kewarisan atau ikatan waris keluarga Sasak saat ini
telah menyebar, tidak lagi tinggal dalam satu kampung rumpun
keluarga, karena telah berkembang sehingga tidak tersedia lahan yang
cukup untuk tinggal bersama pada lahan tempat kelahirannya (gubuk)
semula. Pecahan dari kekerabatan tersebut membentuk lingkungan
baru sama seperti halnya lingkungan asalnya, dapat terjadi di satu
lingkungan desa kelahirannya atau di desa lain. Jika lingkungan baru
tersebut merupakan wilayah desa lain dari desa semula maka
lingkungan baru tersebut, disebut dengan lingkungan keroangan.
Lingkungan inilah yang memperkuat jalinan hubungan kekeluargaan
masyarakat hukum Adat Sasak. Hubungannya dengan perkawinan
merarik, diharapkan agar lingkungan keroangan tersebut selalu dapat
berhubungan seperti hanya hubungan di dalam lingkungan waris,
harapan itulah kemudian dilaksanakan melalui perkawinan merarik.
Atas dasar uraian tersebut terlihat, bahwa perkawinan merarik
merupakan motor yang menggerakkan masyarakat hukum adat Sasak
untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi di
lingkungan sekelilingnya.
Dari hubungan tersebut, terlihat bahwa masyarakat hukum Adat
Sasak memperluas wilayah teritorialnya dengan mempererat
hubungan kewarisannya. Keadaan ini sejalan dengan uraian Koesnoe
pada BAB II hal 48 dan 49 disertasi ini menyatakan hidup orang Sasak
diatur dengan suatu pola menetap di mana masing-masing individu
mempunyai dan mendiami rumahnya sendiri-sendiri, di atas sebidang
tanah yang tidak lebar, perumahan orang-orang tersebut berjajar
berdekatan, menghadap pada arah yang sama, seolah-olah
merupakan deretan rumah yang rapi dengan halaman rumah bagian
muka sebagai jalan yang menghubungkan rumah satu dan rumah
lainnya sampai ke jalan yang lebih besar. Jajaran rumah-rumah
tersebut meliputi suatu bidang tanah tertentu yang diberi pagar
tanaman atau bambu. Keseluruhan jajaran rumah-rumah tersebut satu
suteran. Bilamana suatu suteran terletak jauh dari kelompok suteran-
suteran lainnya yang merupakan suatu kesatuan yang disebut dasan,
dan leteknya memang menyendiri, maka desebut suatu gubug.
Setiap gubuk biasanya dihuni oleh mereka yang mempunyai
hubungan darah (waris), karena itulah gubuk tersebut sering
mengambil nama dari orang yang pertama mendirikan gubug tersebut,
biasanya dari kakek mereka. Beberapa gubug merupakan wilayah
teritorial yang disebut dasan yang dipimpin oleh kepala lingkungan.
Kemudian beberapa lingkungan terikat dalam Desa. Apabila warga dari
satu desa melaksanakan perkawinan merarik dengan warga desa lain,
maka keluarga mereka masing-masing terikat dalam hubungan
keroangan, Inilah yang disebut dengan hubungan antar desa.
Atas dasar uraian tersebut maka lingkungan keroangan tersebut
dapat terbentuk dari,
a. Perkembangan lingkungan waris yang membentuk tempat
tinggal baru di lingkungan desa yang berlainan dengan
lingkungan desa asal disebut dengan waris kadang.
b. Dapat juga terbentuk dari bubungan perkawinan merarik antar
desa yang disebut dengan kadang jari.
Lingkungan keroangan tersebut mengikat masyarakat dalam
bentuk solidaritas yang disebut merang, yaitu lingkungan anggota
mufakat (gundeman).
Jika terjadi perkawinan merarik antar warga desa yang belum
mempunyai lingkungan keroangan, prosedur penyelesaiannya akan
mengalami hambatan. Untuk memperlancar proses tersebut harus
dicarikan bantuan personil dari lingkungan desa yang sudah terbentuk
hubungan roanganya untuk ditugasi melaksanakan upacara adat.
Hukum Adat Sasak mengenal bentuk hubungan kekerabatan
mulai dari “kuren” (batih), kemudian kadang (kerabat) dan roang
(handai tolan). Ketiga jenis hubungan tersebut (waris-kadang-roang)
mengikat masyarakat untuk secara ideal harus selalu memelihara
harmoni dalam hubungan keluarga dan masyarakat. Untuk
mewujudkan harmoni tersebut diperlukan perbuatan nyata seperti,
a. Kekeluargaaan dan gotong-royong, sikap ini terlihat dalam proses
penyelesaian perkawinan merarik, setiap warga dalam lingkungan
tersebut datang ke rumah pengantin dengan membawa suguhan
untuk keperluan hajatan.
b. Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban. Untuk mewujudkan tatanan tersebut dalam
masyarakat hukum adat Sasak dikenal sejenis perjanjian
masyarakat yang disebut “besiru”, yaitu saling kunjungi dalam
setiap penyelesaian perkawinan merarik para warganya.
