laporan penelitian individual tentang undang...
TRANSCRIPT
t~
,1"\ l\c,\ \{' r'"
LAPORAN PENELITIAN INDIVIDUAL
TENTANG
UNDANG UNDANG NOMOR I TAHUN 1974 DAN KAITANNYA
DENGAN PERKAWINAN ANTAR ORANG
YANG BERLAINAN AGAMA
(Studi Tentang Praktek Pelaksanaannya di DKI Jakarta)
Oleh:
Drs. H.A. Chaeruddin, SH.
NIP. 150.033.298
Dosen Pada
FAKUTAS SYARI'AH lAIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
]999/2000
LEMBAR PENGESAHAN
Kepala Pusat Penelitian lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, MengesahkanPenelitian dengan jlldlll "Undang-lIndang Nomor I Tahun 1974 dan Kaitannyadengan Perkawinan antar orang yang Berlainan Agama ( Stlldi tentang praktekPelaksanaannya di DKl Jakarta ". Yang dilaksanakan
OLEH:
DRS.H.A.CHAERUDDlN. SHNIP.150 033 298
SYADA MA0231356
INSTlTUT AGAMA ISLAM NEGERISYARIF HlDAYTULLAH JAKARTA
1999'
KATA PENGANTAR
Bismi Allah ai-Rahman ai-Rahim
Puji dan S!ukur dipanjatkan ke hadiral Allah Yang Maha Pengasih dan MahaPcnyayang. Shalawat dan Salam semoga diJimpahkan kepada Nabi Muhammad, parakeluargany, shabatnya, dan pengikutnyasemua. Atas berkat rahmat dan iayah-NyalahpeneJitian ini dapal sdiselesaikan dengan baik sesuai waktunya.
Penelitianmengangkal permasalahanmengenai "Undang Undang Nomor I Tahun 1974dan Kaitalll'ya dengan Perkawinan Antar Orang yang Berlainan Agama" (Study TentangPraktik Pelaksanaalll,ya di DKl Jakarta). Penelitian ini dilaksanakan seeara individualberdasarkan Surat Keputusan Rektor lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nomor 060 Tahun1999, Pelaksanaan Penelitian Kelompok dan Individu TahIU1 Anggara 199912000.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap bagaimana kesesuaian antaranorma Undang Undang dan pelaksanaan perkawinan antar orang yang berlainan agama.Selain itu diharapkan dapat digunakan IU1tuk mengurangi ekses-ekses yang diakibatkan olehperkawinan tersebut, baik terhadap pasangan suami istri yang bersangkatan, bagi keluargamereka, maupun bagi masyarakat luas.
Penclitian ini terlaksana pula berkat bantuan berbagai pihak, karena itu dalamkcscmpatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih antara lain kepada :1. Pimpinan lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kepala Pusat PeneJitian, atas anggaran
pengarahan yang diberikan untuk penelitian ini:2. Kepada Pimpinan Fal.-ultas Syari'ah lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas
penunjukannya.3. Pejabat Kntor Catatan Sipil, para hakim Pengadilan Negeri, Pcngadilan Agama, dan Kator
Urusan Agama di Daerah Khusus lbukota Jakarta, serta Mahkamah Agung RJ atas datadan informasi yang diberikan;
4. Kepada tokoh agama-agama yang telah memberikan infonnasi tentang hukum agamamasing-masing berkenaan perkawinan antar orang berlainan agama;
5. Kepada semua pihak tennasuk para pasangan perkawinan berlainan agama, atas segalainioffi,asi mereka yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini.
Hasil penelitian ini dirasa masih sangat sederhana dan dalam beberapa hal masihlerdapal kekurangan. Oleh karena itu penelitian lanjutan masih harus dilakukan untukmemperoleh hasil yang Iebih akurat dan lebih mendekati harapan.
Jakarta, 25 Oktober 1999Peneliti.
Drs. H.A. Chaeruddin. SH.NIP. 150.033.298
DAFTAR lSI
KATA PENGAJ'JTARDAFTAR lSI
B A B 1. PENDAHULUANA. Latar Belakang PemikiranB. Perumusan Masalah .....C. Tinjauan dan Studi Kepustakaan ....D. Tujuan Penelitian ....E. Signifikansi Penelitian .F. Metode Penelitian .G. Langkah, Tempat, Waktu, dan Biaya Penelitian .H. Laporan Penelitian '" , .
11
III
I45678
II12
BERLAlNAN AGAMAB A B II. PERKAWlNAN ANTAR ORANGMENIJRUTUU 1/1974
A. Perkawinan Menurut Hukum Agama Masing-masing 14
B. Perkawinan Anatar Orang Berlainan Agama Tidak Selalu Perkawinan
Campuran ". 24
C. Pennghapusan Sistem Perkawinan Campuran Menurut GHR Stb.
1898No-158 31
B AB III. PELAKSANAAN PERKAWINAN ANTAR ORANG BERLAlNANAGAMA
A. Prosedur Perizinan dan Formalitas Perkawinan 42
B. Tata cara dan Pencatatan Perkawinan Antar Orang Berlainan
A~~.................................................49
C. Kontroversi Tentang Perkawinan Antar Orang Berlainan Agama 55D. Perubahan Sikap Kantor Catatan Sipil dalam Pelaksanaa
Perkawinan ..
B A B IV. KESIMPULAN DAN SARAN SARANA. Kesimpulan....................... .. .B. Saran-saran . ..
.... ...... 74
...................... 8386
DAFTARKEPUSTAKAAN 89
JJ-iT'<'lF'IRAN .. ~ " " " " " . - .- ~.. . - - - ~ - - - •. - 94
111
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BeJakang Masalah
SeJain keanekaragaman karena suku, asaJ usuJ keturunan, dan bahasa daerah,
Juga keanekaragaman dalam beragama akan selalu di ditemui hampir pada setiap
masyarakat dan negara di manapun di muka Bumi ini, walaupun komposisi
perbandingannya relatif berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Begitu
pula di Indonesia keanekaragaman itu sangatlah jelas dengan terdapatnya sejumlah
agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Secara resmi diakui ada lima agama, yaitu
agama Islam adalah agama yang di anut oleh mayoritas penduduk sekitar 87 %, agama
Kristen yang terdiri dari agama Katolik dan agama Protestan, agama Hindu terutama
di Bali, dan agama Budha. Belum lagi agama-agama yang tidak resmi seperti Kong Hu
Cu, dan agama-agama animisme seperti agama Kaharingan di Kalimantan, agama
Sipelebegu di Sumatra Utara, dan lain-lain. Di samping itu terdapat pula sejumlah
aliran-aliran kepercayaan yang bukan agama, di antara penganutnya ada yang juga
. sekaligus sebagai pemeluk suatu agama, dan ada pula di antaranya yang samasekali
bukan penganut agama.
Dengan adanya keanekaragaman agama yang dianut serta aliran kepercayan
yang cukup banyak itu, terdapatlah sejumlah hypothesa atau dugaan kuat terhadap
masalah perkawinan akibat adanya keanekaragaman tersebut.
Pertama, di antara penganut agama yang beraneka ragam itu sering teIjadi
perkawinan, sungguhpun tidak selalu mudah dilakukan karena terdapat perbedaan
dalam konstruksi dan sistem hukum yang dimilki oleh agama-agama dan aliran
kepercayaan itu. Pada umumnya ketentuan agama-agama mengenai perkawinan antar
agama itu sangatlah ketat, sehingga pada umunya menutup kemungkinan terjadinya
perkawinan tersebut. Sungguhpun begitu ada di antara agama-agama itu yang memiliki
ketentuan yang cukup longgar dalam mengatur perkawinan antar orang yang berlainan
agamanya. Bahkan ada pula agama yang memiliki ketentuan yang memberikan
li
3
tuntas, dari masa ke masa selalu menjadi bahan pembicaraan dan kajian yang selalu
urgen dan menarik.
Keempat, perundang-undangan pun tidak selalu tegas menentukan apakah
perkawinan antar orang berlainan agama itu diperbolehkan atau dilarang, hal itu dapat
dimaklumi pula karena diantara yang harus mamutuskan pun juga berbeda beda
pandangan. Bahkan peradilan pun sering tidak konsisten antara satu badan peradilan
dengan badan peradilan lainnya, sungguh pun bersumber dan berdalil pada ketentuan
hukum yang sarna. Hal inipun dapat pula dimaklumi, karena Hakim yang memeriksa
sengketa perizinan atau perkara berkenaan dengan perkawinan antar orang berlainan
agama itu pun dapat memiliki keyakinan dan pandangan yang berbeda beda pula.
Perbedaan pandangan di antara mereka tersebut sangat tergantung pada lingkungan
masyarakatnya, latar belakang pendidikan, dan keyakinan agama yang
mempengaruhinya masing-masing.
Kelima, di kalangan tokoh dan aliran agama pun perbedaan pandangan
mengenai perkawinan antar orang yang berlainan agama itu juga ada, baik di kalangan
madzhab-madzhab atau para ulama Islam maupun di kalangan para pemuka agama
. lainnya. Ada yang secara ekstrim melarangnya, ada yang ekstrim membolehkannya,
dan ada pula yang secara moderat melarang atau membolehkannya dengan syarat
syarat tertentu. Hal itu terjadi karena terdapat perbedaan dalam interpretasi dalil-dalil
atau kaidah-kaidah yang mereka pedomani. Perbedaan pandangan di antara madzhab
madzhab dan para ulama serta tokoh agama lainnya, jelas dipandang sebagai salah satu
penyebab terjadinya kontroversi terhadap perkawinan antara orang yang berlainan
agama itu, sehingga perkawinan tersebut masih sering terjadi.
Keenam, masih terdapat beberapa segi kelemahan mengenai bunyi hukum
yang ada, sehingga memungkinkan timbulnya interpretasi yang keliru. Hal itu terutama
bagi pihak pihak yang sengaja mencari dalih untuk menjustifikasi perkawinan
campuran karena perbedaan agama yang dianut masing masing. Interpretasi seperti itu
disebabkan orientasi hukum ala masa jajahan Belanda dahulu masih melekat di benak
sebahagian masyarakat bangsa Indonesia. Hal itu pula terutama karena perubahan
4
struktur sosial dari sebahagian masyarakat yang tradisional ke masyarakat yang
moderen, sehingga memperlonggar nilai-nilai lama yang bersumber dari budaya
ketimuran, di samping nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat terutama yang
beragama Islam.
Ketujuh, sungguhpun pembahasan mengenai perkawinan campuran umumnya
dan perkawinan antar orang yang berlainan agama itu sudah cuImp banyak, tetapi
dirasakan masih belum cukup memuaskan, karena memang permasalahannya memiliki
karakter yang demikian. Atas dasar pemikiran dan hypothesa tersebut di atas, maka
sewajarnyalah bila dilakukan penelitian untuk mengetahui dengan jelas bagaimana
keadaan yang sebenarnya mengenai perkawinan antara orang yang berlainan agama
itu. Dan bagaimana pula pengaruhnya baik terhadap tatanan hukum dan perundang
undangan, maupun terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan. Bahkan juga untuk
mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan rumahtangga dan keluarga
pasangan yang melakukan perkawinan tersebut. Adapun judul atau thema penelitian
itu adalah "Undang Undang Nomor I Tahun 1974 dan Kaitannya dengan Perkawinan
Antar Orang yang Berlainan Agama" (Studi Tentang Praktek Pelaksanaanya di DKI
. Jakarta). Penelitian ini akan dilakukan secara individual, dalam rangka pengembangan
materi mata kuliah Hukum Perdata, yang diberikan kepada para mahasiswa Fakultas
Syari'ah lAIN SyarifHidayatullah Jakarta.
B Perumusan masalah
Sesuai latar belakang pemikiran tersebut dapatlah dirumuskan permasaJahan
yang akan diteliti antara lain sebagai berikut :
a Apakah ketentuan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 berkenaan dengan
perkawinan antar orang yang berlainan agama telah dipatuhi sepenuhnya, atau
justru masih sering terjadi dan masih menggunakan sistem ketentuan lama yang
bersumberkan GHR (Stb. 1898 No. 158), yang sekuler dan mengabaikan ketentuan
agama pihak-pihak yang bersangkutan; Bagaimana prekuensinya sesudah
berlakunya UUUP, bila dibandingkan dengan sebelumnya;
5
b. Apa faktor yang menyebabkan masih banyak terjadi perkawinan antar orang
berlainan agama itu, dan bagaimana pula cara mengatasinya agar faktor-faktor
tersebut tidak menimbulkan masalah bagi kehidupan bermasyarakat, khususnya
yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum agama masing-masing;
c Bagaimana sikap para penyelenggara dan penegak hukum tehadap perkawinan
antar orang yang berlainan agama itu. Bagaiamana pula persepsi mereka terhadap
ketentuan Undang Undang berkenaan dengan perkawinan antar orang berlainan
agama itu;
C,Tinjauan dan Studi Kepustakaan
Bekenaan dengan tema penelitian ini dapatlah dikemukakan sejumlah
kepustakaan yang dijadikan acuan untuk menunjang penelitian ini. Di antaranya buku
yang ditulis oleh Gou Giok Siong (Sudargo Gautama) berjudul "Segi-segi Hukum
Peraturan Perkawinan Campuran". Suatu disertasi yang diterbitkan tahun 1973, intinya
memberikan gambaran tentang GHR, Staatsblad 1898 Nomor 158 yang dipandangnya
telah membela hak-hak asasi manusia. GHR dan sebagai reaksi terhadap sikap
. pemerintah Hindia Belanda yang melarang orang Belanda kawin dengan orang bukan
Eropa karena faktor rendahnya martabat orang non Eropa.
Berikutnya karya ilmiah berjudul ''Perkawinan Campuran Dalam Negara Rl,
disertasi Dr. Ichtiyanto SA, SH. yang dipertahannkan dalam ujian untuk memperoleh
gelar doktor, pada Universitas Indonesia tahun 1993. Konsepsinya diarahkan untuk
mewujudkan suatu rumusan hukum yang ideal, dengan menentukan hukum suarni yang
menjadi pedoman dalam melaksanakan perkawinan campruran sesuai Stb. 1898 No.
158 seperti masa dulu. Baginya sebahagian dari GHR masih berlaku karena dalam hal
ini UUP belum menentukan hukum yang digunakan.
Selain itu terdapat sejumlah artikel dalam jumal ''Mimbar Hukum" terbitan
Ditbinbapera, Departemen Agama yang membahas tentang perkawinan campuran
termasuk perkawinan antara orang yang berlainan agama. Demikian pula dikemukakan
sejumlah problematik terutama dilihat dari segi yuridis. Namun demikian, belum ada
6
tulisan hasil penelitian empirik yang secara khusus membahas tentang praktik
pelaksanaan perkawinan antar orang berlainan agama itu, seperti yang direncanakan
dalam proposal penelitian ini.
Demikian pula belum ada penelitian yang menyangkut problema yang timbul
akibat perkawinan antar orang berlainan agama, baik bagi pasangan perkawinan atau
suaml istri yang bersangkutan, maupun bagi keturunan yang dilahirkan oleh pasangan
tersebut. Karena itulah penelitian bermaksud hendak mengungkapkan, bagaimana
pengaruh Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 itu terhadap pelaksanaan perkawinan
antar orang yang belainan agama. Pengaruh ini dapat dibandingkan dengan praktek
pelaksanaannya, ketika masih berlaku Peraturan Perkawinan Campuran Staatsblad
1898 Nomor 158 produk masa jajahan Belanda dahulu.
p, Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana problematik
perkawinan antar orang yang berlainan agama menurut hukum Islam dan hukum
nasional. Dengan tujuan ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas
bagaimana perbandingan antara ketentuan hukum Islam dan ketentuan hUkum nasional
mengenai perkawinan antar oerang orang yang berlainan agama tersebut.
Karena itu maka penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data
mengenai frequensi dan intensitas perkawinan antar orang yang berlaina agama itu di
Indonesia baik yang teIjadi sebelum berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
maupun yang terjadi sesudah berlakunya Undang Undang tersebut. Selanjutnya agar
diperoleh data mengenai perbedaan pendapat di antara para ulama madzhab fiqh,
maupun hukum Islam yang belaku di Indonesia. Selain itu pula hendak diperoleh
perbedaan ketentuan hUkum nasional baik setelah Indonesia merdeka, maupun hukum
yang bersumber pada ketentuan sebelum merdeka.
Penting pula, agar diketahui bagaimana pengaruh positif maupun ekses-ekses
yang terjadi akibat pekawinan antar orang yang berlainan agama itu dalam masyarakt.
Pengaruh tersebut baik terhadap kedua pasangan suami istri tersebut dalam rumah
7
tangga mereka, maupun terhadap anak-anak yang dilahirkan dan perkawinan mereka
itu. Bahkan mungkin pula diketahui pengaruhnya terhadap kedua belah pihak keluarga
besar pasangan perkawinan itu. Bahkan pula untuk mengetahui bagaimana reaksi
anggota masyarakat lainnya terhadap perkawinan antar orang berlainan agama itu,
termasuk reaksi dan para pemuka dan organisasi-oraganisasi keagamaan yang ada
dalam masyarakat. Terlebih prnting untuk mengetahi bagaimana pengaruh perkawinan
antar orang yang berlainan agama itu terhadap keyakinan agama masing-masing suami
istri maupun terhadap keyakinan agama bagi anak-anak yang dilahirkan mereka.
Selanjutnya ialah ingin pula diketahui bagaimana upaya dan cara yang terbaik
untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi akibat perkawinan
tersebut. Dengan upaya itu diharapkan ekses yang terjadi dapat diminimalisasi,
sehingga kehidupan masyarakat tidak terusik karena ekses tersebut. Mungkin pula ada
kendala dan hambatan dalam upaya mencari jalan kelaur dan mengatsi masalah
masalah tersebut. Karena itu perlu pula mengetahui sebab-sebab terjadinya kendala
dan nntangan tersebut, sehingga akhirnya dapat pula diketahui bagaimana cara
mengantisipasi munculnya kendala tersebut.
E.. Signifikansi penelitian
Penelitian akan sangat berguna bagi masyarakat bangsa Indonesia khususnya
yang beragama Islam, agar mengetahui bagaimana hukumnya perkawinan antar orang,
yang berlainan agama tersebut baik menurut hukum Islam maupun menurut hukum
agama lain dan perundang-undangan nasionaL Mereka akan memahami pula mengenai
ekses yang terjadi akibat perkawinan tersebut, dan selanjutnya mereka akan mampu
pula menentukan pilihan apakah akan melakukan perkawinan tersebut ataukah tidak,
setelah memperhitungkan konsekuensi dan untung ruginya. Penelitian ini juga akan
sangat berguna bagi para penegak hukum yang berkecimpung dalam dunia peradilan,
baik sebagai hakim, sebagai advokat atau pengacara, maupun pihak lain yang terkait
badan peradilan. Dengan hasil penelitian ini diharapkan akan semakin menambah
wawasan kepada pihak pengadilan agar tidak mudah memberikan izin perkawinan bagi
8
mereka yang berlainan agama, sekiranya hukum yang berla1.'U dan hukum agama yang
bersangkutan tidak membolehkannya.
f Metode Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya akan dilakukan dengan metode penelitian
lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research) sebagai
penunjangnya. Dengan dua macam metode tersebut diharapkan akan saling
melengkapi, sehinga data yang diperoleh akan semakin akurat dan lebih meyakinkan.
Data yang diperoleh dari lapangan secara praktis diharapkan dapat diukur dengan
teori-teon yang diperoleh dari data melaJui penelitian kepustakaan. Sebaliknya, teori
teon yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan akan diuji kebenarannya melalui
data-data yang secara realistik ditemukan di dalam praktek kehidupan sehari-hari.
I. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan (field research), dilakukan antara lain dalam bentuk
wawancara (interview) dengan beberapa pejabat dan aparat pencatatan perkawinan
dan Kantor Catatan Sipil di Jakarta. Mewawancan mereka sangatlah penting, karena
instansi inilah yang menangam pencatatan perkawianan campuran bahkan
mengawinkannya menurut cara hu1.'Um Barat. Wawancara juga dilakukan dengan
beberapa pejabat pada Pengadilan Negen, Pengadilan Agama, dan Kntor Urusan
Agama, karena mereka juga erat kaitannya dengan penzinan dan pencatatan
perkawinan.
Mewawancarai beberapa pemuka agama termasuk pemuka agama Islam dan
non-Islam, seperti Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Ketentuan hukum
perkawinan mereka umumnya kurang tennci bahkan ada yang kurang jelas, karena
tidak secara kbusus dibukukannya. Karena itu dri para pemuka agama itulah diperoleh
mengenai aturan-aturan perkawinannya. Sehingga akan jelaslah gambaran mengenai
perbandingan tata hukum bidang perkawinan pada masing-masing agama. Dengan
demikian akan tergambar pula kedudukan perkawinan antar orang yang berlainan
9
agama pada ajaran-ajaran agama-agamanya itu. Hal itu penting karena perkawinan
antar umat yang berlainan agama terutama di Jakarta frekuensinya cukup tinggi
(banyak). Sebagai studi kasus (case study), dilakukanjuga wawancara terhadap pihak
pihak atau pasangan suami istri yang melakukan perkawinan campuran itu. Data-data
yang diperoleh dati merekalah yang akan banyak membantu untuk menjabarkan hukum
yang berlaku, dalam praktek pelaksanaannya.
Selain melakukan wawancara, juga dilakukan penelitian data dati beberapa
berkas yang ada pada Kantor Catatan Sipil, terutama mengenai kasus-kasus
perkawinannya yang pencatatannya dilakukan di kantor catatan sipil tersebut. Begitu
pula data yang diperoleh dati berkas-berkas perkara di Pengadilan Negeti dan
Pengadilan Agama. Berkas yang diteliti di Pengadilan Negeri yakni perkara mengenai
petizinan terutama bagi mereka yang non-muslim. Bahkan bukan hanya pasangan non
muslim saja, pasangan yang salah satu beragama Islam pun meminta izin ke Pengadilan
Negeri, karena Pengadilan Agama sudah dapat dipastikan akan menolaknya.
Begitu pula data-data mengenai pencatatan perkawinan di Kntor Urusan
Agama, kadang-kadang pula akan terdapat pencatatan perkawinan bagi mereka yang
. pada mulanya non-muslim, kemudian masuk Islam hanya karena mau melakukan
perkawinan dengan orang yang beragama Islam. Perolehan data di kantor tersebut
penting pula untuk mengetahui bagaimana peilaku dan tindakan seseorang, rela
mengorbankan agama yang dianut hanya karena mau melakukan perkawinan. Penting
pula dilakukan research di gereja-gereja atau di kantor lembaga keagamaan lainnya
yang biasanya menyelenggarakan perkawinan antar orang-orang yang berlainan agama,
sungguhpun pencatatannya pasti akan dilakukan secara formal di Kantor Catatan Sipil.
2. Penelitian Kepustakaan.
Data yang diperoleh dati penelitian kepustakaan (library research),
melengkapi dan mendukung data yang diperoleh dati penelitian lapangan. Hasil
penelitian lapangan dirasa kurang lengkap, apabila tidak didukung oleh hasil penelitian
kepustakaan. Demikian pula sebaliknya, mencernakan hasil penelitian kepustakaan
semata tanpa dukungan hasil penelitian di lapangan, dirasa ku ng manta]) ,M!iiY'l~i:ll'a:~lL,_",'1 -----
meyakinkan kebenarannya, Oleh karena itu jalinan hasil peneli~il!fl-yanga;peroleh dari
kedua metode penelitian itu merupakan satu kesatuan data yang saling mendukung dan
saling menyempurnakan,
Penelitian kepustakaan (library research) terdiri dari dua sumber yaitu yang
pertama dari perundang-undangan, dan kedua data dari buku-buku ilmu pengetahuan
khususnya mengenar ilmu pengetahuan hukum dan kemasyarakatan, Dengan
perundang-undangan itu dimaksudkan adaJah segala undang undang beserta peraturan
pelaksanaannya lainnya sejauh menyangkut atau erat kaitannya dengan masalah
perkawinan, Bahkan juga termasuk ketentuan yang termasuk hukum dasar yaitu
Undang Undang Dasar dan Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rah.yat Sebagai
sumber data, perundang-undangan itu akan selalu dijadikan ukuran terhadap segala
masalah perkawinan antar orang yang berlainan agama, Oleh karena itu sumber ini
tidak bisa ditinggalkan,
Adapun buku-buku yang dimaksud antara lain mengenai ilmu pengetahuan
hukum terutama yang membahass masalah hukum kekeluargaan khususnya hukum
perkawinan, Buku-buku tersebut merupakan perioritas utama yang sangat dominan
dalam mewarnai penelitian ini, Buku-buku sosiologi, dianggap penting pula karena
penelitian ini membicarakan masalah hukum yang berlaku di masyarakat dan penelitian
ini dipersembahkan untuk masyarakat
Buku-buku mengenaI agama, dianggap juga sangat penting, karena
perkawinan adalah juga masalah agama di samping masalah hukum, Buku-buku agama
tersebut terutama mengenai agama Islam, Kristen baik Katolik maupun Protestan,
jugam agama Hindu dan Budha, Selain itu juga dapat dimungkinkan buku-buku dari
agama lainnya seperti Kong Hu Chu, Kaharingan dan lain"lain, termasuk pula buku"
buku berkenaan dengan aliran kepercayaan jika ada, Buku-buku keagamaan itu
termasuk kitab suci dan bukan kitab sucinya masing-masing, Maka dengan cara
pengumpulan bahan tersebut, dipandang memadai untuk memberikan arti bagi judul
penelitian tersebut di atas.
