laporan pbl demam sp tropis

Upload: muhammad-ardii

Post on 10-Jan-2016

39 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

smg bermanfaat

TRANSCRIPT

Komplikasi akibat DHF (ilham ghifari 2013730049)

1. ENSEFALOPATI DENGUE Ensefalopati dengue termasuk salah satu komplikasi dari demam berdarah dengue yang tidak lazim. Pada umumnya, ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok(10). Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh karena trombosis pembuluh darah otak sementara akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah-otak, tetapi sangat jarang dapat menginfeksi jaringan otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan gagal hati akut. Pada penelitian di tahun 1996 di Kuala Lumpur, Malaysia, dinyatakan bahwa keterlibatan SSP pada infeksi virus dengue selalu dihubungkan dengan proses sekunder akibat vaskulitis yang berakibat pada ekstravasasi cairan kemudian menyebabkan oedema serebral, hipoperfusi, hiponatremia, kegagalan hati, dan/atau gagal ginjal(4). Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apati atau somnolen,dapat disertai atau tidak kejang, dan dapat terjadi pada DBD / DSS. Apabila pada pasien syok dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk memastikan adanya ensefalopati, syok harus diatasi terlebih dahulu. Apabila syok telah teratasi, maka perlu dinilai kembali kesadarannya. Pungsi lumbal dikerjakan bila syok telah teratasi dan kesadaran tetap menurun ( hati-hati bila trombosit < 50.000 /uL ). Pada ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar transaminase ( SGOT / SGPT ), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah turun, alkalosis pada analisis gas darah, dan hiponatremia ( bila mungkin periksa kadar amoniak darah ). Patokan klinis untuk membuat diagnosis DHF dan DSS yang digariskan oleh WHO Technical Advisory Group ( 1975 ) telah digunakan oleh sebagian besar dokter dalam menangani kasus-kasus itu. Namun, apabila patokan klinis itu digunakan secara ketat, maka akan terdapat bahaya bahwa diagnosis beberapa kasus DHF/DSS tidak akan dibuat. Dari Burma, Tin U dkk ( 1976 ) melaporkan bahwa sejak tahun 1973 terdapat banyak penderita DSS disertai gejala ensefalopati yang bermanifestasi sebagai demam tinggi, gangguan kesadaran disertai atau tanpa kejang, disorientasi, tremor, dan koma. Pada tahun 1976 derajat ensefalopati pada kasus-kasusnya bertambah berat, dengan ditemukannya penserita DSS yang tidak sadar selama 2 5 hari(15). Sanguansernsri dkk. ( 1976 ) dari Thailand juga melaporkan terdapatnya ensefalopati akut yang menyertai infeksi dengue(3). Laporan yang menarik perhatian ialah laporan dari Farfield Hospital, Farfield Victoria, Australia ( Kuberski, 1979 ). Di rumah sakit ini dirawat seorang penderita wanita berumur 38 tahun yang menderita demam dengue setelah berlibur selama satu bulan di jakarta dan bali. Demam dengue yang dideritanya disertai gejala ensefalopati, yaitu menurunnya kesadaran, afasia, inkontinensia, oftalmoplegi, dan nistagmus. Pemeriksaan likuor yang dilakukan 2 kali memberikan hasil normal, sedangkan dengan pemeriksaan pengikatan komplemen, diagnosis infeksi dengue dapat dikonfirmasi. Pada tahun 2001 di Thailand, telah dilakukan sebuah penelitian tentang manifestasi neurologis pada penderita dengue(9). Hasil penelitian menunjukkan manifestasi ini terbagi menjadi 3, yaitu:kelompok ensefalopatikelompok kejangkelompok gangguan mentalPada kelompok ensefalopati, gejala klinis yang didapat adalah:Penurunan kesadaran ( 83.3%)kejang-kejang (45.2%)Gangguan mental (23.8%)Kaku kuduk (21.4%)Spasme pada ekstremitas (9.5%)Klonus (2.9%)Kelainan laboratorium yang didapat adalah:HiponatremiaAbnormalitas pada enzim heparLCS pleositosisDalam penelitian ini juga terdapat laporan bahwa, anak-anak dengan riwayat ensefalitis akan cenderung menderita ensefalopati dengue jika terinfeksi virus dengue. Dan jika sampai menderita ensefalopati dengue, akan terdapat sequele berupa defisit neurologis permanen pada anak-anak ini. Mortality rate sebesar 5%2. gagal ginjalGagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.3. efusi pleuraEfusi pleura adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto rontgen dada.Komplikasi demam berdarah biasanya berasosiasi dengan semakin beratnya bentuk demam berdarah yang dialami, pendarahan, dan shock syndrome. Komplikasi paling serius walaupun jarang terjadi adalah sebagai berikut:-Dehidrasi-Pendarahan-Jumlah platelet yang rendah-Hipotensi-Bradikardi-Kerusakan hatiPembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkung iga kanan, derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan

4. DICPengertian Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan.3 Disseminated intravascular coagulation (D.I.C. ) adalah suatu keadaan hiperkoagulabilitas darah yang disebabkan oleh bermacam penyakit atau keadaan, dimana pada suatu saat darah merah bergumpal didalam kapiler diseluruh tubuh. Penggumpalan darah dapat terjadi dalam waktu singkat, beberapa jam sampai satu sampai dua hari (acute D I C) dan dapat juga dalam waktu yang lama, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan (chronic D I C). Pada D I C akut terjadi penggumpalan darah dalam waktu singkat, hal ini mengaki-batkan sebagian besar bahan-bahan koagulasi, seperti trombosit, fibrinogen dan lain faktor pembekuan ( I sampai XIII) dipergunakan dalam proses penggumpalan tersebut, oleh karena itu, keadaan ini disebut juga consumption coagulapathy atau defibrinolysis syndrome. Kesemuanya ini berakibat terjadinya perdarahan dari yang ringan sampai berat. 3,4 Penyebab Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Karena jumlah faktor pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan. 3,4 Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC : 5 Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan) Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat. Orang-orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC:5 Penderita cedera kepala yang hebat Pria yang telah menjalani pembedahan prostat Terkena gigitan ular berbisa. Komplikasi obstetrik bisa menyebabkan DIC, terutama pada keadaan abrupsi plasenta dan emboli cairan amnion. Cairan amnion itu sendiri dapat mengaktivasi koagulasi, sehingga jika terdapat sumbatan seperti pada preeklamsia dan sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver function, low platelet), juga akan terjadi koagulasi sistemik. DIC biasanya menjadi komplikasi sekunder penyakit-penyakit tersebut. Patofisiologi 1. Consumptive coagulopathy Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah secara sistemik. Trombosit yang menurun terus-menerus, komponen fibrin bebas yang terus berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah kecurigaan ke DIC. Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan trombus mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.6,7 Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan perdarahan. Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan, keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana.6,7 Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor pembekuan darah. Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem antitrombin dan sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus. Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah. Nah, sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1. Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan. Sepintas nampak membingungkan, namun karena penatalaksanaan DIC relatif suportif dan relatif mirip dengan model konvensional, maka tulisan ini akan membahas lebih dalam tentang patofisiologi DIC.6,7 2. depresi prokoagulan DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah, itulah penyebab utamanya. Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor pembekuan darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi pembekuan darah.6,7 Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan sel-sel endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga dari sel-sel polimorfonuklear. 6,7 Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ. 6,7 Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis factor-alpha (TNF-) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen pembentuk protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan darah akan terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC. 6,7 Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor pembekuan (bukan memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam plasma sangatlah kecil, namanya pun jarang sekali kita kenal dalam buku teks. Pada penelitian dengan menambahkan TFPI rekombinan ke dalam plasma, sehingga kadar TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal, ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak pengaruh senyawa ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang mempengaruhi faktor pembekuan darah, TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di masa depan. 6,7 3. Defek Fibrinolisis Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C, dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan kematian. 