Atas dasar itu, maka perkawinan merarik tidak hanya dilihat
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha
Esa, tetapi juga merupakan ikatan keluarga dan kekerabatan.
2. Sedangkan pengaruh dari luar dapat dilihat dari posisi hukum adat
dalam kaitannya dengan pembangunan Hukum Nasional, dalam hal ini
khusus yang berkaitan dengan telah diundangkannya berbagai
peraturan perundang-undangan di lingkungan hukum keluarga.
Di dalam lingkungan masyarakat hukum adat Sasak tanggung
jawab kehidupan keluarga/rumah tangga (kuren) merupakan tanggung
jawab kerabat secara bersama, bahkan tidak hanya manyarakat Sasak,
tetapi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, segala sesuatu
diselesaikan dengan musyawarah. Keluarga bahagia dalam pengertian
masyarakat adalah keluarga yang tidak hanya mengurus kebutuhan
rumah tangganya, tetapi juga harus mengurus kebutuhan kerabatnya.
Oleh karena itu pengertian “keluarga (rumah tangga)” dalam Pasal 1
UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, hanya rumah tangga saja
(sasak- kuren) tidak mencermikan pengertian kerabatnya. Hal ini
terlihat pada penjelasan tersebut.
Di dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam perumusan mengenai
pengertian perkawinan berbeda dengan ketentuan yang terdapat
dalam UUNo. 1 Tahun 1974, Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mittsaqqan qalidhan
untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Jadi perkawinan menurut Kompilasi Hukum
Islam disebut Pernikahan adalah merupakan suatu ikatan lahir
batin atau jasmani dan rohani antara laki-laki dan perempuan yang
membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut oleh kedua
calon mempelai beserta keluarga dan kerabatnya.
Dari pengertian Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, tidak terlihat adanya kemungkinan hubungan keluarga
tersebut dengan keluarga dari Ibu maupun keluarga dari Bapak,
demikian juga halnya menyangkut hubungan anak terhadap
kerabatnya ataupun hubungan sebaliknya. Dalam Pasal 30 sampai
dengan Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, mengatur
tentang hak dan kewajiban suami istri, tetapi UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan sama sekali tidak mengatur tentang kewajiban
suami maupun istri terhadap keluarga kedua belah pihak, yaitu
terhadap keluarga suami maupun terhadap keluarga istri. Oleh karena
itu keluarga yang dibentuk berdasarkan UUNo. 1Tahun 1974 Tentang
Perkawinan adalah keluarga yang yang terlepas dari lingkungan
kerabatnya, karena UUNo. 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menekankan pada hubungan suami istri, proses selanjutnya
bersentuhan dengan hukum adat sebagai hukum yang hidup di
masyarakat.
Dari sejumlah asas UUNo. 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan, seperti
asas monogami tercantum pada Pasal 3 ayat 1, asas kesetaraan tercantum
pada Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33, tidak terdapat dalam Pasal-Pasal Undang-
undang tersebut yang menyangkut mufakat dan kekeluargaan.
Di lingkungan masyarakat adat, anak bukan saja wajib hormat kepada
ayah dan ibunya, tetapi wajib pula hormat terhadap keluarga bapak dan
keluarga ibu, bahkan kepada semua orang. Asas mufakat dan kekeluargaan,
menjadi penting oleh karena pada penjelasan umum dari UUNo. 1Tahun
1974 Tentang Perkawinan, pada angka 3 dikemukakan, Sesuai dengan
falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini
di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain pihak
harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup di dalam
masyarakat dewasa ini. Undang-undang perkawinan telah menampung di
dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum agama dan
Kepercayaan dari yang bersangkutan.
Dari penjelasan tersebut, yang belum jelas tercantum pada Pasal-pasal
UUNo. 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyangkut pernyataan
“sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan
yang hidup di dalam masyarakat dewasa ini”. Kenyataan yang hidup di dalam
masyarakat tidak hanya hukum agama, tetapi juga hukum adat. Keadaan ini
sejalan dengan uraian Robert Seidman paba BAB II hal 56 Disertasi ini yang
menyatakan, di dalam masyarakat terdapat berbagai norma, aturan yang
mengatur hal yang sama, keadaan demikian menciptakan ruang bagi
warganegara untuk melakukan pilihan-pilihan untuk taat ataupun untuk
melanggar hukum.