11
Dalam analisa data digunakan metoden deskriptif analitis dan metode
komparatif Dengan metode ini dimaksudkan, pembahasannya dilakukan dengan
mengemukakan permasalahan yang disusun berdasarkan data-data yang diperoleh,
baik hasil penelitianlapangan maupun hasil penelitian kepustakaan. Data-data yang
bersifat khusus dan kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat dicocokkan dengan
ketentuan-ketentuan hukum positif yang sifatnya umum, yang terdapat dalam
perundang-undangan mengenai perkawianan baik yang lama maupun yang baru, masa
kemerdekaan dan yangsebelumnya.
Selanjutnya diperlukan pula cara membandingkan antara ketentuan yang
terdapat dalam satu golongan agama dengan ketentuan golongan agama lainnya,
antara ketentuan agama dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam analisa disertai
pula dengan pendapat pendapat yang terdapat dalam buku buku tersebut di atas,
sehingga satu sarna lain saling isi mengisi dan lengkap melengkapi dan secara
keseluruhannya merupakan satu kesatuan yang utuh. Kesimpulan akhir akan
dirumuskan berdasarkan hasil analisis secara objektifyang bertumpu pada argumentasi
yang lebih kuat dan lebih tepat.
G. Langkah, Tempat, \Vaktu, dan Biaya
1. Langkah-Iangkah penelitian
Umuk melaksanakan penelitian tersebut dilakukan langkah-Iangkah
sebagai benkut. Pertama dilakukan penyusunan usaulan penelitian (research
proposal); Kedua penyusunan quesener untuk melakukan wawancara atau angket;
Ketiga , inventarisasi dan pengul11pulan data, Keempat, penyadian dan analisis
data; Kelima penyusunan laporan penelitian dan penggandaannya.
2. Tempat, waktu, dan biaya penelitian
Tempat penelitian terutama dilakukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
karena di kota inilah sebagai ibukota dipandang akan menjadi barometer
kemungkinan banyak terjadinya perkawinan antar orang yang berlainan agama itu.
Sungguhpun begitu inforl11asi dari daerah-daerah lain l11engenai mengenm
12
perkawinan tersebut akan menjadi bahan penting dalam pengumpulan data
penelitian ini.
Adapun mengenai waktunya diusahakan paling sedikit dalam waktu enam
bulan, dan paling lama sekitar sembilan bulan. Pemanfaatan waktu tersebut dapat
dirinci sebagai belikut :
a) Untuk persiapan penelitian, dipersiapkan waktu antara satu sampai satu setengah
bulan;
b) Untuk pengumpulkan data, diperkirakan akan memakan waktu antara empat sampai
~tJam. bulan.; "k d I" d b I I" d' I kc Untuk penJaJI an an ana ISIS ata serta mem uat aporan pene ItIan Iper u an
waktu antara satu sampai satu setengah bulan.
Adapun biayanya, diperkirakan minimal Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah)
dan maksimal Rp.7.000.000,00 (tujuh juta rupiah). Biaya tersebut dibebankan pada
anggaran penelitian DIK Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ditjen
Binbaga Islam, Departemen Agama, bagi peningktan kualits tenaga pengajar Institut
Agama Islam Negeri tahun anggaran 1999/2000.
:;" Jadwal Pelaksanaan
Untuk merealisasikan tugas-tugas penelitian, dapatlah dibuat jadwal
pelaksanaan sebagai berikut :
1. Bulan pertama sampai pertengan bulan kedua, dibuat proposal penelitian,
pembuatan kuisener/angket untuk melakukan wawancara, dan segala peomalitas
serta perizinan penelitian;
2. Bulan kedua sampai pertengahan bulan ketujuh, dilakukan pengumpulan data
dengan wawancara dan penelitian berkas, dan kepustakaan;
3. Bulan ketujuh dan kedelapan, digunakan untuk penyajian data, analisis, penyusunan
laporan, dan penggandaan.
H,. Laporan Penelitian
13
Sistematika laporan penelitian disusun dengan membagi dalam bab-bab,
selanjutnya dibagi masing masing ke dalam sub-bab atau pasal-pasal, yang secara garis
besamya dapat dilihat dalam daftar isi laporan hasi1 penelitian ini. Kata pengantar
mengawali laporan penelitian ini setelah halaman depan yang disusul dengan daftar isi.
Dalam Bab I pendahuluan, berisi abstrak latar belakang masalah atau alasan pemilhan
judul penelitian. Selanjutnya perumusan masalah, tujuan dan signifikasi penelitian,
metodologi penelitian dan teknik pengumpulan data, langkah langkah penelitian,
tempat, waktu, biaya penelitian, dan laporan penelitian.
Dalam Bab 11 pembahasan mengenai pekawinan antar orang berlainan
agama menurut UU NO.1 Tahun 1974, meliputi perkawinan menurut hukum masing
masing agamanya, perkawinan antar orang berlainan agama tidak selalu perkawinan
campuran, dan penghapusan sistem perkawinan campuran menurut GHR. Selanjutnya
Bab lIl, mengenaJ pelaksanaan perkawinan antar orang yang berlainan agama,
mencakup : prosedur perizinan dan formalitas perkawinan, tata cara perkawinan dan
pencatatannya, kontroversi tentang perkawinan antar orang berlainan agama, dan
perubahan sikap KCS terhadap perkawinan tersebut. Bab IV mengenai kesimpulan dan
saran-saran dan terakhir tentang daftar kepustakaan.
14
BAB 11
PERKAWINAN ANTAR ORANG BERLAINAN AGAMA
MENURUT UNDANG-U1\TDANG NO. III 974
A. Perkawinan Menurut Hukum Masing-masing Agamanya
I. Unifikasi Hukum Perkawinan Nasional
Undang-undang perkawinan nasional itu bersifat unifikai (kesatuan hukum)
berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Undang-undang ini menggantikan seluruh
ketentuan hukum perkawinan yang sebelumnya beraneka ragam sesuai golongan
penduduknya• • ')'J
masmg-masmg. Dengan unifikasi tersebut, kelompok-kelompok
penduduk yang dahulu tunduk pada hukum yang berlainan, berubah menjadi satu
kesatuan dalam hukum perkawinan di bawah UU 11I974. Mereka tidak lagi merasakan
adanya diskriminasi dalam bidang hukum ini, karena semuanya ditempatkan pada
harkat dan martabat yang sama sejalan dengan aspirasi dan cita-cita proklamasi
kemerdekaan bangsa. Sungguhpun begitu unifikasi huh.'Um perkawinan nasional itu
cukup unik, karena tetap menghonnati variasi-variasi berdasarkan agama dan
kepercayaan yang dianutnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal I dan Pasal 2
undang-undang tersebut. 0
Selain itu unifikasi, dengan undang-undang ini dimaksudkan untuk
melengkapi hal-hal yang belum diatur oleh agamanya dan kepercayaannya masing-
masing. Dalam hal ini, Negara mempunym kewenangan untuk mengaturnya sendiri
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman. Namun hal itu tidak
'Lihat. Penjelasan Ull1Ul11 UUP ll1euyebutkan tentang keanekaragall1an hukull1 perka"inan
yang be~laku sebelull1nya ill Indonesia, sesnai dcngan golongan pendudnkllya ll1asing-ll1asing.
l-Iazairin. TiJ~iauan jfengenai Undang Undong Perkmi'inon .\lo. 1 - Tahun 1974, Jakarta:
Tintall1as Indonesia. 1986l. Cet. ke-2. hal. 1
15
berarti UUP itu sudah sempuma sehingga tidak memerlukan lagi pengembangan
pengembangan. Penyempumaanya merupakan tugas bersama seluruh bangsa, terutama
para ahli-ahli hukum, badan-badan peradilan, badan legislatif, dan badan-badan
administratif di masa-masa yang akan datang, sehubungan timbulnya masalah-masalah
kongkrit dalam menja1ankan undang-undang perkawinan itu. Kata Hazairin,
kesempumaan dalam undang-undang apapun tidak dapat dicapai sekaligus, tetapi
hanya mungkin dengan cara berangsur-angsur setelah mendapat gambaran lebih jelas
berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ditemukan dalam kehidupan nyata.'
2. Pengertian dan Tujuan Perkawinan.
Di antara yang amat mendasar mengenal sistem perkawinan menurut UU
1/1974 tersebut, adalah asas-asas atau dasar-dasar perkawinan itu, antara lain meliputi
pengertian dan tujuan perkawinan, sahnya perkawinan dan pencatatannya, persyaratan
perkawinan, dan asas lainnya. Mengenai pengertian dan tujuan perkawinan ditegaskan
Pasal 1: "Perkawinan ialah iakatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa "."
Dengan perkawinan seperti itu hubungan antara suami isteri bukan sekedar
atas dorongan seksual atau sekedar pemuasan hawa nafsu, tetapi hubungan yang
ditopang oleh landasan cinta dan kasih sayang yang suci, oleh Al-Qur'an dibahasakan
dengan istilah "mawaddah warahmah,,5 Perkawinan seperti itu akan menghasilkan
kesadaran untuk saling pengertian antara suami isteri, sehingga kelebihan masing-
3 Hazairi. loc. Cit.
"Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1974, Nomor I, lentang UU 1/1974.
5Pcrhalikan, kelenluan QS. AI-Rum, 30 : 21. ISlilah "mffil'addah warahmah", dapal diartikan
dengan penuh kasih sayang anatara suami istri.
bukan adalah "agama" "bagi orang yang beragama tentunya.··
17
Bagi yang belum
beragama landasan tersebut, tentunya adalah kepercayaan yang selama iill diyakininya
sebagai bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sungguhpun penjelasan UUP
mengatakan, "tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu", tetapi hukum perkawinan mereka harns diakui sah oleh negara,
asal saja tidak menggangh'U pihak lainnya7
Orang-orang yang beragama Islam tetap menggunakan sistem Perkawinan
yang jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia telah dipegang teguh dan
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hukum perkawinan itulah yang sekarang diakui
UUP, yaitu hukum perkawinan Islam yang terns dijunjung tinggi sampai kini. Bahkan
hukum agama yang dilaksanakan oleh umat Islam itu bukan hanya dalam hal
perkawinan, tetapi juga dalam kewarisan, dalam hal perwakafan dan lain-lain. Karena
itu pulalah, ketika mempersiapkan kemerdekaan, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
salah satu sila dan Pancasila dasar Negara Indonesia.'
Bahkan lebih dan itu hasrat umat Islam untuk mengamalkan selurnh ajaran
agamanya itu, dibuktikan dengan adanya Sila Pertama Dasar Negara dalam rnmusan
yang dikenal dengan sebutan "Piagam Jakarta". Rancangan Proklamasi Kemerdekaan
6Rasulullah mengatakan : "Saling ingat mengingatkanlah untuk bersikap dan berlaku baik
terhadap wanila. karena kalian mcngambilnya alas dasar amanah Allah. dan menjadi halal hubunganseks alas dasar kalimat Allah". Lihat pula. Bismar Sircgar. Bunga Rampai Karangaa Tersebar 2,(Jakarta: Rajawali. 1989). Cetakan ke-l, hal. 56-57.
'Lihat pula Hazairin, Op. Cil.. hal. 7
'Penempatan Sila KClnhanan Yang Maha Esa pada sila perlama itu bukan sekedar symbolik,telapi memiliki alasan yang sangat lalll!. Sila pertama itu merupakan bukti. bahwa bangsa Indonesiaadalah bangsa yang beraganill. Andaikala bangsa Indonesia pada waktn itu tidak beragama. m<Jkamuslahil adanya Sila tersebut. Sila pertama itu menunjukkan realita yang tidak bisa dipungkiri olehsiapapun. Adanya SHa ilu mcrupakan suatu kClliscayaan atas dasar obyek'tivitas bangsa yang religius.KCluhanan Yang Maha Esa akan sclalu cksis. selama bangsa Indonesia beragama.
18
itu, disepakati oleh Panitia Perancang yang terdiri dari sembilan tokoh kemerdekaan'??
tanggal 22 Juni 1945. Rumusannya itu berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari'at Islam bagi peme!uk-pemeluknya".l0
Atas dasar toleransi dan kebesaran jiwa dari para pemimpin umat Islam pada
saat itu, rumusan Sila pertama itu disepakati dengan perubahan menjadi "Ketuhanan
Yang Maha Esa", tujuh kata setelah kata "Ketuhanan" dicoret dan ditempatkan kata
kata "Yang Maim Esa", sebagai penggantinya. Hal itu tidak membatalkan hasrat
untuk menjalankan syari'at agama itu, terbukti pula dengan ditegaskal1l1ya kembali
oleh Bung Kamo (Soekarno) Presiden pertama, dalam pidatonya ketika ia
mengeluarkan Dekrit kembali ke DUD 1945 pada tanggal5 juli 1959. Ia mengatakan
: bahwa Piagam Jakarta tetap menjiwai DUD 1945. 11
3. Hukum agama masing-masing menentukan sahnya perkawinan
Penegasan tentang berlakunya hukum perkawinan menurut hukum agamanya
dan kepercayaannya itu didapatkan pula pada penjelasan Pasal 2 tersebut, yang
mengatakan :
"Dengan perumusan Pasal 2 ayat (I) ini, tidak ada perkawinan di luar hukummasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang UndangDasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing"masing agamanya dan
9Penandatangan Piagam Jakarta itu : Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A.
Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoclkahar Moczakir. H.A. Salim, Mr. Achmad Socbardjo,Wachid I-Iasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Delapan dari scmbilantokoh terscbut beragama Islamdan scorang bcragama Kristen mcwakili non-Islam.
10 Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usahaPersiapan Kemerdekaan Indanesia (BPUPKl), Panitia Persiapan Kemerdekaanindonesia (PPKl),(Jakarta: Sckretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 385
11 Dckrit Presidcn 5 Juli 1959. dengan Keputnsan Presiden Rl No. 150 Tahun 1959. (entang
Kembali Kepada DUD 1945. Lihat, Ensiklopedi Indonesia, ,Jilid I, (Jakarta: Ichtiar Bam van Hoevedan Elsevier Pnblishng Projects, 1989). hal. 25.
19
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang"undangan yang berlaku bagigolongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan dantidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini".
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) tersebut bukanlah kaidah yang berdiri sendiri
(eigen, zelfstandige regel), tetapi Ia hanya merupakan kaidah penunjuk
(verwijzingsregels)." Pengaturannya tidak semata-mata selesai dengan pasal tersebut
tetapi memerlukan ketentuan lain, yaitu hukum perkawinan menurut agama yang
dianut oleh pihak-pihak pasangan yang hendak melakukan perkawinan. Jika pasangan
yang bersangkutan beragama Islam maka hukum perkawinan 1slamlah yang berlaku,
jika mereka beragama Kristen maka hukum Kristenlah yang berlaku, demikian pula
bagi pemeluk agama lain berlaku hukum agamanya itu. 13
Hazairin mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu Pasal 2 ayat (1), bukanlah hanya hukum yang
dirumuskan dalam kitab-kitab suci agama-agama itu, atau keyakinan-keyakinan yang
terbentuk dalam gereja-gereja Kristen atau dalam kesatuan-kesatuan masyarakat yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti di Bali, tetapi juga semua ketentuan
perundang-undangan sekedar yang masih berlaku. bagi golongan agama dan
kepercayaannya itu. Ketentuan perundang-undangan itu baik yang telah mendahului
UUP seperti dimaksudkan Pasal 66 dan alinea kedua Penjelasan Pasal 2, maupun
ketentuan yang akan ditetapkan kelak seperti yang ditunjuk oleh Pasal-pasa111, 12,
16,39,40, 43, dan Pasal 67 UUP dalam rangka pelaksanaannya.'4
12Sudhargo Gautama (Gouw Giok Siong). Hukum Antar Golongan; SualU Pengantar, (Jakarta
: P.T. lehtiar Bam, Van Hoeve, 1980), hal. 79-81.
13pendapat seperli itu dikemukakan pula oleh Habib SyarbinLSH., Hakim Agung pada
Mahkll1ah Agung RI, dalam wawaneara penulis, tanggal 19 April 1999.
14 Hazairin, Op Or, hal. 2, yaitn tentang masa iddah, tataeara perkawinan, pejabal yang
berkc\v,tiib mcncegah, tatacara pcrceraialL gugatall perceraian. anakluar kawin, dan peraturanpe!aks3naannya.
20
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu, seperti UU No. 32/1954 jo. UU No. 22/1946 tentang Pencatatan
NTR yang masih tetap berlaku bagi umat Islam. Tetap berlaku pula bagi umat Islam,
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1952 tentang Wali Hakim. Sedang bagi
orang non-Islam misalnya, berlaku Reglemen Pencatatan Sipil bagi bangsa Indonesia
Kristen Jawa, Madura, dan lain sebagaimana, termuat dalam Stb.1933 NO.75 yang
telall diubah, terakhir dengan Stb. 1939 No. 288. 15
Tetapi berkenaan dengan pemyataan tersebut, berlaku terhadap "peraturan-
peraturan lain" dalam Pasal 66 itu juga, belumlah dengan sendirinya menjadi jelas ,
walaupun penjelasan Pasal tersebut menyebutkan "cukup jelas". Peraturan-peraturan
lain itu tidak dibeda-bedakan, apakah berbentuk peraturan perundang-undangan,
hukum tidak tertulis seperti hukum adat, convensi (seperti rapat hasirangan berkuasa
dalam perceraian di tanah Batak walaupun menurut hukum tertulis merupakan
kompetensi PN, hukum agama yang diresipir hukum adat, atau hukum agama yang
dimaksud Penjelasan Pasal2 UUP "sesuai UUD 1945". Hazairin menghawatirkan, hal
itu bagi para juris pun belum cukup jelas, seperti pertikaian tentang berlaku atau
tidaknya teori resepsi sejak kemerdekaan. 16
PermasaJahannya sekarang ialah, hukum agama manakah yang ditunjuk oleh
PasaJ 2 ayat (1) UUP tersebut, yang akan digunakan untuk menentukan sahnya
perkawinan bagi seseorang. Dalam hukum Islam sendiri dikena1 banyak mazhab,
terutama mengenai hukum perkawinan dalam beberapa hal terdapat perbedaan antara
yang satu dan yang lainnya. Perbedaan itu kadang-kadang, bisa mengakibatkan
ketetapan hukum yang jauh, bahkan bisa betentangan. Seperti perbedaan dalam
15Hasbul/ah Ba!o:v, Kumpulan Lengkap Undang Undang Peraturon Perkml'inan Indonesia,
(Jakarta: Djmbatan. 1978). hal. 91-117.
16Hazairin. Gp. CIl, hal. 4.
21
menginterpretasikan istilah musyrik antara Muhammad Abduh dan Rasid Ridha17 di
satu pihak dan ulama-ulama lain di pihak lainnya, akan berakibat hukum yang sangat
jauh, yang satu menghalalkan dan yang lainnya mengharamkannya. Begitu pula dalam
memberikan interpretasi tentang Ahli Kitab, sebahagian mengatakan masih eksis, tetapi
sebahagian lainnya mengatakan sudah tidak ada lagi, karena mereka sudah musyrik,
karena itu wanita Kitabiyah yang halal dinikahi pria muslim dipandang sudah tidak ada
lagi. Hal-hal seperti itu itu tentunya akan mengakibatkan perbedaan dalam mengambil
suatu keputusan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang serupa oleh hakim yang
berlainan pandangan mazhab atau aliran hukumnya. 18
Karena itu perlulah, hukum agama yang hendak dirujuk oleh ketentuan Pasal
2 ayat (1) Uill itu, ditentukan lebih dahulu dalam suatu kesepakatan bersama oleh
umat suatu agama yang bersangkutan. Kesepakatan itu dapat berbentuk suatu
kompilasi, seperti Kompilasi Hukum Islam yang juga memuat ketentuan hukum Islam
dalam perkawinan bagi umat Islam Indonesia. Dalam hal ini Prof Dr. Bustanul Arifin,
SH. antara lain mengemukakan :
Kejelasan peraturan-peraturan hukum sebagai tonggak kedua dari doktrinhukum nasional itu, tentulah kejelasan bagi semua orang dalam masyarakat, bukankejelasan bagi masing-masing. Di sinilah kita memerlukan sustu kompilasi hukumIslam di bidang-bidang kewenangan Peradilan Agama, agar peraturan hukum fiqihjelas, dan dengan demikian dapat dilaksanakan oleh Peradilan Agama. Keperluansuatu kompilasi hukum sebenamya adalah hal yang wajar bagi ahli-ahli hukum. 19
I7Rasyid Ridha. TaJm' AI-ManaI', (Cairo: Dar al-Manar, 1367 Hl, JiIid IV, hal. 187-193.
"Telah teIjadi perbedaan yang kontradiktif antara Putusan Kasasi Reg. No. 1400 KJPdtll986,
tanggal 20 Januari 1989. yang mengabnlkan seorang wanita Islam untuk kawin dengan seorang priaKristen dalam SUalU kasus, dan kasus lain dengan Putnsan Kasasi reg. No. 49 K1TUN/1993 yangmenolak permohonan seorang wanita Islam untuk kawin dengan seorang pna Kristen, karena dewanhakim yang memerikasa berbeda. Sumber data dari MA. Lihat pnla, Weinata Sainn, Op. Cit., hal.368-375.
19 .Bustanul AnfiIL Pelembagaan Hukul11 Islam di Indonesia. AkaI' sejarah, J-Jamhafan dan
Pro.lpelo,va, (Jakana : Gema lnsani Press, 1996). Cetaan ke-L hal. 57.
22
Karena itu perbedaan mazhab dan aliran dalam hukum agama suatu umat tidak dapat
diikuti semuanya secara bebas dalam penerapannya untuk suatu negara dan masa yang
sama, karena dapat menimbulkan kekacauan. Kesepakatan itu bukanlah sesuatu harga
yang mati untuk selama-Iamanya, tetapi umat yang bersangkutan secara bersama-sama
dapatlah meninjau kembali kesepakatan yang lalu yang mungkin sudah tidak tepat lagi.
Sejalan dengan perkembangan zaman, uamat beragama tersebut kemudian dapat
merevisi dan menyesuaikan kembali seperlunya sesuai dengan tuntutan serta kebutuhan
• • 20zamannya masmg-masmg.
Selain itu hukum agama bukanlah hukum yang mati, ia bersifat dinamis cocok
untuk setiap zaman dan tempat. Ketentuan-ketentuannya bersifat universal,
kebanyakan bersifat umum dan hanya sedikit yang sudah terinci, demikian juga dalam
perkawinan. Sungguhpun diimani sepanjang masa, tetapi setiap generasi melakukan
pembaharuan dalam pelaksanaannya dengan memperbaharui interpretasi sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan struktur sosial kemasyarakatannnya.
Penyempurnaan interpretasi ketentuan agama sesuai zaman dan tempat, merupakan
suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan, tidak terkecuali bagi umat Islam yang
mempunyat AJ-Qur'an yang authentik, dengan penjelasan Sunnah Rasul itu,
sungguhpun rumusan nashnya tetap tidak berubah dan harus dipatuhi sepanjang zaman
dan di setiap tempat. Demikian kata Hazairin. 21
Menurut Hazairin, bagi penganut aliran kepercayaan yang tidak ber
Ketuhanan Yang Maha Esa seperti mungkin dianut masyat'akat primitif, maka
sebaiknya ia segera berpindah kepada salah satu agama yang diakui. Bila tidak, maim
2°Sejalan pendapat ini dengan pandangan Drs. H. TaufIl<, SH., MH, Hakim Agung pada
Mahkamah Agung Rl. dalam \Va\Vancara penulis dengan yang bersangkutan, di ruang kerjanya padatanggal3 Mei 1999.
21]J .. C) C' 1 -l<]Z31nn. p.. 11.. 1a1. )-6.
23
Ia tidak akan dapat rnelakukan perkawinan rnenurut UU No 1/1974, sungguhpun
kepercayaan itu rnerniliki adat tersendiri, karena tidak ada perkawinan di luar hukurn
agarnanya dan kepercayaannya itu, sebagairnana ditegaskan pada penjelasan Pasal 2
ayat (1) undang-undang perkawinan tersebut22
Bekenaan dengan orang-orang yang belurn beragarna, pendapat Hazairin itu
pada prinsipnya dapatlah dibenarkan, tetapi tidak berarti bahwa rnereka tidak dapat
kawin sebelurn ada peraturan khusus bagi rnereka yang tidak beragarna. Dengan
rurnusan PasaJ 2 ayat (I) undang-undang tersebut, sebenamya siapapun warga negara
Indonesia tidak boleh ada yang terhalang untuk rnelakukan pekawinan walaupun ia
belurn beragarna. Mereka akan tetap punya hak untuk kawin walaupun ia bukan
perneluk suatu agarna, asal saja tidak rnengakibatkan terganggunya kepentingan pihak
lain kalau ia rnelakukan perkawinan di luar hukurn agarna. 1a akan bebas rnelakukan
perkawinan di antara sesarna rnereka yang tidak beragarna pula seperti dia, tetapi
jangan coba-coba rnelakukan perkawinan di luar hukurn agarna, apabila ia hendak
kawin dengan seseorang yang beragarna. Karena itu, rurnusan kata-kata "rnenurut
hukurn rnasiang-rnasing agarnanya dan kepercayaannya itu", bagj orangyang tidak
beragama haruslah diinterpretasikan "rnenurut hukurn ketiadaan agarnanya dan
kepercayaannya itu".23
Mereka yang tidak beragama itu adalah penganut kepercayaan yang belurn
bisa dikatakan sebagai agarna, bahkan orang-orang atheis atau orang agnostik
22 libid, hal. 7.