6,7 Gejala DIC biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat. Jika keadaan ini terjadi setelah pembedahan atau persalinan, maka permukaan sayatan atau jaringan yang robek bisa mengalami perdarahan hebat dan tidak terkendali. Perdarahan bisa menetap di daerah tempat penyuntikan atau tusukan; perdarahan masif bisa terjadi di dalam otak, saluran pencernaan, kulit. Otot dan rongga tubuh. Bekuan darah di dalam pembuluh darah yang kecil bisa merusak ginjal (kadang sifatnya menetap) sehingga tidak terbentuk air kemih. 4,5 Diagnosis Pemeriksaan darah menunjukkan :4,5 Penurunan jumlah faktor pembekuan Adanya bekuan-bekuan kecil yang tidak biasa Sejumlah besar hasil pemecahan bekuan darah. Tidak ada metode khusus untuk mendiagnosis DIC selain menilai gejala klinis berupa perdarahan terus-menerus dengan gejala sianosis perifer serta melihat hasil lab dengan trombositopenia, masa perdarahan global yang memanjang signifikan (PT dan aPTT), serta Fibrin Degradation Produc (FDP), atau spesifiknya D-dimer akan meningkat (walaupun keduanya juga meningkat pada trauma berat).3,7 DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan. Keadaan ini terjadi akibat sepsis atau infeksi berat, trauma, destruksi organ, keganasan (tumor padat atau myelo/limfoproliferatif), penyakit obstetrik (emboli cairan amnion dan abrupsi plasenta), abnormalitas vaskular (sindrom Kasabach-Meritt dan aneurisma pembuluh darah besar), penyakit hepar yang berat, reaksi toksik-imunologik dari bisa ular, obat-obatan, reaksi transfusi, dan penolakan transplantasi.7 Pada pemeriksaan fisik DIC akan sangat tergantung etiologi penyakit tersebut. DIC akut akan memperlihatkan petekia pada palatum mole dan tungkai dan ekimosis pada bekas punksi vena, keduanya akibat trombositeopenia. Pasien seperti ini juga akan terdapat ekimosis pada area-area yang traumatik. Sedangkan pasien DIC kronik atau subakut hanya akan memperlihatkan tanda dan gejala akibat trombosis dan tromboemboli pada organ tertentu.7 Keadaan ini terjadi akibat kelainan berbagai penyakit. Secara umum seperti yang tersebut di atas, terdapat dua jalur yang menjadi penyebab terjadinya DIC, pertama, respon inflamasi sistemik yang umumnya akibat sepsis atau trauma hebat sehingga mengaktifkan sitokin dan faktor pembekuan darah. Kedua, pajanan materi prokoagulan ke pembuluh darah (mis. Pasien kanker atau obstetrik). Pada situasi tertentu, dua jalur penyebab DIC ini bisa muncul secara bersamaan (mis. Trauma mayor atau pankreatitis nekrotik berat).7 Sangatlah buram untuk mendiagnosis jika kita hanya mengandalkan klinis dan lab tersebut di atas. Cara terbaik untuk mengenali DIC selain pemeriksaan fisis dan penunjang ialah dengan mengetahui penyakit-penyakit apa saja yang biasanya potensial menyebabkan DIC.7 Penatalaksanaan Penyebabnya harus dicari dan diatasi, apakah gangguan kebidanan, infeksi atau kanker. Jika penyebabnya diatasi, maka gangguan pembekuan bisa berkurang. DIC bisa berakibat fatal, sehingga harus diatasi sesegera mungkin. Diberikan transfusi trombosit dan faktor pembekuan untuk menggantikan kekurangan dan menghentikan perdarahan. Untuk memperlambat pembekuan kadang diberikan heparin.4,5,6 Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan untuk fase akut, sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka janin harus dilahirkan secepatnya.7 Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki risiko komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan pemikiran bahwa menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram bensin dalam api kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan.7 Satu-satunya terapi medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin. Obat kuno ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal heparin drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut tanpa DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang harus dihadapi. 7DAFTAR PUSTAKA1. Abdil Gaard C.F. : Recognition On Treatment Of Intravascular Coagulation. J. Pediat. T4 : 1T0, 2001.2. Corrigan J.J. : Disseminated Intravascular Coagulopathy. Pediatrics 64 : 3T, 2005.3. Hardaway R.M. : Syndroms Of Intravascular Coagulation. C.C. Thomas Publ., Springfield, Illinois , U.S.A. 2000.4. McKay And Willlam Margaretten : Disseminated Intravascular Coagulation In Pregnancy. Arch. Intern. Med. 120 : 129, 2004.5. Andra. Ancaman Serius Koagulasi Intravaskular Diseminata. Dalam Farmacia Edisi Februari 2007 , Halaman: 17