BAB V PENUTUPSIMPULAN DAN REKOMENDASI
I. SIMPULAN
A. Ketentuan umur dalam perkawinan adat merarik ditentukan atas dasar
1. Kencak, bagi wanita adalah kemampuan untuk mengelola rumah tangga
(kuren). Hal ini dapat dilihat dari keseharian si anak menyangkut
kemampuannya mengatur kebutuhan sehari-hari serta dapat
mengetahui susah senang anggota keluarganya. Bagi laki-laki, mampu
mewakili orang tuanya pada pertemuan-pertemuan keluarga atau
kerabat, mampu menyampaikan pesan orang tuanya pada pertemuan
tersebut dan sekembalinya mampu menyampaikan hasil pertemuan
tersebut pada orang tuanya.
2. Genem, bagi wanita sudah mulai tampak kegiatan untuk memelihara
rumah dan halaman, sedangkan bagi laki-laki, sudah mulai
mempertanyakan sumber biaya kebutuhan hidup rumah tangga dan
sesekali mempertanyakan pengelolaannya.
3. Itik, bagi wanita sudah tampak kemampuan untuk mengukur persediaan
yang ada akan cukup digunakan sampai waktu tertentu. Sedangkan
bagi laki-laki sesekali melontarkan pemikirannya tentang sumber-
sumber kebutuhan pendapatan sekalipun dalam bentuk ceritera tentang
mata pencaharian orang lain. (ada perhatian tentang mata pencaharian
dan sumber-sumber pendapatan keluarga) sekalipun perhatian tersebut
hanya disampaikan secara spontan (terlontar lepas),
4. Tomot, untuk laki dan wanita sudah mulai memperlihatkan kemandirian,
tampak mulai mampu untuk bersikap, dapat menimbang-nimbang
persoalan untuk menentukan keputusan.
5. Lome, untuk laki-laki dan wanita mempunyai rasa solidaritas girang
gerasak (ramah menyenangkan) khususnya terhadap anggota
keluarganya (kurennya), dapat memupuk rasa kebersamaan dengan
tetangga dan warga sekitarnya (semeton jari), mesang ime nae jari
bawak lanjak batur (tulus ikhlas dalam menolong).
B. Dari uraian kasus-kasus tersebut memperlihatkan perubahan tata urutan
pelaksanaan perkawinan merarik telah terjadi perubahan.Telah terjadi
adaptasi norma dalam perkawinan adat merarik
Perubahan yang terjadi pada masyarakat adalah segala perubahan
pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang
mempengaruhi sistim sosialnya, keadaan demikian tidak dapat
dibendung. Lagi pula orang beranggapan bahwa hukum yang hidup
mengikuti dan berkembang termasuk di dalamnya nilai, sikap-sikap dan
pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Perubahan sosial itu lebih komperhensif sifatnya, sehingga kalau
menelaah suatu gejala, perlu dijelaskan di bidang mana yang berubah,
meskipun tekanan konsep terletak pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang kemudian mempengaruhi segi-segi lain dari
struktur masyarakat.
Bahwa suatu perubahan dalam masyarakat tidak dapat berdiri
sendiri, tetapi selalu berkaitan dengan segi-segi lain dalam struktur
masyarakat, termasuk dalam hal ini terhadapsistim hukum.
II. REKOMENDASI
Majelis Krame Adat Sasak harus lebih aktif dalam perannya untuk
membina kehidupan hokum adat Sasak melalui pembinaan kelembagaan
adat agar, Masjlis Krame Adat dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat Sasak.
DAFTAR PUSTAKA
Arzaki, Jalaludin, dkk, Nilai-Nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku Bangsa Sasak Dalam Pluralisme Kehidupan Masyarakat (Sebuah Kajian Antropologis, Sosiologis, Agamis). CV. Bina Mandiri Mataram, 2001.
Awik-Awik Krame Adat Desa Tegal Maja Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat.1980
Becmann, Keebet Von Benda,Stairways to Consensus. Village Justice and State Courts in Minangkabau, Foris Publications. Dordrecht-Holland Cinnamination-USA, 1998.
Bratholomew, John Ryan,Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, cetakan pertama, PT Tiara Wacana Yogyakarta, 1988.
Bruggink.J.J.H. Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa, Arief Sidharta, Citra Adhitya Bakti, 1996.
B. Ter, Haar, terjemahan K.Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, cetakan kesembilan Pradnya Paramita Jakarta, 1987.
Cassirer, Ernst,The Philosophy of Symbolic Forms, Volume II, Myth, tr. R. Manheim, Yale University Press, New Haven, 1955.
Coskun, Deniz,Law Syimbolic, Radboud University of Nijmegen,The Netherlands, Springer, 2007.
Daniel S.Lav, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan. LP3ES, 1990.
Donald, Black, The Behavior of Law, Academic Press New YorkSan FranciscoLondon, 1976.
Ehrlich, Eugen, Theory of The Living Law. Dalam Griffid, What is Legal pluralism, Journal of Legal Pluralism and Unofficial, November 1998.