23Lihat pandangan Kyai Haji Agus Salim, tokoh yang iknt merumuskan Pancasila dan DUD
1945 mengatakan, "kebebasan atan kemerdekaan beragama itu juga berarti bebas untuk tidakmeuganut suatu agama, asal jaugan melanggar hak-hak pergaulan dan orang masing-masing, janganmelanggar adab kesopanan ramai, tertib keamanan dan damai", dimuat dalam Agenda KementerianAgall1a 1951/1952, hal. 124-125. Lihat : tulisan Djohan Effendi beIjndul, Jaminan Konstitusionalbagi Kebebasan Beragall1a di Indonesia, dimuat dalam KOll1aruddin Hidayat dan Alunad Gaus AF.,(Ed.), Passing Over; Meli!1lasi BatasAgama, (Jakarta: Grall1edia & Yayasan WakafParall1adina,19981,haI.1l6-117.
24
sekalipun, yaitu mereka yang tidak percaya pada hal-hal yang gaib yang tidak dapat
dibayangkan oleh pikiran mereka. Karena itu tidaklah ada a1asan untuk mengharnbat
mereka melakukan perkawinan antar sesama penghayat Ketuhanan Yang Maha Esa,
atau antar sesama atheis, atau antar sesama orang agnostik, atau di antara mereka yang
sarna-sarna tidak meyakini adanya Tuhan yang Maha Pencipta24 Alasan yang sangat
mendasar, ialah selain karena perkawinan merupakan salah satu di antara hak-hak asasi
manusia, juga karena Undang Undang Perkawinan itu adalah milik seluruh bangsa
Indonesia, termasuk mereka yang belum beragama25
B. Perkawinan Antar Orang Berlainan Agama Tidak Selalu Perkawinan Campuran.
Terkesan bahwa perkawina antar orang berlinan agama itu adalah perkawinan
campuran pula menurut UUP, seperti halnya menurut GHR ketika belum dihapuskan.
Apakah hal itu memang demikian, ataukah justru berbeda dengan ketentuan Undang
Undang yang baru, dan selalu bukan merupakan perkawinan carnpuran. Untuk
mengetahui statusnya, maka perlulah ada pembuktian berdasarkan ketentuan yang ada
dalam ketentuan hukum perkawinan meurut UU No. III 974.
1. Perkawinan antar warga negara Indonesia yang berlainan Agama
a. Undang Undang Nomor III 974 tidak secara eksplisit mengatur PBA
Sejak berlaku UU III 974, PBA tidak selalu merupakan perkawinan
campuran, karena sistem yang dianut oleh GHR dalam hal perkawinan campuran tidak
24Bdk. IAN Brownlie, Dokumen-dokumen Pokok Mengenai HakAsasi Manusia, (Jakarta :
Univcrsitas Indonesia (ill Press), 1933), Edisi 1, hal. 148, mengalakan, "Ungkapan agama alaukepcrcayaan dapal mcncakup kepcrcayaanleistik, non-leislik dan alheislik".
25The Universal Declaration of Human Right, Articlc 16 (1) and (2), Uniled Nalions: on
December 1948, selayaknyalah lidak dapat diterima seulu1mya di 1ndonesia, karena mengabaikanhukum agama. Lihal, Baharnddin Lopa, Al-Qur'an dan Hak-hakAsasiManusia, (Yogyakarta: PTDana Bhakti Prima Yasa, 1996), hal. 195.
25
diakui lagi26 PBA bisa terjadi sebagai perkawinan biasa, bila perkawinan terjadi antar
sesama WNI, maka hal itu jelaslah bukanlah perkawinan campuran. Baginya berlaku
ketentuan Pasal2 ayat (l) DAN Pasal 8 sub f, tetapi tidak berlaku ketentuan Pasal57
UUP, karena dibatasi hanya antar orang yang berlainan warga negara, yang salah satu
warga Indonesia dan yang lainya warga negara asing. Tidak mustahil pula PBA
sebagai perkawinan campuran, bila terjadi antara seorang WNI dan seorang WNA
yang berlainan agama. Bagi mereka itu berlaku Pasal 57 (dan seterusnya), karena
berlainan kewarganegaraan, yang salah satun pihak adalah warga negara Indonesia,
sedang Pasal 2 ayat (l) jo Pasal 8 sub f berlaku pula baginya, karena mereka itu
berlainan agamanya.
Undang Undang Nomor 1/1974 tidak secara eksplisit mengatur perkawinan
antar orang yang berlainan agama itu, karena tidak ada satu pasal pun yang mengatur
PBA itu secara langsung. Tetapi juga tidak secara tegas melarang mereka yang
berlainan agama itu untuk melangsungkan perkawinan, sepanjang hukum masing-
masing agama kedua belah pihak tidak melarangnya. Tampaknya UUP dirancang
secara cermat dan tegas guna menjunjung tinggi dan melaksanakan hukum masing-
masing agama yang dianut oleh calon suami isteri. Karena itu secara implisit PBA telah
tertarnpung dalam ketentuan Pasal 2 ayat (l), Pasal 8 sub f, dan Pasal 66. Sebab itu
PBA tidak selalu merupakan perkawinan campuran seperti dalam ketentuan GHR,
Staatsblad 1898 Nomor 158 itu27
26GHR tersebut dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 66, sejauh telab diatur dalam UndangUndang Nomor I Tahun 1974. Tetapi mungkinjuga perkawinan antar orang berlainan agama itusebagai perkawinan campnran sesuai Pasal 57 UU 1/1974 itu, apabila perkawinan antara orang WNIdan WNA.
27Lihat, makalah penyanding Hem Snko, SH, Kepala KeS OK! Jakarta (1991-1994) butir 2 bdan c, terhadap makalah Dr. H.lchtijanto, SH. Dir. URAlS Diuen Bimas Islam dan Umsan HajiDcpartemen Agama RI, Perkawinan ditinjau dari aspek hukulllnasional, tanggal 27 Juli 1994, diBalaimng Pemda OKI Jakarta.
26
Prof R. Subekti, SH dalam tulisannya yang beIjudul "Beberapa hal yang
tidak jelas dalam undang-undang Perkawinan", antara lain mengemukakan, "tidak
jelas apa yang dimaksud dengan: menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu ... kalau hukum agama atau keputusan mereka itu berlainan,,28
Menurutnya ketentuan itu menimbulkan kesan, bahwa kedua hukum agama dan
keputusan itu harus dipenuhi semua : satu kali menurut hukum agama (kep) dari calon
suami dan sekali lagi menurut agama (kep) dan calon istn. Cara itu menurutnya
berbelit-belit, sebaiknya digunakan salah satu cara saja, baik dari hukum agama calon
suami atau istn dianggap cukup dengan pengertian pihak lainnya memindahkan din
kepada cara itu, tetapi menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia condong untuk
menggunakan cara menurut hukum calon suami seperti diatur Pasal 6 GHR,
dianggapnya lebih baik dari segi kepastian hukum. Namun karena Pasal 2 UUP
bennaksud mengatur maten Pasal 6 GHR itu, maka menurut Pasal 60 UUP GHR.
sudah dicabut dan tidak boleh berlah'U lagi29
2. Perkawinan antar orang berlainan agama sebagai perkawinan campuran.
a. Perkawinan campuran yang masih diakui UU No. 1/1974.
Semasa GHR masih berlaku dapat dilakukan macam-macam perkawinan
campuran, seperti: (1) Perkawinan antar orang berlainan warga negara (international);
(2) Perkawinan antar suku atau antar wilayah (antar regio), (3) Perkawinan antar
tempat (interlocal), (4) Perkawinan antar agama (interreligieus), dan (5) Perkawinan
antar golongan (intergentiel).3o Sejak berlaku UUP secara efek'iif, mengalami
28Lihat dalam, Hazairin in memeoriam, Pelllbaharuan HukulllIslalll di Indonesia, (Jakarta :
Universitas Indonesia, VI Press, 1981), hal, 23-28.
29Jbid, 1981, hal. 25.
30Lihat, Gouwq Giok Siong, Op. Cil." 1973, hal, 80.
27
pembahan cukup drastis mengenai perkawinan campuran tersebut. Hanya perkawinan
campuran karena perbedaan kewarganegaraan yang masih diakui, sebagaimana diatur
Pasal 57 sid Pasal 62. Mengenai sebab perkawinan campuran lainya tidak lagi diakui,
tidaklah dijelaslan namun patut dimaklumi mengingat undang-undang yang bam
dibentuk masa kemerdekaan yang menganut sistem ketatanegaraan dan hukum yang
berke-Tuhanan Yang Maha Esa, jauh berbeda dengan sistem hukum pada masa
Kolomal yang sekuler OHR ditetapkan,
Pembagian penduduk ke dalam beberapa golongan (Eropean, Inlanders, dan
d I') 31vrem e oster mgen , sudah tidak mungkin lagi dipertahankan pada masa
kemerdekaan. Perkawinan campuran antar golongan (intergentil) misalnya, tidak
mungkin lagi dilangsungkan karena bertentangan dengan konsep dasar kehidupan
negara merdeka. Demikian pula perkawinan antar agama (interreligieus) seperti dianut
OHR tidak lagi diakui bahkan ditolak, karena tidak selaras dengan dasar falsafah
kehidupan bangsa yang menjunjung tinggi nilai ketuhanan dan agama yang dianut
bangsa Indonesia. Sistem perkawinan campuran antar agama yang dianut OHR itu
justm mengabaikan, bahkan merendahkan martabat hukum agama, yang dinilai
bertentangan dengan pandangan hidup dan dasar negara Republik Indonesia yaitu
Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esanya itu. 32 Di samping itu perkawinan
selain perbedaan kewarganegaraan, pada hakikatnya tidak tunduk pada hukum yang
berlainan, karena semua warga negara Indonesia tunduk pada hukum nasional
(unifikasi), sehingga tidak ada alasan untuk menggolongkan PBA pada perkawinan
campuran.
31 .Llhal, kelentuan Psal 163, Indische Staotsregeling, Stb. 1925 - 415; Liaht pula, Supomo,
Sis/em liukum di Indonesia, (Pradnva Paramita, 1972), hal. 12.3~ ...
1'erhatikan salah satu pertimbangan yang dikemnkakan Majlis Hakim dalam PutusanMahkamah Agnng No. 1400 KlPdt/1986, tanggal 20 Desember 1989, yang mengalakan GHRmenganul falsafah (sekuler) yangjauh berbeda dengan UU No. 1/1974 yang religius (ber-KetuhananYang Maha Esa).
b. Perkawinan campuran antar orang berlainan agama.
28
Persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh pihak WNI yang hendak
melakukan Perkawinan Campuran itu pada hakikatnya sama seperti WNI yang hendak
melakukan perkawinan dengan sesama WNI pula. Persyaratan itu antara lain ialah
tidak adanya halangan perkawinan menurut agamanya, sebagaimana ditegaskan pada
Pasal 8 sub f, seperti telah dikemukakan di awal Bab III ini. Intinya adalah, dilarang
melakukan perkawinan bagi orang-orang yang terdapat halangan perkawinan menurut
hukum masing-masing agamanya. Jika halangan itu dapat diatasi, maka perkawinan
campuran tidak tertutup untuk dapat dilangsungkan.
Selain itu, dengan merujuk pada sistem perkawinan menurut hukum masing
masmg agamanya dan kepercayaannya,33 maka perkawinan campuran harus pula
mematuhinya, sesuai dengan penegasan Pasal 60 ayat (2) diatas. Permasalahannya
adalah kembali kepada hukum agama yang bersangkutan, apakah hukum agamanya
memperkenankan mereka melangsungkan perkawinan campuran antar orang yang
berlainan agama itu atau justru tidak. Jika diperkenankan maka dapatlah perkawinan
itu dilangsungkan. Tetapi jika tidak, maka perkawinan itu juga tidak dapat
dilaksanakan, seperti pula perkawinan antar orang yang berlainan agama di kalangan
sesama warga negara Indonesia itu sendiri .
c. Putusan Pengadilan, upaya mengatasi kemacetan hukum .
33Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (I). serta penjelasal1l1ya yang mengatakan.
"tidal<. ada perkawinan di luar huktun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
29
Suatu eara yang biasanya ditempuh, ialah dengan menggunakan jasa
Pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (3) dan (4). Ketentuan tersebut
menyatakan :
"Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keteranganitu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikankeputusan dengan tidak beraeara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentangsoal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. JikaPengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itumenjadi pengganti keteranagan yang tersebut ayat (3)".
Beralaskan pada ketentuan tersebut, Pengadilan dapat menerbitkan putusan
untuk melieinkan rencana perkawinan campuran tersebut, walaupun ketentuan agama
melarangnya. Dengan ketentuan tersebut PN seakan tidak mau tahu tentang adanya
halangan perkawinan tersebut, dan akibatnya semua perkawinan eampuran, terrnasuk
perkawinan campuran antar orang-orang yang berlainan agamanya akan dapat
dilaksanakan apapun hambatannya. 34
Bunyi pasal60 ayat (3) dan (4) UUP itujiwanya mirip dengan ketentuan Pasal
8 ayat (1) dan (2) GFIR yang menyebutkan
"Jika surat keterangan itu tidak diberikan, maka atas permintaan yangberkepentingan atau mereka yang berkepentingan, Pengadilan biasa dari siperempuan memberi keputusan dengan tidak beracara serta dengan tidak bolehdimintakan banding (appel) lagi tentang penolakan pemberian surat keteranganitu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan itu memutuskan, bahwa penolakan itutidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebutpada pasal yang baru lalu (Iihat pasal 7 ayat (3)".
Sebenarnya mengenai Pasal 60 ayat (4) itu tidaklah seharusnya menjadi
masalah, apabila "putusan hakim" itu benar-benar didasarkan atas tidak beralasannya
penolakan oleh pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan surat keterangan.
34Hasil wawancara dengan sejumlah Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jakarta
Barat, dan Jakarta Pusat. tahlUl 1998 - 1999. sngguhplUl ada di antar mereka yang tidak sependapat.bal1kan tcrdapal plllllsan yangjuslru menolaknya (Plliusan No. 382/PdtIP!l986/PN.Jkt.Pst).
30
Hal itu dipandang suatu kewajaran dari segi hukum, tetapi juga untuk menghindari visi
yang berbeda mengenai masalah larangan perkawinan yang dimaksud antara pegawai
pencatat dan hakim pengadilan tersebut, maka seharusnya tidak tertutup kemungkinan
untuk dimintakan banding. Upaya banding tersebut sangat penting artinya bagi
penegakan hukum yang baik dan juga dalam rangka menghormati hak-hak asasi
manusia, tanpa harus mengabaikan dan merendahkan hukum agama yang dianut oleh
masing-masing pihak calon suam.i istri yang hendak melangsungkan perkawinan
campuran tersebut, yang juga merupakan hak asasi.35
3. Perkawinan antar orang yang berlaian agama di luar negeri
a. Antar warga Indonesia
Kemungkinan terjadinya anatar warga negara Indonesia di luar Indonesia (di
luar negri) cUkup besar, mengingat banyak di antara warga negara Indonesia yang
tinggal di luar negeri itu. Karena berbagai kesibukannya, baik dalam tugas dinas,
pendidikan, maupun bisnis, di antara mereka mungkin sulit untuk melangsungkan
perkawainan di Indonesia. Karena itu mereka memilih untuk melangsungkan
perkawinannya di luar negeri di mana mereka berada dan bahkan bertenpat tinggal.
UU J/ 1974 mengatur perkawinan tersebut dalam Pasal 56 yang ketentuannya
sebagai berikut :
(1). "Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orangwarga Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negaraasing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidakmelanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini. (2). Dalam waktu I(satu)
35Lihat• The Universal Declaration of Human Rigahts. Article 16, "Setiap orang berhak alaskebebasan ... nntuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan eara mengajarkannya,melakukannya. beribadat danmenepatinya. baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan oranglain. (Standard - setting by The United Nation Organisation, proclaimed by the General Assembly onDecember, 10, 1948).
31
tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia surat bukti perkawinanmereka hams didaftarkan di Kantor Pencatat Perkawinan tempat tinggalmereka,,36
Ketentuan tersebut cukup akomodatif terhadap perkawinan yang mungkin
terjadi di luar negeri baik diantara kalangan orang-orang Indonesia itu sendiri maupun
antara warga negara Indonesia dan warga negara asing. Bagi mereka yang seagama
tentunya tidak menjadi pembahasan di sini, karena dari segi hukum agama tidak ada
permasalahan yang memerlukan perhatian serius. Seperti misalnya, perkawinan antara
orang Islam dan orang Islam, antara orang Kristen dan orang Kristen, antara orang
Hindu dan orang Hindu, dan lain-lain yang seagama antara calon suami isteri.
Biasanya ketentuan hukum suatu agama di mana pun berada dan dianut masyarakat
sarna saja ketentuannya. Lain halnya jika hukum perkawinan agama tersebut berbeda
ketentuannya antara yang berlaku di Indonesia dan yang berlaku di luar negeri, tempat
akan dilangsungkannya perkawinan campuran, hal itu tentu perlu mendapat perhatian
jika ternyata akan menghambat. 37
C. Penghapusan Sistem Perkawinan Campuran Menumt GHR
I. Penolakan Sistem Perkawinan Campuran GHR
36Bagi mereka yang berlainan agama, perkawinan di luar negeri dipandang sebagai peluang
untuk menghindar dari ketentuan UU 1/1974 yang dianggapnya mernpakan kendala yang sangaserius, mengingat perkawinan di luar negaeri yang menganut hukum sekuler tidak akanmempermasalahkan perbedaan agama itu. Infonnasi anatar lain disampaikan oleh Sudhar Indopa,yang waktu itu menjabat sebagai Kasub. Perencanaan KCS Propinsi DKi Jakarta, dalam wawancaratanggal, 16 Desember 1998. Perhatikanjawaban atas kuisener no. 25.
37Sikah, Chibii Mailat & Jane Cnnor (Ed). Arab dan Islamic Laws Series: Islamic Family
law, London: Graham and Trotman, 1990. Hal. 159 - 160. Dikemukakan oleh Sebastian Poulter,
dalam tuIisan beIjudul 'The Claim ta a Sparate Islam System ofPersonal Lawfor British Muslims,
bahwa kesulitan untuk mengabuikan pemisahan hukum keluarga di Inggris itu yang paling mendasarantara lain karena perbedaan dimensi mengenai bak asasi antara Islam dan bara!. Hukum keluargaIslam mengandung sejumlah ketentuan yang secara prinsipil dianggapnya melarang hak asasi dan
kemerdckaan manusia yang tennua1 dalam convensi internasional seperti "The European Convention
on Human Rights and the International Covenant on Civil an Political Rights, yang mernpakankesepakanan.
32
a. Penghapusan Pasal 11 ayat (2) RUUP (mirip Pasal 7 ayat (2) GHR)
Ketika ROO Perkawinan yang terdiri dari 73 pasal itu diajukan oleh
pemerintah ke DPR dengan amanat Presiden tertanggal 31 juli 1973, terdapat rumusan
Pasal 11 yang mirip dengan Pasal 7 ayat (2) GHR Stb. 1898 - 158. Rumusan Pasal 11
ayat (2) RUU itu berbunyi : "Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara
asal, tempat asal, agama/kepercayaan, dan keturunan, tidak menlpakan penghalang
perkawinan"n Bandingkan rumusan Pasal 7 ayat (2) GHR Stb. 1898 - 158 yang
berbunyi : "Perbedaan agama, bang~-a atall asal itll sama sekali bukanlah menjadi
halangan untuk perkawinan itu".
Berkenaan dengan perbedaan agama antara calon suaml isteri dalam dua
rumusan itu pada prinsipnya sarna yaitu tidak merupakan halangan untuk
melangsungkan perkawinan. Kedua rurnusan itu sarna dalam jiwa dan rurnusannya,
rnengabaikan hukum agama yang dianut rnasing-rnasing calon suarni isteri. Dengan
rurnusan itu hukum agama tidak rnernpunyai pengaruh, apalagi kekuatan hukurn dalarn
urusan perkawinan para perneluknya. Hal itu berarti corak dan karakter ROO tentang
perkawinan itu bersifat sekuler, tarnpaknya rancangan Pasal 11 ayat (2) dalarn ROO
tersebut mernang rnenjiplak Pasal 7 ayat (2) GHR.
Ketika Pasal 11 ayat (2) dalam RUU tidak rnendapat persetujuan DPR, dan
selanjutnya dicoret, maka Pasal 2 ayat (1) pun berubah pula rurnusannya. Hal itu
dapatlah dimaklurni karena bila Pasal 11 ayat (2) dalarn ROO rnasih utuh seperti
sernula, maka rurnusan Pasal 2 ayat (1) tidak rnungkin seperti yang sekarang.
Sebaliknya bila Pasal 2 ayat (1) seperti sekarang rurnusannya, rnaka Pasal 11 ayat (2)
38Pcrhatikan buku, Sekilar Pembenlukan Undang-undang Perkawinan serla Peraluran
Pelaksanaannya, (Jakarta: DiIjen KumdangDepkeh, 1974), hal. 13. Pe!\ielasannya tidakkonsisten,
karena mengatakan "Bahwa kctcrangan ini tidak berarti mengabaikan danmcngurangi nonna-norma
agama yang dianut oleh yang bersangkutan, suatu hal yang kontradiktif".
34
R. Tubagus Hamzah42 pembicaraannya tidak secara tajam menyoroti pasal
pasal yang dipandang belum cocok, sungguhpun begitu mengakui hubungan antara
perkawinan ini dengan agama seperti dikemukakannya antara lain, "Perkawinan
mempunyai tiga wadah yaitu sebagai lembaga agama, sebagai lembaga sosial, dan
sebagai lembaga hukum".43 Dapatiah dikatakan intinya ia setuju, sungguhpun mengenai
beberapa hal yang tidak dijelaskan secara rinci memerlukan penyempurnaan atau
penjelasan lebih lanjut44
Perwari (Persatuan Wanita Indonesia) yang ditandatangani sejumiah
tokohnya, menyatakan antara lain: "Penghapusan Pasal 11 Ayat (2) konsep Pemerintah
yang menyatakan bahwa: Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal,
agamalkepercayaan, dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan,
disesalkan, karena pasal tersebut mengandung unsur-unsur persatuan bangsa
demokrasi dan toleransi agamalkepercayaan, yang sampai sekarang dapat dipelihara.
Khusus tentang perkawinan agamalkepercayaan, hendaknya dicarikan ketentuan
penyelesaian sebagai pengecualian menurut syarat-syarat tertentu perlu dimuat dalam
Peraturan Pemerintah,,45
2. Kelompok yang kontra terhadap PBA
42TubaguS Hamzah, adalah pembicara yang mewakili Fraksi AERI (sekarallg TNl), sudah
dapat diduga puJa tinjanauuya tidak akan tajam, mengingat AERI juga tidak dapat dipisahkan daripemerintah, balJkan AERI waktu itu sangat dominan mewamai Pemerintah.
43Dep. Kehakiman, Gp. Cit, hal. 60.
440ep. Kebakiman, Ibid, hal. 64.
45Dep. Kebakiman, Ibid, hal. 277. Oitandatangani 5 (lima) orang tokohnya, disampaikankepada sejumlah instansi dan pejabat tennasuk Presiden, serta mencantumkan Pasal2 (2), II (2), 12,16 (2), 39 (3), 40 (2),43 (2), dan 67 (I) dan (2).
35
Asmah Syahrani,46 berkenaan dengan pembahasan ROO tersebut,
mengemukakan tanggapannya antara lain:
"Sekarang beralih pada Pasal 11. Perkawinan yang dilakukan antara yangberlainan agama sering sekali dalam kenyataannya mengorbankan kaum wanita,kaum pria kedudukannya sebagai kepala keluarga, oleh karenanya lebih dapatmemaksakan kehendaknya kepada istrinya. Dalam hal suami istri bertahan padakeyakinannya masing-masing, maka anak sering menjadi korban, keteganganketegangan sering meracuni kehidupan mereka. Sebagai akibatnya mereka tidakdapat menjatuhkan pilihannya kepada agama siapa mereka harus berpihak. Apabilaterjadi hal-hal seperti itu biasanya ketentraman dan keharmonisan keluarga sulituntuk dipertahankan":'
Sungguhpun kritikannya kurang tegas, tetapi sudah cukup menujukkan sikap
kurang setuju dengan rumusan pasal tersebut.
Teuku H.M.Soleh (Fraksi P3), dengan mengutip ucapan Presiden Soeharto
pada peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW 26 Agustus 1973, "Tidaklah
mungkin, apabila dalam undang-undang yang menyangkut kepentingan seluruh
masyarakat itu, maka isi oo-nya mengabaikan agama yang dianut oleh sebagian besar
. masyarakat Indonesia":' Selanjutnya ia mengatakan, ''Dari ketentuan pasal 2
tersebut, dapat ditarik tiga pengertian: a. Sahnya perkawinan apabila dicatat,
sedangkan pelaksanaan perkawinan menurut agama sekedar pelengkap. b. Dimung
kinkan bagi setiap calon mempelai untuk tidak melakukan perkawinan menurut
ketentuan agamanya. c. Kata "Sepanjang tidak bertentangan dengan 00 ini"
melemahkan berlakunya hukum perkawinan menurut agama secara penuh. 49
46Asmah Syahrani, pembicara yang mewakili PPP, beliau menampak:m dirinya sebagai sosok
yang mewakili umat Islam sekaligus jugamewakila kaum perempuau, sorotarmya terhadap ROOtersebut cukup tajam, autara lain mengenai Pasa! Il yaugjuga menjadi sorotan dalam tulisau ini,karena mengadopsi ketentuan Pasal 7 ayat (2) Stb. 1898-158.
4'Dep. Kehakiman, Op. Cit., hal. 95.
4'Dep. Kehakiman, Ibid, hal. 100.49 .
Depkeh, Ibid, hal. J01-102.
36
Pimpinan Pusat Muhammadiyah,so antara lain menyebutkan dalam lampiran
butir 5 mengenai rumusan Psal 11 RUU, dikemukakan, bahwa : "Perbedaan agama
khususnya bagi seorang wanita, jelas-jelas merupakan penghalang untuk
dilangsungkannya perkawinan. Begitu pula perbedaan kepercayaan antara seorang
muslim dengan seorang musyrik tidak dibenarkan dilakukannya perkawinan,,51
Pernyataan itu dikuatkan dengan dalil-dalil yang dikutif dari Al Qur'an : al-
Mumtahanahl60 : 10, ''Mereka (Wanita Muslimah) tidak halal bagi mereka (laki-Iaki
non-Muslim); dan mereka (Iaki laki Non Muslim) tidak halal (menikah) bagi mereka
(wanita Muslimat)". Juga al-Baqarahl2 : 221 :
"Dan janganlah kamu mengawini Wanita-wanita Musyrik hingga merekaberiman; sesungguhnya budak mukmin wanita adalah lebih baik dari wanitamusyrik, walaupun dia menarik hatimu. Sebaliknya janganlah kamu mengawinkanlaki laki musyrik kepada wanita wanita muslimat hingga mereka beriman (masukIslam); karena sesungguhnya seorang budak laki-Iaki yang muslim adalah lebihbaik dari seorang laki-Iaki musyrik, walaupun mereka menarik hatimu. Hal yangdemikian dilarang karena mereka mengajak ke dalam neraka, sedangkan Allahmengajak ke dalam sorga dan keampunan dengan perkenan-Nya,,52
Dengan pandangannya itu, Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang
cukup berpengaruh di Indonesia, secara tegas menolak Pasal 11 ayat (2) itu. Dengan
penolakan ini berarti pula menolak sistem perkawinan (campuran) antara orang yang
berlainan agama seperti diatur Pasal 7 ayat (2) GHR Stb. 1898 - 158 yang dibuat
masa kolonial dengan Penetapan Raja Belanda 29 Desember 1896.
50Piminan Muhanmladiyah dengan snrat No. A-f>/174173, langgal 30 Juli 1973 yang
disampaikan kepada Menten Kehakilllan, mengclIlukakan scrotan yang sangal lajalll dan relatifpaling lengkap dibandingkan dengan lelllbaga alau lokoh laiJmya, lerhadap RUU perkawinantersebut terulama mengenai Pasal II berkaitan dengan diabaikalmya Imkum agallla dalalllperkawinan anlar orang yang berlainan agallla.
51DepkeILlbid,1974 hal. 141.
s:nepartcmen Agama, AI-Qur 'on dan Terjemahonl'lya, 1411 H.
37
Pengurus Besar pur (Persatuan Umat Islam),53 suatu organisasi Islam yang
lahir di Majalengka itu, dengan suratnya No. B-215/PB SEKNI/73 tertanggal 18
Agustus 1973 mengemukakan secara umum antara, lain sebagai berikut: "Sebagaimana
dimaklumi, bahwa hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan khususnya bagi umat
Islam telah ada ketentuan-ketentuan yang pasti dalam syariat agamanya sehingga tidak
mungkin menenma suatu undang-undang perkawinan yang secara prinsipil
bertentangan dengan agamanya',.54 Sungguhpun dengan rumusan kalimat yang tidak
secara langsung menyebut pasal-pasal tertentu, tetapi prinsipnya PUI menolak
ketentuan-ketentuan dalam ROO yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam,
antara lain mengenai rumusan Pasal 11 ayat (2) tersebut, yang jelas sangat merugikan
karena mengabaikan ketentuan hukum agama.
Prof Dr. H. M. Rasyidi,55 (Harian Nusantara, 18 Agustus 1973) mantan
Menteri Agama, beliau mengemukakan pandangannya tentang perkawinan beda agama
dengan cara yang amat tajam antara lain:
"Pada pertengahan bulan Juni yang lalu, masyarakat Suku Jawa digemparkanoleh perkawinan paksa di Istana Pakubuwono XII, Putri Sri Sunan BRA KusSupiah yang sudah punya pacar dari Lawean Surakarta yang bemama AbdullahSuwama, dua orang muda sejajar dalam umur dan kebudayaan ... dengan adatketimuran dan ke-Islamannya. Tiba-tiba hubungan mereka diputus seketika, BRAKus Supiah yang berumur 22 tahun dikawinkan dengan Gubemur Sylvauus dariKalimantan Tengah Yang berumur 46 tahun dan beragama Kristen"S6
53Pimpinan Pill (Persatuan Umat Islam), organisasi Islam yang lahir dan berpusat di
Majalengka, Jawa Barat itn, menyampaikan kritik dan sorotannya secara halus tetapi cuknp tajam,tcrutama mengenai tcrdapatnya sejumJah pasal-pasal yang dipandang tidak sesuai dengan ketentuanhuknm Islam yang dianut mayoritas bangsa Indonesia.
54Dep. Kehakiman, Op. Cit, 1974, hal. 147. Tanggapan organisasi Islam tersebut
disampaikan kepda Presiden Suharto.
55Prof. Dr. H.M. Rasyidi, adalah mantan Menteri Agama RL tokoh Islam yang terkenal
kepckaannya terhadap masa1ah-masalah yang menyangknt kepcntingan Islam dan umat Islam.Berkaitan dengan RUU terscbut, be1iau terhitung tokoh yang paling tajammcnyorotinya, pandanganbcliau ini cnl,up banyak berpcngaruh dan menaruh simpati masyarakat Islam.
s6Dep. Kehakiman, Op. Cit. hal. 154.
38
Beliau kemukakan pula, "Dalam Pasal 11 ayat (2) tersebut memang
terkandung hal-hal yang baik, bahwa perbedaan kebangsaan, suku bangsa, negara asal,
tempat asal, dan keturunan tidak menjadi penghalang perkawinan. Tetapi diselipkan
kata agama yang hanya terdiri dari lima huruf itu telah memberikan gambaran yang
sangat jelas daripada maksud RUU tersebut". Akhirnya Rasyidi mengatakan : "Akan
tetapi dengan Pasal 11 ayat (2), yang menghilangkan batas-batas agama, Kristenisasi
walaupun dalam selubung nasionalisme atau modernisme nampak denganjelas. Umat
Islam, partai Politik Islam, Ulama, dan segenap yang percaya pada Allah sebagai
Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, tidak akan dapat menerima RUU
Perkawinan yang dimajukan oleh Pemerintah kepada DPR sekarang ini".57
2. Demontrasi dan Konsensus antar Fraksi.
Majlis Ulama Indonesia mengatakan, bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal II
ayat (2) dalam RUU itu yang antara lain menimbulkan reaksi keras dan bahkan
demontrasi serta keributan di forum Sidang Pleno DPR pada tanggal 27 September
1973. Alasannya karena kedua ketentuan itu sarna sekali tidak mencerminkan rasa
keadilan dalam msyarakat dan bahkan melanggar prinsip negara Pancasila yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sangat bertentangan dengan hukum
Islam. Keabsahan perkawinan hanya dikaitkan dengan pencatatan sipil, yang berarti
perkawinan hanya dipandang sebagai peristiwa hukum perdata yang terlepas dari
agama. Dengan ketentuan yang membolehkan perkawinan antar pemeluk yang
berlainan agama, berarti lembaga perkawinan benar-benar sekuler terpisah dari
ketentuan agama.58
57 .ibid. hal. 154-157.
58MajIis Ulama Indonesia, Pokok Pikiran dan Pendapat AfUJ Afengenai Afasalah Perkmdnon
Anlal' Pemeluk Berbeda Agama, dalam Tunulnan Perkawinan Bagi Ummal islam. (Jakarta: MUIPusat, 1992), hal. 12. butir 3.
39
Selanjutnya dikemukkan, bahwa sebagai akibat dan kondisi tersebut di atas,
maka terjadilah lobbying antar Fraksi DPR di kantor Kopkamtib yang kemudian
melahirkan 5 (lima) butir konsensus sebagai berikut :
"I) Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi ataupundirobah. 2) Sebagai konsekwensi dan pada punt I, maka alat-alat pelaksanaannyatidak akan dikurangi ataupun dirobah, tegasnya UU No. 22 tahun 1946 dan UUNo. 14 tahun 1970 dijamin kelangsungannya. 3) Hal-hal yang bertentangn denganIslam dan tidak mungkin disesuaikan dalam undang-undang ini, dihilangkan(didrop). 4) Pasal2 (I) dari RUU ini disetujui untuk dirumuskan sebagai benkut :Ayat (I) "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepecayaannya itu". Ayat (2) : "Tiap-tiap perkawinan wajibdicatat, demi ketertiban administrasi negara". 5). Mengenai perceraian danpoligami perlu diusahakan adanya ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya
59kesewenang-wenangan".
Berdasarkan data objektiftersebut dapatlah dipahami, bahwa rumusan akhir
dari seluruh ketentuan dalam UUP 1/1974 itu betul-betul marupakan hasil kesepakatan
seluruh bangsa Indonesia. Perkawina dikehendaki atas dasar ketentuan agama masing
masing, bukan perkawinan sekuler yang memandang sebagai peristiwa keperdataan
yang terlepas dan agama.
3. Penghapusan GHR Stb 1898 - 158
Pasa! 66 Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 yang merupakan ketentuan
penutup menegaskan :
"Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinanberdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undangini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata(Bugerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HuwelijksOrdonantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan PerkawinanCampuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), danperaturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diaturda!am Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku".
59 Ibid, hal. ]2-13.
40
Rumusan tersebut sejalan dengan penolakan oleh umat Islam Indonesia
melalui DPR terhadap sejumlah ketentuan RUUP termasuk Pasal II ayat (2).
Penolakan itu mengakibatkan perombakan Pasal 2 ayat (I) yang semula bersifat
sekuler, kemudian menjadi religius dengan penegasan sahnya perkawinan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sebagai konsekuensi
penghapusan Pasal II ayat (2) itu, maka sewajarnyalah bila UUP 1/1974 harus
mengakhiri berlakunya Stb 1898 - 158 itu.
Dengan penegasan tersebut, maka ketiga peraturan perkawinan tersebut tidak
mungkin digunakan lagi sejak UUP berlaku secara efektif, karena sudah tidak coeok
dengan alam pikiran Bangsa Indonesia yang berdasarkan pada nilai-nilai Paneasila dan
UUD 1945. Hal itu diakui oleh Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1400
KJPdt/1986 antara lain menegaskan :
"Kentuan dari GHR ... tidak mungkin dapat dipakai karena terdapatperbedaan prinsip maupun falsafah yang amat lebar antara Undang-undang NomorI Tahun 1974 dengan Ordonansi tersebut yaitu : Undang-undang tentangPerkawinan menganut asas bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukanmenurut hukum masing-masing agamnya dan itu merupakan salah satu pewujudandari Paneasila sebagai falsafah negara.Perkawinan tidak lagi dilihat hanya dalamhubungan perdata, ... Sedangkan perkawinan yang diatur ... PeraturanPerkawinan Campuran (GHR S. 1898 No. 158) kesemuanya hanya dalamhubungan perdata saja"60
4. Tidak ada kekosongan hukum tentang PBA
Demikian pula halnya PBA sudah tidak lagi dibenarkan, karena sungguhpun
tidak seeara eksplisit, tetapi seeara implisit sudah diatur melalui Pasal 2 ayat (1) jo.
Pasal 8 sub f, dalam UUP. GHR itu telah ditolak dengan menghapus Pasal 11 dalam
RUU tersebut. Sebab itu pula tidak a1asan untuk mengatakan terdapat kekosongan
6oPerhatikan, Pntusan Mahkamah Agung No. 1400 KlPdt/1986, tgL 20 Desember 1989,dalam kasus Andi Vormy G.P. (Muslimah) dengan Adrianus Ptrus HN (kristen).
41
hukum tentang PBA itu, karena telah diaturnya-'" Tentang PBA memang tidak perlu
diatur secara eksplisit, secara implisit sudah cukup dalam kerangka kesisteman.
Undang-undang tersebut tidak melarang PBA, tetapi juga tidak membolehkannya
secara langsung. Ia sangat tergantung pada hukum agama masing-masing, jika
membolehkannya maka Undang-Undang pun demikian pula halnya. Sebaliknya bila
hukum agama yang dianut salah satu atau kedua belah pihak melarangnya, maka
dilarang pula. Hal ini konsisten dengan Pasal 2 ayat (1) yang merupakan kunci dari
sistem yang berlaku, yaitu menjunjung tinggi dan menjadikan hukum agama masing-
masing sebagai standar sah tidaknya suatu perkawinan.
Alasan menggunakan kembali GHR karena kekosongan hukum tidaklah
reievan, karena sistem perkawinan GHR itu sudah tidak cocok lagi dengan rasa
keadilan dan keyakinan agama yang dianut mayoritas bangsa Indonesia. Pemaksaan
ketentuan itu tidak tepat, karena bertentangan dengan budaya yang telah mendarah
daging yang didasarkan pada nilai-nilai luhur agama.
Bila ada pihak-pihak yang tidak setuju dihapuskannya GHR dengan alasan
reacht vacuum, maka perlulah sekedarnya dibuat peraturan pemerintah berkenaan
perkawinan itu. Penegasannya yang penting, bahwa PBA dapat dilangsungkan
sepanjang hukum. .
masmg-masmg agamanya dan kepercayaannya itu tidak
melarangnya. Perkawinannya, dapat dilakukan menurut hukum agama calon suami bila
mendapat persetujuan pihak istri.
6J Pcmbuktian tidak adanya rechtsvacuum tersebut. juga telah dibahas oleh lchtijanto. dalam
disertasinya, Perkmvinan Campuran do/am A'egara Republik Indonesia: Suatu stud; ke arah hukumyang dicita-citakan, (Jakarta: Pascasmjana Universitas Indonesia, 1993), hal. 95-101.
42
BAB III
PELAKSANAAN PERKAWINAN ANTAR ORANG BERLAINAN AGAMA
A. Prosedur Perizinan dan Formalitas Perkawinan
Sebagaimana perkawinan perkawinan pada umumnya, perkawinan antar
orang berJainan agama mempunyai prosedur dan formalitas yang harus dienuhi.
Prosedur dan formalitas perkawinan campuran sampai I Oktober ]975 yaitu
sebelum secara efektif mulai berlaku UUP, masih dilakukan berdasarkan Ordonansi
PC Stb. ]898 No. ]58 (GHR.). Sejak tanggal ] Oktober ]975, prosedur serta
tatacara perkawinan tersebut seharusnya dilangsungkan menurut UUP bserta
seluruh peraturan pelaksanaanya. Biasanya prosedur dan formalitas itu akan sangat
rumit bila salah satu pihak pasangan PBA itu bergama Islam, karena yang lainnya
relatiftidak terlalu menjadi permasalahan. 1
I. Izin orang tua atau wali mempelai.
Baik semasa berJakunya Stb. ]898 No 158 maupun setelah berJakunya UU
1/1974, sering terjadi permasalahan mengenai izin orang tua itu. Di antara orang
tua ada yang tidak mau menizinkan anaknya melakukan PBA, pada umumnya
penolakan itu beralasan bahwa perkawinan itu dilarang menurut hukum agamanya.
Pada tahun 1955 di Jakarta pernah terjadi seorang gadis RA. Sumarni (Islam),
tidak diizinkan orang tuanya kawin dengan Ursinus Elias Modelu pria (Kristen).
Tetapi PN memutuskan, bahwa penolakan orang tua itu tidak beralasan. Terhadap
putusan tersebut di mohonkan Kasasi kepada MA dengan tambahan alasan orang
1 Perhatikan ,Hannani Ariyoso, PelaksQnoan Pencotatan Perkmvinan Antar Agama pada
KC Propinsf DKl Jakarta. dalam Weinata Sailin & 1M. Pattiasina. Pe/aksanaan Undang-undangperkawfnan da/am PerspektijKrfste!1, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996). hal. 98.
43
tua sebagai wali mujbir. Namun putusannya, mrmperkuat putusan PN tersebut
?diatas dan menolak gugatan orang tua.-
Dalam kasus tersebut, keputusan Pengadilan tidak bisa dibantah lagi,
walaupun jelas perkawinan itu terlarang menurut Hukum Islam,3 agama yang dianut
calon istri dan orang tuanya. Ketentuan hukum agama dalam masalah ini tidak
dihiraukan sama sekali, sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2) GHR, yang mengatakan
''Perbedaan agama, bangsa atau asal usul itu sarna sekali bukanlah menjadi halangan
perkawinan itu,,4
Pada masa kini pun, sikap PN masih tetap seperti pada masa sebelum
berlah.'llIlya UUP. Sebagai contoh pada kasus perkawinan Yosy Rosmaya Nasution
seorang wanita Islam, dengan Bob Tutupoly pria beragama Kristen, kawin tanggal
15 April 1977, sebenarnya tidak direstui kedua orang tua pihak calon istri. Pihak
orang tua beragama Islam itu dengan keras menolak mengizinkan dilangsungkannya
perkawinan tersebut, dengan alasan perkawinan semacam itu tidak dibenarkan oleh
agama Islam yang dianutnya.5
2. Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Nikah.
Bagi PBA pada sesama WNI berlaku ketentuan Pasal21 ayat (2) UUP
yang mengatakan, "Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang
ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan
surat keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan a1asan-alasan
2 R. Wirjono Projodikoro, Hukul1I Antar Golongan di Indonesia, (Sumnr Bandung, 1968,hal. 77. (Termuat dalam majalah hnkum tahWl 1955 No.3, halaman44-49).
3 Ijma' Jmnhur mama, mengharamlam berdasar Q.S. al-Mnmtahanah, 60 : 10.4 Bandingkan, prinsip tersebut sangat berbeda dengan prinsip UUP yang menjunjung
tinggi dan mendasarkan perkawinan pacta hukum masing- masing agamanya, sesuai Pasal 2 ayat(l) seft!' pel\jelasannya.
, Wawaneara dengan Bob Tntupoly serta istri. di JI. Mesjid II No.28, Jakarta Selatan,tanggal 8 Oktober 1979.
44
penolakannya". Sedang bagi pasangan WNI dan WNA berlaku Pasal60 UUP yang
mengatakan, "untuk membuktikan bahwa syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi,
maka oleh pejabat yang menurut hukum yang berIaku bagi pihak masing masing
belwenang mencatat perkawinan, harus diberikan surat keterangan. Bagi KCS surat
keterangan tersebut akan sangat penting untuk dijadikan sebagai dasar hukum dapat
dilangsungkannya PBA tersebut.
Masalah penolakan memberikan Surat Keterangan tersebut sering terjadi
di Jakarta, terutama terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan antara seorang
wanita Islam dan seorang laki-laki tidak beragama Islam. Bahkan juga penolakan
terhadap laki-Iaki Islam bila ia hendak kawin dengan perempuan non-Islam. Pada
umumnya para Pegawai Pencatat Nikah pada KUA di Jakarta, tidak mau
memberikan surat keterangan itu. Sebab memberikan surat keterangan itu akan
dipandang sebagai mengizinkan perkawinan antar seorang beragama Islam dengan
orang bukan Islam dengan cara perkawinan lain dari pada Islam. 6
Sebelum berlaku UUP, pegawai pencatat nikah itu, tidak berani secara
tegas menolak pemberian surat keterangan itu. Hal itu terbukti dalam surat
keterangan yang dibuatnya, selain menyebutkan "tiada halangan apabila ia akan
kawin", juga menegaskan dengan kata-kata "Adapun dengan niatnya untuk nikah
dengan seorang laki-Iaki yang memeluk lain dari agama Islam, kami tidak
bertanggung jawab,,7 Tampaknya surat keterangan itu dibuat secara terpaksa,
6 Perhalikan, Surat Kepala KUA Kee. Keb. Barn Jakarta Selatan No. K.4/MJ,3/230/1986,tanggal 23 April 1986, yang isinya menolak permohonan Surat Keterangan an. Jamal Mirdad(Islam) hendak kawin dengan Lydia Kandou (Kristen) di KCS, dengan alasan ybs. harns kawinseeara Islam, berdasar Pasal2 ayat (I) UU 1/1974 jo. PasallO ayal (2) PP 9/1975. (Sumber data,Dokumentasi PN Jak-SeL Berkas Perkara Jamal Mirdad -Lydia Kandou, Reg. No.238IPdUP/1986IPN Jak.SeL hasil Penelilian, II Maret 1999).
7 Brato Sayogya. Peraluran Perkawinan Campuran beserta sedih:il penjelasannya, diktat
ulllpa tahun dan tempal penerbilan,haL 5 (Lihal. AChaeuddi, Masalah Perkawinan Campuran diKota Metropolitan Jakarta. Jakarta, 1980, haL 66, foot nole 78).
45
hanya mengingat pasal 7 ayat (2) GHR Stb. 1898-158, yang memandang perbedaan
agama bukan sebagai halangan perkawinan.
Setelah berlaku DUP, permintaan surat keterangan itu ditalak dengan
tegas berdasarkan Pasal 2 ayat (I)ja PasalIO ayat (2) PP 9/1975, karena searang
Muslim hams kawin dengan tatacara Islam agar terjadi perkawinan sah dan
dilakukan di hadapan PPN sesuai UU 2/1946. Namun dalam surat penalakan itu
masih terdapat rekomendasi yang memungkinkan keberatan oleh yang bersangkutan
untuk diajukan ke PA setempat untuk diminta penetapannya sebagai pengganti
surat keterangan, sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal2I ayat (2) jo. Pasal 60 ayat
(3) sampai dengan ayat (5) UU No. I Tahun 1974.
3. Ketetapan Pengadilan pengganti Surat Keterangan.
Oleh karena tanpa surat keterangan tersebut diatas, KCS tidak dapat
melaksanakan PBA, maka sesuai Pasal2I ayat (3) jo. Pasal 60 ayat (3) oleh pejabat
KCS, yang berkepentingaan disarankan mengajukan keberatan atas penolakan PPN
tersebut ke PN setempat. Pemeriksaan oleh PN semasa berlakunya GHR. Stb.
1898-158, adalah wajar karena istilah "pengadilan biasa bagi si-istri" itu, bisa
dimaksudkan PN. Tetapi setelah berlaku UUP, pemeriksaan penolakan pemberian
surat keterangan oleh KUA tersebut, bukanlah wewenang PN lagi, melainkan
wewenang PA, sebagaimana ditegaskan Pasal 63 ayat 1. Hal yang demikian tentu
8menyalahi undang-undang yang berlaku sekarang.
Pada umumnya PN cendernng mengabulkan permohonan untuk
melakukan PBA seperti itu, walaupun jelas hukum agama yang bersangkutan tidak
8 Dalam kasus Jamal Mirdad -Lyrua Kandou, Surat penolakan KUA merekomendasikanyang bersangkutan untuk Il1cnlinta penetapan PA Jakarta Selatan, IClapi KCS juslruIl1cnganjurkannya ke PN Jakarta Selatan, silmp lcrscbnljclas ll1enyallli UU 1/1974 Ps. 63 aya! I a,karcna Jamal Mirdad orang Islam, pelmranya harus ruperikasa olch PA.
46
membenarkannya. Sikap demikian itu tetap keadaannya, sejak masih beriakunya
GHR, bahkan sampai sekarang pun sebahagian hakim PN masih berkeyakinan
bahwa GHR masih berlaku untuk PBA. Selain karena alam pikiran hukum Barat
yang sekuler itu masih melekat, juga karena pengaruh Petunjuk MA No.
MAiPemb/0807175, Surat Ketua MA No. KMA172/IV/198 I, dan Putusan Kasasi
No. 1400 KlPdt11986, yang kesemuanya memberi peluang dilangsungkannya PBA
itu. Atas dasar keyakinan ituIah, mereka memandang perbedaan agama di antara
calon pasangan suami-istri, masih tetap dianggap bukan sebagai halangan
9perkawinan sesuai GHR. Stb. 1898 No. 158.
Adapun alasan yang dikemukakan hakim-hakim pada PN di Jakarta dalam
masalah tersebut antara lain ialah karena GHR yang dibuat masa kolonial itu
dianggap belum seluruh nya dicabut. Hal itu beralasan :
a. Pasal 66 UUP antara lain menyebutkan, bahwa "ketentuan yang diatur dalam .
GHR Stb 1898 No. 158
dinyatakan tidak berIaku".
sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini,
b. Bahwa UUP hanya mengatur PC karena perbedaan warga negara yaitu antara
WNI dan WNA., maka PC antar agama dianggap belum diatur; untuk itu
dianggap masih tetap menggunakan Stb. 1898 No. 158 itu ;
Bila dikaji secara jujur, maIm nampak alasan tersebut lemah, hanya dicari
cari dan tidak sesuai dengan hukum positifyang beriaku. Sebenamya para hakim itu
mengetahui bahwa PC antar agama dianggap telah melembaga terutama di Jakarta.
Hal itu menunjukan bahwa di antara para penegak hUkum pun masih banyak yang
belum mau memahami arti "UU 1/1974 bagi berlakunya hukum perkawinan agama
" Pandangan sepcrti itu all1ara lain dikemukakan oloh Bagus Sugiri. SH. Hakim PN Jakbar:Svamsuddin. SH.. dan THS. Pardede. SH.. Hakim PN Jakse!.
47
bagi pemeluk-pemeluknya yang wajib dilaksanakan", sebagaimana dikatakan oleh
H.. 10
azamn.
Sikap hakim PN mengizinkan perkawinan yang tidak dibenarkan agama
yang bersangkutan itu, sangat merugikan dan bertentangan dengan kepastian
hukum dan rasa keadilan, karena tidak sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. 11 Bahkan justru asas yang memandang "perbedaan agama bukan
sebagai halangan perkawinan" itu, membuat masyarakat (khususnya umat Islam)
menjadi sangat menentang, di kala rumusan dari GHR itu dimuat kembali dalam
RUU perkawinan yang baru, karena itu ditolak oleh umat Islam yang meyakininya
bertentangan dengan syariat Islam. 12
4. Penundukan diri pada Hukum Perdata Eropah.
Sebagai mana telah diuraikan di atas, bahwa dalam perkawinan campuran
telah terjadi bentrokan (conflict) di antara hukum calon suami istri yang berbeda
hukum agamanya. Maka penundukan diri pada Hukum Perdata Eropah bagi orang
orang yang berkepentingan, dimaksudkan untuk menghindarkan atau mengurangi
bentrokan hukum tersebut berdasarkan Stb. 1917 No. 12 Pasal 26 sampai dengan
Pasal 29. Penundukan seperti itu, termasuk penundukan diri untuk suatu perbuatan
hukum tertentu (onderwerping voor een bepaalde rechtshandeling), biasanya
dinyatakan dalam sebuah akta yang dibuat notaris. 13
10 Hazairin, 'l1njauan Menge/lOi UU No.1 Tahun 1974, (Tintamas Indonesia, Jakarta,
1975), hal. 8-13).
11 Perhatikan, ketentnan Pasal 27 ayat (I) UU No. 14 Tahun 1970,lentangPokok-pokok
Kdcuasaan Kehakiman, "Hakim sebagai penegak Hukum dan keadilan wajib menggaIi,mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyrakat.
12 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasiona/, (CV Zahif Trading Co,
Medan. 1975), hal. 1-4).
" Wi,jono Projodikoro, Hukul/I AII/ar Golongan, (Sumur Bandung. Bandung. ]968), hal.
48
Dengan penundukan din tersebut, seseorang dianggap tidak terikat lagi
pada hukum semula. Oleh karena itu seorang pna Islam misalnya, untuk melakukan
perkawinan dengan wanita bukan Islam, tidak perlu lagi meminta surat keterangan
dari KUA. Ia bisa melangsungkan perkawinan di KCS tanpa Surat Keterangan dan
KUA, dan tanpa tatacara perkawinan menurut agama Islam. Dengan demikian ia
bebas dari halangan perkawinan menurut agamanya, karena akta penundukan din
itu berfungsi sebagai Surat Keterangan KUA. 14
Kasus yang terjadi di Jakarta antara lain sebagai contoh, seorang laki laki
bernama Muchammad AJam (Islam), karena akan melangsungkan perkawinan di
KCS dengan perempuan bernama Lucy Marti Kristianti (Katolik), menundukan diri
pada Hukum Perdata Eropah tanggal 25 Agustus 1978 di hadapan notaris
Soelaeman Ardjasasmita. Perkawinannya dilakukan pada bulan September 1978 di
KCS Propinsi DKI Jakarta15 Kasus lain, ialah Jamal Mirdad (Islam), ia
menundukkan diri pada Hukum Perdata Barat karena ia hendak kawin dengan
Lydia Ruth Elizabeth Kandou (Kristen), di Jakarta tanggal 23 April 1986 di
hadapan notaris Tnsnawati Mulia, dengan Akta No. I I 1.16
Sebenarnya penundukan din pada Hukum Perdata Eropah itu tidak bisa
dilakukan dalam masalah ke1uarga, perkawinan, atau warisan. Sebagaimana
pendapat Kollewijn yang dikemukakan oleh Dr. R. Wiryono Prodjodokoro SH,
bahwa penundukan din itu hanya mungkin dilakukan dalam peIjanjian mengenai
23 dan 25.
14 Keteranga, dibcrikan oleh Djamirns Rasuni, SH., pejabat pada KCS Propinsi DKI
Jakarta, dalam wawaneara dengan Penulis. 10 Maret 1980. (Lihat, A. Chaernddin. Op. Cit..Jakmta, 1980. hal. 70-71).
15 Penelitian Berkas Perkawinan, pada KCS Propinsi DKI Jakarta, tahun 1978 (Lihat, A.
Chaeruddin.Op. Cit., Jakarta. 1980, hal. 71).16 Penelitian Berkas Perkawinan, pada KCS Propinsi DKI Jakarta, lahun 1998/1999.
49
kekayaan dan harta benda kecuali hukum pailit.] 7 Senada dengan pendapat di atas,
Sudaryo Gautama (Gouw Giok Siong) dalam bukunya Hukum Antar Golongan,
mengatakan sebagai berikut :
"Penundukan diri pada Hukum Perdata Eropah untuk perbuatan hukumtertentu (onderwerping voor een bepaalde rechshandeling) itu tidak tepat untukperkawinan, karena hal itu hanya akan membuka jalan kepada orang yangbersangkutan secara sesuka hati (eigenmachting) dapat menyampingkan semuapenghalang pernikahan yang justru dibuat oleh pembuat hukum yang hidupbaginya untuk melindungi hak hak daJi pada keluarga atau suku yangbersangkutan. 18
B. Tata cara dan Pencatatan Perkawinan Antar Orang Berlainan Agama
I. Tata cara perkawinan yang harus dilakukan
Perkawinan itu dilangsungkan apabila ternyata kedua calon mempelai telah
memenuhi segala persyaratan dan formalitas yang telah ditentukan. Biasanya
dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan pada KCS, atau pegawai luar
biasa yang diangkat untuk memimpin upacara perkawinan menurut tata cara yang
berlaku. Sampai dengan tahun 1988, sepenuhnya perkawinan masih dilakukan
menurut tata cara perkawinan Sipil di KCS sendiri tanpa tata cara agama,
sungguhpun DUP sudah berlaku selama 13 tahun terhitung 1975. Setelah itu, KCS
tidak langsung melaksanakannya, karena tugasnya hanya mencatat perkawinan yang
sudah sah menurut hukum masing-masing agamanya19
Pada masa GHR berlaku, sesuai Pasal 6 ayat (I), PBA dilakukan menurut
hukum yang berlaku bagi calon suami. Bila calon suami Eropah atau Tionghoa
17 Wirjono Prodjodikoro. Op. Cit., hal. 25.
's Gouw Giok Sing. HukulII Antar Golongan, (PT Penerbit dan Balai Buku Ichtiar. Jakarta,
1971). hal. 162).19 Hasil Wawancara dcngan pcjabat KCS (Djamirus Rasuni,Sudhar Indopa. dan Harry
Susanto). scrta observasi langsung kelika pcrkmvinan dilangsungkan di KCS Propinsi DIGJakarta. lahun 1988/1999.
50
atau yang dipersamakan, maka perkawinan dilakukan menurut BW. Bagi orang
Indonesia Asli atau Timur Asing selain Tionghoa dilakukan menurut hukum
adatnya masing masing20 Bagi yang beragama Islam dilakukan menurut hu1..'Um
Islam di hadapan Penghulu, dan bagi orang Indonesia Asli Kristen menurut HOCI.
Kasus RA. Soemarni (Muslimah) yang kawin dengan Ursidos Elias Modellu
(Krisen), perkawinan mereka
Supit, tanggal 24 Juli 1952,
terpaksa dilakukan menurut agama Kristen oleh Pdt
21sungguhpun terlarang menurut hukum Islam. Pada
masa kini setelah berlaku UUP, sesuai Pasal2 ayat (1) jo. Pasal59 ayat (2) jo. Pasal
10 ayat (2) PP. 9/1975, maka PBA seharusnya dilakukan menurut hukum masing
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tetapi dalam kenyataan, awal tahun
1989 tatacara pencatatan perkawinan UUP itu baru mulai dilaksanakan oleh KCS
DKI Jakarta, karena opini umat Islam menentangnya22
Seperti telah dikemukakan pada pembahasan awal bab ini, bahwa
melaksanakan PBA menurut UUP, akan menghadapi kesulitan dalam
menterjemahkan kalimat "Perkawinan dilakukan menurut hukum masing masing
agamanya dan kepercayaannya itu". Terlebih akan sangat dirasakan, bila salah satu
pihak pasangan PBA itu beragama Islam. Rumusan itu berarti perkawinan harus
dilakukan menurut hukum agama suami dan hukum agama istri secara terpadu,
sedangkan agamanya berbeda dan hukum perkawinannya pun berbeda pula. Apakah
itu mungkin diinterprestasikan perkawinan dilakukan menurut hukum agama suami
"0- Tampaknya bersumber pada Ketentuan IS Pasa! 131 ayat (2) sub b, hukum Islam berlaknalaS nama hukum adat (teori resepsi); Lihat, Saynti Thalib,ReceptioA Contrario, 1985, hal. 21;Bushar Muhammad Asas-asas Hukum Adat, 1978, ha1.42.
21 Lihat, Gou Giok Siong, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, (penerbitAllmmi, Bandung, 1973), hal. 187-192). .
22 Keterangan disampaikan oleh Sudhar Indopa, pejabat KCS Propinsi DK! Jakarta, dalamwawancara dengan Penulis, tgl. 16 Desember 1998 (kuisener 5); Sikap itu melahirkan InstruksiKepal KCS, No. 3614i075.52, balm'a KCS hanya mencatat perkawinan (PBA) yang sudah sahmenurut agama masin-masing.
51
terlebih dahulu, barn kemudian menyusul menurnt huk'Um agama istri atau
sebaliknya secara bergantian.23
Pelaksanaan seperti itu juga tidak mungkin dilakukan, karena cara yang
satu akan membatalkan cara yang lain, bisa terjadi yang pertama sah yang kedua
batal atau sebaliknya. Bisa juga diartikan bahwa cara yang digunakan adalah
perpaduan dari tata-cara perkawinan kedua agama yang berlainan itu.
Penggabungan kedua cara itu akan sangat sulit lagi, karena sikap panatisme masing
masing pemegang otoritas keagamaannya akan menyulitkan mencari kesepakatan
untuk itu, mereka juga bisa memandang, cara itu dapat dianggap mengabaikan
eksistensi ketentuan hukum agama mereka masing-masing.
Tata-cara perkawinan di KCS itu hanya formalitas bersifat administratif
sebagai perkawinan sipil, karena cara perkawinan agama tidaklah tampak.
Perkawinan tersebut hanya didasarkan atas kesediaan calon suami istri yang satu
menerima yang lainnya secara timbal balik, yang prinsipnya mereka saling
mengawinkan diri mereka satu sarna lain24 Dalam perkawinan antara pria Muslim
dan wanita Kristen misalnya, tidak tampak peranan hukum agama manapun dalam
perkawinan tersebut. Jika terpaksa harns memilih salah satu hukum agama mereka,
maka hukum agama pihak suami adalall lebih layak untuk dipilih dalam pelaksanaan
perkawinan tersebut yaitu perkawinan menurnt hukum Islam.25 Perkawinan yang
2:JLihat, ProfMr.Dr.Hazairin in memoriam, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta, DI Press, 1981), hal. 25. Prof.R.Subekti dalam tuJisannya berjudul "Beherapa Hal yangKurang Dalam UUP", mengemukakan cara itu sungguh cara yang berbelit-belit. ](asns inibanyak terjadi, antara lain perkawinan antara seorang beragama Khonghucu dan yang beragamaKatolik, dilakukan di Gereja kemudian di Lithang; Keterangan disampaikan oleh ChandraSetiawan, Ketua Umum Badan Pengarus MATAKIN di Jakarta, dalam Wawancara tangal16 Juli1999.
2< Perhatikan, ketcntuan Pasal 80 dari BW, yang intinya mengatur tatacara perkawinan
sipil seperti dimaksud Pasal 26.
2'\Vahbah al-Znhaili, AI-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 7, (Dar al-Fikr, Damsyik, 1409
H11989 M), hal. 191: Lihat pula, Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkan Undang-undang dan
52
tidak pula dilakukan menurut cara perkawinan agama itu dapatlah dipastikan yang
disebut perkawinan negara di KCS itu, secara yuridis tidak sah menurut UUP.
Sistim perkawinan administratif di mana asas catatan sipil dijadikan
penentu sah tidaknya suatu perkawinan, sangat ditentang oleh umat Islam ketika hal
itu dicantumkan dalam RUU Perkawinan Nasiona1.26 Tidak seperti halnya pada
agama lain, ajaran Islam meyakini bahwa perkawinan bukan semata masalah
perdata, tetapi lebih merupakan bahagian penting dari Syariah yang secara absolut
dijunjung tinggi dan harus ditaati.27 Catatan sipil hanya berfungsi pelengkap, tidak
menentukan sah perkawinan, diperlukan adanya karena kepentingan adminstratif
Maka perkawinan tidak sah menurut UUP, bila hanya memenuhi aspek
administrtifuya, tidak memenuhi hukum agama pelakuknya28
Dengan tatacara perkawina di atas, ada di antaranya yang merasa tidak
puas, melakukannya pula menurut tatacara agamanya, sehingga perkawinan
dilakukan lebih satu kali. Sebagai contoh perkawinan Abdullah Sungkar (Islam)
dengan Paraswati (Katolik), setelah melangsungkan akad nikah di Catatan Sipil,
kemudian diulanginya dengan akad nikah secara Islam dihadapan penghulu. Mereka
Peraturan Perkawinan di Indonesia, (Jambatan. Jakarta, 1978), hal. 168. Dalam sistemperkawinan Islam, wali nikah memegang peran sangat penting karena dialah yang mengawinkan.Begitu pnla mahar (maskawin) snngguhpnn tidak mernpakan nnsnr perkawinan, tetapi pentingadanya sebagai kewajiban pihak snami terhadap pihak istri. Dalam perkawinan Islam yangberlakn di Indonesia (madzhab Syafi'i). peran wah mutlak karena menentukan salmyaperkawinan. Di!arang (tidak sah) perempuanmengawinkan dirinya sendiri (sivil marriage) alauoleh wakilnya )'ang bukan wali nikah.
26 Perhatikan MUl. Tuntunan Perkmvinan Umat Is/am, Jakarta, 1992, hal. 12; Perhatikan
puJa Depkeh, Sekitar Pembenukan UU Perkmvinan dan Peraturan Pelaksanaannya. (DiJjenKnmdang, Jakarta, 1974), hal. 140.
27 MauJana Mnahammad Ali. The Religion ofIslam, (teJjemahan) HM. Baehrun dan R.
Kaelan, Is/am%gi, (Darn! Kutub Islamiyah, Jakarta, 1993), Cet. Keempat, hal. 392.
28 Berdasarkan Pasal 2 ayat (I) .io. Pasal 59 a)'at (2) UUP .io. Pasa! 10 ayat (2) PP 9/1975.
sualu perkawinan hanya dipandang sah apabila di!alalkan mennrnl hukum masing masingagam311Y dan kepercayaann:va ltD.
53
melangsungkan perkawinan tahun 197729 Pengulangan perkawinan tersebut
menunjukkan, bahwa perkawinan di Catatan Sipil itu dianggap belum sah, sekaligus
menghilangkan arti perkawinan yang pertama kali. Sebaliknya berarti, bahwa
perkawinan menurut agamalah yang diyakini sah dan berlaku serta mempunyai
kekuatan dan akibat hukum sebagaimana mestinya.
Dengan demikian dapatlah diambil kesimpulan, bahwa dengan adanya
Pasal 2 ayat (I) Undang undang perkawinan yang baru itu, tak satupun perkawinan
antara calon suami istri yang berbeda agama dapat dilangsungkan. Kecuali apabila
kedua agama calon mempelai itu membenarkan pemeluk pemeluknya kawin dengan
pemeluk agama lain, serta rela dilakukan dengan tata-cara perkawinan agama salah
satu pihak di antra mereka. Sebagaimana halnya perkawinan antara laki-Iaki Islam
dan perempuan Kristen menurut hukum agama Islam, hukum pihak suami.
2. Pencatatan perkawinan antar orang berlainan agama
Sebelum berlaku UUP, pencatatan segala PC dilakukan di KCS sesuaJ
dengan Ordonansi Catatan Sipil untuk perkawinan campuran Stb. 1904 No. 27930
Pencatatan seperti itu di KCS Jakarta sampai dengan tahun 1988 masih tetap
berjalan seperti biasanya sebelum berlaku UUP, termasuk PC karena calon suami
istri berlainan agama. Sejak berlaku UUP, PBA seharusnya dicatat sesuai Pasal 2
PP 9/1975, terdapat dua instansi :
29 Hasil wawancara dengan suami-iatri Abdullah Sungkar dan Paraswali Sungkar, tanggal
22 April 1980. (Lihal. A. Chaeruddi, Gp. Cit., 1980, hal. 75).
30 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Ala,'f;ala!J-masafah Hukum Perkmt'inon di
Indonesia, (Bandung. Alumni. 1978), hal. II.
55
dilangsungkan sebanyak 2953 perkawinan. Dari jumlah tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu perkawinan antara laki-laki Katolik
dan perempuan Katolik, sedangkan kelompok kedua ialah perkawinan antara orang
Katolik dan orang non-Katolik. Adapun kelompok kedua yang tergolong
perkawinan antara orang Katolik dan orang non-Katolik, berjumlah 1033 pasangan,
dengan variasi antar Faraki, yang paling rendah sebanyak 2 (dua) pasangan saja,
sedang yang tertinggi sebanyak 76 pasangan32
Bila diperhitungkan prosentasenya adalah, kelompok pertama, perkawinan
antar orang seagama Katolik sendiri sebesar 65 %, sedangkan kelompok kedua,
perkawinan antara orang Katolik dan non-Katolik sebesar 35 %, jumlah ini masih
terhitung tinggi untuk perkawinan antar gereja dan antar agama, walaupun tetap
lebih keeil dibanding dengan perkawinan antar sesama Katolik. Pada Faroki tertentu
terdapat prasentase yang eukup menyolok bila dibandingkan antara kelompok
pertama dan kelompok kedua. Pada satu Faraki prosentase terkecil adalah 10%
untuk kelompok kedua; dan 90 % untuk kelompok pertama. Tetapi di Faraki lain
prosentase terkeeil adalah 47 % untuk kelompok pertama; dan 53 % untuk
kelompok kedua33
C. Kontroversi tentang Perkawinan Antar Orang Berlainan Agama
Tampaknya terhadap PBA itu tidak semua orang atau pihak bersikap
sarna, tapi justru berbeda-beda. Sebahagian setuju (pro) terhadap PBA itu dan
32 Data dari Keuskupan Agung Jakarta, melalui Romo Purbo, dalam Penelilian yang
diadakan tanggal 12 Pebruari 1999.
3:' Hanya saja kelompok kedua lersebul tidak diperinci lagi ke dalam agama alau
kepercayaan non-Kalolik. seperi antara orang Katolik dan Prolestan, orang Kalolik dan Islam,Kalohk dan Hindu. Katohk dan Eudha dan lain-lain. Telapi hal itu dapatJah dipastikan. balm·aPEA itu masih dapat dilangsungkan, selclah sekian lama UUP dinyalakan berlaJ-:u seeara fannal.
56
sebahagian menolak (kontra) kehadiran PBA tersebut. Sikap pro dan kontra dari
kelompok-kelompok masyarakat terhadap PBA tersebut, mempengaruhi pula sikap
KCS dalam menangani perkawinan tersebut. Karena itu dalam Sub Bab V ini akan
dibicarakan sikap-sikap tersebut.
1. Pihak yang bersikap pro dan setuju dilakukannya PBA.
Pihak yang pro dan setuju terhadap PBA mengemukakan alasan antara lain
ialah, bahwa UUP hannya mengatur PC antar orang yang berlainan warga negara
yang salah satunya WNI dan lainnya WNA, sebagaimana diatur dalam Pasal 57. PC
antar orang berJainan agama belum diaturnya, karena itu sesuai Pasal 66, maka
GHR teteap berJaku dalam PC antar orang berJainan agama34
Sebahagian
mengatakan, bahwa UUP belum mengaturnya, tetapi GHR atau HOCI, S.1933 No
74 pun dipandang sudah tidak cocok lagi pada era UUP ini, karena memiliki
falsafah yang jauh berbeda. UUP bersifat religius sebagaimana ditegaskan Pasal 2
ayat (1), sesuai dengan falsafah negara Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan GHR
dan HOCI, keduanya merupakan peraturan sekuler yang bersumber dari norma
hukum Barat, karena itu sudah tidak cocok lagi. Akibatnya terjadilah kekosongan
hukum (rehts vacuum), maka kewajiban hakimlah untuk menemukan hukum guna
3-menglsl kekosongan hukum tersebut. 0 Alasan lain yang juga dipengaruhi aliran
hukum sekuler ialah, bahwa masalah perkawinan merupakan hak individu, ia
34 Kelompok PGI mempunyai persepsi seperti ini, dapat dilihat : Ketetapan Sidang MPL
PGI, No. 01IMPL-PGI/l989. mengenai Pemahaman Gereja-Gereja di Indonesia, lenlang SahnyaPerkaH-'inan dan PerkmrinGn Bagi rVarga Negara yang Berlainan Agama, dalam \Veillata Sairin.1996. hal. 149-151.
35 Alusan itu antara lain dikemukakan sebagai salah 5atu pertimbangan yang dikemukakan
dalam PutuS3n Kasasi No. 1400 KJPdtJ1986. berkaitan dengan kasus pemlOhonan Andi VonnyGP-Adrianus Pelrus HN.
57
merupakan salah satu dari hak-hak asasi manusia36
Perkawinan dipandangnya
bukan merupakan masalah agama, karena itu perkawinan harus bebas dari
ketentuan agama atau dengan kata lain agama tidak merupakan penghalang
terhadap suatu perkawinan. Alasan lainnya yang dikemukakan mereka ialah, bahwa
selain PBA itu merupakan realita dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri,
juga untuk menghindari terjadinya perkawinan liar yang akan berakibat lebih buruk
lagi, satu-satunya jalan ialah dengan mengiznkannya37
a. Hakim Pengadilan Negeri (Peradilan Umum) :
Adapun alasasn bagi hakim-hakim PN yang mengizinkan PBA itu antara
lain ialah, bahwa UUP hanya mengatur PC karena perbedaan warga negara (Pasal
57). Karena PBA tidak diaturnya, maka sesuai Pasal 66, GHR dipandang masih
berlaku untuk perkawinan tersebut guna mengisi kekosongan hukum. Untuk
perkawinan itu merujuk pada Pasal 7 ayat (3) tentang surat keterangan sebagai
bukti syarat-syarat telah dipenuhi, dan Pasal 8 tentang putusan Pengadilan
pengganti surat keterangan Pegawai Pencatat atas penolakannya. Sebagai contoh
dalam Penetapan PN Jakarta Selatan No 238 IPdt/P/1986IPN.Jkt.Sel. tanggal29
Mei 1986, yang mengizinkan Jamal Mirdad (Islam) dengan Lydia Kandau (Kristen).
Kasus tersebut diputus oleh Ny.Endang Sri Kawaerjan, SH. sebagai Hakim tunggal
dibantu Panitera Pengganti Achmad Djuhranuddin38
36 Nasan ini dikemukakan antara lain oleh Bagus Sugiri, Hakim PN Jak-SeL pada
wawancara 9 Maret 1999; Perhatikan ketentuan Artikel 16, dari: The Universal Declaration ofHuan Rights, dikeluarkan PBB tahun 1948.
37 Dikemukan sebagai alasan pembelian peluang PBA seperti termuat dalam Surat Ketua
MA No. KMN72/IVlI981. tgl20 Apli11981. butir 4.
38 Sllmber data dokUlllcn berkas PC pada PN Jakarta Selatan, penelitian tanggal II Maret
1999: Doklllllen pada KCS Propinsi DKI Jakarta, penelitian 1998/1999.
58
Alasan tersebut tidaklah tepat, karena bertentangan dengan ketentuan
Pasal 2 ayat (I) yang berlaku untuk segala perkawinan tidak terkecuali PBA. Sikap
itu menunjukan, bahwa pemahaman UUP belum jelas baginya, atau tidak mau
memahami sebagaimana mestinya. Karena sebenarnya secara sistemiklimplisit PBA
tclah diatur dalam UUP, sebab itu GHR tidak diperlakukan lagi karena sudah
dicabut oleh Pasal 66 Undang-undang No. 1/1974.
Kesalahpahaman tersebut akan lebih jelas bila dihubungkan dengan sejarah
pembentukan UUP yang tegas-tegas telah menghapus Pasal II ayat (2) dalam
RUUP yang isinnya sama dengan GHR39 Bila sejarah pembentukannya (memoire
van tolichting) itu dipahami dan dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (I) jo. Pasal 8
sub f jo. Pasal 66, maka akan jelaslah GHR dan seluruh pasal-pasalnya sudah tidah
tidak berlaku lagi. Karena itu sudah tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum
(daW) untuk mengizinkan PBA. terhitung sejak UUP berlaku secara efektiftanggal
I Oktober 1975,40 (PP 9/1975 Pasal 49). Karena itu tidak tepat bila dikatakan
bahwa terdapat kekosongan hukum karena UPP belum mengatur PBA, juga tidak
tepat bila GHR diberlakukan dengan alasan UUP tidak mengaturnya.
Demikian pula para Hakim di PN Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan
Jakarta Pusat, pada umumnya mereka mengatakan alasan yang sama, sungguhpun
sebahagian mengatakan GHR sudah tidak berlaku lagi41 Lima dari sembiIan
Hakim mengatakan, PBA masih dapat diizinkan dan PN tidak pernah menutup
39 Perhatikan, rumusan Pasal 11 ayat (2) RUUP, "Perbedoon karena kebongsaon, suku
bongsa, negara asal, tempa! a.m/, agamadwpercayaan" don kelurunon, lidak merupakanhalangan perkawinan ... (Bandung, article 16 Th Universal Declaration of Hwnan Right), PBE.1948.
40 Perhatikan, PP 9/1975, Pasal 49 mengatakan peraturan pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal 1 Oktober 1975. Mulai berlakunya PP ini merupakau pelaksanan seeara efektif dariUU No. 1/1974 tentang perkawinan.
41 Antara lain Sri Handoyo, Hakim PN lak-Bar; Ny. MauJida, Hakim PN lak-SeI: dan Ny.Endang Soemarsih, Hakim PN lak-Pst.
59
kepada siapapun, bila pennohonan mereka ditolak oleh PPN. Namun tiga orang di
antaranya mengatakan bahwa PBA diizinkan bila hukum agama yang bersangkutan
membenarkannya, dan hanya seorang mengatakan tidak pemah memeriksa
permohonan izin PBA tersebut. 42
Sekarang para hakim berbeda pendapat dalam hal alasan PBA, tiga dari
sembilan orang hakim PN di Jakarta tersebut mengatakan, PBA merupakan hak
asasi yang berarti harus diberi kebebasan seperti masa OHR, sehingga agama tidak
b I I . d' . 43o e 1 menJa 1 nntangan.. Namun ada juga yang menganjurkan sebaiknya antara
suami istri satu agama, karena dalam kenyataannya menimbulkan masalah dalam
rumah tangga. Terutama agama bagi anak-anak pasangan tersebut satu sarna lain
bisa berlain-Iainan, ada yang mengikuti agama pihak ayah bahkan kebanyakan anak
anak mereka yang mengikuti agama pihak ibunya. 44 Sebahagian (empat dari
sembilan) Hakim PN tersebut menganjurkan, agar PBA diatur dengan jelas sesuai
dengan hukum agama masing-masing. Karena itu akan berbeda-beda tergantung
hukum agama yang bersangkutan, bila kedua hukum agama calon pasangan itu
sarna-sarna mengizinkan, maka bisa dilaksanakan, bila tidak, maka tidak mungkin
d'l I 451 angsung <an. .
Sebagian kecil (satu dari sembilan) Hakim itu mengatakan, bahwa Pasal 2
ayat (l) jelas telah mengatumya sesuai agama masing-masing, untuk itu perlu
"' Wawancara dengan 9 orang Hakim, 9 Maret sid 12 April 1999 di PN Jak.-Brt; II sid 22Maret 1999 di PN Jak-SeL dan 23 Maret sid I April 1999 di PN Jak-Pst.
43 Bagi mereka itu GHR dipandang masih berlaku karena UUP belum mengatur PBA
begitu pula Putusan MA No. 1400 KJPdtll986 tanggal 20 Januari 1989 dan Surat Ketua MA No.KMAl72/1VI1981 dijadikan sebagai pedoman dalam mengambil keputusan.
44 Antam lain dikemukakan oleh Bagus Sugiri, SH hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, yang kebetulan kasus tersebut teIjadi pada kakaknya sendiri. Informasi diperoleh melaluiwawancara tanggal 9 Maret 1999.
45 Asmar Ismail, Ny. Endang Socmarsih, dan Ny. Chasiany R. Tanjung, kctiganya Hakim
pada PN Jakarta Barat. Wawaneara, 24 Maret sid I April 1999.
60
meningkatkan penyuluhan mengenai UUP agar masyarakat menjadi lebih lagi
mengerti tentang PBA. Karena itu menurutnya, tidak ada kekosongan hukum dan
GHR pun telah terhapus, sesuai Pasal 66 UU No. 1/1974 . Begitu pula Putusan
Kasasi MA No. 1400 K/Pdtl1986 dan surat Ketua MANo.KMA/72/1V/1981,
walaupun dianggap masih berlaku, tetapi keduanya tidak bisa diterapkan, karena
filsafatnya sangat jauh berbeda dengan UU 1/74. Menurutnya GHR bersifat sekuler
sedang UUP berdasarkan paham hukum ber-Ketuhanan YME46
Beberapa Hakim Agung yang diwawancarai mengemukakan, Peradilan
tingkat Kasasi itu pada prinsipnya masih mengizinkan PBA bila agama masing-
masIng membenarkannya. 1tu berarti bila agama yang bersangkutan melarangnya
maka seharusnya MA menolaknya. Tetapi permohon kasasi Andi Vony GP
(Muslimah) dengan Andrianus Petrus EN (Kristen) dikabulkannya, walaupun
secara tegas hukum Islam melarang wanita Muslimah kawin dengan pria non-Islam.
Dalam kasus tersebut bahkan terkesan Hakim Peradilan kasasi seakan mencarikan
jalan keluar bagi mereka dengan menafsirkan pasangan wanita Muslimah itu telah
tidak menghiraukan lagi agamanya (dianggap murtad), sungguhpun yang
bersangkkutan tidak menyatakannya. Pertimbangan hukum yang dimuat dalam
Putusan Kasasi No. 1400 K/Pdtl1986 itu dibenarkan pula oleh salah seorang
1-lakim Agung, ketika diwawancara penulis47
Namun begitu diakui pula, bahwa mengenai PBA itu tidak dapat disama
ratakan karena harus dilihat kasus perkasus. Dikemukakan pula bahwa PBA
4<S DikemukakanAsmar Ismail. Hakim PN Jakarta Baral, dalam wawancara, tanggal I
April 1999. (Beliau perrnah bertugas di Aceh, dan kalanya hukum Islam berlal"" di sana)
47 Tiga orang Hakim Agung terakhir, berasal dari Lingkungan Peradilan Agama, dan yang
terakhir. juga menjabal TUADA ULDILAG MA kelika Penelitan tahun 1999. Hakim Agungyang berhasil diwawancara adalah. H. Habib Syarbini. SH.. H. Zainal Abidin Abu Bakar. SH..Drs. Muhaimin. SH.. dan Drs. H. Tufiq, SH.
62
pengalamannya dalam memerikasa kasus PBA, merasa tidak ada tidak ada alasan
untuk menghalangi perkawinan itu, bila yang bersangkutan bersikeras dalam
pendiriannya. Sikap itu pernah dilakukannya semasa menjadi Hakim Pengadilan
Negeri, ketika KUA tidak mau memberikan izin bagai perempuan Islam yang
hendak melakukan perkawinan dengan laki-Iaki non_Islam51
b. Pejabat Kantor Catatan Sipil (KCS)
Sejumlah pejabat KCS di Jakarta mengatakan, sampai dengan tahun 198652
masih secara rutin melaksanakan PBA. Antara lain kasus perkawinan Jamal Mirdad
(Muslim) dan Lydia Kandau (Kristen) yang dilakukan di KCS DKI Jakarta. Boleh
dikatakan sampai tahun 1986 tersebut, tidak pernah ada permohonan perkawinan
yang berlainan agama yang tidak bisa dilangsungkan KCS. Para pejabat KCS pada
waktu masih menggunakan jalan pikiran seperti ketentuan GHR yang memandang
perbedaan agama, asal kebangsaan, dan lain-lain tidak merupakan ha1angan untuk
I I k · S1me anngsung can per 'awman..
Di samping itu para pejabat KCS seperti pula kebanyakan Hakim pada PN,
tampaknya masih sulit atau enggan untuk memahami secara menyeluruh tentang
sistem yang dianut dan karakter UUP, yaitu sistem perkawinan menurut agama
(religious marriage). Sikap demikian itu tampaknya bukan karena tidak mampu
memahaminya, tetapi ada faktor lain yang mempengaruhi sikap tersebut. Selain
51 Bismar Siregar. Bunga Rampai Karangan Tersebar 2, (Jakarta: CV Rajawali, 1989),Cel. 1, hal. 55-67; Lihal. Harian Kompas, Edisi 10 Juli, 1986, Perkawinan Antar PenganulAgama, Kemp Timbulkal1.Masalah, (Dokumentasi KCS. Propinsi DKI Jakarta); Wawancara. tgl.19 Juli 1999; Pendapat in; senada dengan Putusan MA No. 1400 KJPdlf1986.
50 Terdat perbedaan mengenai tahun dihe11likannya PBA sceara langsung di KCS. karena
ada yang mengatakan tahun 1988, sesnai Instruksi Kepala KCS No. 3614/075.52. tentangpenghe11lian pcrkawinan langsung di KCS.
53 Lihat ketentuan Pasal 7 ayat (2) GHR SIb. 1898·158.
63
telah terbiasa menggunakan sistem hukum Barat yang sekuler, juga keengganan
menerima sistem perkawinan yang religius itu, karena dipandang asing untuk
sebahagian kalangan termasuk pejabat pada KCS pada waktu itu. Karena itu,
sunggunhpun sampai tahun 1986 UUP sudah berlaku secara efektif selama II
tahun, tetapi pemahamnnya belum berubah. Perubahan mulai dirasakan setelah opini
masyarakat, terutama dari instansi, lembaga, tokoh, serta masyarakat Islam pada
umumnya mengecam sikap KCS tersebut. 54
Sebelum mengubah secara total pendiriannya, KCS sempat membuat suatu
kebijaksanaan untuk mengatasi situasi yang terus menekan sikap dan tindakan
berkenaan dengan PBA tersebut. Untuk itu diterbitkanlah Keputusan Kepala KCS
NomoI' : 21 85/-1.755.2/CSI1986, tentang Petunjuk Penyelesaian Pelaksanaan
Perkawinan "Antal' Agama" pada KCS Propinsi DKI Jakarta. Keputusan itu diambil
atas kesepakatan atau hasil musyawarah Rapat Koordinasi berbagai unsur
pemerintahan tingkat DKI Jakarta."5
lsi Keputusan Kepala KCS yang berlaku sejak tanggal ditetapkan pada 12
Agustus 1986 itu, ada dua hal penting intinya yaitu :
I) Laki-Iaki beragama Islam yang akan melangsungkan perkawinan dengan wanita
Non-Islam dicatat perkawinannya pada KUA.
2) Wanita yang beragama Islam yang akan melangsungkan perkawinannya dengan
laki-Iaki Non-Islam, dapat dicatat perkawinannya pada KCS Propinsi DKI
Jakarta setelah mendapat izin dari PN.
54 Perhatikan Fatwa MOl, pemyataanlsikap MUI DKI, sikap Kanwil DKI, dan Direklorat
Urusan Agama Departemen Agama dan lainwlain.55
Peserta musyawarah : BAlS - ABRI, BAKIN, Laksusda Jaya, Polda Metro Jaya,Kejaksaan Tinggi. Kanwil Departemen Agama DKI Jakarta, Biro Bina Pemenntahan, BiroHukum, Biro Umum, dan KCS Propinsi DKJ Jakarta. (Lihat : Konsideran "lnemperhatian". pactaKeputusan Kepala KCS No.2185!-!. 755.2!CS/1986).
64
Memperhatikan diktum Keputusan Kepala KCS Propinsi DKI Jakarta
tersebut, tampak mulai ada perobahan sikap dalam menangani PBA. Perkawinan
antara seorang laki-Iaki Muslim dan perempuan non-Muslim yang sebelumya
dilakukan dan dicatat oleh KCS, mulai diserahkan kepada KUA. Tetapi mengenai
perkawinan antara seorang wanita Muslimah dan pria non-Muslim masih dicatat
oleh KCS, sungguhpun dengan menggunakan istilah "dapat dicatat", yang berarti
tidak mesti dan bisa diinterpretasikan "dapat pula dicatat pada KUA". Namun
dalam pelaksanaannya sulit dilakukan, karena PBA tidak hanya tergantung pada
KCS, tetapi juga instansi lain yaitu PN yang merupakan salah satu kunci penentu
dapat atau tidaknya PBA tersebut dilangsungkan56 Sedang KUA pada umumnya
tidak mau menerima pencatatan PBA tersebut. 57
2. Pihak-pihak yang menentang (kontra) terhadap PBA
a. Hakim-hakim Peradilan Agama
Hakim-hakim Peradilan Agama dapat dikelompokan kepada pihak-pihak
58yang kontra (menentang) terhadap PBA. Hal itu dibuktikan dengan hasil
wawancara terhadap sembilan orang Hakim pada tiga PA di Propinsi DKl Jakarta,
masing-masing 3 (tiga) orang Hakim, ditambahjuga dengan 2 (dua) orang Hakim
dari PA Kabupaten Bogor Jawa Barat.59 Secara umum hakim-hakim memandang
5D Padahal PN tidak ctiajak rembuk dalam mcncntukan Keputusan Kepala KCS tersebut.
57 Lihat pernyataan KCS Propinsi DKI Jakarta, melalui Surat Nomor : 2388/-1.755.4,bulan September 1986, yang ctialamatkan kepada Kakanwil Departemen Agama OK! Jakarta,mengenai perkawinan tcrsebut).
58 Yang ctimaksud adalah hanya PBA yang salah satu pihak calon suami istri beragamaIslam, laki-Iaki atau perempuan.
59 DR. H. A1izar Jas, SH, Drs. H. Moh. Ichwan Ridwan, SH dan Drs. H. Anwar Hidayat,SH, Hakim PA Jakarta Selatan Drs. H. Salim Abdus shomad, SH (Ketua), Drs. H. Said Muji,SH (Wakil Ketua), dan Drs. H. M. Sidqi Ghazali, Hakim PA Jakarta Pusat, Ora. Hj. JarmiahMuqoddas, SH, Musfizal Musa dan Abd. Latif. Hakim PA Jakarta Timur, H. Muslich Amin, danA. DamanhurL Bandjar, Hakim PA Bogor.
65
PBA tidak sesuailbertentangan dengan UUP, karena Islam menghendaki umatnya
kawin dengan orang seagama. Agama Islam melarang penganutnya kawin dengan
penganut agama lain. Bila laki-Iaki Muslim diperkenankan oleh Q.S. al-Maidah, 5 :
5 untuk mengaWll11 wanita Kitabiyah, maka hal itu dalam kenyataan masih
diperselisihkan. KHI yang merupakan rujukan sebagai hukum positif bagai umat
Islam Indonesia dengan tegas melarangnya.
Sikap para Hakim PA itu dapat dimaklumi, karena boleh dikatakan tidak
pernah ada kasus permohonan izin PBA yang disampaikan kepada mereka. (,0
Ketiadaan kasus tersebut ke PA, bukan karena pihak-pihak yang bersangkkutan
atau instansi terkait tidak memahami fungsi dan tugas PA, tetapi karena sudah
dapat dipastikan PA tidak akan mengizinkan PBA itu dilangsungkan tidak menurut
hukum Islam. Sementara lembaga lain memmiliki visi yang jauh berbeda, dalam hal
PBA, sistem perkawinan sekuler lebih banyak mempengaruhi seperti yang dianut
Stb. 1898-158, yang justru mengabaikan hukum agama
Secara nasional para hakim agama itu bersikap konsisten dan konsekuen
dengan ketentuan Hukum Islam yang berlaku. 61 Sungguhpun dalam agama Islam
ada ketentuan Q.S. al-Maidah , 5: 5 yang membolehkan pria muslim mengawini
wanita Ahli Kitab yang juga diduk,mg oleh jumhur ulama fiqih dan mufassir. Di
antaranya seperti Rasyid Ridha, pengarang Tafsir al-Tabary (Ibu Jarir al-Thabari),
60 Dikemukakan oleh 10 dali II orang Hakim PA di DKI Jakarta dan Bogar, sedang saluorang mengaUlkan sejak lahun 1974 tidak ada kasns lersehnl ke PA
61 Dnlak masa kin.i (sejak 1991) Kill merupakan huknm Islam yang herlakn hagi umalIslam Indonesia, sesnai Inslruksi Presiden No. JlI99L (Dikemakakan oleh H. Taufiq. HakimAgungITUADADLDlLAG. dalam wawancara. 19 April 1999)
66
aI-Qasimi, pengarang Tafsir Mabahits al-Ta'wil,02 namun di Indonesia mengikuti
pandangan yang mengharamkan PBA itu. 63
Mengenai PBA pada perinsipnya mereka memandang bahwa UUP telah
mengaturnya, walaupun tiak secara eksplisit, tetapi secara implisit melalui PasaI 2
ayat (1). Karena itu pula mereka memandang GHR (Stb. 1898-158) itu sudah tidak
berlaku, sebab dihapus Pasal 66 UUP. Mereka juga memandang tidak tepat
Petunjuk MA No. MAl 6"Pemb/0807175, Surat Ketua. MA. No.
KMAl72/IV/981,'>S walaupun be/urn dicabut, tetapi tidak sesuai denganjiwa UUP,
karena itu mereka menganjurkan ketentuan itu dicabut.
Demikian pula halnya terhadap Putusan MA No. 1400 K/pdt/1986, tgl 20
Januari 1989 yang mengabulkan permohonan perkawinan antara Andi Vony GP
(Muslimah) dan Adrianus Petrus HN (Kristen) dipandang bertentangan dengan
UUP. Sungguhpun Putusan Pengadilan tingkat Kasasi, tetapi para Hakim PA
menyatakan tidak setuju, walaupun scara teoritis yurisprudensi merupakan salah
satu sumber hukum66 Tetapi, system hukum Indonesia yang menganut statute law,
tidak mewajibkan hakim-hakim mengikuti yurisprudensi67 Putusan kasasi yang
6J LihaL M. Quraish Shihab, dalam Rekonsfruksi dan Renungan Religius Islam,
(Paramactina. Jakar!2, 1996), hal. 3-14.
6, Pandangan ilU ctidasarkan pada teori saddu al-dzariah yang menulup peluang yang
membahayakan, walaupnn perbuatan tersebut pada dasarnya ctihalalkan. Sikat, wahbah alZuJJaeli, Konsep Darnral dalam hukum Islam; Stucti Bancting dengan H. Positif. teJj. Said AgilHusein al-Munawar dan M. Hadri Hasan.
64 Antara lain mengalakan : I) UUP belum meneabut seluruh ketentuan dalam ... GHR;2) Perkara aIllar orang berlainan agama, walau terhadap orang Islam adalah wewenang PN(Kasus yang ditolak oleh KUA Tanah Abang dan KCS wilayah Kota Jakara Pusat,juga Pengadilan Negeri Jakara Pusat)
65 Dialamatkan kepada Menteri Agama dan menteri Dalam Negeri, intinya himbauanlUltuk membantu kelancaran perkawinan Campuran (PBA),
66 Di negara-negara penganut sistem huknm tidak terndis (eommonlaw a!2u Anglo Saxon)
sepeni Inggeris-Amerika, yurisprudensi disusun dan dihimpun daIam law repon ctiikuti oIehHakim-haim dalammemnluskan perkara. (Lihal, Saciplo RahaJjo, 199 I: 113).
,,7 Namun tidak dilarang. (Dardji Dan1iOdilnlljo. 1996, hal. 87)
67
dipandang yurisprudensi itu dinilainya tidak tepat karena tidak sesuai dengan UUP.
Lain halnnya degan Hakim Peradilan Umum, Putusan Kasasi tersebut dijadikan
sebagai sumber hukum, seperti dalam Putusan PN Jakarta Barat No.
43IPdtIPI199I1PNJkt.Brt., mengabulkan permohonan Sri Yogi Sudiningsih
(Muslimah) dengan Anthonie Comelis (Kristen)68
b. Pegawai Pencatat Nikah (KUA) dan BP-4
Pegawai Pencatat Nikah biasanya akan merekomendasikan pihak yang
beragama Islam itu agar meminta penetapan PA setempat bila mereka yang
beragama Islam itu tidak puas atas surat penolakan tersebut. Sungguhpun begitu,
KCS tidak akan merekomendasikan pihak yang bersangkutan ke PA, karena
diyakini tidak akan mengabulkan bahkan justru akan memperkuat penolakan oleh
PPN. Sebagai contoh dalam kasus Jamal Mirdad - Lydia Kandau, yang
permohonannya diperiksa oleh PN Jakarta Selatan.69
Selain PPN juga BP-4, lembaga yang mempunyai hubungan fungsi dan
tugas terpadu dengan KUA, memiliki visi yang sarna dengan PPN tentang PBA.
BP-4 yang biasanya diminta pertimbangannya, selalu mengingatkan pihak yang
beragama Islam tentang sahnya perkawinan menurut agama Islam. Masa lalu
hukum Islam yang berlaku mengikuti Madzhab Syafi'i/o dan sekarang digunakan
KHI sebagai rujukan yang pada hakikatnya juga diwamai madzhab yang sarna. 71
68 Lihalmengenai pertimbangannya, Putusan MA No. 1400 KJPdtl1986 dijadikan sebagai
sWllber hukum untuk mengabulkan permohonan PBA dengan menafsirkan bahwa pihakperempuan yang beragama Islam itu dipandang tidak lagi menghiraukan status agamanya (incasu Islam) seltingga Ps. 8 sub f UUP tidak merupakan halangan.
69Lihat surat KCS. Propinsi DKI Jakarta, No. 1160/1.755,4/CSI1986 tertanggal24 Aprilmenanggapi surat penolakan KUA dan BP 4. Jakarta Selatan, tgL 2 April 1086.
70 Hasbullah Bakrv. 1978. hal 62.•, Ibrahim Hosel;. KctualKetua Komisi Fat",a MUI PusaL mengemukakan hal itu dalam
,vawancara, tanggal 19 sId 27 Juli 1999.
68
Karena itu mereka juga mengingatkan, bahwa orang Islam harus kawin secara Islam
di hadapan PPN, sesuai UU Nomor 22/1946 dan Peraturan Menteri Agama No.
3/1975 Pasal 23 ayat (l), tentang akad nikah72
Surat Menteri Agama,73 menegaskan, bahwa KCS tidak berwenang
mencatat perkawinan orang-orang yang beragama Islam. Selanjutnya butir 6
menyebutkan, bahwa "Fatwa PN yang pada akhir-akhir ini dijadikan dasar
pencatatan perkawinan mereka yang beragama Islam oleh KCS adalah tidak benar,
karena bertentangan dengan UUP, PP 9/1975 dan Keppres No. 12 Tahun 1983".
Sikap itu disampaikan, mengingat PN dan KCS dipandang tidak menjalankan
ketentuan yang berJaku, justru masih berpedoman pada ketentuan yang sudah
ditinggalkan (GHR)74 Surat tersebut, antara lain yang mendorong perubahan sikap
KCS terhadap PBA mulai tahun 1986. 75
c. Majelis Dlama Indonesia
Berkenaan dengan PBA, MUI dipandang sebagai lembaga representatif
pemegang otoritas keagamaan umat Islam Indonesia, telah menyampaikan
pendapatnya kepada Pemerintah. 76 Latar belakangnya antara lain adalah, karena
banyaknya perkawinan antara pria atau wanita Muslim dan orang Kristen atau
72 Perhatikan. Snrat BP-4 Wilayah Kota Jakarta Selatan, No. 37/5-PIBP-4175/1V/1986, tgl.23 April 1986, yang isinya menjelaskan tentang pemberian nasehat kepada Jamal Mirdad (Islam)yang akan kawin dengan Lydia Kandan (Kristen).
73 No. EVlHK.034/2803/86 tanggal 3 September 1986 perihal perkawinan antar agama,ditnjnkan kepada Gubemur DKI Jakarta.
74 Berlainan dengan UUP, GHR mengabaikan huknm agama, dalam hal huknm agamatersebut akan menjadi kendala bagi PBA.75 Lihat hasil wawancara dengan Shodhar Indapa, Kasubag Perencanaan KCS Propinsi DKIJakarta tgl. 16 Desember 1998. jawaban pertanyaan No.5 disebutnya sebagai opini masyarakat,terutama umat Islam tidak setuju.
76 Tanggal25 Pebruari 1992, penyampaian pendapat ditandatangani oleh KH. Hasan Basri
Sebagai Ketua. dan HS. Projokuswllo sebagai Seksi Umwn.
70
Hal itu menunjukkan, bahwa PBA bertentangan dengan hukum Islam dan
dikecam oleh lembaga yang melambangkan otoritas keagamaan umat Islam
Indonesia tersebut. Pernyataan itu juga menyebutkan tidak ada kekosongan hukum
mengenai PBA, karena UUP telah mengaturnya melaui Pasal2 ayat (1) jo. Pasal8
sub f, dan melarangnya sesuai ketentuan hukum Islam82 Bahkan MUI mensinyalir
pasal-pasal yang mengabaikan hukum agama itu, justru mencenninkan sikap
pemeluk agama minoritas yang ingin memasukaan nilai-nilai ajaran agamanya yang
sekularis dalam ketentuan hukum perkawinan nasional. 83
Selain MUI Tingkat Pusat, juga MUI DKI Jakarta menyampaikan
pandangan kepada Gubernur dengan Surat No. 00l/MU-DKI/I/1984, tanggal31
Januari 1994, tentang PBA itu. Diingatkannya, bahwa perkawinan antara seorang
pria atau wanita Muslim dan orang non-Muslim, sama halnya melegalisir perzinahan
dan menipu masyarakat.84 KCS juga dipandang tidak berwenang secara hukum
2) Sebagi konsekwensi daripada punt I, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan diknrangiatan dirobah, tegasnya 00 22/46 dan 00 14/70 dijamin kelangsmlgannya; 3) Hal-hal yangbertntangan dengan Islam dan tidak mungkin disesnaikan dalam 00 ini, dihilangkan (didrop); 4)Pasal 2 (I) dari ROO ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut : Ayat (I) : "Perkawinanadalah sah apabila dilakukan menmut (huknrn) masing-masing agamanya dan kepereayaannyaitu". Ayat (2) : "iap-tiap perkawinan wajib dieatat, demi ketertiban administrasi negara"; 5)Mengenai pereeraian dan poligami perlu dinsahakan adanya ketentnan-ketentnan guna mencegallteljadinya kesewenang-wenangan. (MUI, Ibid, 1992, hal. 13)
82 MUI, Ibid, butir 9, 1992, hal. 16.
83 MUI, Ibid, 1992, hal. 13.
84 Pandangannya itu didasarkan pada Q.S. al- Baqarah, 2 : 221 dan al-Mmntahanall, 60 :10. Haramnya PBA tersebut didukung oleh Pasal 2 ayat (I) UUP dan PasallO ayat (2) PP 9/1975,Surat Diljen Bimas Islam dan Urusan Haji No. DIV2/PW.02/620/1982, Surat MUI JDKI Jakartatersebut ditanda tangani oleh KH. M. Syukri Ghazali sebagai Ketna I dan H. Ghazali Syahlansebagi Sek Ummn, dengan tembusan kepada DP Pusat MUI dan Kanwil Depag DKI Jakarta.Surat kedna ditanda tangani KH. Muehtar Lutfi el-Anshari (Ketna 1) dan Sek. Ummn yang sarna.Tembusan kepada MA, Menag, Gubernur DKI Jakarta, Ketna MUI Pusat, Kakanwil Depag DKIJakarta. Surat itu juga didasarkan fakta, dua bnah ketetapan PN Jakarta Selatan, No.1024/75/1983/P tgl,24 Nopember 1983 dan No. 1164/75/1983/P tgl, 10 Desember 1983. Isinya,mengenai izin/perintah kepada KCS untuk melaksanakan perkawinan bagi wanita atau priaberagama Islam dengan orang non-Islam (Kristen),
71
melaksanakan atau mencatat PBA, selain berdasarkan ketentuan tersebut di atas
juga Keppres No. 12/1983 menegaskan, bahwa KCS hanya berwenang mencatat
perkawinan bagi orang yang tidak beragama Islam.85 Surat senada untuk kedua
kalinya disampaikan lagi kepada Gubernur DKI Jakarta No. 065 IMUIDKIlVIII
1986, tgl 19 Juli 1986. Kali ini protes agar Gubernur memerintahkan KCS
Prapinsi DKI tidak tidak melangsungkan atau mencatat perkawinan orang yang
beragama Islam itu sesuai Keppres No. 12/1983, yang hanya punya kewenangan
terghadap perkawinan non_Islam86 Prates itulah yang akhirnya melahirkan
keputusan Kepala KCS Prapinsi DKI Jakarta, No. 2185/-1.755,2/CS/1986 tanggal
12 Agustus 1986, tentang Petunjuk Penyelesaian Pelaksanaan Perkawinan "Antar
Agama" pada KCS DIG Jakarta.S7
Keputusan ini menunjukkan adanya kekalutan dalam instansi KCS itu,
karena opini masyarakat (umat Islam) yang terus mendesak dicegahnya PBA,
sementara bagi KCS merupakan hal yang sudah rutin dalam tugasnya. Butir 1
keputusan tersebut sebenarnya masih dapat diterima menurut salah satu pendapat
di kalangan umat Islam berpedoman pada bunyi Q.S. al-Maidah, 5 : 5. Tetapi
karena yang diikuti di Indonesia tidak demikian (yang mengharamkan), maka
85 Perhatikan, Pasall ayat (2) sub a, dalam Weinata 1M. Pattiasina, Op. Cit, Jakarta, 1996,hal. 344.
86 Data diperoleh dari dokumentasi KCS Propinsi DKI Jakarta, penelitian tahun199811999.
87 Keputusan tersebut diambil sebagai hasil musyawarah Kepala KCS dnegan Sekretariat
BKMC-BAKlN, Kadit Intel Laksusda Jaya, Kadis Intel Polda Metro Jaya, Kasie Intel KejatiDKl, Ka BIRO Hukum DKl, Kakanwil Depag DKl, dan KaBiro Pemerintahan DKI Jakarta, tgl 7Agustus 1986. Diktmunya adalah pembagian tugas antar KCS dan KUA tentang perkawinanantara orang Islam dan non-Islam.1. Laki-Iaki beragama Islam yang akan melangsnngkan perkawinan dengan wanita non-Islamdicatat perkawinmillya pada KUA.Wanita yang beragaIna Islam yang akan melangsnngkallperkawinannya dengan laki-laki non-Islam, dapat dicatat perkawinannya pada KCS DKI Jakarta,setelah mendapat izin dari Pengadilan Negeri.
72
kedua-duanya tidak memuaskan umat Islam, dan sungguhpun begitu, terhadap butir
I itu, hampir-hampir tidak ada KUA yang melaksanakan.88
Sungguhpun begitu keputusan Kepala KCS DKI itu, akhirnya direstui oleh
Gubernur sebagai kebijaksanaan pemerintah, dengan surat No. 2009/-1.755.2, tgl
27 September 1986. Bersamaan dengan itu dikirimnya pula oleh MUI DKI Jakarta
surat No. 0661MUI-DKIlVIVl986 dengan tanggal sama kepada Ketua Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta, berkenaan dengan kasus perkawinan Jamal Mirdad dengan
Lydia Kandau. Intinya prates agar PBA yang salah satu pihak beragama Islam
ditolak sesuai ketentuan Pasal2 ayat (1) dan Pasal8 sub fuup89
Akibat surat Majlis Ulama DKI itu membuat pemerintah sibuk, Gubernur
DKI Jakarta meminta penje1asan kepada Mendagri mengenai pencatatan
''Perkawinan Autar Agama,,90 Untuk tujuan yang sarna, sebelumnya telah
dilayangkan pula pennintaan penjelasan tentang pencatatan PBA itu oleh Gubernur
DKI Jakarta keoada Menteri Kehakiman91 Intinya adalah inisiatif KCS untukmencari jalan ke1uar agar pasangan PBA yang beragama Islam menundukkan diri
kepada hukum perdata Barat, guna menyampingkan otoritas hukum Islam
terhadapnya berdasarkan Stb. 1917 No. 12 jo. No. 528.92 Sedang pada surat yang
dikirim ke Mendagri menyebutkan tentang sering teljadi perselisihan antara aparat
88 Lihat : Surat KCS kepada Kakanwil Depag DKI, No. 2388/1.755.4, September 1986,tentang : Hambatan pelaksanaan Perkawinan Antar Agama oleh Kantor Urusan Agama., dalampelaksanaan Keputusan Kepala KCS No. 2185/1.755.2/CS 1986.
89 Pasangan tersebut diizinkan dengan penetapan PN Jakarta Selatan., No.238/PdtJP/1986/PN, Jkt-Sel, tgl 29 Mei 196, oleh Ny. Endang Sri Kawoeljan., SH, (Hakim)dibantu Achmad Djuhramuddin (panilra Pengganti).
90 Surat Gubernur DKI Jakarta , No 668/-1.755.2, tetanggal 5 April 1984.
91 Surat Gubernur DKI Jakarta, No. 780/1.755 tgl 25 Juni 1992.92 Stb. 1917 No. 12 jo. No 528, "Regeling nopens de vrywillige onderwerping van het
Europrecsch Priwaatrecht"; Lihat, penundukan diri Jamal Mirdad, Akta No.l11, tgl23-4-1986,di hadapan Notaris, Trisnawati Mniia, SR. (Sumber data dokumentasi KCS DKl Jkt.)
74
3) Bagi mereka yang terlanjur melakukan perkawinan campuran tersebut, agar
segera meluruskannya dengan mengulangi perkawinnanya secara Islam di KUA,
setelah keduanya memeluk agama Islam.
Pernyataan itu disampaikannya, setelah pertemu antara PP Majlis Ulama
Indonesia dan Menko Kesra selaku Menteri Agama Ad. Interim AIamsyah Ratu
Perwiranegara, Selasa tanggal 4 September 198695
C. Perubahan Sikap KCS dalam Melaksakan Perkawinan
Karena terus mengizinkan dan melaksanakan PBA tersebut, KCS dikecam
oleh lembaga dan organisasi Islam karena dianggap telah membiarkan pasangan
tersebut melakukan perzinaan. KCS dikritik karena menurut hukum agama Islam,
perkawinan itu dipandang tidak sah dan tidak punya akibat hukum, termasuk
haramnya hubungan suami isteri tersebut. Perkawinan yang dilangsungkan di KCS
itu dianggap tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan hukum Islam, dan
hubungan keduanya sebagai suarni isteri tidak diakui. Kecaman antara lain
disampaiklan oleh MUI baik Pusat maupun Daerah,96 begitu juga oleh instansi
pemerintah dalam hal ini Kanwil Departemen Agama DKI Jakarta dan Departemen
Agama Pusat.97
95 Lihat Harian : Berita Bnana, Stop Kawin Campuran; Pos Kota, KH Hasan Basri : Soa/
perkawinan muslim non-muslim per/u diluruskan; Merdeka, A1UI minta Kawin Campurandihentikan, ketiganya terbian hari Rabu, 5 Nourber 1986.
96 Daerah Khusus Ibukota Jakarta,lihat Suratuya No. OlllMU-DKlIlII984, dan No.065/MUl-DKlIVWI986, kapada Gubemur; No. 066/MUl-DKlIVWI986, kepada PT DKlJakarta.
97 Perhatikan antara lain, surat Kanwil Depag DKl Jakarta No. W712-b/2119/1986 kepada
KCS Propinsi DKl Jakarta yang intinya mengingatlan agar perkawinan orang Islam dan nonIslam tidak dilayani. Surat Menteri Agama cq. DiIjen Bimas Islam No. EVIHK.07.4/2803/86.Kepada Gubemur DKlJ*arta, juga memperingatkan KCS tidak berwenang mencatatperkawinan orang-orang yangberagama Islam.
75
Kecaman tersebut membuat sikap KCS DKI khususnya, mengalami
perubahan sikap, berkenaan dengan PBA khususnya. Mulai tahun 1986 yaitu sejak
kasus Jamal Mirdad dan Lydia Kandau, KCS boleh dikatakan tidak lagi menerima
PBA, sungguhpun tidak sarna sekali, tetapi dalam praktek masih dapat melayani
sampai tahun 1988.98 Jika dahulu KCS melaksanakan pernikahan, mengukuhkan
dan mencatatnya, maka sejak bulan Januari 1989, KCS hanya mau mencatat
perkawinan yang sudah dinyatakan sah menurut hukum masing-masing
agamanya. 99 Perkawinannya sendiri dilangsungkan oleh pemuka agama di Gereja
bagi orang Katolik atau Protestan, di Pure bagiorang Hindu, dan Vihara bagi
orang Budha. Sikap ini sesuai dengan 1nstruksi Kepala KCS Propinsi DKI Jakarta,
Nomor 3614/075.52 tanggal30 Desember 1988100
Intruksi tersebut berpedoman pada pengarahan Dirpum-Ditjen PUOD
Depdagri dalam pelaksanaan Job Training Catatan Sipil di Batu- Malang, Jawa
Timur tangal 5 sid 10 Desember 1988101 Tampak terjadi perubahan kebijakan
Pemerintah (Depdagri), yang dahulu membiarkan KCS melaksanakan perkawinan
dan mencatatnya bahkan mengukuhkannya, menjadi hanya mencatat perkawinan
yang sudah sah menurut agama masing-masing. Perubahan kebijakan ini mustahil
98 Keterangan disampaikan Drs. Sodhar Indapa, Kasnbag Perencanaan KCS DKI Jakarta,dalam wawancaara 16 Desember 1998; Instruksi Kepala KCS, 3614/075.52, butir 6.
99 Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan teljadi perkawinan antara orang Islam dan
non-Islam di tempat-tempat lembaga ke agamaan non-Islam tersebut.100 Instroksi tersebut berisi 5 (lima) butir, intinya sebagai berikut : I. KCS di se1uruh
Wilayah DKI baik tingkat Propinsi maupun tingkat Wilayah Kota Madya hanya mencatatperkawinan yang sudah sah menurut agama (di Grereja,Vihara, dan Pure). 2. Pencatatanperkawinan yang pendaftarannya sid 31 Desember 1988, tetap diIaksa1lJlkan seperti biasa. 3.Pernbahan Register Akta dati 2 (dua) baku menjadi 1 (satu) baku saja, terltitung 1 Januari 1989.4. Register dimaksnd meliputi Akta Kelahiran, Perkawinan, Perceraian, dan Kematian. 5.Pengarahan tehnis pennuIisan Register (barn). 6. Introksi tersebut berlaku muIai tangga1 I Januari1989.
101 Lihal dasar perimbangan keluarnya Introksi tersebut, Periha1 : Pelaksanaan Pelayanan
Masyarakat.
76
tanpa sebab, sunguhpun tidak disebutkan alasan perubahan itu, tetapi patut diduga
perubahan itu akibat opini masyarakat yang terus menerus bergulir menjadi
kecaman-kecaman. Terutama kecaman dan tekanan dari lembaga-Iembaga,
., ., kh khll 102organlsasl-orgamsasl, serta to 0 -to 0 sam.
Tampaknya Instruksi ini kedl, karena hanya sepucuk surat Kepala KCS
Propinsi DKI Jakarta, yang hanya ditujukan kepada aparatur KCS di DKI Jakarta.
Tetapi pengaruhnya sangat besar dan cukup efektif dalam mengubah visi
pemahaman yang keliru mengenai misi dan fungsi serta kompetensi KCS terutama
di DKI Jakarta. ltu berarti KCS telah menyesuaikan dirinya dan berorientasi pada
sistem religious marriage yang dianut UUP, sedangkan pencatatan hanya
merupakan aspek administratif sebagai pendukung aspek substantif Asfek
administratif itulah yang merupakan wewenang KCS, sedang substantifuya berada
di bawah otoritas sesuai hukum agamanya masing-masing. 103
Dengan hanya kewenangan pencatatan, maka KCS tidak lagi berfungsi
pengesahan (penentu) perkawinan tersebut. Dengan hanya kewenangan itu, maka
KCS dapat menolak permohonan PBA, walaupun sudah mendapatkan izin
berdasarkan penetapan Pengadilan. Sebelumnya tidak pernah menolak, bahkan
calon pasangan yang bersangkutan justeru mendapat rekomendasi KCS untuk
meminta izin Pengadilan Negeri sebagai pengganti surat keterangan, tentang
tiadanya halangan untuk melangsungkan PBA104 Dengan perubahan sikap itu
KCS pernah menolak permohonan PBA antara Sriyogi Sudiningsih (Muslimah) dan
102 Keterangan disampaikan Shodhar Indapa, pejabat KCS yang diwawancarai tanggal16
Desember 1998.
103 Perhatikan, ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 sub f,jo. Pasal 59 ayat (2) UUP dan
Pasal 10 ayat (2) PP 9/1975.
104 Informasi disampaikan Shodhar Indopa, dalam Wawancara tanggal16 Desember 1998.
Perhatikan pnIa dalam kasus-kasus perkawinan seperti Jamal Mirdad dan Lydia Kandow.
77
Anthonie Camelis (Kristen) yang sudah mendapat izin PN Jakarta Barat dengan
Register No. 43/Pdt/P1199/PN tertanggal 21 Pebruari 1991.105
Perubahan sikap KCS itu ternyata mendapat dukungan moril dari PTUN,
ketika pihak Sriyogi mengadukan Surat Penolakan Kepala KCS tersebut ke PTUN
Jakarta melalui kuasanya tanggal 14 Juni 1991, Register No. 057/GI1991/KCS/
PTUN-Jkt. Putusannya cukup mengejutkan, karena justru memperkuat penolakan
oleh KCS dan menolak untuk mengabulkan permohonan izin untuk melangsungkan
PBA tersebut. Pertimbangan penolakan bagi Sriyogi sebagai pihak yang kalah
dalam Pokok Perkara, intinya sebagai berikut106:
a) Sri Yogi Sudingsih (Islam) tidak memenuhhi syarat perkawinan menurut
UUP, demikian pula Anthonie Carnelis menurut Pasal21 UUP dan Pasal 2 ayat
(1) PP 9/75;
b KCS bukan pejabat khusus/pemuka agama yang berwenang mengawinkan, tetapi
hanya mencatat yang sudah sah menurut agama selain Islam;107
105 Lihat surat yang disampaikan pengacaranya "Dahlan Mansur, SIr' No.
02IDMJIl1991), yang sudah mendapat izin Pengadilan Negri Jakarta Barat dengan Register No.43/PdtJP/199/PN tertanggal 21 Pebmari 1991. Pertama peno1akan KCS dengan surat No.213/1.755.23, tanggal 24 Januari 1991 itu, sebe1um yang bersangkutan meminta penetapan PNJakarta Barat. Kedua surat dengan surat No. 937/1.755.2, tanggal 25 April 1991, KCSmenolaknya setelah ada izin PN Jakarta Bara!. Alasan yang dijadikan dasar dalan surat penolakanitu adalah :
1. Pasal 2 ayat (1) UUP, tentang sahnya perkawinan menurut hnkum masing-masing agamanyadan kepercayaanya itu;.
2 Pasal 2 PP 9/1975 tentang pencatatan perkawinan menurut agama Islam oleh PPN danperkawinan sclain menurut agama Islam di KCS;
3. Kepres No. 12/1983 Pasal 1 tentang kewenangan KCS adalah pencatatan dan penerbitan akta... perkawinan;
4. Surat Menteri Agama No. IVIHK.034/2803/86 tgl 3 September 1986, perihal : "Fatwa PNtentang izin PBA betentangan dengan UUP, PP 9/75, dan Kepres 12/1983".
Intruksi Kepala KCS Propinsi DKI Jakarta, No. 3614/075.52 tgl 30 Desember. 1988,bahwa KCS hanya mencatat perkawinan yang sudah sah menurut agama (di Gereja, Vihara, danPura).
106 Lihat, pertimbangan putusan, haL 42-43 (Dokumentasi KCS DKI Jakarta).
107 Sesiliri alasan pada surat KCS No. 213 dan No. 937 tersebut; (Lihat pertimbanganPutusan PTNUN No. 0571!l991/CSIPTUN,juga Intruksi Kepala KCS, Propinsi DKI Jakarta No.
78
c) Surat Penolak KCS bukan Surat Keterangan PPN (bagi Sri Yogi yang beragama
Islam), hanya menunjukan KCS bukan instansi berwenang baginya.
Melihat pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka PTUN cukup cermat
dalam melihat permasalahan kasus Sriyogi dan Anthonie, mengingat langkanya
Peradilan di luar PA yang tidak setuju dengan PBA yang terlarang menurut hukum
Islam, seperti biasanya PN menyikapi masalah ini.
Bagi para Pejabat KCS perubahan Visi dan sikap terhadap PBA, itu
merupakan babak barn dalam sejarah perkembangan pemikiran pelaksanaan
perkawinan yang pencatatannya dilakukan oleh KCS. Dengan sikap tersebut akan
merupakan awal dari pemahaman sistem hukum nasional khususnya tentang
perkawina secara utuh dan benar. Boleh dikatakan sikap KCS terutama dalam
menangani kasus Sriyogi. S dan Anthonie Camelis merupakan batas yang
membedakan antara Visi KCS yang sebelumnya berorientasi pada GHR dan Visi
KCS sejak itu berorentasi pada UUP. KCS dan PTUN dalam hal ini berpartisipasi
mempelopori dalam pembangunan dan pembaharuan hukum nasional, khusunya
dalam implementasi norma-norma hukum yang telah disepakati dan merupakan
bagian dari kesadaran dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sejak itulah PBA yang salah satunya beragama Islam tidak lagi bisa
dilakukan di KCS. Padahal sebelumnya tidak pemah ditolak, asal sudah mendapat
izin PN dapat dilaksanakan. Bahkan pada masa yang lampau KCS sendiri justru
yang merekomendasikan agar para pihak mengajukan permohonan untuk minta izin
dari PN bukan ke PA yang berhak memeriksa perkaranya, karena sudah dapat
dipastikan tidak akan mendapat izin. lOS Akibat perubahan sikap itu, maka izin PBA
3614/075.5211988, juga Kepres 12/1983, dan Surat Menteri Agama No. EVIHK. 03.4/2803/1986,3 September 1986).
108 HasH observasi dan wawancara dengan Sudhar 1ndopa, Harry Susanto, dan Djamirus
79
yang biasanya mengalir ke PN, sejak tahun 1989 mulai terhenti, karena KCS tidak
mau merekomendasikan lagi. Andaikata calon pasangan langsung meminta
penetapan PN, mereka tidak dapat merealisasikannya, karena KCS akan
menolaknya seperti pada kasus Sri Yogi. 109
Narnun bukan berarti PBA sarna sekali terhenti, sebab masih ada sejumlah
cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi kebuntuan guna melangsungkan
perkawinan tersebut. Upaya yang dapat ditempuh, antara lain dengan cara langsung
ke lembaga tempat pemberkatan di Gereja,110 bagi pasangan yang salah satunya
Kristen atau Katolik, karena mereka membuka perkawinan dengan pemeluk agama
lain tanpa hams pindah agarna terlebih dahulu. 111 Bagi penganut agama Budha
dapat dilakukan pula di Vihara. Sebagai contoh kasus perkawinan antara Adam
Herman (Budha) dan Angelica Khanty Irawan (Katolik) tanggal8 Maret 1999 di
Vihara Budha Metta, Menteng, Jakarta Pusat. 112
Rasui, JJe;iabat KCS DIG Jakarta, sekitar 16 Desember 1988 sid 9 April 1999.100 Perhatikan surat penolakan KCS No. 213/1.755.23, tanggal24 Januari 1991, dalam
kasus Sri Yogi Sudiningsih -Authonie Cornelis.110 Data Perkainan di Gereja se-Jakarta -Katedral, menunjukkan banyaak PBA yang
dilangsungkan di Gereja Katolik.111 Sikap tersebut dikemukakan oleh Weinata Sairin, Peudeta dan pengurus PGI pusat;
Romo Purbo, Pastur, dalam wawancara masing-masing tgl 9 Pebrnari 1999, dan 24 Pebrnari1999. Juga Hindu dan Bmlha, walau sebabagian pemukanya membolehkan pemeluk lain tetapdalam agamanya, tetapi sebagian mengharuskan membuat pernyataan menganut agama Budha,a1asannya karena perkawiuan mereka harns secara Budha, Pemuka Budha yang memblehkan,adalh S. Widya Dharma, Pendeta Lakavalasraya, (wawancara , 14 Januari 1980 dalam A.Cbaeruddill, 1980, hal 49), sedang yang mengharuskan masuk Budha dahulu adalah, CamelisWowor, Pejabat Urusan Agama Budha, Depag, (wawancara, 21 Desember-1998;juga Widin,Kepala Seksi Perkawinan pada Villara Budha Merta, 2 Pebrnari 1999); Pihak Hindu yangmengharnskan seagama waktn kawin adalah Gde Pudja, dalam bukunya "Pengantar TentangPerkawinan Menurut Hukum Hindu, (Mayasari, Jkt, 1975, hal- 53 sid 55), sedang yangmembebaskan tanpa pindah agama adalah Ida Bagus Gunada, Pemuka Hindu Pimpinan YayasanManunggal Karsa Nusantara, n. Auggrek Nelli Murni, Blok A No.1, Jkt Bara!. (wawancara,' 3Pebruari 1999).
112 Wawancara dengan Widin, Seksi Perkawinan, dan Penelitian berkas Perkawinan, diVihara Buddha Metta, n. Lembang Terusan, Jakarta Pusat, tanggal. 25 April sid 2 Mei 1999.
80
Karena perubahan sikap KCS itu, calon pasangan PBA yang tennasuk PC
banyak juga yang memilih pindah agama, terutama antara searang wanita Islam dan
pria non-Islam, ada di antara mereka yang memilih perkwinan di KUA. Penelitian
melalui wawancara dan penelusuran dokumen, ditemukan sejumlah kasus PBA
yang merupakan PC, versi UUP Pasal 57 (berlainan warga negara), rata-rata terjadi
sekitar 12 pasangan per_tahun113
Contoh kasus-kasus perkawinan antar orang berlainan warga negara
sekaligus berlainan agama, antara lain pasangan:
1) Gregori Wayne Horral warga negara Amerika (sebelum kawin beragama
Kristen) dan Nuke Damayanti, wanita Muslimah. Perkawinan mereka dilakukan
secara Islam tanggal21 September 1998 di KUA Kec. Cilandak, Jakarta Selatan,
setelah calon mempelai laki-Iaki menyatakan masuk Islam secara resmi di
Jakarta, 12 Desember 1997114
2) Gregory John (Kristen), wn. Australia dan Nur Fatma (Muslimah), nikah di
District of Fremantle tanggal 17 Oktober 1998, The State Western Australia,
Akte No. 27/878/98/A. Mereka melakukan perkawinan ulang secara Islam
tanggal 4 April 1999 di Masjid Sunda Kelapa Jakarta Pusat oleh wali Sjaeful
MS, orang tua kandung mempelai wanita, di hadapan PPN/kepala KUA Kec.
Menteng Jakarta Selatan. 115
113 Penelitian dilakukan di KUA, Kebayoran lama, Cilandak, Ps. Minggn, Menteng danTanah Ahang.
114 Wawancara dengan H. Tajuddin (Kepala), dan H. Sukana (Wald/), dan Penelitianberkas perka'Winan pada KUA Cilandak, Jakarta Selatan, 23 Maret 1999.
115 H. Chalid Ghozali, Kepala KUA Menteng, bagi pasangan tersehut tidak dikeluarkanlagi Akta Perkawinan barn, tetapi hanya diberikan Surat Keterangan oleh KUA dengan No.KIIMJ-IfPW01l662/1999 tanggal 5 April 1999, setelah pihak suanti menyatakan masuk Ishim5eeara resmi di Masjid Agung Sunda Kelapa, tanggal I April 1999. Register No.I0.230/l93/lV/l999.
81
Cara lain yang dilakukan oleh sejumlah calon pasangan PBA adalah yang
melakukan perkawinan di luar negeri. 116 Perkawinan tersebut dipandangnya lebih
aman bagi para pihak, karena mereka akan memilih negara yang sistem hukum
perkawinnya sekuler, yaitu yang tidak mempersoalkan perbedaan agama masing
masing. Negarai pilihan biasanya seperti Singapura, Australia, Jerman, Prancis atau
negara-negara di mana salah seorang dari calon suami isteri adalah warga negara
. b k 117Asmg yang ersang utan.
Sebagai contoh pasangan yang perkawinannya dilakukan di luar negen
kemudian dicatatkan di Indonesia pada Buku Pencatatan Akta Stb. 1849 Tahun
1992-1998 KCS Propinsi DIG Jakarta:
I) Afiardi Aziz (pria Islam) warga negara Indonesia dan Trubel, Nicrle, Ariz
(wanita Kristen) warga negara Jerman, kawin di Jerman tahun 1998 dan didaftar
di KCS DIG Jakarta dengan Akta No. OI/KHSIIA/I998;
) Wladislau Edmund Maclunki (Katolik) warga negara Australia dan Nina
Muliardi (Muslimah) warga negara Indonesia, kawin 30 September 1997 di
Australia, di daftar di KCS DKI Jkt dengan Akta No. 06/AIlKHS/1849/1998.
Perkawinan Campuran yang berlainan agama tersebut tidak mungkinlsangat
sulit dilakukan di Indonesia setelah tahun 1989,118 Tetapi karena Indonesia terikat
dengan "Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol" tahun
1963,119 maka perkawinan yang dilakukan di Luar Negeri harus diakui sepenuhnya
116 1nformasi diberikan oleh antara lain; Drs. Shodar Indapa, Kasubag Pereueanaan KCSPropinsi DKI dalm wawaneara, 1I Pebruari 1999, Drs. Harry Susanta, IO Maret 1999, DjamirusRasuni SR. 9 April 1999.
117 Pene1itian pada Buku Pencatatan perkawinan Stb. 1849, tabun 1992-19998; danWawancara dengan Sudhar Indopa, Pejabat pada KCS DKI Jakarta, 19981I999.
118 sebagaimana terjadi pada calon pasangan Sri Yogi Sudaningsih dan Anthonie Caruelis
seperti telah diuraikan.
119 Perhatikan. Sural Deplu Rl kepada Kepala KCS (Heru SuIm), No. I052/PUIXII5/43,
tanggal 27 September 1995, menginformasikan ratilll<asi Konvensi Wina tersebut dengan UU
82
dan tanpa koreksi dapat di daftar di KCS. Sebenamya dalam Konvesi tersebut tidak
ada satu pasal pun yang secara tegas mengatur tentang kewajban pejabatlinstansi
Pemerintah untuk mendaftar begitu saja tapa seleksi perkawinan yang dilakukan di
Luar Negeri. Selain itu telah ada dasar hukum bagi pejabat pencatat perkawinan
yaitu Pasal 56 UUP untuk tidak menerima pendaftaran perkawinan warga negara
Indonesia yang dilakukan di Luar Negeri, apabila nyata-nyata tidak memenuhi
ketentuan. 120 Maka berdasar ketentuan itu, perkawinan antara seorang wanita
Islam dan pria non-Islam, sebenarnya bisa ditolak karena tidak sab menurut hukum
agama pihak isteri. 121
1/1982. LN No. 2/1982; Convensi 1963, letjemahan Deplu.
100 Pasal 56 menegaskan, "Perk3lvinan yang dilangsungkan diluar Indonesia ... bagi warga
negara Indonesia lidak melanggar kelentuall Ulldang-undallg illi".
1'1 Perhatikan. kelen(nan Q.S al-Mumtahanah, 60:10. Yang mengharamkall wallila
Muslimah kawin dengan pria non-Muslim.
89
DAFTAR KEPUSTAKAAN
AI-QuI' 'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir AlQur'an, (Medinah Munawarah : Mujamma' Khadim al-Haramain alSyarifain aI-Malik Fahd, Ii thiba'at al-Mushafal-Syarif" 1411 H).
AI-QuI' 'an dan Tafsirnya, Jilid X, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci AI-Qur'an,Departemen Agama RI, , 1984/1986).
Abdurrahman, SH. dan Ridwan Syahrany, SH., Masalah Masalah HlIkllm Pel'kawinandi Indonesia, (Bandung : Alumni, 1978).
Abdurrahman, SH., Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pel'kawinan,(Jakarta: Akadernika Prisindo, CV., PO. Box. 93, 13001).
Ali, Chidir, S.H., YlIl'isprudensi Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Bandung : PTAlma'arif, 1979), Cetakan ke-I.
Ali, Maulana Muhammad, M.A., LLB., The Religion ofIslam, Terj. HM. Bachrun danR. Kaelan, Islamologi (Dinul Islam), (Jakarta : Dar! Kutub Islamiyah,Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, 1989), Cet. ke-3.
Arifin, Busthanul, Prof Dr. S.H., Pelembagaan Hukum Islam di IndoneSia, AkarSejarah, Hambatan, dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),Cetakan ke-I.
Attarnirni, A. Hamid S., Prof Dr. S.H., Peranan Keputusan Presiden RepublikIndonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu StudiAnalisis Mengenai Keplltusan Presiden yang Beifllngsi Pengatllran DalamKurun Waktll Pelita I - Pelita IV, (Jakarta : Fakultas Pascasarjana,Universitas Indonesia, 1990).
Bahar, Saafroedin, et aI., (penyunting), dengan Kata Pengantar Taufiq Abdullah, ProfDr., Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha PersiapanKemerdekaan (BPUPKl), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKl), (Jakarta: Selcretariat Negara RI, 1995.
Balcry, Hasbullah, Prof Drs. K.H. SH., Kumpulan Lengkap Undang Undang danPeraturan Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Jambatan, 1978).
90
Brownlie, IAN, Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia,PeneIjemah, Rudiansah, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, VI-Press,1993).
Chaernddin, Drs. H.A. SH, Masalah Perkawinan Campuran di Kola MelropolilanJakarla, (Jakarta, Universitas Islam Jakarta, 1980), tidak diterbitkan.
Darnsman, Marzuki, S.H., Penegakan Hak-hak Asasi Manusia dalam Negara HukllmBerdasarkan Pancasila, dalam "Konsepsi Hak-hak Asasi ManusiaBerdasarkan Pancasila", (Surabaya : Lapasila IKIP Malang, UsahaNasioanal, 1996).
Ensiklopedi Hukllm Islam, Jilid V, (Jakarta: PT. Iehtiar Barn, van Hoeve, 1997).
Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta- Amsterdam: PT Iehtiar Barn van Hoeve dan ElsevierPublishing Project, 1989).
Gautama, Sudargo (Gouw Giok Siong), Prof Mr. Dr., Hukum A/7/ar Golongan SuatuPenganlar, (Jakarta: PT. Penertbit dan Balai Buku, Iehtiar, 1971).
__---', Segi-segi Hukum Perkawinan Campllran, (Bandung: Alumni, 1973).
Harahap, SH., M. Yahya, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, (Cairo: CV.Trading Co., x 1975).
Hazairin, Prof. Dr., SH., Hukum Kekeluargaan Nasinal, (Jakarta: Tintamas, 1976).
___, Tinjauan Menge/wi Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta:Tintamas, 1975).
(in memoriam), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta :Universitas IndonesialUI-Press, 1981).
Hidayat, Komarnddin dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over, Melinlasi BalasAgama, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Bekerjasama denganYayasan WakafParamadina, 1998).
Himpunan Peraluran Calalan Sipil, (Jakarta : Kantor Catatan Sipil Pemerintah DKIJakarta, 1979).
Husen, Ibrahim, Prof. K.H., }>iqh Perbandingan, (Jakarta Balai Pendidikan danPerpustakaan Islam, 1971).
91
Ichtiyanto SA, Dr., Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia :Suatu Studi ke arah Hukum Yang Dicita-citakan, Disertasi S3, (Jakarta:Univesitas Indonesia, 1993).
Indriati, Maria Farida Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar danPembentukannya, (Jakarta Sekretariaan Konsorsium lImu HukumUniversitas Indonesia, 1996)
Lopa, Baharuddin, Prof Dr. S.H, AI-QuI' 'an dan Hak-hak Asasi Manusia,(Yogyakarta : PT. Dana Bhahi Prima Yasa, 1996).
Majlis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majlis Ulama Indonesia,(Jakarta: Sekretarian Majlis Ulama Indonesia, 1994).
___, Tuntutan Perkawinan Bagi Ummat Islam (Nfengacu pada UU No. 1/1974tentang perkawinan dan Fatwa MUI Keputusan MUNAS Thun 19980),(Majlis Ulama Indonesia, Jakarta, 1992)
MalIat, Chibli & Jane Connors, Islamic Family Law, Arab & Islamic Laws Series,(London: Graham and Trotman Limited, 1993), Reprinted.
Nasution, Prof Dr. Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta:Bulan Bintang, 1974).
___, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit al-Mizan,LSAF., 1989)
__--', Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975).
Prodjodikoro, Wiryono, Dr. R. SH., Hukum Antal' Golongan di Indonesia,(Bandung: Sumur Bandung, 1968), Cel. ke-4.
Pudja, MA. Gede, Pengantar Tentang Perkmvinan Menurut Agama Hindu, (Jakarta: Mayasari, 1975)
Purbopranoto, Kuntjoro, Prof Mr., Hak-hak Asas/ Manus/a dan Pancas/la, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1976).
Ridha, Muhammad Rasyid, Tajs/r ai-ManaI', Jilid IV, (Cairo: Matba'at al-Qahirah,1367 H)
92
Sairin, Weinata M.Th., Pdt. dan Pattiasina, Dr.J.M, Pdt., Pelaksanaan UndangUndang Perkawinan dalam Perspektij Kristen, (Jakarta:. BPK GunungAgung, 1996), Cetakan 2.
Sekitar Pembentukan Undang Undang Perkawinan Beserta PeaturanPelaksanaannya, (Jakarta Direk-torat Hukum dan Perundang-undangan,Departemen Kehakiman, 1974).
Shihab, M. Quraish, Prof Dr., Wawasan AI-Qur 'an __ Tqf5ir Maudu'l atas PelbagaiPersoalan Umat, (Bandung : Penerbit Mizan, 1997), Cet. ke-5.
Siregar, Bismar, SH., Bwzga Rampai Karangan Tersebar 2, (Jakarta: CV Rajawali,1988), CeL 1.
Soekanto, Suryono, Dr. SH., Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan PenerbitUniversitas Indonesia, 1977), Cet. ke-5.
Statistik Indonesia (Statistical Year Book of Indonesia, 1988, (Jakarta, Indonesia:Biro Pusat Statistik, 1988).
SUbekti, SH., Prof R. dan Tjitrosudibio, R., Kitab Undang Undang Hukum Perdata(Burgerlijk Wetboek), Terjemahan, (Jakarta: dnya Paramita, 1978).
Sukardja, Ahmad, Prof Dr. SH., MA., Piagama Madinah dan Undang UndangDasar 1945 __ Kqjian Perbandingan Terhadap Dasar Hidup EersamaDalam Masyarakat Yang Majemllk, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,1995).
Suma, Muhammad Amin Prof Dr. H. M.A., S.H. (Ketua Team Peneliti), PerkawinanDalam Aliran Kepercayaan Madrais di Indonesia, Tinjauan Teologis,Historis, dan Yurudis Islam, (Jakarta : Proyek Pengembangan Penelitianpada Perguruan Tinggi Agama Islam - Ditjen Binbaga Islam, DepartemenAgamaRl,1998/1999)
Supomo, Prof Dr. R., SH., Sistem Hukum di 1ndonesia __ Sebelum Perang Dunia ll,(Jakarta: dnya Paramita, 1972).
Thalib, Sajuti, S.H., Receptio A Contrario, Hubungan Adat dengan HukumIslam,(Jakarta: PT Bina Aksara, 1985), Cet. ke-4.
Tjokrowisastro, Soetjipto, SH., Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, (Jakarta:Bina Aksara, 1985).
93
Zuhaili, Wahbah, AI, Prof Dr., AI-nqh al-Islamy wa Adillatuh, (Damsyiq : Dar alFikr, 1989 MI1409 H), Cetakan ke-3.
PERUNDANGUNDANGAN
Undang Undang Dasar Tallllll 1945, (BP-7 Pusat, Jakarta, 1994).
Ketetapan MPRS NomoI' XX/MPRS f1966, tentang Memorandum DPR-GR menge/wiSumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan PeraturanPerundangan Republik Indonesia;
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 danPenjelasalll1l1ya, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974;
Peraturan Pemerintah NomoI' 9 Tahun1975, tentang Pelaksanaan Undang UndangNomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1975 Nomor 12 dan Penjelasannya, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 3050;
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, Tentang Peradilan Agama, Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1989 Nomor dan Pe/?jelasannya, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 1989.
United Nations (PBB), The Universal Declaration of Human Righats, (StandardSetting by United Nations Organisation, 1948).
Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol to 171e ViennaConvention on Diplomatic Relations Concerning Acquistion ofNationality,1961, dan Vienna Convention on Consular Relations and OptionalProtocol to 171e Vienna Convention on Consular Relation ConcerningAcquistion of Nationality, 1963, terjemahan Konvesi Wina Tahun 1961,Tentang HlIbngan-HlIbungan Diplomatik dan Konvensi Winan Tahlln1963, Tantang Hubungan-Hubllngan Konsuler Berikut Protokol MasingMasing, (Depertemen Luar Negeri, Direhorat Jenderal Protokol &Konsuler, Jakarta, 1983). Ratificasi dengan DUNo. 1 Tahun 1982.
Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR), Stb. 1898 No. 158. PeraturanPerkawinan Campuran, Penetapan Raja (Belanda), tanggal 29 Desember1896 Nomor 23.
Membaca
SURAT KEPUTUSAN REKTOR lAIN SYAlUF HlDAYATULLAH
NOMOR : 060 TAHUN 1999
TENTANG
PELAKSANAAN PENELlTIAN KELOMPOK DAN INDIVlDUTAHUN ANGGARAN 1999/2000
REKTOR lAIN SYARlF HlDAYATULLAI-J. JAKARTA
Sural Kepala Pusat p~nelitian lAIN Syarif HidayatullahJakarta. Nomor : PL.005/Vl/J/--1999. tentang p~nclitian DIPNomor: 080/XXV/001/4/-J/99
94.
Menimbang
Mengingat
a. bahwa untuk menjamin efektifitas pelaksanaan penelitiankelompok dan indiv.idu sesuai dengan arahan DIPNomor : 080/XXV/Oqil/4/--/99 Proyek PTN lAIN SyarifHidayatullah Jakarta, dlpandang perlu menunjuk koordinatorpenelitian, konsultan dan tenaga peneliti serta menetapkanjudul-judul penelitian d~n wak1u pelaksanaannya;
b. Bahwa mereka yang n~manya tercantum dalam lampiran I danII keputusan ini dipandang mampu dan memenuhi syarat untukditunjuk sebagai koordi!nator penelitian, konsultan dan tenagapeneliti dalam penelitiary kelompok dan individu.
1. Undang-undang Nomor i: 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
.2. Keputusan Presiden Rl 1"lomor 16 tahun 1994 jo. Keppres No:
124/99 Tahun 1995 tentang pelaksanaan Anggaran Pendapatandan Belanja Negara ;
iJ. Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Nega-
ra Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ KetuaBappenas. Nomor: KepJ27/M1J/8/1994 tentang petunjuk
Kep+-166/KET/8/1994Tekhnis pelaksanaan KepljreS NO.16 Tahun 1994;
'1emperhatikan
fenatapkan
,nama
edua
~tiga
:empat
4. menteri negara perencanaan Pembangunan NasionallI\etua Bappenas Nomor Kep.120/KET/7/l994 tentang SistemPemantauan dan Pelaporan Pelaksanaan Proyek-proyek,Pembangunan.
I
5. Neputusan Menten Agama Nomor : 386 tahun 1993 tentangOrganisasi dan Tata Kerja lAIN Syarif Hidayatullah Jakana ;
6. Keputusan Menten Agama Nomor: 400 Tahun 1993 tentangSiatuta lAIN SyarifHidayatullah Jakana ; .
,
7. Keputusan Menteri Agama Rl Nomor 138.A Tahun 1995tentang Petunjuk Pelaksanaan Proyek Pembangunan Lima TahunDepanemen Agama Rl ;,
I. Daftar Isian Proyek Nomor : 080IXXV/00Jl4/--/99Tanggal 1 April 1999
2. Surat Keputusan Dirjen Binbaga Islam Nomor: E./065/99tanggal 5 Juni 1999 tentang Judul Penelitian Institut AgamaIslam Negeri (lAIN) talmn 1999/2000.
MEMUTUSKAN
KEPUTUSAN REKTOR lAIN SYARlF HIDAYATULLAH: JAKARTA TENTANG PELAKSANAAN PENELITIAN
KELOMPOK DAN INDIVIDU TAHUN ANGGARAN1999/2000.
Menunjuk koordinator penelitian dan tenaga peneliti untukPenelitian 'kelompok dengan judul-judul penelitian sepeni
i tercantum pada lampiran I keputusan ini.,
Menunjuk konsultan dan tenaga peneliti untuk penelitian. individu dengan judul-judul penelitian sepeni tercantum pada, lampiran II keputusan ini.
Penelitian·dilakukan selama 4 (empat) bulan terhitung sejaktanggal I Juli sid 30 Oktober 1999.
Segala pembiayaan sebagai akibat dari ditetapkannyakeputusan IOJ dibebankan kepada anggaranPembangunaniDIP Nomor: 080IXXV/00Jl4/--/99..
95
:eJima
i,I
Keputusan ini berJaku sejak tanggaI ditetapkan denganketentuan bahwa segaIa sesuatunya akan diubah dan ditinjaukembaIi apabiIa dikemudian hari terdapat kekeliruan dalampenetapan ini.
96
IaIinan surat Keputusan ini idisampaikan kepa a:
Sekjen Departemen Agama Jakarta; .Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama Jakarta;Dirbinperta Islam Depaltemen Agama Jakarta;Dekan Fakultas di Iingki.mgan IAJN jakarta;Kepala Biro ADKUM 4 AAKPSI IAJN Jakarta;Kepala Pusat Penelitian Jakarta;Kepala KPKN Jakarta IV Jakarta;Yang bersangkutan ;
JAKARTA22 Juni 1999
-JUDUL-JUDUL PENELITIAN INDIVIDUAL DIP
TAlIUN 1999/2000. I
97
No JUDUL PENELITIAN
.
KONSULTAN PENELITI
01 Morivasi Keberagamaan Masya- Dr.Syamsir Salam, MS Drs. Sugihanorakat Keturunan Tionghoa.
02 Problem Porensial pada Prof.Dr.H.Aminllddin Dra. Armawati Arbi, .Komllnikasi antar Blldaya Rasyad, MA M.Hum. •(Aklliturasi Etllis Cina padakelompok Karim Oei danKelompok di Ciputal.
03 Hasan AI-Bana, dalam gerakan Dr.Wahib Mu'thiDakwahnya I
,04 Efektifitas Dakyjah sebagai lImll Prof.Dr.H.Moh. Ardani
(Studi terhadap Skripsi MahassiwaFak. Dakwah lAiN Jakana 1995-1997 ,
05· Hubungan antara hasil penilaian Dra. Fadhila S. M.Psi.Ranah Kognitif dengan Afektif danPsikomotorik pada MahasiswaUniversitas Bandung dalammencapai tujuan ProgramPendidikan Agama Islam padaPergllruan TinggiUmllm.
06 Pemikiran Kalam Bratakesawadalam Literatur • AJiranKepercayaan ( Stlldi Naskah"Kunci Swarga"):
Drs Wahidin Saputra
Drs. M.Lutfi,
.Nllru\ Hidayati,S.Ag·
Drs. Suwarno Imam
07 Religiusitas Masyarakat MiskinStudi Kasus di Daerah Pamlliang.
ProfDrs.ZainiMllchtarom, MA
Drs. Masri Mansocr
99
28i,
Studi Hukum Islam di KawasanI
Negara-negara Asia.
ProfDr.H.M. AminSuma, MA, SH
Rujuk)Kajian
Ayat-ayal
MuhammadTaufiki, S.Ag
·:.!'rof. Dr.Hasanuddin 'AF, MA.
I·
dalam Dr. Abudin Nara, MA
I,I, . .
KemlsklnanII
PengenrasanKonsep Islam.
HUkumPerkawianl,(Nikah,Talak,Cer'li danmenurut AI-Qur'anTematis terhadapHukum.
29
30
31 Undang-Undang No. I Tahun 1974dan Kaitannya dengan Perkawinananrar Orang berlainan Agama(Studi Pnlktek danPelaksanaannya). i
32 Ma'na Mawali pa'da Ayat 33 Surat ProfDr.H.M.AminAI-Nisa Menurut 'para Muffassirin Suma,MA,SHdan Hazairin serta pengaruhnyaterhadap Hukum Waris Islam.
Drs. Chaeruddin, SH
Drs. Minhajul Falah
33i
Dari Dualisme keJKesaluan Hukum ProfDr.H.A,Sukardja,:Studi lentang Hubungan Inlegratif SH, MAUU.No.l Tahun 1974 dan HukumIslam. '
Drs.YayanSopyan,M.Ag
34 Analisis Validitas: dan Rei iqbilitasAlat Tes TPA ( Tes PotensiAkademik) pada Ujian MasuklAIN Syarif Hidayatullah JakartaTahun 1999. I
Drs. Ali Hamzah
35 Analisis Validitas, dan ReliabilitasAlat Tes Bahasa Arab pada UjianMasuk lAIN Syarif HidayatullahJakarta Tahun 1999.
Drs.Syamsul Arifin
i
18 Kecendrungan P6mikiran Mhs.Fak. Tarbiyah daIam Penafsiran AIQur'an.
19 Hubungan Antani Potensi Belajardengan hasil Belajar Mhs. Fak.Tarbiyah lAIN Jakarta.
I
20 Aktivitas Biro Perjalanan Herklotsdan Firma AI-Saggaf dan Codalam Pengangh.'Utan Jama'ah hajiIndonesia Masa Kolonial .
21 Peranan Pemuda Indonesia di Mesirdalam Upaya MempertahankanKemerdekaan RI, 1945-1949; StudiKasus Harun Nasution.
22 Pemikiran Sayid' Idrus AI-Jufridalam Sya'ir-sya'irnya.
Analisis Kesalahan Berbahasa Arab DR.H.D. Hidayat.di Kalangan Mhs.Fak. Adab lAINSyahid Jakana. !
24 Tradisi dan Lembaga Islam di Jawa: Perbandingan antara KesultananMataram dan KesuItanan Banten.
i25 Karya Sastra Arab Abdullah Bin
Nuh.
26 Pengelolaan Zakal daJam Politik Dr.H.FathurrahmanOrde Baru. I Djamil, MA
i,27 Institusi Mahar dim Status Sosial
daJam Masyarakat 'Muslim Banjar,Kalimantan Selatani.
III
I
Drs.H.CholiluddinAS,MA
Dra.NettyHartaty, M.Psi.
Drs. M.Dien Majid
Drs.H.BudiSulistiono,MA
Drs.AhmadBachmid,Lc
Dr. Achmad Satori
Dr. Badri Yatim,MA
Dr.H.Ridlo Masduki
Drs.M.ArskaJ SalimGP,M.Ag
Drs.NoryaminAini, MA
100 I
101
_.. i·.'\lIilli"i, \'alidil"', d:\II 1{c1i<ll>dil",.'\1<11 Tc:, l.l<lhas<I III wr'" i,ad,\liiall i\lllsuL I,\til ~~ali:'
Ilidily'llullah .1,,1.:"'1" 1<11'11, I"''')
lAIN,!I' IOi~;:'l~~\;II",i. \1 1',1'
I.h"Zillll"lllI'~iih")'"h
II 1\1,,111111,,1 1S1a'<lIUilSiJ(:gal. ~d Sc
111 I'",\:: 1((l,y;'.I"1'\1 A
I .,\lIali.<,is ·.'<llidit:lj d·II' I{,,"'d, 1'1",1\lat I'c'; I'cn'llCl.dJIIIII 1\\ ;1111 I
I~ ,lslam !,<lda lJjipll 1\1 "suI. \;\111Syaril' llidayalullah jn\..all" 'I "hull
II ,!'.I').
I'\lIillisis Validila~ dall Itcl,abdila,J\lal Tes Bahasil llld(lllcsia pad,Ujiall I\\asuk i IAII~ SV:lril'Ilidayalullah Ja"'!rta Tahull I'.I'.''!.
I
iJ\lIalisis Validila's dall l{clialJdilasAlai Tes I'cngu,;buan 111111 lin padaUjiilll masuk; IAII'l Svalll'Ilidayalullab jakalla Tal,un I'.I'!'!.
tI
, ", '
40
i!
Syaral-Syaral I'enelili 'DIP THnl",' k(lilsullant
Drs.FaridalAlkal\\, Isl.l'd.
IJls.l>aud Ukl,d)'AM.
I
I. 13crpcl1llidikan rs1:inilllal S-.1 (Plu" Te,is), DAN 1le'l'CJlgala\ll,iln IllcliikllkallI'enelilian Individ~al DIP Minilllal 2 kali.,ATAlJ I ,
2. Ikrpcndidikan lsliIJilllal S-2 (Plus Tcsis), DAN Bcrpangkal Leklar Madya.ATAU
3. Bcrpangkal Lcklor, DAN IkrpcngalanJan Illciakukan I'cncliliallilldiscidual DIPrslinilllal2 kali. : i